Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN TUGAS

PEMODELAN DALAM PERENCANAAN


PENERAPAN TEKNIK PEMODELAN SISTEM DINAMIK, PEMODELAN
STATISTIK, DAN PEMODELAN SPASIAL

Dosen Pengampu: 1. Ir. Erma Fitria Rini, S.T., M.T.


2. Tendra Istanabi, S.T., M.URP.
3. Candraningratri Ekaputri Widodo, S.T., M.Eng., Ph.D.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2-C
1. Aliyyah Hanan Zhafirah I0622008
2. Diandra Larassasi Kirani I0622025
3. Nilam Furry Rahmah Setyanisa I0622058
4. Puteri Azka Shiva Ramadhani I0622060
5. Galega Rastra Baresa I0622083

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2023
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Suryani (2006), model dapat didefinisikan sebagai representasi suatu
sistem dalam kehidupan nyata yang menjadi fokus perhatian dan dapat menjadi pokok
permasalahan. Pemodelan dapat didefinisikan sebagai proses pembentukan model dari
sistem tersebut dengan menggunakan bahasa formal.
Pemodelan sistem dinamik digunakan dalam studi kasus ketersediaan sisa lahan
permukiman di Provinsi Banten hingga tahun 2042. Hal ini dikarenakan Provinsi Banten
memiliki jumlah penduduk 12.251.985 dengan laju pertumbuhan pada tahun 2022
sebesar 1,66% yang mana ini menunjukkan pertumbuhan penduduk di Provinsi Banten
meningkat tiap tahunnya sehingga diketahui bahwa kebutuhan lahan akan permukiman
semakin meningkat. Oleh karena itu, untuk mengetahui ketersediaan sisa lahan
permukiman di Provinsi Banten hingga tahun 2042 maka dapat dianalisis menggunakan
pemodelan sistem dinamik yang nantinya akan dibutuhkan solusi perencanaan dari hasil
analisis pemodelan dinamik.
Pemodelan statistik digunakan dalam studi kasus pengelompokkan Indek
Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta pada
tahun 2022. perannya pentingnya pemodelan ini adalah untuk melihat bagaimana
persebaran IPM sebagai salah satu indikator dari pemerataan bangunan yang terjadi di
provinsi tersebut. Dengan dilakukannya pengelompokkan ini diharapkan akan terlihat
kawasan mana yang sudah mengelompok dan terjadi pemerataan dari indeks
pembangunan manusia yang ada pada lingkup provinsi tersebut.
Pemodelan spasial digunakan dalam studi kasus mengenai tutupan lahan di
Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Peningkatan pembangunan sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk serta
aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan pola penggunaan lahan. Tingkat
pembangunan yang tinggi juga mengurangi kemampuan lahan dalam menyerap air, yang
bisa menjadi pemicu bencana. Maka, diperlukan analisis spasial untuk memahami
perubahan tutupan lahan dengan memanfaatkan perangkat lunak ArcGIS.
1.2 Tujuan dan Sasaran
Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan big data dalam perencanaan, dengan
fokus pada pemodelan spasial untuk mengamati perubahan tutupan lahan Kecamatan
Berbah, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta aspek
non-spasial yaitu pemodelan dinamik (tentang apa). Sasaran dari penelitian ini yaitu
sebagai berikut (sasaran pemodelan dinamik):
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemodelan Sistem Dinamik


2.1.1 Pengertian Pemodelan Dinamik
Sistem dinamik adalah suatu metode analisis permasalahan yang meliputi
pemahaman bagaimana suatu sistem dapat dipertahankan dari gangguan di luar
sistem. Pemodelan sistem dinamik merupakan bentuk penyederhanaan dari sistem
yang rumit untuk merepresentasikan dunia nyata/keadaan yang sebenarnya.
2.1.2 Lahan Permukiman
a. Pengertian Lahan Permukiman
Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi bahkan keadaan
vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap
penggunaan lahan, baik yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas
manusia dari masa lalu maupun masa sekarang (FAO dalam PPTA, 1993 :3).
Penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara faktor manusia dan faktor
lahan. Manusia sebagai faktor yang mempengaruhi atau melakukan kegiatan
terhadap lahan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya.
Salah satu penggunaan lahan yang paling berpengaruh bagi kehidupan
manusia adalah kebutuhan lahan untuk permukiman. Bintarto (1977)
mendefinisikan permukiman dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
luas, permukiman sebagai suatu bentuk penggunaan lahan yang
memperhatikan bangunan-bangunan seperti rumah, kantor, pasar, jalan dan
pekarangan yang menjadi sumber penghidupan penduduk. Adapun dalam arti
sempit adalah susunan bangunan dan persebarannya dalam suatu wilayah.
Permukiman juga merupakan suatu tempat atau wilayah berkumpulnya
penduduk untuk hidup bersama menggunakan lingkungan setempat untuk
mempertahankan, melangsungkan, dan mengembangkan kehidupannya.
b. Kriteria Pemilihan Lokasi Permukiman
Lokasi permukiman merupakan lokasi yang dipilih sebagai lokasi
untuk didirikan bangunan permukiman dari keseluruhan lokasi yang ada. Hal
ini dilakukan mengingat tidak semua lahan yang ada atau yang membentang di
permukaan bumi ini sesuai secara kemampuan fisik lahannya atau juga sesuai
dengan peraturan perlindungan terhadap pelestarian lingkungan. Menurut
Undang-Undang No. 24 tahun 1992 juga mengatur kawasan-kawasan tertentu
yang tidak boleh digunakan untuk lokasi permukiman misalnya kawasan
lindung. kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya
alam dan sumber daya buatan. Termasuk diantaranya hutan lindung, kawasan
bergambut, resapan air, suaka alam, pantai berhutan bakau, sempadan pantai
dan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk dan mata air, taman nasional,
taman hutan raya dan kawasan rawan bencana alam. Oleh karena itu,
penggunaan lahan pada daerah tertentu harus dengan memperhatikan
kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang
berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian
fungsi lingkungan.
c. Kebutuhan Lahan Permukiman
1) Proyeksi Kebutuhan Permukiman
Proyeksi kebutuhan rumah di masa mendatang dilakukan dengan
menghitung proyeksi jumlah kepala keluarga (KK). Asumsinya 1 KK
berada dalam 1 rumah. Perhitungan proyeksi jumlah KK menggunakan
rumus proyeksi geometrik (angka pertumbuhan dianggap sama setiap
tahunnya).
Pt = Po (1+r)n

Pt adalah jumlah KK pada tahun t, Po adalah jumlah KK pada tahun


awal (tahun dasar), n adalah jumlah tahun proyeksi, dan r adalah
jumlah pertumbuhan KK. Perhitungan kebutuhan rumah didapatkan
dari hasil proyeksi jumlah KK pada tahun t dikurangi jumlah KK pada
tahun awal.
2) Perhitungan Kebutuhan Luas Permukiman
Perhitungan prediksi kebutuhan ruang atau lahan dalam satuan luas di
masa yang akan datang menggunakan rumus sebagai berikut (Muta’ali,
2015),
Dr = STD x Dt
Dr adalah kebutuhan ruang, SDT adalah standar kebutuhan ruang
minimal, dan Dt adalah tambahan kebutuhan ruang. Ukuran 1 kavling
untuk rumah menengah adalah 54 m2 s/d 600 m2 (Peraturan Menteri
Negara Perumahan Rakyat No.11/ PERMEN/ M/ 2008), sehingga
standar kebutuhan ruang minimal untuk 1 rumah yang digunakan yaitu
54 m2.
2.1.3 Penduduk
a. Pengertian Penduduk
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Penduduk adalah
warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Sedangkan kependudukan adalah hal ikhwal yang berkaitan dengan jumlah,
struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas dan kondisi
kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta
lingkungan penduduk setempat.
b. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk adalah suatu keadaan yang dikatakan semakin
padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak
dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992), dimana kepadatan
penduduk merupakan indikator dari pada tekanan penduduk di suatu daerah.
Dalam mengetahui kepadatan penduduk di suatu wilayah dapat dilakukan
perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah yang dihuni
(Mantra, 2007), seperti rumus berikut :
Kepadatan Penduduk = Jumlah penduduk suatu wilayah/ luas
wilayah

c. Migrasi
Migrasi merupakan perubahan tempat tinggal seseorang baik secara
permanen maupun semi permanen, dan tidak ada batasan jarak bagi perubahan
tempat tinggal tersebut (Lee, 2011). Adanya proses migrasi ini dikarenakan
akibat dari berbagai perbedaan antara daerah asal dan daerah tujuan yang
disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial dan lingkungan. Adapun migrasi
terbagi atas migrasi masuk dan migrasi keluar. Migrasi masuk yaitu masuknya
penduduk ke suatu daerah tempat tujuan (area of destination) sedangkan
Migrasi Keluar (Out Migration) Migrasi keluar yaitu perpindahan penduduk
keluar dari suatu daerah asal (area of origin)

d. Angka Kelahiran
Kelahiran adalah sebuah proses di mana anak dikeluarkan dari badan
ibunya. Sedangkan Angka kelahiran adalah salah satu unsur dari pertambahan
penduduk secara alami tau jumlah kelahiran per 100 tahun. Secara garis besar
penggolongan kelahiran/ natalitas adalah sebagai berikut :
1. Angka Kelahiran Khusus
Angka kelahiran khusus atau Age Specific Birth Rate (ASBR)
menunjukkan banyaknya bayi lahir setiap 1.000 orang wanita pada usia
tertentu dalam waktu satu tahun.
2. Angka Kelahiran Kasar
Angka kelahiran kasar atau Crude Birth Rate (CBR)
menunjukkan jumlah bayi yang lahir setiap 1.000 penduduk dalam satu
tahun, dimana dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
CBR = L/P x K
Keterangan:
L = jumlah kelahiran bayi yang lahir pada tahun tertentu
P = jumlah penduduk pada pertengahan tahun
k = konstanta (1.000)
e. Angka Kematian
Menurut Utomo (1985) kematian dapat diartikan sebagai peristiwa
hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi
setiap saat setelah kelahiran hidup. Ada beberapa cara pengukuran angka
kematian diantaranya adalah:
1. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate)
Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate) adalah banyaknya
kematian pada tahun tertentu, tiap 1000 penduduk pada pertengahan
tahun dengan rumus seperti dibawah ini :
CDR = D/P x 100
Keterangan :
D = jumlah kematian pada tahun X
Pm = jumlah penduduk pada pertengahan tahun x
k = konstanta 1000
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat dikategorikan dalam
kriteria sebagai berikut:
> 18 Tinggi
14-18 Sedang
9-13 Rendah
2. Angka Kematian Menurut Umur ( Age Specific Death Rate )
Angka Kematian Menurut Umur ( Age Specific Death Rate)
adalah jumlah kematian penduduk pada tahun tertentu berdasarkan
klasifikasi umur tertentu. Adapun rumus yang dibutuhkan untuk
mengetahui angka kematian menurut umur sebagai berikut :
ASDR = Di/Pmix k
Keterangan :
Di = Jumlah kematian pada kelompok umur (i)
Pmi = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun pada kelompok umur
(i)
k = Angka konstan (1000)
2.1.4 Kawasan Lindung dan Badan Air (nilam)
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kawasan lindung dapat berupa hutan
kota, sempadan sungai, sempadan pantai, cagar alam, cagar budaya, dan kawasan
yang rentan terhadap bencana alam. Kawasan lindung ditujukan untuk kepentingan
pembangunan berkelanjutan.
Badan air adalah kumpulan air yang besarnya tergantung kepada bentuk
relief permukaan bumi, suhu, curah hujan, kesarangan batuan pembendunganya.
Badan air dapat berupa sungai, rawa, danau, laut, dan samudera
`2.2 Pemodelan Statistik
2.2.1 Pemodelan statistik
Metode analisis statistik merupakan analisis yang menggunakan representasi dari
seluruh data yang ada. Melihat data jenis data yang dimiliki oleh himpunan, eksternal
memiliki total uang yang melebihi jumlah uang kebanyakan pada dana himpunan,. Hal ini
kemudian dapat dikembalikkan lagi ke setiap pengurusnya disesuaikan dengan kepala
departemen masing-masing.
Secara garis besar pemodelan statistik merupakan jenis pemodelan yang dilakukan
ketika telah dikumpulkan data dengan berbagai variabel (multivariat). Dari keberagaman
sumber informasi tersebut kemudian akan diolah untuk memenuhi hasil yang telah
disetujui.
2.2.2 K-means cluster
K-means Cluster merupakan salah satu metode analisis kuantitatif non-hirarki
dimana akan dilakukan perhitungan dengan cara mengelompokkan kelompok objek
dengan perubahan perilaku yag berbeda dengan mencari kesamaan karakteristik yang
mendasari pengelompokkan tersebut.
Dalam analisis klaster, objek penelitian pada dasarnya akan dikelompokkan
menjadi sekian kelompok, sehingga akan melihat kedua orang tersebut untuk sama-sama
memaafkan dan ingin mengenali satu sama lain sama dengan awal semester yang lalu.
Dengan dilakukannya K-means clustering akan diketahui bagaimana
pengelompokkan yang terjadi semester ini. dengan lebih dari 40 partisipan harus dinilai
dengan baik baik aja sih, cuma kan aku harus mengetahui lebih lanjut bagaimana peran
K-means Clustering dalam perhitungan Indeks Pembangunan Manusia.
2.2.3 Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia merupakan salah satu indikator yang
mengidentifikasikan adanya tiga dimensi dasar kebutuhan manusia, yang mencakup umur
panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. Berdasarkan 3 hal
tersebut,maka Indek Pembangunan Manusia dapat berfungsi dalam memberikan manfaat
bagi masyarakat sekitar.
Mungkin, dalam mengintervensi ide amas tersebut diperlukan pengertian lebih
lanjut mengenai IPM dimana IPM bertujuan untuk mengukur capaian pembangunan
manusia dengan berbasis sejumlah komponen dasar yang harus dimiliki. Diantaranya
adalah
a. Angka Harapan Hidup saat lahir
Angka harapan hidup saat lahir merupakan jumlah rata-rata usia yang diperkirakan
seseorang atas kematian pada masa tersebut yang cenderung tidak berubah untuk
masa mendatang.
b. Harapan Lama Sekolah
Harapan lama sekolah adalah usia yang diharapkan akan dirasakan oleh anak di
bawah umur tertentu tentang pendidikannya di masa depan. Sehingga, harapan lama
sekolah menjadi salah satu komponen dalam menilai indeks pembangunan manusia.
c. Rata-rata Lama Sekolah
rata-rata lama sekolah akan mengambil persentase usia penduduk di atas 15 tahun
yang menjalani pendidikan formal dalam memilih jurusan mereka masing-masing,
d. Pengeluaran Perkapita disesuaikan
Pengeluaran perkapita disesuaikan diperoleh dari hasil analisis pengeluaran perkapita
disesuaikan dengan paritas daya beli. Disisi lain berbelanja dengan terus menerus
akan meningkatkan Pengeluaran perkapita disesuaikan, sehingga dapat menjadi
penyumbang pada perekonomian Indonesia
2.3 Pemodelan Spasial
2.3.1 Pengertian Pemodelan Spasial
Pemodelan spasial adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan
fenomena dunia nyata dengan tujuan memahami objek atau fenomena tersebut.
Dalam pemodelan spasial, seringkali digunakan data raster yang menggambarkan
dan menyimpan informasi spasial dalam bentuk matriks atau piksel yang
membentuk grid (Krugman, 1992).
Pemodelan spasial merupakan metode penting dalam memahami dan
meramalkan fenomena kompleks yang berkembang dalam ruang dan waktu.
Penggunaannya meliputi berbagai bidang dan memiliki dampak besar dalam
pengambilan keputusan, alokasi sumber daya, serta penilaian risiko yang berkaitan
dengan ruang.
2.3.2 Tutupan Lahan
Menurut UU No 11 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial Penutup
lahan adalah garis yang menggambarkan batas penampakan area tutupan di atas
permukaan bumi yang terdiri dari bentang alam dan/atau bentang buatan.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Pemodelan Sistem Dinamik


Pemodelan sistem dinamik ini menggunakan metode kuantitatif. Metode ini
digunakan untuk melihat hubungan antar variabel.Variabel yang digunakan pada metode
analisis ini adalah jumlah penduduk, angka kelahiran, angka kematian, migrasi masuk,
migrasi keluar, ketersediaan lahan, dan kebutuhan lahan dengan lokasi penelitian Provinsi
Banten. Dalam metode ini menggunakan software Vensim PLE yang nantinya akan
menghasilkan grafik Jumlah penduduk, Ketersediaan lahan, Kebutuhan Lahan, dan
Perbandingan antara Ketersediaan lahan dengan Kebutuhan Lahan. Adapun tahapan yang
dilakukan dalam pemodelan sistem dinamik adalah sebagai berikut:
1. Identifikasi kasus
2. Mengumpulkan data variabel yang digunakan
3. membuat diagram stock-flow
4. melakukan simulasi model
5. Interpretasi hasil simulasi
3.2 Pemodelan Statistik
Pemodelan statistik dilakukan melalui metode kuantitatif. Metode ini digunakan untuk
melihat pengelompokkan 41 Total kota/kabupaten yang ada pada Provinsi DKI Jakarta, Banten ,
dan Jawa Barat. Dimana Pemodelan Statistik akan mencoba melihat pengelompokkan yang terjadi
dengan melihat Indeks Pembangunan Manusia yang ada pada setiap kelompoknya. Dalam
melaksanakan perhitungan, diperlukan software berupa SPSS untuk membantu perhitungan
K-Means Clustering. Dengan variabel berupa angka kelahiran, usia harapan hidup, rata rata lama
sekolah, hingga pendapatan perkapita yang disesuaikan. Dari variabel tersebut kemudian akan
diolah oleh SPSS dan menghasilkan dana yang akan kita gunakan secara langsung pada tahap
selanjutnya. Apabila hal tersebut akan disusun berdasarkan tahapan, maka berikut meruapakn
tahapan dari sistem statistik:
1. Identifikasi Kasus
2. Mengumpulkan data Variabel yang digunakan
3. Melakukan standarisasi data
4. melakukan proses analisis dengan software di SPSS
5. Interpretasi data.
3.3 Pemodelan Spasial
Pemodelan spasial yang digunakan adalah dengan menggunakan digitasi guna
lahan secara manual. Metode ini menggunakan citra satelit Kecamatan Berbah yang
bersifat time series dengan rentang waktu 5 tahun, yaitu dari tahun 2013, 2018, dan 2023
yang didapatkan dari aplikasi Google Earth Pro. Berikut merupakan langkah-langkah
dalam mendapatkan data Citra satelit Kecamatan Berbah.
1. Membagi wilayah administrasi Kecamatan Berbah dengan cara dibagi menjadi
9 kotak terpisah menggunakan fitur fishnet dari ArcGIS untuk mendapatkan
citra satelit dengan resolusi tinggi.
2. Hasil dari unduhan citra satelit tersebut digabungkan dengan aplikasi Canva.
3. Kemudian citra satelit yang sudah digabungkan dimasukkan ke aplikasi
ArcGIS.
4. Karena citra satelit yang diunduh tidak memiliki koordinat, kemudian
koordinat pada gambar dimasukkan secara manual berdasarkan koordinat yang
didapatkan dari Google Earth Pro.
Penjelasan di atas merupakan langkah awal dalam mendapatkan data citra satelit.
Berikut merupakan langkah-langkah dalam digitasi secara manual:
1. Melakukan klasifikasi tutupan lahan tahun awal dengan cara cut polygon lalu
memberi keterangan sesuai dengan klasifikasi.
2. Melakukan klasifikasi tutupan lahan tahun tengah dan akhir dengan cara cut
polygon shapefile tahun awal
3. Melakukan perhitungan luas tutupan lahan sesuai klasifikasi.
4. Menghitung perubahan luas tutupan lahan tiap periode sesuai klasifikasi jenis
tutupan lahan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemodelan Sistem Dinamik


Provinsi Banten memiliki jumlah penduduk 12.251.985 dengan laju pertumbuhan
1,66% yang mana ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan akan permukiman semakin
meningkat seiring terjadinya peningkatan jumlah penduduk sehingga untuk mengetahui
ketersediaan sisa lahan permukiman di Provinsi Banten hingga tahun 2042 maka dapat
dianalisis menggunakan pemodelan sistem dinamik. Dalam menganalisis hal tersebut,
maka dapat dikumpulkan data dari variabel yang dibutuhkan, sebagai berikut :

Tabel Variabel dan Data dalam Penggunaan Sistem Dinamik

Variabel Data

Kelahiran 239.282 Jiwa

Kematian 3.310 Jiwa

Jumlah Penduduk 12.251.985 Jiwa

Standar kebutuhan lahan permukiman 26 m2

Migrasi keluar 1.060.817 Jiwa

Migrasi masuk 2.669.992 Jiwa

Data-data di atas merupakan variabel yang mempengaruhi ketersediaan lahan


permukiman di Provinsi Banten dalam memenuhi kebutuhan lahan permukiman.
Kemudian data-data tersebut dimasukkan ke dalam diagram causal loop untuk
disimulasikan dalam aplikasi Vensim PLE. Berikut merupakan diagram yang disusun
berdasarkan variabel:
Berdasarkan diagram causal loop diatas, struktur model kebutuhan lahan
permukiman merupakan kombinasi dari data jumlah penduduk, kebutuhan lahan
permukiman, ketersediaan lahan permukiman, dan daya tampung lahan permukiman.
Berikut struktur model kebutuhan lahan permukiman di provinsi Banten:

Gambar 4. Struktur Model Kebutuhan lahan permukiman Provinsi Banten

Berdasarkan gambar diagram stock-flow diatas, jumlah penduduk dipengaruhi


oleh migrasi masuk, migrasi keluar, kelahiran, dan kematian. data jumlah penduduk ini
akan digunakan untuk menghitung kebutuhan lahan permukiman, selain dari data jumlah
penduduk, kebutuhan lahan permukiman dipengaruhi oleh standar kebutuhan lahan,
Untuk ketersediaan lahan permukiman dipengaruhi oleh luas wilayah, luas
kawasan lindung, dan luas kawasan rawan bencana. dari data ini akan didapat daya
tampung lahan permukiman dengan dukungan data standar kebutuhan lahan
permukiman. Dari data kebutuhan lahan permukiman dan daya dukung lahan
permukiman maka akan didapat kesimpulan apakah lahan permukiman di provinsi
banten akan memenuhi kebutuhannya atau tidak dan sampai kapan lahan permukiman di
provinsi banten dapat menampung jumlah penduduknya.

Jumlah penduduk dipengaruhi oleh angka migrasi keluar, migrasi masuk, angka
kelahiran, dan angka kematian. Jumlah penduduk Provinsi Banten sebanyak 12.251.985
Jiwa, yang didapat dari data BPS Provinsi Banten. Berdasarkan gambar diatas Jumlah
penduduk di provinsi banten terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini
terlihat dari tren penduduk provinsi banten yang mengalami pertumbuhan sebesar 1.66%
per tahun.
Kebutuhan lahan permukiman merupakan hasil kali jumlah penduduk dengan
standar kebutuhan lahan permukiman. Standar kebutuhan lahan permukiman yaitu 26
m2. maka didapatkan kebutuhan lahan permukiman di provinsi Banten yaitu
Kebutuhan lahan permukiman = jumlah penduduk/standar kebutuhan lahan
= 12.251.985 Jiwa/26 m2
=471.230,2 jiwa/m2
Berdasarkan grafik diatas, kebutuhan lahan permukiman provinsi banten terus
meningkat. hal ini dikarenakan jumlah penduduk banten yang terus meningkat setiap
tahunnya.

penyusunan grafiknya belum urut ini yg kebawah, di pindah” aja yaaa (udah
urut, coba c
Berdasarkan pemodelan sistem dinamik diatas, dapat diketahui bahwa terjadi
peningkatan kebutuhan lahan permukiman seiring terjadi peningkatan jumlah penduduk
di Provinsi Banten tahun 2042 dengan daya tampung lahan yang juga meningkat. Hal
ini menyebabkan ketersediaan sisa lahan permukiman menurun sehingga nantinya dapat
mengganggu dalam mencukupi kebutuhan lahan permukiman di Provinsi Banten.

Dalam mengatasi hal tersebut, dapat diterapkan konsolidasi lahan vertikal


untuk mengatasi kebutuhan lahan permukiman yang semakin meningkat. Dalam
menerapkan hal tersebut, dibutuhkan pengaturan zonasi yang lebih detail mengingat
terdapatnya potensi perubahan fungsi lahan dari perumahan menjadi mixed-use
dengan kolaborasi stakeholder yang relevan seperti, pemerintah, akademisi, praktisi,
swasta dan masyarakat untuk keberhasilan konsolidasi lahan vertikal. Selain itu,
diperlukan antisipasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan konsolidasi
lahan seperti proses yang memakan waktu yang cukup lama, ketersediaan dana yang
besar, rumitnya proses birokrasi dan realisasi yang melibatkan banyak pihak, dan
penentuan hak dan kewajiban masyarakat serta ketersediaan permukiman sementara
ketika proses konsolidasi berlangsung. Harapannya adanya konsolidasi lahan secara
vertikal dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan lahan permukiman bagi
penduduk dengan adanya penurunan sisa ketersediaan lahan permukiman di Provinsi
Banten.
4.2 Pemodelan Sistem Statistik
Berdasarkan studi kasus yang diambil oleh kelompok kami, yaitu Indeks
Pembangunan Manusia pada Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat pada tahun
2022. Diperlukan data-data antara lain yaitu rata-rata lama sekolah, harapan lama
sekolah, umur harapan hidup saat lahir, pengeluaran perkapita disesuaikan seperti pada
tabel berikut ini.
Tabel 4.2.1 Data variabel Indeks Pembangunan Manusia
No Kab/Kota Indeks Pembangunan Manusia
RLS HLS UHH PPD (ribu rupiah/tahun)
1 Kep Seribu 9,02 12,65 69,20 12999
2 Jakarta Selatan 11,66 13,35 74,49 24221
3 Jakarta Timur 11,73 13,97 74,83 18199
4 Jakarta Pusat 11,53 13,28 74,48 17765
5 Jakarta Barat 11,13 12,82 73,81 21357
6 Jakarta Utara 10,82 12,66 73,47 19201
7 Kab Pandeglang 7,13 13,72 65,58 8827
8 Kab Lebak 6,59 12,09 68,13 8854
9 Kab Tangerang 8,92 12,85 70,65 12427
10 Kab Serang 7,78 12,78 65,60 10916
11 Kota Tangerang 10,84 13,88 72,24 14909
12 Kota Cilegon 10,34 13,20 67,39 13185
13 Kota Serang 8,90 12,81 68,98 13709
14 Kota Tangerang Selatan 11,84 14,67 73,11 15997
15 Bogor 16,96 25,27 143,26 10860
16 Sukabumi 14,66 24,71 143,00 9210
17 Cianjur 14,24 24,21 141,12 8244
18 Bandung 18,14 25,26 147,95 10588
19 Garut 15,54 24,33 143,48 8227
20 Tasikmalaya 15,51 25,32 139,85 8177
21 Ciamis 16,05 1442,66 144,59 9428
22 Kuningan 15,77 25,15 148,05 9620
23 Cirebon 14,78 25,00 144,91 10791
24 Majalengka 14,87 24,68 141,47 9950
25 Sumedang 17,39 26,61 145,73 10776
26 Indramayu 13,61 24,39 144,28 10166
27 Subang 14,48 23,89 145,82 11294
28 Purwakarta 16,46 24,39 142,87 12193
29 Karawang 15,65 24,41 145,19 11927
30 Bekasi 18,86 26,24 148,04 11757
31 Bandung Barat 16,59 23,80 145,55 9044
32 Pangandaran 16,12 24,37 143,71 9389
33 Kota Bogor 21,26 26,87 148,21 12058
34 Kota Sukabumi 20,41 27,93 145,64 11229
35 Kota Bandung 21,97 28,70 149,38 17639
36 Kota Cirebon 20,50 26,24 145,43 12087
37 Kota Bekasi 23,49 28,43 150,88 16239
38 Kota Depok 22,97 28,00 149,99 15926
39 Kota Cimahi 22,23 27,98 148,92 12500
40 Kota Tasikmalaya 18,95 27,18 145,24 10578
41 Kota Banjar 17,73 26,75 142,92 10967

Keterangan :
RLS : Rata-rata lama sekolah
HLS : Harapan Lama Sekolah
AHH : Angka harapan hidup
PPD : Pengeluaran perkapita disesuaikan

Berdasarkan data tersebut, kelompok kami kemudian melakukan analisis


pemodelan sistem dinamik dengan menggunakan K-means Clustering dengan tujuan
untuk mengelompokkan wilayah Kabupaten/kota tersebut ke dalam 4 kelompok.
Berdasarkan metode tersebut, kemudian diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4.2.2 Initial Cluster Centers.

Berdasarkan analisis tersebut, diperoleh initial cluster seperti gambar diatas,


pada gambar tersebut dijelaskan bahwa dalam mengelompokkan cluster, diperoleh
bahwa cluster yang dikelompokkan pertama kali dalam analisis adalah seperti pada
tabel tersebut. Kemudian, dari klister yang telah mengelompok tersebut dilakukan
iterasi untuk melanjutkan perhitungan pada k-means clustering.
Tabel 4.2.3 Iteration History

Kemudian, dilakukan iterasi sebanyak 2 kali, sehingga selanjutnya diperoleh


pengelompokkan akhir klaster sebagai berikut.

Tabel 4.2.4 Final Cluster Centers

Selanjutnya, pengelompokkan tersebut menghasilkan nilai sesuai dengan


Number Of Cases in Each Cluster, dimana table tersebut menjelaskan berapa hasil
dari kelompok akhir yang ada pada tiap klasternya. Berdasarkan gambar tersebut,
dari total 41 Kabupaten/Kota yang berada pada Provinsi Jawa Barat, Banten, dan
DKI Jakarta. Pada klister 1 diperoleh total 26 kota/kabupaten, selanjutnya pada
klister 2 diperoleh total 6 kota/kabupaten, klister 3 terdapat 8 kota/kabupaten dan
kluster 4 terdapat 1 kota/kabupaten.
Tabel 4.2.5 Number of Each Cases in each Clusters

Sehingga, dari hasil analisis tersebut, berikut merupakan tabel yang


memperjelas hasil akhir dari pengelompokkan IPM pada 41 kota/kabupaten pada
Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten pada tabel berikut:
Tabel 4.2.6 Tabel Pengelompokkan Cluster IPM Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta,
dan banten?
Cluster Kota/Kabupaten
Cluster 1 Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya,
Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu,
Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Bandung Barat,
Pangandaran, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota
Cirebon, Kota Bekasi, Kota Depok, Kota Cimahi, Kota
Tasikmalaya, Kota Banjar
Cluster 2 Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat,
Jakarta Utara, Kota Tangerang Selatan
Cluster 3 Kepulauan Seribu, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak,
Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Tangerang,
Kota Cilegon, Kota Serang
Cluster 4 Ciamis

Dari hasil analisis k-clustering di atas dapat disimpulkan bahwa


pengelompokkan yang telah dilakukan menghasilkan 4 kelompok dimana pada
masing-masing kelompok terdiri dari lebih 1 anggota. Kelompok pertama merupakan
kelompok dengan angka yang paling tinggi, yaitu berisi 26 anggota Kota/kabupaten,
sedangkan pada kelompok 4 terdiri dari 1 anggota koyta, yaitu kota Ciamis.
Kemudian, melihat tabel final cluster sebelumnya diperoleh bahwa setiap kota telah
masuk ke dalam analisis dengan nilai yang baik. Baik itu bearda di nilai seimbang
antara di bawah rata-rata dengan barang yang mampu kamu bawa. hal tersebut dapat
dilihat dengan contoh, pada kelompok 3 terdapat banyak angka minus, makan cluster
3 berkelompok karena sifatnya yang mirip satu sama lain.
4.3 Pemodelan Spasial
4.3.1 Tutupan Lahan Kecamatan Berbah Tahun 2013
Setelah tutupan lahan didigitasi melalui proses digitasi secara manual
didapatkan hasil berupa peta tutupan lahan Kecamatan Berbah Tahun 2013 sebagai
berikut.
Gambar 4.3.1 Peta Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2013

Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan

Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa tutupan lahan didominasi


oleh pertanian sawah. Luasan setiap tutupan lahan dijelaskan menggunakan tabel
sebagai berikut.
Tabel 4.3.1 Luasan Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2013
No Jenis Tutupan Lahan m2 km2
1 Lahan Terbangun Non Permukiman 2545887 2.545887
2 Lahan Terbangun Permukiman 6842058 6.842058
3 Pertanian Sawah 12307724 12.30772
4 Tanah Terbuka 4087568 4.087568
5 Badan Air 780101 0.780101
Total 26563338 26.56334
Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa luas total wilayah
Kecamatan Berbah adalah 26.5 km². Tutupan lahan dengan luas terbesar yaitu
pertanian sawah seluas 12.3 km². Diikuti oleh lahan terbangun permukiman seluas
6.8 km². Luasan lahan terkecil yaitu badan air berupa sungai Kali Opak dengan
luas 0.78 km².
4.3.2 Tutupan Lahan Kecamatan Berbah Tahun 2018
Setelah tutupan lahan didigitasi melalui proses digitasi secara manual
didapatkan hasil berupa peta tutupan lahan Kecamatan Berbah Tahun 2018 sebagai
berikut.
Gambar 4.3.2 Peta Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2018

Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan

Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa tutupan lahan didominasi


oleh pertanian sawah, masih sama dengan tahun 2013. Luasan setiap tutupan lahan
dijelaskan menggunakan tabel sebagai berikut.
Tabel 4.3.2 Luasan Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2018
No Jenis Tutupan Lahan m² km²
1 Lahan Terbangun Non Permukiman 2607707 2.607707
2 Lahan Terbangun Permukiman 7706442 7.706442
3 Pertanian Sawah 11645102 11.645102
4 Tanah Terbuka 3823986 3.823986
5 Badan Air 780101 0.780101
Total 26563338 26.563338
Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan

Berdasarkan tabel di atas tutupan lahan dengan luas terbesar yaitu pertanian
sawah seluas 11.6 km². Diikuti oleh lahan terbangun permukiman seluas 7.7 km².
Luasan lahan terkecil masih sama yaitu badan air berupa sungai Kali Opak dengan
luas 0.78 km².
4.3.3 Tutupan Lahan Kecamatan Berbah Tahun 2023
Setelah tutupan lahan didigitasi melalui proses digitasi secara manual
didapatkan hasil berupa peta tutupan lahan Kecamatan Berbah Tahun 2023 sebagai
berikut.
Gambar 4.3.3 Peta Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2023

Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan

Berdasarkan peta tersebut, dapat diketahui bahwa tutupan lahan didominasi


oleh pertanian sawah, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak terjadi
perubahan luas pada tutupan lahan jenis tanah terbuka. Luasan setiap tutupan lahan
dijelaskan menggunakan tabel sebagai berikut.
Tabel 4.3.2 Luasan Tutupan Lahan Kecamatan Berbah
Tahun 2023
No Jenis Tutupan Lahan m² km²
1 Lahan Terbangun Non Permukiman 2630896 2.630896
2 Lahan Terbangun Permukiman 7878720 7.87872
3 Pertanian Sawah 11449635 11.449635
4 Tanah Terbuka 3823986 3.823986
5 Badan Air 780101 0.780101
Total 26563338 26.563338
Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan
Berdasarkan tabel di atas tutupan lahan dengan luas terbesar yaitu pertanian
sawah seluas 11.4 km². Diikuti oleh lahan terbangun permukiman seluas 7.8 km²,
yang meningkat dari periode sebelumnya. Luasan lahan terkecil masih sama yaitu
badan air berupa sungai Kali Opak dengan luas 0.78 km².
4.3.4 Perubahan Tutupan Lahan Kecamatan Berbah Tahun 2013-2023
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa terjadi
perubahan tutupan lahan di Kecamatan Berbah secara berangsur-angsur. Berikut
merupakan tabel perubahan luasan tutupan lahan Kecamatan Berbah.
Tabel Perubahan Luas Tutupan Lahan Kecamatan Berbah Tahun 2013-2023
Perubahan Perubahan Perubahan
Luas Luas Luas
2013 2018 2013-2018 2023 2018-2023 2013-2023
No Jenis Tutupan Lahan km² km² km² km² km² km²
Lahan Terbangun Non
1 Permukiman 2.545 2.607 0.061 2.630 0.023 0.085
Lahan Terbangun
2 Permukiman 6.842 7.706 0.864 7.878 0.172 1.036
3 Pertanian Sawah 12.307 11.645 -0.662 11.449 -0.195 -0.858
4 Tanah Terbuka 4.087 3.823 -0.263 3.823 0 -0.263
5 Badan Air 0.780 0.780 0 0.780 0 0
Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan
Gambar 4.3.4 Diagram Pie Luas Tutupan Lahan 2013-2023
Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan
Gambar 4.3.5 Peta Overlay Perubahan Tutupan Lahan Kecamatan Berbah

Sumber: Kelompok 2C Pemodelan Dalam Perencanaan

Dari hasil analisis di atas, terjadi dinamika perubahan luas tutupan lahan di
Kecamatan Berbah tahun 2013-2023. Perubahan tutupan lahan terbesar berada
pada jenis tutupan lahan terbangun permukiman. Lahan terbangun permukiman ini
mengalami peningkatan luas lahan sebesar 1.036 km². Sebaliknya jenis tutupan
lahan pertanian sawah karena alih fungsi lahan menjadi permukiman dengan
penurunan luas sebesar 0.858 km².
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Rusmawan, Rusmawan. "Pemilihan Lahan untuk Lokasi Permukiman." Geo Media: Majalah
Ilmiah dan Informasi Kegeografian 7.2 (2009).

Suryani, E. (2006). Pemodelan Simulasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

http://eprints.umpo.ac.id/4033/3/Bab%20II.pdf
http://e-journal.uajy.ac.id/14040/3/MTA024062.pdf
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai