Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Geologi minyak bumi adalah salah satu cabang ilmu geologi untuk
mengetahui keberadaan minyak bumi di bawah tanah, kemudian mengeksplorasi
dan memproduksinya. Secara umum ada dua jenis geologi minyak bumi, yaitu
geologi eksplorasi minyak bumi yang mencakup pencarian minyak bumi dan
geologi produksi minyak bumi. Produksi minyak bumi dalam bidang perminyakan
bukan diartikan untuk membuat minyak bumi, tetapi hanyalah membuat fasilitas
untuk mengalirkan minyak bumi dari bawah tanah keatas permukaan tanah,
dengan menggunakan pemboran dan pompa-pompa.
Operasi pemboran merupakan proses kelanjutan dari eksplorasi untuk
menginformasikan ada tidaknya kandungan minyak atau gas bumi di dalam suatu
lapisan di bawah permukaan. Sebelum dilakukan pemboran, perlu dilakukan
adanya perencanaan dan persiapan pemboran. Persiapan pemboran dilakukan
untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi saat dilakukan pemboran.
Perhitungan lag time adalah perhitungan yang dilakukan oleh mud
engineering untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan cutting untuk mencapai
permukaan. Cutting diangkat ke permukaan oleh lumpur pemboran. Lumpur
pemboran terus bersirkulasi didalam pipa selama pemboran berlangsung. Data-
data yang diperlukan adalah data volume casing, volume collar, volume pipa,
volume annulus, dan besaran pump capacity. Data-data tersebut diolah dan
kemudian menghasilkan lag time dari cutting.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui bagian-bagian dari pipa dalam lubang pemboran
2. Mengetahui rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung lagtime
3. Mengetahui tujuan dari penyemenan/cementing
1.3 Alat dan Bahan
1. Laptop
2. Clipboard
3. ATK lengkap
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada pemboran sumur minyak proses penyemenan tidak dapat dipisahkan
karena penyemanan merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu proses
pemboran. Tanpa adanya penyemenan casing yang diset dalam kedalaman
tertentu maka lubang bor berpotensi mengalami gangguan dan hal ini dapat
memperlambat proses pemboran. Penyemenan ini dilakukan untuk melekatkan
casing dengan lubang bor. Dengan cara memompakan bubur semen melalui
casing yang nantinya akan mengisi annulus. Selain untuk merekatkan casing
dengan lubang bor, fungsi semen juga dapat sebagai penutup zona loss dan juga
unutk abandonment sumur yang sudah selesai masa produksinya. Proses
penyemenan ini dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu primary cementing dan
secondary cementing (Boggs, 1987).
Adapun definisi Perhitungan lag time merupakan perhitungan yang
dilakukan oleh mud engineering untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan cutting
untuk mencapai permukaan. Cutting diangkat ke permukaan oleh lumpur
pemboran. Lumpur pemboran terus bersirkulasi di dalam pipa selama pemboran
berlangsung. Data-data yang diperlukan adalah data volume casing, volume collar,
volume pipa, volume annulus, dan besaran pump capacity (Mastoadji, 2007).
Primary cementing adalah penyemenan tahap awal setelah casing
dimasukkan ke dalam lubang bor. Pada proses primary cementing ini casing yang
disemen adalah conductor casing, surface casing, intermediate casing, dan
production casing. Proses penyemenan ini yaitu dengan memompakan bubur
semen melalui casing hingga sampai pada annulus. Pemompaan dilakukan dengan
menggunakan alat seperti float collar, top plug, bottom plug, serta alat penunjang
lainnya.
Pada penyemenan jenis-jenis casing yang berbeda akan berpengaruh pada
komposisi semen yang digunakan. Pada conductor casing kedalaman masih
dangkal sehingga penyesuaian komposisi bubur semen dapat dibuat, tujuan
penyemenan dari conductor casing ini adalah untuk mencegah adanya
kontaminasi fluida pemboran dengan formasi. Pada surface casing, penyemenan
dilakukan untuk menunjang berat dari conductor casing dan juga untuk
melindungi casing dari air tanah agar tidak tercemar dari fluida pemboran. Pada
intermediate casing, penyemenan dilakukan untuk mencegah tekanan abnormal
dan untuk menutup zona loss jika ada. Yang terakhir adalah penyemenan
production casing, penyemenan ini dilakukan untuk mecegah aliran fluida formasi
yang tidak diinginkan masuk kedalam sumur. Fungsi dari primary cementing ini,
antara lain Melekatkan casing pada formasi, Melindungi casing dari tekanan
formasi, Mencegah korosi pada casing dan mencegah adanya migrasi fluida antar
formasi. Pada proses primary cementing terdapat peralatan yang digunakan untuk
memompakan semen dari permukaan hingga bawah permukaan. Peralatan
penyemenan dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu peralatan di permukaan dan
peralatan bawah permukaan (Posamentier dan Allen, 1999).
Kegiatan penyemenan atau cementing adalah proses penempatan bubur
semen pada annulus antara casing dengan dinding sumur, kemudian didiamkan
sampai bubur semen tersebut mengeras. Pendorongan bubur semen ke dalam
sumur melalui casing, kemudian bubur semen didorong terus naik ke annulus
antara casing dengan dinding lubang ataupun ke annulus antara casing dengan
casing, dan selanjutnya bubur semen didiamkan sampai semen tersebut mengeras
hingga mempunyai sifat melekat baik terhadap casing maupun formasi. Secondary
cementing adalah kegiatan penyemenan yang dilakukan setelah tahap primary
cementing, atau dengan kata lain penyemenan tahap ke 2. Tujuan penyemenan ini
adalah memperbaiki penyemenan jika ada kerusakan pada tahap primary
cementing dan memisahkan zona produktif dengan zona non-produktif (Ward
dkk., 1995).
Bubuk semen biasanya dikemas datam karung atau sack. Dimana berat
satu sack semen pada umumnya 94 lb. Sedangkan berat jenis bubuk semen 3,12
gr/cc. Bubuk semen yang digunakan pada penyemenan minyak dan gas atau panas
bumi berbeda dengan semen yang digunakan untuk bangunan. American
Petroleum Institute (API) telah menstandarisasi bubuk semen yang digunakan
untuk penyemenan sumur minyak, gas dan panas bumi menurut kelas-kelas
tertentu.Pembagian jenis-jenis semen berdasarkan komposisi keempat komponen
mineral diatas berdasarkan API (Wolfgang et al., 2004).
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
1. Umur Minyak “Mengkarang - 1” dengan casing sedalam 3700 ft dan
diameter 30” serta bit untuk memperdalam berdiameter 20”. Diketahui
BHA 400 ft, kapasitas pompa 0,85 bbl/stk dan SPM 75 stk/menit.
a) Berapakah penambahan lumpur yang harus dilakukan pada sumur apabila
pemboran mencapai kedalaman 4500ft.
b) Berapa lama cutting yang muncul kepermukaan saat kedalaman mencapai
5500 ft
Diketahui : h casing = 3700
BHA = 400 ft
Bit = 20”
IDSCG = 28.25”
ODDC = 8”
ODDP = 5”
IDDC = 3,125”
IDDP = 4,456”
Bit = 1 feet (L3)
L1 setelah penambahan = 4500
Ditanya : Penambahan lumpur =…?
Penyelesaian : L1 = h casing – BHA
= 3700 – 400
= 3300 ft
L2 = BHA - Bit
= 400 - 1
= 399
V1 = (IDSCG)2 - (ODDP)2 x 0,000971 x L1
= (28,25)2 – (5)2 x 0,000971 x 3300
= (798,06 – 25) x 0,000971 x 3300
= 2477,116 bbl
V2 = (IDSCG)2 - (ODDC)2 x 0,000971 x L2
= (28,25)2 – (8)2 x 0,000971 x 399
= (798,062 - 64) x 0,000971 x 399
= 284,396 bbl
V3 = (IDSCG)2 - (D.bit)2 x 0,000971 x L3
= (28,25)2 – (20)2 x 0,000971 x 1
= (798,062 - 400) x 0,000971 x 1
= 33 x 0,000971 x1
= 0,3865 bbl
V total = V1+V2+V3
= 2477,116 + 284,396 + 0,3865
= 2761,8985 bbl
a). Setelah diperdalam
L1 = h casing sebelum diperdalam
= 3700 ft
L2 = kedalaman terakhir – (BHA + h.casing)
= 4500 - (3700 + 400)
= 400 ft
L3 = BHA - Tinggi Bit
= 400 - 1
= 399 ft
Jadi,
V1 = (IDSCG)2 - (ODDP)2 x 0,000971 x L1
= (28,25)2 – (5)2 x 0,000971 x 3700
= (798,06 – 25) x 0,000971 x 3700
= 773,06 x 0,000971 x 3590
= 2777,3726 bbl
V2 = (OH)2 - (ODDP) x 0,000971 x L2
= (20)2 – (5)2 x 0,000971 x 400
= (400 – 25) x 0,000971x400
= 375 x 0,000971 x 400
= 145,65 bbl
V3 = (OH) - (ODDC)2 x 0,000971 x L3
= (20)2 – (8)2 x 0,000971 x 399
= (400 – 64) x 0,000971 x 399
= 130,176 bbl
V total setelah diperdalam = V1+V2+V3
= 2777,3726 +145,65 +130,176
= 3053,1986 bbl
Setelah penambahan
L1 = h casing sebelum diperdalam
= 3700 ft
L2 = kedalaman terakhir – (BHA + h casing)
= 5500 – (3700 + 400)
= 1400 ft
L3 = BHA-Tinggi Bit
= 400 - 1
= 399 ft
Jadi,
V1 = (IDSCG)2 - (ODDP)2 x 0,000971 x L1
= (28,25)2 – (5)2 x 0,000971 x 3700
= (798,06 – 25) x 3,5927
= 773,06 x 3,48
= 2777,3726 bbl
V2 = (OH)2 - (ODDP) x 0,000971 x L2
= (20)2 – (5)2 x 0,000971 x 1400
= (400 – 25) x 0,000971 x 1400
= 470,3524 bbl
V3 = (OH) - (ODDC)2 x 0,000971 x L3
= (20)2 – (8)2 x 0,000971 x 399
= (400 – 64) x 0,000971 x 399
= 130,176 bbl
V total setelah diperdalam = V1 + V2 + V3
= 2777,3726 + 470,3524 + 130,176
= 3377,901 bbl
V total keseluruhan = setelah diperdalam + sebelum diperdalam
= 3377,901 - 2761,8985
= 616,0025 bbl
Lag Time = V total / Capacity Pump x SPM
= 616,0025 / 0,85 x 75
= 54,35 menit
3.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, praktikan bakal membahas materi tentang Lag Time.
Tapi sebelum masuk kesana, ada baiknya kita mempelajari dan mengetahui materi
tentang sistem pemboran terlebih dahulu. Pemboran terbagi atas dua, yaitu
Pemboran Eksplorasi dan Exploitasi. Pemboran Eksplorasi dan Exploitasi
merupakan cara untuk membuat koneksi dari permukaan yang menembus formasi
produktif dibawah permukaan, sehingga fluida reservoir bisa diproduksikan ke
permukaan. Tujuan utama dari operasi pemboran ini adalah untuk membuat
lubang secara cepat, ekonomis, dan aman hingga menembus formasi produktif.
Lubang dari hasil pemboran tersebut dinamakan “Well Bor” (lubang sumur).
Perhitungan lag time merupakan perhitungan yang dilakukan oleh mud
engineering untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan cutting untuk mencapai
permukaan. Cutting diangkat ke permukaan oleh lumpur pemboran. Lumpur
pemboran terus bersirkulasi di dalam pipa selama pemboran berlangsung. Data-
data yang diperlukan adalah data volume casing, volume collar, volume pipa,
volume annulus, dan besaran pump capacity.
Penyemenan atau cementing adalah proses penempatan bubur semen pada
annulus antara casing dengan dinding sumur, kemudian didiamkan sampai bubur
semen tersebut mengeras. Pendorongan bubur semen ke dalam sumur melalui
casing, kemudian bubur semen didorong terus naik ke annulus antara casing
dengan dinding lubang ataupun ke annulus antara casing dengan casing, dan
selanjutnya bubur semen didiamkan sampai semen tersebut mengeras hingga
mempunyai sifat melekat baik terhadap casing maupun formasi.
Operasi penyemenan terbagi menjadi dua, yaitu Primary Cementing dan
Secondary Cementing. Primary Cementing merupakan penyemenan yang
dilakukan pertama kali sebelum casing diturunkan kedalam lubang sumur.
Sedangkan Secondary Cementing merupakan penyemenan ulang untuk
menyempurnakan Primary Cementing atau untuk memperbaiki penyemenan yang
rusak. Pada umumnya, operasi penyemenan ini bertujuan untuk :
 Melekatkan casing pada dinding lubang sumur.
 Melindungi casing dari masalah-masalah mekanis sewaktu operasi pemboran
seperti adanya getaran.
 Melindungi casing dari fluida formasi yang bersifat korosif.
 Memisahkan zona yang satu terhadap zona yang lain dibelakang casing.
Pada Primary Cementing terdapat beberapa tahapan yang dilakukan
didalamnya, yaitu :
1) Conductor Casing
Merupakan rangkaian casing yang pertama, kedalamanya berkisar antara 10 –
300 ft tergantung dari kondisi lokasi yang akan dibor. Ukuran diameter pipa ini
antara 16 – 36 inci. Kegunaannya adalah untuk menampung drilling fluid
(mud) agar sirkulasi bisa dilakukan, serta mencegah membesarnya lobang
(washout) pada lapisan permukaan yang umumnya bersifat tidak solid /
gampang runtuh.
2) Surface Casing
Merupakan casing yang dimasukan kedalam sumur / lubag bor melalui
conductor pipe. Kedalaman dari surface casing ini sangat bergantung dari
kedalaman formasi yang tidak solid. Biasanya memiliki ukuran diameter 9 5/8
sampai 20 inci. Kegunaanya adalah melindungi formasi dari lapisan air bersih
(fresh water formation), menutup unconsolidated formation dan zona-zona lost
circulation, menyediakan tempat untuk pemasangan BOP, serta
melindungi/menjaga “build” section pada sumur berarah.
3) Intermediate Casing
Merupakan casing yang dipasang setelah surface casing yang biasanya
digunakan untuk menutup/mengatasi masalah yang akan timbul dengan
formasi selama pekerjaan pemboran. Biasanya berdiameter 9 5/8 – 13 5/8 inci.
Kegunaannya adalah untuk menutup zona-zona yang akan menimbulkan
masalah dalam pemboran (gas zones, lost circulation zones, dll).
4) Production Casing
Merupakan rangkaian pipa selubung yang terakhir dimasukkan ke dalam
lubang bor. Ukurannya sangat bergantung dari perkiraan jumlah produksi dari
sumur tersebut. Semakin tinggi produksi suatu sumur maka akan semakin besar
ukuran production casing yang akan digunakan. Diameternya berukuran antara
7 – 13 inci. Kegunaanya aadalah menyediakan tempat berkumpulnya fluida
yang akan diproduksi, memisahkan formasi produksi dengan formasi lainnya,
menghubungkan formasi produksi dengan permukaan, serta menyediakan
tempat untuk alat bantu produksi.
Pada Secondary Cementing terdapat juga beberapa tahapan didalamnya,
antara lain :
1) Squeeze Cementing
Merupakan kegiatan tahap kedua dalam penyemenan yang bertujuan untuk
memperbaiki hasil penyemenan pada primary cementing jika kurang
memuaskan dan memperbaiki kebocoran yang terjadi pada casing.
2) Re-cementing
Merupakan kegiatan penyemenan yang termasuk tahap kedua, tujuannya untuk
menyempurnakan primary cementing yang gagal (tidak sesuai dengan program
drilling) serta memperluas perlindungan casing diatas top cement.
3) Plug-back Cementing
Merupakan penyemenan tahap kedua yang terakhir dilakukan setelah primary
cementing selesai. Tujuannya untuk menutup atau meninggalkan sumur
(abandoned well), serta untuk menutup zona air agar dapat mengurangi water
oil ratio pada open hole completion.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Bagian-bagian dari pipa dalam lubang pemboran terdiri dari Drill Pipe, Drill
Collar, Casing, Bore Hole, Drill Hole, dan Bit.
2. Rumus yang digunakan untuk menghitung lag time yaitu :
volume pipa + volume collar
Lag Down =
pump capacity x SPM
volume annulus total
Lag Up =
pump capacity x SPM

Lag Time = Lag Down + Lag Up


3. Tujuan dilakukannya penyemenan adalah untuk memperbaiki penyemenan
jika ada kerusakan pada tahap primary cementing dan memisahkan zona
produktif dengan zona non-produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Boggs, S. Jr. 1987. Principles of Sedimentary and Stratigraphy. Merril Publishing
Company, Columbus.
Mastoadji, E. Kristanto. 2007. Basic Well Log Interpretation. Handout of
AAPGSC UNDIP Course.
Posamentier, H.W., Allen, G.P. 1999. Siliciclastic Sequence Stratigraphy:
Concepts and Applications. SEPM Concepts in Sedimentology and
Paleontology. No. 7, 209 p.
Ward, W., Keller G., Stinnesbeck W., Adatte T. 1995. Yucatan Subsurface
Revisited: Implications and Constraints For The Chicxulub Meteor Impact.
Geology 23:873–876.
Wolfgang, Stinnesbeck, et al. 2004. Yaxcopoil-1 and the Chicxulub Impact.
International Journal of Earth Sciences GR Geologische Rundschau.
Published online: 29 October 2004. Springer-Verlag.net

Anda mungkin juga menyukai