Anda di halaman 1dari 22

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA

NEONATORUM
DI RUANG NICU RSUD SANJIWANI GIANYAR

Oleh:

PUTU LIAWAN
NIM. 239013088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI DENGAN ASFIKSIA
NEONATORUM

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin
meningkatnya CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut (Jumiarni, Mulyati, & S., 2012). Asfiksia Neonatorum
biasanya disertai dengan keadaan hipoksia, hiperkarbia dan asidosis.
Asfiksia dapat terjadi karena kurangnya kemampuan organ pernapasan
bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti mengembangkan paru (Sudarti
& Fauziah, 2013).
Berdasarkan beberapa literatur diatas definisi Asfiksia merupakan
kegagalan bayi baru lahir untuk melanjutkan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir biasanya disertai dengan keadaan hipoksia,
hiperkarbia, dan asidosis yang disebabkan oleh kurangnya kemampuan
organ pernapasan dalam mengembangkan paru sehingga menurunkan O2
dan meningkatnya CO2.

2. Epidemilogi
Angka kejadian asfiksia pada masing-masing negara sangat
beragam. WHO melaporkan insidens asfiksia bervariasi antara 2-27 per
1000 kelahiran, tergantung pada lokasi, periode, dan kriteria definisi
asfiksia yang digunakan. Asfiksia dilaporkan terjadi pada 1-4 per 1000
kelahiran hidup di negara maju dan 4 - 9 per 1000 kelahiran hidup di
negara berkembang. Keadaan ini diperkirakan menyebabkan 21%
kematian bayi, terutama di negara berkembang (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2019).
3. Etiologi
Penyebab secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran
pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, dan persalinan
atau segera setelah lahir. Penyebab kegagalan pernapasan pada bayi
sebagai berikut (Cahyanti, 2018):
a. Faktor Ibu
Terdapat gangguan pada aliran darah ke uterus sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran O2 ke plasenta dan janin. Sering dijumpai pada
gangguan kontraksi uterus misalnya pre-eklamsia dan hipertensi
eklamsi, perdarahan abnormal (plasenta previa dan solusio plasenta),
partus lama atau macet, demam selama persalinan, infeksi berat,
kehamilan postmatur, dan penyakit ibu.
b. Faktor Plasenta
Penurunan pasokan oksigen ke bayi sehingga dapat menyebabkan
asfiksia pada bayi baru lahir antara lain lilitan tali pusat, tali pusat
pendek, simpul tali pusat, dan prolapsus tali pusat.
c. Faktor Fetus
Gangguan ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbang,
tali pusat melilit leher, meconium kental, prematuritas, dan persalinan
ganda.
d. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi
dikarenakan oleh pemakaian obat seperti anestesi atau analgetika yang
berebihan pada ibu yang secara langsung dapat menimbulkan depresi
pada pusat pernapasan janin. Asfiksia yang dapat terjadi tanpa
didahului dengan tanda gejala gawat janin antara lain bayi prematur
(sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan
(sungsang, bayi kembar, distoria bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi
forsep/trauma dari luar), kelainan kongenital, air ketuban bercampur
mekonium (warna kehijauan).
4. Patofisiologi
Pada proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang
bersifat sementara, proses ini perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat
pernafasan primary gasping yang kemudian berlanjut pernafasan teratur.
Sifat asfiksia ini tidak berpengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat
mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan berkurangnya O2
dan meningkatkannya CO2 diikuti oleh asidosis respiratorik. Apabila
proses ini berlanjut maka metablisme sel akan berlangsung yang berupa
glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen pada jantung dan hati
akan berkurang dan akan menyebabkan asidosis metabolik (Wulandari,
2017).
Sehubungan dengan proses tersebut maka fase awal asfiksia
ditandai dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode
hiperapnue) diikuti dengan apnea primer kira – kira satu menit dimana
denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan memulai
bernafas (gasping) 10x/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin
melemah sehingga akan timbul apneu sekunder. Pada keadaan ini tidak
terlihat jelas setelah dilakukannya pembersihan jalan nafas maka bayi akan
bernafas dan menangis kuat (Wulandari, 2017).
Pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam waktu singkat
dapat menyebabkan hipoglikemi pada bayi, pada asfiksia berat dapat
menyebabkan kerusakan membran sel terutama susunan sel saraf pusat
sehingga mengakibatan gangguan elektrolit, hiperkalemi dan
pembengkakan sel. Kerusakan pada sel otak berlangsung setelah asfiksia
terjadi 8-10 menit. Manifestasi kerusakan sel otak setelah terjadi pada 24
jam pertama didapatkan gejala seperti kejang subtel, fokal klonik
manifestasi ini dapat muncul sampai hari ke tujuh maka perlu
dilakukannya pemeriksaan penunjang seperti USG kepala dan rekaman
EEG (Wulandari, 2017).
5. Pathway

Pemakaian anestesi Persalinan lama, Perdarahan


atau analgetik yg partus macet, lilitan abnormal, plasenta
berlebihan tali pusat, tali pusat previadan solusio
menumbang plasenta

Penurunan Gangguan kontraksi


pasokan O2 uterus preeklamsia &
eklamsia

Persalinan dgn tindakan


Asfiksia sunsang, bayi kembar,
distoria bahu

Janin kekurangan O2 & CO2 Paru-paru terisi cairan

Nafas cepat MK : Bersihan Jalan


Suplai O2 Suplai O2 Napas Tidak Efektif
keparu dlm darah
Apnea

Kerusakan MK : Resiko Termoregulasi


DJJ dan TD otak Tidak Efektif

MK : Pola Nafas
Janin tdk bereaksi MK : Resiko
Tidak Efektif Gangguan
thd rangsangan cidera
metabolisme &
perubahan asam basa

MK : Gangguan Gangguan perfusi Asidosis respiratorik


pertukaran gas ventilasi
6. Klasifikasi
Klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 bagian, yaitu sebagai
berikut (Ayuningtias, 2019):
a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit
kebiru – biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih
positif, bunyi jantung regular, prognosis lebih baik.
b. Asfiksia Pallida yaitu asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat,
tonus otot kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irregular,
dan prognosis jelek.
Tabel 1.1 Klasifikasi Asfiksia Berdasarkan APGAR Score
Umur Kehamilan.......minggu
Tanda 0 1 2 1 5 10 15 20
menit menit menit menit menit
Frekuensi >
Tidak Ada < 100x/Menit
Jantung 100x/Menit
Lambat, Menangis
Pernafasan Tidak Ada
Tidak Teratur Kuat
Ekstremitas Gerakan
Tonus Otot Lemas
Fleksi Sedikit Aktif
Refleks Gerakan
Tidak Ada Menangis
Rangsangan Sedikit
Tubuh
Tubuh &
Kemerahan,
Warna Kulit Biru/Pucat Ektremitas
Ekstremitas
Kemerahan
Biru
Total
Keterangan :
1) Nilai 0-3 : Asfiksia berat
2) Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
3) Nilai 7-10 : Normal

Sumber: (Fida & Maya, 2012).


Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5,
bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5
menit sampai skor mencapai 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor apgar).
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan menjadi (Fida & Maya, 2012):
a. Bayi normal atau tidak asfiksia: Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak
memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali.
b. Asfiksia Ringan (Vigorus Baby): Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap
sehat, dan tidak memerlukan tindakan istimewa, tidak memerlukan
pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
c. Asfiksia Sedang (Mild Moderate Asphyksia): Skor APGAR 3-4. Pada
Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung >100x/menit, tonus
otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada dan
memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen sampai bayi
dapat bernafas normal.
d. Asfiksia Berat: Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara
aktif dan pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis,
maka perlu diberikan natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg
berat badan, dan cairan glukosa 40% 1-2 ml/kg berat badan, diberikan
lewat vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung <100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-
kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

7. Gejala Klinis
Menurut (Wulandari, 2017) manifestasi klinis dari asfiksia yaitu
sebagai berikut:
a. Pada Kehamilan
1) Jika DJJ normal dan mekonium: Janin mulai asfiksia
2) Jika DJJ 160x/ menit ke atas dan ada mekonium: Janin sedang
asfiksia
3) Jika DJJ 100x/menit ke bawah ada mekonium: Janin dalam status
gawat
b. Pada Bayi Setelah Lahir
1) Bayi pucat dan kebiru-biruan
2) Usaha bernapas minimal atau tidak ada
3) Hipoksia
4) Asidosis metabolik dan respiratori
5) Perubahan fungsi jantung
6) Kegagalan sistem multiorgan

8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) pemeriksaan diagnostik yang
dilakukan pada pasien asfiksia yaitu berupa pemeriksaan:
a. Analis Gas Darah (AGD)
b. Elektrolit Darah
c. Gula Darah
d. Baby gram (RO dada)
e. USG (Kepala)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosisa asfiksia pada bayi baru lahir menurut (Sudarti & Fauziah,
2013), yaitu:
a. Denyut jantung janin
Frekuensi normal adalah antara 120-160 x/ menit. Selama his frekuensi
ini bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula.
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya,
akan tetapi apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 semenit di luar
his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal ini merupakan tanda bahaya.
b. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenasi
dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air
ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
c. Pemeriksaan darah janin
Alat yang digunakan: amnioskop yang dimasukkan lewat serviks
dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah
janin. Darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan
turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7.2, hal itu
dianggap sebagai tanda bahaya. Selain itu kelahiran bayi yang telah
menunjukkan tanda-tanda gawat janin mungkin disertai dengan
asfiksia neonatorum, sehingga perlu diadakan persiapan untuk
menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia, tingkatnya perlu
dikenal untuk dapat melakukan resusitasi yang sempurna. Untuk hal
ini diperlukan cara penilaian menurut APGAR.
d. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin meliputi hemoglobin/hematokrit (Hb/Ht):
kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%) dan serum elektrolit. Hasil
analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali
pusat jika: PaO2 < 50 mm H2o, PaCO2 > 55 mm H2.
e. Tes combs langsung pada daerah tali pusat
Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel
darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik.

9. Therapy
a. Penatalaksanaan asfiksia menurut (Surasmi, Handayani, & Kusuma,
2003) adalah:
1) Memberikan jalan napas dengan penghisapan lendir dan kassa
steril.
2) Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptik.
3) Apabila bayi tidak menangis, maka lakukan sebagai berikut:
a) Rangsangan taktil dengan cara menepuk – nepuk kaki,
mengelus-elus dada, perut dan punggung.
b) Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan
resusitasi mouth to mouth.
c) Pertahankan suhu tubuh agar tidak memperburuk keadaan
asfiksia dengan cara: membungkus bayi dengan kain hangat,
badan bayi harus dalam keadaan kering, jangan memandikan
bayi dengan air dingin gunakan minyak atau baby oil untuk
membersihkan tubuh bayi, kepala bayi ditutup dengan baik
atau menggenakan topi.
4) Apabila nilai APGAR pada menit ke 5 sudah baik (7-10) lakukan
perawatan selanjutnya: bersihkan badan bayi, perawatan tali pusat,
pemberian ASI sedini mungkin dan adekuat, melaksanakan
antromentri dan pengkajian kesehatan, memasang pakaian bayi dan
mengenakan tanda pengenal bayi.

b. Penatalaksanaan Resusitasi
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi
baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan
resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
dengan ABC resusitasi (Nule, 2018):
1) Memastikan saluran nafas terbuka:
a) Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b) Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
c) Bila perlu masukan ET (endotracheal tube) untuk memastikan
pernapasan terbuka
2) Memulai pernapasan:
a) Lakukan rangsangan taktil
Beri rangsangan taktil dengan menyentil atau menepuk telapak
kaki. Lakukan penggosokan punggung bayi secara cepat,
mengusap atau mengelus tubuh, tungkai dan kepala bayi.
b) Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3) Mempertahankan sirkulasi darah:
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi
dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan.
Penatalaksanaan resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan
khusus:
1) Tindakan Umum
a) Bersihkan jalan nafas: Kepala bayi diletakkan lebih rendah agar
lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk
membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih
dalam.
b) Rangsang refleks pernafasan: dilakukan setelah 20 detik bayi
tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua
telapak kaki menekan tanda achilles.
c) Mempertahankan suhu tubuh.
2) Tindakan Khusus
a) Asfiksia Berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan
tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi
endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg.
Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan
bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-
20 % dengan dosis 2- 4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan
kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi
obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak
telah berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul
setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali
inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi
jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan
frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi
tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi
tekanan diikuti oleh 3 kali kompresi dinding toraks, jika
tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin
hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang
belum dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia
diafragmatika atau stenosis jalan nafas.
b) Asfiksia Sedang atau Ringan
Berikan stimulasi agar timbul reflek pernapasan, bila dalam
waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi
aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter
O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam
posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan
membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu
keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil
diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi
memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan
mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak
dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan
tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan,
ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari
mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada
ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi
dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30
kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang
mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika
setelah dilakukan berberapa saat terjadi penurunan frekuensi
jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus
segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera
diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan
pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan
adekuat.

c. Discharge Planning
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan,
persalinan, dan beberapa saat setelah persalinan. Adapun beberapa
pencegahan berupa (Nurarif & Kusuma, 2015):
1) Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4x kunjungan.
2) Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
lengkap pada kehamilan yang diduga beresiko bayinya lahir
dengan asfiksia neonatorum.
3) Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada
usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
4) Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan
deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan
dengan kardiografi.
5) Meningkatkan keterampilan tenaga obstetric dalam penanganan
asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan
kesehatan.
6) Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan
penanganan persalinan.
7) Melakukan perawatan neonatal esensial yang terdiri dari:
a) Persalinan yang bersih dan aman
b) Stabilisasi suhu
c) Inisiasi pernapasan spontan
d) Inisiasi menyusu dini
e) Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi
8) Setelah persalinan ajarkan pada pasien dan keluarga dalam:
a) Meningkatkan upaya kardiovaskuler efektif
b) Memberikan lingkungan termonetral dan mempertahankan
suhu tubuh
c) Mencegah cidera atau komplikasi
d) Meningkatkan kedekatan orang tua dan bayi
e) Beri asupan cukup ASI sesering mungkin setelah keadaan
memungkinkan

10. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatorum antara lain
(Wulandari, 2017):
a. Hipoksia dan iskemia otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi renjatan neonates, sehingga aliran darah ke
otak pun akan menurun, keadaan ini akan menyebabkan hipoksia dan
iskemik otak.
b. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah
jantung akan terganggu sehingga darah yang seharusnya dialirkan ke
ginjal menurun. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pengeluaran
urine menjadi sedikit.
c. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan pada otak.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut Hidayat (2008) dalam (Cahyanti, 2018) pengkajian yang
dilakukan pada bayi dengan asfiksia neonatorum adalah sebagai berikut:
a. Identitas
Nama bayi, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak keberapa
dan identitas orang tua. Yang lebih ditekankan pada umur bayi karena
berkaitan dengan diagnosa asfiksia neonatorum.
b. Keluhan Utama
Sesak napas dikarenakan kesulitan akibat bersihan jalan napas atau
hipoksia janin akibat otot pernapasan kurang optimal.
c. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kaji riwayat prenatal, natal, neonatal, postnatal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah keluarga pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit
lainnya.
e. Kebutuhan Dasar
1) Pola nutrisi
Pola nutrisi pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral
karena organ tubuh terutama lambung yang belum sempurna,
selain itu bertujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumoni.
2) Pola eliminasi
Mengalami gangguan BAB karena organ tubuh terutama
perncernaan yang belum sempurna pada bayi.
3) Kebersihan diri
Perawat dan keluarga bayi harus menjaga kebersihan terutama saat
BAB dan BAK.
4) Pola tidur
Biasanya terganggu karena bayi mengalami sesak napas.
f. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Kepala dan Rambut
Pemeriksaan kepala, ubun-ubun (raba adanya cekungan atau cairan
dalam ubun-ubun), sutura (pada perabaan sutura masih terbuka),
molase, periksa hubungan dalam letak dengan mata dan kepala.
Ukur lingkar kepala dimulai dari lingkar skdipito sampai frontal.
2) Mata
Buka mata bayi dan lihat apakah ada tanda-tanda infeksi atau pus.
Bersihkan kedua mata bayi dengan lidi kapas DTT. Berikan salf
mata kepala.
3) Hidung & Mulut
Periksa bibir dan langitan sumbing, refleks hisap, dinilai saat bayi
menyusui.
4) Telinga
Periksa hubungan letak dengan mata dan kepala.
5) Dada
Periksa bunyi nafas dan detak jantung. Lihat adakah tarikan
dinding dada dan lihat puting susu (simetris atau tidak).
6) Abdomen
Palpasi perut apakah ada kelainan dan keadaan tali pusat.
7) Punggung
Untuk mengetahui keadaan tulang belakang periksa reflek di
punggung dengan cara menggoreskan jari kita di punggung bayi,
bayi akan mengikuti gerakan dari goresan jari kita.
8) Genetalia
Untuk laki-laki periksa apakah testis sudah turun kedalam skrotum.
Untuk perempuan periksa labia mayor dan minor apakah vagina
berlubang dan uretra berlubang.
9) Leher
Periksa adanya pembesaran kelenjar thyroid.
10) Ekstremitas
Hitung jumlah jari tangan bayi.
11) Integumen
Lihat warna kulit dan bibir setra tanda lahir. Lembut, fleksibel,
pengelupasan tangan/ kaki dapat terlihat, warna merah muda atau
kemerahan, mungkin belang-belang menunjukkan memar minor
(misal: kelahiran dengan forseps), atau perubahan warna herlequin,
petekie pada kepala/ wajah (dapat menunjukkan peningkatan
tekanan berkenaan dengan kelahiran atau tanda nukhal), bercak
portwine, nevi telengiektasis (kelopak mata, antara alis mata, atau
pada nukhal) atau bercak mongolia (terutama punggung bawah dan
bokong) dapat terlihat. Abrasi kulit kepala mungkin ada
(penempatan elektroda internal)
12) Sirkulasi
a) Nadi apikal dapat berfluktuasi dari 110 sampai 180 x/mnt.
Tekanan darah 60 sampai 80 mmHg (sistolik), 40 sampai 45
mmHg (diastolik).
b) Bunyi jantung, lokasi di mediasternum dengan titik intensitas
maksimal tepat di kiri dari mediastinum pada ruang intercosta
III/IV.
c) Murmur biasa terjadi di selama beberapa jam pertama
kehidupan.
d) Tali pusat putih dan bergelatin, mengandung 2 arteri dan 1
vena.
13) Neurosensori
a) Tonus otot: fleksi hipertonik dari semua ekstremitas.
b) Sadar dan aktif mendemonstrasikan refleks menghisap selama
30 menit pertama setelah kelahiran (periode pertama
reaktivitas). Penampilan asimetris (molding, edema,
hematoma).
c) Menangis kuat, sehat, nada sedang (nada menangis tinggi
menunjukkan abnormalitas genetik, hipoglikemi atau efek
narkotik yang memanjang)
14) Pernafasan
a) Skor APGAR: 1 menit....5 menit skor optimal harus antara 7-
10.
b) Rentang dari 30-60 permenit, pola periodik dapat terlihat.
c) Bunyi nafas bilateral, kadang-kadang krekels umum pada
awalnya silindrik thorak: kartilago xifoid menonjol, umum
terjadi.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi
neuromuskular
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
d. Resiko cidera berhubungan dengan terpapar zat kimia toksik
e. Resiko termoregulasi tidak efektif berhubungan dengan kebutuhan
oksigen meningkat

3. Rencana Tindakan

No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi


1 Bersihan jalan nafas tidak Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor frekuensi,
efektif b.d disfungsi keperawatan selama …x24 irama, kedalaman,
neuromuskular jam diharapkan bersihan dan upaya napas.
jalan napas meningkat 2. Monitor pola napas
dengan kriteria hasil: (bradipneu, takipneu,
1. Mekonium menurun hiperventilasi,
2. Sianosis menurun kussmaul)
3. Dipsnea menurun 3. Palpasi kesimetrisan
4. Frekuensi napas ekspansi paru.
membaik 4. Aukultasi bunyi
5. Pola napas membaik napas.
5. Monitor saturasi
oksigen.
6. Monitor nilai AGD.
7. Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15 detik.
8. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal.
9. Beri oksigen, bila
perlu.
2 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor kecepatan
b.d ketidakseimbangan keperawatan selama …x24 aliran oksigen.
perfusi ventilasi jam diharapkan pertukaran 2. Monitor posisi alat
gas meningkat dengan terapi oksigen.
kriteria hasil: 3. Monitor tanda-tanda
1. Tingkat kesadaran hipoventilasi.
meningkat. 4. Monitor status respirasi
2. PCO2 membaik. dan oksigenasi.
3. PO2 membaik. 5. Identifikasi adanya
4. Sianosis membaik. kelelahan otot bantu
5. Warna kulit membaik. napas.
6. Fasilitasi mengubah
posisi senyaman
mungkin.
7. Berikan tambahan
oksigen, bila perlu.
8. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen.
3 Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor posisi
hambatan upaya napas keperawatan selama …x24 selang ETT
jam diharapkan pola napas terutama setelah
membaik dengan kriteria mengubah posisi.
hasil: 2. Pasang OPA untuk
1. Ventilasi semenit mencegah ETT
meningkat. tergigit.
2. Kapasitas vital 3. Berikan pre
meningkat. oksigenasi (bagging
3. Dipsnea menurun. atau ventilasi
4. Frekuensi napas mekanik) 1,5 kali
membaik. volume tidal.
5. Kedalaman napas 4. Tempatkan pada
membaik. posisi terapeutik.
5. Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15
detik.
6. Atur posisi untuk
meningkatkan
drainage.
4 Resiko cidera b.d terpapar Setelah dilakukan asuhan 1. Identifikasi resiko
zat kimia toksik keperawatan selama …x24 biologis, lingkungan
jam diharapkan tingkat cidera dan perilaku.
menurun dengan kriteria 2. Identifikasi obat yang
hasil: menyebabkan cidera.
1. Kejadian cidera 3. Anjurkan slalu
menurun. mengawasi bayi.
2. Frekuensi nadi 4. Ajarkan keluarga
membaik. tentang tanda dan gejala
3. Frekuensi napas infeksi.
membaik. 5. Bebaskan dari cidera
4. Denyut jantung apikal dan komplikasi.
dan radialis membaik.
5 Resiko termoregulasi tidak Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor tanda-tanda
efektif b.d kebutuhan keperawatan selama …x24 vital bayi (terutama
oksigen meningkat jam diharapkan termoregulasi suhu 36,5℃C –
membaik dengan kriteria 37,5℃C).
hasil: 2. Monitor perkembangan
1. Pucat menurun. neonatus.
2. Takikardia menurun. 3. Ajarkan cara
3. Takipneu menurun. pengukuran suhu.
4. Dasar kuku sianolik 4. Anjurkan menciptakan
menurun. lingkungan yang
5. Hipoksia menurun. nyaman.
6. Suhu tubuh membaik. 5. Ajarkan memilih lokasi
7. Ventilasi membaik. pengukuran suhu oral
atau aksila.
6. Ajarkan cara membaca
hasil thermometer air
raksa ataupun
elektronik.
Sumber: (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016), (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,
2018), (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018)

4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah tahapan akhir yang ada di dalam
proses keperawatan dimana tujuan dari evaluasi adalah untuk menilai
apakah tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak.
Untuk mengatasi suatu masalah dari klien pada tahap evaluasi ini perawat
dapat mengetahui seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan,
dan pelaksanaan sudah tercapai yang telah dilakukan oleh perawat (Ilmi,
Saraswati, & Hartono, 2019).
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtias, R. W. (2019). Hubungan Paritas dan Umur Kehamilan Dengan


Kejadian Asikfia Neonatorum Di RSUD Sleman Tahun 2019.
Cahyanti, Y. D. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Bayi Asfiksia Neonatorum
Dengan Ketidakefetifan Bersihan Jalan Nafas Di Ruang Perinatologi
Rumah Sakit Umum Daerah Bangil Pasuruan.
Fida, & Maya. (2012). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Yogyakarta: D Medika.
Ilmi, M. N., Saraswati, R., & Hartono, H. (2019). Analisis Asuhan Keperawatan.
331-339.
Jumiarni, D., Mulyati, S., & S., N. (2012). Asuhan Keperawatan Perinatal.
Jakarta: EGC.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/214/2019 Tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Asfiksia.
Nule, M. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Bayi Ny. E. N Dengan Asfiksia
Sedang Di Ruangan Nicu Rsud. Prof Dr. W. Z Johanes Kupang.
Nurarif, & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jakarta: Mediaction.
Sudarti, & Fauziah, A. (2013). Asuhan Neonatus: Risiko Tinggi dan Kegawatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Surasmi, A., Handayani, S., & Kusuma, H. N. (2003). Perawatan Bayi Resiko
Tinggi. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Wulandari, D. A. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Klien Asfiksia Neonatorum
Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Di Ruang
Perinatologirumah Sakit Umum Daerah Bangil Pasuruan.

Anda mungkin juga menyukai