Anda di halaman 1dari 4

YAYASAN ADI UPAYA

UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA


(UNSURYA)
Jl. Protokol Halim Perdana Kusuma, Komplek Bandara Halim P K - Jakarta 13610
Telp. (021) 8093475 - 8009246 - 8009249 Faks. (021) 8009246
e-mail : sekretariat@universitassuryadarma.ac.id

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH : SOSIOLOGI HUKUM


DOSEN : Dr. SUDARTO, S.H., M.Kn.,
M.H. PROG. STUDI/SMT : HUKUM MAGISTER/I
HARI/TANGGAL : SABTU/ 28 FEBRUARI 2023

Perhatian :

1. Tulis Nama, NPM, Kelas, Nama Dosen


2. Baca semua soal dengan baik dan teliti sebelum menjawab.
3. Jawaban tulis tangan/Ketik

Note : File bentuk PDF dan Dihimpun oleh Ketua Kelas

NAMA: DRG ANDREUW SUNARJO,SKG,SH,MSC ORTODONTHY


NPM : 231189003
KELAS: G
SOAL

1. Carilah salah satu contoh Korupsi dan Etika Hukum, kemudian buatlah analisis saudara mengenai Kasus
tersebut dalam Perspektif Sosiologi Hukum
2. Buatlah kajian saudara tentang Faktor-faktor Sosial dalam Sistem Peradilan dan Isu Ketidaksetaraan kelas
sosial, etnisitas, gender yang mempengaruhi proses peradilan Indonesia
3. Berikan salah satu contoh kasus konkret di mana konflik sosial telah memunculkan permasalahan hukum,
kemudian saudara analisis hukum yang digunakan dalam konteks kasus tersebut untuk menyelesaikan
konflik tersebut?

SELAMAT MENGERJAKAN

JAWABAN:

1. Salah satu contoh kasus korupsi yang cukup terkenal di Indonesia adalah kasus korupsi e-KTP yang
melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI. Dalam kasus ini, Setya Novanto dinyatakan bersalah
karena terbukti menerima suap sebesar 7,3 juta dolar AS terkait proyek pengadaan e-KTP. Kasus ini
menunjukkan pelanggaran etika hukum karena Setya Novanto, sebagai pejabat publik, seharusnya
menjalankan tugasnya dengan integritas dan tidak menyalahgunakan posisinya untuk keuntungan
pribadi.Dalam perspektif sosiologi hukum, kasus korupsi e-KTP ini menunjukkan bagaimana hukum dan
masyarakat saling berinteraksi. Pertama, kasus ini menunjukkan bahwa korupsi dapat terjadi di semua
tingkat masyarakat, bahkan di tingkat paling tinggi pemerintahan. Ini menunjukkan adanya masalah
struktural dalam masyarakat dan sistem hukum yang memungkinkan korupsi terjadi.Kedua, reaksi
masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan bagaimana hukum dapat mempengaruhi norma dan nilai-nilai
dalam masyarakat. Banyak orang merasa marah dan kecewa dengan kasus ini, yang menunjukkan bahwa
masyarakat umumnya tidak menerima korupsi dan menganggapnya sebagai pelanggaran norma
sosial.Ketiga, penegakan hukum dalam kasus ini menunjukkan bagaimana hukum dapat digunakan sebagai
alat untuk mengendalikan perilaku dan mempertahankan ketertiban sosial. Penyelidikan dan pengadilan
kasus ini menunjukkan bahwa hukum dapat digunakan untuk menangani korupsi dan menegakkan
akuntabilitas pejabat publik.Namun, kasus ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum sering kali
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik. Meskipun Setya Novanto dinyatakan bersalah, banyak
orang merasa bahwa banyak pejabat lain yang terlibat dalam kasus ini belum diadili. Ini menunjukkan
bahwa hukum tidak selalu diterapkan secara adil dan merata, dan bahwa penegakan hukum dapat
dipengaruhi oleh kekuatan politik dan sosial.
Kasus korupsi e-KTP yang melibatkan Setya Novanto dapat dianalisis dalam perspektif sosiologi hukum
sebagai berikut:
A. Interaksi Hukum dan Masyarakat: Kasus ini menunjukkan bagaimana hukum dan masyarakat saling
berinteraksi. Korupsi e-KTP terjadi di tingkat pemerintahan yang tinggi, menunjukkan bahwa korupsi dapat
terjadi di semua tingkat masyarakat. Ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam masyarakat dan
sistem hukum yang memungkinkan korupsi terjadi.
B. Reaksi Masyarakat terhadap Hukum: Reaksi masyarakat terhadap kasus ini menunjukkan bagaimana
hukum dapat mempengaruhi norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Banyak orang merasa marah dan
kecewa dengan kasus ini, yang menunjukkan bahwa masyarakat umumnya tidak menerima korupsi dan
menganggapnya sebagai pelanggaran norma sosial.
C. Penegakan Hukum: Penegakan hukum dalam kasus ini menunjukkan bagaimana hukum dapat digunakan
sebagai alat untuk mengendalikan perilaku dan mempertahankan ketertiban sosial. Penyelidikan dan
pengadilan kasus ini menunjukkan bahwa hukum dapat digunakan untuk menangani korupsi dan
menegakkan akuntabilitas pejabat publik.
D. Pengaruh Sosial dan Politik terhadap Hukum: Meskipun Setya Novanto dinyatakan bersalah, banyak orang
merasa bahwa banyak pejabat lain yang terlibat dalam kasus ini belum diadili. Ini menunjukkan bahwa
hukum tidak selalu diterapkan secara adil dan merata, dan bahwa penegakan hukum dapat dipengaruhi oleh
kekuatan politik dan sosial
Dengan demikian, kasus korupsi e-KTP menunjukkan bagaimana hukum, masyarakat, dan politik saling
berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks korupsi di Indonesia.

2. Faktor-faktor sosial dalam sistem peradilan dan isu ketidaksetaraan kelas sosial, etnisitas, dan gender yang
mempengaruhi proses peradilan di Indonesia dapat dianalisis sebagai berikut:
A. Faktor Ekonomi: Kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi dapat mempengaruhi akses individu ke
sistem peradilan. Orang yang miskin mungkin tidak mampu membayar biaya hukum atau mendapatkan
representasi hukum yang memadai. Selain itu, kebijakan ekonomi yang memihak kelompok tertentu
dapat menciptakan ketimpangan dalam masyarakat, yang dapat mempengaruhi bagaimana hukum
diterapkan dan ditegakkan
B. Faktor Sosial dan Budaya: Norma-norma sosial dan budaya juga dapat mempengaruhi sistem peradilan.
Misalnya, norma gender dapat mempengaruhi bagaimana kasus yang melibatkan perempuan atau laki-
laki ditangani dalam sistem peradilan. Diskriminasi berdasarkan etnisitas atau ras juga dapat
mempengaruhi bagaimana individu dari kelompok tertentu diperlakukan dalam sistem peradilan
C. Faktor Politik: Kekuasaan politik dan status sosial dapat mempengaruhi bagaimana hukum diterapkan
dan ditegakkan. Misalnya, individu atau kelompok dengan kekuasaan politik atau status sosial tinggi
mungkin dapat mempengaruhi proses peradilan untuk keuntungan mereka
D. Faktor Sejarah: Sejarah kolonialisme, diskriminasi, dan ketidaksetaraan dapat mempengaruhi
bagaimana hukum diterapkan dan ditegakkan di Indonesia. Misalnya, sejarah diskriminasi terhadap
kelompok etnis tertentu dapat mempengaruhi bagaimana mereka diperlakukan dalam sistem peradilan
Isu-isu ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial
dan struktural. Untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan setara, perlu ada upaya untuk
mengatasi ketidaksetaraan ekonomi, sosial, dan politik, serta diskriminasi berdasarkan kelas, etnisitas,
dan gender
Ketidaksetaraan kelas sosial dapat mempengaruhi proses peradilan di Indonesia dalam beberapa cara:
Akses ke Keadilan
A. Orang-orang dari kelas sosial yang lebih rendah mungkin menghadapi hambatan dalam mengakses sistem
peradilan. Misalnya, mereka mungkin tidak mampu membayar biaya hukum atau mendapatkan representasi
hukum yang memadai. Hal ini dapat mengakibatkan mereka tidak mendapatkan keadilan yang layak atau
bahkan tidak dapat menuntut hak mereka sama sekali
B. Perlakuan dalam Sistem Peradilan: Orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi, seperti orang-orang
kaya atau terdidik, mungkin mendapatkan perlakuan yang lebih baik dalam sistem peradilan. Mereka
mungkin memiliki lebih banyak sumber daya untuk membela diri dan mungkin lebih mungkin untuk
mendapatkan hasil yang menguntungkan
C. Penegakan Hukum: Hukum mungkin ditegakkan dengan cara yang berbeda tergantung pada kelas sosial
seseorang. Misalnya, orang-orang dari kelas sosial yang lebih rendah mungkin lebih mungkin untuk
dituntut atau dihukum, sementara orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi mungkin lebih mungkin
untuk menghindari hukuman
D. Persepsi Masyarakat terhadap Hukum: Ketidaksetaraan kelas sosial juga dapat mempengaruhi bagaimana
masyarakat memandang hukum dan sistem peradilan. Misalnya, jika orang-orang merasa bahwa hukum
tidak ditegakkan secara adil atau bahwa orang-orang kaya atau berkuasa dapat menghindari hukuman, ini
dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan sistem peradilan
Untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan setara, perlu ada upaya untuk mengatasi ketidaksetaran kelas
sosial dan memastikan bahwa semua orang, terlepas dari kelas sosial mereka, memiliki akses yang sama ke
keadilan dan diperlakukan secara adil dalam sistem peradilan
\
3. Salah satu contoh kasus konkret di mana konflik sosial telah memunculkan permasalahan hukum adalah
kasus Nenek Asyani. Nenek Asyani adalah seorang wanita tua yang dihukum karena mencuri kayu. Kasus ini
menunjukkan bagaimana hukum dapat diterapkan dengan cara yang berbeda tergantung pada status sosial dan
ekonomi seseorang.Dalam konteks kasus ini, hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan konflik. Namun,
penegakan hukum dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan dalam sistem
peradilan. Meskipun Nenek Asyani secara teknis melanggar hukum dengan mencuri kayu, hukumannya tampak
berlebihan jika dibandingkan dengan hukuman untuk kejahatan yang lebih serius, seperti korupsi, yang sering kali
dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi. Kasus ini menunjukkan bagaimana ketidaksetaraan
sosial dan ekonomi dapat mempengaruhi bagaimana hukum diterapkan dan ditegakkan. Meskipun hukum
seharusnya diterapkan secara adil dan merata, dalam praktiknya, orang-orang dari kelas sosial yang lebih rendah
sering kali mendapatkan hukuman yang lebih berat untuk kejahatan yang relatif kecil, sementara orang-orang dari
kelas sosial yang lebih tinggi sering kali dapat menghindari hukuman untuk kejahatan yang lebih serius. Untuk
menciptakan sistem peradilan yang adil dan setara, perlu ada upaya untuk memastikan bahwa hukum diterapkan
dan ditegakkan secara adil dan merata, terlepas dari status sosial atau ekonomi seseorang
Kasus Nenek Asyani yang dihukum karena mencuri kayu untuk kebutuhan hidupnya merupakan contoh konflik
sosial yang memunculkan permasalahan hukum. Dalam kasus ini, hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan
konflik, dengan Nenek Asyani dinyatakan bersalah dan dihukum karena melanggar hukum
Namun, dalam konteks Undang-Undang Dasar No. 28, kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan
kesetaraan dalam penegakan hukum. Undang-Undang Dasar No. 28 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan hukum yang adil dan setara. Dalam kasus Nenek Asyani, tampaknya ada ketidaksetaraan dalam
penegakan hukum, di mana orang miskin seperti Nenek Asyani mendapatkan hukuman yang berat untuk kejahatan
yang relatif kecil, sementara kejahatan yang lebih serius yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial yang
lebih tinggi sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal.Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
mengatur tentang jaminan hidup dalam beberapa pasalnya. Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Pasal ini menegaskan hak dasar setiap
individu untuk hidup dan mempertahankan hidupnya.
Dalam konteks kasus Nenek Asyani, meskipun dia melanggar hukum dengan mencuri kayu, namun perlu
dipertimbangkan bahwa tindakannya tersebut dilakukan untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya, yang
merupakan hak dasar yang dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam kasus ini seharusnya
mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi dari tindakan Nenek Asyani, serta hak dasarnya untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu, Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 juga menjamin bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
depan hukum. Ini berarti bahwa dalam penegakan hukum, harus ada keadilan dan kesetaraan, terlepas dari status
sosial atau ekonomi seseorang. Dalam kasus Nenek Asyani, tampaknya ada ketidaksetaraan dalam penegakan
hukum, di mana orang miskin seperti Nenek Asyani mendapatkan hukuman yang berat untuk kejahatan yang relatif
kecil, sementara kejahatan yang lebih serius yang dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial yang lebih tinggi
sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan konflik dalam kasus ini,
penegakan hukum tersebut tampaknya tidak selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang dijamin
oleh UUD 1945
Untuk menyelesaikan kasus seperti Nenek Asyani, beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:
1. Negosiasi dan Mediasi: Sebelum mengajukan kasus ke pengadilan, upaya negosiasi dan mediasi dapat dilakukan
untuk mencari solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks kasus Nenek
Asyani, mediasi antara Nenek Asyani dan Perhutani dapat membantu mencari solusi yang lebih adil dan
proporsional.
2. Pertimbangan Konteks Sosial dan Ekonomi: Dalam menangani kasus seperti ini, pengadilan harus
mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi dari tindakan yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam kasus Nenek
Asyani, pengadilan seharusnya mempertimbangkan bahwa tindakannya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
hidup, yang merupakan hak dasar yang dijamin oleh Pasal 28A UUD 1945
3. Penerapan Hukum yang Adil dan Setara: Pengadilan harus menerapkan hukum secara adil dan setara, sesuai
dengan prinsip-prinsip yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945Dalam kasus Nenek Asyani, pengadilan seharusnya
mempertimbangkan penerapan hukum yang lebih adil dan proporsional, yang mencerminkan keadilan dan
kesetaraan bagi semua pihak yang terlibat.
4. Pendekatan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Dalam beberapa kasus, penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan adil. Dalam kasus Nenek Asyani, penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, konsultasi, atau mediasi dapat membantu mencapai solusi yang lebih adil dan menguntungkan bagi
semua pihak yang terlibat.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kasus seperti Nenek Asyani dapat diselesaikan dengan cara yang lebih adil dan
setara, yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang dijamin oleh UUD 1945

Anda mungkin juga menyukai