Anda di halaman 1dari 7

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa : DHARUL AFANDI

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 041057475

Tanggal Lahir : 14 April 1989

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4309 / Tindak Pidana Khusus

Kode/Nama Program Studi : 311/ Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 13 (19038) / Batam (Pokja Siantan)

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu, 19 Desember 2021

Tanda Tangan Peserta Ujian

DHARUL AFANDI

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan Mahasiswa


Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : DHARUL AFANDI


NIM : 041057475
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4309 / Tindak Pidana Khusus
Fakultas : Hukum
Program Studi : Ilmu Hukum
UPBJJ-UT : Batam (Pokja Siantan)

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran atas
pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Tarempa, 19 Desember 2021

Yang Membuat Pernyataan

DHARUL AFANDI
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. JAWABAN 1.A
Bahaya Korupsi terhadap Masyarakat dan Individu Jika korupsi dalam suatu masyarakat telah merajalela dan
menjadi makanan masyarakat setiap hari, maka akibatnya akan menjadikan masyarakat tersebut sebagai
masyarakat yang kacau, tidak ada sistem sosial yang dapat berlaku dengan baik. Setiap individu dalam
masyarakat hanya akan mementingkan diri sendiri (self interest), bahkan selfishness. 6 Tidak akan ada kerja
sama dan persaudaraan yang tulus. Fakta empirik dari hasil penelitian di banyak negara7 dan dukungan teoritik
oleh para saintis sosial menunjukkan bahwa korupsi berpengaruh negatifterhadap rasa keadilan sosial dan
kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam di antara kelompok sosial dan individu baik
dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan dan lain-lain. Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral
dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam
masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.9
Chandra Muzaffar menyatakan bahwa korupsi menyebabkan sikap individu menempatkan kepentingan diri
sendiri di atas segala sesuatu yang lain dan hanya akan berpikir tentang dirinya sendirisemata-mata.10 Jika
suasana iklim masyarakat telah tercipta demikian itu, maka keinginan publik untuk berkorban demi kebaikan
dan perkembangan masyarakat akan terus menurun dan mungkin akan hilang.

Bahaya Korupsi terhadap Politik Kekuasaan politik yang dicapai dengan korupsi akan menghasilkan
pemerintahan dan pemimpin masyarakat yang tidak legitimate di mata publik. Jika demikian keadaannya, maka
masyarakat tidak akan percaya terhadap pemerintah dan pemimpin tersebut, akibatnya mereka tidak akan
patuh dan tunduk pada otoritas mereka. Praktik korupsi yang meluas dalam politik seperti pemilu yang curang,
kekerasan dalam pemilu, money politics dan lain- lain juga dapat menyebabkan rusaknya demokrasi, karena
untuk mempertahankan kekuasaan, penguasa korup itu akan menggunakan kekerasan (otoriter) atau
menyebarkan korupsi lebih luaslagi di masyarakat. Di samping itu, keadaan yang demikian itu akan memicu
terjadinya instabilitas sosial politik dan integrasi sosial, karena terjadi pertentangan antara penguasa dan
rakyat. Bahkan dalam banyak kasus, hal ini menyebabkan jatuhnya kekuasaan pemerintahan secara tidak
terhormat, seperti yang terjadi di Indonesia.

Bahaya Korupsi Bagi Ekonomi Bangsa Korupsi merusak perkembangan ekonomi suatu bangsa.Jika suatu projek
ekonomi dijalankan sarat dengan unsur-unsur korupsi (penyuapan untuk kelulusan projek, nepotisme.
JAWABAN 1.B
a. Hambatan Struktural, yaitu hambatan yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang
termasuk dalam kelompok ini di antaranya: egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan
dana sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan nasional secara
keseluruhan serta berupaya menutupnutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sektor dan instansi
yang bersangkutan; belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif; lemahnya koordinasi antara aparat
pengawasan dan aparat penegak hukum; serta lemahnya sistem pengendalian intern yang memiliki korelasi
positif dengan berbagai penyimpangan dan inefesiensi dalam pengelolaan kekayaan negara dan rendahnya
kualitas pelayanan publik.
b. Hambatan Kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat.
Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: masih adanya ”sikap sungkan” dan toleran di antara aparatur
pemerintah yang dapat menghambat penanganan tindak pidana korupsi; kurang terbukanya pimpinan instansi
sehingga sering terkesan toleran dan melindungi pelaku korupsi, campurtangan eksekutif, legislatif dan yudikatif
dalam penanganan tindak pidana korupsi, rendahnya komitmen untukmenangani korupsi secara tegas dan
tuntas, serta sikap permisif (masa bodoh) sebagian besar masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.
c. Hambatan Instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari kurangnya instrumen pendukung dalam bentuk
peraturan perundang- undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: masih terdapat peraturan perundangundangan yang
tumpang tindih21 sehingga menimbulkan tindakan koruptif berupa penggelembungan dana di lingkungan
instansi pemerintah; belum adanya “single identification number” atau suatu identifikasi yang berlaku untuk
semua keperluan masyarakat (SIM, pajak, bank, dll.) yang mampu mengurangi peluang penyalahgunaan oleh
setiap anggota masyarakat; lemahnya penegakan hukum penanganan korupsi;serta sulitnya pembuktian
terhadap tindak pidana korupsi.
d. Hambatan Manajemen, yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-
prinsip manajemen yang baik (komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang
membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam
kelompok ini di antaranya: kurang komitmennya manajemen (Pemerintah) dalam menindaklanjuti hasil
pengawasan; lemahnya koordinasi baik di antara aparat pengawasan maupun antara aparat pengawasan dan
aparat penegak hukum; kurangnya dukungan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan; tidak
independennya organisasi pengawasan; kurang profesionalnya sebagian besar aparat pengawasan; kurang
adanya dukungan sistem dan prosedur pengawasan dalam penanganan korupsi, serta tidak memadainya system
kepegawaian di antaranya sistem rekrutmen, rendahnya ”gaji formal” PNS, penilaian kinerja dan reward and
punishment.

2. JAWABAN 2.A
Seseorang yang telah menjadi penyalahguna maupun pecandu narkotika dapat mengikuti rehabilitasi medis dan
atau juga dapat dipidana sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam UU No. 35 Tahun 2009. Penjatuhan
hukuman yang diberikan terhadap penyalahguna narkotika berbeda-beda sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut
umum dan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan selama tidak menyimpang dari peraturan perundang-
undangan yang digunakan. Dalam ketentuan UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana pengguna narkotika
dapat dikategorikan sebagai pecandu, yaitu orang yang menggunakan atau yang menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupuan psikis dan
berhak untuk mendapatkan atau mengakses rehabilitasi medis dan rehabilitas sosial. Hak atas
pemulihan kesehatan pengguna narkotika dari kecanduannya itu senada dengan ketentuan World
Health Organization (WHO) yang mengategorisasikan adiksi (kecanduan) sebagai suatu penyakit
kronis kambuhan yang dapat dipulihkan. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 47 UU No. 22 Tahun 1997 dan
Pasal 103 UU No. 35 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47
a. Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
1) Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan,
apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
2) Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan,
apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
b. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 103
a. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
1) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau
2) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan
melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika.
b. Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Ketentuan pidana lainnya terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika bagi diri sendiri yang dimuat dalam
ketentuan Pasal 85 UU No. 22 Tahun 1997: Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Menggunakan narkotika golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
b. Menggunakan narkotika golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
c. Menggunakan narkotika golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun

JAWABAN 2.B
UU No. 35 Tahun 2009 memuat sanksi pidana penjara dan sanksi tindakan bagi pengguna narkotika. Karena itu, hakim
seharusnya lebih banyak memutus sanksi berupa rehabilitasi bagi pengguna narkotika, yang juga dianggap dapat
memutus hubungan dengan jaringannya. Untuk itu, Pemerintah perlu meningkatkan sarana dan prasarana serta
menambah jumlah tenaga pendamping/konselor dalam program rehabilitasi. Sanksi berupa menjalani rehabilitasi
juga menjadi salah satu pemecahan dari permasalahan kapasitas lembaga pemasyarakatan yang sudah overload. Di
samping itu, berkaitan dengan keberagaman istilah pengguna narkotika dalam UU No. 35 Tahun 1999 tentang
Narkotika, perlu dilakukan revisi terhadap UU tersebut, agar penerapannya dapat berjalan efektif.

3. JAWABAN 3.A
Dalam PP No.45 Tahun 1990, bagi PNS yang akan bercerai melekat sejumlah peraturan di antaranya adalah PNS
yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat. Bagi PNS
yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi PNS yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh
izin atau surat keterangan harus mengajukan permintaan secara tertulis. Dalam surat permintaan izin atau
pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang
lengkap yang mendasarinya.

JAWABAN 3.B
Pegawai Negeri Sipil yang tidak memperoleh izin atau surat keterangan untuk bercerai lebih dahulu dari pejabat
dan tidak melaporkan perceraianya dalam waktu selambatlambatnya 1 bulan terhitung mulai terjadinya
perceraian, dikualifikasikan sebagai melanggar hukum khusus perceraian menurut Pasal 15 ayat (1) PP No. 45
Tahun 1990, sehingga dapat dijatuhi satu di antara hukuman disiplin berat berdasarkan PP No. 30 Tahun 1980
Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil saat ini PP No. 30 Tahun 1980 telah dinyatakan tidak berlaku dan
telah ganti dengan PP No. 53 Tahun 2010. Ini berarti bahwa “hukuman disiplin berat” yang diatur dalam PP No. 53
Tahun 2010 dapat dijatuhkan kepada Pegawai Negeri Sipil yang melanggar hukum khusus perceraian menurut
Pasal 15 ayat (1) PP No. 45 Tahun 1990 tersebut. Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada
Pegawai Negeri Sipil, karena melanggar Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jenis-jenis hukuman disiplin berat
yang ditentukan PP No. 53 Tahun 2010 antara lain penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun;
pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih jika pegawai negeri sipil tersebut menduduki
jabatan; pembebasan dari jabatan, jika Pegawai Negeri Sipil menduduki jabatan; atau pemberhentian dengan
hormat atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pemberhentian tidak hormat Sebagai Pegawai
Negeri Sipil.

4. JAWABAN 4.A
Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 16 yaitu bahwa Perusakan lingkungan hidup
adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati
lingkungan hidup, sehingga melampaui kriteria baku mutu kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan hutan menurut
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 Ayat (2), yaitu bahwa “Yang dimaksud dengan
kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut
terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ketentuan pidana yang dimuat dalam Pasal 50 dan
pasal 78 UndangUndang No. 41 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum bagi polri
dalam menjalankan fungsinya untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal
logging), yaitu:
a) Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan;
b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan;
c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang;
d) Menebang pohon tanpa izin;
e) Menerima, membeli atau menjual hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal;
f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan Sah Hasil Hutan;
g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Manajemen penyidikan merupakan aktivitas penyelidikan dan penyidikan dibedakan sebagai tindakan untuk
mencari dan menemukan kebenaran dalam tindak pidana. Tahap paling awal dalam penyelesaian sebuah perkara
adalah penyelidikan dimana berdasarkan pasal 1 butir 5 KUHAP penyelidikan didefinisikan sebagai berikut:
“Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan atau penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa proses penyelidikan
sebagai upaya penyelidik atau inisiatif penyelidik dalam menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
Penyelidikan ini dilaksanakan oleh Penyelidik yakni dilaksanakan oleh polisi negara RI sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 4 KUHAP. Adapun wewenang penyelidik yang dilakukan Polres Jepara berupa manajemen penyidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 KUHAP. Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut ehutanan ) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan
hanya menjabarkan tindakantindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50 UndangUndang no
41 tahun 1999, antara lain:mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak
sah (ilegal). Dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu:
a. perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa,
b. praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan,
c. lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasankonservasi/lindung, atau asal-usul lokasi
tidak dapat ditunjukkan,
d. produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal
kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan,
e. dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu,
f. pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan
pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan
g. penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan. Selain
itu kata hutan merupakan terjemahan dari kata Bos dari bahasa Belanda Merupakan daratan tanah yang
tergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar Kehutanan, seperti pariwisata.Di samping itu,
hutan juga dijadikan tempat pemburuhan, tempat istirahat, dan tempat bersenangsenang bagi raja dan pegawai-
pegawainya, namun dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang (Salim, 1995).

JAWABAN 4.B
Kendala dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana illegal logging diantaranya ada
beberapa faktor yaitu:
a) Luas Wilayah;
b) Faktor Masyarakat;
c) Keterbatasan Aparat Penegak Hukum;
d) Minimnya Sarana dan Pra Sarana;
e) Peningkatan Terhadap Modus Operand;
f) Penetapan Luas Kawasan Hutan;
g) Proses lelang Yang Lama;
h) Keterlibatan Aparat.

Anda mungkin juga menyukai