Anda di halaman 1dari 3

1.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa permohonan Peninjauan Kembali (PK) harus
memenuhi syarat formal untuk meminta PK atas putusan hakim yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu, bisa dinyatakan bahwa PK yang diajukan Baig Nuril
sudah memenuhi syarat formal tersebut.

2. Pasal 263 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa dalam permohonan PK, syarat materiil yang
diajukan haruslah memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh hukum acara pidana. Dengan
demikian, jika svarat materiil yang diajukan oleh Baig Nuril pada permohonan PK sesuai
dengan ketentuan tersebut maka yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan materiil
yang ditentukan.

Pembahasan

Baig Nuril adalah seorang mantan guru honorer di Mataram, Lombok, yang jadi sorotan pada sebuah
kasus pidana terkait pengunggahan percakapan telepon yang melibatkan mantan kepala sekolahnya

Yang diduga melakukan pelecehan seksual. Baig Nuril dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang penyebaran konten asusila.
Setelah melalui proses hukum yang panjang, Baig Nuril divonis bersalah dan dijatuhi hukuman, tetapi
kemudian mendapatkan grasi presiden pada tahun 2019.

Dalam permohonan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan oleh Baig Nuril, dia telah memenuhi
persyaratan formal sesuai dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP karena permohonan tersebut diajukan
atas putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Selain itu, svarat materiil yang
diajukan juga sesuai dengan ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, mengikuti ketentuan hukum acara
pidana. Dengan demikian, permohonan PK Baig Nuril memenuhi syarat formal dan materiil yang
diatur dalam KUHAP.

Jawaban 3 : Bagi Negara Indonesia, agar perjanjian internasional dapat menjadi hukum nasional,
diperlukan adanya proses transformasi.

Proses transformasi ini melibatkan beberapa tahapan yang harus dilalui untuk mengubah perjanjian
internasional menjadi bagian dari sistem hukum nasional.

Berikut adalah analisis mengenai pentingnya proses transformasi dalam mengubah perjanjian
internasional menjadi hukum nasional:
1. Konsistensi dengan Konstitusi:

Negara Indonesia memiliki konstitusi yang merupakan landasan hukum tertinggi.

Oleh karena itu, perjanjian internasional harus konsisten dengan konstitusi negara tersebut agar
dapat diterapkan secara efektif di tingkat nasional. Proses transformasi memungkinkan penyesuaian
dan penyelarasan perjanjian internasional dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi.

2. Kepentingan Nasional:

Transformasi perjanjian internasional menjadi hukum nasional memungkinkan negara untuk


mempertimbangkan dan melindungi kepentingan nasionalnya.

Dalam proses ini, negara memiliki kesempatan untuk mengevaluasi dampak perjanjian internasional
terhadap kebijakan nasional, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat.

Transformasi memungkinkan negara untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna


menjaga kepentingan nasional yang lebih luas.

3. Implementasi yang Efektif:

Dengan melakukan proses transformasi, negara dapat mengubah perjanjian internasional menjadi
instrumen hukum yang dapat diimplementasikan secara efektif di tingkat nasional.

Proses ini melibatkan pembuatan undang-undang atau regulasi domestik yang mendukung dan
mengatur pelaksanaan perjanjian internasional.

Transformasi memungkinkan negara untuk memastikan bahwa perjanjian tersebut dapat diterapkan
dan dipatuhi oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam negeri.

4. Penegakan Hukum:

Transformasi perjanjian internasional menjadi hukum nasional memungkinkan negara untuk


menegakkan dan memberlakukan perjanjian tersebut melalui sistem peradilan nasional.
Proses transformasi memberikan dasar hukum yang jelas dan memungkinkan negara untuk
mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran perjanjian internasional.

Hal ini penting untuk memastikan kepatuhan dan keadilan dalam konteks hukum nasional.

Anda mungkin juga menyukai