Anda di halaman 1dari 5

JAWABAN TUGAS 3 ISIP4131 SISTEM HUKUM INDONESIA

1) Soal Nomor 1
A. Berdasarkan kasus yang disampaikan, perbuatan yang dilakukan terhadap Barbie
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang melanggar Pasal 355 ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. Untuk menganalisis
unsur subjektif dan unsur objektif dari tindak pidana tersebut, kita perlu merujuk
pada pasal yang bersangkutan: Pasal 355 ayat (2) KUHP: "Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan maksud merampas kemerdekaan seseorang dengan
penyalahgunaan obat-obatan, minuman keras, atau bahan lain yang dapat
menghilangkan atau mengurangi kesadarannya, atau dengan menggunakan
kekerasan, mempengaruhi keadaan kesadarannya atau karena orang yang lain
dalam keadaan tidak berdaya, diancam, ditipu, atau ditantang, menyebabkan
orang itu menjadi tidak sadarkan diri atau tidak berdaya, atau mempertinggi
kesadaran atau daya ingat orang itu sehingga orang itu menjadi lupa atau tertipu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana mati."
a) Unsur subjektif dari tindak pidana ini meliputi:
i. Kesengajaan (dengan sengaja): Para pelaku, yaitu Surya, Pekgo, dan
Goceng, melakukan tindakan tersebut dengan sengaja. Mereka secara
aktif merencanakan dan melaksanakan aksi pembiusan terhadap Barbie.
ii. Maksud (dengan maksud merampas kemerdekaan seseorang): Para
pelaku memiliki maksud untuk merampas kemerdekaan Barbie, yaitu
dengan memberikan obat bius sehingga menyebabkan Barbie menjadi
tidak sadarkan diri dan tidak berdaya.
b) Unsur objektif dari tindak pidana ini meliputi:
i. Tindakan pembiusan dengan menggunakan obat bius: Para pelaku
menggunakan obat bius untuk mempengaruhi keadaan kesadaran Barbie
sehingga menyebabkannya menjadi tidak sadarkan diri dan tidak
berdaya.
ii. Penyalahgunaan obat-obatan atau bahan lain yang dapat menghilangkan
atau mengurangi kesadarannya: Para pelaku secara melanggar
menggunakan obat bius untuk mencapai tujuan merampas kemerdekaan
Barbie.
iii. Menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri atau tidak berdaya: Para
pelaku berhasil menyebabkan Barbie tidak sadarkan diri dan tidak
berdaya setelah memberikan obat bius kepadanya.
Berdasarkan analisis tersebut, terdapat unsur subjektif dan unsur objektif dari
tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku yang melanggar Pasal 355
ayat (2) KUHP.
B. Dalam kasus tersebut, terdapat beberapa unsur yang memberatkan dalam tindak
pidana yang dilakukan oleh para pelaku. Berikut adalah unsur-unsur yang
memberatkan dalam konteks kasus tersebut:
a) Kejahatan yang direncanakan dan direkayasa: Para pelaku, yaitu Andi, Surya,
Pekgo, dan Goceng, secara bersama-sama merencanakan dan melaksanakan
tindakan kejahatan dengan mengatur skenario pembiusan, penangkapan, dan
pembuangan mayat Barbie. Perencanaan yang terorganisir menunjukkan
tingkat kejahatan yang direncanakan dan direkayasa dengan matang.
b) Penyalahgunaan kekuasaan: Andi menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya
sebagai orang yang memiliki hubungan intim dengan Barbie untuk meminta
Surya melakukan tindakan kriminal terhadapnya. Hal ini menunjukkan
adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat meningkatkan tingkat
kejahatan dalam kasus ini.
c) Pembunuhan atau pemusnahan nyawa: Para pelaku secara sadar dan dengan
sengaja membekap Barbie dari belakang, menyebabkannya pingsan, dan
kemudian memasukkan tubuhnya yang dalam keadaan tidak sadarkan diri ke
dalam koper besar. Tindakan ini secara nyata mengancam nyawa dan
keselamatan Barbie, yang akhirnya berakibat pada kematian korban.
d) Tindakan menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis yang luar biasa:
Barbie mengalami penderitaan fisik dan psikologis yang luar biasa akibat
pembiusan, penculikan, dan pembuangan yang dilakukan oleh para pelaku.
Tindakan ini melampaui batas-batas kemanusiaan dan menyebabkan
penderitaan yang sangat serius bagi korban.
e) Kejahatan bersama: Para pelaku, yaitu Andi, Surya, Pekgo, dan Goceng,
secara bersama-sama melakukan tindakan kejahatan ini dengan berkolaborasi
dan mendistribusikan peran masing-masing. Tindakan ini menunjukkan
adanya persekongkolan dan peran aktif dalam melaksanakan kejahatan yang
lebih kompleks dan berpotensi lebih merugikan korban.
Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa tindak
pidana yang dilakukan oleh para pelaku dalam kasus tersebut memiliki unsur-
unsur yang memberatkan.
2) Soal Nomor 2
A. Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, memang benar bahwa permohonan
peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh Baiq Nuril harus memenuhi syarat
formal untuk meminta PK terhadap putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Syarat formal ini mencakup persyaratan seperti batas
waktu pengajuan permohonan, penggunaan kuasa hukum, dan pemenuhan
ketentuan administratif lainnya yang ditetapkan oleh hukum acara pidana.
Namun, perlu diingat bahwa untuk memberikan analisis yang lebih mendalam,
perlu memeriksa dokumen permohonan PK dan mempertimbangkan argumen
hukum yang diajukan oleh Baiq Nuril serta konteks kasus yang terkait. Informasi
yang disediakan terbatas pada fakta bahwa permohonan PK telah diajukan, tetapi
tidak memberikan detail mengenai alasan atau argumen hukum yang diajukan
dalam permohonan tersebut. Oleh karena itu, untuk memberikan analisis yang
lebih rinci, disarankan untuk merujuk pada dokumen dan informasi yang lebih
lengkap terkait kasus ini.
B. Dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Indonesia,
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pengajuan peninjauan
kembali (PK). Syarat-syarat tersebut tercantum dalam Pasal 263 KUHAP.
Berikut adalah ringkasan dari syarat-syarat pengajuan peninjauan kembali:
a) Terdapat putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Syarat ini menunjukkan bahwa PK hanya dapat diajukan terhadap putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, artinya putusan tersebut
tidak dapat diajukan banding atau kasasi lagi.
b) Terdapat alasan yang kuat dan bukti baru yang belum pernah diajukan pada
persidangan sebelumnya. Syarat ini menyatakan bahwa pengajuan PK harus
didasarkan pada alasan yang kuat dan didukung oleh alat bukti baru yang
belum pernah diajukan pada persidangan sebelumnya. Bukti baru tersebut
harus memiliki relevansi dan dianggap dapat mempengaruhi putusan perkara.
c) Permohonan PK diajukan dalam waktu tertentu. KUHAP mengatur batas
waktu untuk mengajukan PK, yaitu dalam jangka waktu 6 bulan sejak
putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Penting untuk dicatat bahwa penilaian akhir mengenai syarat-syarat pengajuan
PK ini sepenuhnya berada di tangan pengadilan. Pengadilan akan memeriksa dan
menilai permohonan PK berdasarkan kepatuhan terhadap syarat-syarat yang
ditetapkan dalam KUHAP.
3) Bagi Negara Indonesia, agar perjanjian internasional dapat menjadi bagian dari
hukum nasional, diperlukan proses transformasi atau penyesuaian perjanjian
internasional tersebut ke dalam hukum nasional. Hal ini tercermin dalam sistem
hukum Indonesia yang menganut asas primat hukum nasional. Dalam konteks ini,
setiap perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia harus melalui
proses transformasi ke dalam hukum nasional melalui mekanisme yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Transformasi tersebut dapat
dilakukan melalui pengesahan perjanjian oleh lembaga legislatif (biasanya
Dewan Perwakilan Rakyat) dan kemudian diimplementasikan melalui undang-
undang atau peraturan perundang-undangan lainnya. Proses transformasi ini
penting karena dengan mengubah perjanjian internasional menjadi hukum
nasional, negara dapat mengakomodasi ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut
dalam sistem hukum nasionalnya. Hal ini memungkinkan negara untuk
memberlakukan dan menegakkan ketentuan perjanjian internasional secara
efektif di dalam wilayahnya, sehingga perjanjian internasional menjadi mengikat
bagi warga negaranya dan lembaga-lembaga pemerintah. Transformasi perjanjian
internasional ke dalam hukum nasional juga memberikan kepastian hukum dan
perlindungan hukum yang lebih jelas bagi individu dan pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan perjanjian tersebut di dalam wilayah negara. Dengan adanya
proses transformasi, perjanjian internasional dapat diintegrasikan dengan hukum
nasional dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum dalam suatu
negara. Adanya proses transformasi perjanjian internasional menjadi hukum
nasional juga mencerminkan prinsip kedaulatan negara. Negara memiliki
kewenangan untuk menentukan bagaimana perjanjian internasional akan
diterapkan dan diimplementasikan di dalam sistem hukum nasionalnya. Dalam
hal ini, Indonesia memandang penting untuk menjaga keseimbangan antara
komitmen internasional dan kepentingan domestik dengan melalui proses
transformasi yang sesuai dengan prosedur hukum nasional yang berlaku. Penting
untuk dicatat bahwa analisis ini didasarkan pada pemahaman umum tentang
sistem hukum Indonesia dan prinsip-prinsip hukum internasional. Untuk
penjelasan yang lebih rinci dan referensi yang akurat, disarankan untuk mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkonsultasi dengan ahli
hukum yang berkompeten dalam hukum internasional dan hukum nasional di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai