Anda di halaman 1dari 2

KEHIDUPAN ORANG KRISTEN YANG NORMAL

BAB 9 : MAKNA DAN NILAI ROMA PASAL TUJUH (bagian 2)

Roma 7:4
Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu
menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita
berbuah bagi Allah.

Roma 7:6
Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung
kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama
menurut huruf hukum Taurat.

KRISTUS ADALAH KESIMPULAN HUKUM TAURAT


Dalam Roma 6 kita nampak bagaimana Allah melepaskan kita dari dosa; dalam Roma 7 kita nampak
bagaimana Ia melepaskan kita dari hukum Taurat. Pasal 6 menunjukkan kepada kita jalan untuk terlepas dari
dosa melalui gambaran seorang tuan dengan hambanya, sedangkan pasal 7 menunjukkan kepada kita jalan untuk
terlepas dari hukum Taurat melalui gambaran dua orang suami dengan satu istri. Jadi, hubungan antara dosa
dengan orang dosa seperti hubungan tuan dengan hambanya, sedang hubungan antara hukum Taurat dengan
orang dosa seperti hubungan suami dengan istrinya.
Pertama-tama, ingatlah bahwa dalam gambaran pada Roma 7:1-4, Paulus melukiskan kelepasan kita dari
hukum Taurat. Di sana hanya disebutkan satu perempuan, sedangkan suaminya ada dua. Perempuan itu berada
pada kedudukan yang sulit, karena ia hanya dapat menjadi istri salah satu dari kedua orang itu. Tetapi sayang, ia
telah menikah dengan orang yang tidak disukainya. Jangan salah sangka, lelaki yang menikahinya itu adalah
lelaki yang baik. Persoalannya di sini, suami dan istri itu sama sekali tidak cocok. Yang lelaki adalah orang yang
sangat unik, sangat cermat, sedangkan yang perempuan bersifat masa bodoh, sembarangan. Bagi yang lelaki,
segalanya harus tegas dan tepat, tetapi bagi yang perempuan segalanya ceroboh. Yang lelaki menginginkan
segalanya benar, sedangkan yang perempuan menerima segalanya secara apa adanya. Bagaimana mungkin
keluarga semacam itu bisa bahagia?
Sang suami begitu serius dan kaku! Ia selalu menuntut sang istri. Meskipun demikian, tidak seorang pun
dapat menemukan kesalahan padanya, karena sebagai suami, ia berhak mengharapkan sesuatu dari istrinya; dan
pula, semua permintaannya itu sah, tidak melanggar hukum. Pada dirinya dan pada permintaannya tidak ada
kesalahan. Persoalannya adalah, ia memiliki istri yang tidak mampu melaksanakan permintaannya. Kedua orang
itu sama sekali tidak bisa hidup bersama, karena sifat-sifat mereka mutlak tidak serasi. Demikianlah perempuan
yang kasihan itu sangat menderita. Ia memang menyadari, bahwa dirinya sering berbuat salah, tetapi hidup
bersama dengan suami semacam itu membuatnya merasa seolah-olah semua yang dikatakan dan dilakukannya
adalah salah! Apa lagi yang dapat diharapkannya? Jika ia dapat menikah dengan Lelaki yang lain lagi, semuanya
akan baik. Lelaki yang lain itu tidak kalah seriusnya dengan suaminya, tetapi Ia suka menolong. Ia sangat ingin
menikah dengan-Nya, tetapi suaminya masih hidup. Apa yang dapat dilakukannya? Ia "terikat oleh hukum
kepada suaminya" dan kalau suaminya belum mati, ia tidak bisa menikah dengan Lelaki lain itu secara sah.
Gambaran itu bukan karya saya, melainkan karya rasul Paulus. Suami yang pertama adalah hukum Taurat,
suami yang kedua adalah Kristus, dan Anda adalah perempuan itu. Hukum Taurat menuntut banyak, tetapi tidak
memberikan bantuan untuk melaksanakan tuntutannya. Tuhan Yesus juga menuntut banyak, bahkan lebih
banyak lagi, tetapi apa yang dituntut-Nya dari kita, dilaksanakan-Nya sendiri di dalam kita (Matius 5:21-
48). Hukum Taurat menuntut dan membiarkan kita sendiri memenuhi tuntutannya, Kristus menuntut, tetapi Ia
sendiri memenuhi tuntutan-Nya di dalam kita. Tidak heran bila si perempuan ingin bebas dari suaminya yang
pertama agar ia dapat menikah dengan Lelaki yang lain itu! Satu-satunya jalan kelepasannya adalah kematian
suami pertamanya, tetapi suaminya itu tetap hidup; kecil sekali kemungkinan mengharapkannya meninggal.
"Selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum
Taurat, sebelum semuanya terjadi" (Matius 5:18).
Hukum Taurat akan terus berlaku sampai kekekalan. Jika hukum Taurat tidak mungkin berlalu, bagaimana
aku bisa bersatu dengan Kristus? Bagaimana aku dapat menikah dengan suami yang kedua jika suami yang
pertama tidak mau mati? Hanya ada satu jalan keluar. Jika ia tidak mau mati, akulah yang mati; dan jika
aku telah mati, maka ikatan perkawinan itu pun putuslah. Itulah jalan kelepasan dari hukum Taurat yang
Allah sediakan. Perkara paling penting yang harus kita perhatikan dalam potongan Roma 7 adalah peralihan dari
ayat 3 ke ayat 4. Ayat 1 sampai 3 menunjukkan bahwa si suamilah yang harus mati, tetapi dalam ayat 4 kita
nampak, ternyata si perempuanlah yang mati. Hukum Taurat tidak mati, akulah yang mati, dan melalui
kematian itu aku terlepas dari hukum Taurat. Ingatlah, hukum Taurat tidak mungkin mati. Tuntutan keadilan
Allah tetap untuk selama-lamanya. Asal aku masih hidup, aku harus memenuhi tuntutan itu; tetapi jika aku telah
mati, maka hukum Taurat tidak dapat lagi menuntut aku. Ia tidak dapat melampaui kubur untuk mengejarku.
Prinsip yang berlaku dalam kelepasan kita dari hukum Taurat juga berlaku dalam kelepasan kita dari dosa.
Ketika aku mati, tuan lamaku (yaitu dosa) masih terus hidup, tetapi kuasanya atas hambanya hanya menjangkau
sampai kubur, tidak lebih dari itu. Ia dapat menyuruhku mengerjakan seribu satu macam pekerjaan ketika aku
masih hidup, tetapi begitu aku mati, sia-sialah ia menyuruhku. Sejak itu aku bebas selamanya dari tiraninya.
Demikian pula halnya terhadap hukum Taurat. Ketika perempuan itu masih hidup, ia terikat dengan suaminya,
tetapi begitu ia mati, putuslah ikatan perkawinan dan ia "terlepas dari hukum suaminya". Meskipun hukum
Taurat masih tetap menuntut, tetapi bagiku, kuasa untuk memaksaku melakukan tuntutannya itu sudah tamat.
Kini timbul satu pertanyaan penting: "Bagaimana aku bisa mati?" Di sinilah kemustikaan karya Tuhan:
"Kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus" (Roma 7:4). Ketika Kristus mati, tubuh-Nya
terkoyak, dan karena Allah meletakkan aku di dalam-Nya (1 Korintus 1:30), maka aku pun telah terkoyak.
Ketika Ia disalibkan, aku pun tersalib bersama-Nya. Dalam pandangan Allah, kematian-Nya mencakup
kematianku. Di gunung Golgota, hal itu sudah genap selamanya.
Dalam Perjanjian Baru ada satu contoh yang bisa membantu kita agar lebih jelas terhadap hal ini, yaitu
tentang tirai pemisah antara ruang kudus dan ruang mahakudus. Di atas tirai itu terdapat sulaman berbentuk
kerub (Keluaran 26:31; 2 Tawarikh 3:14). Yehezkiel 1:10 dan 10:14 memperlihatkan kepada kita, di antara
gambar-gambar muka yang ada pada kerub itu ada gambar muka manusia, yang mewakili manusia sebagai
kepala dari segala makhluk ciptaan (Mazmur 8:4-8). Pada zaman Perjanjian Lama, Allah bersemayam di balik
tirai dan manusia di luar tirai. Manusia bisa melihat tirai tetapi tidak bisa melihat sebelah dalamnya. Tirai itu
melambangkan tubuh daging Tuhan (Ibrani 10:12). Sebab itu, dalam kitab-kitab Injil, manusia hanya bisa
melihat bentuk lahiriah Tuhan kita, dan selain mendapatkan wahyu dari Allah (Matius 16:16-17), manusia tidak
bisa nampak Allah yang bersemayam di dalam diri Tuhan. Ketika Tuhan Yesus mati, Allah membelah tirai Bait
Suci dari atas ke bawah (Matius 27:51), dan sejak saat itu manusia bisa memandang langsung ke dalam ruang
mahakudus. Jadi sejak Tuhan Yesus mati, Allah tidak lagi menyembunyikan diri-Nya di balik tirai, Ia
telah mewahyukan diri-Nya (1 Korintus 2:7-10).
Pertanyaan kita, apa yang terjadi dengan kerub itu tatkala tirai terbelah? Memang, Allah hanya membelah
tirai, tetapi kerub itu tersulam di atas tirai, telah menjadi satu dengan tirai. Ketika tirai terbelah, mustahil kerub
itu tetap utuh. Ketika tirai terbelah, kerub itu juga ikut terbelah. Jadi, dalam pandangan Allah, ketika Tuhan
Yesus mati, segenap makhluk ciptaan pun matilah.
"Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus." Suami
perempuan itu mungkin sangat sehat dan kuat, tetapi perempuan itu telah mati; si suami boleh saja menurut
kemauannya menuntut sebanyak-banyaknya, namun si perempuan sama sekali tidak terpengaruh. Kematian telah
membebaskan perempuan itu dari semua tuntutan suaminya. Kematian almuhit Yesus Kristus telah
membebaskan kita selamanya dari hukum Taurat.
Bukan cuma itu. Ingatlah, Tuhan kita tidak tetap tinggal di dalam kubur. Pada hari ketiga, Ia bangkit lagi, dan
karena kita ada di dalam-Nya, kita pun bangkit bersama-Nya. Tubuh Tuhan Yesus tidak hanya menyatakan
kematian-Nya, tetapi juga menyatakan kebangkitan-Nya, karena kebangkitan-Nya adalah kebangkitan tubuh.
Jadi, "oleh tubuh Kristus" kita tidak hanya "mati bagi hukum Taurat", tetapi juga "hidup bagi Allah".
Tujuan Allah dalam menyatukan kita dengan Kristus tidak hanya memiliki aspek negatif, juga memiliki aspek
positif dan mulia, yaitu "supaya kamu bersatu dengan orang lain" (Roma 7:4). Kematian telah memutuskan
hubungan pernikahan yang lama, sehingga perempuan itu, yang putus asa karena tuntutan yang terus-menerus
dari suaminya yang dulu - yang tidak pernah memberikan bantuan seujung jari pun untuk melaksanakan
tuntutannya -, kini bebas menikah dengan Lelaki lain yang meskipun juga menuntutnya melakukan banyak
permintaan, tetapi Ia sendiri di dalam dirinya menjadi kekuatan untuk memenuhi semua tuntutan-Nya.
Lalu, apa hasil dari kesatuan yang baru ini? "Supaya kita berbuah bagi Allah" (Roma 7:4). Oleh tubuh
Kristus, perempuan yang bodoh dan berdosa itu telah mati, tetapi karena bersatu dengan Dia dalam kematian,
ia pun bersatu dengan-Nya dalam kebangkitan-Nya, dan dalam kuasa kebangkitan itu, ia berbuah bagi
Allah. Hayat dari Tuhan yang telah bangkit itu memberinya kekuatan dari dalam terhadap tuntutan kekudusan
Allah atas dirinya. Hukum Taurat Allah tidak dihapuskan, melainkan sepenuhnya tergenap, karena Tuhan
Yesus yang bangkit kini menghidupkan hayat-Nya di dalam perempuan itu, dan hayat-Nya selama-
lamanya diperkenan Bapa.
Perkara apa yang paling jelas terjadi bila seorang perempuan menikah? Namanya berubah. Ia tidak lagi
menyandang namanya sendiri, melainkan nama suaminya. Si perempuan bukan hanya berbagian dalam nama
suaminya, juga atas harta bendanya. Semua yang dimiliki oleh suaminya menjadi miliknya. Dalam sekejap mata
ia menjadi kaya raya. Demikian pula yang terjadi ketika kita bersatu dengan Kristus. Semua yang menjadi
milik-Nya menjadi milik kita; dan dengan Dia sebagai sumber yang tidak terbatas sebagai modal kita,
kita tidak perlu takut lagi tidak mampu memenuhi semua tuntutan-Nya. Tuhan memberkati. Amin.

Anda mungkin juga menyukai