Anda di halaman 1dari 12

Gambaran Tingkat Kesadaran Masyarakat Terhadap Skrining Penyakit Tidak

Menular Desa Sangkanhurip Kabupaten Bandung Tahun 2023

ARTIKEL ILMIAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat


Program Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Bandung

Disusun oleh:

Salman Al Farisy P.H

12100121662

Pembimbing

Titik Respati, drg

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
PUSKESMAS SANGKANHURIP NON-DTP KABUPATEN BANDUNG
2023
PENDAHULUAN

Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis, memiliki perjalanan

penyakit yang progresif, berlangsung lama dan merupakan hasil dari faktor genetik,

fisiologis, lingkungan, dan perilaku. Penyakit tidak menular menjadi salah satu masalah

utama kesehatan masyarakat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi

secara global dan dapat menjangkiti seluruh kelompok usia. Jenis penyakit PTM yaitu

penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernafasan obstruktif kronis, asma, dan diabetes. 1,2

Penyakit tidak menular (PTM) membunuh 41 juta orang setiap tahun di seluruh dunia, setara

dengan 71% dari seluruh kematian secara global.(PAHO)

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian NCD terbanyak, atau 17,9 juta orang

setiap tahunnya, diikuti oleh kanker (9,0 juta), penyakit pernafasan (3,9 juta), dan diabetes

(1,6 juta), secara global. (PAHO)

Dari seluruh kematian akibat NCD, 77% terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan

menengah. (WHO)

Stunting masih menjadi masalah besar di Indonesia, berdasarkan data dari Studi

Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementrian Kesehatan menunjukan prevalensi balita stunting

tahun 2021 sebesar 24,4% dari 26,9% pada tahun 2020, walaupun mengalami penurunan dari

tahun 2020 ke 2021 tetap saja hampir seperempat balita indoesia mengalami stunting. Salah

satu sasaran strategis RPJMN 2020-2024 pada tahun 2024 ditargetkan angka stunting

menjadi 14%, maka dari itu sangat diperlukan adanya deteksi dini stunting pada bayi atau

balita. 2
Penggunaan tembakau, kurangnya aktivitas fisik, penggunaan alkohol yang berbahaya, pola

makan yang tidak sehat, dan polusi udara semuanya meningkatkan risiko kematian akibat

NCD. (WHO)

Anak-anak, orang dewasa dan orang lanjut usia semuanya rentan terhadap faktor risiko yang

berkontribusi terhadap penyakit tidak menular, baik dari pola makan yang tidak sehat,

kurangnya aktivitas fisik, paparan asap tembakau atau penggunaan alkohol atau polusi udara

yang berbahaya. (WHO)

Penyakit-penyakit ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mencakup urbanisasi cepat yang

tidak terencana, globalisasi gaya hidup tidak sehat, dan penuaan populasi. Pola makan yang

tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik dapat muncul pada manusia dalam bentuk

peningkatan tekanan darah, peningkatan glukosa darah, peningkatan lipid darah, dan obesitas.

Hal ini disebut faktor risiko metabolik dan dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular,

NCD yang merupakan penyebab utama kematian dini. (WHO)

Stunting merupakan penyakit yang disebabkan karena tidak terpenuhinya gizi secara

kronis. Untuk mengetahui apakah gizi nya terpenuhi atau tidak maka perlu adanya

pemantauan status gizi pada bayi dan balita. Status gizi pada bayi dan balita yang terhambat

merupakan hasil dari kurangnya asupan gizi, baik makronutrien ataupun mikronutrien. 3

Status gizi dapat dilihat dari pertumbuhan, secara definisi pertumbuhan merupakan proses

bertambahnya jumlah dan ukuran sel dalam tubuh yang dapat dihitung menggunakan angka

seperti pertambahan berat badan dan tinggi badan (Kemenkes RI, 2018) ,sehingga perlu

adanya pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Pemantauan pertumbuhan bayi dan balita

biasanya diadakan di posyandu setiap bulan dengan bantuan kader. Hal ini sesuai dengan

Peraturan Mentri Kesehatan No 66 Tahun 2014 tentang Pemantauan Pertumbuhan Anak,


peraturan tersebut menegaskan bahwa pos pelayanan terpadu (Posyandu) adalah salah satu

tempat untuk mendeteksi adanya masalah gizi pada bayi dan balita melalui pemantauan

pertumbuhan. Posyandu memilki fungi penting dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan

balita melalui pengukuran antropometri setiap bulan yang dibantu oleh kader, selain itu

posyandu juga menjadi salah satu keunggulan pemerintah dalam deteksi dini masalah gizi

dan mencegah kematian pada bayi dan balita. 4

Pengukuran antropometri adalah pengukuran ukuran tubuh yang merupakan indikator

dari status gizi.5 Untuk mengukur pertumbuhan bayi atau balita diperlukan sarana prasarana

khusus dan kemampuan kader yang baik dalam mengukur antropometri atau pertambahan

berat badan dan tinggi badan pada bayi atau balita. Hasil pengukuran antropometri menjadi

suatu informasi penting bagi ibu apakah gizi yang diberikan pada anak sudah memenuhi

kebutuhannya atau tidak dan hasil pengukuran ini akan dicatat dan dilaporkan ke puskesmas

setempat yang selanjutnya akan mempengaruhi dasar kebijakan pemerintah setempat untuk

menyelesaikan masalah gizi. 6

Hasil pengukuran antropometri yang baik akan mengeluarkan hasil yang akurat, hasil

yang akurat berasal dari pengetahuan dan keterampilan kader mengenai pengukuran

antropometri yang baik, namun berdasarkan beberapa penelitian seperti penelitian yang

dilakukan oleh Fransisca (2021) menyatakan bahwa 100% kader tidak terampil sebelum

dilakukan pelatihan 7 dan berdasarkan penelitian Setianingsih, (2022) tingkat pengetahuan

kader masih terbilang kurang dengan presentase 86,7% jika dibandingkan dengan penilaian

gizi seimbang dengan presentase 98,3%, hal ini diakibatkan karena rendahnya tingkat

pendidikan pada kader dan kurangnya pelatihan kepada kader mengenai cara pengukuran

antropometri dengan benar 8 dan berdasarkan penelitian Tri (2022) tingkat pengetahuan
kader dalam deteksi dini stunting khususnya dalam pengukuran antropometri sekitar 21%

saat belum dilakukannya intervensi berupa pelatihan. 9

Rendahnya kemampuan kader dalam melakukan pengukuran antropometri ini salah satunya

disebabkan oleh rendahnya pengetahuan kader mengenai bagaiamana cara pengukuran

antropometri yang baik dan benar. Salah satu cara meningkatkan pengetahuan kader

mengenai pengukuran antropometri adalah dengan diadakannya beberapa kegiatan seperti

pembinaan, pelatihan, dan penyuluhan mengenai cara pengukuran antropometri, hal ini

menjadi tanggung jawab pemerintah daerah mengingat sejak diberlakukannya revitalisasi

tahun 2001 dimana dukungan posyandu tidak lagi terpusat, sehingga kegiatan peningkatan

pengetahuan kader mengenai cara melakukan pengukuran antropometri dilakukan oleh

pemerintah daerah dan mutlak diperlukan. 10

Beberapa penelitian dengan design pre-post eksperimental membuktikan bahwa

terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader setelah dilakukan berbagai

intervensi. Pada penelitian Teuku (2022) menyatakan bahwa terdapat peningkatan

pengetahuan dan keterampilan kader setelah dilakukan pemberian edukasi dan demonstrasi

pengukuran atropometri. 11 Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2022) menyatakan

bahwa terjadi peningkatan pegetahuan pada kader setelah dilakukan simulasi seperti edukasi,

penyuluhan dan pelatihan tentang deteksi dini stunting. 12.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian adalah analtik

deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Data diperoleh dari data primer. Penelitian

dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Sangkanhurip Non-DTP, Kabupaten Bandung pada

bulan Desember 2023 kepada masyarakat Desa Sangkanhurip. Teknik Pengambilan sampel

pada penelitian ini adalah total sampling sehingga seluruh masyarakat Desa Sangkanhurip
sebagai responden. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari

15 pertanyaan tetutup mengenai penyakit tidak menular. Analisis deskriptif dilakukan unuk

mendapatkan gambaran karakteristik responden berdasarkan usia dan tingkat Pendidikan dan

tingkat pengetahuan kader mengenai kemampuan dalam pengukuran antropometri .

HASIL

Karakteristik Responden

Karakteristik n % CI

Usia

Produktif ( 15 – 64 72 100%

tahun)

Non- Produktif (>64 0 0

tahun)

Total 72 100%

Tingkat

Pendidikan

Tidak Sekolah 0 0

SD 0 0

SMP 29 40,3%

SMA 41 57%

Perguruan Tinggi 2 2,7%

Total 72 100%

Tabel 1 menunjukan bahwa seluruh responden merupakan usia produktif (15-64 tahun)

berjumlah 72 orang dengan presentase 100% dan mayoritas tingkat pendidikan responden
adalah sekolah menengah atas (SMA) berjumlah 41 orang dengan presentase sebesar 57%

dan responden dengan tingkat Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 29

orang dengan presentase sebesar 40,3% dan hanya 2 kader (2,7%) dengan tingkat pendidikan

perguruan tinggi.

PEMBAHASAN

Berdasarkan karakteristik responden pada hasil penelitian menunjukan bahwa seluruh

responden berada di usia produktif sekitar usia 15-64 tahun Berdasarkan penellitian yang

dilakukan oleh Aldisa (2013) rata-rata usia kader adalah 40,5 tahun, dengan usia termuda 36

tahun dan usia tertua 63 tahun 13 Usia kader rata-rata paling banyak antara usia 40 – 50 tahun

dan paling sedikit berada di usia <30 tahun. 14 Usia kader akan menentukan seberapa matang

seseorang menjadi kader, karena pada saat usia tertentu saat memulai memilih menjadi kader

hal tersebut sama dengan menunjukan kapan mulai terjadi pehaman tentang tugas dan

tanggung jawab yang timbul dari pekerjaan yang dipilih, selain itu usia kader juga akan

mempengaruhi kinerja kader. Kader yang memiliki ≥26 tahun memiliki peluang kinerja baik

3x lipat dari pada kader yang memiliki usia <26 tahun. Usia produktivitas tertinggi berada

pada usia ≥26 tahun, karena sesuai dengan teori perkembangan kehidupan, seseorang di usia

ini sedang merasakan bahwa pekerjaan merupakan bagian menyenangkan dari kehidupannya.

15

Selain usia, karaktertistik selanjutnya yang diteliti adalah tingkat Pendidikan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pendidikan kader yaitu SMA dengan

jumlah kader 41 orang dengan presentase 57%. Menurut penelitian Lina Rahmiati (2015),

kader paling banyak berasal dari kader dengan tingkat pendidikan setara SMA sekitar 52,5%

dan yang paling sedikit yaitu kader dengan tingkat Pendidikan perguruan tinggi sekitar 8% 14

Pendidikan kader dapat juga dibedakan menjadi SD dan SLTP/Akademik/Perguruan Tinggi,


mayoritas pendidikan kader yaitu SLTP/Akademik/Perguruan tinggi sekitar 89,1% 16. Kader

merupakan seseorang yang secara sukarela mengabdikan dirinya ke masyarakat, sehingga

tidak memiliki standar tertentu untuk menjadi seorang kader, akibatnya tingkat Pendidikan

kader sangat beragam. Tingkat Pendidikan akan berhubungan dengan kemampuan seseorang

dalam menerima suatu informasi dari berbagai media, sehingga semakin tinggi tingkat

Pendidikan maka akan semakin mudah seseorang tersebut mendapatkan suatu informasi. 17

Tingkat Pendidikan ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas laporan yang akan dibuat.

Untuk kader yang berpendidikan lanjutan seperti SMA memiliki kualitas laporan yang baik

jika dibandingkan dengan kader yang berpendidikan dasar seperti SD dan SMP. 13

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pengetahuan kader mengenai kemampuan dalam

pengukuran antropometri di Desa Panenjoan menunjukan hasil yang baik dengan presentase

sekitar 97,3% atau berjumlah 70 kader dari total 72 kader. Hal ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Purba (2019) menunjukan bahwa pengetahuan kader mengenai

pengukuran antropometri memiliki nilai tinggi dengan presentase sekitar 53,3%. Pengetahuan

mengenai pengukuran antropometri akan mempengaruhi ketepatan pengukuran yang

dilakukan, semakin tinggi tingkat pengetahuan kader mengenai penukuran antropometri maka

akan semakin presisi hasil pengukuran yang didapatkan. Salah satu faktor kepresisian suatu

hasil pengukuran adalah jumlah pelatihan yang diikuti kader. Kader yang pernah mengikuti

minimal satu kali pelatihan mengenai pengukuran antropometri memiliki tigkat kepresisian

sebesar 68,9% lebih tinggi jika dibandingan dengan kader yang tidak pernah mengikuti

pelatihan. 17 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita (2017) kader yang

memiliki tingkat pengetahuan tinggi terhadap pengukuran antropometri sebanyak 54,2%

dengan tingkat pengetahuan mengenai pengukuran antropometri meliputi penimbangan berat

badan, pengukuran tinggi badan atau panjang badan. Adapun salah satu faktor yang

mempengaruhi tingkat pengetahuan terhadap pengukuran antropometri ialah pengalaman


kader dalam mengikuti posyandu. 18 Penelitian yang dilakukan oleh Sasmita (2017)

menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan maka keterampilan sebagai kader

akan meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakuakan oleh Siagian (2013) yang

menyatakan bahwa variabel yang mempengaruhi keterampilan adalah pengetahuan dan

menurut penelitian yang dilakukan oleh Sudaryati (2015) bahwa semakin terampil kader

dalam mengukur BB dan TB maka semakin baik pengetahuan dari kader tersebut 18

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader dalam pengukuran antropometri

dapat diintervensi oleh beberapa hal diantaranya bisa dengan dilakukanya penyuluhan dan

pelatihan 19 selain itu terdapat 3 metode dalam intervensi peningkatan pengetahuan dan

keterampulan kader yaitu dengan melalui edukasi, simulasi dan pendampingan. 20

KETERBATASAN PENELITIAN

Penelitian ini mengambil judul mengenai kemampuan kader dalam pengukuran

antropomeri dan data yang digunakan adalah data primer menggunakan kuesioner yang berisi

15 pertanyaan tertutup mengenai teori pengukuran antropometri, dikarenakan judul yang

diambil ingin melihat kemampuan para kader dalam mengukur antropometri sehingga

keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukannya pengujian pengukuran antropometri

kepada para kader dalam pengambilan data. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat

melakukan pengujian pengukuran antropometri sebagai data primer untuk melihat tingkat

kemampuan kader dalam pengukuran antropometri.

SIMPULAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa semua kader di Desa Panenjoan berada pada usia

produktif yaitu pada usia 15 – 64 tahun, dan hampir semua kader di Desa Panenjoan memiliki

tingkat Pendidikan setara SMA. Penelitian ini juga menunjukan bahwa hampir semua kader
di Desa Panenjoan memiliki tingkat pengetahuan yang baik dalam pengukuran antropometri

maka dari itu puskesmas perlu mempertahankan pembinaan dan pelatihan kader dalam

pengukuran antropometri agar semua kader tetap memiliki tingkat pengetahuan yang baik

bahkan bisa lebih baik lagi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kepala Puskesmas Sangkanhurip dan

seluruh karyawan Puskesmas Sangkanhurip kabupaten Bandung yang telah membantu dalam

penyusunan penelitian ini.


Daftar Pustaka
1. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/noncommunicable-diseases
2. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/761/penyakit-tidak-menular-ptm
3.
4.
5.

1. https://www.unicef.org/india/what-we-do/stop-stunting#:~:text=Problems%20such%20as
%20stunting%2C%20which%20are%20often%20invisible%2C,marginalized%20groups
%20by%20reducing%20and%20preventing%20malnutrition%20overall.
2. https://cegahstunting.id/berita/mengenal-studi-status-gizi-indonesia-2021/
3. Black RE, Victora CG, Walker SP, Bhutta ZA, Christian P, De Onis M, et al. Maternal and
child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. Lancet.
2013;382(9890):427–51.
4. Kemenkes. (2011a). Buku Panduan Kader Posyandu: Menuju Keluarga Sadar Gizi.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Aritonang, Irianton. 2013. Memantau dan Menilai Status Gizi Anak. Yogyakarta: Leutika
Books.
6. Kemenkes. (2011b). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: SIKDA Generik.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.
7 http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm
8 Setianingsih, S., Musyarofah, S., PH, L., & Indrayati, N. (2022). Tingkat Pengetahuan
Kader dalam Upaya Pencegahan Stunting. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 5(3), 447–454
9. Sumarto, T. E., & Trisnawati, E. (2022). Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan
Kader Posyandu dalam Deteksi Dini Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabangun
Kecamatan Delta Pawan Kabupaten Ketapang. Avicenna: Jurnal Ilmiah, 17(02), 66–76.
https://doi.org/10.36085/avicenna.v17i02.3376
10. Iswarawanti, D. N. (2010). Kader Posyandu: Peran dan Tantangan Pemberdayaannya
dalam Usaha Peningkatan Gizi Anak di Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,
13, 169 – 173.
11.
https://jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/19927/9882
12
https://journal.ugm.ac.id/jkki/article/view/69491
13 http://eprints.ums.ac.id/27723/16/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
14.
http://ijemc.unpad.ac.id/ijemc/article/view/59
15 https://ejournal.umpri.ac.id/index.php/JIK/article/download/1108/553
16.
https://ejournal.poltekkesaceh.ac.id/index.php/an/article/view/102/59
17. Purba, s. J., Wilar, r., & Gunawan, s.. Status antropometri pada bayi yang dirawat di
neonatal intensive care unit RSUP prof Dr. R,.D kondou Manado. fakultas kedokteran
universitas sam Ratulangi:2019:1 (3), 1 - 4.
18. http://eprints.ums.ac.id/55491/12/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
19 Pengetahuan, Peningkatan & Keterampilan, Dan & Posyandu, Kader & Antropometri,
Pengukuran & Kelurahan, Di & Barat, Cilandak & Selatan, Jakarta & Fitriani, Anna &
Desiani, Dan & Purwaningtyas, Rizki & Format, Sitasi & Fitriani, A. (2020). Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu dalam Pengukuran Antropometri di
Kelurahan Cilandak Barat Jakarta Selatan. Jurnal SOLMA. 9. 367-378.
10.22236/solma.v9i2.4087.
20. Nurbaya, Nurbaya & Haji Saeni, Rahmat & Irwan, Zaki. (2022). Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu melalui Kegiatan Edukasi dan Simulasi.
JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri). 6. 678-686. 10.31764/jmm.v6i1.6579.

https://promkes.kemkes.go.id/?p=8486

Anda mungkin juga menyukai