ARTIKEL ILMIAH
Disusun oleh:
12100121662
Pembimbing
penyakit yang progresif, berlangsung lama dan merupakan hasil dari faktor genetik,
fisiologis, lingkungan, dan perilaku. Penyakit tidak menular menjadi salah satu masalah
utama kesehatan masyarakat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi
secara global dan dapat menjangkiti seluruh kelompok usia. Jenis penyakit PTM yaitu
penyakit kardiovaskular, kanker, penyakit pernafasan obstruktif kronis, asma, dan diabetes. 1,2
Penyakit tidak menular (PTM) membunuh 41 juta orang setiap tahun di seluruh dunia, setara
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian NCD terbanyak, atau 17,9 juta orang
setiap tahunnya, diikuti oleh kanker (9,0 juta), penyakit pernafasan (3,9 juta), dan diabetes
Dari seluruh kematian akibat NCD, 77% terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan
menengah. (WHO)
Stunting masih menjadi masalah besar di Indonesia, berdasarkan data dari Studi
Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementrian Kesehatan menunjukan prevalensi balita stunting
tahun 2021 sebesar 24,4% dari 26,9% pada tahun 2020, walaupun mengalami penurunan dari
tahun 2020 ke 2021 tetap saja hampir seperempat balita indoesia mengalami stunting. Salah
satu sasaran strategis RPJMN 2020-2024 pada tahun 2024 ditargetkan angka stunting
menjadi 14%, maka dari itu sangat diperlukan adanya deteksi dini stunting pada bayi atau
balita. 2
Penggunaan tembakau, kurangnya aktivitas fisik, penggunaan alkohol yang berbahaya, pola
makan yang tidak sehat, dan polusi udara semuanya meningkatkan risiko kematian akibat
NCD. (WHO)
Anak-anak, orang dewasa dan orang lanjut usia semuanya rentan terhadap faktor risiko yang
berkontribusi terhadap penyakit tidak menular, baik dari pola makan yang tidak sehat,
kurangnya aktivitas fisik, paparan asap tembakau atau penggunaan alkohol atau polusi udara
Penyakit-penyakit ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mencakup urbanisasi cepat yang
tidak terencana, globalisasi gaya hidup tidak sehat, dan penuaan populasi. Pola makan yang
tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik dapat muncul pada manusia dalam bentuk
peningkatan tekanan darah, peningkatan glukosa darah, peningkatan lipid darah, dan obesitas.
Hal ini disebut faktor risiko metabolik dan dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular,
Stunting merupakan penyakit yang disebabkan karena tidak terpenuhinya gizi secara
kronis. Untuk mengetahui apakah gizi nya terpenuhi atau tidak maka perlu adanya
pemantauan status gizi pada bayi dan balita. Status gizi pada bayi dan balita yang terhambat
merupakan hasil dari kurangnya asupan gizi, baik makronutrien ataupun mikronutrien. 3
Status gizi dapat dilihat dari pertumbuhan, secara definisi pertumbuhan merupakan proses
bertambahnya jumlah dan ukuran sel dalam tubuh yang dapat dihitung menggunakan angka
seperti pertambahan berat badan dan tinggi badan (Kemenkes RI, 2018) ,sehingga perlu
adanya pemantauan pertumbuhan bayi dan balita. Pemantauan pertumbuhan bayi dan balita
biasanya diadakan di posyandu setiap bulan dengan bantuan kader. Hal ini sesuai dengan
tempat untuk mendeteksi adanya masalah gizi pada bayi dan balita melalui pemantauan
pertumbuhan. Posyandu memilki fungi penting dalam pemantauan pertumbuhan bayi dan
balita melalui pengukuran antropometri setiap bulan yang dibantu oleh kader, selain itu
posyandu juga menjadi salah satu keunggulan pemerintah dalam deteksi dini masalah gizi
dari status gizi.5 Untuk mengukur pertumbuhan bayi atau balita diperlukan sarana prasarana
khusus dan kemampuan kader yang baik dalam mengukur antropometri atau pertambahan
berat badan dan tinggi badan pada bayi atau balita. Hasil pengukuran antropometri menjadi
suatu informasi penting bagi ibu apakah gizi yang diberikan pada anak sudah memenuhi
kebutuhannya atau tidak dan hasil pengukuran ini akan dicatat dan dilaporkan ke puskesmas
setempat yang selanjutnya akan mempengaruhi dasar kebijakan pemerintah setempat untuk
Hasil pengukuran antropometri yang baik akan mengeluarkan hasil yang akurat, hasil
yang akurat berasal dari pengetahuan dan keterampilan kader mengenai pengukuran
antropometri yang baik, namun berdasarkan beberapa penelitian seperti penelitian yang
dilakukan oleh Fransisca (2021) menyatakan bahwa 100% kader tidak terampil sebelum
kader masih terbilang kurang dengan presentase 86,7% jika dibandingkan dengan penilaian
gizi seimbang dengan presentase 98,3%, hal ini diakibatkan karena rendahnya tingkat
pendidikan pada kader dan kurangnya pelatihan kepada kader mengenai cara pengukuran
antropometri dengan benar 8 dan berdasarkan penelitian Tri (2022) tingkat pengetahuan
kader dalam deteksi dini stunting khususnya dalam pengukuran antropometri sekitar 21%
Rendahnya kemampuan kader dalam melakukan pengukuran antropometri ini salah satunya
antropometri yang baik dan benar. Salah satu cara meningkatkan pengetahuan kader
pembinaan, pelatihan, dan penyuluhan mengenai cara pengukuran antropometri, hal ini
tahun 2001 dimana dukungan posyandu tidak lagi terpusat, sehingga kegiatan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan kader setelah dilakukan pemberian edukasi dan demonstrasi
bahwa terjadi peningkatan pegetahuan pada kader setelah dilakukan simulasi seperti edukasi,
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jenis penelitian adalah analtik
deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Data diperoleh dari data primer. Penelitian
bulan Desember 2023 kepada masyarakat Desa Sangkanhurip. Teknik Pengambilan sampel
pada penelitian ini adalah total sampling sehingga seluruh masyarakat Desa Sangkanhurip
sebagai responden. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari
15 pertanyaan tetutup mengenai penyakit tidak menular. Analisis deskriptif dilakukan unuk
mendapatkan gambaran karakteristik responden berdasarkan usia dan tingkat Pendidikan dan
HASIL
Karakteristik Responden
Karakteristik n % CI
Usia
Produktif ( 15 – 64 72 100%
tahun)
tahun)
Total 72 100%
Tingkat
Pendidikan
Tidak Sekolah 0 0
SD 0 0
SMP 29 40,3%
SMA 41 57%
Total 72 100%
Tabel 1 menunjukan bahwa seluruh responden merupakan usia produktif (15-64 tahun)
berjumlah 72 orang dengan presentase 100% dan mayoritas tingkat pendidikan responden
adalah sekolah menengah atas (SMA) berjumlah 41 orang dengan presentase sebesar 57%
dan responden dengan tingkat Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berjumlah 29
orang dengan presentase sebesar 40,3% dan hanya 2 kader (2,7%) dengan tingkat pendidikan
perguruan tinggi.
PEMBAHASAN
responden berada di usia produktif sekitar usia 15-64 tahun Berdasarkan penellitian yang
dilakukan oleh Aldisa (2013) rata-rata usia kader adalah 40,5 tahun, dengan usia termuda 36
tahun dan usia tertua 63 tahun 13 Usia kader rata-rata paling banyak antara usia 40 – 50 tahun
dan paling sedikit berada di usia <30 tahun. 14 Usia kader akan menentukan seberapa matang
seseorang menjadi kader, karena pada saat usia tertentu saat memulai memilih menjadi kader
hal tersebut sama dengan menunjukan kapan mulai terjadi pehaman tentang tugas dan
tanggung jawab yang timbul dari pekerjaan yang dipilih, selain itu usia kader juga akan
mempengaruhi kinerja kader. Kader yang memiliki ≥26 tahun memiliki peluang kinerja baik
3x lipat dari pada kader yang memiliki usia <26 tahun. Usia produktivitas tertinggi berada
pada usia ≥26 tahun, karena sesuai dengan teori perkembangan kehidupan, seseorang di usia
ini sedang merasakan bahwa pekerjaan merupakan bagian menyenangkan dari kehidupannya.
15
Selain usia, karaktertistik selanjutnya yang diteliti adalah tingkat Pendidikan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pendidikan kader yaitu SMA dengan
jumlah kader 41 orang dengan presentase 57%. Menurut penelitian Lina Rahmiati (2015),
kader paling banyak berasal dari kader dengan tingkat pendidikan setara SMA sekitar 52,5%
dan yang paling sedikit yaitu kader dengan tingkat Pendidikan perguruan tinggi sekitar 8% 14
tidak memiliki standar tertentu untuk menjadi seorang kader, akibatnya tingkat Pendidikan
kader sangat beragam. Tingkat Pendidikan akan berhubungan dengan kemampuan seseorang
dalam menerima suatu informasi dari berbagai media, sehingga semakin tinggi tingkat
Pendidikan maka akan semakin mudah seseorang tersebut mendapatkan suatu informasi. 17
Tingkat Pendidikan ini juga akan berpengaruh terhadap kualitas laporan yang akan dibuat.
Untuk kader yang berpendidikan lanjutan seperti SMA memiliki kualitas laporan yang baik
jika dibandingkan dengan kader yang berpendidikan dasar seperti SD dan SMP. 13
pengukuran antropometri di Desa Panenjoan menunjukan hasil yang baik dengan presentase
sekitar 97,3% atau berjumlah 70 kader dari total 72 kader. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Purba (2019) menunjukan bahwa pengetahuan kader mengenai
pengukuran antropometri memiliki nilai tinggi dengan presentase sekitar 53,3%. Pengetahuan
dilakukan, semakin tinggi tingkat pengetahuan kader mengenai penukuran antropometri maka
akan semakin presisi hasil pengukuran yang didapatkan. Salah satu faktor kepresisian suatu
hasil pengukuran adalah jumlah pelatihan yang diikuti kader. Kader yang pernah mengikuti
minimal satu kali pelatihan mengenai pengukuran antropometri memiliki tigkat kepresisian
sebesar 68,9% lebih tinggi jika dibandingan dengan kader yang tidak pernah mengikuti
pelatihan. 17 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sasmita (2017) kader yang
badan, pengukuran tinggi badan atau panjang badan. Adapun salah satu faktor yang
menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan maka keterampilan sebagai kader
akan meningkat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakuakan oleh Siagian (2013) yang
menurut penelitian yang dilakukan oleh Sudaryati (2015) bahwa semakin terampil kader
dalam mengukur BB dan TB maka semakin baik pengetahuan dari kader tersebut 18
dapat diintervensi oleh beberapa hal diantaranya bisa dengan dilakukanya penyuluhan dan
pelatihan 19 selain itu terdapat 3 metode dalam intervensi peningkatan pengetahuan dan
KETERBATASAN PENELITIAN
antropomeri dan data yang digunakan adalah data primer menggunakan kuesioner yang berisi
diambil ingin melihat kemampuan para kader dalam mengukur antropometri sehingga
kepada para kader dalam pengambilan data. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat
melakukan pengujian pengukuran antropometri sebagai data primer untuk melihat tingkat
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa semua kader di Desa Panenjoan berada pada usia
produktif yaitu pada usia 15 – 64 tahun, dan hampir semua kader di Desa Panenjoan memiliki
tingkat Pendidikan setara SMA. Penelitian ini juga menunjukan bahwa hampir semua kader
di Desa Panenjoan memiliki tingkat pengetahuan yang baik dalam pengukuran antropometri
maka dari itu puskesmas perlu mempertahankan pembinaan dan pelatihan kader dalam
pengukuran antropometri agar semua kader tetap memiliki tingkat pengetahuan yang baik
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kepala Puskesmas Sangkanhurip dan
seluruh karyawan Puskesmas Sangkanhurip kabupaten Bandung yang telah membantu dalam
1. https://www.unicef.org/india/what-we-do/stop-stunting#:~:text=Problems%20such%20as
%20stunting%2C%20which%20are%20often%20invisible%2C,marginalized%20groups
%20by%20reducing%20and%20preventing%20malnutrition%20overall.
2. https://cegahstunting.id/berita/mengenal-studi-status-gizi-indonesia-2021/
3. Black RE, Victora CG, Walker SP, Bhutta ZA, Christian P, De Onis M, et al. Maternal and
child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. Lancet.
2013;382(9890):427–51.
4. Kemenkes. (2011a). Buku Panduan Kader Posyandu: Menuju Keluarga Sadar Gizi.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
5. Aritonang, Irianton. 2013. Memantau dan Menilai Status Gizi Anak. Yogyakarta: Leutika
Books.
6. Kemenkes. (2011b). Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: SIKDA Generik.
Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI.
7 http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm
8 Setianingsih, S., Musyarofah, S., PH, L., & Indrayati, N. (2022). Tingkat Pengetahuan
Kader dalam Upaya Pencegahan Stunting. Jurnal Ilmu Keperawatan Jiwa, 5(3), 447–454
9. Sumarto, T. E., & Trisnawati, E. (2022). Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan
Kader Posyandu dalam Deteksi Dini Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sukabangun
Kecamatan Delta Pawan Kabupaten Ketapang. Avicenna: Jurnal Ilmiah, 17(02), 66–76.
https://doi.org/10.36085/avicenna.v17i02.3376
10. Iswarawanti, D. N. (2010). Kader Posyandu: Peran dan Tantangan Pemberdayaannya
dalam Usaha Peningkatan Gizi Anak di Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan,
13, 169 – 173.
11.
https://jim.unsyiah.ac.id/FKep/article/view/19927/9882
12
https://journal.ugm.ac.id/jkki/article/view/69491
13 http://eprints.ums.ac.id/27723/16/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf
14.
http://ijemc.unpad.ac.id/ijemc/article/view/59
15 https://ejournal.umpri.ac.id/index.php/JIK/article/download/1108/553
16.
https://ejournal.poltekkesaceh.ac.id/index.php/an/article/view/102/59
17. Purba, s. J., Wilar, r., & Gunawan, s.. Status antropometri pada bayi yang dirawat di
neonatal intensive care unit RSUP prof Dr. R,.D kondou Manado. fakultas kedokteran
universitas sam Ratulangi:2019:1 (3), 1 - 4.
18. http://eprints.ums.ac.id/55491/12/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
19 Pengetahuan, Peningkatan & Keterampilan, Dan & Posyandu, Kader & Antropometri,
Pengukuran & Kelurahan, Di & Barat, Cilandak & Selatan, Jakarta & Fitriani, Anna &
Desiani, Dan & Purwaningtyas, Rizki & Format, Sitasi & Fitriani, A. (2020). Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu dalam Pengukuran Antropometri di
Kelurahan Cilandak Barat Jakarta Selatan. Jurnal SOLMA. 9. 367-378.
10.22236/solma.v9i2.4087.
20. Nurbaya, Nurbaya & Haji Saeni, Rahmat & Irwan, Zaki. (2022). Peningkatan
Pengetahuan dan Keterampilan Kader Posyandu melalui Kegiatan Edukasi dan Simulasi.
JMM (Jurnal Masyarakat Mandiri). 6. 678-686. 10.31764/jmm.v6i1.6579.
https://promkes.kemkes.go.id/?p=8486