Anda di halaman 1dari 16

Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan

(PPh) Pasal 21 Karyawan Tahun 2013


Published by Dudi Wahyudi on December 27th, 2012 08:46 AM | Pajak Penghasilan, PPh
Pasal 21

Nampaknya masih banyak pegawai atau karyawan yang masih bingung tentang bagaimana
cara menghitung pajak atas gaji karyawan. Nah, untuk itu saya coba memberikan contoh
sederhana tentang cara menghitung pajak karyawan yang dalam bahasa teknis perpajakan
disebut pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk pegawai tetap.

Untuk memudahkan, di sini saya ambilkan contoh perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan
PER-31/PJ/2009 dan PER-57/2009 yang sudah disesuaikan dengan PTKP terbaru yang
berlaku tahun 2013. Untuk memudahkan saya coba menggunakan contoh yang paling
sederhana.

Misal, Tuan Sule pegawai pada perusahaan PT Opera Van Java, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp. 10.000.000,00. PT Opera Van Java mengikuti program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Opera Van
Java menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan
Tuan Sule membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Disamping itu PT Opera Van Java juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.

PT Opera Van Java membayar iuran pensiun untuk Tuan Sule ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp. 300.000,00,
sedangkan Tuan Sule membayar iuran pensiun sebesar Rp. 200.000,00.

Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan) yang harus
dipotong PT Opera Van Java untuk satu bulannya.

Gaji sebulan 10.000.000


Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 50.000
Premi Jaminan Kematian 30.000
Jumlah
10.080.000
Penghasilan Bruto
Pengurangan :
1. Biaya Jabatan 500.000
2. Iuran Pensiun 200.000
3. Iuran Jaminan Hari Tua 200.000
Jumlah Pengurangan 900.000
Penghasilan Neto Sebulan 9.180.000
Penghasilan Neto Setahun 110.160.000
PTKP
- Diri WP Sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
Jumlah PTKP 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun 83.835.000
Pembulatan 83.835.000
PPh Pasal 21 Setahun (5%, 15%) 7.575.250
PPh Pasal 21 Sebulan (dibagi 12) 631.271

Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh
penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya.
Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang
lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam
penghasilan bruto adalah imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas
penghasilan bruto yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan
kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau
ditanggung perusahaan.

Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua
macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan
sendiri besarnya 5% dari penghasilan bruto 5% x Rp10.080.000,00 atau sama dengan
Rp504.000,00. Jumlah ini masih di atas maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar
Rp500.000,00 per bulan sehingga biaya jabatan adalah sebesar Rp500.000,00.

Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-masing Rp200.000,00
dan Rp200.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar atau
ditanggung oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh
pengurang adalah Rp900.000,00.

Penghasilan bruto Rp10.080.000,00 dikurangi pengurang Rp900.000 sama dengan


Rp9.180.000,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya
penghasilan neto sebulan ini kita buat setahun dengan cara penghasilan neto sebulan dikali 12
bulan atau Rp9.180.000 x 12 = Rp110.160.000,00.

Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku
pada tahun 2013 yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp26.325.000,00. Selisihnya inilah
yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (Rp83.835.000,00).

Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak
Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Besarnya adalah 5% x Rp50.000.000,00 +
15% x (Rp83.835.000,00 – Rp50.000.000,00) = Rp7.575.250,00.

Nah, karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal 21 terutang di
atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Opera Van Java atas
penghasilannya Tuan Sule adalah Rp7.575.250 : 12 = Rp631.271,00
Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 21 Karyawan Tahun 2013
Nampaknya masih banyak pegawai atau karyawan yang masih bingung tentang bagaimana
cara menghitung pajak atas gaji karyawan. Nah, untuk itu saya coba memberikan contoh
sederhana tentang cara menghitung pajak karyawan yang dalam bahasa teknis perpajakan
disebut pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk pegawai tetap.

Untuk memudahkan, di sini saya ambilkan contoh perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan
PER-31/PJ/2009 dan PER-57/2009 yang sudah disesuaikan dengan PTKP terbaru yang
berlaku tahun 2013. Untuk memudahkan saya coba menggunakan contoh yang paling
sederhana.

Misal, Tuan Sule pegawai pada perusahaan PT Opera Van Java, menikah tanpa anak,
memperoleh gaji sebulan Rp. 10.000.000,00. PT Opera Van Java mengikuti program
Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh
pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Opera Van
Java menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan
Tuan Sule membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
Disamping itu PT Opera Van Java juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya.

PT Opera Van Java membayar iuran pensiun untuk Tuan Sule ke dana pensiun, yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp. 300.000,00,
sedangkan Tuan Sule membayar iuran pensiun sebesar Rp. 200.000,00.

Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan) yang harus
dipotong PT Opera Van Java untuk satu bulannya.

Gaji sebulan 10.000.000

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 50.000

Premi Jaminan Kematian 30.000

Jumlah
10.080.000
Penghasilan Bruto

Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 500.000

2. Iuran Pensiun 200.000

3. Iuran Jaminan Hari Tua 200.000

Jumlah Pengurangan 900.000


Penghasilan Neto Sebulan 9.180.000

Penghasilan Neto Setahun 110.160.000

PTKP

- Diri WP Sendiri 24.300.000

- Status Kawin 2.025.000

Jumlah PTKP 26.325.000

Penghasilan Kena Pajak Setahun 83.835.000

Pembulatan 83.835.000

PPh Pasal 21 Setahun (5%, 15%) 7.575.250

PPh Pasal 21 Sebulan (dibagi 12) 631.271

Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh
penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya.
Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang
lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam
penghasilan bruto adalah imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas
penghasilan bruto yang menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan
kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau
ditanggung perusahaan.

Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua
macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan
sendiri besarnya 5% dari penghasilan bruto 5% x Rp10.080.000,00 atau sama dengan
Rp504.000,00. Jumlah ini masih di atas maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar
Rp500.000,00 per bulan sehingga biaya jabatan adalah sebesar Rp500.000,00.

Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-masing Rp200.000,00
dan Rp200.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar atau
ditanggung oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh
pengurang adalah Rp900.000,00.

Penghasilan bruto Rp10.080.000,00 dikurangi pengurang Rp900.000 sama dengan


Rp9.180.000,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya
penghasilan neto sebulan ini kita buat setahun dengan cara penghasilan neto sebulan dikali 12
bulan atau Rp9.180.000 x 12 = Rp110.160.000,00.

Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku
pada tahun 2013 yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp26.325.000,00. Selisihnya inilah
yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (Rp83.835.000,00).
Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak
Penghasilan) dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Besarnya adalah 5% x Rp50.000.000,00 +
15% x (Rp83.835.000,00 – Rp50.000.000,00) = Rp7.575.250,00.

Nah, karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal 21 terutang di
atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Opera Van Java atas
penghasilannya Tuan Sule adalah Rp7.575.250 : 12 = Rp631.271,00.

Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2013

Sebagaimana kita ketahui, mulai 1 Januari 2013 mulai diterapkan PTKP baru. Nah, tentu saja mulai
bulan Januari 2013, penghitungan PPh Pasal 21, terutama untuk pegawai tetap, akan menggunakan
PTKP baru ini. Nah, kira-kira bagaimana pengaruhnya penerapan PTKP baru ini bagi Anda sebagai
karyawan atau pegawai tetap? Silahkan baca tulisan singkat ini.

Hmmmm. Bagi Anda yang PPh Pasal 21 nya ditanggung oleh perusahaan, maka kenaikan PTKP tidak
berpengaruh dalam pemotongan PPh Pasal 21, soalnya kan yang bayar perusahaan, bukan Anda,
hehehe…

Bagi Anda yang selama ini dipotong PPh Pasal 21 dari gaji Anda, tentu saja kenaikan PTKP berarti
akan ada pengurangan PPh Pasal 21. Berapa besarnya pengurangan PPh Pasal 21 yang akan Anda
dapatkan? Itu tergantung pada berapa tingkat gaji Anda dalam setahun. Ya, pengurangan pajak yang
Anda dapatkan bisa 5% dari jumlah selisih PTKP lama dengan PTKP baru Anda. Bisa juga 15% dari
selisih tersebut atau bahkan 25% atau 30% dari selisih PTKP.

Berikut ini saya gambarkan perubahan pemotongan PPh Pasal 21 untuk seorang karyawan tetap
dengan gaji total Rp10.000.000,- sebulan. Tidak ada kenaikan atau penurunan gaji selama setahun.
Iuran pensiun yang dipotong dari gajinya adalah Rp300.000,- per bulan. Karyawan tersebut berstatus
kawin dan memiliki tanggungan 1 orang anak. Berikut perhitungannya.

PTKP Lama PTKP Baru

Penghasilan Bruto 10.000.000 10.000.000

Pengurang:

- Biaya Jabatan[1] 500.000 500.000

- Iuran Pensiun 300.000 300.000

Jumlah 800000 800000

Penghasilan neto sebulan 9.200.000 9.200.000

Penghasilan neto setahun[2] 110.400.000 110.400.000


PTKP

- Diri sendiri 15.840.000 24.300.000

- Status Kawin 1.320.000 2.025.000

- Tanggungan (1) 1.320.000 2.025.000

Jumlah 18.480.000 28.350.000

Penghasilan Kena Pajak 91.920.000 82.050.000

PPh Pasal 21 setahun[3] 8.788.000 7.307.500

PPh Pasal 21 sebulan[4] 732.333 608.958

Perhatikan, PTKP bertambah Rp9.870.000,- sehingga Penghasilan Kena Pajak juga berkurang sebesar
Rp9.870.000,-. PPh Pasal 21 setahun berkurang Rp1.480.500,- dan jumlah ini sama dengan 15% x
Rp9.870.000,-. PPh Pasal 21 sebulan adalah PPh Pasal 21 setahun dibagi 12 yaitu Rp732.333,- jika
menggunakan PTKP lama dan Rp608.958,- jika menggunakan PTKP baru. Ini berarti bahwa PPh Pasal
21 berkurang Rp123.375,-. Jadi, setiap bulan karyawan tersebut mendapat pengurangan PPh Pasal
21 sejumlah tersebut.

Kenaikan PTKP juga akan berpengaruh kepada pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap,
pekerja harian dan bukan pegawai. Dengan demikian, contoh-contoh penghitungan PPh Pasal 21
dalam PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009 perlu disesuaikan dengan kenaikan PTKP ini.

Berikut ini saya gambarkan perubahan pemotongan PPh Pasal 21 untuk seorang karyawan tetap
dengan gaji total Rp10.000.000,- sebulan. Tidak ada kenaikan atau penurunan gaji selama setahun.
Iuran pensiun yang dipotong dari gajinya adalah Rp300.000,- per bulan. Karyawan tersebut berstatus
kawin dan memiliki tanggungan 1 orang anak. Berikut perhitungannya.

PTKP Lama PTKP Baru

Penghasilan Bruto 10.000.000 10.000.000

Pengurang:

- Biaya Jabatan[1] 500.000 500.000

- Iuran Pensiun 300.000 300.000

Jumlah 800000 800000

Penghasilan neto sebulan 9.200.000 9.200.000

Penghasilan neto setahun[2] 110.400.000 110.400.000


PTKP

- Diri sendiri 15.840.000 24.300.000

- Status Kawin 1.320.000 2.025.000

- Tanggungan (1) 1.320.000 2.025.000

Jumlah 18.480.000 28.350.000

Penghasilan Kena Pajak 91.920.000 82.050.000

PPh Pasal 21 setahun[3] 8.788.000 7.307.500

PPh Pasal 21 sebulan[4] 732.333 608.958

Perhatikan, PTKP bertambah Rp9.870.000,- sehingga Penghasilan Kena Pajak juga berkurang sebesar
Rp9.870.000,-. PPh Pasal 21 setahun berkurang Rp1.480.500,- dan jumlah ini sama dengan 15% x
Rp9.870.000,-. PPh Pasal 21 sebulan adalah PPh Pasal 21 setahun dibagi 12 yaitu Rp732.333,- jika
menggunakan PTKP lama dan Rp608.958,- jika menggunakan PTKP baru. Ini berarti bahwa PPh Pasal
21 berkurang Rp123.375,-. Jadi, setiap bulan karyawan tersebut mendapat pengurangan PPh Pasal
21 sejumlah tersebut.

Kenaikan PTKP juga akan berpengaruh kepada pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tidak tetap,
pekerja harian dan bukan pegawai. Dengan demikian, contoh-contoh penghitungan PPh Pasal 21
dalam PER-31/PJ/2009 dan PER-57/PJ/2009 perlu disesuaikan dengan kenaikan PTKP ini.

[1] Biaya jabatan adalah 5% dari penghasilan bruto dengan maksimal Rp500.000,- sebulan

[2] Penghasilan neto setahuh adalah penghasilan neto sebulan dikali 12

[3] PPh Pasal 21 setahun diperoleh dengan menerapkan tarif Pasal 17 terhadap Penghasilan Kena
Pajak

[4] PPh Pasal 21 sebulan adalah PPh Pasal 21 setahun dibagi 12

Seandainya masih banyak pegawai atau karyawan yang masih bingung tentang bagaimana cara
menghitung pajak atas gaji karyawan. Nah, untuk itu saya coba memberikan contoh sederhana
tentang cara menghitung pajak karyawan yang dalam bahasa teknis perpajakan disebut pemotongan
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 untuk pegawai tetap.

Untuk memudahkan, di sini saya ambilkan contoh perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan
PER-31/PJ/2009 dan PER-57/2009 yang sudah disesuaikan dengan PTKP terbaru yang berlaku tahun
2013. Untuk memudahkan saya coba menggunakan contoh yang paling sederhana.

Misal, Tuan Van Melle pegawai pada perusahaan PT Permen Jaya, menikah tanpa anak, memperoleh
gaji sebulan Rp. 10.000.000,00. PT Permen Jaya mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan
Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-
masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Permen Jaya menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan
sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tuan Van Melle membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00%
dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Permen Jaya juga mengikuti program pensiun untuk
pegawainya.

PT Permen Jaya membayar iuran pensiun untuk Tuan Van Melle ke dana pensiun, yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp. 300.000,00, sedangkan Tuan Van
Melle membayar iuran pensiun sebesar Rp. 200.000,00.

Perhatikan, perhitungan untuk mengetahui berapa besarnya pajak (penghasilan) yang harus
dipotong PT Permen Jaya untuk satu bulannya.

Gaji sebulan 10.000.000

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 50.000

Premi Jaminan Kematian 30.000

Jumlah
10.080.000
Penghasilan Bruto

Pengurangan :

1. Biaya Jabatan 500.000

2. Iuran Pensiun 200.000

3. Iuran Jaminan Hari Tua 200.000

Jumlah Pengurangan 900.000

Penghasilan Neto Sebulan 9.180.000

Penghasilan Neto Setahun 110.160.000

PTKP

- Diri WP Sendiri 24.300.000

- Status Kawin 2.025.000

Jumlah PTKP 26.325.000

Penghasilan Kena Pajak Setahun 83.835.000

Pembulatan 83.835.000

PPh Pasal 21 Setahun (5%, 15%) 7.575.250

PPh Pasal 21 Sebulan (dibagi 12) 631.271


Langkah pertama kita menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh
penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya. Yang
termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan, uang lembur dan
premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam penghasilan bruto adalah
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas penghasilan bruto yang
menjadi objek PPh Pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan kerja (0,5% dari gaji) dan premi
jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau ditanggung perusahaan.

Langkah berikutnya kita hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua macam
yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termsuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan sendiri
besarnya 5% dari penghasilan bruto 5% x Rp10.080.000,00 atau sama dengan Rp504.000,00. Jumlah
ini masih di atas maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar Rp500.000,00 per bulan sehingga
biaya jabatan adalah sebesar Rp500.000,00.

Pengurang lainnya adalah iuran pensiun dan iuran JHT yang masing-masing Rp200.000,00 dan
Rp200.000,00 (2% dari gaji) per bulan. Iuran pensiun dan iuran JHT yang dibayar atau ditanggung
oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh pengurang adalah
Rp900.000,00.

Penghasilan bruto Rp10.080.000,00 dikurangi pengurang Rp900.000 sama dengan Rp9.180.000,00.


Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya penghasilan neto
sebulan ini kita buat setahun dengan cara penghasilan neto sebulan dikali 12 bulan atau
Rp9.180.000 x 12 = Rp110.160.000,00.

Setelah itu barulah kita kurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku sejak 1
Januari 2013 yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp26.325.000,00. Selisihnya inilah yang
merupakan Penghasilan Kena Pajak (Rp83.835.000,00).

Pajak Penghasilan terutang adalah tarif pajak (berdasarkan tarif Pasal 17 UU Pajak Penghasilan)
dikalikan Penghasilan Kena Pajak. Besarnya adalah 5% x Rp50.000.000,00 + 15% x (Rp83.835.000,00
– Rp50.000.000,00) = Rp7.575.250,00.

Nah, karena kita menghitung PPh Pasal 21 untuk satu bulan, maka PPh Pasal 21 terutang di atas
tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Permen Jaya atas penghasilannya Tuan Van
Melle adalah Rp7.575.250 : 12 = Rp631.271,00.

Penggunaan Kode dan Nomor Seri Faktur


Pajak Sejak 1 April 2013
Published by Dudi Wahyudi on April 2nd, 2013 09:02 PM | Faktur Pajak, Pajak Pertambahan Nilai

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 24/PJ/2012, mulai 1 April
sebenarnya sudah harus diterapkan sistem penomoran Faktur Pajak yang baru. Sistem ini
mengharuskan Pengusaha Kena Pajak secara periodik meminta nomor seri Faktur Pajak
kepada pihak Kantor Pelayanan Pajak. Namun demikian, ternyata nampaknya sistem ini tidak
dapat diterapkan serentak karena belum semua PKP mendapatkan pemberitahuan nomor seri
Faktur Pajak, walaupun sudah memasuki bulan April 2013.

Di lain pihak, kalau ketentuan ini dipaksakan diterapkan walaupun belum siap 100%, tentu
saja hal ini akan menyulitkan Pengusaha Kena Pajak karena transaksi akan berjalan terus dan
kewajiban menerbitkan faktur pajak tetap harus dilaksanakan. Kalau tidak, sanksi Pasal 14
ayat (4) UU KUP sudah siap memanti.

Nah, mengingat hal inilah nampaknya Dirjen Pajak mengeluarkan peraturan teranyarnya
yang meralat ketentuan sebelumnya. Ya, baru-baru ini tepatnya tanggal 27 Maret 2013,
dikeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-08/PJ/2013 untuk mengatur kembali tentang
penggunaan nomor seri faktur pajak.

Nah, pada initinya, PKP yang belum mendapatkan pemberitahuan nomor seri faktur pajak
yang baru, masih dapat menerapkan ketentuan penomoran faktur pajak yang lama
(berdasarkan PER-13/PJ/2010 dan perubahannya). Penomoran dilakukan dengan melanjutkan
nomor seri sebelumnya. Ketentuan ini hanya bisa dilakukan sampai dengan 31 Mei 2013.
Dengan kata lain, mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP sudah menerapkan ketentuan nomor seri
faktur pajak yang baru.

Sementara itu, PKP yang sudah mendapatkan pemberitahuan nomor seri, sudah wajib
menggunakan nomor seri faktur pajak yang baru.

Berikut ini contoh-contoh seperti dicantumkan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-
15/PJ/2013:

Contoh 1:

PKP A telah memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dariKPPtempat PKP
A dikukuhkan pada tanggal 27 Maret 2013, maka untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang
dilakukan sejak tanggal 1 April 2013 PKP A wajib membuat Faktur Pajak dengan
menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan olehKPPtempat PKP A dikukuhkan
sesuai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

Contoh 2:

PKP B pada tanggal 2 April 2013 melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, namun belum
memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari KPP tempat PKP B
dikukuhkan, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut PKP B wajib membuat
Faktur Pajak dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai ketentuan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-65/PJ/2010.

Contoh 3:

Selanjutnya, PKP B pada tanggal 15 Mei 2013 memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri
Faktur Pajak dari KPP tempat PKP B dikukuhkan, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak
yang dilakukan sejak tanggal 15 Mei 2013 PKP B wajib membuat Faktur Pajak dengan
menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang diperoleh dari KPP sesuai ketentuan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012.

PTKP Baru Tahun 2013


Published by Dudi Wahyudi on November 5th, 2012 07:08 PM | Pajak Penghasilan, PPh
Pasal 21, PPh Pasal 25/29

Akhirnya Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur perubahan PTKP muncul juga.
Peraturan tersebut adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.11/2012 tanggal 22
Oktober 2012 yang menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak pada tahun 2013 sebesar
53%. Ya, mulai 1 Januari 2013 nanti, PTKP akan naik 53% yang berarti beban pajak
masyarakat Indonesia akan berkurang, terutama kalangan masyarakat bawah.

Besarnya PTKP ini menjadi minimal Rp24.300.000,00 bagi Wajib Pajak yang berstatus tidak
menikah dan tanpa tanggungan dan maksimal Rp56.700.000,00 bagi Wajib Pajak berstatus
menikah dengan penghasilan istri digabung serta memiliki 3 atau lebih tanggungan.

Secara rinci, besarnya PTKP tahun 2013 adalah:

 Rp24.300.000,00 untuk Wajib Pajak sendiri (sebelumnya Rp15.840.000,00)


 Rp2.025.000,00 untuk Wajib Pajak yang berstatus kawin (sebelumnya
Rp1.320.000,00)
 Rp24.300.000,00 untuk penghasilan seorang istri yang digabung (sebelumnya
Rp15.840.000,00), dan
 Rp2.025.000,00 untuk satu orang tanggungan dengan maksimal 3 orang tanggungan
(sebelumnya Rp1.320.000,00)

Nah, karena PTKP baru ini berlaku mulai 1 Januari 2013, maka efek dari perubahan ini akan
terasa pada pemotongan PPh Pasal 21 bulan Januari tahun depan bagi Wajib Pajak karyawan.
Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong akan berkurang, bahkan menjadi nihil. Tentu saja,
karyawan yang PPh Pasal 21 nya ditanggung perusahaan tidak akan merasakan efek ini.

Terkait dengan pengisian SPT Tahunan tahun 2012 yang dilakukan pada tahun 2013, maka
PTKP baru ini belum dapat diterapkan karena pengisian SPT Tahun 2012 adalah
penghitungan PPh tahun 2012, bukan tahun 2013.

Demikian, sekilas tentang perubahan PTKP tahun 2013 yang akan kita nikmati untuk tahun
pajak 2013 nanti. Selamat kepada Menteri Keuangan dan DPR yang telah berani menaikkan
PTKP.

Related Posts

 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 Tahun 2013

Sebagaimana kita ketahui, mulai 1 Januari 2013 mulai diterapkan PTKP baru.
Tentang hal ini silahkan ...
 Penggunaan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Sejak 1 April 2013

Sesuai dengan ketentuan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 24/PJ/2012, mulai 1 April
sebenarnya sudah haru...

 Contoh Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Karyawan Tahun 2013

Nampaknya masih banyak pegawai atau karyawan yang masih bingung tentang
bagaimana cara menghitung pa...

Penghitungan, Penyetoran dan Pelaporan


PPh Final UMKM
Published by Dudi Wahyudi on August 26th, 2013 01:32 AM | Pajak Penghasilan, Perhitungan Pajak

Powered by Max Banner Ads

Besarnya PPh Final yang harus disetor oleh Wajib Pajak yang terutang PPh Final UMKM,
adalah 1% dari peredaran bruto (omzet) setiap bulan untuk setiap kegiatan usaha. Misalnya,
Tuan Abdullah, pemilik usaha restoran di kota A dan di kota B. Omzet bulan Juli 2013 untuk
restoran di kota A Rp200.000.000,00, dan omzet restoran di kota B adalah
Rp150.000.000,00. PPh terutang untuk restoran di kota A adalah 1% x Rp200 Juta = Rp2 Juta
dan PPh terutang untuk restoran di kota B adalah 1% x Rp150 Juta = Rp1,5 Juta.

Atas PPh Final yang terutang setiap bulan untuk setiap tempat kegiatan usaha tersebut Wajib
Pajak harus menyetorkannya ke kas negara. Pembayaran atau penyetoran dilakukan di bank
persepsi atau kantor pos dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Penyetoran
dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Jadi, Tuan Abdullah harus menyetor
PPh Final Rp2 Juta dan Rp1,5 Juta paling lambat tanggal 15 Agustus 2013.

Pembayaran Rp2 Juta dilakukan menggunakan kode KPP A (misal wilayah kerja KPP A
adalah kota A). Pembayaran Rp1,5 Juta dilakukan menggunakan kode KPP B (misal wilayah
kerja KPP B adalah kota B). Untuk pengisian kode akun pajak dan kode jenis setoran adalah
411128 (kode akun pajak) dan 420 (kode jenis setoran).

Wajib Pajak kemudian harus melakukan pelaporan paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Jadi Tuan Abdullah harus melaporkan pembayaran Rp2 Juta dan Rp1,5 Juta ke
KPP A dan KPP B pada tanggal 20 Agustus 2013. Namun demikian, Wajib Pajak telah
dianggap melaporkan atau menyampaikan SPT Masa, sesuai dengan tanggal validasi NTPN
yang tercantum pada SPT Masa. Jadi, Tuan Abdullah, sebenarnya sudah dianggap
melaporkan pada tanggal 15 Agustus 2013 kalau Tuan Abdullah melakukan pembayaran
tanggal 15 Agustus 2013, di mana dalam SSP tercantum validasi NTPN.
Demikianlah, tatacara penghitungan, penyetoran dan pelaporan pajak yang harus dilakukan
oleh Wajib Pajak yang terutang PPh Final 1%, yang pada umumnya merupakan Wajib Pajak
pelaku usaha kecil dan mikro, dan menengah (UMKM). Semoga bermanfaat.

Tags: pph final, PPh Final 1%, PPh UMKM

Related Posts

Kapan Mulai Menerapkan PPh Fin...


By Dudi Wahyudi - August 24 2013 05:07 AM

Mungkin banyak di antara Anda yag masih bingung kapan sih ...

Wajib Pajak UMKM Yang Tidak Di...

Kapan Mulai Menerapkan PPh Final


UMKM 1%?
Published by Dudi Wahyudi on August 24th, 2013 05:07 AM | Pajak Penghasilan,
Perhitungan Pajak

Powered by Max Banner Ads

Mungkin banyak di antara Anda yag masih bingung kapan sih mulai menerapkan PPh Final
yang 1% ini. Apakah mulai 1 Juli Wajib Pajak wajib menerapkan PPh Final 1% ini atau
belum. Bagaimana dengan Wajib Pajak yang baru melakukan kegiatan usaha tahun 2013 ini,
pakah wajib menerapkan PPh Final 1%. Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin ada di
benak kita tentang penerapan PPh Final 1% bagi pelaku UMKM ini.

Tulisan singkat ini bertujuan untuk menjelaskan hal itu berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengenaan PPh Final 1% ditentukan oleh peredaran bruto
dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan. Jika peredaran bruto atau omzet tahun sebelumnya tidak lebih dari Rp4,8
Milyar, maka pada tahun tersebut dikenakan PPh Final 1%. Sebaliknya, jika omzet tahun
sebelumnya lebih dari Rp4,8 Milyar, maka tahun tersebut tidak dikenakan PPh Final 1%.

Contoh, Bapak Sule adalah pengusaha pabrik tempe. Omzet pada tahun 2012 adalah Rp3,5
Milyar. Karena omzetnya di bawah Rp4,8 Milyar, maka mulai 1 Juli 2013 Bapak Sule sudah
harus dikenakan PPh Final 1%. Artinya PPh Final bulan Juli 2013 adalah 1% dikalikan omzet
bulan Juli 2013.

Contoh lain, Bapak Andre adalah pengusaha batik di Pekalongan. Omzet selama tahun 2012
adalah Rp5,6 Milyar. Dengan demikian, pada tahun 2013 Bapak Andre tidak dikenakan PPh
Final 1%, tapi dikenakan Pajak Penghasilan dengan cara biasa atau mekanisme umum.
Bagaimana Dengan Omzet Kurang Dari 12 Bulan?

Dalam hal pmzet dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang
bersangkutan tidak meliputi jangka wakt 12 bulan, pengenaan PPh Final 1% didasarkan pada
jumlah omzet Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.

Untuk lebih jelasnya, saya bisa memberikan contoh sebagai berikut. Misal Tuan Ariel adalah
pengusaha warteg yang usahanya baru mulai bulan Oktober 2012. Sebelumnya Ariel adalah
pegawai kantoran. Omzet selama 3 bulan dari Oktober sampai Desember 2012 adalah Rp400
Juta. Omzet tahun 2012 yang disetahunkan adalah Rp400 Juta x (12/3) = Rp1,6 Milyar. Nah,
karena omzet yang disetahunkan masih di bawah Rp4,8 Milyar, maka mulai 1 Juli 2013,
Tuan Ariel terutang PPh Final 1% dari omzetnya yang dihitung secara bulanan.

Wajib Pajak Baru Terdaftar Tahun 2013

Untuk Wajib Pajak yang baru terdaftar pada tahun 2013 sebelum 1 Juli 2013, maka
pengenaan PPh Final 1% didasarkan pada jumlah omzet dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar
sampai dengan bulan Juni 2013 yang disetahunkan.

Contoh, Kang Parto, sebagai pungusaha toko kelontong, baru terdaftar sebagai Wajib Pajak
di KPP Pratama Tegal pada tanggal 1 April 2013. Omzet bulan April, Mei dan Juni
berjumlah Rp500 Juta. Omzet selama tiga bulan itu kalau disetahunkan adalah Rp2 Milyar
(Rp500 Juta x 12/3). Karena omzet yang disetahunkan kurang dari Rp4,8 Milyar, maka mulai
1 Juli 2013 Kang Parto harus membayar PPh Final 1% dari omzetnya. Apabila omzet toko
kelontong bulan Juli adalah Rp150 Juta, maka PPh Final yang harus dilunasi Kang Parto
adalah 1% x Rp150 Juta = Rp1,5 Juta.

Bagaimana kalau Wajib Pajak baru terdaftar setelah 1 Juli 2013? Jawabannya adalah bahwa
jika Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini (1 Juli 2013),
pengenaan PPh Final 1% didasarkan pada jumlah omzet pada bulan pertama diperolehnya
penghasilan dari usaha yang disetahunkan. Untuk jelasnya, perhatikan contoh di bawah ini.

Jika misalnya Kang Parto dalam contoh di atas baru terdaftar sebagai Wajib Pajak pada
tanggal 1 Agustus 2013 dan omzet pada bulan Agustus tersebut adalah Rp150 Juta, maka
omzet yang disetahunkan adalah Rp1,8 Milyar (Rp150 Juta x 12/1). Dengan demikian mulai
bulan Agustus, Kang Parto membayar PPh Final 1% dari omzet. Khusus untuk bukan
Agustus Kang Parto terutang PPh Final 1% x Rp150 Juta = Rp1,5 Juta.

Wajib Pajak UMKM Yang Tidak


Dikenakan PPh Final 1%
Published by Dudi Wahyudi on August 24th, 2013 02:28 AM | Pajak Penghasilan, Perhitungan Pajak

Powered by Max Banner Ads


Mulai bulan Juli lalu, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang penerapan PPh Final
sebesar 1% dari omzet kepada Wajib Pajak usaha kecil, mikro, dan menengah. Namun
demikian, sebenarnya tidak semua UMKM terkena ketentuan PPh Final 1% tersebut.

Berikut ini saya sarikan dari ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang UMKM yang tidak dikenakan PPh Final 1%
tersebut.

Usaha Menengah Yang Beromzet Lebih Dari Rp4,8 Milyar Setahun

Ketentuan PPh Final 1% diberlakukan bagi Wajib Pajak tertentu, yaitu Wajib Pajak yang
mendapatkan penghasilan dari usaha dengan omzet tidak lebih dari Rp4,8 Milyar setahun. Di
segmen usaha menengah, sebenarnya banyak Wajib Pajak yang omzetnya lebih dari Rp4,8
Milyar setahun sehingga Wajib Pajak ini tidak terkena ketentuan PPh Final 1%.

Wajib Pajak UMKM Yang Melakukan Usaha Pekerjaan Bebas

Usaha jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas ini adalah:

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek,
dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang
iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;.
6. agen iklan;
7. pengawas atau pengelola proyek;
8. perantara;
9. petugas penjaja barang dagangan;
10. agen asuransi; dan
11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan
langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Dengan ketentuan ini, seorang dokter yang memiliki usaha praktek dokter, walaupun
omzetnya tidak lebih dari Rp4,8 Milyar setahun, tetap tidak dikenakan PPh Final 1%. Begitu
juga misalnya seorang konsultan pajak, pengacara, arsitek, notaris, penilai ataupun aktuaris
yang membuka praktek, tidak dikenakan PPh Final 1%.

Wajib Pajak UMKM Pedagang Kaki Lima

Sebenarnya tidak ada istilah pedagang kaki lima dalam peraturannya, tetapi sepertinya yang
dimaksud adalah pedagang kaki lima. Disebutkan bahwa yang tidak dikenakan PPh Final 1%
adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa
yang dalam usahanya:

1. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
2. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
Wajib Pajak Badan Tertentu

Wajib Pajak badan tertentu tidak dikenakan PPh Final 1%. Wajib Pajak tersebut adalah Wajib
Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial, dan Wajib Pajak badan yang dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto
(omzet) melebihi Rp4,8 Milyar.

——

Nah, itulah Wajib Pajak tertentu, yang pada umumnya adalah pelaku UMKM yang tidak
dikenakan PPh Final 1%. Pertanyaan berikutya adalah, kalau tidak dikenakan PPh Final 1%,
terus bagaimana pengenaan PPh nya? Tentu saja kembali ke ketentuan umum Pajak
Penghasilan. Kena pajak atau tidaknya tergantung ketentuan umum. Bukan berarti pasti tidak
kena pajak.

Anda mungkin juga menyukai