Anda di halaman 1dari 3

Hidup yang Merdeka #3

Berbagai rupa finah dan penentangan, bermacam bentuk kekerasan dan penyiksaan, sampai-
sampai upaya pembunuhan, selama 13 tahun telah didapatkan. Bukannya melakukan
perlawanan, dengan sabar tetap berupaya mengajak kaumnya kepada kebaikan.
Melewati bukit tandus dan padang gersang, menahan dinginya malam dan teriknya siang,
dilakukan perjalanan penuh hambatan. Tempat tinggal, mata pencaharian, bahkan sebagian
keluarga akhirnya harus rela ditinggalkan. Mudahkah bila semua itu cuma dijadikan kenangan?
Demi mengindari kaum sendiri yang mengejar dan menghalangi perjalanan, dipilihlah jalan yang
jarang dilalui orang-orang. Jarak tempuh pun semakin panjang.
1442 tahun yang lalu, perjalanan itu benar-benar penuh pengorbanan. Tak kurang dari 450 km
hamparan gurun pasir harus ditaklukkan. Bukan dengan kereta api ataupun pesawat terbang;
bentuk sepeda pun belum terbayangkan. Namun, tak surut Nabi Muhammad saw. bersama para
rahaba ra. melakukan perjalanan. Apa yang diharapkan?
Saat akidah telah betul-betul yakini, ketika tujuan hidup sudah benar-benar dimiliki, apalah lagi
yang hendak dicari, selain kemerdekaan dalam mengamalkan seluruh keyakinan dalam tiap-tiap
aspek hidup ini. Kiranya spirit kemerdekaan itulah yang menjadi salah satu sebab hijrahnya para
sahabat bersama Nabi.
Di Madinah, Nabi saw. ingin merealisasikan visi-misi dakhwah yang telah 13 tahun
disosialisasikan di Mekah. Faktanya penerimaan terdahap dakwah justru datang dari para
petinggi suku Auz dan Khazraj di Madinah.
Maka setelah hijrah ke Madinah, kemerdekaan itu diwujudkan dengan diproklamirkannya
Piagam Madinah*. Konsitusi tertulis pertama di dunia itu di antaranya menyatakan:
“Siapa pun di antara orang-orang Yahudi (nonmuslim) yang mengikuti kami, maka dia berhak
mendapatkan pertolongan dan persamaan. Mereka tidak boleh dizalimi dan tidak boleh tolong-
menolong untuk mengalahkan mereka.” Butir tersebut mengatur persatuan antara muslim dengan
nonmuslim. Nonmuslim diakui keberadaanya dan dibolehkan beribadah berdasarkan
keyakinannya.
*Qol’ahji, Muh. Rawwas. 2011. Sirah Nabawiyah: Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw.
Bogor: Al-Azhar Press. Halaman 159-162
“Surat perjanjian ini dari Muhammad antara orang-orang yang beriman dan orang-orang Islam
dari kalangan Quraisy dan Yatsrib (Madinah), juga siapa pun (nonmuslim) yang mengikuti dan
berjihad bersama mereka adalah satu umat.” mengatur persatuan antara seluruh muslim dan
nonmuslim (yang bersedia).
“Kesebelas, orang-orang Yahudi berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri, dan kaum
Muslimin pun berkewajiban menanggung nafkah mereka sendiri. Di antara mereka harus ada
tolong-menolong dalam menghadapi siapa pun yang hendak menyerang pihak yang mengadakan
perjanjian ini.” mengatur nonmuslim dan muslim untuk harus saling menolong.
“Keempat belas, sesungguhnya Allah melindungi apa yang tercantum di dalam Piagam ini.
Sesungguhnya Allah melindungi siapa pun yang berbuat kebaikan dan bertakwa.” mengatur
rakyat untuk berpedoman pada piagam (kontitusi) dan ketetuan Allah dalam menjalani
kehidupan.

Sesuai pendapat Buya HAMKA, maka keyakinan dan aturan hidup seorang muslim semestinya
merupakan bentuk “akibat dua kalimat syahadat”. Karena tujuan hidup adalah beribadah kepada
Allah, maka hidup yang merdeka adalah hidup yang sesuai tuntunan syariat.

Ataukah merdeka namanya bila harus hidup dalam aturan yang tak sesuai dan malah
bertentangan dengan tujuan hidup? Sebaliknya, terjajah adalah ketika harus hidup dengan aturan
yang menghalangi kita tujuan untuk selalu taat.
Melewati bukit tandus dan padang gersang, menahan teriknya siang dan dinginya malam, Nabi
saw. bersama para sahabat ra. harus rela minggat dari kampung halaman. Tempat tinggal, mata
pencaharian, bahkan sebagian keluarga harus iklhas ditinggalkan. Mudahkah bila semua itu
cuma dijadikan kenangan?
Demi mengindari musuh yang mengejar dan menghalangi perjalanan, mereka pilih jalan yang
tak biasa dilalui orang-orang. Jarak dan waktu tempuh pun semakin panjang. Namun, tak surut
sedikit pun semangat meraka untuk memperjuangakan kemerdekaan gemilang. Apa itu
kemerdekan gemilang?

Saat itu, benar-benar nyatalah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka sebagai “Akibat dua
kalimat syahadat”.
Kala itu, meninggalkan kampung halamnnya menuju Yastrib

tidaklah ada yang mereka sembah, melainkan Allah

Tidak ada peraturan yang mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi,
melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah”

Anda mungkin juga menyukai