Anda di halaman 1dari 146

ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX SYSTEM PADA BENDAHARA DESA

SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DAN PAJAK


PERTAMBAHAN NILAI
(STUDI PADA DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)

Tesis S-2
Program Magister Akuntansi

Diajukan oleh:
Jafar Shodiq
15919053

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI


PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2018
BERITA ACARA UJIAN TESIS

Pada hari Rabu tanggal 26 Desember 2018, Program Studi Akuntansi Program Magister,
Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia telah mengadakan ujian tesis yang disusun
oleh:
JAFAR SHODIQ
No. MRS. : 15919053
Konsentrasi : Perpajakan

Dengan Judul:
ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX SYSTEM PADA BENDAHARA
DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
(STUDI PADA DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)

Berdasarkan penilaian yang diberikan oleh Tim Penguji


maka tesis tersebut dinyatakan LULUS

Penguji I Penguji II

~h ,----
Johan Arifin, SE., M.Si., Ph.D. Ayu Chairina Laksmi, SE., MAC., M.Res., Ak., Ph.D.

tudi Magister Akuntansi,


~

~ l\ P Q.~ It- , S.Si., M.Com.(IS)., Ph.D.


HALAMAN PENGESAHAN

Yogyakarta, J~ - \ - .10 - ,~I _


Telah diterima dan disetujui dengan baik oleh :

Dosen Pembimbing

Johan Arifin, SE., M.Si., Ph.D.


PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

"Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Tesis ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar magister di suatu

perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau

pendapat yang pemah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam referensi. Apabila kemudian

hari terbukti bahwa pernyataan ini tidak benar, saya sanggup menerima

hukuman/sanksi apapun sesuai peraturan yang berlaku."

Sleman, Januari 2018

Penulis,

Jafar Shodiq
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh.

Pertama-tama dan yang paling utama, penulis menyampaikan puji dan syukur

kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan keberkahan ilmu dari-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister di

bidang ilmu Akuntansi Perpajakan pada Program Pascasarjana Magister Ekonomi di

Universitas Islam Indonesia dengan judul tesis “Analisis Penerapan Withholding Tax System

pada Bendahara Desa Sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan dan Pajak

Pertambahan Nilai (Studi pada Desa-Desa se-Kabupaten Gunungkidul)”. Selanjutnya penulis

menyampaikan Shalawat dan Salam kepada Rasulullah SAW, hamba dan utusan Allah SWT

yang mencontohkan akhlak yang paling mulia, yang menjadi pembawa pelita ilmu

pengetahuan.

Dalam penyusunan penelitian ini penulis mendapat saran, masukan, dorongan dan

bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Ibu Saya tercinta, Muntowiyah atas segala doa tulus yang tiada henti.

2. Istri Saya yang tercinta, Ista Wahyu Hidayati, serta anak-anak Saya, Ahmad Zuhdi

Azzaidan, Ahmad Ganendar Al Faruq, dan Ahmad Nazirul Ardiona yang telah

memberikan perhatian dan kasih sayang dan mengorbankan waktu dan tenaga dalam

mendukung dan memotivasi serta menemani hari-hari dalam menyelesaikan tesis

lembaran demi lembaran. Semoga Allah selalu meridhai kita menuju Jannah-Nya.

3. Bapak Drs. Dekar Urumsah, S.Si.,M.Com.(SI), Ph.D, selaku Direktur Pascasarjana

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.


4. Bapak Johan Arifin, SE., M.Si., Ph.D, selaku pembimbing yang telah memberikan

arahan dan ilmunya sehingga saya berhasil menyusun karya ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Magister Akuntansi Program Pascasarjana Fakultas

Ekonomi di Universitas Islam Indonesia, terima kasih untuk semua ilmu dan

pengetahuan yang telah diajarkan. Semoga ilmu ini dapat terus penulis amalkan dalam

kehidupan serta dapat menjadi amal jariah bagi mereka.

6. Seluruh Teman-teman Magister Akuntansi seangkatan saling berbagi dalam suka

maupun duka selama penulis menempuh perkuliahan. Semoga sukses dunia dan

akhirat buat kita semua.

1. Kepala KPP Pratama Wonosari beserta seluruh pegawai, yang telah banyak

membantu penulis dalam melaksanakan penelitian lapangan.

8. Seluruh Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan

mendukung penulis menyelesaikan penyusunan tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terhadap amal yang baik yang mereka

berikan kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan ataupun kesalahan

dalam menyusun tesis ini, baik dalam penyajian materi maupun dalam penyusunan tata

bahasanya disebabkan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki

penulis.

Saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak merupakan suatu bahan masukan

dani kesempurnaan tesis ini. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi baik kita

semua. Amiin. r:'-

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Desember 2018
Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara praktek penerapan
pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Desa di Kabupaten
Gunungkidul dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Selanjutnya penelitian ini juga
bertujuan untuk menemukan solusi terbaik apabila ditemukan penyimpangan dalam
menerapkan ketentuan perpajakan yang berpotensi merugikan penerimaan negara maupun
berpotensi merugikan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan Withholding Tax System oleh
Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Pengambilan data dilakukan dengan melakukan
wawancara dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan Withholding Tax System atas
penggunaan dana APBDes. Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling.
Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan
berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan yang turut
diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten
Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan
Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten
Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding
Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul yang dikarenakan tidak
terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan yang
memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga yang bertugas
sebagai pengawas jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax System yang
dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam pemenuhan ketentuan
perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan potensi penerimaan pajak dari
penggunaan APBDes dan sesuai dengan teori kebijakan. Lebih lanjut hal ini menunjukkan
bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai steward mampu
mempertanggungkan tugasnya kepada DJP (stewardship). Bendahara Desa memiliki niat baik
walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak.
Kata kunci: Bendahara Desa, Withholding Tax System, APBDes, Teori Kebijakan, Teori

Stewardship.

vi
Abstract

This study aims to determine the level of conformity between the practice of implementing
tax deductions and collection conducted by the Village Treasurer in Gunungkidul Regency
with applicable tax provisions. Furthermore, this study also aims to find the best solution if
deviations are found in applying tax provisions that have the potential to harm state revenues
and potentially harm taxpayers who are cut or taxed.

The method used in this study is a qualitative research method with a phenomenological
approach to determine the application of the Withholding Tax System by the Village
Treasurer in Gunungkidul Regency. Data collection is done by conducting interviews with
parties related to the implementation of the Withholding Tax System for the use of APBDes
funds. The research partisipants were selected by purposive sampling method. Partisipants
consisted of the Village Treasurer who served in Gunungkidul Regency and had an active
status during the study period. In addition to the Village Treasurer, the partisipants who were
interviewed were representatives of the Gunungkidul District Regional Financial and Assets
Agency (BKAD), representatives from the Women's Empowerment Office, Child Protection
and Family Planning, Community and Village Empowerment (DP3KBPMD) Gunungkidul
Regency, and representatives from the Office of Tax Servants Pratama Wonosari.

The results of the study indicate that there are deviations in the implementation of the
Withholding Tax System by the Village Treasurer in Gunungkidul Regency due to the lack of
compliance with tax administration requirements and the limited number of partners who
fulfill taxation requirements. KPP Pratama Wonosari as the institution that serves as the
supervisor of the administration of tax administration for the Withholding Tax System
collected by the Village Treasurer, provides relief in fulfilling these tax provisions. This is
done in order to secure the potential for tax revenue from the use of APBDes and in
accordance with policy theory. Furthermore this shows that the Village Treasurer has carried
out his role as a steward capable of holding his duties to the Director General of Taxes
(stewardship). The Village Treasurer has good intentions even though there are deviations in
the collection and tax deduction.

Keywords: Village Treasurer, Withholding Tax System, APBDes, Policy Theory,


Stewardship Theory.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN..... ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.................................. .............................................................. iii
ABSTRAK................... ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI............. ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................... 1
1.1.1 Rumusan Masalah .................................... ............................................. 10
1.1.2 Fokus Penelitian ............................................. ....................................... 10
1.1.3 Tujuan Penelitian...................... ............................................................. 11
1.1.4 Manfaat Penelitian...................... ........................................................... 11
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................... 13
2.1 Kajian Teoritis ................................................................................................. 16
2.1.1 Teori Implementasi Kebijakan................. .............................................. 16
2.1.2 Teori Stewardship (Stewarship Theory)................................................. 19
2.1.3 Perpajakan.............................. ................................................................ 20
2.1.3.1 APBDes dan Tanggung Jawab Perpajakan Bendahara Desa......... .... 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 48
3.1 Rancangan Penelitian ...................................................................................... 48
3.1.1 Metode Kualitatif.......................................... ......................................... 48
3.2 Partisipan Penelitian ........................................................................................ 50
3.3 Instrumen Penelitian........................................................................................ 50
3.4 Sumber Data .................................................................................................... 50
3.5 Metode Pengumpulan Data ............................................................................. 51
3.5.1 Studi Pustaka.................. ........................................................................ 51
3.5.2 Penelitian Lapangan (Field Research)............... .................................... 52
3.5.2.1 Teknik Wawancara.................................................................... 52
3.6 Analisis Data.............................................. ....................................................... 54
3.6.1 Thematic Analysis.................................................................................. 55

viii
3.6.2 Pengkodean................... ......................................................................... 56
3.7 Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 59
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 63
4.1 Pembahasan Hasil Wawancara ....................................................................... 63
4.1.1 Mekanisme Pemungutan PPh dan PPN.................................................. 66
4.1.1.1 Transaksi Pemungutan PPh Pasal 22.................. ................................ 69
4.1.1.2 Transaksi Pemotongan PPh Pasal 23.................. ................................ 70
4.1.1.3 Transaksi Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 atas Jasa Konstruksi.... .... 71
4.1.2 Pelaporan Pajak atas Transaksi yang Dilakukan................... ................. 73
4.1.3 Peran DP3KBPMD........................................ ........................................ 76
4.1.4 Kedudukan KPP Pratama sebagai Pengawas Administrasi Pajak... ...... 78
4.1.5 Pembahasan Badan usaha Milik Desa (BUMDes)................................. 80
4.1.6 SKB Bagi WP yang memiliki Peredaran Bruto Tertentu...................... 81
4.2 Hubungan KPP Pratama dan Bendahara Desa............ ..................................... 81
BAB V SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 83
5.1 Simpulan ......................................................................................................... 83
5.2 Rekomendasi ................................................................................................... 86
5.3 Implikasi .......................................................................................................... 87
5.4 Sumber Data .................................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 90
LAMPIRAN............................................ ................................................................... 91

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Belanja Barang dan Jasa Bendahara Desa .......................................... 37


Tabel 2.2 Kode Akun dan Jenis Setoran Pajak ................................................... 41
Tabel 2.3 Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ............................................. 44
Tabel 3.1 Kelebihan Analisis Tematik ............................................................... 56
Tabel 4.1 Daftar Responden Penelitian .............................................................. 64
tabel 4.2 Mekanisme Pemungutan Pajak oleh Bendahara Desa........................ 67
Tabel 4.3 Informasi Pelaksanaan Pelaporan oleh Bendahara Desa .................... 74
Tabel 4.4 Status BUMDes Desa ......................................................................... 80

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Organisasi Pengelolaan Keuangan pada Pemerintah Desa ............ 30


Gambar 2. Kewajiban Pemotongan/Pemungutan Pajak................................................. 32
Gambar 3. Langkah-langkah Analisis Data ................................................................... 59
Gambar 4. Kerangka Penelitian ..................................................................................... 62
Gambar 5. Tarif Pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2 ............................................................. 72

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar Responden dan Daftar Pertanyaan...... .................................... 94


Lampiran 2. Kertas Kerja Hasil Wawancara ......................................................... .96
Lampiran 3. Laporan Hasil Wawancara........ ......................................................... 97
Lampiran 3. Pemberitahuan Pemberian Ijin Riset ............................................... 121
Lampiran 4. Surat Ijin Terpadu.................................. ........................................... 123

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia masih memiliki berbagai agenda pembangunan dalam mencapai

tujuan bernegara (OECD: 2015). Investasi di sektor publik baik dari sektor

kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur masih sangat dibutuhkan (Tim Kantor

Pusat DJP: 2016). Rusmana, Wijaya, dan Putro (2016: 6) berpendapat bahwa

setiap fasilitas publik yang harus disediakan bagi warga negara tidaklah dibangun

begitu saja tanpa dana. Dana untuk menyediakan sejumlah fasilitas publik tersebut

tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pajak merupakan sumber terbesar dari pendapatan negara untuk menjamin

terlaksananya berbagai agenda negara. Berdasarkan data yang dihimpun dari situs

resmi Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa rencana

pendapatan negara tahun 2016 diproyeksikan sebesar 1.822,5 Triliun Rupiah

dimana dari total pendapatan tersebut berasal dari pajak sebesar 1.546,7 Triliun

Rupiah. Pajak berperan sekitar 85% dari total pendapatan negara pada tahun 2016

(Kementerian Keuangan Republik Indonesia: 2015). Kemudian jika melihat

postur APBN tahun 2017, peranan pajak tidak jauh berbeda dari tahun 2016.

Rencana pendapatan negara tahun 2017 diproyeksikan sebesar 1.748,9 Triliun

Rupiah dimana dari total pendapatan tersebut berasal dari pajak sebesar 1.498,9

Triliun Rupiah. Pajak berperan sekitar 85% dari total pendapatan negara pada

tahun 2017. (Kementerian Keuangan Republik Indonesia: 2016).

1
Pajak dihasilkan dari kontribusi wajib yang terutang oleh orang pribadi

atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. Resmi (2017:

11) menyatakan dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan,

yaitu:

1. Official Assesment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan

untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya

sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

2. Self Assesment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

3. Withholding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga

yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib

Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang

berlaku.

Di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, beberapa

jenis pajak harus dipotong atau dipungut oleh Bendahara Pemerintah

menggunakan mekanisme withholding system (pemotongan dan/atau

pemungutan) yang diatur sebagai berikut (Tim Penyusun Direktorat Peraturan

Perpajakan II, 2013: 2-13):

2
1. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas gaji, upah, honorarium,

tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa

atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak dalam

negeri yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas deviden, bunga, royalti,

sewa, dan penghasilan yang diterima badan usaha berupa hadiah,

penghargaan, bonus, dan imbalan dari jasa yang diatur dalam Pasal 23

Undang-Undang Pajak Penghasilan.

3. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final

yang diatur dengan peraturan pemerintah.

4. Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) sehubungan dengan pembayaran

atas penyerahan barang yang dananya berasal dari APBN/APBD yang

diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

5. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas

Barang Mewah (PPnBM) yang diatur dalam Pasal 16A Undang-

Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Namun pada kenyataannya, proses pemotongan dan/atau pemungutan baik

Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai oleh Bendahara Pemerintah

masih banyak kendala dan dilaksanakan tidak sesuai ketentuan sebagaimana

mestinya. Ratnafuri dan Herawati (2012) meneliti mengenai kesalahan

pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendaharawan Pemerintah

Dinas Kabupaten Bangkalan yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pemotongan

dan/atau pemungutan pajak (withholding tax system) masih belum optimal dan

3
tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Hal ini terjadi karena: (1)

masih terdapat Bendaharawan yang tidak kompeten, (2) tidak ada kemauan untuk

belajar, (3) tidak memperbarui ketentuan perpajakan yang berlaku, (4) tarif 2%

menjadi 4% pada pemotongan PPh Pasal 23 atas imbalan jasa konsultan, (5)

jumlah penghasilan netto 100% menjadi 95%, (6) persamaan pemotongan tarif

untuk honorarium antara PNS yang memiliki NPWP dan yang tidak memiliki

NPWP, (7) mark up nilai minimal yang ditetapkan untuk dasar pemungutan PPN.

Terkait dengan penelitian tersebut, Wijaya dan Wibowo (2017: 108)

menyebutkan bahwa “pengawasan terhadap bendaharawan adalah bicara tentang

kecenderungan manusia pada umumnya yang sebisanya menghindari pajak.” Oleh

karena itu dibutuhkan paksaan dan semacam perasaan diawasi (probabilitas

deteksi) untuk membuat manusia menuruti ketentuan perpajakan, begitu juga

dengan Bendaharawan. Mereka tetap harus diawasi karena banyak

pengeluaran/belanja yang tidak otomatis dipotong/dipungut oleh Direktorat

Jenderal Perbendaharaan Negara melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan

Negara (KPPN) sebagai satuan kerja vertikal di bawahnya.

Lebih jauh lagi, pada dasarnya cerita tentang kesalahan pelaksanaan

pemotongan/pemungutan dan pelaporan pajak oleh Bendaharawan benar-benar

ditemui di lapangan. Kesalahan pelaksanaan ini banyak terjadi di sejumlah daerah

baik itu disebabkan ketidakpahaman Bendaharawan terhadap kebijakan

perpajakan atau kesengajaan dengan tujuan penggelapan (fraud). Pengawasan

terhadap Bendaharawan juga tidak hanya sebatas kebenaran materiil tetapi juga

kepatuhan atas kewajiban formal. Bendahara wajib membuat dan melaporkan

4
Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) baik SPT Masa Pajak Penghasilan atau

SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai sehingga dapat terhindar dari sanksi seperti

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan

Umum dan Tatacara Perpajakan.

Kesalahan administrasi di bidang perpajakan dapat menyebabkan

hilangnya potensi penerimaan negara akibat pemotongan/ pemungutan PPh/PPN

yang lebih rendah atau bahkan tidak sama sekali dilakukan

pemotongan/pemungutan. Namun Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri

Mulyani Indrawati pada akhir tahun 2016 memberikan perspektif berbeda. Sri

Mulyani Indrawati dalam Wijaya dan Wibowo (2017: 107) menyampaikan:

“Banyak penerimaan pajak berasal dari belanja negara (APBN/APBD),


untuk pelaksanaan APBN di daerah, Ditjen Perbendaharaan agar
mengumpulkan data dan menyerahkannya ke Ditjen Pajak. Pajak dari
keduanya harus dikumpulkan secara optimal tanpa satu rupiah pun hilang.
Jajaran Ditjen agar berkonsentrasi pada potensi pajak di luar APBN dan
APBD.”

Pernyataan Menteri Keuangan tersebut mengandung makna bahwa

Direktorat Jenderal Perbendaharaan membantu Direktorat Jendral Pajak dalam

mengawasi penerapan withholding tax system atas pajak yang bersumber dari

belanja Bendaharawan pemegang APBN/APBD. Namun muatan opini ini menjadi

misleading ketika disaat yang sama secara implisit dikatakan bahwa pengawasan

terhadap bendaharawan sudah diurusi oleh DJPb (Direktorat Jenderal

Perbendaharaan Negara) sehingga DJP (Direktorat Jenderal Pajak) berkonsentrasi

ke sektor diluar Bendaharawan Pemerintah. Dengan kata lain realisasi penerimaan

pajak yang berasal dari belanja APBN/APBD tidak perlu mendapat perhatian

khusus karena bisa masuk ke Kas Negara bagitu saja melalui withholding tax

5
system oleh Bendaharawan Pemerintah. Padahal, kenyataannya tidak demikian

bahwa pemotongan/pemungutan pajak dapat dilaksanakan secara otomatis sukses

tanpa pengawasan. Karena Bendahara pun perlu diawasi secara intensif oleh

otoritas pajak dalam hal ini pengawasan oleh DJP.

Salah satu Wajib Pajak Bendahara adalah Bendahara Desa. Berdasarkan

Pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 113 tahun 2014 diatur bahwa

bendahara desa sebagai wajib pungut Pajak Penghasilan (PPh) dan pajak lainnya,

wajib menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke

rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari

ketentuan tersebut tampak bahwa sejatinya Bendahara Desa merupakan

withholding agent yang merupakan pelaksana kewajiban pemotongan atau

pemungutan pajak kepada pihak lain.

Presiden Indonesia mengalokasikan dana yang besar sebagai dana desa

yang bisa dimanfaatkan langsung. Dari tahun ke tahun dana tersebut terus

meningkat. Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

(Mendes PDTT) mengatakan bahwa Presiden telah menginstruksikan agar dana

desa tahun 2018 dinaikkan dari semula (2017) Rp 60 Triliun menjadi Rp 120

Triliun. Dalam kesempatan tersebut, Mendes PDTT menjelaskan bahwa dari

tahun ke tahun serapan dana desa terus meningkat bahkan tahun 2017 hampir

menyentuh angka 100% (Ispranoto, 2017).

Sementara itu, dengan semakin naiknya anggaran dana desa, ternyata tidak

diimbangi dengan kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dengan

benar oleh Bendahara Desa. Melalui hasil wawancara dengan Kepala Kantor

6
Pajak Pratama Wonosari, dari 144 desa di Gunungkidul, ternyata bendahara desa

yang dianggap sudah mampu membayar pajak dengan benar hanya 44 desa, dan

100 bendahara desa yang lain kurang mampu atau kurang faham untuk

melaksanakan pembayaran pajak dengan benar. Artinya hanya sekitar 31%

Bendahara Desa yang paham pelaksanaan withholding tax system dengan benar

sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. Hal ini berpotensi

besar menyebabkan terjadi kesalahan dalam penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang perpajakan yang pada akhirnya menimbulkan

kerugian baik bagi penerimaan negara, wajib pajak, dan pihak withholding agent

dalam hal ini adalah Bendahara Desa.

Secara lebih rinci, isu-isu yang terkait dengan masalah-masalah yang

ditemui antara lain adalah sebagai berikut:

1. Pembelian barang kena pajak dan jasa kena pajak di atas 1 juta kepada non

Pengusaha Kena Pajak (PKP)

Bendahara Desa diwajibkan untuk memungut PPN atas transaksi pembelian

barang maupun jasa dengan nilai transaksi di atas Rp 1.000.000,00. Pada

prinsipnya pemungutan PPN dapat dilakukan jika pihak (rekanan) yang

bertransaksi dengan bendahara pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PKP merupakan pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak

(BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dengan omzet pertahun lebih dari Rp

4.800.000.000. Apabila ada pengusaha yang memiliki omzet pertahun kurang dari

Rp 4.800.000.000, maka pengusaha tersebut tidak wajib untuk mendaftarkan diri

7
menjadi PKP. Bila melihat dari kondisi masyarakat dan rekanan yang ada di

Gunungkidul, pemungutan PPN terhadap rekanan Bendahara Desa akan sulit

dilakukan karena rekanan yang memiliki PKP jumlahnya sedikit. Idealnya,

Bendahara Desa melakukan transaksi pembelian barang dan jasa dengan Wajib

Pajak dengan status PKP agar potensi pajak dari sektor PPN atas penggunaan

dana APBDes dapat diperoleh secara maksimal.

2. Belanja konsumsi

Belanja konsumsi diatur sebagai jasa katering yang menjadi objek Pph pasal

23 dan Pajak Daerah berapapun jumlah belanja yang sumber dananya berasal dari

APBDes. Semestinya penentuan dalam menerapkan ketentuan perpajakan untuk

belanja konsumsi dilihat terlebih dulu penyedia konsumsinya. Jika yang

menyediakan konsumsi adalah pengusaha katering maka benar diterapkan

ketentuan PPh Pasal 23 dan Pajak Daerah. Namun jika yang menyediakan

konsumsi adalah pengusaha yang bukan kategori pengusaha katering, semestinya

diatur dalam ketentuan PPh Pasal 22 dan PPN.

Penulis menemukan permasalahan dalam hal pemungutan pajak atas

pembelian makanan dan minuman rapat dari usaha yang bukan merupakan jasa

katering. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2015,

pembelian makanan dan minuman tersebut seharusnya dikenakan PPh pasal 22

dengan tarif 1,5% dari harga pembelian barang. Namun, kenyataannya Bendahara

Desa mengenakan PPh pasal 23 dengan tarif 2% yang semestinya hanya

dikenakan untuk usaha yang nyata-nyatanya di bidang katering. Padahal dalam

8
prakteknya, pembelian makanan dan minuman untuk rapat tidak selalu dilakukan

dengan Wajib Pajak yang berkegiatan usaha di bidang katering.

3. Perlakuan Pajak Swakelola atas penggunaan APBDes

Menurut ketentuan dalam PPh Pasal 4 ayat (2), apabila terdapat transaksi jasa

konstruksi yang dananya bersumber dari APBDes, maka akan dikenakan PPh

pasal 4 ayat 2 sebesar 2%, 3%, atau 4% sesuai dengan kualifikasi usahanya dan

PPN sebesar 10%. Pemerintah desa umumnya membelanjakan sendiri dana yang

dialokasikan untuk proyek pembangunan atau konstruksi (melakukan swakelola

dana). Kegiatan swakelola ini dilakukan dengan cara pemerintah desa membentuk

Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). TPK merencanakan, melaksanakan, dan

mengawasi sendiri kegiatan jasa konstruksi dan bukan melalui kontrak jasa

konstruksi sehingga menghilangkan potensi pajak atas jasa konstruksi dari

kegiatan pembangunan yang dilakukan.

Konsekuensi dari pembentukan TPK oleh Pemerintah Desa adalah terjadinya

potential loss penerimaan perpajakan dikarenakan belum jelasnya subjek pajak

yang seharusnya menanggung beban PPh final dan PPN atau penanggungjawab

pelaksanaan pemotongan atau pemungutan PPh dan PPN atas jasa konstruksi

akibat pembentukan TPK dan tidak menggunakan jasa dari pengusaha jasa

konstruksi.

4. Perda/Perbup tentang penatausahaan Keuangan Desa termasuk pajak-

pajaknya perlu dikaji analisis kesesuaian dengan ketentuan peraturan di

bidang perpajakan.

9
1.1.1 Rumusan Masalah

Sebagai konsekuensi dari ketentuan dalam Pasal 31 Peraturan Menteri

Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014 yang mengatur Bendahara Desa sebagai

wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya dan semakin besarnya

jumlah anggaran desa, Bendahara Desa dituntut untuk melaksanakan ketentuan

pajak khususnya terkait withholding tax (pemotongan atau pemungutan pajak)

dengan benar agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat kesalahan penerapan

ketentuan di bidang perpajakan.

Beberapa identifikasi masalah yang mendasari penelitian ini diantaranya:

1. Masih banyak ditemukan kesalahan pelaksanaan dalam penerapan ketentuan

perpajakan oleh bendahara desa sehingga menciderai rasa keadilan.

2. Masih ditemukan ketentuan di bidang perpajakan yang multitafsir sehingga

menimbulkan kebingunan bagi Bendahara Desa.

Dari beberapa identifikasi masalah di atas, maka perumusan masalah yang

penulis teliti adalah “Apakah praktek pemotongan atau pemungutan pajak oleh

Bendahara Desa telah sesuai atau memenuhi ketentuan di bidang perpajakan?”

1.1.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada berbagai permasalahan yang dihadapi oleh

Bendahara Desa dalam proses penerapan pemotongan atau pemungutan pajak

antara lain PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN serta

bagaimana solusinya terutama terhadap kasus-kasus yang bersifat khusus yang

masih memerlukan penegasan karena belum ada kejelasan perlakuan perpajakan

10
dan penjelasan terhadap ketentuan yang masih multitafsir serta menyampaikan

pendapat sesuai dengan hakikat dan filosofi pemajakan oleh negara.

Penelitian akan dilaksanakan dengan melakukan wawancara pada

Bendahara Desa di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul mengenai

penerapan withholding tax system dengan melibatkan bantuan Dinas

Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana,

Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Gunungkidul serta bantuan dari

KPP Pratama Wonosari dalam rentang waktu kurang lebih dua bulan.

1.1.3 Tujuan Penelitian

Mendasarkan pada permasalahan yang telah dirumuskan di muka, maka

tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesesuaian

antara praktek penerapan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh

Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul dengan ketentuan perpajakan yang

berlaku dan menemukan solusi terbaik jika ada penyimpangan dalam menerapkan

ketentuan perpajakan yang berpotensi merugikan penerimaan negara maupun

berpotensi merugikan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut pajaknya.

1.1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak

antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini menyumbangkan pengetahuan dalam bidang perpajakan

khususnya mengenai pelaksanakan pemotongan atau pemungutan pajak

oleh Bendahara Pemerintah.

11
b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan

memberikan sumbangan konseptual bagi penelitian sejenis dan akademika

lainnya, khususnya di Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi

Universitas Islam Indonesia.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Direktorat Jenderal Pajak

Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan informasi yang bermanfaat

sebagai masukan dan bahan evaluasi bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk

mengevaluasi ketentuan yang belum jelas perlakuannya dan mengeluarkan

penegasan atas ketentuan yang sudah ada namun tidak dilaksanakan oleh

Wajib Pajak terutama Wajib Pajak Bendahara Pemerintah termasuk

Bendahara Pemerintah Desa.

b. Bagi Bendahara Desa

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang ketentuan

pajak yang semestinya diterapkan terhadap Bendahara Desa untuk setiap

transaksi tertentu terkait penerimaan dan penggunaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa di Kabupaten Gunungkidul.

12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Dari berbagai permasalahan yang ada, penelitian ini dikembangkan dengan

mempertimbangkan beberapa teori dasar yang dianggap sesuai dengan

permasalahan maupun kondisi yang terjadi. Adapun teori-teori tersebut meliputi:

1. Teori Implementasi Kebijakan

Implementasi merupakan tindakan manusia yang diarahkan pada pencapaian

tujuan yang ditetapkan sebelumnya dalam pembuatan kebijakan (Meter dan Horn,

1974: 447). Kebijakan mengenai APBDes yang berkaitan dengan pemungutan

pajak dijalankan dengan menyesuaikan kebijakan pajak yang ada. Melalui hasil

pengkajian di lapangan yang diuraikan dalam latar belakang masalah, peneliti

masih menemukan beberapa masalah yang berkaitan dengan tata cara pemungutan

dan pemotongan pajak yang dilakukan bila dibandingkan dengan ideal kebijakan

pajak yang seharusnya diterapkan.

Meskipun demikian, withholding tax system yang dijalankan oleh Bendahara

Desa sebagai withholding agent dapat berjalan lancar karena adanya persamaan

persepsi dalam rangka pencapaian tujuan penerimaan pajak antara Bendahara

Desa dan DJP mengenai jenis pajak yang harus dipungut dan dipotong dan cara

pemotongan dan pemungutannya.

13
2. Teori Stewardship

Teori ini dibangun berdasarkan sifat manusia yaitu dapat dipercaya, mampu

bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas, serta dapat berlaku

jujur untuk pihak lainnya. Stewardship theory memandang bahwa manajemen

dapat berperilaku baik untuk kepentingan publik dan umumnya maupun

shareholders pada khususnya (Daniri, 2005 : 5).

Lebih lanjut, Donaldson dan Davis (1991) menyatakan bahwa teori

stewardship adalah teori yang menggambarkan situasi dimana para manajer

tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada

sasaran hasil utama mereka untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini

mempunyai dasar psikologi dan sosiologi yang telah dirancang dimana para

eksekutif sebagai steward termotivasi untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal,

selain itu perilaku steward tidak akan meninggalkan organisasinya sebab steward

berusaha mencapai sasaran organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti

untuk menguji situasi dimana para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan

dapat termotivasi untuk bertindak dengan cara terbaik pada prinsipalnya.

Bila dikaitkan dengan uraian di atas, Bendahara Desa dalam penelitian ini

bertindak sebagai manajer (steward) yang melaksanakan tugas pemungutan dan

pemotongan pajak bagi DJP yang merupakan pihak yang berkepentingan

(shareholder) dan pihak yang memberikan mandat (principal).

Salah satu kebijakan yang dilaksanakan di tingkat pemerintah desa dalam

penggunaan dana APBDes adalah swakelola dana APBDes. Kegiatan swakelola

ini menimbulkan konsekuensi terjadinya potential loss penerimaan perpajakan

14
dikarenakan tidak terutang atas PPh final dan PPN jasa konstruksi akibat

pembentukan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dan tidak menggunakan jasa dari

pengusaha jasa konstruksi. Selain itu terdapat pula permasalahan berupa

pemungutan pajak atas transaksi belanja konsumsi yang dikenakan tarif pajak

pasal 23 meskipun pemerintah desa bertransaksi dengan pengusaha bukan

katering.

Implikasi teori stewardship terhadap penelitian ini yaitu dapat menjelaskan

eksistensi Bendahara Desa yang bertindak untuk memungut dan memotong pajak

dapat dipercaya dan mampu membuat pertanggungjawaban keuangan yang

diamanahkan kepadanya sesuai peraturan perpajakan yang berlaku.

Motivasi utama peneliti dalam mengangkat permasalahan penerapan

withholding tax oleh APBDes adalah karena masih terbatasnya penelitian

mengenai permasalahan ini. Penelitian terdahulu masih terbatas pada penelitian

mengenai bagaimana penerapan kebijakan APBDes secara umum dan belum

membahas secara mendalam mengenai penerapan withholding tax system yang

dilaksanakan oleh Bendahara Desa. Peneliti berharap bahwa nantinya hasil

penelitian yang dilakukan dapat memberikan kontribusi sebagai bahan

pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pajak agar lebih dilonggarkan

sehingga penggunaan APBDes lebih fleksibel. Kebijakan pajak yang lebih

fleksibel diharapkan dapat mendorong penyerapan dana APBDes lebih optimal.

15
Lebih lanjut, kajian teoritis yang mendasari penelitian ini diuraikan

sebagai berikut:

2.1 Kajian Teoritis

2.1.1 Teori Implementasi Kebijakan

Studi implementasi ditemukan di beragam bidang meliputi administrasi

publik, teori organisasional, penelitian manajemen publik, dan pendidikan ilmu

politik (Schofield dan Sausman 2004: 235). Implementasi didefinisikan oleh

Meter dan Horn (1974: 447) sebagai berikut “those actions by people that are

directed at achievement of objectives set forth in the policy decision” atau,

implementasi merupakan tindakan manusia yang diarahkan pada pencapaian

tujuan yang ditetapkan sebelumnya dalam pembuatan kebijakan.

Model kebijakan Meter dan Horne (1975: 462-478) diformulasikan dalam

6 variabel sebagai berikut:

1. Standar dan tujuan kebijakan untuk mengelaborasi keseluruhan tujuan

kebijakan.

2. Tersedianya sumber daya kebijakan yang diperlukan dalam pelaksanaan

kebijakan seperti staf, fasilitas fisik, informasi dan sebagainya. Sumber

daya ini digunakan untuk memberikan justifikasi implementasi dan

mendukung administrasi, seperti dana dan insentif lainnya.

3. Komunikasi yang lancar, seimbang dan jelas antar organisasi dan

pelaksana.

4. Karakteristik lembaga pelaksana yang mendukung kesuksesan

implementasi kebijakan. Karakteristik ini mencakup:

16
a. Kompetensi dan jumlah staf pelaksana.

b. Tingkat kontrol hierarkis terhadap keputusan dan proses implementasi

agensi yang lebih rendah.

c. Sumber daya politis agensi yang lebih rendah.

d. Sumber daya politis agensi, seperti dukungan terhadap eksekutif dan

legislatif.

e. Vitalitas organisasi.

f. Tingkat keterbukaan horizontal dan vertikal termasuk dengan pihak

luar organisasi.

g. Hubungan formal dan informal antara agensi dengan pembuat

kebijakan dan pihak yang memperkuat kebijakan.

5. Kondisi sosial, ekonomi dan politik dimana kebijakan tersebut

dilaksanakan. Kondisi ini diidentifikasi menurut pertanyaan:

a. Apakah sumber daya ekonomi tersedia dalam mendukung

implementasi kebijakan

b. Bagaimana efek implementasi kebijakan terhadap kondisi ekonomi dan

sosial?

c. Apakah elite mendukung atau melawan kebijakan tersebut?

d. Bagaimana karakter warga, mendukung atau menentang kebijakan?

e. Bagaimana lembaga swasta bisa mendorong untuk mendukung

kebijakan?

6. Disposisi pelaksana yang mencakup pengetahuan terhadap kebijakan, arah

dalam merespon kebijakan, dan intensitas respons terhadap kebijakan.

17
Atau dengan kata lain adanya kesediaan dan komitmen dari pelaksana

untuk mensukseskan implementasi kebijakan di lapangan.

Teori mengenai implementasi kebijakan kemudian dikembangkan lebih

lanjut oleh Sabatier dan Mazmanian pada tahun 1983. Sabatier dan Mazmanian

(1983: 7-8) menyampaikan bahwa syarat cukup agar tujuan kebijakan publik

tercapai adalah sebagai berikut:

1. Tujuan kebijakan jelas dan konsisten.

2. Kebijakan memiliki ciri kausalitas teori.

3. Proses implementasi terstruktur secara koheren.

4. Aparatur pelaksana terutama pemimpin terampil dan berkomitmen.

5. Dukungan terorganisasi dari kelompok konstituen dan tokoh kunci.

6. Kondisi sosioekonomis dan politis berubah mendukung inisiatif dari

waktu ke waktu.

Melalui hasil pengkajian di lapangan yang diuraikan dalam latar belakang

masalah, peneliti masih menemukan beberapa masalah yang berkaitan dengan tata

cara pemungutan dan pemotongan pajak yang dilakukan bila dibandingkan

dengan ideal kebijakan pajak yang seharusnya diterapkan. Meskipun demikian,

withholding tax system yang dijalankan oleh Bendahara Desa sebagai withholding

agent dapat berjalan lancar karena adanya persamaan persepsi dalam rangka

pencapaian tujuan penerimaan pajak antara Bendahara Desa dan DJP mengenai

jenis pajak yang harus dipungut dan dipotong dan cara pemotongan dan

pemungutannya.

18
2.1.2 Teori Stewardship (Stewardship Theory)

Donaldson dan Davis menyatakan bahwa teori stewardship adalah teori

yang menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh

tujuan-tujuan individu tetapi lebih ditujukan pada sasaran hasil utama mereka

untuk kepentingan organisasi, sehingga teori ini mempunyai dasar psikologi dan

sosiologi yang telah dirancang dimana para eksekutif sebagai steward termotivasi

untuk bertindak sesuai keinginan prinsipal, selain itu perilaku steward tidak akan

meninggalkan organisasinya sebab steward berusaha mencapai sasaran

organisasinya. Teori ini didesain bagi para peneliti untuk menguji situasi dimana

para eksekutif dalam perusahaan sebagai pelayan dapat termotivasi untuk

bertindak dengan cara terbaik pada prinsipalnya (Anton, 2010).

Asumsi filosofi mengenai teori stewardship dibangun berdasarkan sifat

manusia yaitu dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab,

memiliki integritas, serta dapat berlaku jujur untuk pihak lainnya. Dengan kata

lain, stewardship theory memandang bahwa manajemen dapat berperilaku baik

untuk kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya

(Daniri, 2005 : 5).

Dalam penelitian ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertindak sebagai

principal sedangkan Bendahara Desa bertindak sebagai steward. Teori

stewardship dalam penelitian ini akan mendasari penjelasan mengenai eksistensi

Bendahara Desa sebagai pemungut dan pemotong pajak mampu

mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DJP. Bendahara Desa memiliki niat

baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan pemungutan dan

19
pemotongan pajak. Penyimpangan ini dilakukan demi mengamankan penerimaan

negara yang selaras dengan tujuan KPP Pratama sebagai perwakilan dari DJP.

Selain itu, hal yang mendasari penelitian ini adalah konsep dasar

perpajakan.

2.1.3 Perpajakan

Pajak merupakan sebuah kewajiban dalam memberikan sebagian harta

kekayaan seseorang kepada negara karena suatu keadaan, kejadian, perbuatan

yang memberikan suatu kedudukan tertentu dimana iuran tersebut bukanlah suatu

hukuman, namun sebuah kewajiban dengan berdasarkan berbagai peraturan yang

ditetapkan pemerintah dan bersifat memaksa. Mempunyai tujuan untuk

memelihara kesejahteraan masyarakat (Djajaningrat dalam Resmi, 2014: 1).

Sedangkan pengertian pajak menurut Undang-Undang adalah sebuah konstribusi

wajib kepada negara yang terutang oleh setiap orang ataupun badan yang

memiliki sifat memaksa, tetapi tetap berdasarkan dengan Undang-Undang dan

tidak mendapat imbalan secara langsung serta digunakan guna kebutuhan negara

dan kemakmuran rakyat.

Kebijakan perpajakan yang dilakukan oleh pemerintah dilaksanakan

berdasarkan sistem pemungutan pajak yang dianut oleh pemerintah Negara

Indonesia. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia antara lain adalah

sebagai berikut (Resmi, 2017 : 8):

20
1. Official Assesment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan

untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai

dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem

ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di

tangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau tidaknya

pelaksanaan pemungutan pajak banyak bergantung pada aparatur perpajakan.

2. Self Assesment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam

menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini

inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di

tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, memahami

undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, mempunyai kejujuran yang

tinggi, dan menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu

Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk:

a. menghitung sendiri pajak yang terutang;

b. memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;

c. membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;

d. melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang; dan

e. mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.

Jadi, berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak sebagian besar

tergantung pada Wajib Pajak sendiri (peranan dominan ada pada Wajib Pajak).

21
3. Withholding System

Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang

ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan

pihak ketiga ini dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan,

keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk memotong serta memungut

pajak, menyetor, dan mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang

tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak

bergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk. Peranan dominan ada pada pihak

ketiga. Pihak ketiga tersebut bukanlah pembayar pajak (taxpayer) yang

sesungguhnya namun merupakan withholding agent sebagai pelaksana

pemotongan atau pemungutan pajak.

Penelitian ini berfokus pada praktek withholding system karena proses

pemungutan dan pemotongan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Desa

menggunakan mekanisme withholding tax system.

2.1.3.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan Tanggung

Jawab Perpajakan Bendahara Desa

Pelaksanaaan kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APBDes) berlandaskan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

APBDes dianggarkan sebagai bentuk upaya pemerintah untuk mendorong

pemerataan pendapatan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa memberi kewenangan kepada Pemerintah Desa, sebagai unit pemerintah

terkecil, untuk secara mandiri mengelola keuangannya. Dalam rangka pengelolaan

22
Keuangan Desa tersebut, Kepala Desa melimpahkan sebagian kewenangan

kepada perangkat Desa yang ditunjuk, yang memiliki tanggung jawab

sebagaimana bendahara pemerintah pada unit pemerintah lainnya (Yunirwansyah

dalam Tim Penyusun Direktorat Peraturan Perpajakan II, 2016: v, 2016).

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan, pihak yang

melakukan pemotongan dan pemungutan pajak atas pengeluaran yang berasal dari

APBN/APBD adalah bendahara pemerintah. Termasuk dalam pengertian

bendahara pemerintah antara lain bendahara pengeluaran, pemegang kas dan

pejabat lain termasuk bendahara desa yang menjalankan fungsi yang sama.

Seperti diketahui bahwa pihak yang berperan dalam melaksanakan fungsi

perbendaharaan dan fungsi pemungutan pajak dalam pengeloaan APBN/APBD

adalah Bendahara satuan kerjanya. Demikian pula di Desa, Bendahara Desa yang

melaksanakan pengeluaran anggaran yang dananya bersumber dari APBDes

memiliki kewajiban memungut/memotong, menyetor dan melaporkan pajak pusat

yang diantaranya meliputi Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari PPh Pasal 21,

Pasal 22, Pasal 23, dan PPh Pasal 4 ayat (2), juga Pajak Pertambahan Nilai

(PPN).

Bendahara Desa yang mengelola dana yang bersumber dari APBDes wajib

mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

sebagai identitas bendahara dalam menjalankan kewajiban perpajakannya yaitu

memotong/memungut, menyetor, dan melaporkan PPh dan/atau PPN.

23
1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes)

Pengelolaan keuangan desa dilakukan dalam rangkaian kegiatan yang

berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan

pertanggungjawaban keuangan desa. Keuangan desa dikelola berdasarkan asas-

asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin

anggaran. Pengelolaan keuangan desa dilaksanakan dalam masa satu tahun

anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Dalam pengelolaan keuangan desa, seluruh pendapatan desa diterima dan

disalurkan melalui rekening kas desa dan penggunaannya ditetapkan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Sumber penerimaan desa

berasal dari pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah pusat

mengalokasikan dana desa dalam APBN setiap tahun anggaran yang

diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja

daerah kabupaten/kota. Sedangkan pemerintah daerah kabupaten/kota

mengalokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota

setiap tahun anggaran.

Dari sisi pengeluaran, belanja desa yang ditetapkan dalam APBDes

digunakan dengan ketentuan sebagai berikut (Nawawi, 2016: 2):

1. Paling sedikit 70% (tujuh puluh per seratus) dari jumlah anggaran

belanja desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintah

desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan

desa dan pemberdayaan masyarakat desa; dan

24
2. Paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggaran desa

digunakan untuk:

a. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala desa dan perangkat desa;

b. Operasional pemerintah desa;

c. Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa; dan

d. Insentif Rukun Tetangga dan Rukun Warga.

Kepala Desa merupakan pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa.

Dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan desa, Kepala Desa

menguasakan sebagian kekuasaannya kepada perangkat desa.

a. Pengelolaan Keuangan Desa

Pengelolaan keuangan desa dilakukan melalui mekanisme penetapan

APBDes. Sebelum menjadi ketetapan, pemerintah desa membuat rancangan

peraturan desa tentang APBDes. Rancangan peraturan desa tentang APBDes

disepakati bersama oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa paling

lambat bulan Oktober tahun berjalan. Rancangan peraturan desa tentang APBDes

disampaikan oleh Kepala Desa kepada Wakil Bupati/walikota melalui camat

paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi. Bupati/walikota

dapat mendelegasikan evaluasi rancangan peraturan desa tentang APBDes kepada

camat atau sebutan lain. Peraturan desa tentang APBDes ditetapkan paling lambat

tanggal 31 Desember tahun anggaran berjalan (Nawawi, 2016: 2).

Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 menyatakan bahwa APBDes terdiri

dari pendapatan desa, belanja desa, dan pembiayaan desa. Pendapatan desa

tersebut diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis; belanja desa

25
diklasifikasikan menurut kelompok, kegiatan, dan jenis; sedangkan pembiayaan

desa diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis.

1. Pendapatan Desa.

Pendapatan desa terdiri atas Pendapatan Asli Desa, transfer, dan

pendapatan lain-lain.

a. Pendapatan Asli Desa (PADesa), tediri dari hasil usaha, hasil aset,

swadaya, partisipasi dan gotong royong serta pendapatan asli desa

lainnya.

b. Transfer, terdiri dari dana desa, bagi hasil dari pajak daerah

kabupaten/kota dan retribusi daerah, alokasi dana desa, bantuan

keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Provinsi dan bantuan keuangan APBD kabupaten/kota.

c. Pendapatan lain-lain, terdiri atas hibah dan sumbangan dari pihak

ketiga yang tidak mengikat dan lain-lain pendapatan desa yang sah.

2. Belanja Desa.

Belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang

merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan

diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa dipergunakan

dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan desa. Belanja desa

dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan pemerintah desa.

b. Pelaksanaan pembangunan desa.

c. Pembinaan kemasyarakatan desa.

26
d. Pemberdayaan masyarakat desa.

e. Belanja tak terduga.

Kelompok belanja sebagaimana tersebut di atas dibagi dalam kegiatan

sesuai dengan kebutuhan desa yang telah dituangkan dalam rencana kerja

pemerintah desa. Berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan, belanja desa

dikelompokkan ke dalam 3 jenis belanja yaitu belanja pegawai, belanja

barang dan jasa, dan belanja modal.

a. Belanja Pegawai

Jenis belanja pegawai dianggarkan untuk pengeluaran penghasilan

tetap dan tunjangan bagi kepala desa dan perangkat desa serta

tunjangan Badan Permusyawaratan Desa. Belanja pegawai ini

dianggarkan dalam kelompok penyelenggaraan pemerintah desa,

kegiatan pembayaran penghasilan tetap dan tunjangan yang

pelaksanaannya dibayarkan setiap bulan.

b. Belanja Barang dan Jasa,

Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran

pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12

(dua belas) bulan. Belanja barang/jasa antara lain terdiri dari:

1) Alat tulis kantor

2) Benda pos

3) Bahan/material

4) Pemeliharaan

5) Cetak/pengadaan

27
6) Sewa kantor desa

7) Sewa perlengkapan dan peralatan kantor

8) Makan dan minuman rapat

9) Pakaian dinas dan atributnya

10) Perjalanan dinas

11) Upah kerja

12) Honorarium narasumber/ahli

13) Operasional pemerintah desa

14) Operasional Badan Permusyawaratan Desa

15) Insentif rukun tetangga / rukun warga dan

16) Pemberian barang pada masyarakat/kelompok masyarakat.

c. Belanja Modal.

Belanja modal digunakan untuk pengeluaran dalam rangka

pembelian/pengadaan barang atau bangunan yang digunakan untuk

kegiatan penyelenggaraan kewenangan desa dengan nilai manfaat lebih

dari 12 (dua belas) bulan.

3. Pembiayaan Desa.

Pembiayaan desa meliputi semua penerimaan yang perlu dibayarkan

kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada

tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun anggaran

berikutnya. Pembiayaan desa terdiri atas kelompok penerimaan

pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.

28
Penerimaan pembiayaan mencakup sisa lebih perhitungan anggaran

(SILPA) tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan dan hasil penjualan

kekayaan desa yang dipisahkan. Pengeluaran pembiayaan terdiri dari

pembentukan dana cadangan dan penyertaan modal desa.

2. Pemotongan dan Pemungutan Pajak atas Penggunaan Dana APBDes

a. Bendahara Desa Sebagai Pemotong/Pemungut Pajak

Kekuasaan pengelolaan keuangan desa dipegang oleh Kepala Desa.

Namun demikian dalam pelaksanaannya, kekuasaan tersebut sebagian dikuasakan

kepada perangkat desa sehingga pelaksanaan pengelolaan keuangan dilaksanakan

secara bersama-sama oleh Kepala Desa dan Pelaksana Teknis Pengelolaan

Keuangan Desa (PTPKD). Ilustrasi Struktur Organisasi Pengelolaan Keuangan

pada pemerintah desa dapat digambarkan sebagai berikut (Deputi Bidang

Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah, 2015: 53):

29
Gambar 1. Struktur Organisasi Pengelolaan Keuangan pada Pemerintah Desa
Sumber: Deputi Bidang Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah, 2015

Bendahara merupakan unsur staf sekretariat desa yang membidangi urusan

administrasi keuangan untuk menatausahakan keuangan desa sehingga bendahara

dijabat oleh staf pada urusan keuangan. Bendahara mempunyai tugas menerima,

menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan

penerimaan pendapatan desa dan pengeluaran desa dalam rangka pelaksanaan

APBDes.

Pasal 31 Permendagri 113 tahun 2014 mengatur bahwa bendahara desa

sebagai wajib pungut pajak penghasilan (PPh) dan pajak lainnya, wajib

menyetorkan seluruh penerimaan potongan dan pajak yang dipungutnya ke

rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

30
Adapun ketentuan tentang pemungutan dan pemotongan pajak diatur secara

khusus dalam Permendagri 113 tahun 2014 sebagai berikut :

1. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas

Barang Mewah (PPnBM) diatur dalam pasal 16A Undang-Undang

PPN 1984.

2. Pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas gaji, upah, honorarium,

tunjangan dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau

kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi subjek pajak negeri dalam

negeri diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

3. Pemungutan Pajak Penghasilan sehubungan dengan pembayaran atas

penyerahan barang yang dananya berasal dari APBN/APBD diatur

dalam pasal 22 Undang-Undang PPh.

4. Pemotongan Pajak Penghasilan atas deviden, bunga, royalty, sewa dan

penghasilan yang diterima badan usaha berupa hadiah, penghargaan,

bonus dan imbalan, dari jasa diatur dalam pasal 23 Undang-Undang

PPh.

5. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final diatur

dengan peraturan pemerintah sesuai dengan jenis penghasilan yang

dikenakan pajak final tersebut.

b. Kewajiban Perpajakan Bendahara Desa

Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak

adalah Orang Pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan

pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan

31
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Karena bendahara desa

merupakan pihak yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan pajak berkenaan

dengan penggunaan dana desa maka bendahara desa merupakan wajib pajak.

Sebagai Wajib Pajak yang ditunjuk untuk melakukan pemotongan dan

pemungutan pajak maka bendahara desa mempunyai kewajiban mendaftarkan diri

untuk memperoleh NPWP, memotong/memungut, menyetor dan melaporkan

pajak sebagaimana dapat dilihat dalam gambar berikut.

Mendaftarkan memotong/
menyetor melapor
diri memungut

Gambar 2. Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak


Sumber: OASIS Pemotongan/Pemungutan PPH, 2013

i. Mendaftarkan Diri Untuk Memperoleh NPWP

Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang KUP diatur bahwa semua

wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undanganan perpajakan berdasarkan sistem self

assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk

dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok

Wajib Pajak (NPWP). NPWP merupakan sarana dalam administrasi perpajakan

yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak. Selain

itu, NPWP juga digunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak

dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Oleh karena itu, sebelum

melakukan tugasnya sebagai pemotong dan atau pemungut pajak bendahara desa

terlebih dahulu harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP.

32
Bendahara desa harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP pada

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan

Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal

atau tempat kedudukan Wajib Pajak. Pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP

dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan secara elektronik atau tertulis

dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-20/PJ/2013 mengatur bahwa

permohonan mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP secara elektronik

dilakukan dengan mengisi formulir pendaftaran Wajib Pajak pada aplikasi e-

Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di

www.pajak.go.id . Wajib pajak yang telah menyampaikan formulir pendaftaran

Wajib Pajak melalui aplikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen yang

disyaratkan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat

kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dengan cara mengunggah

(upload) salinan digital (sotf copy) dokumen melalui aplikasi e-Registration atau

mengirim dengan menggunakan surat pengiriman dokumen yang telah

ditandatangani dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah

penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik. Apabila dokumen yang

disyaratkan telah diterima secara lengkap, KPP menerbitkan bukti penerimaan

surat secara elektronik.

Apabila Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pendaftaran secara

elektronik, permohonan pendaftaran dilakukan dengan menyampaikan

permohonan secara tertulis yaitu dengan mengisi dan menandatangani formulir

33
Pendaftaran Wajib Pajak dengan melampirkan dokumen yang disyaratkan.

Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah

kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan

usaha Wajib Pajak secara langsung, melalui Pos atau melalui perusahaan jasa

ekspedisi atau jasa kurir. terhadap penyampaian permohonan secara tertulis, KPP

atau KP2KP memberikan bukti penerimaan surat apabila permohonan telah

diterima secara lengkap.

Dokumen yang dipersyaratkan dalam permohonan NPWP bagi bendahara

sebagai wajib pajak pemotong dan/atau pemungut pajak sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e PMK 182 Tahun 2015. Dokumen ini merupakan

dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak ditunjuk sebagai Bendahara

Pemerintah dan Dokumen identitas diri orang pribadi yag ditunjuk sebagai

Bendahara Pemerintah.

Apabila terjadi penggantian pejabat bendahara desa, bendahara pengganti

tetap menggunakan NPWP yang sama dan tidak dilakukan perubahan NPWP.

Bendahara desa pengganti cukup melaporkan secara tertulis tentang

penggantiannya dan tidak perlu mengajukan permohonan NPWP yang baru.

Penghapusan NPWP dapat dilakukan bagi Wajib Pajak yang sudah tidak

memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Bagi Wajib Pajak bendahara

pemerintah yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang

bersangkutan sudah tidak lagi melakukan pembayaran maka dapat dilakukan

permohonan penghapusan NPWP.

34
Permohonan penghapusan NPWP dapat dilakukan secara elektronik atau

tertulis dan dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan yaitu dokumen yang

menyatakan bahwa Wajib Pajak sudah tidak ada lagi kewajiban sebagai

bendahara. Pengajuan secara elektronik dilakukan dengan mengisi formulir

penghapusan NPWP pada aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman

Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id.

Wajib Pajak yang telah menyampaikan formulir penghapusan NPWP dengan

lengkap melalui aplikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen yang

disyaratkan ke KPP dengan cara mengunggah (upload) salinan digital (softcopy)

dokumen melalui aplikasi e-Registration atau mengirimkannya dengan

menggunakan surat pengiriman dokumen yang telah ditandatangani sebelum

jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah penyampaian permohonan

penghapusan secara elektronik.

Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan penghapusan

NPWP secara elektronik, permohonan penghapusan dapat dilakukan dengan

menyampaikan permohonan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani

formulir penghapusan NPWP dilengkapi dengan dokumen yang disyaratkan.

Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah

kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan

usaha Wajib Pajak secara langsung, melalui Pos, atau melalui perusahaan jasa

ekspedisi atau jasa kurir. Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis, KPP

atau KP2KP memberikan bukti penerimaan surat apabila permohonan dinyatakan

telah diterima secara lengkap.

35
ii. Melakukan Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak

Berkaitan dengan pemotongan dan pemungutan pajak, kewajiban bendahara

desa sama dengan kewajiban bendahara pemerintah lainnya. Pada saat melakukan

pembayaran kepada Wajib Pajak rekanan, Bendahara Desa memiliki kewajiban

atas aspek pajak sebagai berikut:

1. Belanja pegawai

Belanja pegawai yang menjadi objek pajak yang dipotong oleh bendahara desa

terdiri dari gaji aparat desa non PNS dan tunjangan aparat Badan Perwakilan

Desa (BPD) non PNS. Objek pajak tersebut merupakan objek pajak PPh pasal 21

yang dikenakan tarif 5% dari penghasilan netto di atas Penghasilan Tidak Kena

Pajak (PTKP). Sedangkan untuk gaji aparat desa dengan status PNS tidak

dipotong pajaknya oleh Bendahara Desa karena telah dipotong oleh Bendahara

Pemerintah Kabupaten. Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Direktorat Jenderal

Pajak Nomor 16/PJ/2016.

2. Belanja Barang dan Jasa

Belanja barang dan jasa yang dilakukan oleh Bendahara Desa dikenai pajak

penghasilan pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 4 ayat 2 dan PPN. Objek pajak,

tarif serta referensi peraturan yang terkait dengan transaksi belanja barang dan

jasa terangkum dalam tabel berikut ini:

36
Tabel 2.1 Belanja Barang dan Jasa Bendahara Desa

Objek Pajak Keterangan Tarif Referensi


PPh Pasal 22; Pembelian/pengadaan 1,5% dari Peraturan Menteri
PPN barang seperti harga Keuangan Nomor
bahan/material/ATK pembelian 107/PMK.010/2015
barang (tidak
termasuk
PPN);
PPh Pasal 22; Makanan dan 1,5% dari Peraturan Menteri
minuman rapat harga Keuangan Nomor
(Bukan Jasa pembelian 18/PMK.010/2015
Katering) barang (tidak
termasuk
PPN);
PPh Pasal 23; Makanan dan 2% dari harga Peraturan Menteri
minuman rapat (Jasa pembelian jasa Keuangan Nomor
Katering) (tidak termasuk 18/PMK.010/2015
PPN);
PPh Pasal 23; Pakaian dinas dan 2% dari harga Peraturan Menteri
PPN atributnya pembelian jasa Keuangan Nomor
(tidak termasuk 141/PMK.010/2015
PPN);
PPh Pasal 21 Honorarium 5% dari 50% Perdirjen Pajak
narasumber/ahli atas Nomor 16/PJ/2016
Penghasilan
Bruto
Kumulatif
yang
dibayarkan
PPh Pasal 21 Upah Kerja Tukang 5% dari Perdirjen Pajak
Penghasilan Nomor 16/PJ/2016
Netto diatas
Penghasilan
Tidak Kena
Pajak (PTKP)
PPh Pasal 23; Cetak/penggandaan, 2% dari harga Peraturan Menteri
PPN pemeliharaan pembelian jasa Keuangan Nomor
(tidak termasuk 141/PMK.010/2015
PPN);

37
PPh Pasal 4(2); Sewa kantor 10% dari Nilai Perdirjen Pajak
PPN Sewa dan Nomor
227/PJ/2002
PPh Pasal 4(2); Jasa konstruksi 2%, 3%, atau Peraturan Menteri
PPN 4% Keuangan Nomor
153/PMK.03/2009

PPh Pasal 23; Sewa perlengkapan 2% dari harga Peraturan Menteri


PPN dan peralatan pembelian jasa Keuangan Nomor
(tidak termasuk 141/PMK.010/2015
PPN);

Bendahara desa pada saat melakukan pembayaran berupa gaji, tunjangan,

honor dan penghasilan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang

dilakukan oleh orang pribadi harus melakukan pemotongan PPh Pasal 21 apabila

telah memenuhi persyaratan untuk dilakukan pemotongan pajak.

Bendahara desa pada saat melakukan pembayaran berkaitan dengan

belanja barang maka harus melakukan pemungutan PPh Pasal 22 dan melakukan

pemungutan PPN apabila belanja barang ini memenuhi persyaratan pemungutan

PPh pasal 22 dan pemungutan PPN. Tarif yang dikenakan atas trasaksi adalah

1,5% bila rekanan memiliki NPWP, dan pengenaaan tarif 200% dari nilai tarif

normal bila rekanan tidak memiliki NPWP. Pengenaan tarif lebih tinggi 200% ini

juga berlaku untuk mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak lainnya.

Bendahara desa pada saat melakukan pembayaran berkaitan dengan

belanja jasa maka akan dilihat jenis jasanya. Bila transaksi dengan jasa konstruksi

maka maka harus melakukan pemotongan PPh Pasal 4(2) yang bersifat final

dengan tarif senilai 2%, 3 %, atau 4% tergantung pada klasifikasa usaha rekanan

dan melakukan pemungutan PPN. Jika jasa yang digunakan selain jasa konstruksi

38
maka harus dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 2% dan

pemungutan PPN.

Bendahara Desa pada saat melakukan pembayaran berkaitan dengan

belanja sewa maka akan dilihat jenis harta yang disewa. Apabila harta yang

disewa berupa tanah dan/atau bangunan maka harus melakukan pemotongan PPh

Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 10% yang bersifat final dan melakukan pemungutan

PPN. Jika harta yang disewakan selain tanah dan/atau bangunan maka harus

dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 2% dan pemungutan PPN.

3. Belanja Modal

Transaksi belanja diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

153/PMK.03/2009 desa merupakan objek PPN dan PPh pasal 4 ayat 2 dengan

tarif 2%, 3%, atau 4% dari nilai jasa tidak termasuk PPN. Kegiatan yang dikenai

PPh pasal 4 ayat 2 dan PPN adalah sebagai berikut:

a. Membangun gedung kantor

b. Membangun jembatan

c. Membangun pembangkit tenaga listrik

d. Membangun jalan setapak permanen

Berdasarkan uraian mengenai aspek perpajakan Bendahara Desa yang telah

dijelaskan di muka, maka penelitian ini akan menjelaskan mengenai penerapan

ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan khususnya pada penggunaan

APBDes yang melipuli belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja

modal.

39
iii. Melakukan Penyetoran Pajak Yang Telah Dipotong dan/atau telah

Dipungut

Bendahara Desa setelah melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak

harus menyetor pajak yang telah dipotong dan/atau telah dipungut ke kas negara

melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos Persepsi. Tata cara penyetoran pajak yang

telah dipotong/dipungut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor

242/PMK.03/2014. Untuk kepentingan penyetoran pajak oleh bendahara desa taat

cara penyetorannya secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penyetoran pajak dilakukan ke kas negara melalui layanan pada

loket/teller dan/atau layanan dengan menggunakan sistem elektronik

lainnya, pada Bank Persepsi/Pos Persepsi.

2. Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak

(SSP) atau sarana administrasi lainnya yang disamakan dengan SSP

yang dapat berupa Bukti Penerimaan Negara (BPN) atas penyetoran

pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik atau dengan

datang langsung ke Bank Persepsi.

3. SSP atau sarana administrasi lainnya sebagaimana tersebut dinyatakan

sah apabila telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai

pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada

BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada SSP atau

sarana administrasi lain tersebut.

Satu formulir SSP atau sarana administrasi lainnya hanya dapat digunakan

untuk pembayaran satu jenis pajak, satu masa pajak, atau tahun pajak atau bagian

40
tahun pajak dengan menggunakan 1 (satu) kode akun pajak dan 1 (satu) kode jenis

setoran sebagai berikut:

Tabel 2.2 Kode Akun dan Jenis Setoran Pajak

Kode Kode Keterangan


Akun Jenis
Setoran
411211 930 Pembayaran PPh Pasal 22 dalam negeri yang dipungut
oleh pemungut Bendahara Dana Desa
411121 100 Pembayaran PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Bendahara Dana Desa
411121 402 Pembayaran PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau
imbalan lain yang diterima pejabat negara, PNS,
Anggota TNI/POLRI dan para pensiunannya.
411122 930 Pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh
Pemungut Bendahara Dana Desa
411124 100 Pembayaran PPh Pasal 23 yang dipotong oleh
Bendahara Dana Desa
411128 409 Pembayaran PPh Pasal 4(2) Jasa kontruksi yang
dipotong oleh Bendahara Dana Desa
411128 403 Pembayaran PPh Pasal 4(2) Persewaan tanah atau
bangunan yang dipotong oleh Bendahara Dana Desa

Penyetoran pajak dengan menggunakan sistem elektronik lebih lanjut diatur

dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 sebagai berikut:

1 Penyetoran pajak ke kas negara dilakukan melalui Bank/Pos Persepsi

dengan menggunakan kode billing.

2 Kode billing dapat dibuat melalui kanal-kanal pembuatan Kode Billing

sebagai berikut:

3 Petugas Bank (Teller/CS) dengan membawa SSP

4 https://billing-djp.intranet.pajak.go.id (Aplikasi Layanan Elektronik

Mandiri di KPP/KP2KP)

5 https://sse.pajak.go.id

41
6 https://sse2.pajak.go.id

7 Internet Banking corporate dan personal (BRI), dan Internet Banking

corporate (BNI, Mandiri, BCA, dll)

8 Application Service Provider ( www.online-pajak.com )

Pembayaran atas Kode bIlling yang telah dibuat dapat dilakukan melalui :

1. Teller Bank/Pos Persepsi

2. ATM

3. Mini ATM (EDC BNI, BRI, Mandiri, khusus untuk pembayaran pajak

tersedia di KPP/KP2KP)

4. Internet Banking

5. Mobile Banking

Atas pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan, bendahara desa

menerima Bukti Penerimaan Negara sebagai bukti setoran yang dapat berupa:

1. Dokumen bukti pembayaran yang diterbitkan Bank/Pos Persepsi,

untuk pembayaran/penyetoran melalui Teller Kode Biling.

2. Struk bukti transaksi, untuk pembayaran melalui ATM dan EDC;

3. Dokumen elektronik untuk pembayaran/penyetoran melalui internet

banking; dan

4. Teraan BPN pada SSP/SSP PBB, untuk pembayaran melalui Teller

Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan SSP/SSP PBB.

BPN sebagaimana tersebut diatas termasuk cetakan, salinan dan fotokopinya,

kedudukannya disamakan dengan SSP dan SSP PBB dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan Perundang-undangan perpajakan.

42
Dalam hal terdapat perbedaan antara data pembayaran yang tertera dalam

BPN dengan data pembayaran menurut sistem Penerimaan Negara secara

elektronik, maka yang dianggap sah adalah data Sistem Penerimaan Negara secara

elektronik.

4. Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB)

Surat Keterangan Bebas (SKB) dapat diajukan oleh rekanan kepada KPP

tempat rekanan terdaftar dengan syarat omzet pertahun tidak lebih dari Rp.

4.800.000.000 per tahun. Dengan menggunakan SKB, rekanan dibebaskan dari

pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan. Peraturan mengenai pengajuan

Surat Keterangan Bebas diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

Per – 32/PJ/2013. Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan dari Peraturan

Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan

dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran

bruto tertentu. SKB dapat digunakan untuk pembebasan pemotongan dan

pemungutan pajak penghasilan yang bersifat tidak final seperti PPh Pasal 21,

Pasal 22, dan Pasal 23.

Langkah yang harus dilakukan oleh rekanan untuk mendapatkan SKB adalah

mengajukan permohonan kepada KPP tempat rekanan terdaftar dengan

melampirkan SPT Tahunan periode sebelumnya sebagai bukti bahwa omzet yang

didapatkan perusahaan tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 per tahun. Setelah

diterbitkan oleh KPP, SKB tersebut berlaku selama satu tahun takwim. Pemotong

atau pemungut pajak tidak akan melakukan pemotongan atau pemungutan pajak

43
penghasilan ketika rekanan memberikan fotokopi SKB yang sudah dilegalisir oleh

KPP.

5. Melaporkan Pajak Yang telah Dipotong dan/atau Dipungut

Setelah melakukan pemotongan/pemungutan dan menyetorkan pajak ke kas

Negara, kewajiban berikutnya adalah melaporkan pajak yang telah

dipotong/dipungut ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Pelaporan ini

menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan (SPT) Masa sesuai dengan jenis

pajak yang telah dipotong/dipungut. Adapun jenis SPT Masa yang digunakan

dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.3 Jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Masa

Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)


PPh Pasal Untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21/26
21/26 Setiap bulan wajib melaporkan meskipun tidak ada
pemotongan PPh Pasal 21/26
PPh Pasal 22 Untuk melaporkan pemungutan PPh Pasal 22
Laporan disampaikan apabila terjadi pemungutan pajak
PPh Pasal Untuk melaporkan pemungutan PPh Pasal 23
23/26 Laporan disampaikan apabila terjadi pemungutan pajak
PPh Pasal Untuk melaporkan pemungutan PPh Pasal 4(2)
4(2) Laporan disampaikan apabila terjadi pemungutan pajak
PPN dan PPn Untuk melaporkan pemungutan PPN dan PPn BM
BM Setiap bulan wajib melaporkan meskipun tidak pemungutan
PPN dan PPn BM

Bendahara Desa melaporkan pajak dengan mengisi SPT Masa sesuai

dengan jenis pajak yang dipotong. SPT Masa yang dilaporkan wajib dilampiri

dengan bukti pembayaran pajak berupa SSP/E.

Terdapat perbedaan dalam ketentuan pengisian formulir SSE/P untuk pajak

yang dipotong dan dipungut. Mekanisme pemungutan terjadi pada PPh Pasal 22

dan PPN, sedangkan mekanisme pemotongan terjadi pada PPh Pasal 21, Pasal 23,

44
dan Pasal 4 ayat (2). Pengisian SSP/E atas pajak yang dipungut (PPh Pasal 22 dan

PPN), bagian isian NPWP diisi dengan NPWP rekanan, Nama Wajib Pajak diisi

dengan nama rekanan, dan Penyetor Pajak diisi dengan nama Bendahara Desa.

Setelah melakukan pemungutan, Bendahara Desa wajib memberikan tembusan

SSE/P sebagai bukti pungut kepada rekanan transaksi. Tembusan ini dapat

digunakan rekanan sebagai kredit pajak pada saat melakukan perhitungan pajak

tahunan.

Sedangkan pengisisan SSP/E atas pajak yang dipotong (PPh Pasal 21, 23, dan

4 ayat (2)) bagian isian NPWP, Nama Wajib Pajak, dan Penyetor Pajak diisi

dengan nama Bendahara Desa. Setelah melakukan pemotongan, Bendahara Desa

wajib memberikan bukti potong kepada rekanan transaksi. Bukti potong PPh pasal

21 dan 23 dapat digunakan sebagai kredit pajak pada saat rekanan

memperhitungkan pajak tahunan.

c. Memilih Rekanan Pemerintah

Pasal 19 Ayat (1) huruf k Peraturan Presiden nomor 54 tahun 2010 tentang

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur bahwa penyedia barang/ jasa dalam

pelaksanaan pengadaan barang/jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai Wajib

Pajak, sudah memiliki NPWP dan telah memenuhi kewajiban Perpajakan Tahun

terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 21, PPh pasal

23 (bila ada transaksi), PPh Pasal 25/29, dan PPN (bagi PKP) sekurang-kurangnya

tiga bulan terakhir dalam tahun berjalan. Untuk mengetahui bahwa Wajib Pajak

telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir, wajib pajak tersebut

45
diwajibkan untuk memberikan surat keterangan fiskal (SKF) yang diterbitkan oleh

KPP tempat WP terdaftar kepada bendahara.

d. Sanksi dalam Perpajakan

Bendahara Desa merupakan Wajib Pajak sehingga segala sanksi yang

berlaku Wajib Pajak pada umumnya juga berlaku terhadap Bendahara Desa.

Adapun sanksi dibidang perpajakan terkait dengan Wajib Pajak termasuk

didalamnya Bendahara desa diatur dalam undang-undang KUP yang antara lain

sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 7 UU KUP diatur bahwa apabila Surat

Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang

ditentukan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar

Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN, dan

Rp100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah ) untuk SPT masa lainnya.

2. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri surat pemberitahuan

masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya

dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per

bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh

tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian

dari bulan dihitung satu bulan penuh sesuai dengan Pasal 9 ayat (2a)

Undang –Undang KUP.

3. Pembayaran atau penyetoran pajak yang dilakukan setelah tanggal

jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi

adminstrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang

46
dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal

pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan sesuai

dengan Pasal 9 Ayat (2a) Undang-Undang KUP.

47
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk mengetahui penerapan

Withholding Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul.

3.1.1 Metode Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan yang juga disebut pendekatan

investigasi karena biasanya peneliti mengumpulkan data dengan cara bertatap

muka langsung dan berinteraksi dengan orang-orang di tempat penelitian

(McMillan dan Schumacher, 2003). Penelitian kualitatif juga bisa dimaksudkan

sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur

statistik atau bentuk hitungan lainnya (Strauss dan Corbin, 2003).

Sementara Denzin dan Lincoln (2011: 3) menjelaskan metode penelitian

kualitatif sebagai berikut:

“a set of interpretive, material practices that make the world visible. These
practices transform the world. They turn the world into a series of
representations, including fieldnotes, interviews, conversations,
photographs, recordings and memos to self … qualitative researchers
study things in their natural settings, attempting to make sense of or
interpret phenomena in terms of the meanings people bring to them.”

Penelitian kualitatif merupakan sebuah satu set praktik material yang interpretif

untuk memudahkan interpretasi mengenai suatu fenomena atau kejadian.

Penelitian kualitatif menjabarkan suatu fenomena menjadi serangkaian

48
representasi, termasuk catatan lapangan, wawancara, percakapan, foto, rekaman

dan memo bagi peneliti. Hal ini memungkinkan peneliti kualitatif mempelajari

suatu fenomena dalam setting alamiahnya, mencoba untuk memahami atau

menafsirkan fenomena dari perspektif subjek yang diteliti.

Pendekatan penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk berinteraksi

dengan partisipan yang diteliti untuk lebih memahami subjektifitas yang

terkandung dalam proses pengumpulan data. Lebih lanjut, Laksmi (2015)

berargumen bahwa penelitian kualitatif memungkinkan peneliti untuk menguji

pengalaman partisipan dalam hal yang diteliti untuk mengindentifikasi

permasalahan dari perspektif dan untuk memahami maksud dan interpretasi yang

mereka berikan terhadap perilaku mereka.

Pendekatan fenomenologi menurut Husserl (1901) dapat diartikan sebagai:

1) pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang

kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Moleong (2016: 15)

menyimpulkan fenomenologi sebagai suatu perspektif yang berfokus pada

pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi dunia.

Metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi memungkinkan penelitian ini

dilakukan berdasarkan kondisi alami. Peneliti menggunakan metode kualitatif

dengan pendekatan fenomenologi karena lebih cocok untuk mengetahui

kepatuhan Bendahara Desa terhadap ketentuan perundang-undangan di bidang

perpajakan.

49
3.2 Partisipan Penelitian

Partisipan dari penelitian ini adalah 7 (tujuh) Bendahara Desa di

Kabupaten Gunungkidul yang bertindak sebagai pemungut atau pemotong pajak.

Kabupaten Gunungkidul dipilih sebagai tempat penelitian karena Gunungkidul

merupakan kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Selain itu terdapat temuan bahwa hanya terdapat 31% Bendahara

Desa di Gunungkidul yang paham pelaksanaan withholding tax system dengan

benar sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti berperan ganda yaitu sebagai instrumen

dalam penelitian dan juga bertindak sebagai pengumpul data. Alat-alat yang

digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah alat perekam dan pedoman

untuk melakukan wawancara dan observasi. Pedoman wawancara dan observasi

digunakan untuk memenuhi tugas peneliti sesuai dengan rumusan masalah dalam

penelitian ini untuk memperoleh data tentang penerapan Withholding Tax System

oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul.

3.4 Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kualitatif berupa hasil wawancara dengan

Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul, serta menggunakan arsip berupa

dokumen keuangan dan dokumen perpajakan.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara

langsung dengan partisipan dan penelitian terhadap dokumen keuangan desa.

50
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan pembahasan, literatur, modul, dan sumber lainnya yang

berkaitan dengan objek penelitian.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data

penelitian. Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan penulis adalah

sebagai berikut:

3.5.1 Studi Pustaka

Studi pustaka adalah metode pengumpulan data dengan cara mencari

informasi melalui buku–buku, koran, majalah, dan literatur lainnya (Arikunto,

2006: 162). Penulis melakukan pengumpulan data dari berbagai literatur dan

modul yang berkaitan dengan penelitian ini untuk memenuhi kebutuhan teori

dalam penerapan Withholding Tax System oleh Bendahara Desa. Selain itu, data-

data dari instansi pemerintahan yang relevan dengan rumusan masalah juga

dibutuhkan sebagai data pendukung yang tidak terdapat pada observasi dan

wawancara. Data-data yang diperlukan dalam penelitian penerapan Withholding

Tax System oleh Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul adalah:

1. Dokumen keuangan dan perpajakan dari Bendahara Desa di Kabupaten

Gunungkidul.

2. Dokumen data Wajib Pajak Bendahara Desa dari KPP Pratama Wonosari.

3. Data PKP di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

51
3.5.2 Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian Lapangan (Field Research) dianggap sebagai pendekatan luas

dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data

kualitatif. Ide pentingnya adalah bahwa peneliti berangkat ke „lapangan‟ dalam

suatu keadaan alamiah atau ‘in situ’ (Moleong, 2016: 26). Metode ini merupakan

metode pengumpulan data dari objek penelitian di luar dari studi pustaka atau

berhubungan dengan objek penelitian secara langsung.

3.5.2.1 Teknik Wawancara

Wawancara adalah bentuk komunikasi dua orang, melibatkan seseorang

yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan

pertanyaan–pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu (Mulyana, 2004). Teknik

wawancara yaitu teknik pengumpulan informasi mengenai topik penelitian dengan

menggali informasi dari partisipan atau pihak-pihak yang dianggap berkompeten

dibidang perpajakan APBDes, baik pengetahuannya maupun pengalamannya. Hal

ini dilakukan dengan menanyakan secara langsung kepada partisipan yang

dianggap berkompeten terhadap implementasi Perpajakan APBDes.

Penelitian ini menggunakan metode saturasi dalam menentukan jumlah

partisipan wawancara. Metode saturasi menurut Flick (2002), Bryman dan Bell

(2003), serta David dan Sutton (2011) menerangkan bahwa sampel yang

digunakan dalam penelitian dianggap cukup pada saat tidak didapatkan lagi

informasi maupun perilaku tertentu dari para narasumber atau partisipan, dalam

arti lain adalah saat dimana respon maupun perilaku dari partisipan selanjutnya

dapat diprediksikan.

52
Partisipan penelitian dipilih dengan metode purposive sampling. Partisipan

terpilih merupakan Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten Gunungkidul dan

berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan. Selain Bendahara Desa, partisipan

yang turut diwawancarai adalah perwakilan dari Badan Keuangan dan Aset

Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan dari Dinas Pemberdayaan

Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten Gunungkidul, serta perwakilan

dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari. Partisipan yang dipilih meliputi:

1. Kepala Bidang Pelayanan dan Penagihan Badan Keuangan dan Aset

Daerah Kabupaten Gunungkidul;

2. Kepala Seksi Bina Administrasi dan Perangkat Desa Bidang

Pemerintahan Desa Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan

Anak, dan Keluarga Berencana;

3. Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Wonosari;

4. Bendahara Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo;

5. Bendahara Desa Baleharjo Kecamatan Wonosari;

6. Bendahara Desa Siraman Kecamatan Wonosari;

7. Bendahara Desa Semanu Kecamatan Semanu;

8. Bendahara Desa Karangrejek Kecamatan Wonosari;

9. Bendahara Desa Mulo Kecamatan Wonosari;

10. Bendahara Desa Karangsari Kecamatan Semin.

Proses wawancara dilaksanakan setelah peneliti mengajukan ijin dan

persetujuan kepada partisipan penelitian. Seluruh partisipan penelitian telah

53
memberikan ijin dan persetujuan bahwa peneliti dapat merekam dan memaparkan

hasil wawancara sebagai data penelitian.

Metode wawancara yang dipilih dalam penelitian ini adalah wawancara

semi terstruktur. Menurut Laksmi (2015: 299) metode wawancara semi terstruktur

cocok digunakan pada penelitian yang masih jarang diteliti karena peneliti harus

mengumpulkan informasi yang mendalam untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan dalam penelitian. Metode ini memungkinkan partisipan untuk

memiliki kendali atas jawaban yang mereka utarakan, yang berarti partisipan

dianggap sebagai ahli dalam permasalahan yang sedang diteliti. Lebih lanjut,

wawancara semi terstruktur menawarkan pendekatan yang lebih luwes/fleksibel

dalam proses wawancara dibandingkan dengan wawancara terstruktur (Bryman

dan Bell: (2006); Ryan, Coughlan, dan Cronin: (2009)) dan melalui metode

wawancara ini pula wawancara yang dilakukan mampu menghasilkan jawaban

beserta perspektif dari partisipan (Hesse-Biber dan Leavy: 2010).

Daftar pertanyaan adalah set pertanyaan yang sudah disiapkan dan ditulis

sebelumnya oleh penulis untuk dimintakan jawabannya dari partisipan, dalam hal

ini adalah beberapa Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul. Untuk menjawab

pertanyaan umum dalam rumusan masalah yang kemudian dikerucutkan dalam

tujuan penelitian, peneliti menyusun daftar pertanyaan.

Daftar pertanyaan yang diajukan meliputi:

1. Daftar pertanyaan untuk Bendahara Desa

a. Ketika melakukan belanja barang dengan nominal yang bisa

dikenakan PPN dan/atau PPh, apakah belanja dilakukan kepada

54
rekanan yang memiliki NPWP?

b. Apabila belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP,

bagaimana mekanisme penyetoran pajaknya?

c. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh Pasal 23 atas pembelian

jasa?

d. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh pasal 4 ayat 2 atas

pembelian jasa?

e. Bagaimana pelaksanaan pelaporan pajak yang dipotong dan

dipungut oleh Bendahara Desa ke Kantor Pajak?

2. Daftar pertanyaan untuk Badan Keuangan dan Aset Daerah

a. Bagaimana mekanisme pemotongan PPh pasal 23?

b. Permasalahan apa yang biasanya dihadapi oleh rekanan dan

bendahara?

3. Daftar pertanyaan untuk Badan Dinas Pemberdayaan Perempuan,

Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD)

a. Apakah DP3KBPMD bertugas melakukan pengawasan atau

supervisi tentang pengelolaan keuangan desa (APBDes) termasuk

pajak-pajaknya?

b. Dari data yang ada di DP3KBPMD, apakah penyebab serapan

APBDes rendah untuk beberapa desa di Gunungkidul?

4. Daftar pertanyaan untuk KPP Pratama Wonosari

55
Menurut data dari KPP Pratama Wonosari, apa yang sebenarnya

terjadi dengan adanya Bendahara Desa bertransaksi dengan rekanan

yang tidak berNPWP atau bukan PKP?

Hasil wawancara yang didapatkan kemudian diproses sehingga

membentuk transkripsi wawancara dalam bentuk teks. Proses pentranskripsian

dilakukan peneliti dengan bantuan seorang asisten peneliti.

3.6 Analisis Data

Analisis data merupakan langkah terakhir dalam suatu penelitian sebelum

dilakukannya penarikan kesimpulan. Bagian ini menerangkan lebih lanjut

mengenai analisis data yang dilakukan oleh peneliti.

3.6.1 Thematic Analysis

Analisis tematik dipilih sebagai alat analisis dalam pengolahan data

penelitian ini. Menurut Jones dan Forshaw (2012), analisis tematik melibatkan

pengkodean teks, membaca, dan membaca kembali dan memperhatikan berbagai

kata atau konsep yang mungkin muncul kembali. Kata-kata atau konsep-konsep

kemudian menjadi kode dan dalam pengkajian lebih lanjut kode ini dapat

diadaptasi dan dimodifikasi, baik dengan menggabungkan beberapa kode bersama

dalam satu tema yang baru ataupun memisahkannya ke dalam dua tema yang

berbeda (Jones dan Forshaw: 2012).

Menurut Howitt dan Cramer (2008), analisis tematik adalah sebuah

analisis bahan tekstual yang mengungkapkan sebuah tema utama di dalamnya.

Tema, menurut Howitt dan Cramer (2008: 336) merupakan “a subject or topic on

56
which a person spoke, wrote, or thought”, atau sebuah subjek atau topik yang

dibicarakan, ditulis, atau difikirkan seseorang. Braun dan Clarke (2006) juga

mengutarakan pendapat yang mirip mengenai analisis tematik. Analisis tematik

adalah sebuah metode untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan melaporkan pola

(tema) dalam data dan juga membantu dalam mengatur dan mendeskripsikan

sebuah rangkaian data dalam data yang mendetail.

Tema yang muncul dari adanya analisis tematik dapat juga memilki

sebuah sub-tema. Sub-tema adalah tema dalam sebuah tema dan hal ini dapat

membantu peneliti untuk “give structure to a large and complex theme and also

for demonstrating the hierarchy of meaning within the data”, atau memberikan

struktur pada tema yang luas dan kompleks dan juga untuk mendemonstrasikan

hirarki makna dalam data (Braun dan Clarke, 2006: 92). Analisis tematik sangat

berguna dalam membantu pembuatan ringkasan dan deskripsi rangkaian data yang

dikumpulkan selama penelitian (Laksmi, 2015: 169).

Kelebihan lain dari penggunaan analisis tematik dijabarkan dalam tabel

berikut ini (Braun dan Clarke, 2016: 97):

Tabel 3.1 Kelebihan Analisis Tematik

No. Kelebihan Analisis Tematik


1. Fleksibilitas
2. Secara relatif merupakan metode yang mudah dan cepat untuk dipelajari
dan dilakukan
3. Mudah dilakukan oleh peneliti dengan sedikit bahkan tanpa pengalaman
dalam penelitian kualitatif
4. Hasil dapat mudah dipahami oleh kalangan awam
5. Merupakan metode yang bermanfaat dalam mengerjakan penelitian
yang berhubungan dengan paradigma penelitian partisipan
6. Bermanfaat untuk meringkas kata kunci dalam data yang besar,
dan/atau menawarkan deskripsi mendalam sebuah
rangkaian/kumpulan data

57
7. Mampu menyorot persamaan dan perbedaan antar rangkaian data
8. Dapat menghasilkan wawasan yang tidak terduga
9. Memungkinkan interpretasi data baik secara sosial maupun psikologi
10. Berguna untuk menghasilkan analisis kualitatif yang sesuai untuk
penginformasian perkembangan kebijakan

3.6.2 Pengkodean

Data kualitatif yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan

melakukan proses pengkodean secara manual. Hal ini merupakan proses

pengaplikasian kode ke dalam data sehingga data dapat dihubungkan untuk

menandai persamaan dan perbedaan di dalam dan antar teks (Bernard 2011; David

& Sutton 2011). David dan Sutton (2011) mengartikan kode sebagai suatu kata

kunci, tema atau frasa yang mungkin atau tidak mungkin berhubungan dengan

kebutuhan aktual yang berada dalam teks yang dianalisis. Lebih lanjut,

pengkodean memungkinkan reduksi data. David dan Sutton (2011: 102)

menjelaskan lebih lanjut mengenai manfaat pengkodean bagi peneliti kualitatif

sebagai berikut:

By flagging up those pieces of text where key themes seem to recur,


researchers were able to narrow their focus of attention of the entire text
of the only areas that they think are important. By identifying whether
there is a pattern between pieces of code to a particular theme,
researchers can test the strength of potential accounts, descriptions and/or
explanations.

Sebelum proses pengkodean dimulai, data penelitian diorganisir dalam

kertas kerja (spread sheet) yang kemudian sebagai pengkodean awal diwarnai

dengan warna tertentu untuk menandai data. Data yang telah ditandai ini, menurut

Lofland (2006), dapat menjadi bagian kunci dari bukti pendukung untuk

mendukung preposisi, asersi, atau teori, dan berperan sebagai contoh ilustrasi

58
selama masa pelaporan penelitian. Tahap pengkodean awal sangat bermanfaat

bagi penelitian karena tahapan ini memungkinkan peneliti untuk berfokus pada

bagian yang mencolok dan penting dari transkip wawancara (Laksmi, 2015: 156).

Saldana (2013: 3) menjelaskan bahwa: “a code in qualitative inquiry is

most often a word or short phrase that symbolically assigned a summative,

salient, essence-capturing, and/or evocative attribute for a portion of language-

based or visual data”, atau kode dalam penelitian kualitatif sering kali berbentuk

dalam kata atau frasa pendek yang secara simbolis menghasilkan atribut bagian

dari basis bahasa atau data visual yang sumatif, menonjol, menangkap inti,

dan/atau menggugah. Miles, Huberman dan Saldana (2014) juga mengungkapkan

pendapat yang serupa. Mereka menjelaskan bahwa kode merupakan penanda yang

menghasilkan arti simbolis pada deskripsi atau informasi simpulan yang

terkumpul selama penelitian. Lebih lanjut, kode biasanya terlampir dalam “chunk”

data yang berbeda ukuran dan dapat berbentuk label langsung, label deskriptif

atau label yang yang lebih sugestif dan komplek.

Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah:

a. Pengumpulan data, melakukan pengumpulan data melalui sumber-sumber

data yang ada.

b. Reduksi data, berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan polanya.

c. Penyajian data, dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan

antarkategori, dan sejenisnya.

59
d. Pengambilan kesimpulan, berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang

sebelumnya masih remang-remang atau bahkan gelap, sehingga setelah diteliti

menjadi jelas.

Pengumpulan
Data

Penyajian Data

Reduksi Data

Kesimpulan:
Verifikasi

Gambar 3. Langkah-langkah Analisis Data


Sumber: Miles dan Hubberman (2014)

Lebih lanjut, pengkodean yang peneliti lakukan terhadap hasil wawancara,

direview terlebih dahuli oleh pembimbing penelitian sebelum dilanjutkan ke tahap

berikutnya.

Uji validasi yang dilakukan oleh peneliti adalah validitas pragmatis.

Validitas pragmatis berkaitan dengan bagaimana temuan penelitian berdampak

pada mereka yang berpartisipasi dalam penelitian dan juga pada konteks sosial

yang lebih luas di mana penelitian terjadi (Kvale & Brinkmann 2009; Hesse-Biber

& Leavy 2010).

60
3.7. Kerangka Pemikiran

Ketentuan perpajakan menyatakan bahwa bendahara pemerintah wajib

memungut pajak atas penggunaan dana pemerintah baik APBN maupun APBD.

Adapun ketentuan tentang pemungutan dan pemotongan pajak diatur secara

khusus dalam undang-undang perpajakan sebagai berikut:

1. Pemungutan PPN dan PPnBM diatur dalam Pasal 16A UU PPN 1984

2. PPh atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi

subjek pajak dalam negeri diatur dalam pasal 21 UU PPh

3. Pemungutan PPh sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang

yang dananya berasal dari APBN/APBD diatur dalam pasal 22 UU PPh

4. Pemungutan PPh atas deviden, bunga, royalty, sewa, dan penghasilan yang

diterima badan usaha berupa hadiah, penghargaan, bonus, dan imbalan dari

jasa diatur dalam pasal 23 UU PPh

5. Pemotongan PPh pasal 4 ayat 2 yang bersifat final diatur dengan Peraturan

Pemerintah sesuai dengan jenis penghasilan yang dikenakan pajak final

tersebut.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberi

kewenangan kepada Pemerintah Desa untuk secara mandiri mengelola

keuangannya. Dalam rangka pengelolaan Keuangan Desa tersebut, Kepala Desa

melimpahkan sebagian kewenangan kepada perangkat Desa yang ditunjuk, yaitu

Bendahara Desa, yang memiliki tanggung jawab sebagaimana bendahara

pemerintah pada unit pemerintah lainnya. Bendahara Desa memiliki kewajiban

61
memungut/memotong, menyetor dan melaporkan pajak pusat yang diantaranya

meliputi Pajak Penghasilan (PPh) terdiri dari PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23,

dan PPh Pasal 4 ayat (2), juga Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran

mengenai penerapan withholding tax system oleh Bendahara Desa di Kabupaten

Gunungkidul dengan model kualitatif pendekatan fenomenologi. Penelitian

dilakukan dengan melakukan wawancara dan dokumentasi yang hasilnya

dilakukan analisa.

Adapun penelitian dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1. Mengkaji Undang-Undang Perpajakan yang berkaitan dengan Pemungutan

dan Pemotongan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai serta

Undang-Undang yang berkaitan dengan kebijakan APBDes.

2. Membandingkan ketentuan Pemungutan atau Pemotongan Pajak Penghasilan

dan Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang-Undang dengan pelaksanaan

kewajiban pemungutan atau Pemotongan Pajak Penghasilan dan Pajak

Pertambahan Nilai oleh Bendahara Desa untuk mengetahui bagaimana

penerapan dan kesesuaian withholding tax system oleh Bendahara Desa di

Kabupaten Gunungkidul dengan ketentuan Undang-Undang Pajak yang

berlaku melalui wawancara dan pengumpulan data.

3. Melakukan analisis data dokumen dan wawancara.

4. Mengevaluasi hasil analisis data.

62
5. Mendeskripsikan hasil penelitian dan memaparkan usulan model ideal yang

diajukan.

Lebih lanjut, langkah penelitian ini dijabarkan dalam diagram berikut:

UU PPh No 7 Th 1983 stdtd


UU PPh No 36 Th 2008
dan UU No 6 Th 2014
UU PPN & PPnBM No 8 Th 1983 Tentang APBDes
stdtd UU PPN & PPnBM No 42
Th 2009

Ketentuan Pemungutan atau Kewajiban Pemungutan atau


Pemotongan Pajak Penghasilan Pemotongan Pajak Penghasilan
dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai
oleh Bendahara Desa

1. Bagaimana penerapan withholding tax system oleh Bendahara Desa di Kabupaten


Gunungkidul?
2. Apakah penerapan pemotongan atau pemungutan pajak oleh Bendahara Desa
telah sesuai dengan ketentuan di bidang perpajakan?

Data Data
Wawancara Dokumentasi

Analisis
Data

Evaluasi

a. Deskripsi Hasil
Penelitian
b. Model Ideal yang
diusulkan

Gambar 4. Kerangka Penelitian

63
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini, peneliti menjabarkan hasil penelitian yang utamanya

didapatkan dari hasil wawancara yang didukung dengan studi pustaka dokumen-

dokumen yang terkait dengan pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak

oleh Bendahara Desa. Cakupan pembahasan dalam bab ini meliputi pelaksanaan

pemungutan dan pemotongan pajak atas penggunaan APBDes oleh Bendahara

Desa, peran Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) sebagai lembaga

yang bertugas dalam monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan

pengelolaan keuangan desa, serta peran KPP Pratama Wonosari sebagai instansi

yang berwenang dalam mengawasi kegiatan administrasi perpajakan atas transaksi

yang menggunakan dana APBDes.

4.1 Pembahasan Hasil Wawancara

Wawancara dilakukan di Desa Baleharjo, Kecamatan Wonosari,

Kabupaten Gunungkidul terhadap partisipan penelitian yang ditampung dalam

acara Focus Group Discussion (FGD). Wawancara dilaksanakan pada hari Rabu,

25 April 2018 pukul 11.00 – 13.30 WIB. Dalam pelaksanaannya, terdapat batasan

dalam hal terjawabnya pertanyaan yang diajukan. Terdapat partisipan yang secara

aktif menjawab dan memaparkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, namun

terdapat juga pertisipan yang menjawab pertanyaan secara pasif atau mengiyakan

jawaban partisipan sebelumnya.

64
Daftar partisipan yang diwawancarai terangkum dalam Tabel 4.4 sebagai

berikut:

Tabel 4.1 Daftar Partisipan Penelitian


No Inisial Instansi Jabatan
1. TM Pemerintah Desa Siraman, Sekretaris Desa
Kecamatan Wonosari
2. WA Pemerintah Desa Bejiharjo, Staf Pembantu
Kecamatan Karangmojo Keuangan Desa
3. TH Pemerintah Desa Semanu, Kaur Keuangan
Kecamatan Semanu Desa Semanu
4. MA Pemerintah Desa Karangrejek, Bendahara Desa
Kecamatan Wonosari Kaur Keuangan
5. EW Pemerintah Desa Mulo, Bendahara Desa
Kecamatan Wonosari
6. SP Pemerintah Desa Baleharjo, Bendahara Desa
Kecamatan Wonosari
7. AN Pemerintah Desa Karangsari, Bendahara Desa
Kecamatan Semin
8. AB Badan Keuangan dan Aset Kepala Bidang
Daerah (BKAD) Pelayanan dan
Penagihan Pajak
9. RT Dinas Pemberdayaan Kepala Seksi
Perempuan, Perlindungan Anak Keuangan Desa
dan Keluarga Berencana,
Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa (DP3KBPMD)
10. KR Dinas Pemberdayaan Kepala Seksi
Perempuan, Perlindungan Anak Pemerintahan Desa
dan Keluarga Berencana,
Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa (DP3KBPMD)
11. FR Kantor Pelayanan Pajak Account
Pratama Wonosari Representative
11. RA Kantor Pelayanan Pajak Kepala Seksi
Pratama Wonosari Penyuluhan dan
Ekstensifikasi

Partisipan terdiri dari Bendahara Desa yang bertugas di Kabupaten

Gunungkidul dan berstatus aktif pada masa penelitian dilakukan, perwakilan dari

Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kabupaten Gunungkidul, perwakilan

65
dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) Kabupaten

Gunungkidul, serta perwakilan dari Kantor Pelayan Pajak Pratama Wonosari.

Daftar pertanyaan yang diajukan meliputi:

3. Daftar pertanyaan untuk Bendahara Desa

f. Ketika melakukan belanja barang dengan nominal yang bisa

dikenakan PPN dan/atau PPh, apakah belanja dilakukan kepada

rekanan yang memiliki NPWP?

g. Apabila belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP,

bagaimana mekanisme penyetoran pajaknya?

h. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh Pasal 23 atas pembelian

jasa?

i. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh pasal 4 ayat 2 atas

pembelian jasa?

j. Bagaimana pelaksanaan pelaporan pajak yang dipotong dan

dipungut oleh Bendahara Desa ke Kantor Pajak?

4. Daftar pertanyaan untuk Badan Keuangan dan Aset Daerah

c. Bagaimana mekanisme pemotongan PPh pasal 23?

d. Permasalahan apa yang biasanya dihadapi oleh rekanan dan

bendahara?

5. Daftar pertanyaan untuk Badan Dinas Pemberdayaan Perempuan,

Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana, Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD)

66
c. Apakah DP3KBPMD bertugas melakukan pengawasan atau

supervisi tentang pengelolaan keuangan desa (APBDes) termasuk

pajak-pajaknya?

d. Dari data yang ada di DP3KBPMD, apakah penyebab serapan

APBDes rendah untuk beberapa desa di Gunungkidul?

6. Daftar pertanyaan untuk KPP Pratama Wonosari

Menurut data dari KPP Pratama Wonosari, apa yang sebenarnya

terjadi dengan adanya Bendahara Desa bertransaksi dengan rekanan

yang tidak berNPWP atau bukan PKP?

4.1.1 Mekanisme Pemungutan PPh dan PPN

Narasumber mengutarakan jawaban yang beragam atas pelaksanaan

pemungutan PPN dan PPh yang selama ini dipraktekkan. Adapun pajak yang

biasa dipungut dan dipotong oleh Bendahara Desa adalah PPh Pasal 21 atas

pemberian gaji, PPh Pasal 22 atas belanja barang, PPh Pasal 23 atas pembelian

jasa, PPh pasal 4 ayat 2 atas jasa konstruksi, dan PPN untuk transaksi diatas satu

juta rupiah. Penelitian ini berfokus pada mekanisme pemungutan PPh pasal 22,

23, 4 ayat 2, dan PPN yang melibatkan adanya transaksi dengan rekanan.

Jawaban mengenai mekanisme pemungutan pajak oleh Bendahara Desa

secara umum terangkum dalam tabel berikut:

67
Tabel 4.2 Mekanisme Pemungutan Pajak oleh Bendahara Desa

Transaksi dengan Penyetoran Pajak


Rekanan
No Desa
PKP Ber NPWP NPWP
NPWP Rekanaan Desa
1 Desa Siraman, Kecamatan Wonosari Tidak Tidak Tidak Ya
2 Desa Bejiharjo Kecamatan Tidak Tidak Tidak Ya
Karangmojo
3 Desa Semanu, Kecamatan Semanu Tidak Ya Ya Tidak
4 Desa Karangrejek, Kecamatan Tidak Tidak Tidak Ya
Wonosari
5 Desa Mulo, Kecamatan Wonosari Tidak Tidak Ya Ya
6 Desa Baleharjo, Kecamatan Wonosari Tidak Tidak Tidak Ya
7 Desa Karangsari, Kecamatan Semin Tidak Tidak Tidak Ya

Informasi dari Tabel 4.2 menunjukkan bahwa tidak ada Bendahara Desa

yang melakukan transaksi dengan rekanan dengan status PKP dan hanya

Bendahara Desa Semanu saja yang melakukan transaksi dengan rekanan ber

NPWP. Hal ini terjadi karena terbatasnya jumlah wajib pajak di Gunungkidul

yang berstatus PKP. FR, Account Representative KPP Pratama Wonosari,

menyatakan bahwa:

“Rekanan yang PKP di wilayah kabupaten Gunungkidul itu 509 (lima


ratus sembilan), itu yang berstatus PKP nggih. Hanya segini Pak dari
sekitar lima puluh dua ribu lebih saya bulatkan lima puluh tiga ribu WP
yang terdaftar jumlah PKP nya hanya 509. Dan ini penyebarannya tidak
merata, bahkan di Kecamatan Purwosari itu tidak ada PKP.”

Mekanisme penyetoran pajak yang sesuai dengan ketentuan perpajakan

hanya dilakukan oleh Desa Semanu dan Desa Mulo, meskipun Desa Mulo belum

sepenuhnya melakukan penyetoran sesuai dengan ketentuan yang benar.

Transaksi penyetoran yang benar adalah dengan melakukan penyetoran dengan

menggunakan NPWP Rekanan dan bukannya menggunakan NPWP Desa.

Peraturan ini ditetapkan untuk memungkinkan aparat DJP melakukan pengecekan

68
kepada rekanan mengenai benar adanya transaksi antara rekanan dan Bendahara

Desa.

Idealnya, Bendahara Desa mengikuti peraturan pemungutan dan

pemotongan perpajakan yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam

peraturan pajak sehingga persyaratan administrasi pajak terpenuhi. Namun,

walaupun Bendahara Desa tidak mampu memenuhi persyaratan pajak dengan

baik, terdapat indikasi bahwa Bendahara Desa memiliki itikad baik dalam

menjalankan tugasnya untuk mengamankan potensi pajak atas dana APBDes yang

digunakan. Jadi, walaupun transaksi dilakukan dengan rekanan yang tidak ber

NPWP dan/atau ber status PKP, Bendahara tetap melakukan kewajiban

penyetoran pajak. Hal ini sesuai dengan pernyataan teori stewardship bahwa

Bendahara Desa bertindak sebagai steward yang dapat dipercaya, mampu

bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas, serta dapat berlaku

jujur untuk pihak principal (DJP).

Dapat disimpulkan pula bahwa withholding tax system yang dijalankan oleh

Bendahara Desa sebagai withholding agent dapat berjalan lancar karena adanya

persamaan persepsi dalam rangka pencapaian tujuan penerimaan pajak antara

Bendahara Desa dan DJP mengenai jenis pajak yang harus dipungut dan dipotong

dan cara pemotongan dan pemungutannya.

Ulasan mengenai praktek pemungutan dan pemotongan pajak atas

penggunaan dana APBDes dijabarkan seperti berikut ini:

69
4.1.1.1 Transaksi Pemungutan PPh Pasal 22

Melalui hasil wawancara dan penelitian lapangan, didapatkan temuan

bahwa tidak semua desa melakukan transaksi pembelian barang dengan rekanan

yang berNPWP dan berstatus PKP serta melakukan penyetoran sesuai aturan yang

berlaku, yaitu menyetorkan transaksi pajak dengan menggunakan NPWP rekanan.

Hal ini menyimpang dari ketentuan pajak yang semestinya. Seharusnya transaksi

belanja barang dengan rekanan dilakukan dengan rekanan berNPWP, dan apabila

nilai transaksi belanja melebihi satu juta rupiah maka rekanan transaksi

merupakan rekanan yang sudah berstatus PKP.

Dalam hal penyetoran pajak, tidak semua Bendahara Desa melakukan

penyetoran sesuai aturan yang berlaku, yaitu menyetorkan transaksi pajak dengan

menggunakan NPWP rekanan. Seluruh Desa, kecuali Desa Semanu menyetorkan

hasil pemungutan pajak menggunakan NPWP Desa.

“Untuk pembelian barang dengan nominal lebih dari dua juta, kita
(Bendahara Desa Semanu) bertransaksi dengan rekanan yang memiliki
NPWP. Sedangkan untuk pembayaran (penyetoran) pajaknya pernah
menggunakan NPWP rekanan, pernah juga menggunakan NPWP Desa.
Namun saat ini penyetoran pajak telah memakai NPWP rekanan semua”.

Dari hasil wawancara dengan Bendahara Desa Mulo, didapatkan informasi

bahwa Bendahara Desa Mulo melakukan sebagian penyetoran pajak dengan

menggunakan NPWP Rekanan.

"Untuk Desa Mulo kemarin ada beberapa rekanan yang (penyetoran


pajaknya) memakai NPWP rekanan. Jadi yang membayarkan (menyetor
pajak atas sebagian transaksi belanja barang oleh Desa) rekanan seperti
Semanu...”.

Tarif pemungutan PPH Pasal 22 atas transaksi dengan Bendahara Pemerintah

dengan rekanan berNPWP adalah 1,5%. Sedangkan tarif pemungutan PPh Pasal

70
22 yang penyetoran pajaknya menggunakan NPWP Desa, tarif pemungutannya

adalah 3%. Hal ini sudah sesuai dengan yang dilakukan oleh salah satunya

Bendahara Desa Kerangrejek yang menyatakan:

“... Kami tetap belanja ke rekanan yang punya NPWP, tapi


pembayarannya (setor pajak) tetep pake NPWP Desa dan (tarif)
perhitungan pajak memakai (tarif) 3% tidak (tarif) 1,5% karena NPWP
Desa yang dipakai (untuk penyetoran)".

4.1.1.2 Pelaksanaan Pemotongan PPh Pasal 23

Pelaksanaan pemungutan PPh Pasal 23 terkadang menimbulkan

permasalahan untuk transaksi jasa catering karena pihak rekanan merasa bahwa

mereka menanggung pajak berganda. AB, Kepala Bidang Pelayanan dan

Penagihan Pajak Badan Keuangan dan Aset Daerah menyatakan bahwa:

“Dalam rangka memperluas, mengembangkan keuangan daerah maka


objek pajak restoran dikembangkan untuk objek pajak catering. Hal ini
menjadikan (merupakan) hal yang baru bagi Desa. Karena desa mengenal
peraturan ini belum lama. Sehingga penerapan untuk desa pun dilakukan
secara bertahap. Jadi untuk anggaran makan minum akan dihitung.
Pelaksanaan kebijakan yang baru ini sering menimbulkan banyak
pertanyaan baik rekanan maupun dari pengusaha catering. Ada anggapan
bahwa pajak yang dibayar pengusahaan itu double. Mereka harus
membayar pajak daerah 10% kemudian masih harus menanggung lagi
pajak atas PPh pasal 23 sebesar 2%. Padahal sebenarnya kan pajak yang
10% itu dibayar oleh konsumen. Jadi ya tanggungan resto hanya 2% saja.”

Kebijakan pemerintah daerah untuk mengembangkan keuangan daerah

mengakibatkan beralihnya objek pajak catering ke dalam objek pajak restoran.

Adapun pengenaan pajak daerah untuk jasa restoran dan catering ini adalah

sebesar 10% dan dapat dibebankan kepada pelanggan restoran atau catering.

Pajak yang dianggap berganda oleh rekanan adalah pengenaan pajak

daerah sebesar 10% dari nilai transaksi dan pengenaan pajak penghasilan pasal 23

71
atas jasa catering sebesar 2% untuk rekanan berNPWP dan 4% untuk rekanan non

NPWP.

Sejatinya pajak yang ditanggung oleh rekanan (pengusaha catering)

bukanlah pajak berganda karena pajak yang benar-benar ditanggung oleh rekanan

hanyalah PPh pasal 23. Sedangkan pajak daerah senilai 10% dari total transaksi

ditanggung oleh konsumen. Pernyataan AB ini didukung oleh FR:

“... tadi terkait dengan pajak atas restoran yang seolah-olah itu membayar
double. Memang kalimat Pak Agus itu tadi tepat sekali Pak, seolah-olah
membayar double.... Jadi bukan double, yang satu yang membayar
konsumen, yang satu yang membayar pemilik restoran.”

Dari kedua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila

Bendahara Desa Melakukan transaksi dengan rekanan pengusaha restoran ataupun

catering maka Desa menanggung pajak daerah senilai 10% atas konsumsi dan

rekanan menanggung pajak penghasilan pasal 23 atas jasa catering.

4.1.1.3 Pemotongan PPh Pasal 4 ayat 2 atas Jasa Konstruksi

Bendahara Desa memiliki kewajiban untuk memotong PPH Pasal 4 ayat 2

apabila Desa menggunakan jasa konstruksi atas kegiatan pembangunan yang

menggunakan dana APBDes. Tarif yang dipotong atas transaksi ini beragam

sesuai dengan kegiatan yang dilakukan dan klasifikasi usaha pengusaha jasa

konstruksi. Klasifikasi pengusaha jasa konstruksi dan tarif PPh Final atas jasa

konstruksi dapat dijelaskan pada gambar sebagai berikut:

72
Gambar 5. Tarif Pengenaan PPh Pasal 4 ayat 2
Sumber: OASIS Pemotongan/Pemungutan PPH, 2013

Dari tujuh Bendahara Desa yang menjadi partisipan, hanya Bendahara

Desa Semanu yang pernah melakukan transaksi kegiatan pembangunan yang

menggunakan dana yang bersumber dari APBDes. Bendahara Desa Semanu

sudah melakukan pemotongan atas PPh pasal 4 ayat 2 sesuai ketentuan yang

berlaku.

Mengenai pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan menggunakan Dana

Desa, KR, Kepala Seksi Pemerintahan Desa DP3KBPMD, menyatakan bahwa

desa yang lain lebih memilih untuk memakai mekanisme Kegiatan Swakelola.

Dalam mekanisme ini Desa secara mandiri melakukan pengadaan barang dan

melakukan kegiatan pembangunan. Selanjutnya atas kegiatan ini dikenakan PPh

Pasal 22 dan PPN saja. KR menyatakan bahwa melalui mekanisme ini desa

mampu membuat pengelolaan dana desa lebih efisien karena pada saat kegiatan

pembangunan tidak dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2. Kegiatan swakelola ini

didukung dengan adanya Peraturan Bupati Gunungkidul nomor 39 tahun 2015

tentang Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa.

73
Adanya Peraturan Bupati Gunungkidul nomor 39 tahun 2015 tentang

Tatacara Pengadaan Barang dan Jasa di Desa menunjukkan bahwa kebijakan

pemerintah merupakan faktor yang membantu dalam penghindaran pemotongan

pajak berganda.

4.1.2 Pelaporan Pajak atas Transaksi yang Dilakukan

Dari tujuh Bendahara Desa yang diwawancarai, penulis berhasil

mendapatkan informasi bahwa hanya satu desa saja, yaitu Desa Karangrejek, yang

setiap bulannya rutin melakukan pelaporan PPh dan PPN yang dipotong dan/ atau

dipungut atas transaksi dengan rekanan. Lebih lanjut, Bendahara Desa

Karangrejek menyatakan:

“Untuk Karangrejek Alhamdulillah kami tertib melaporkan (membayar


dan melaporkan) pajak, mengalami dari masa manual sampai pakai
aplikasi...”

Hasil wawancara juga memberikan informasi bahwa terdapat Bendahara

Desa yang tidak rutin atau bahkan tidak pernah melakukan pelaporan pajak

selama masa jabatannya karena menemui berbagai kendala.

Secara lebih rinci, berikut adalah tabel hasil wawancara mengenai

dilakukannya aktivitas pelapor pajak.

74
4. 3. Informasi Pelaksanaan Pelaporan oleh Bendahara Desa

No Desa Pelaporan

1 Desa Siraman, Kecamatan Wonosari X


2 Desa Bejiharjo Kecamatan Karangmojo X
3 Desa Semanu, Kecamatan Semanu X
4 Desa Karangrejek, Kecamatan Wonosari V
5 Desa Mulo, Kecamatan Wonosari X
6 Desa Baleharjo, Kecamatan Wonosari X
7 Desa Karangsari, Kecamatan Semin X

Keterangan:
X : Tidak
V : Iya

Melalui wawancara, penulis mendapatkan informasi mengenai alasan

mengapa Bendahara Desa tidak melakukan pelaporan pajak. Permasalahan

tersebut antara lain:

1. Kurangnya sumber daya manusia dalam hal kepengurusan

perbendaharaan keuangan desa.

Permasalahan ini dihadapi oleh seluruh Desa yang menjadi sampel

dalam kegiatan wawancara. Banyaknya beban pekerjaan sebagai aparat

Desa membuat Bendahara Desa terkadang kurang memprioritaskan

tugasnya dalam melaksakan pelaporan dan administrasi pajak dengan

tertib. Di samping itu, permasalahan ini tidak diimbangi dengan jumlah

aparat pemangku tanggung jawab Bendahara Desa yang memadai.

Bendahara Desa Siraman menjelaskan pokok permasalahan dalam

pelaksanaan pelaporan sebagai berikut:

“.... Selain itu kekurangan sumber daya manusia yang hanya terdiri
dari dua orang. Sedangkan tanggung jawab pekerjaan yang ditanggung
bukan hanya pekerjaan mengenai penanganan pajak desa”.

75
2. Adanya inkonsistensi petugas penerima laporan dalam memberi arahan

pelaporan yang benar

Pada saat Bendahara menyerahkan laporan kepada petugas, maka

petugas penerima laporan di KPP Pratama akan melakukan pengecekan

dokumen dan lampiran untuk mengetahui apakah persyaratan administrasi

telah terpenuhi atau belum. Apabila terdapat persyaratan yang belum

terpenuhi atau sesuai, maka petugas akan memberikan pengarahan kepada

Bendahara Desa mengenai persyaratan pelaporan yang benar. Setelah

menerima arahan, maka Bendahara harus memenuhi persyaratan tersebut.

Permasalahan terjadi pada saat ditemui arahan yang berbeda pada di tiap

masa pelaporan.

Permasalahan ini salah satunya dialami oleh Bendahara Desa

Karangrejek yang memberikan informasi sebagai berikut:

“.... Kita mengerjakan sesuai petunjuk, dokumen-dokumen yang harus


kita lengkapi sudah kami lengkapi. Sampai di loket pelaporan yang
menerima kan beda-beda, Pak A, Pak B, Pak C, kan beda-beda tiap
bulan tidak sama. Nah kadang bulan pertama bukti potong tidak usah
dilampirkan, oh ini ada kurang lampirannya, bulan selanjutnya tidak
pakai bukti potong, (ditanyakan) wah ini harus pakai bukti potong,
sudah beda lagi. ...”

Permasalahan ini menjadi pemicu sebagian Bendahara Desa yang tidak

melakukan pelaporan secara tertib. Dua narasumber, pada masa awal

menduduki jabatan sebagai Bendahara Desa, tertib melakukan pelaporan

ke KPP Pratama Wonosari. Namun, saat ini kedua Bendahara Desa

tersebut tidak melaksanakan pelaporan pajak secara tertib. Bendahara

Desa Karangsari memberikan pernyataan sebagai berikut:

76
“... Awal saya rajin melaporkan. Karena petugasnya itu beda-beda,
jadinya permintaannya beda-beda juga”.

Selain Bendahara Desa Karangsari, Bendahara Desa yang tidak

melakukan pelaporan pajak secara tertib karena permasalahan ini adalah

Bendahara Desa Baleharjo. Sedangkan Bendahara Desa Mulo, Semanu,

Siraman, dan Bejiharjo selama masa menjabat sebagai Bendahara Desa

belum pernah melakukan pelaporan pajak sama sekali.

3. Terdapat kesulitan dalam memahami ketentuan pelaporan pajak

Beberapa Bendahara Desa menganggap bahwa peraturan dan prosedur

pelaporan pajak atas transaksi yang bersumber dari APBDes sulit

dipahami. Salah satu narasumber yang peneliti wawancarai mengutarakan

bahwa narasumber sudah berusaha untuk memahami peraturan dengan

membaca buku petunjuk pelaksanaan administrasi pajak Bendahara Desa.

Namun, narasumber masih menemukan kesulitan dalam memahami

ketentuan pelaporan pajak yang baik dan benar.

4. Permasalahan demografis

Persoalan mengenai jarak antara instansi (Desa) dengan lokasi (KPP

Pratama Wonosari) dianggap sebagai salah satu faktor pendorong

Bendahara tidak melakukan pelaporan ke KPP Pratama Wonosari.

4.1.3 Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan

Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD)

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD) merupakan

77
instansi yang bertugas untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

pelaksanaan pengelolaan pengelolaan keuangan desa secara periodik. Kegiatan ini

dilakukan sebagai pengendalian terhadap pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa tidak melakukan monitoring dan

evaluasi terhadap seluruh Desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Instansi ini

hanya memilih beberapa sampel Desa untuk dijadikan target monitoring dan

evaluasi. Desa yang menjadi sampel merupakan Desa yang tahapan pengajuan

pencairan dananya terlambat. Keterlambatan ini merupakan identifikasi adanya

penyerapan dana keuangan desa yang rendah. Secara lebih lanjut, RT, Kepala

Seksi Keuangan Desa DP3KBPMD, menerangkan penyebab rendahnya

penyerapan dana desa terjadi karena adanya permasalahan penggantian Bendahara

Desa sebelum tahapan pencairan dana terpenuhi.

KR, Kepala Seksi Pemerintahan Desa DP3KBPMD, menyatakan bahwa

petugas DP3KBPMD bertanggung jawab untuk membuat regulasi, melakukan

sosialisasi, dan mengadakan kegiatan bimbingan teknis mengenai pelaksanaan

pengelolaan dana desa. Sedangkan mengenai administrasi perpajakan Bendahara

Desa, DP3KBPMD bukan merupakan instansi yang berwenang melaksanakan

pengawasan karena tanggung jawab DP3KBPMD hanya sebatas memastikan

apakah transaksi sudah harus dikenai pajak atau belum. Jadi DP3KBPMD tidak

memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan secara mendetail dan terinci

mengenai kebenaran pelaporan pajak yang dipungut atas penggunaan dana

78
APBDes. Kewajiban pengawasan terhadap pelaksanaan pelaporan pajak ini ada di

pihak KPP Pratama.

4.1.4 Kedudukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama sebagai Instansi

Pengawas Administrasi Pajak.

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Wonosari merupakan instansi

yang berwenang dalam mengawasi kegiatan administrasi perpajakan atas transaksi

yang menggunakan dana APBDes. Pada saat pelaksaaan kegiatan wawancara,

penulis mendapatkan informasi mengenai peran KPP dalam memberikan

pembinaan dan arahan agar administrasi perpajakan yang dilaksanakan oleh

Bendahara Desa berjalan dengan tertib.

FR, Account Representative KPP Pratama Wonosari, membenarkan

adanya keterbatasan jumlah dan penyebaran rekanan ber NPWP dan rekanan PKP

di Kabupaten Gunungkidul. Selama ini, dalam prakteknya, Bendahara Desa tidak

selalu melakukan transaksi dengan rekanan berNPWP karena kendala ini.

Akibatnya, Bendahara Desa tidak mampu memenuhi administrasi perpajakan.

Menanggapi permasalahan ini FR menjelaskan bahwa sebenarnya KPP

Pratama selalu menghimbau agar rekanan yang bekerjasama dengan Desa

sebaiknya berstatus NPWP sehingga pertanggungjawaban dan administrasi

perpajakannya bisa terpenuhi. Selain itu rekanan juga sebaiknya berstatus PKP

apabila transaksi yang dilakukan melebihi satu juta rupiah sehingga dapat

menerbitkan faktur pajak. Transaksi yang dilakukan dengan rekanan berNPWP

dan/atau berstatus PKP juga akan memudahkan pihak DJP untuk melakukan

pelacakan transaksi karena transaksi tercatat di kedua belah pihak yang

79
melakukan transaksi (Desa dan rekanan berNPWP dan/atau berPKP). Yang

selama ini terjadi adalah Desa kesulitan menemukan rekanan berNPWP untuk

setiap transaksi belanja yang dilakukan. Apabila Desa berhasil menemukan

rekanan transaksi berNPWP, belum tentu rekanan tersebut berstatus PKP atau

bersedia memberikan data NPWPnya.

Lebih lanjut, FR menerangkan bahwa apabila Desa memang tidak

menemukan rekanan berNPWP dan/atau berstatus PKP, maka dalam

pelaporannya menggunakan NPWP 00. 000. 000. 0 – 000 . 000. Selanjutnya untuk

pengecekan dan pelacakan transaksi, DJP akan menghubungi Bendahara Desa

untuk mengkonfirmasi kebenaran transaksi.

Dalam wawancara Bandahara Desa mengajukan permintaan agar KPP

Pratama Wonosari memberikan data mengenai daftar pengusaha yang berNPWP

dan/atau berstatus PKP untuk memudahkan Bendahara Desa dalam memenuhi

persyaratan administrasi perpajakan yang sesuai dengan ketentuan pajak.

Permohonan ini tidak dapat dilaksanakan karena setiap pegawai DJP terikat

peraturan kode etik yang tertuang dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan

Tatacara Perpajakan Pasal 34 yang menyatakan bahwa setiap pegawai DJP harus

mampu menjaga kerahasian data Wajib Pajak.

RA, Kepala Seksi Bidang Ekstensifikasi KPP Pratama Wonosari,

menambahkan bahwa sebenarnya praktek pelaksanaan administrasi perpajakan

Bendahara Desa belum sepenuhnya ditetapkan sesuai ketentuan yang semestinya.

Praktek ini tidak hanya terlaksana di Kabupaten Gunungkidul namun terjadi di

80
seluruh wilayah Indonesia. Kelonggaran dalam pelaksanaan ketetapan ini

bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

4.1.5 Pembahasan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

Peraturan perpajakan menetapkan bahwa setiap entitas usaha harus

memiliki NPWP sendiri. Termasuk juga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

yang merupakan Badan Usaha di bawah naungan Desa. Dalam prakteknya,

berdasar hasil wawancara yang telah dilakukan, tidak semua BUMDes sudah

memiliki NPWP tersendiri. Beberapa BUMDes masih menggunakan NPWP Desa

dalam pelaksanaan administrasi pajak atas transaksi yang dilakukan dari

penggunaan APBDes.

Tabel 4.4 Status BUMDes Desa

Status NPWP
No Desa
BUMDes BUMDes
1 Desa Siraman, Terbentuk Sendiri
Kecamatan Wonosari
2 Desa Bejiharjo, Terbentuk Sendiri
Kecamatan
Karangmojo
3 Desa Semanu, Terbentuk Bergabung
Kecamatan Semanu Desa
4 Desa Karangrejek, Terbentuk Bergabung
Kecamatan Wonosari Desa
5 Desa Mulo, Terbentuk Sendiri
Kecamatan Wonosari
6 Desa Baleharjo, Belum -
Kecamatan Wonosari Terbentuk
7 Desa Karangsari, Belum -
Kecamatan Semin Terbentuk

Adanya pemisahan entitas ini akan memudahkan administrasi perpajakan

Bendahara Desa dan juga memaksimalkan realisasi potensi pajak dari unsur

APBDes.

81
4.1.6 Surat Keterangan Bebas (SKB) bagi Wajib Pajak yang memiliki

Peredaran Bruto Tertentu

Peraturan yang dibuat oleh DJP yang tertuang dalam Per 32/PJ/2013

tentang tatacara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh bagi

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat dimanfaatkan oleh

rekanan APBDes. Bagi pengusaha yang memiki peredaran bruto setahun

maksimal sebesar Rp 4.800.000.000,00 dapat mengajukan SKB atas pajak yang

bersifat nonfinal. Adanya SKB ini memungkinkan pengusahan untuk

menanggung beban pajak yang lebih kecil.

Hasil wawancara menunjukkkan hasil bahwa tidak ada rekanan Bendahara

Desa yang memanfaatkan fasilitas ini.

4.2 Hubungan KPP Pratama dan Bendahara Desa

Wajib Pajak Bendahara Desa pada saat menggunakan APBDes harus

memungut pajak yang diantaranya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak

Pertambahan Nilai (PPN). Untuk memungut PPN salah satu kriteria yang harus

dipenuhi adalah rekanan transaksi harus berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Keadaan yang terjadi di lapangan, pengusaha dengan status PKP sangat sulit

ditemui karena terbatasnya jumlah dan sebaran PKP di Kabupaten Gunungkidul

yang tidak merata. Bila pemungutan pajak atas penggunaan APBDes harus

memenuhi syarat lawan transaksi harus PKP, maka karena sebaran yang tidak

merata sehingga Bendahara Desa melakukan transaksi dengan pengusaha non-

PKP, PPN menjadi tidak terutang sehingga penerimaan PPN tidak masuk.

82
Melihat kondisi yang demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam

hal ini melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Wonosari, memberikan

kelonggaran kepada Bendahara Desa untuk melakukan penyesuaian pada saat

pelaksanaan pemungutan pajak atas transaksi penggunaan APBDes. Kebijakan ini

memungkinkan Bendahara Desa untuk tetap memungut PPN walaupun status

rekanan transaksi bukan PKP. Meskipun tindakan ini merupakan penyimpangan

dari ketentuan yang ada namun terdapat niat baik antara KPP Pratama dan

Bendahara Desa demi mengamankan penerimaaan pajak negara. Tindakan yang

telah dilakukan oleh Bendahara Desa sesuai dengan gambaran teori stewardship

dimana Bendahara Desa dapat berperilaku baik untuk kepentingan yang lebih

besar yaitu mengamankan penerimaan negara serta kelancaran

pertanggungjawaban bagi Desa dalam hal pemungutan pajak atas penggunaan

APBDes. Kemudian kebijakan yang dilakukan oleh KPP Pratama Wonosari

sesuai dengan gambaran teori kebijakan dimana otoritas melakukan intervensi dan

menciptakan kondisi yang mendukung lancarnya pelaksanaan pemungutan pajak

atas transaksi penggunaan APBDes oleh Bendahara Desa. Apabila kebijakan ini

tidak dilakukan oleh KPP Pratama, maka akan menyebabkan hilangnya potensi

penerimaan pajak negara karena pajak tidak akan terutang karena transaksi

dilakukan dengan rekanan non PKP.

83
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Penelitian ini bertujuan untuk menambah literatur mengenai gambaran

penerapan pemungutan dan pemotongan pajak atas transaksi yang dilakukan

dengan menggunakan APBDes oleh Bendahara Desa yang berada di Kabupaten

Gunungkidul. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap

Bendahara Desa beserta aparat yang terkait dengan praktek pemungutan dan

pemotongan pajak atas penggunaan APBDes. Hasil wawancara kemudian

dibandingkan dengan ketentuan praktek pemungutan dan pemotongan pajak atas

transaksi yang dilakukan dengan menggunakan dana APBDes oleh Bendahara

Desa sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang perpajakan.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, peneliti dapat pengambil

kesimpulan bahwa terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Withholding Tax

System (PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 4 ayat (2), dan PPN) oleh

Bendahara Desa di Kabupaten Gunungkidul, hal ini dikarenakan tidak

terpenuhinya syarat administrasi perpajakan dan keterbatasan jumlah rekanan

yang memenuhi ketentuan perpajakan. KPP Pratama Wonosari sebagai lembaga

yang bertugas mengawasi jalannya administrasi perpajakan atas Withholding Tax

System yang dipungut oleh Bendahara Desa, memberikan keringanan dalam

pemenuhan ketentuan perpajakan ini. Hal ini dilakukan demi mengamankan

84
potensi penerimaan pajak dari penggunaan APBDes. Lebih lanjut hal ini

menunjukkan bahwa Bendahara Desa telah melaksanakan perannya sebagai

steward mampu mempertanggungjawabkan tugasnya kepada DJP. Bendahara

Desa memiliki niat baik walaupun ada penyimpangan dalam pelaksanaan

pemungutan dan pemotongan pajak.

Adapun, secara rinci hasil temuan dari penelitian diuraikan sebagai

berikut:

1. Dari tujuh Bendahara Desa yang menjadi narasumber wawancara,

didapatkan informasi bahwa hanya Desa Semanu saja yang melakukan

transaksi dengan rekanan berNPWP. Sedangkan keseluruhan Desa

yang menjadi sampel tidak satupun dapat melaksanakan transaksi yang

berhubungan dengan pemungutan PPN dengan rekanan yang berstatus

PKP. Penyimpangan ini terjadi karena terbatasnya jumlah rekanan

PKP di Kabupaten Gunungkidul.

2. Pihak KPP Pratama Wonosari tidak dapat memberikan informasi

pengusaha yang berstatus berNPWP dan/atau berstatus PKP karena

bertentangan dengan kode etik profesi yang diatur dalam Pasal 34

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.

3. Ditemukan penyimpangan pelaksanaan pemungutan PPh pasal 22 dan

PPN berupa rekanan transaksi yang tidak berNPWP dan/atau PKP

sehingga atas transaksi ini tidak terbit faktur pajak karena rekanan

bukan PKP.

85
4. Pada prinsipnya pelaksanaan pemotongan PPh pasal 23 tidak terdapat

kendala dalam praktek di lapangan oleh Bendahara Desa. Namun

terdapat persepsi pengenaan pajak berganda, yaitu pengenaan pajak

daerah dan PPh Pasal 23, yang diungkapkan oleh pengusaha jasa

catering.

5. Kegiatan yang berkaitan dengan jasa konstruksi biasanya lebih

diutamakan menggunakan mekanisme Kegiatan Swakelola

dibandingkan menggunakan jasa konstruksi yang merupakan objek

pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2). Pelaksanaan Kegiatan Swakelola

mampu menghindarkan pengenaan pajak berganda sehingga dianggap

lebih efisien.

6. Pelaksanaan penyetoran pajak yang sesuai ketentuan hanya dilakukan

oleh Bendahara Desa Semanu, yaitu melakukan penyetoran dengan

menggunakan NPWP rekanan sebagai pihak penyetor.

7. Hanya Desa Karangrejek yang setiap bulannya rutin melakukan

pelaporan PPh dan PPN yang dipotong dan/atau dipungut atas

transaksi dengan rekanan. Namun pelaksanaan administrasi pajaknya

kurang sesuai dalam hal tidak terpenuhinya syarat rekanan yang

seharusnya berstatus berNPWP.

8. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD)

bertugas dalam pelaksanaan monitoring dan evalusi serta memberikan

pembinaan dalam hal pengelolaan dana keuangan desa. Instansi ini

86
tidak memiliki wewenang dalam melakukan pengawasan dalam

pemungutan dan pemotongan pajak atas transaksi yang dilakukan oleh

Bendahara Desa.

9. KPP Pratama berperan sebagai pengawas dan pembina Bendahara

dalam pelaksanaan pemungutan dan pemotongan pajak beserta

administrasi pajak yang sesuai ketentuan. KPP Pratama selalu

menghimbau agar Bendahara Desa mampu untuk memenuhi

persyaratan sesuai dengan ketentuan perpajakan yang benar.

10. Demi mengamankan penerimaan pajak dan memperlancar penyerapan

APBDes, KPP Pratama Wonosari memberikan kelonggaran dalam hal

mekanisme penyetoran pajak dengan menggunakan NPWP Desa

dimana setoran pajak tersebut semestinya menggunakan NPWP

rekanan.

5.2 Rekomendasi

Adapun rekomendasi yang dapat peneliti ajukan dengan

mempertimbangkan hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah melalui Menteri Keuangan sebaiknya membuat regulasi

tentang pemungutan PPN atas penggunaan dana pemerintah

khususnya APBDes dengan batasan ketentuan yang lebih longgar.

Saat ini penggunaan APBDes di atas satu juta rupiah harus dipungut

PPN oleh Bendahara APBDes yang membuat penyerapan APBDes

tidak fleksibel. Batasan transaksi yang dikenai pemungutan PPN oleh

Bendahara dapat diperlonggar misalnya disamakan dengan batasan

87
transaksi yang dikenai pemungutan PPN oleh BUMN yang senilai

sepuluh juta rupiah.

2. Aparat berwenang dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) c.q.

KPP Pratama Wonosari dapat berkoordinasi dengan Kepala Daerah

(Bupati) untuk mengupayakan rekanan di luar wilayah Gunungkidul

dengan membuat NPWP Cabang di Gunungkidul dengan peraturan

Bupati demi memaksimalkan penerimaan pajak dan penyerapan

APBDes tanpa menyimpang dari ketentuan di bidang perpajakan.

3. DJP memperkuat saluran pelaporan online agar Bendahara Desa dapat

melaporkan SPT tanpa harus datang ke KPP mengingat kondisi

geografis yang berjarak jauh.

5.3 Implikasi

1. Bagi DJP, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan

dalam pembuatan kebijakan dalam bidang perpajakan dapat lebih

fleksibel, misalnya dengan memperluas batasan pengeluaran APBDes

yang diwajibkan memungut PPN dan PPh Pasal 22, hal ini untuk

mendukung pengamanan penerimaan pajak dan memaksimalkan

penyerapan APBDes.

2. Bagi Bendahara Desa, penelitian ini dapat menjadi acuan atau

pedoman pemungutan dan pemotongan PPh dan PPN yang sesuai

dengan ketentuan perpajakan.

3. Bagi peneliti, penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan

mengenai praktek nyata penerapan kebijakan pajak khususnya

88
penerapan kebijakan pemungutan dan pemotongan pajak atas

transaksi yang menggunakan APBDes.

5.4 Saran

Saran yang dapat peneliti ajukan untuk penelitian selanjutnya adalah:

1. Penelitian selanjutnya diharapkan dilakukan pada desa-desa di

wilayah lain di luar Kabupaten Gunungkidul agar didapatkan

pembanding mengenai pelaksanaan pemotongan dan/ atau

pemungutan Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai.

2. Dilakukan penelitian dengan metode kuantitatif untuk lebih

melengkapi gambaran hasil penelitian kualitatif terhadap penerapan

pemotongan dan/ atau pemungutan pajak oleh Bendahara Desa.

3. Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya lebih fleksibel dalam membuat

peraturan di bidang pajak untuk mendukung pengamanan penerimaan

pajak dan memaksimalkan penyerapan pajak atas penggunaan

anggaran negara.

4. Pemerintah Daerah Gunungkidul seharusnya menegakkan

pelaksanaan Peraturan Bupati Gunungkidul Nomer 17 Tahun 2011

tentang Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang/Lokasi dalam

Pengadaan Barang/Jasa di Kabupaten Gunungkidul. Sehingga

walaupun transaksi penggunaan dana APBDes oleh Bendahara Desa

dilakukan dengan pengusaha di luar wilayah Gunungkidul, pajak atas

transaksi tersebut dapat menjadi pendapatan pajak Gunungkidul

89
karena pengusaha diharuskan untuk mendaftarkan NPWP di

Gunungkidul.

5. Pemerintah Desa sebaiknya menambah jumlah Sumber Daya Manusia

untuk menangani transaksi dan kewajiban pajak yang berkenaan

dengan penggunaan dana APBDes demi memenuhi administrasi

perpajakan.

90
Daftar Pustaka

Anton, F. X. (2010). Menuju Teori Stewardship Management. Majalah Ilmiah


Informatika Vol.1. Universitas AKI Semarang: Fakultas Ekonomi.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi


VI. Jakarta : Penerbit PT Rineka Cipta.

Bernard, H. R. (2011). Research Methods in Anthropology. AltaMira Press.

Daniri, M. A. (2005). Good Corporate Governance: Konsep dan Penerapannya


dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Ray Indonesia

Denzin, N. K., dan Yvonna S. L. The SAGE Handbook of Qualitative Research.


SAGE Publications,

David, M., & Sutton, C. D. (2011). Social Research: an Introduction. Thousand


Oaks, CA: SAGE Publications, Inc.

Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak. (2013). OASIS


Pemotongan/Pemungutan PPH. Jakarta

Flick, U. (2002). An Introduction to Qualitative Research. 2nd Edition, Thousand


Oaks, CA: SAGE Publications, Ltd.

Hubberman A. M, dan Johnny S. (2014). Qualitative Data Analysis. A Method


Sourcebook. 3rd Edition. , Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Ltd.

Howitt, D., dan Cramer, D. (2008). Introduction to Research Methods in


Psychology. 2nd Edition. Harlow, Essex: Pearson Education Limited.

Irawan, N. (2017). Tata Kelola Pemerintahan Desa Era UU Desa. Jakarta:


Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ispranoto, T. (2017). Mendes: Tahun Depan Alokasi Dana Naik, Tiap Desa Bisa
dapat Rp 2M. Detiknews.com http://news.detik.com/berita/d-
3487085/mendes-tahun-depan-alokasi-dana-naik-tiap-desa-bisa-dapat-rp-
2-m(diakses pada 1 Oktober 2017)

Jones, S., dan Forshaw, M. (2012). Research Methods in Psychology. Harlow,


Essex: Pearson Prentice Hall.

Kementerian Keuangan Repuplik Indonesia. 2015. APBN 2016.


https://www.kemenkeu.go.id/apbn2016 (diakses pada 1 Oktober 2017)

Kementerian Keuangan Repuplik Indonesia. 2016. APBN 2017.


https://www.kemenkeu.go.id/apbn2016 (diakses pada 1 Oktober 2017)

91
Kvale, S & Brinkmann, S (2009). Interviews: learning the craft of qualitative
research interviewing. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc.,
Thousand Oaks, CA Laksmi, A. C. (2015). Continuing Professional
Development For The Auditing Profession: Evidence From Indonesia.
Melbourne: RMIT University.

Lofland, J. (2006) Analyzing Social Settings: a Guide to Qualitative Observation


and Analysis, 4th edn, Wadsworth/Thomson Learning.

Mazmanian, D. A., dan Paul A. S. (1983). Encyclopedia of Policy Sciences. New


York: Marcel Dekker.

Miles, M. B., Huberman, A. M., & Saldaña, J. (2014) Qualitative Data Analysis:
a Methods Sourcebook. 3rd edn. Thousand Oaks: SAGE Publications, Inc.

Moleong, L. J. (2016). Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung:


Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Bahrun. (2017). Perpajakan Bendahara Desa. Jakarta Barat: Indeks.

OECD, (2015). Survei Ekonomi OECD Indonesia Maret 2015. Paris: OECD
Publishing. Dapat diakses pada:http://www.oecd.org/economy/Overview-
Indonesia-2015-Bahasa.pdf

Pemerintah Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Keuangan Nomor


18/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Boga atau Katering yang
Termasuk dalam Jenis Jasa yang tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Ratnafuri, K., dan Herawati, N. (2012). Kesalahan pelaksanaan Pemotongan dan


Pemungutan Pajak Oleh Bendaharawan Pemerintah. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma (JAMAL), Vol.3, No.3:334-501

Resmi, S. (2014). Perpajakan Teori dan Kasus (Edisi Kedelapan). Jakarta:


Salemba Empat.

Rusmana, O., Wijaya E., dan Putro S. C. (2016). 1001 Hal tentang Pajak. Jakarta:
Change Publisher.

Ryan, F., Coughlan, M., dan Cronin, P. (2009). Interviewing in Qualitative


Research: the one-to-one Interview. International Journal of Therapy and
Rehabilitation, vol. 16, no. 6, hal. 309-14.

Schofield, J., dan Sausman, C. (2004). Symposium on Implementing Public


Policy: Learning from Theory and Practice. Public Administration, vol 82,
hal. 235-248

92
Siagian, A. M. (2011). Analisis Pengaruh Laba Akuntansi dan Komponen. Arus
kas terhadap Harga Saham pada Perusahaan Industri Dasar dan. Kimia
yang terdaftar di BEI 2007-2009. Skripsi Akuntansi, Universitas Sumatera
Utara, Medan

Strauss, A., dan Juliet C. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta :


Pustaka Belajar.

Sugiyono (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Jakarta:


Alfabeta.

Tim Kantor Pusat DJP. (2016). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang


tentang Pengampunan Pajak. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

Tim Penyususun Direktorat Peraturan Perpajakan II. (2013). Bendahara Mahir


Pajak Buku II. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

________. (2016). Bendahara Mahir Pajak Buku III. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pajak.

Van Meter, D. S., Van Horn, C. E. (1974). The Policy Implementation Process :
“A Conceptual framework.” Administration And Society. February

Van Meter, D. S., Van Horn, C. E. (1975) The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Administration andSociety 6, London: Sage

Wijaya, E. dan Johana L. W. (2017). Isu-Isu Kontemporer Perpajakan. Jakarta:


Change.

Wijaya, E. (2016). Kenalilah Aspek Pajak dalam Dana Desa.


http://punditax.com/kenalilah-aspek-pajak-dalam-dana-desa/

93
LAMPIRAN
Lampiran 1. Laporan Hasil Wawancara

Laporan Hasil Wawancara

Wawancara dilakukan di Desa Baleharjo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten

Gunungkidul terhadap partisipan penelitian yang ditampung dalam acara Focus Discussion

Group (FGD). Wawancara dilaksanakan pada hari Rabu, 25 April 2018 pukul 11.00 – 13.30

WIB.

Daftar responden:

No Inisial Instansi Jabatan


1. TM Pemerintah Desa Siraman, Sekretaris Desa
Kecamatan Wonosari
2. WA Pemerintah Desa Bejiharjo, Staf Pembantu
Kecamatan Karangmojo Keuangan Desa
3. TH Pemerintah Desa Semanu, Kaur Keuangan Desa
Kecamatan Semanu Semanu
4. MA Pemerintah Desa Karangrejek, Bendahara Desa Kaur
Kecamatan Wonosari Keuangan
5. EW Pemerintah Desa Mulo, Bendahara Desa
Kecamatan Wonosari
6. SP Pemerintah Desa Baleharjo, Bendahara Desa
Kecamatan Wonosari
7. AN Pemerintah Desa Karangsari, Bendahara Desa
Kecamatan Semin
8. AB Badan Keuangan dan Aset Kepala Bidang
Daerah Pelayanan dan
Penagihan Pajak
9. RT Dinas Pemberdayaan Kepala Seksi Keuangan
Perempuan, Perlindungan Anak Desa
dan Keluarga Berencana,
Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa (DP3KBPMD)
10. KR Dinas Pemberdayaan Kepala Seksi
Perempuan, Perlindungan Anak Pemerintahan Desa
dan Keluarga Berencana,
Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa (DP3KBPMD)
11. FR Kantor Pelayanan Pajak Account Representative
Pratama Wonosari
12. RA Kantor Pelayanan Pajak Kepala Seksi
Pratama Wonosari

94
Daftar pertanyaan untuk Bendahara Desa

a. Ketika melakukan belanja barang dengan nominal yang bisa dikenakan PPN dan/atau

PPh, apakah belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP?

b. Apabila belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP, bagaimana

mekanisme penyetoran pajaknya?

c. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh Pasal 23 atas pembelian jasa?

d. Bagaimana mekanisme pemungutan PPh pasal 4 ayat 2 atas pembelian jasa?

e. Bagaimana pelaksanaan pelaporan pajak yang dipotong dan dipungut oleh Bendahara

Desa ke Kantor Pajak?

Daftar pertanyaan untuk Badan Keuangan dan Aset Daerah

a. Bagaimana mekanisme pemotongan PPh pasal 23?

b. Permasalahan apa yang biasanya dihadapi oleh rekanan dan bendahara?

Daftar pertanyaan untuk Badan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga

Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DP3KBPMD)

a. Apakah DP3KBPMD bertugas melakukan pengawasan atau supervisi tentang

pengelolaan keuangan desa (APBDes) termasuk pajak-pajaknya?

b. Dari data yang ada di DP3KBPMD, apakah penyebab serapan APBDes rendah untuk

beberapa desa di Gunungkidul?

Daftar pertanyaan untuk KPP Pratama Wonosari

Menurut data dari KPP Pratama Wonosari, apa yang sebenarnya terjadi dengan

adanya Bendahara Desa bertransaksi dengan rekanan yang tidak berNPWP atau bukan

PKP?

95
Lampiran 2. Kertas Kerja Hasil Wawancara
PARTISIPAN
NO DESKRIPSI HASIL REKAP TRANSKIP
TM WA TH MA EW SP AN AB RT KR FR RA
1. Mekanisme Pemungutan Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya  Tidak ada Bendahara Desa yang melakukan transaksi
PPh dan PPN dengan rekanan dengan status PKP dan hanya Bendahara
Desa Semanu saja yang melakukan transaksi dengan
rekanan ber NPWP. Hal ini terjadi karena terbatasnya
jumlah wajib pajak di Gunungkidul yang berstatus PKP
 Mekanisme penyetoran pajak yang sesuai dengan
ketentuan perpajakan hanya dilakukan oleh Desa Semanu
dan Desa Mulo, meskipun Desa Mulo belum sepenuhnya
melakukan penyetoran sesuai dengan ketentuan yang
benar.
2. Transaksi Pemungutan PPh Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya  Tidak semua desa melakukan transaksi pembelian barang
Pasal 22 dengan rekanan yang berNPWP dan berstatus PKP serta
melakukan penyetoran sesuai aturan yang berlaku, yaitu
menyetorkan transaksi pajak dengan menggunakan
NPWP rekanan. Hal ini menyimpang dari ketentuan pajak
yang semestinya.
 Tidak semua Bendahara Desa melakukan penyetoran
sesuai aturan yang berlaku, yaitu menyetorkan transaksi
pajak dengan menggunakan NPWP rekanan. Seluruh
Desa, kecuali Desa Semanu menyetorkan hasil
pemungutan pajak menggunakan NPWP Desa.
 Hasil wawancara dengan Bendahara Desa Mulo,
didapatkan informasi bahwa Bendahara Desa Mulo
melakukan sebagian penyetoran pajak dengan
menggunakan NPWP Rekanan.
 Tarif pemungutan PPH Pasal 22 atas transaksi dengan
Bendahara Pemerintah dengan rekanan berNPWP adalah
1,5%. Sedangkan tarif pemungutan PPh Pasal 22 yang
penyetoran pajaknya menggunakan NPWP Desa, tarif
pemungutannya adalah 3%. Hal ini sudah sesuai dengan
yang dilakukan oleh salah satunya Bendahara Desa
Kerangrejek
PARTISIPAN
NO DESKRIPSI HASIL REKAP TRANSKIP
TM WA TH MA EW SP AN AB RT KR FR RA
3. Pelaksanaan Pemotongan Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya  Terdapat anggapan bahwa adanya pemungutan PPh Pasal
PPh Pasal 23 23 menimbulkan pengenaan pajak berganda terhadap
pengusaha. Hal ini dikarenakan adanya pengenaan pajak
daerah dan PPh pasal 23 atas usaha catering. Sebenarnya
hal ini hanyalah kesalahan dalam memahami siapa yang
penanggung pajak.
 Pajak daerah yang dikenai tarif 10% sebenarnya
dibebankan kepada konsumen, sedangkan pengusaha
hanya menanggung pajak penghasilan pasal 23 saja.
4. Pemotongan PPh Pasal 4 Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya  Dari tujuh Bendahara Desa yang menjadi partisipan,
ayat 2 atas Jasa Konstruksi hanya Bendahara Desa Semanu yang pernah melakukan
dan Kegiatan Membangun transaksi kegiatan pembangunan yang menggunakan dana
Sendiri (KMS) yang bersumber dari APBDes. Bendahara Desa Semanu
sudah melakukan pemotongan atas PPh pasal 4 ayat 2
sesuai ketentuan yang berlaku.
 Desa yang lain lebih memilih untuk memakai mekanisme
Kegiatan Swakelola. Dalam mekanisme ini Desa secara
mandiri melakukan pengadaan barang dan melakukan
kegiatan pembangunan. Selanjutnya atas kegiatan ini
dikenakan PPh Pasal 22 dan PPN saja.
5. Pelaporan Pajak atas Ya Ya Ya Ya Ya Ya Ya 1. Dari tujuh Bendahara Desa yang diwawancarai hanya
Transaksi yang Dilakukan satu desa saja, yaitu Desa Karangrejek, yang setiap
bulannya rutin melakukan pelaporan PPh dan PPN yang
dipotong dan/ atau dipungut atas transaksi dengan
rekanan.
2. Terdapat Bendahara Desa yang tidak rutin atau bahkan
tidak pernah melakukan pelaporan pajak selama masa
jabatannya karena menemui berbagai kendala.
3. Kendala tersebut diantaranya:
1. Kurangnya sumber daya manusia dalam hal
kepengurusan perbendaharaan keuangan desa.
PARTISIPAN
NO DESKRIPSI HASIL REKAP TRANSKIP
TM WA TH MA EW SP AN AB RT KR FR RA
2. Adanya inkonsistensi petugas penerima laporan
dalam memberi arahan pelaporan yang benar
3. Terdapat kesulitan dalam memahami ketentuan
pelaporan pajak
4. Permasalahan geografis
6. Peran Dinas Pemberdayaan Ya Ya  Petugas DP3KBPMD bertanggung jawab untuk membuat
Perempuan, Perlindungan regulasi, melakukan sosialisasi, dan mengadakan kegiatan
Anak dan Keluarga bimbingan teknis mengenai pelaksanaan pengelolaan
Berencana, Pemberdayaan dana desa. Sedangkan mengenai administrasi perpajakan
Masyarakat dan Desa Bendahara Desa, DP3KBPMD bukan merupakan instansi
(DP3KBPMD) yang berwenang melaksanakan pengawasan karena
tanggung jawab DP3KBPMD hanya sebatas memastikan
apakah transaksi sudah harus dikenai pajak atau belum.
 Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan
Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan
Desa tidak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
seluruh Desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul.
Instansi ini hanya memilih beberapa sampel Desa untuk
dijadikan target monitoring dan evaluasi. Desa yang
menjadi sampel merupakan Desa yang tahapan pengajuan
pencairan dananya terlambat. Keterlambatan ini
merupakan identifikasi adanya penyerapan dana
keuangan desa yang rendah.
 Penyebab rendahnya penyerapan dana desa terjadi karena
adanya permasalahan penggantian Bendahara Desa
sebelum tahapan pencairan dana terpenuhi. Petugas
DP3KBPMD bertanggung jawab untuk membuat
regulasi, melakukan sosialisasi, dan mengadakan kegiatan
bimbingan teknis mengenai pelaksanaan pengelolaan
dana desa. Sedangkan mengenai administrasi perpajakan
Bendahara Desa, DP3KBPMD bukan merupakan instansi
PARTISIPAN
NO DESKRIPSI HASIL REKAP TRANSKIP
TM WA TH MA EW SP AN AB RT KR FR RA
yang berwenang melaksanakan pengawasan karena
tanggung jawab DP3KBPMD hanya sebatas memastikan
apakah transaksi sudah harus dikenai pajak atau belum.
 DP3KBPMD tidak memiliki wewenang untuk melakukan
pengawasan secara mendetail dan terinci mengenai
kebenaran pelaporan pajak yang dipungut atas
penggunaan dana APBDes.
7. Kedudukan Kantor Ya Ya  Adanya keterbatasan jumlah dan penyebaran rekanan ber
Pelayanan Pajak (KPP) NPWP dan rekanan PKP di Kabupaten Gunungkidul.
Pratama sebagai Instansi Selama ini, dalam prakteknya, Bendahara Desa tidak
Pengawas Administrasi selalu melakukan transaksi dengan dengan rekanan
Pajak. berNPWP karena kendala ini.
 KPP Pratama selalu menghimbau agar rekanan yang
bekerjasama dengan Desa sebaiknya berstatus NPWP
sehingga pertanggungjawaban dan administrasi
perpajakannya bisa terpenuhi.
 Apabila Desa memang tidak menemukan rekanan
berNPWP dan/atau berstatus PKP, maka dalam
pelaporannya menggunakan NPWP 00.000.000.0-000
.000. Selanjutnya untuk pengecekan dan pelacakan
transaksi, DJP akan menghubungi Bendahara Desa untuk
mengkonfirmasi kebenaran transaksi.
 Sebenarnya praktek pelaksanaan administrasi perpajakan
Bandahara Desa belum sepenuhnya ditetapkan sesuai
ketentuan yang semestinya. Praktek ini tidak hanya
terlaksana di Kabupaten Gunungkidul namun terjadi di
seluruh wilayah Indonesia. Kelonggaran dalam
pelaksanaan ketetapan ini bertujuan untuk mempermudah
pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.
Laporan Hasil Wawancara

Hasil wawancara:

 Ketika melakukan belanja barang dengan nominal yang bisa dikenakan PPN dan/atau

PPh, apakah belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP? Apabila dilakukan

dengan rekanan, bagaimana mekanisme penyetoran pajaknya?

 Jawaban Bendahara Desa Siraman:

“Untuk Desa Siraman untuk pembelian barang dengan nominal lebih dari 2

juta,maka transaksi dilakukan dengan rekanan yang mempunyai NPWP.

Sedangkan untuk pembayaran (penyetoran) pajaknya menggunakan NPWP Desa.

Meskipun penyetoran pajaknnya menggunakan NPWP Desa, namun kami tetap

memberikan fotocopyan bukti setor pajaknya untuk pembuktian ke rekanan”.

 Jawaban Bendahara Desa Bejiharjo:

“Untuk mekanisme pembelian barang tidak perbedaan seperti itu untuk belanja

desa. Sedangkan untuk NPWP yang dipakai untuk penyetoran juga menggunakan

NPWP Desa”.

 Jawaban Bendahara Desa Semanu:

“Untuk pembelian barang dengan nominal lebih dari 2 juta kita bertransaksi

dengan rekanan yang memiliki NPWP. Sedangkan untuk pembayaran

(penyetoran) pajaknya pernah menggunakan NPWP rekanan, pernah juga

menggunakan NPWP Desa. Namun saat ini penyetoran pajak telah memakai
NPWP rekanan semua”.

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek:

“untuk karangrejek pada awalnya dulu karena paham kami itu NPWPnya pake

rekanan maka kami memakai NPWP rekanan. Tapi di tahun 2015 (dan) 2016

Karangrejek ada tagihan dari KPP terkait katanya bendahara tidak ada laporan

atau tidak memungut pajak, sehingga kami dulu konsultasi itu. Akhirnya sampai

hari ini kami tetap pake NPWP Desa. Kami tetap belanja ke rekanan yang punya

NPWP, tapi pembayarannya (setor pajak) tetep pake NPWP Desa dan (tarif)

perhitungan pajak memakai (tarif) 3% tidak (tarif) 1,5% karena NPWP Desa yang

dipake (untuk penyetoran)"

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:

"untuk desa mulo kemarin ada beberapa rekanan yang (penyetoran pajaknya)

memakai NPWP rekanan. jadi yang membayarkan (menyetor pajak atas sebagian

transaksi belanja barang oleh Desa adalah) rekanan seperti Semanu tadi. Ada 2

kegiatan kalau tidak salah. Karena diminta olek PCPKDnya uang pajaknya mau

digunakan oleh negara. Tapi yang tidak diminta (penyetorannya harus memakai

NPWP rekanan) tetap pake NPWP Desa."

 Jawaban Bendahara Desa Baleharjo:

"ini kemarin sempat sharing dengan sama... jadi Baleharjo itu tetep pake NPWP

desa, jadi apapun pembeliannya tetep sepert itu. jadi mungkin bisa dilihat rekan-

rekan lainnya , kita juga mengikuti seperti itu. jadi kita memutuskan seperti itu
(melakukan hal yang sama). Jadi misalkan kita belinya tetap ke rekanan tapi

(penyetoran pajak) tetap memakai NPWP Desa".

 Jawaban Bendahara Desa Karangsari:

 Apabila belanja dilakukan kepada rekanan yang memiliki NPWP, bagaimana mekanisme

penyetoran pajaknya?

 Bagaimana mekanisme pemungutan PPh Pasal 23 atas pembelian jasa?

 Jawaban Bendahara BAKD:

“Dalam rangka memperluas, mengembangkan keuangan daerah maka objek pajak

restoran maka dikembangkan untuk objek pajak catering. Hal ini menjadikan

(merupakan) hal yang baru bagi Desa. Karena desa mengenal peraturan ini belum

lama. Sehingga penerapan untuk desapun dilakukan secara bertahap. Jadi untuk

anggaran makan minum akan dihitung.

Pelaksanaan kebijakan yang baru ini sering menimbulkan banyak pertanyaan baik

rekanan maupun dari pengusaha catering. Ada anggapan bahwa pajak yang

dibayar pengusahaan itu double. Mereka harus membayar pajak daeran 10%

kemudian masih harus menanggung lagi pajak atas PPh pasal 23 sebesar 2%.

Padahal sebenarnya kan pajak yang 10% itu dibayar oleh konsumen. Jadi ya

tanggungan resto hanya 2% saja.”

 Bagaimana mekanisme pemungutan PPh pasal 4 ayat 2 atas pembelian jasa konstruksi

yang menggunakan TPK?


 Jawaban Bersama:

"Tidak dikenai pajak itu pak, tapi dikenakan (perlakukan sama dengan) pajak

(atas) pengadaan barang dan jasa (PPh pasal 22 dan PPN)."

 Jawaban Bendahara Desa Semanu:

“Desa Semanu pernah melakukan transaksi pembelian jasa pengawas dan

perencana jasa konstruksi dan dikenakan PPh pasal 4 ayat 2.”

 Jawaban dari Dinas Pemberdayaan

“Jadi untuk pengadaan barang dan jasa (kegiatan pembangunan) di desa ini

memang diutamakan dilaksanakan melalui kegiatan swakelola dulu. Baru pada

saat desa tidak mampu, baru diperbolehkan menggunakan pihak ketiga jasa

konstruksi atau konsultan. Jadi kalo mayoritas pengadaan barang dan jasanya

dikenakan pajaknya PPN PPh (pasal 22 dan PPN) karena mereka berupaya untuk

swakelola dulu. Ketika swakelo, tpk lebih berperan, bukan jasa konstruksi

ataupun konsultan. (dasar perbup GK nomor 39 tahun 2015 tentang tatacara

pengadaan barang dan jasa di Desa). Sebenarnya sudah tepat dari sisi efisisensi

pengelolaan dana Desa karena perbup menghilangkan pengenaan pajak

berganda.”

 Bagaimana pelaksanaan pelaporan pajak yang dipotong dan dipungut oleh Bendahara

Desa ke DJP? Hambatan apa yang ditemui selama melaksanakan pelaporan pajak?

 Jawaban Kaur Keuangan Desa Semanu:


“KPP Pratama itu ketika ditanya bagaimana cara pelaporannya? Jawabannya kan

sudah ada buku pedoman tinggal baca. Lha saya sendiri itu baca kan kesulitan

memahami peraturan pajak. Saya sudah berbaik hati lho Pak, saya itu ke sana

(KPP Pratama Wonosari) caranya pelaporan gimana, malah dijawab itu sudah ada

buku pedomannya itu lho Bu untuk bendahara. Lha tak buka-buka saya yo mumet

opo sing kudu tak laporkan saya juga belum pernah. Kebetulan mungkin Mas FR

(AR KPP Pratama Wonosari) kasihan sama saya karena sudah tua to jadi setelah

terus nggak ngoyak-ngoyak.

Nah tahun kemarin ke Desa Semanu itu Bu kok laporannya dana APBDes kok

masih sedikit. Ternyata kita pake NPWP rekanan njih itu Mas kebetulan kita juga

ada bukti di SPJ sehingga yang terbaca di laporan untuk Dana Desa Semanu itu

hanya sedikit kemarin itu itu saja. Untuk Mas FR sering-sering aja ya Mas

kunjungan ke Semanu nanti saya gantian akan nemui njenengan lagi tapi jangan,

maaf yo, dulu itu siapa yang mengusuli kan sudah ada buku pedoman, jangan

seperti itu karena saya mempelajari nggak bisa itu buku pedoman untuk bendahara

itu lho Mas. Laporan itu kon suruh buat seperti itu lha saya kan bingung. Daripada

saya bingung nanti stress mending nggak tak buat saja.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek Wonosari

“Untuk Karangrejek Alhamdulillah kami tertib melaporkan (membayar dan

melaporkan) pajak, mengalami dari masa manual sampai pakai aplikasi, kan ini

mulai bulan April meniko nggih? April atau Maret 2018 kemarin itu sudah tidak

menerima laporan manual jadi harus pakai aplikasi. Nah mungkin juga untuk
masukan KPP Pratama, ini malah jadi ajang curhat nyuwun sewu. Pertama

pengalaman kami ketika melaporkan SPT Masa itu beda-beda.

Jadi begini, kita mengerjakan sesuai petunjuk, dokumen-dokumen yang harus

dilengkapi kita lengkapi. Sampai di loket pelaporan sik menerima Pak A B C kan

beda-beda tiap bulan tidak sama. Nah bulan pertama itu kadang bukti potong

nggak usah dilampirkan, ini tidak usah, ini kurang ini. Oke kita lengkapi bulan

berikutnya tidak pakai bukti potong. Waaa ini harus pakai bukti potong, wis beda

lagi. Kasihan rekan-rekan yang ibarate kita membagi waktu mboten tekne kita itu

ngeluh di Desa itu kekurangan orang, nggak, cuma kita membagi waktu alangkah

baiknya jika wong yooo bulan pertama itu kita sudah melaporkan data komplit

dan itu jadikan patokan untuk melaporkan berikutnya jadi nek niku gek terus

berubah lagi berubah lagi kami, nggih niku wau Mbak TH (Kaur Keuangan Desa

Semanu) iso stress, mending ora laporan. Ning karena Karangrejek itu kalau tidak

laporan telat satu hari saja sudah kena denda surat terus, entah itu surat sms surat

sms, akhirnya risih dengan itu. Saya itu pernah komplain ke KPP, Desa lain itu

nggak ada yang dibeginikan lho Pak. Katanya sama perlakuannya tapi nuwun

sewu Pak D (AR dari KPP Pratama Wonosari yang mengampu Desa Karangrejek)

njenengan mireng piyambak banyak yang lapor nyatanya aman-aman saja.

Kulo niku sampe mbayar denda 100 ribu kemarin karena telat Bu. Jadi bulan

Desember, pada waktu itu bulan Desember itu kami belum laporan sampai dengan

Februari. Lha mestinya kan kena, SPT Masanya kena denda satu bulan kemarin

dapat tagihan itu ya sudah kita bayarkan. Terus yang kemarin itu terkait dengan

aplikasi juga itu masih agak susah dipahami saya sampai kemarin tiga kali sowan
ke KPP Pratama. Alhamdulillah sudah bisa melaporkan hanya ternyata bayangan

kulo niku kalau aplikasi itu dari Balai Desa istilahnya orang DPKAD kemarin itu

ditembak seko Balai laporan e iso dadi tapi ternyata tidak. Cuma bentuk softcopy

kita sowan lagi ke KPP. Lha iki ki yo alah dene le aplikasi, mbok yo nek aplikasi

niku ngantri di balai desa, kita laporkan lewat e filing itu, itu bisa masuk sana tapi

ternyata hanya PPh 21 dan PPN kalau tidak salah atau apa. Tapi yang dua itu

(pasal 22 dan pasal 23) belum terakomodir dalam aplikasi itu. Jadi mohon kalau

memang sudah sistem seperti itu alangkah sangat memudahkan bagi kami, nggak

harus antri di KPP Pratama laporan dari Desa. Sementara begitu matur nuwun.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo Wonosari

“Kalau dari Mulo sementara saya kan jadi bendahara baru satu tahun. Nah selama

itu juga saya nggak pernah melaporkan karena nggak tahu giana caranya yang

pertama, terus yang kedua kemarin itu sempet nanya, kan suruh laporan kayak

gitu suruh nanya terus dikasih tahunya ngisinya ribet. Ah ya udah nunggu aja lah

besok kalau sudah diminta, diminta dari KPP Pratama maksudnya. Jadi selama ini

belum pernah diminta. Kalau yang tahun 2016 ke belakang kurang tahu karena

Bendaharanya beda. Terima Kasih.”

 Jawaban Bendahara Desa Baleharjo Wonosari

“Sebenarnya dulu itu pas waktu saya awal-awal masuk itu tertib sekali ya jadi

sampai berapa itu setahun itu bisa full gitu. Pertengahan tahun berapa itu, eeeee,

jadi pernah lapor, bayar dan lapor kan motong, bayar, terus lapor kan, nah itu

pernah lapor dikembalikan bolak balik masalah bukti potong itu tadi seperti itu.
Disitu saya jadi nglokro. Setelah itu di pikiran saya gini, sing penting aku setor,

gitu to. Setelah itu saya nggak pernah lapor lagi.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangsari Semin

“Kalau saya sama. Jadi awal jadi bendahara saya sering laporan. Terus kemudian

karena petugas itu beda-beda otomatis permintaan e ya beda-beda. Jadi terkahir

itu saya harus mengisi formulir tapi saya kebingungan. Terus namanya juga saya

dari Semin gek jauh. Terus kemudian saya bingung ngisi formulir, kemudian saya

nggak bikin laporan lagi.”

 Jafar Shodiq: Berarti kesimpulannya SDM, kesulitan ribet, mungkin kurang

sosialisasi juga, mungkin aplikasi juga tanggung ya, tidak sisan gitu ya dari desa

bisa ternyata harus datang. Kemudian jadi kesimpulannya sebenarnya hambatan

utama di APBDes apakah mungkin di sesi pelaporannya kali ya? Kalau bayarnya

mungkin bisa diupayakan tapi dari sisi pelaporannya masih agak kesulitan.

 Apakah DP3KBPMD bertugas melakukan pengawasan atau supervisi tentang pengelolaan

keuangan desa (APBDes) termasuk pajak-pajaknya?

 Jawaban Kepala Seksi Keuangan Desa DP3AKBPMD

“Terima Kasih, khusus APBDes kita melaksanakan monitoring dan evaluasi di

tingkat desa secara periodik tapi memang sampel tidak semua desa yang kita

sampel biasanya yang pengajuan anggarannya tahapannya itu rendah, itu yang kita

sampel. Lha di situ kita melihat apa kesulitan kenapa kok dari desa itu jadi

terlambat untuk tahapan pencairannya. Kemudian juga dengan SPJ nya juga kita

lihat tapi kalau untuk pajak memang kita melihatnya wis bayar atau belum, jadi

kalau untuk pelaporan-pelaporan kita tidak pernah melihat sampai disitu. Dan
saya pikir kalau untuk pembinaan-pembinaan itu kan kita secara berjenjang ini

Mas ya. Jadi kalau untuk desa itu yang lebih efektif itu tugas dari kecamatan (tim

pembina langsung dari desa itu di kecamatan). Pak Camat itu biasanya

mendelegasikan kepada Pak Kasi pemerintahan, seperti itu.

 Jawaban Kepala Seksi Pemerintahan Desa DP3AKBPMD

“Mungkin sudah saya sampaikan kemarin juga kalau ketugasan dari

DP3AKBPMD itu kan terkait dengan, jadi kita membuat regulasi kemudian kita

mensosialisasi kemudian bagaimana menghasilkan bimbingan teknis

pelaksanaannya, nah itu terkait dengan pengelolaan keuangannya. Kita laporan-

laporan itu seperti yang sudah disampaikan Bu RT tadi (Kasi Keuangan Desa

DP3AKBPMD) jadi kita dapat laporan-laporan terkait dengan serapan. Angkanya

kemudian menjadi bahan untuk monitoring dan evaluasi tadi kita dapat laporan

terkait dengan serapan baik dana transfer yang ADD dan Dana Desa itu kita ada

kemudian untuk pertanggungjawaban sampai dengan pajak itu kita memang tidak

mendapatkan.

Sebenarnya aplikasi SISKEUDES itu memungkinkan ketika Desa melaksanakan

penatausahaan secara lengkap dengan aplikasi itu kemudian mengirimkan ke

kecamatan dan juga kecamatan mengirimkan ke kami. Secara aplikasi hal itu

memungkinkan. Itu saja mungkin ya permasalahannya juga klasik jadi kita juga

memaklumi SDM yang ada di Desa ini yang paham teknologi informasi itu

terbatas, jadi saya juga salut Bapak Ibu Bendahara Desa, Keuangan, mungkin

sekarang agak lumayan didukung sekretaris desa yang baru itu secara teknis Desa
menjadi lebih kuat tapi tetep saja bebannya desa itu, bahkan tadi kalau laporan-

laporan pajak juga akhirnya tidak dapat dilaksanakan itu ya kurang lebih karena

keterbatasan personil yang menangani. Mereka menangani kegiatan desa atau

mungkin sampai ke pertanggungjawaban itu saja mereka sudah diewangi lembur-

lembur.

Saya sok lihat Semanu itu kalau apa masa menyusun SPJ bisa jadi pulangnya jam

empat itu baru pulang. Kadang malam masih melanjutkan lagi. Jadi keterbatasan

personil itu menjadi kendala, memang itu salah satu PR. Jadi peningkatan

kapasitasnya pemerintah desa itu kan secara kuantitas dan secara kualitas

mestinya memadai. Tapi untuk kualitas ini kita ya paling Bimbingan Teknis itu

saja dan orangnya yang dikirim itu-itu saja. Misalnya kemarin bimtek pengelolaan

keuangan desa itu, besok ada bimtek terkait dengan pengelolaan aset desa ya itu

lagi. Akhirnya mesakke (kasihan). Mungkin itu Pak, terima kasih.”

 Dari data yang ada di DP3KBPMD, apakah penyebab serapan APBDes rendah untuk

beberapa desa di Gunungkidul?

 Jawaban Kepala Seksi Keuangan Desa DP3AKBPMD

“Yang pertama, biasanya juga SDM ataupun permasalahan-permasalahan yang

ada di Desa itu sendiri. Kadang juga ada pergantian bendahara. Jadi memang

sangat komplek di tingkat desa. Jadi kita kan ada kebijakan Kepala Desa sehingga

mengganti bendahara untuk diganti yang lain. Kadang pergantiannya kadang di

awal tahun, pergantiannya juga ada pertengahan itu ada juga karena di

pertengahan penyerapan belum tahapan belum terpenuhi dan karena ada masalah

di tingkat desa sehingga mengakibatkan Pak Kades itu membuat kebijakan baru
untuk mengganti. Biasanya di situ masalahnya. Dan nanti kalau biasanya

kecamatan juga ada semacam peraturan di tingkat kecamatan kalau memang itu

SPJ nya belum memenuhi itu belum boleh melakukan pencairan tahapan

berikutnya.

 Jafar Shodiq: Jadi inti tugas dari bidang Pemdes ini ya intinya adalah melakukan

monitoring dan evaluasi serta pembinaan pengelolaan keuangan desa namun

untuk dari sisi pajaknya itu dilihat pembayarannya, jadi tidak sampai teknis detail

sampai ke pelaporan.

 Menurut data dari KPP Pratama Wonosari, apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya

Bendahara Desa bertransaksi dengan rekanan yang tidak berNPWP atau bukan PKP?

 Jawaban dari Kepala Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan KPP Pratama Wonosari

“Memang selama ini kita selalu menghimbau bahwa rekanan yang bekerjasama

dengan desa itu kita himbau supaya mereka yang punya NPWP sehingga

pertanggungjawabannya akan lebih mudah secara administrasi juga lebih mudah

bagi bendahara. Tapi ya memang tidak semuanya desa atau kecamatan itu punya

rekanan-rekanan yang NPWP atau PKP.

Ini datanya mungkin nanti dibawa Mas Jafar bisa. Rekanan yang PKP di wilayah

kabupaten Gunungkidul itu 509 (lima ratus sembilan), itu yang berstatus PKP

nggih. Hanya segini Pak dari sekitar lima puluh dua ribu lebih saya bulatkan lima

puluh tiga ribu WP yang terdaftar jumlah PKP nya hanya 509. Dan ini

penyebarannya tidak merata, bahkan di kecamatan purwosari itu tidak ada PKP.

Ya ini tentu menjadi kendala sendiri. Kalau memang bisa diupayakan, dari sisi

kami, memang kalau bisa diupayakan masing-masing desa atau kecamatan itu
mencari rekanan yang berNPWP dengan status PKP itu lebih bagus. Dalam hal

penerbitan fakturnya nanti lebih mudah, administrasi lebih gampang bagi

panjenengan juga. Selama ini kami sarankan, kalau memang lintas kecamatan

lintas desa yang nggak masalah, kalau memang PKP nya rekanannya adanya di

Wonosari ya monggo dicari dari Purwosari bisa sampai Wonosari nggih demi

kemudahan tertib administrasi. Tapi kepepetnya (namanya juga kepepet wong

kami juga tidak memaksa, ini sifatnya hanya saran) tidak ada lagi rekanan yang

PKP di situ nggih (bukan masalah kita menginstruksikan atau apa) selama ini

pada prakteknya kita supaya lebih mudah juga bagi KPP Pratama itu

penyetorannya lewat NPWP bendahara atau desa.

Ya sebenarnya ini kita tidak menyarankan seperti itu tapi kemudahan bagi kami

juga untuk mentrace ini transaksi dari siapa ke siapa kan lebih mudah to

menanyakan kepada bendahara. Kalau sesuai normatifnya ya tentunya dibayarkan

dengan NPWP 00.000.000.0-000 kalau rekanan itu non PKP atau non NPWP.

Tapi untuk kemudahan bagi kita mentrace bagaimana itu transaksinya ya seperti

selama ini dibayarkan lewat NPWP bendahara. Barangkali seperti itu Mas Jafar.

Kemudian terkait dengan yang disampaikan Pak AB tadi mungkin di luar focus

saja ya saya menanggapinya. Oh apa disini nggak apa-apa? Baiklah. Untuk Pak

AB nggih (Pak AB = Kepala Bidang Pelayanan dan Penagihan Pajak BKAD) tadi

terkait dengan pajak atas restoran yang seolah-olah itu membayar double.

Memang kalimat Pak AB itu tadi tepat sekali Pak, seolah-olah membayar double,

sudah membayar 1% misalnya dengan PP 46 atas penghasilan dan juga 10%

untuk pajak daerahnya. Kalimat yang tepat Itu memang seolah-olah artinya
memang bukan double sebenarnya, ya bayarnya tetep satu. Kenapa Bapak Ibu

sekalian, karena kami sampaikan bahwa pajak 1% atau WP yang dikenakan PP 46

nggih, membayarkan 1% itu atas penghasilan yang diterima oleh pihak

restorannya, sedangkan pajak daerah 10% itu dikenakan kepada siapa? Kepada

pembelinya, kepada konsumennya.

Jadi bukan double, yang satu yang membayar konsumen, yang satu yang

membayar pemilik restoran. Pemilik restorannya yang membayar 1% sedangkan

pembelinya membayarnya 10%. Nah misalnya contoh kasus dalam hal ini kita, ini

kita diskusi di sini Mas Jafar memesan makanan yang membayar 10% adalah Mas

Jafar bukan S K (Rumah Makan tempat FGD dilaksanakan). Mas Jafar lah yang

membayar 10%, tapi yang menyetor nanti adalah S K. Jadi nanti S K nya sendiri

pajaknya hanya 1% dari penghasilan. Jadi mungkin bisa dijelaskan nanti ke rekan

rekanan bahwa ini bukan double, bukan double pajak. Jadi memang beda, siapa

penanggung pajaknya itu beda. Sementara itu mungkin Mas FR (Account

Representative KPP Pratama Wonosari) mau menambahi?”

 Jawaban dari Account Representative KPP Pratama Wonosari (FR)

“Jadi yang terkait dengan pasal 23 tadi ya apa namanya pajak atas restoran tadi

disebutkan sudah disampaikan Pak Rahmad bahwasanya ada pajak daerah yang

10%. Pajak daerah yang 10% yang menanggung siapa sih? Yaitu si pembeli.

Pembeli misalnya desa yang membeli berarti konsumennya itu yang membayar.

Itu sebagai penanggung beban pajak. Itu namanya pajak daerah ya yang 10%,

kemudian PPh, PPh itu ada yang tadi disebutkan oleh Pak RA itu tadi 1%, 1% itu

PPh Pasal 4 ayat 2 atas penghasilan yang diperoleh oleh pemilik restoran.
Itu bayarnya 1% manakala omzet si restoran itu masih di bawah 4,8 Milyar dalam

satu tahun. Bayarnya bagaimana? Dia bayar sendiri. Omzet diterima satu bulan

berapa kemudian dikalikan dengan tarif 1%, itu dibayarkan sendiri. Ada satu lagi

sebenarnya, ada tiga berarti pajaknya ya, pajak daerah, PPh Pasal 4 ayat 2, satu

lagi namanya PPh Pasal 23. Iya kan ya? Iya. Selain pajak daerah motong yang

namanya PPh Pasal 23 berapa persen? 2% apabila rekanan punya NPWP tapi 4%

manakala rekanan tidak punya NPWP. Nah itu ada PPh lagi, jadi PPh nya ada dua

(PPh Pasal 4 ayat 2 sebesar 1% dan PPh Pasal 23 sebesar 2% jika berNPWP dan

4% jika tidak berNPWP). Begitu ya.

PPh Pasal 23 itu perlu Bapak Ibu potong dalam hal si penyedia jasanya ini tidak

mengajukan SKB atau Surat Keterangan Bebas. Kalau mengajukan Surat

Keterangan Bebas, Bapak Ibu tidak perlu memotong PPh Pasal 23. Tapi kalau

tidak mengajukan permohonan SKB, Bapak Ibu wajib memotong PPh Pasal 23

yang tarifnya 2% atau 4%. Nah PPh nya double donk? Ada 1% yang dibayarkan

sendiri, ada yang 2% atau 4%. Nah ini perlakuannya memang kesannya ada

double ya PPh nya. Padahal nanti di Laporan Tahunan Wajib Pajak rekanan

misalnya pemilik restoran, itu kewajibannya itu sebenarnya 1% saja yang dia

bayarkan sendiri. Terkait dengan yang 2% atau 4% yang sudah dipotong oleh

bendahara, itu nanti sebagai kredit pajak oleh restoran, diklaim itu nanti. Dia

sudah bayar 1% sementara sudah dipotong 2%, nanti SPT nya? Lebih bayar. Nanti

diminta dari keuangan negara itu diminta oleh pemilik restoran diklaim di SPT

Tahunan. Jadi itu PPh 1% adalah PPh final, sementara yang dipotong Bapak itu

adalah PPh yang tidak final. Baik terima kasih.”


Jafar Shodiq: Intinya memang jumlah pengusaha yang berNPWP ataupun yang

punya Pengusaha Kena Pajak (PKP) itu sedikit nggih (terbatas). Jadi ketika

bendahara desa mencari yang berPKP ketika mereka ada istilahnya kesulitan

mencari yang seperti itu terus menggunakan NPWP desa, itu yang terjadi ya.

Kondisi lapangan seperti itu.

 Dari mana saja sumber pemasukan APBDes?

 Jawaban Sekretaris Desa Siraman

“Sumber pemasukan APBDes itu dari PADes, kemudian dari dan transfer itu dari

Dana Desa, ADD, bagi hasil pajak dan retribusi, kadang bantuan dari kabupaten

itu kalau ada pemilihan Kepala Desa.”

 Jawaban Staf Pembantu Keuangan Desa Bejiharjo

“kurang lebih juga sama.”

 Jawaban seluruh peserta dari desa: “Iya sama semua.”

Jafar Shodiq: Kemudian untuk dari Dinas Pemberdayaan Desa, kira-kira jawaban

pertama PADes, terus transfer dari pusat itu namanya Dana Desa (DD), terus ADD.

 Tambahan jawaban dari Kepala Seksi Keuangan Desa DP3KBPMD: “Kalau ada

karya bhakti TNI di desa itu ada lagi. Kemudian nanti ada kejuaraan-kejuaraan.

Misalnya juara lomba desa atau apa. Kalau retribusi hasil pajak memang ada

(sudah benar).”

 Di dalam APBDes, terdapat salah satu sumber pemasukan yaitu Pendapatan Asli Desa

(PADes). Dari mana saja sumber pemasukan PADes?

 Jawaban Sekretaris Desa Siraman sewa tanah kas desa


“Kalau Siraman itu dari, BUMDes, dan hasil kerjasama desa. Kalau di Siraman itu

kan menggunakan air dari BUMDes nya Karangrejek, nah kami dapat bagi hasil

dari BUMDes Karangrejek.”

 Jawaban Staf Pembantu Keuangan Desa Bejiharjo

“Dari Bejiharjo itu ada sewa balai desa, ada juga dari BUMDES.”

 Jawaban Kaur Keuangan Desa Semanu

“Sewa balai, sewa lapangan, terus dari BUMDes, dan hasil kerjasama Desa.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek

“Karangrejek Cuma dari BUMDes sama pengelolaan aset.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:

“Bumdes juga ada, pengelolaan tanah desa ada, terus kesepakatan sama PT juga

ada”.

Jafar: PT?

“PT yang usahanya ayam itu lho, PT JP, itu kan PT JP nyewa tanah. Hasil sewa

tanah itu masuk PADes.”

 Jawaban Bendahara Desa Baleharjo:

“Pada prinsipnya sama dengan Desa Mulo Cuma di Baleharjo ada sumber PAD lain

yaitu biaya numpang kubur bagi orang meninggal tapi tidak punya tanah kuburan di

Baleharjo. Pemasukan dari pengelolaan tanah kubur itu masuk kas desa.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangsari:

“Sama dengan Desa Mulo dan Baleharjo tapi belum punya BUMDes.”
 Untuk BUMDes itu kan Badan usaha sendiri, itu NPWPnya BUMDes sendiri apa gabung

dengan desa?

 Semua Bendahara Desa: “BUMDes NPWP sendiri-sendiri.”

Jafar: Berarti nanti pengenaan pajaknya, BUMDes ada pajaknya berarti?

 Jawaban Bendahara Desa Siraman:

“Kemarin BUMDes kan sudah ada pendampingan dari KPP Pratama dan dari

pendampingan itu menyuruh BUMDes berNPWP sendiri.”

Jafar: Intinya BUMDes itu NPWP sendiri bayar pajak sendiri gitu nggih? Monggo untuk

Bejiharjo BUMDesnya gimana?

 Jawaban Bendahara Desa Bejiharjo:

“Bejiharjo BUMDes nya NPWP sendiri.”

 Jawaban Bendahara Desa Semanu:

“Semanu itu BUMDesnya masih baru, masih nggabung dengan NPWP Desa.”

Jafar: Jadi pajaknya masih pake NPWP Desa ya?

“ iya.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek:

“BUMDes Karangrejek belum punya NPWP sendiri, NPWP nya masih gabung desa.

Pajak yang dibayar oleh BUMDes Karangrejek adalah pajak pengambilan air yaitu

pajak daerah untuk Kabupaten Gunungkidul.”


Jafar: Jadi nanti pendapatan BUMDes tidak dikenai pajak namun dikenai pajak saat

masuk APBDes dan APBDes itu digunakan baru dikenai pajak?

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek: “Iya betul.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:

“Kalau untuk Desa Mulo setahu saya ada NPWP BUMDes nya tapi untuk bayar

pajaknya saya kurang tahu.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo Baleharjo:

“Kalau untuk Baleharjo belum punya BUMDes.”

Jafar: Nggih, Bapak Ibu dari 7 desa yang saya undang, dari KPP Pratama Wonsoari, dari Dinas

Pemberdayaan Desa, Dari Badan Keuangan dan Aset Daerah, matur nuwum atas diskusi yang

kita lalui barusan utamanya terkait dengan perpajakan APBDes. Saya kira acara FGD (Focus

Group Discussion) sebentar lagi akan kita akhiri ini sudah jam 1 lebih sedikit, barangkali ada

hambatan atau mungkin pertanyaan atau ada yang lain monggo silakan khususnya terkait

perpajakan APBDes.

 Jawaban Bendahara Desa Semanu:

“Kaitannya dengan PKP terkadang kita dari desa tidak tahu pengusaha yang PKP

atau bukan, mungkin dari KPP Pratama mengirim data ke kita siapa-siapa saja yang

PKP. Kemudian untuk PPh Pasal 23 yang dikenai tarif 4% itu kalau keberatan

ditujukan kepada siapa atau gimana tadi Mas Faiq? Yang kaitannya dengan SKB tadi

itu.”
 Jawaban Dinas Pemberdayaan Desa (KR):

“Saya nambahi penjelasan pertanyaan begini: mungkin di desa itu kan banyak sekali

rekanan omzetnya itu dibawah 4,8 Milyar. Nah mereka sebenarnya pengin dapat

SKB Cuma tidak tahu prosedur. Itu prosedurnya gimana untuk pengajuan SKB? Di

Desa itukan kadang jasa katering yang kena pasal 23 itu kadang Cuma perkumpulan

Ibu-Ibu PKK yang jelas omzetnya di bawah 4,8 Milyar per tahun.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:

“Saya mau tanya tentang pajak yang dibayar oleh suplier. Jadi TPKD itu ada

kegiatan katakanlah kemarin ada pembelian barang sejumlah Rp. 1.500.000. Nah dari

uang sejumlah itu langsung pure diambil semua pihak supplier melalui TPKD

kemudian pajaknya dibayarkan pake NPWP suplier, Cuma TPKD memberikan bukti

bayar pajaknya kepada bendahara itu bagaimana perlakuannya keliru atau betul atau

bagaimana yang seharusnya?”

 Jawaban KPP Pratama Wonosari (FR):

“Baik matur nuwun Bu Eli atas pertanyaannya terkait dengan SKB tadi ya. Jadi SKB

itu adalah Surat Keterangan Bebas. Jadi Surat Keterangan Bebas sebenarnya tidak

hanya di PPh Pasal 23. PPh Pasal 22 juga ada SKB. PPN juga ada, jadi Surat

Keterangan Bebas PPN ada. Apa sih SKB itu. Tadi saya contohkan misalnya,

misalnya begini deh, yang bukan katering dulu ya saya contohkan misalnya
pengadaan barang ya. Pengadaan barang itu ada SKB (Surat Keterangan Bebas)

Pasal 22. Yang mengajukan SKB itu siapa? Yang mengajukan SKB adalah rekanan

sebagai penyedia barang. Saya penyedia barang punya NPWP, dia bisa mengajukan

SKB agar tidak dipungut PPh Pasal 22 oleh Bendahara Pemerintah dalam hal ini

adalah Bendahara Desa. Dia kalau ada SKB nya, Bendahara tidak perlu memungut

PPh Pasal 22 yang tarifnya 1,5%. Kenapa dia boleh mengajukan SKB? Karena

kewajiban rekanan itu hanya membayarkan PPh yang tarifnya 1%. Jadi kalau

misalnya mengajukan SKB ada syarat-syaratnya yaitu mengisi formulir dilampiri

dengan SPK (Surat Perintah Kerja) istilahnya. Nanti kalau sudah ada SKB dari

Kantor Pajak Pratama, rekanan itu ketika mengajukan tagihan untuk bendahara desa,

dia melampirkan SKB, maka bendahara desa itu tidak perlu memungut PPh Pasal 22

yang 1,5%. Bendahara Desa hanya memungut 10% atas PPN, itu saja. Kemudian

syarat mengajukan SKB itu tadi, syaratnya ngisi formulir kemudian ada SPKnya

(surat Perintah Kerja) ya, jadi panjenengan sekali saja nanti berlaku untuk satu

tahun.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek:

“Maksudnya begini, kualifikasi suatu rekanan yang berhak atau yang bisa

mengajukan SKB, misalnya saya sama-sama rekanan nih, saya omsetnya 10 Milyar

misalnya Cuma yang sini Cuma 10 juta, itu kan apakah kedua rekanan itu bisa

mengajukan SKB?”

 Jawaban KPP Pratama:


“Untuk pengajuan SKB Omzetnya kalau sampai dengan 10 Milyar itu nggak bisa

ngajukan SKB, jadi yang bisa ngajukan SKB itu yang omzetnya masih di bawah 4,8

Milyar dalam satu tahun.”

 Jawaban Bendahara Desa Karangrejek:

“Berarti itu ya nanti tugas bendahara jika ada rekanan yang mau mengajukan SKB

kita kasih tahu yang omzetnya satu tahun sampai dengan 4,8 Milyar.”

 Jawaban KPP Pratama (FR):

“Ya. Omzet itu minimal 4,8 Milyar. Tapi rata-rata di Gunungkidul itu omzetnya

hampir semuanya di bawah 4,8 Milyar. Jadi hampir semua bisa mengajukan SKB. Itu

SKB jadi syaratnya sudah punya NPWP tentu saja ya karena kan ada kontrak

kerjanya. Untuk PPh Pasal 23 nanti kalau misalnya rekanannya ada data kontraknya

(Surat Perjanjian Kerja) ya bisa mereka mengajukan SKB. Tapi kalau nggak ada

Surat Perjanjian Kerjanya dia mengajukan SKB nggak bisa karena kan tidak ada SPK

nya, artinya untuk PPH Pasal 23 rata-rata tidak ada SKB nya, walaupun sebenarnya

bisa kalau ada kontraknya gitu ya, itu tetep bayarnya 2%, dipotong 2% oleh

Bendahara Desa, kalau tidak punya NPWP ya dipotong 4%, tapi itu pajaknya tidak

final sehingga bisa dikreditkan oleh rekanan, bisa diklaim begitu Bu, bisa diklaim

oleh para rekanan di SPT nya, diminta lagi karena kewajiban di hanya bayar 1%. Ya

matur nuwun. Demikian yang bisa saya sampaikan, mungkin Pak RA bisa

menambahkan.”

 RA KPP Pratama:
“Saya akan menjawab pertanyaan dari Bu EW ADD Mulo tadi. Kita bicara normatif

nggih kalau ketentuannya itu kan panjenengan (sebagai bendahara) mestinya mungut

PPN nya dan bukan dibayarkan oleh rekanan, pertama itu. Kemudian yang kedua

ketika kita kan bisa mengetahui dari pembayaran PPN njenengan, karena ketika

bendahara itu mungut PPN dari rekanan kan nanti dikirimnya ke setoran 930, tapi

kalau rekanan yang bayarkan bikin sendiri-sendiri ya kita nggak tau karena rekanan

itu nggak punya kode 920 atau 930.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:

“Tapi ada juga Pak kan di biling itu kan ada nama yang di atas sama yang di bawah”.

 Jawaban Bendahara Desa Semanu: (menjawab pertanyaan ADD Mulo)

“Yang mbayarkan kita Bendahara Desa atas nama rekanan.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo: “Iya begitu.”

 Jawaban KPP Pratama (RA):

“Kan gini kalau njenengan suatu bendahara mungut PPN, bikin biling di situ kan ada

menu pembayaran pakai NPWP lain, nah di situ nanti piih NPWP dan nama

rekanannya, jadi bukan rekanan yang bayar.”

 Jawaban Bendahara Desa Semanu: (menambahi penjelasan)

“Yang bayar tetep kita tapi atas nama rekanan.”

 Jawaban Bendahara Desa Mulo:


“Soalnya kemarin di Mulo itu ada 2 kegiatan yang sudah terlanjur seperti itu

mekanismenya (yang bayar pajak rekanan, bukan bendahara desa).”

 Jawaban KPP Pratama (RA):

“Ya nanti ke depan kita perbaiki, ngoten mawon.”

 Bendahara Desa Semanu:

“Yang PKP Pak data PKP kalau desa mau tahu bagaimana?”

Jafar: (Memperjelas pertanyaan) jadi pertanyaannya bisa nggak desa itu mendapatkan list

data pengusaha PKP itu siapa aja?

 Jawaban RA KPP Pratama:

“Kita juga.... ngapunten Bu kalau data wajib pajak itu kita agak hati-hati dalam menjaga

karena kita juga terkait dengan pasal 34 sehingga ya kita juga tidak bisa misal kalau share

data wajib pajak termasuk status wajib pajak, yang paling bisa ya mungkin panjenengan

ketika transaksi ditanyakan apakah rekanan PKP atau tidak.”

 Jawaban Bendahara Desa Semanu:

“Ya itu kadang mereka juga tidak mau mengakui kalau dia itu PKP, kita juga tidak tahu.”

Jafar: Karena waktu sudah hampir jam setengah 2, kita udah melebihi jam 1 nggih ini

juga sudah mau hujan ada yang ngga bawa mantol ya tadi. Sebelumnya saya Jafar Shodiq

mahasiswa Pasca Sarjana FE UII mengucapkan terima kasih atas terselenggaranya Focus

Group Discussion (FGD) ini untuk kaitannya dengan perpajakan APBDes. Baik terima

kasih atas kehadiran dan partisipasinya mohon maaf jika ada kekurangan dalam hal
penyajian atau kata-kata yang keliru kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian

dari kami saya akhiri acara FGD ini dengan baca Hamdalah (Alhamdulillahi Robbil

„Alamin) Terima Kasih Assalamualaikum wr.wb.


KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT PENYULUHAN, PELAYANAN, DAN HUBUNGAN MASYARAKAT
JALAN JENDERAL GATOT SUBROTO KAV. 40-42. JAKARTA 12190, KOTAK POS 124
TELEPON (021) 5250208.5251509; FAKSIMILE (021) 5736088; SITUS www.palak.go.ld
LAYANAN INFORMASI DAN PENGADUAN KRING PAJAK (021) 1500200;
EMAIL pengaduan@palak.do.ld.lnformasl@pajak.go.ld

Nomor S-;2:1\ IPJ.091/2018 dO Maret 2018


Sitat Biasa
Lampiran Satu Set
Hal Pemberitahuan Pemberian Izin Riset

Yth.Kepala KPP Pratama Wonosari


JI. H. Agus Salim No. 170 B Ledoksari, Kepek
Wonosari

Sehubungan dengan surat Direktur Program an~scP Fakultas Ekonomi


Universitas Islam Indonesia nomor 0254/PS.II.B.3/11/2018 tanggal 27 Februari 2018 hal
Permohonan Ijin Penelitian atas:

Nama/NPM Jatar Shodiq/15919053


Jenjang Pendidikan Strata 2
Universitas Universitas Islam Indonesia
Tesis Analisis Penerapan Withholding Tax System pada
Bendahara Desa sebagai Pemotong atau Pemungut Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai (Studi pada Desa-
Desa se-Kabupaten Gunungkidul)

dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:


1. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-23/PJ/20 12 tanggal 25 April
2012 tentang Pemberian Izin Penelitian (Riset) dan/atau Praktik Ke~a Lapangan di
Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, antara lain dijelaskan bahwa:
a. Setiap mahasiswa atau masyarakat atau badan/lembaga penelitian yang akan
melakukan penelitian di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak wajib memperoleh
surat izin dari pejabat yang berwenang.
b. Izin penelitian (riset) berlaku selama satu periode, dengan jangka waktu satu
sem t~r, dan dapat diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan dengan mengajukan
perpanjangan secara tertulis yang disampaikan paling lambat satu minggu sebelum
periode berakhir.
c. Dasar pertimbangan pemberian izin penelitian (riset) antara lain:
i. Kesesuaian terhadap ilmu yang dipelajari dan jurusan/program studi di sekolah
atau perguruan tinggi/universitas;
ii. Materi penelitian bermantaaat dan sejalan dengan program di Direktorat Jenderal
Pajak;
2. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami telah menerbitkan surat izin penelitian
dengan nomor S- 210 IPJ.091/2018 tanggal ;l() Maret 2018 untuk melakukan penelitian
(riset) pada KPP Pratama Wonosari.

Kp.: PJ.091/PJ.0913/2018
3. Izin penelitian (riset) diberikan untuk membantu yang bersangkutan memperoleh bahan-
bahan keterangan/informasi/data-data yang hanya digunakan untuk keperluan akademis
dan tidak menyangkut rahasia jabatan/negara sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009.

Demikian surat ini dibuat agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Tembusan:
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat

Kp.: PJ.091/PJ.0913/2018
PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul 55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAl KElERANGAN IIJIN


Nomor : 0231/PEN/1I1/20l.8

Membaca Surat dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.II.B.3/11l/2018 tanggal 06 Maret 2018, hal: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian"\Ldan
Pengembangan di Iingkungan Departemeh Dalam Negeri; I,,> ....'~

3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor


38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jafar Shodiq NIM: 15919053
Fa kultas/lnstansi AKUNTANSI/Universitas Islam Indonesia
, Yogyakarta
Alamat lnstansi Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman
Keperluan ' Ijin penelitian dengan judui : "ANALlS'IS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
'PAJAK PENGHASILAN DAN KAJ P~ PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
"
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.Si., PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhijmelaporkan. diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya. ,
1. Wajib menjaga tata ter.tib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat
2. Wajib memberi laporan hasH penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunongkidul)
dalam bentuk softcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data van
'<.
dikirim via e-mail ke alamat : litbawrbappeda.gk@gmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan ala mat e-mail: .:padgunungkidul@ymail.com.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabHan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan i1miah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apab!la tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pad a tanggal 15 Maret 2018
~\
~ ..."H. .If;,. Bupati
~ la
v.
Q. ~ - I - - t

TMIKU M.Si
6 198602 1 005
Tembusan disampaikan kepada Yth.
1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul ;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
5. Kepala DMPBK\¢3~D J<ab. Gunungkidul ;
6. Camat D9~\:-.rI Kab. Gunungkidul ;
7. Kepala Desa DQ~.t\S Kab. Gunungkidul ;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul 55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAT KETERANGAN IIJIN


Nomor : 0231/PEN/IIl/2018

Membaca Surat dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.lI.B.3/1I1/2018 tanggal 06 Maret 2018, hal: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian\'l.dan
Pengembangan di Iingkungan Departemen Dalam Negeri; ~ ~
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jatar Shodiq NIM: 15919053
Fakultas/lnstansi
Alamat Instansi Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
.
AKUNTANSI/Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman


Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
-PAJAK PENGHASILAN DAN WAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.Si., PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhijmelaporkan diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata ter.tib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang ~katreb setempat
2. Wajib memberi taporan hasil penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk softcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data van
'<.
dikirim via e-mail ke ala mat : litba""bappeda.qk@qmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan ala mat e-mail: .:padgunungkidul@ymail.com.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan ilmiah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018
\, " (~H irA Bupati
<?- '.
~ la
r---f--4tt'
~

Tembusan disampaikan kepada Yth.


1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
5. Kepala DP3AKBPMD Kab. Gunungkidul ;
6. Camat ....9~ .uf Kab. Gunungkidul ;
7. Kepala Desa Q.~ fD: \~ Kab. Gunungkidul;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian38 Wonosari, Gunungkidul55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

. SURAT KETERANGAN IIJIN


Nemer: 0231/PEN/1I1/20:L8

Membaca Surat dari Universitils Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.II.B.3/111/2018 tanggal 06 Maret 2018, hal: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian"\",dan
Pengembangan di lingkungan Departemen Dalam Negeri; ~ . ~.
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jafar Shodiq NIM: 15919053
Fakultas/lnstansi AKUNTANSI/Universitas Islam Indpnesia Yogyakarta
Alamat Instansi Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman
Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
'PAJAK PENGHASILAN DAN WAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.SL, PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhijmelaporkan diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata tertib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat
2. Wajib memberi laporan hasi! penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk sojtcopy formot pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data yan
"-
dikirim via e-mail ke ala mat : Iitbarl'1bappeda.gk@gmoil.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan alamat e-mail: ,~padgun gkidul@ymail.cam.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan ilmiah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018
;.-~ /\H leA Bupati
<f-\. •
~ la
\I(~_-4 - t
-;..

rI')I TMIKO M.Si


"blI1;J I'IlJ '\,!j;l;Y-) £06 198602 1 005
Tembusan disampaikan kepada Yth.
1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai Laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul ;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul;
S. Kepala DMPBK~3PD Kab. Gunungkidul ;
6. Camat ~.D3(1 XQ: Kab. Gunungkidul ;
7. Kepala Desa ~ m C Kab. Gunungkidul;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul 55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAl KElERANGAN IIJIN


Nomor : 0231/PEN/1I1/2018

Membaca Surat dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.II.B.3/111/2018 tanggal 06 Maret 2018, hai: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian""dan
Pengembangan di lingkungan Departemen Dalam Negeri; \~ . ~,
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jafar Shodiq NIM: 15919053
Fakultas/lnstansi
Alamat Instansi Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
.
AKUNTANSI!Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman


Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
'PAJAK PENGHASILAN DAN WAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.SL, PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhi/melaporkan diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata ter.tib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku, setempat
2. Wajib memberi laporan hasil penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk sojtcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data van
"-
dikirim via e-mail ke ala mat : litbati'1bappeda.gk@gmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan ala mat e-mail: .:padgunungkidul@ymail.com.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan i1miah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018

~
\~
."
irA ... "H
upati
~ la
It" '"
%

Tembusan disampaikan kepada Yth.


1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai Laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul ;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
5. Kepala DMPB~f3PD .ba~ Gunungkidul ;
6. Camat D\CSO'to~ .ba~ Gunungkidul ;
7. Kepala Desa tf~9. Qtlc\ Kab. Gunungkidul ;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul 55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAT KETERANGAN /UIN


Nomor: 0231/PEN/III/2018

Membaca Surat dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.II.B.3/11l/2018 tanggal 06 Maret 2018, hal: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian",,-dan
Pengembangan di Iingkungan Departemen Dalam Negeri; i'~ ~ .
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jafar Shodiq NIM: 15919053
Fa ku Itas/I nsta nsi
Alamat Instansi
.
AKUNTANSI/Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman
Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANALISIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
"PAJAK PENGHASILAN DAN ;PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.SL, PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhi/melaporkan diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata ter.tib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat
2. Wajib memberi laporan hasil penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk softcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data van
....
dikirim via e-mail ke alamat : Iitbawlbappeda.gk@gmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan ala mat e-mail: .~padgun gkidul@ymail.com
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan ilmiah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018
~ "H irA Bupati
~\ ..
~ la
t - - -.......'It~_
MODAL ~
RPA
I

~ TMIKO M.Si
6 198602 1 005
Tembusan disampaikan kepada Yth.
1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai Laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul ;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
5. Kepala DP3J\KElPMD Kap. Gunungkidul ;
6. Camat ~rQ;so. ~: Kab. Gunungkidul ;
7. Kepala Desa Mu\Q Kab. Gunungkidul ;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANAN TERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAT KETERANGAN [IJIN


Nomor : 0231/PEN/1I1/20:L8

Membaca Surat dari Universitas Is!am Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.II.B.3/11i/2018 tanggal 061'v1aret 2018, hal: Izin Penelitian
l'v1engingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan Penelitian"'",dan
Pengembangan di Iingkungan Departemen Dalam Negeri; \~. ~.
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
Diijinkan kepada
Nama Jafar Shodiq NIM: 15919053
Fa ku Itas/I nsta nsi AKUNTANSI/Universitas Islam Ind,onesia Yogyakarta
Alamat Instansi Kampus FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman
Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANAUSIS PENERAPAN WITHHOLDING TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
"PAJAK PENGHASILAN DAN WAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDl PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.Si., PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan .

Terlebih dahulu memenuhijmelaporkan diri kepada PejalJat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata tertib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat
2. Wajib memberi laporan hasil penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (eq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk sojtcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk data van
dikirim via e-mail ke ala mat : IitbMIf)bappeda.qk@qmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan ala mat e-mail: .:padgunungkidul@ymail.com.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan i1miah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018
\~"' I\.H irA upati
q.. ..
~v la
~4- I- -t
II'IAS PHIANAMA MODAL ~
'j;.N NA~tYLE? RPA
,

Tembusan disampaikan kepada Yth.


1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai Laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul ;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
S. Kepala DP3AKBPMD .b~K Gunungkidul ;
6. Camat ....... L.rc~o\-¥ Kab. Gunungkidul ;
7. Kepala Desa .QJro \~ Kab. Gunungkidul ;
8. Arsip.
DINAS PENANAMAN MODAL PELAYANANTERPADU
Jalan Kesatrian 38 Wonosari, Gunungkidul55812 Telepon (0274) 391942 Faksmile (0274) 2910851

SURAT KETERANGAN IIJIN


Nomor : 0231/PEN/111/201.8

Membaca Surat dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Nomor


0254/PS.lI.B.3/1I1/2018 tanggal 06 Maret 2018, hal: Izin Penelitian
Mengingat 1. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1983 tentang
Pedoman Pendataan Sumber dan Potensi Daerah;
2. Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1983 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelaksanaan nad~, it le P
Pengembangan di Iingkungan Departemen Dalam Negeri; ~ . .-
3. Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
38/12/2004 tentang Pemberian Izin Penelitian di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta;
.Diijinkan kepada
Nama Jatar Shodiq NIM: 15919053
Fakultas/I nsta nsi AKUNTANSI/Unlversitas Islam Indonesia
, Yogyakarta
Alamat Instansi Kampu5 FE UII, Condongcatur, Depok, Sleman
. Alamat Rumah Sentono RT.003/RW.002, Tamanmartani, Kalasan, Sleman
Keperluan Ijin penelitian dengan judul : "ANAUSIS PENERAPAN WITHHOLDING 'TAX
SYSTEM PADA BENDAHARA DESA SEBAGAI PEMOTONG ATAU PEMUNGUT
'PAJAK PENGHASILAN DAN ;PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (STUDI PADA
DESA-DESA SE-KABUPATEN GUNUNGKIDUL)"
Lokasi Penelitian 8 Desa di Kabupaten Gunungkidul
Dosen Pembimbing Johan Arifin, SE., M.SL, PhD
Waktunya Mulai tanggal : 01 April 2018 sid 31 Mei 2018
Dengan ketentuan

Terlebih dahulu memenuhijmelaporkan diri kepada Pejabat setempat (Camat, Lurah/Kepala Desa, Kepala
Instansi) untuk mendapat petunjuk seperlunya.
1. Wajib menjaga tata tertib dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku setempat
2. Wajib memberi laporan hasil penelitiannya kepada Bupati Gunungkidul (cq. BAPPEDA Kab. Gunungkidul)
dalam bentuk sojtcopy format pdf yang tersimpan dalam keping compact Disk ( CD) dan dalam bentuk (lata van
"-
dikirim via e-mail ke ala mat : litboMbappeda.gk@gmail.com dengan tembusan ke Kantor Perpustakaan dan
Arsip Daerah dengan alamat e-mail: .:padgunungkidu{@ymail.com.
3. Ijin ini tidak disalahgunakan untuk tujuan tertentu yang dapat mengganggu kestabilan Pemerintah dan hanya
diperlukan untuk keperluan i1miah.
4. Surat ijin ini dapat diajukan lagi untuk mendapat perpanjangan bila diperlukan.
5. Surat ijin ini dibatalkan sewaktu-waktu apabila tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut diatas.
Kemudian kepada para Pejabat Pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan bantuan seperlunya.
Dikeluarkan di Wonosari
Pada tanggal 15 Maret 2018
~ {>..H irA Bupati
~\,
~ la
<:t' ~
MODAL ~
~R

Tembusan disampaikan kepada Yth.


1. Bupati Kab. Gunungkidul (Sebagai Laporan) ;
2. Kepala BAPPEDA Kab. Gunungkidul;
3. Kepala Badan KESBANGPOL Kab. Gunungkidul ;
4. Kepala Badan keuangan dan Aset Daerah Kab. Gunungkidul ;
S. Kepala DP3AKBPMD Kab. Gunungkidul;
('~\n .
6. Camat \~ ..\.J Kab. Gunungkldul ;
7. Kepala Desa .\,~ 9SAro a\ Kab. Gunungkidul ;
8. Arsip.

Anda mungkin juga menyukai