Anda di halaman 1dari 147

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN


WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Bandung)

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi


Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Oleh:
Cahya
094020057

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKUTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2013

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Bandung)

SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi
Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan

Bandung, 1 Juni 2013


Mengetahui,

Pembimbing

Dadan Soekardan, SE., MSi

Dekan Fakultas Ekonomi

Ketua Program Studi

Dr. H. R. Abdul Maqin, SE., MP

Dr. H.Sasa S. Suratman, SE., MSc

ii

PERNYATAAN
(Program Studi Strata 1)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan
maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar nama pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, Juni 2013


Yang membuat pernyataan
Materai
Rp.6000.,

(Cahya)
094020057

iii

MOTTO

Allah SWT tidak akan memberikan beban


kepada orang yang tidak mampu menanggungnya
(Q.S Al Baqarah 2:86)

Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalatmu


Sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar
(Q.S Al-Baqarah 2:153)

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi


berusahalah menjadi manusia yang berguna.
(Albert Einstein)

Persembahan:
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya tercinta yang
membesarkan dan mendidik saya dengan penuh kasih sayang, dan selalu
mendukung serta memotivasi saya mendoakan saya dalam setiap
langkah dalam menggapai impian sampai saat ini.

iv

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh besarnya kepatuhan
wajib pajak dan pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak
penghasilan orang pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung.
Pendekatan penelitian yang digunakakan dalam penelitian ini adalah
analisis deskriptif asosiatif dengan menggunakan data sekunder. Teknik sampling
yang digunakan adalah non probability sampling dengan menggunakan metode
purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wajib pajak
orang pribadi yang ada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kota Bandung yaitu
sebanyak 5 KPP. Adapun sampel yang digunakan adalah 4 KPP setelah dilakukan
purposive sampling. Model regresi yang digunakan telah memenuhi uji asumsi
klasik. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis regresi linier
sederhana dan analisi regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa
kepatuhan wajib pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan
pajak dengan besarnya pengaruh sebesar 29,8 persen dan pencairan tungakan
pajak secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak dengan
besarnya pengaruh sebesar 25,4 persen. secara simultan kepatuhan Wajib Pajak
dan pencairan tunggakan pajak memberikan pengaruh sebesar 45,7% terhadap
penerimaan pajak. Sementara sisanya sebesar 54,3% merupakan pengaruh lain
diluar variabel kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak.
Kata Kunci: Kepatuhan Wajib Pajak, Pencairan Tunggakan Pajak, dan
Penerimaan Pajak.

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah Subanallahu
wataala yang telah memberi kekuatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat
menyusun dan menyelesaikan Skripsi ini periode Februari Mei 2013 ini, yang
dimaksudkan untuk memenuhi syarat dalam menempuh skripsi pada Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung. Meskipun
dengan segala kekurangan dan segala keterbatasan penulis telah berusaha dengan
segala kemampuan yang dimiliki. Dan tentu hal tersebut menjadi salah satu
pertimbangan bagi penulis untuk memilih masalah yang dijadikan sebagai pokok
bahasan yang dituangkan dalam bentuk laporan Skripsi.
Sesuai dengan program studi yang ditempuh, dalam pelaksanaan laporan
skripsi ini penulis membahas suatu pokok permasalahan dalam kajian Perpajakan.
Adapun penelitian dilakukan di KPP Pratama yang berada di Kota Bandung, yang
kemudian penulis memberi judul:

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


PENERIMAAN

PAJAK

PENGHASILAN

WAJIB

PAJAK

ORANG PRIBADI (studi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama


Bandung)
Penulis sadari, yang pada akhirnya kelayakan suatu karya ilmiah seperti
skripsi ini, sangat ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam proses perolehan

vi

ilmu sebelumnya dan kemampuan mengkomunikasikan ilmu tersebut, dan sangat


menguasai dalam bidang keilmuannya, sehingga mampu menemukan masalah dan
akan berupanya mencari penyelesaiaannya.
Dengan segala keterbatasan penulis, sesederhana apapun laporan skripsi
ini, semoga memiliki arti, baik secara keilmuan ataupun secara moral dan sosial.
Semoga hal ini dapat menjadi motivasi di masa yang akan datang, baik bagi
penulis ataupun pihak yang memiliki keterkaitan didalamnya.
Segala puji dan syukur hanyalah kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluk alam semesta, tak
terkecuali kepada penulis, yang atas ridho-Nya telah memberikan kekuatan,
kesabaran serta keyakinan, sehingga tahap demi tahap penulis dapat
menyelesaikan Laporan Skripsi ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih
kepada Abah Dindin Suryanudin dan Mamah Tuti Rustini, dan adik tercinta Ilmi
yang selama ini telah banyak memberikan bantuan moril dan materil serta doa
dan dorongan sehingga laporan ini dapat terselesaikan dan semua pihak yang telah
memberikan bantuan, dukungan semangat, bimbingan, saran serta kritik, sehingga
Laporan Skripsi ini dapat terselesaikan. Dan ucapan terimakasih yang ingin
penulis sampaikan yaitu kepada:
1.

Prof. Dr. Ir. H. Eddy Yusuf, Sp., M.Si., M.Kom. selaku Rektor Universitas
Pasundan Bandung.

2.

Dr. H. R. Abdul Maqin, SE., MP. selaku Dekan Fakultas Ekonomi


Universitas Pasundan Bandung.

vii

3.

Dr. H. Sasa S. Suratman, SE., MSc. selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.

4.

Bapak Dadan Soekardan, SE., MSi., selaku Sekretaris Program Studi


Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung sekaligus dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat
berharga dalam penulisan laporan ini, terima kasih telah meluangkan
waktunya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.

5.

Ibu Isye Siti Aisyah, SE., MSi., selaku Dosen Wali penulis yang telah
meluangkan waktu ditengah kesibukannya untuk memberikan bimbingan dan
arahan yang sangat berharga kepada penulis.

6.

Seluruh dosen FE Unpas Bandung yang telah memberikan ilmunya serta turut
membantu penulis dalam menyelesaikan tugas.

7.

Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung


yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

8.

Pimpinan

Kantor

Pelayanan

Pajak

Pratama

Bandung

Bojonagara,

Cibeunying, Cicadas, dan Karees serta seluruh karyawan, yang telah


memberikan izin untuk mengambil data untuk diolah dalam skripsi ini dan
membimbing kepada penulis terimakasih untuk segala kebaikan, bantuan
serta partisipasinya untuk melaksanakan laporan skripsi ini.
9.

Seluruh keluarga terima kasih yang selalu memberikan doa, motivasi dan
dukungannya sampai saat ini, sehingga laporan skripsi ini dapat terselesaikan.

10. Pinanditha Annisa R Reflianti yang senantiasa selalu berada disaat senang
maupun keadaan sulit sekalipun, selalu memberikan doa, dukungan, semangat

viii

dan perhatian, serta ketulusan cinta dan kasih sayangnya yang tak henti
kepada penulis.
11. Teman-teman GOZWA yang selalu memberikan doa, motivasi dan
bantuannya.
12. Rekan-rekan seperjuangan Diana, Putra, Dony, Seny, Asty, Mpi, Agus dan
semua LASUT FAMILY yang lainnya yang sama-sama berjuang dan
saling membantu, serta selalu dalam kebersamaan dan kekompakan. Mudahmudahan tali persodaraan kita tidak akan pernah putus. Terimakasih atas
bantuannya.
13. Dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, segala
bentuk dukungannya sangat berharga bagi penulis. Terimakasih

Hanya Allah SWT yang tahu dan mampu membalas kebaikan semuanya,
dan tentu penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas semua kebaikan
tersebut denagn pahala berlipat ganda. Amin ya Robbal Alamin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandung, Juni 2013

Penulis
Cahya
(094020057)

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JILID ............................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................

ii

LEMBAR PERNYATAAN ...........................................................................

iii

MOTTO ..........................................................................................................

iv

ABSTRAK ......................................................................................................

KATA PENGANTAR....................................................................................

vi

DAFTAR ISI...................................................................................................

DAFTAR TABEL ..........................................................................................

xv

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xviii


BAB I PENDAHULIAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .......................................................

1.2 Identifikasi Masalah ................................................................ 10


1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 10
1.4 Kegunaan Penelitian................................................................ 11
1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................ 13
2.1.1. Ruang Kepatuhan Wajib Pajak ...................................... 13
2.1.1.1. Pengertian Pajak .............................................. 13
2.1.1.2. Pengertian Wajib Pajak..................................... 14
2.1.1.3. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ...................... 14
2.1.1.4. Fungsi Pajak...................................................... 16

2.1.1.5. Jenis Pajak......................................................... 17


2.1.1.6. Tata Cara Pemungutan Pajak ............................ 21
2.1.1.7. Tarif Pajak......................................................... 23
2.1.1.8. Jenis-jenis Dokumen/Surat Pajak ..................... 24
2.1.1.8.1.

Surat Pemberitahuan (SPT)................... 24

2.1.1.8.2.

Surat Setoran Pajak (SSP)..................... 26

2.1.1.8.3.

Surat Ketetapan Pajak (SKP) ................ 27


2.1.1.8.3.1. Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar ........................ 28
2.1.1.8.3.2. Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan ..................... 29
2.1.1.8.3.3. Surat Ketetapan Pajak Nihil.... 30
2.1.1.8.3.4. Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar ...................................... 30

2.1.1.8.4.

Surat Tagihan Pajak (STP).................... 31

2.1.1.9. Pengertian Kepatuhan ....................................... 32


2.1.1.10. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak .................. 32
2.1.1.11. Jenis-Jenis Kepatuhan Wajib Pajak .................. 34
2.1.1.12. Kriteria Wajib Patuh ......................................... 35
2.1.2. Ruang Lingkup Pencairan Tunggakan Pajak .................. 36
2.1.2.1. Pengertian Tunggakan Pajak ............................ 36
2.1.2.2. Pengertian Pencairan Tunggakan Pajak............ 37
2.1.2.3. Mekanisme Pencairan Tunggakan Pajak .......... 38

xi

2.1.3. Ruang Lingkup Penerimaan Pajak


Penghasilan Orang Pribadi............................................. 40
2.1.3.1. Pengertian Penerimaan pajak............................ 40
2.1.3.2. Pengertian Pajak Penghasilan ........................... 41
2.1.3.3. Subjek Pajak Penghasilan ................................. 41
2.1.3.4. Objek Pajak Penghasilan .................................. 43
2.1.3.5. Penghasilan yang Dikenakan Pajak .................. 44
2.1.3.6. Penghasilan yang Tidak Dikenakan Pajak ........ 45
2.1.3.7. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi............. 47
2.1.3.8. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ............ 47
2.2 Kerangka Pemikiran................................................................ 50
2.2.1 Hubungan Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi.................................. 50
2.2.2 Hubungan Pencairan Tunggakan Pajak dengan
Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.............. 52
2.3 Hipotesis Penelitian................................................................. 54
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Objek Penelitian ...................................................................... 55
3.2 Unit Penelitian......................................................................... 55
3.3 Pendekatan Penelitian ............................................................ 55
3.4 Definisi Variabel Penelitian .................................................... 56
3.4.1 Variabel Independen..................................................... 56
3.4.2 Variabel Dependen ....................................................... 57
3.5 Operasionalisasi Variabel........................................................ 58
3.6 Populasi ................................................................................... 59

xii

3.7 Tenik Sampling dan Sampel ................................................... 59


3.7.1 Teknik Sampling........................................................... 59
3.7.2 Sampel .......................................................................... 60
3.8 Data Penelitian ........................................................................ 61
3.8.1 Jenis Data...................................................................... 61
3.8.2 Teknik Pengumpulan Data ........................................... 61
3.9 Hipotesis Statistik.................................................................... 62
3.10 Analisis Data ......................................................................... 63
3.10.1 Analisis Deskritif........................................................ 63
3.10.2 Analisis Asosiatif ....................................................... 67
3.11 Model Penelitian ................................................................... 76
BAB IV HASIL PENELITITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ....................................................................... 78
4.1.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Wilayah Kota Bandung .............................................. 78
4.1.2 Gambaran Data Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di Kota Bandung ............... 90
4.1.3 Gambaran Data Pencairan Tunggakan Pajak Pada
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Kota Bandung .. 93
4.1.4 Gambaran Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan
Pajak di Kota Bandung............................................... 95
4.2 Pembahasan............................................................................. 97
4.2.1 Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di Kota Bandung............. 99

xiii

4.2.2 Analisis Pencairan Tunggakan Pajak Pada Kantor


Pelayanan Pajak di Kota Bandung ........................... 100
4.2.3 Analisis Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan
Pajak di Kota Bandung ........................................... 102
4.2.4 Pengujian Asumsi Klasik ......................................... 106
4.2.5 Analisis Pengaruh Parsial ........................................ 111
4.2.5.1. Analisis Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak
Terhadap Penerimaan Pajak .................... 111
4.2.5.2. Analisis Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak
Terhadap Penerimaan Pajak .................... 115
4.2.6 Analisis Pengaruh Secara Simultan........................ 118
4.2.6.1 Analisis Regresi Berganda ...................... 119
4.2.6.2 Analisis Korelasi Berganda ..................... 120
4.2.6.3 Pengujian Hipotesis ................................. 121
4.2.6.4 Koefisien Determinasi ............................. 122
BAB V SIMPULAN dan SARAN
5.1.Simpulan........................................................................................ 124
5.2. Saran............................................................................................. 126
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 128

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Ringkasan APBN Tahun 2008-2010 ............................................. 6


Tabel 1.2 Perkembangan Penerimaan Perpajakan di Indonesia ..................... 5
Tabel 1.3 Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama
Bandung ....................................................................................... 5
Tabel 1.4 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak ......................................... 8
Tabel 2.1 Tarif Pajak Wajib Orang Pribadi ................................................... 47
Tabel 2.2 Penghasilan Tidak Kena.................................................................. 49
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu ...................................................................... 53
Tabel 3.1 Operasionalisasi Variabel .............................................................. 58
Tabel 3.2 KPP Yang Berada Di Kota Bandung Yang Menjadi Populasi ...... 59
Tabel 3.3 Hasil Purposive Sampling .............................................................. 60
Tabel 3.4 KPP Pratama di Kota Bandung Yang Menjadi Sampel ................. 61
Tabel 3.5 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak .................................................... 64
Tabel 3.6 Kriteria Pencairan Tunggakan Pajak .............................................. 65
Tabel 3.7 Kriteria Penerimaan Pajak ............................................................. 66
Tabel 3.8 Kategori Koefisien Korelasi ........................................................... 73
Tabel 4.1 Data Kepatuhan Wajib Pajak ......................................................... 91
Tabel 4.2 Data Pencairan Tunggakan Pajak Pada .......................................... 93
Tabel 4.3 Data Penerimaan Pajak Pada .......................................................... 95
Tabel 4.4 Tingat Wajib Pajak Lapor Setiap Tahun ........................................ 97
Tabel 4.5 Statistik Deskriptif Variabel Kepatuhan Wajib Pajak .................... 99

xv

Tabel 4.6 Tingat Tunggakan Pajak Yang Dibayar Setiap tahun ................... 100
Tabel 4.7 Statistik Deskriptif Variabel Pencairan Tunggakan pajak .............. 102
Tabel 4.8 Tingkat Realisasi Penerimaan Pajak Setiap Tahun......................... 103
Tabel 4.9 Statistik Deskriptif Penerimaan Pajak............................................. 105
Tabel 4.10 Uji Normalitas Model Regresi ..................................................... 106
Tabel 4.11 Uji Multikolinearitas .................................................................... 108
Tabel 4.12 Uji Heteroskedastisitas ................................................................. 109
Tabel 4.13 Uji Autokorelasi ........................................................................... 110
Tabel 4.14 Hasil Runs Test Untuk Memastikan Ada
Tidaknya Autokorelas ................................................................... 110
Tabel 4.15 Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana Kepatuhan Wajib
Pajak Terhadap Penerimaan Pajak ............................................. 112
Tabel 4.16 Korelasi Antara Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Penerimaan
pajak ........................................................................................... 114
Tabel 4.17 Koefisien Determinasi Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak
Terhadap Penerimaan Pajak ......................................................... 114
Tabel 4.18 Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana Pencairan Tunggakan
Pajak Terhadap Penerimaan Pajak ............................................... 115
Tabel 4.19 Korelasi Antara Pencairan Tunggakan Pajak Dengan Penerimaan
Pajak .............................................................................................. 117
Tabel 4.20 Koefisien Determinasi Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak,
Terhadap Penerimaan Pajak ......................................................... 118

xvi

Tabel 4.21 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda kepatuhan Wajib Pajak dan
Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak ........... 119
Tabel 4.22 Anova Untuk Pengujian Koefisien Regresi secara Simultan........ 120
Tabel 4.23 Koefisien Korelasi Berganda ........................................................ 122
Tabel 4.24 Koefisien Determinasi Berganda .................................................. 122

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Paradigma Penelitian ................................................................. 54


Gambar 3.1 Posisi angka Durbin-Watson ..................................................... 71
Gambar 3.2 Model Penelitian ........................................................................ 76
Gambar 4.1 Grafik Kepatuhan Wajib Pajak ................................................. 98
Gambar 4.2 Grafik Tingkat Pencairan Tunggakan Pajak ............................. 101
Gambar 4.3 Grafik Penerimaan pajak .......................................................... 104
Gambar 4.4 Normal P-Plot of Regression Standarized Residual .................. 107

xviii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Penelitian


Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan agar tercapai
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak
merupakan

penerimaan

dalam

negeri

yang

terbesar

(Muliari,

2011).

Jumlah wajib pajak di Indonesia saat ini sudah cukup membanggakan.


Menurut catatan Direktorat Jenderal Pajak per akhir 2009, angkanya sudah
mencapai 15,91 juta. Dirjen Pajak Mochammad Tjiptardjo mengatakan jumlah ini
adalah prestasi selama lima tahun terakhir. Pemilik nomor pokok wjaib pajak
(NPWP) terus mengalami kenaikan. Perbandingannya tahun 2005 hanya sebanyak
4,35 juta, tahun 2006 sebanyak 4,8 juta, tahun 2007 sebanyak 7,13 juta, tahun
2008 sebanyak 10,68 juta, dan tahun 2009 sebanyak 15,91 juta. Tjiptardjo
mengatakan, dengan peningkatan ini, diharapkan jumlah penerimaan negara ke
depan semakin baik. Karena menurut dia, selama ini penerimaan pajak dalam lima
tahun terakhir selalu di atas 18 persen. "Tahun 2005 pertumbuhan penerimaan
21,9 persen, tahun 2006 tumbuh 19,5 persen, 2007 tumbuh 21,39 persen dan 2009
tumbuh 29,27 persen," dalam konferensi pers di Kantor Pajak, Senin 4 Januari
2010. Tahun 2009 meski jumlah wajib pajak meningkat dibuat perkecualian

karena akibat krisis global. "Kita tahun 2009, penerimaan hanya tumbuh 4,38
persen atau lain dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan biasanya yang selalu
di atas 18 persen.(Mochammad Tjiptardjo, dikutip dari vivanews.com diakses 14
februari 2013 )
Menurut Agus D Martowardojo dikutip dari vivanews.com diakses 14
februari 2013, bila dibandingkan potensi pajak dari jumlah penduduk Indonesia
yang berjumlah 240 juta orang, kekayaan alam yang berlimpah, jumlah badan
usaha yang lebih dari 20 juta, Indonesia bisa terus meningkatkan penerimaan
negara dari pajak. Namun, kata dia, perlu dilakukan kerja keras dan cerdas serta
langkah-langkah terobosan dibidang ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan
pajak serta perbaikan secara fundamental dalam pelayanan kepada Wajib Pajak
dan administrasi perpajakan.
Fakta menunjukkan, lanjut Agus D Martowardojo, tingkat kepatuhan
masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya masih sangat
rendah. Untuk orang pribadi pembayaran pajak yang dilaporkan melalui
penyerahan SPT hanya berjumlah 8,5 juta, padahal jumlah orang yang aktif
bekerja di Indonesia berjumlah 110 juta (data BPS). Artinya, rasio SPT terhadap
kelompok pekerja aktif hanya mencapai 7,73%; dengan kata lain tingkat
kepatuhan WP OP masih sangat rendah.
Menurut APBN sumber pendapatan pemerintah terbanyak didapat dari
sektor perpajakan, meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas
bumi, serta bantuan luar negeri yang merupakan penerimaan negara bukan pajak
(PNBP). Hal tersebut dapat dilihat dari makin tingginya target penerimaan negara

yang berasal dari pajak, dan untuk tahun 2010 target penerimaan pajak adalah
sebesar Rp. 729,2 triliun yang kurang lebih merupakan 70% dari penerimaan
APBN tahun 2010Akan tetapi dalam kenyataannya pembayaran pajak masih
banyak terdapat kelalaian, bahkan mangkir dalam melaksanakan pembayaran dan
pelaporan pajak terutang oleh wajib pajak tertentu. Pajak terutang yang lalai
dilunasi oleh Wajib pajak akan terakumulasi menjadi tunggakan pajak yang
berpotensi

mengurangi

penerimaan

pajak

secara

tidak

langsung.

(sumber: http://warungmassahar.blogspot.com, di akses pada tanggal 14 februari


2013)
Penerimaan Pajak Penghasilan di Indonesia pada umumnya masih
didominasi oleh Pajak Penghasilan badan. Hal tersebut dikarenakan sebagai
instansi formal terdaftar, badan lebih mudah teridentifikasi jati dirinya, terpantau
kehadirannya, terdeteksi kegiatannya dan transparan obyek pajaknya sehingga
pemungutan pajak atas badan lebih optimal daripada orang pribadi. Pemungutan
pajak atas orang pribadi terjadi kesulitan pemantauan dan pendeteksian
Penghasilan Kena Pajak orang pribadi, terutama karena tidak adanya informasi
transaksi finansial dari tiap orang. Akselerasi pembangunan, selain telah
menghasilkan pertumbuhan ekonomi juga telah meningkatkan pendapatan per
kapita perorangan. Demikian pula untuk penghasilan yang diterima oleh warga
sebagai orang pribadi semakin bervariasi, kalau semula penghasilan yang diterima
hanya berbentuk gaji dan upah dari satu tempat pemberi kerja, sekarang banyak
yang mempunyai penghasilan dari beberapa tempat kerja atau usaha sendiri dan
profesi. Selaras dengan semakin membesarnya kebutuhan pembiayaan negara dan

desakan kemandirian pembiayaan, rasanya pemerintah harus menemukan sumber


penerimaan negara yang elastis dan berkelanjutan. Pajak Penghasilan orang
pribadi memenuhi kriteria tersebut. Oleh karena itu, secara bertahap harus
menjadi instrumen yang efisien untuk meningkatkan penerimaan negara Kegiatan
pemerintah dalam pembangunan nasional senantiasa meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini berpengaruh pada kebutuhan anggaran belanja negara.
Tabel 1.1 menunjukan anggaran belanja Negara Indonesia dalam 5(lima)
tahun terakhir meningkat tajam, dari 985.730 triliun rupiah pada tahun 2008
menjadi 1.418.497 triliun rupiah pada tahun 2012. Semakin meningkat
jumlah anggaran belanja negara maka membutuhkan sumber penerimaan
yang semakin besar pula. Data pada tabel di bawah ini menunjukan
bahwa sebagian besar kebutuhan untuk membiayai anggaran belanja
diperoleh dari penerimaan dalam negeri, yaitu penerimaan pajak.
Ringkasan APBN tahun 2008-2012 dapat dilihat pada tabel 1.1 .
Realisasi penerimaan pajak Tahun 2012 adalah Rp 835,25 triliun atau
mencapai 94,38% dari target sebesar Rp 885,02 triliun. Dibandingkan dengan
realisasi Tahun 2011, maka realisasi penerimaan perpajakan Tahun 2012 naik
sebesar Rp 97,63 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 12,47%.
Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) Tahun 2012 sebesar 10,87%. Realisasi penerimaan Pajak
Penghasilan (PPh) Tahun 2012 adalah sebesar Rp 454,16 triliun atau mencapai
90,46% dari target sebesar Rp 513,65 triliun. Dibandingkan dengan realisasi tahun

2011, maka realisasi penerimaan PPh

Tahun 2012 mengalami pertumbuhan

sebesar 7,79%.
Tabel 1.2 menunjukan perkembangan penerimaan pajak di Indonesia
dari tahun 2009-2012.
Tabel 1.2
Perkembangan Penerimaan Perpajakan di Indonesia Periode 2009-2012
(dalam milyar rupiah)
URAIAN

2010

2011

2012

50.043,70

58.872,70

65.230,70

58.665,80

PPh NON MIGAS

267.571,30

298.172,80

366.746,30

454.168,70

PPN DAN PPnBM

193.067,50

230.604,90

298.441,40

350.342,20

24.270,20

28.580,60

29.057,80

35.646,90

BPHTB

6.464,50

8.026,40

CUKAI

56.718,50

66.165,90

68.075,30

72.443,10

PAJAK LAINNYA

3.116,00

3.968,80

4.193,80

5.632,00

Jumlah Penerimaan

619.922,2

723.306,6

878.685,2

1.019.332,4

PPh MIGAS

PBB

2009

Sumber:Kementrian Keuangan (www.djapk.depkeu.go.id)

Meningkatnya jumlah Wajib Pajak setiap tahunnya diharapkan dapat


meningkatkan penerimaan pajak di KPP Pratama Bandung. Tabel 1.3 adalah data
jumlah Wajib Pajak Oprang Pribadi di KPP Pratama Bandung pada Tahun 20082011:
Tabel 1.3
Perkembangan Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi di KPP Pratama Bandung

Tahun Pajak
Bojonagara
Cibeunying
Cicadas
Karees

2008

Jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi


2009
2010
2011

47.823

73.035

82.313

88.841

45.559

71.664

83.222

91.424

43.634
24.121

79.247
48.074

97.887
61.296

110.202
70.177

Sumber : KPP Bandung (data diolah)

Tabel 1.1
Ringkasan APBN Tahun 2008-2012
(dalam milyar rupiah)
2008
LKPP
A. Pendapatan Negara dan Hibah
I. Penerimaan Dalam Negeri
1. Penerimaan Perpajakan
2. Penerimaan Negara Bukan
Pajak
II. Hibah
B. Belanja Negara
I. Belanja Pemerintah Pusat
II. Transfer Ke Daerah
III. Suspen
C. Keseimbangan Primer
D. Surplus/Defisit (A-B)
E. Pembiayaan
Kelebihan/(kekurangan ) Pembiayaan

2009
LKPP

2010
LKPP

2011
APBN-P

2012
RAPBN

848.763,2

995.271,5

1.169.914,6

1.292.877,7

847.096,6

992.248,5

1.165.252,5

1.292.052,6

619.922,2

723.306,6

878.685,2

1.019.332,4

227.174,4

268.941,9

286.567,3

272.720,2

2.304,0

1.666,6

3.023,0

4.662,1

825,1

985.730,7

937.382,1

1.042.117,2

1.320.751,3

1.418.497,7

693.355,9

628.812,4

697.406,4

908.243,4

954.136,8

292.433,5

308.585,2

344.727,6

412.507,9

464.360,9

(58,7)

(15,6)

(16,8)

0,0

0,0

981.609,4
979.305,4
658.700,8
32.060,4

84.308,5

5.163,2

41.537,5

(44252,9)

2.548,1)

(4.121,3)

(88.618,8)

(46.845,7)

(150.836,7)

(125.620,0)

84.071,7

112.583,2

91.552,0

150.836,7

125.620,0

79.950,4

23.964,4

44.706,3

0,0

0,0

Sumber:Kementrian Keuangan (www.djapk.depkeu.go.id) Data Pokok APBN 2008-2012

Masih banyak warga berpenghasilan Rp 2 juta ke atas yang termasuk


wajib pajak belum membayar pajak. Hingga saat ini, hanya sekitar 1,2 juta wajib
pajak di Jabar dan hanya 55 persen dari jumlah ini yang patuh menyerahkan Surat
Pemberitahuan (SPT) Pajak Tahunan. Hal ini disampaikan Kepala Kanwil Pajak
Jabar I Adjat Djatnika dalam Acara Pekan Panutan Penyerahan SPT Pajak
Tahunan. Padahal sekitar 80 persen pendapatan baik secara nasional mau pun di
tingkat daerah berasal dari pajak. Adjat Djatnika mengatakan jumlah pajak yang
diperoleh di Jabar pada 2010 sebedar Rp 11,5 triliun, 2011 Rp12,5 triliun, dan
2012 Rp14 triliun. Kanwil Pajak Jabar menargetkan tahun 2013, besar pajak bisa
mencapai Rp18 triliun. Dia optimistis jumlah ini bisa tercapai karena paling tidak

tahun ini sekitar 250 ribu wajib pajak bertambah. (Dikutip dari Pikiran Rakyat
hari Senin 5/4/13 halaman 4)
Menurut Gubernur Jabar Ahmad Heryawan yang dikutip dari Pikiran
Rakyat hari Selasa tanggal 5 maret 2013 halaman 4, berharap masyarakat bisa
membayar pajak dan menyerahkan SPT tahunannya ke kantor pajak. Dengan
begitu, 90 persen dari target 18 triliun tahun ini pun bisa tercapai. "Kita yang
membayar pajak menunjukkan bagian komitmen bela negara, tidak harus pakai
surat peringatan, tetapi dengan sadar membayar dengan sukarela ke kantor pajak
masing-masing.
Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf mengkritisi pelayanan yang
diberikan Kantor Pajak Pratama (KPP) Bekasi Selatan. Ia pun mengimbau petugas
setempat memberikan pelayanan yang lebih baik agar dapat meningkatkan
kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, yang pada akhirnya mendongkrak
pendapatan dari sektor ini. Dede meyakini, pemberian fasilitas yang nyaman akan
mendorong masyarakat tergerak untuk datang dan membayar kewajibannya.
Otomatis, peningkatan kepatuhan masyarakat ini nantinya akan berkontribusi
pada peningkatan pendapatan. Sejauh ini, Dede menilai, kontribusi Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat II sudah baik. Dari Rp 50 triliun
pendapatan yang disetorkan Jabar setiap tahunnya, sebanyak Rp 30 triliun di
antaranya merupakan kontribusi Kanwil DJP Jabar II. (Dikutip dari Pikiran
Rakyat hari selasa tanggal 5/3/13 halaman 17).
Adapun target dan realisasi Penerimaan Pajak di KPP Pratama Bandung
dari tahun pajak 2008-2010 adalah seperti tabel 1.4

Tabel 1.4
Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2008-2010
KPP Pratama Bandung (dalam milyar rupiah)
No
1

KPP
Bandung
Bojonagara

Bandung
Cibeunying

Bandung
Cicadas

Tahun

Realisasi

2008

30,501,325,667

17,308,150,002

2009

25,629,877,636
21,903,719,149
41,841,640,123
36,738,731,909
31,138,400,755
4,046,783,929

32,632,296,993
40,092,792,001
30,422,919,999
43,841,957,995
57,672,113,000
4,515,001,000

6,267,554,258
4,123,128,617

8,592,283,999
10,422,224,000

2010
2008
2009
2010
2008
2009
2010

Target

Sumber : KPP Bandung (data diolah)

Berbagai penelitian telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang


mempengaruhi naik turunnya penerimaan pajak, seperti yang dilakukan oleh
Ivana (2007) dengan pencairan tunggakan pajak, ssp diterima dan npwp op
terdaftar sebagai variabel independen dan penerimaan pajak sebagai variabel
dependen. Hasil penelitian Ivana menunjukan bahwa pencairan tunggakan pajak
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak. Yosefa (2011)
dengan kepatuhan wajib pajak sebagai variabel independen dan penerimaan pajak
sebagai variabel dependen. Hasil penelitiannya bahwa secara parsial kepatuhan
wajib pajak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya oleh Vania
Yuki Widianti (2006) dengan judul Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan
Pendapatan Perkapita Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Variabel yang diteliti kepatuhan wajib pajak dan pendapatan perkapita sebagai
variabel independennya, sedangkan variabel dependennya penerimaan pajak
penghasilan orang pribadi. Penelitiannya dilaksanakan pada KPP Pratama

Madiun. Hipotesis dalam penelitai ini menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak
orang pribadi berpengaruh terhadap jumlah penerimaaan PPh orang pribadi di
KPP Madiun, pendapatan perkapita berpengaruh terhadap jumlah penerimaan
orang pribadi di KPP Madiun, dan kepatuhan wajib pajak orang pribadi dan
pendapatan perkapita berpengaruh terhadap jumlah penerimaan PPh orang pribadi
di KPP Madiun. Populasi penelitian meliputi wajib pajak yang terdaptar di KPP
Madiun. Sampel yang diambil oleh peneliti adalah wajib pajak pribadi aktif
selama 5 tahun dari tahun 2002-2006, sedangkan teknik samplinya menggunakan
proportional sampling method atau pemilihan sampel proposional. Dari Hasil
analisis menunjukkan bahwa hasil perhitungan uji parsial (uji t)terhadap variabel
variabel independen tersebut berpengaruh signifikan dan positif terhadap
Variabel dependen.
Adapun pengembangan yang dilakukan oleh penulis terhadap penelitian
terdahulu yaitu menggunakan variabel independen Kepatuhan Wajib Pajak dan
Pencairan Tunggakan Pajak serta variabel dependen Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi, sedangkan dalam penelitian sebelumnya variabel yang
diteliti Kepatuhan Wajib Pajak, Pendapatan Perkapita, dan Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Penelitian dilaksanakan di KPP Pratama Bandung,
antara lain, KPP Pratama Bandung Bojonagara, KPP Pratama Bandung
Cibeunying, KPP Pratama Bandung Cicadas, dan KPP Pratama Bandung Karees
data yang digunakan dari tahun 2008-2011 berbeda dengan peneliti terdahulu
menggunakan data 2002-2006 penelitian dilaksanakan pada KPP Pratama
Madiun. Adapun pengaruh perbedaan tahun terhadap variabel adalah pada tahun

10

2008 kantor pajak seluruh Indonesia menerapkan sistem modernisasi yang


akibatnya realisasi penerimaaan pajak meningkat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melaksanakan
penelitian

dengan

judul

ANALISIS

MEMPENGARUHI PENERIMAAN

FAKTOR-FAKTOR

YANG

PAJAK PENGHASILAN ORANG

PRIBADI (studi pada KPP Pratama Kota Bandung)

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang penelitian di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Kota Bandung
2. Bagaimana tingkat pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Kota
Bandung
3. Bagaimana tingkat penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di KPP
Pratama Kota Bandung
4. Seberapa besar pengaruh kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan
pajak penghasilan orang pribadi
5. Seberapa besar pengaruh pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan
pajak penghasilan orang pribadi

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Kota
Bandung

11

2. Untuk mengetahui tingkat pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama


Kota Bandung
3. Untuk mengetahui tingkat penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di
KPP Pratama Kota Bandung
4. Untuk mengetahui pengaruh kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan
pajak penghasilan orang pribadi
5. Untuk mengetahui pengaruh pencairan tunggakan pajak terhadap
penerimaan pajak penghasilan orang pribadi

1.4 Kegunaan Penelitian


Melalui penelitian ini, diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak yang berkepentingan, yaitu:
1. Bagi Penulis
Memperdalam

ilmu pengetahuan mengenai

perpajakan terutama

memahami lebih mendalam mengenai Kepatuhan Wajib Pajak dan


pencairan tunggakan pajak yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak
penghasilan orang pribadi.
2. Bagi Instansi Terkait
Sebagai

bahan

informasi

pelengkap

atau

masukan

sekaligus

pertimbangan bagi KPP terkait agar selalu memperhatikan setiap faktorfaktor yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak dan melaksanakn
setiap kebijakan/peraturan sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan
pajak .

12

3. Bagi Peneliti Selanjutnya dan Masyarakat Umum


Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan pertimbangan dan pemikiran
dalam penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama, yaitu bagaimana
pengaruh kepatuhan wajib pajak dan pencairan tunggakan Pajak terhadap
penerimaan pajak penghasilan orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Bandung, yaitu KPP Pratama Bandung Bojonagara, KPP Pratama
Bandung Cibeunying, KPP Pratama Bandung Cicadas, dan KPP Pratama
Bandung Karees.

1.5

Lokasi dan Waktu Penelitian


Dalam penelitian ini penulis berencana melaksanakan penelitian di KPP

Pratama Kota Bandung, yaitu KPP Pratama Bandung Bojonagara, KPP Pratama
Bandung Cibeunying, KPP Pratama Bandung Cicadas, dan KPP Pratama
Bandung Karees. Adapun waktu pelaksanaan penelitian adalah dimulai pada
Februari 2013 sampai selesai.

BAB II
Kajian Pustaka, Kerangka Pemikiran, dan Hipotesis

2.1

Kajian Pustaka

2.1.4.

Ruang Lingkup Kepatuhan Wajib Pajak

2.1.1.1. Pengertian Pajak


Pengertian pajak menurut beberapa ahli yang dikutip oleh Siti Resmi (2011, 1):
Menurt Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S. H:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiak mendapatka jasa
timbale balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan, dan
dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum..
Menurut S. I. Djajadiningrat:
Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari
kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian,
dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu , tetapi bukan
sebagai hukuman, menurut peraturan yag ditetapkan pemerintah
serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum.
Menurut Dr. N. J. Feldmann:
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang
kepada penguasa ( menurut norma-norma yang ditetapkannya secara
umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan
untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.
Definisi pajak menurut UU No.28 Tahun 2007:
Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbaln secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.

13

14

Definisi pajak
Cirri-ciri yang melekat pada definisi pajak menurut Siti Resmi (2011,2):
1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaanya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
3. Pajak dapat dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
2.1.1.2. Pengertian Wajib Pajak
Pajak merupakan peranan penting untuk pembiayaan pembangunan,
dimana Wajib Pajak merupakan bagian dari penerimaan pajak tersebut. Dengan
kata lain tidak akan ada pajak apabila tidak ada Wajib Pajak.
Menurut Erly Suandy (2002, 3):
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk pemungut atau
pemotong pajak tertentu.
Menurut UU No.28 Tahun 2007:
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.

2.1.1.3.Hak dan Kewajiban Wajib Pajak


Hak Wajib Pajak menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2007 yang
dikutip oleh Siti Resmi (2011, 22):
Hak Wajib Pajak
1. Melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat
Pemberitahuan Masa
2. Mengajukan surat keberatan dan banding bagi Wajib Pajak

15

dengan kriteria tertentu


3. Memperpanjang
jangka
waktu
penyampaian
Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk paling lama
2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan
secara tertulis atau dengan cara lain lain kepada Direktur
Jendral Pajak
4. Mengajukan
permohonan
pengembalian
kelebihan
pembayaran pajak
5. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak
6. Mengajukan permohonan banding kepada badan peeradilan
pajak atas Surat Keputusan Keberatan,
7. Mengajukan keberatan kepada Direktur Jendral Pajak atas
suatu
8. Mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan
pajak atas Surat Keputusan Keberatan
9. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
10. Memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi
administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan
kekurangan pembayaran pajak.
Sedangkan kewajiban Wajib Pajak menurut Undang-undang No. 28
Tahun 2007 yang dikutip Siti Resmi (2011, 23):
Kewajiban Wajib Pajak
1. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jendral Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak
3. Mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas
4. Menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan satuan mata uang selain rupiah yang diizinkan,
yang pelaksanaannya yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Mentri Keuangan
5. Membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasrkan
Peraturan Mentri Keuangan
6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan perpajakan
7. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

16

2.1.1.4. Fungsi Pajak


Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki
fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang
adil dan makmur secara merata.
Menurut Siti Resmi (2011, 3), terdapat fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair
(sumber keuangan Negara) dan fungsi regularend (pengatur).
Pengertian Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara) adalah sebagai
berikut:
Menurut Siti Resmi (2011, 3):
Fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan
pemerintah

untuk

membiayai

pengeluaran

baik

rutin

maupun

pembangunan.
Menurut Waluyo (2008, 6):
Fungsi

Penerimaan

pajak

berfungsi

sebgai

sumber

dana

yang

diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.


Menurut Erly Suandy (2011, 12):
Fungsi budgeter yaitu memasukan uang sebanyak-banyaknya ke kas
negara, dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Pengertian Fungsi Regularend (Pengatur) adalah sebagai berikut:

17

Menurut Siti Resmi (2011, 3):


Fungsi pengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi,
serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
Menurut Waluyo (2008, 6):
Fungsi mengatur pajak sebagai alat untuk mengatu atau melaksanakan
kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Menurut Erly Suandy (2011, 13):
Fungsi mengatur yaitu pajak digunakan sebagai alat untuk mengatur
masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan tujuan
tertentu.

2.1.1.5. Jenis Pajak


Terdapat berbagai jenis pajak menurut Siti Resmi (2011, 7) yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongan, menurut
sifat, dan menurut lembaga pemungutnya.
Menurut waluyo (2008, 12), Golongan Pajak dikelompokkan menjadi
pajak langsung dan tidak langsung.

Pengertian Pajak Langsung adalah sebagai berikut:

18

Menurut Waluyo (2008, 13):


Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak
yang bersangkutan.
Menurut Siti Resmi (2011, 7):
Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul atau ditanggung
sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau
dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi
beban wajib pak yang bersangkutan.

Menurut Erly Suandy (2011, 36):


Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain.
Sedangkan pengertian Pajak Tidak Langsung adalah sebagai berikut:
Menurut Waluyo (2008, 12):
Pajak

tidak

langsung adalah

pajak

yang pembebanannya dapat

dilimpahkan kepada pihak lain.


Menurut Siti Resmi (2011, 7):
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnyandapat dibebankan
atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga.
Menurut Erly Suandy (2011, 36):

19

Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan atau
digeserkan kepada pihak lain sehingga sering disebut juga sebagai pajak
tidak langsung.
Menurut Siti Resmi (2011, 7), berdasarkan sifatnya pajak dapat
dikelompokan menjadi pajak subjektif dan pajak objektif.
Pengertian pajak subjektif adalah sebagai berikut:
Menurut Siti Resmi (2011, 7):
Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaanya memerhatikan keadaan
pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan
subjeknya.
Menurut Erly Suandy (2011, 36):
Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi atau keadaan
Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan
objektif Yng berhubungan erat dengan keadaan materialnya.
Menurut Waluyo (2008, 12):
Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya yang selanjutnya dicari objektifnya, dalam arti memperhatikan
keadaan dari wajib pajak.
Sedangkan pengertian Pajak Objektif adalah sebagai berikut:
Menurut Siti Resmi (2011, 8):

20

Pajak objektif adalah Pajak yang pengenaanya memperhatikan


objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa
yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak)
maupun tempat tinggal.

Menurut Waluyo (2008, 12):


Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Menurut Erly Suandy (2011, 39):
Pajak Objektif adalah pajak yang pada awalnya memperhatikan objek
yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru
dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan.

Menurut Siti Remi (2011, 7), berdasarkan Lembaga Pemungut, pajak


dikelompokan menjadi pajak negara dan pajak daerah.
Pengertian Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah sebagai berikut:
Menurut Siti Resmi (2011, 7):
Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untik mebiayai rumah tangga negara pada umumnya.
Menurut Waluyo (2008, 12):
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan, untuk membiayai rumah tangga negara.

21

Menurut Erly Suandy (2011, 36):


Pajak pusat/pajak negara adalah pajak yang wewenang pemungutannya
ada pada pemerintah

pusat yang pelaksanaanya dilakukan oleh

Departemen Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak.


Sedangkan pengertian Pajak Daerah adalah sebagai berikut:
Menurut Siti Resmi (2011, 8):
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat
I (pajak provinsi) maupun daerah Tingkat II (pajak Kabupaten/kota) dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing.
Menurut Waluyo (2008, 12):
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Menurut Erly Suandy (2011, 37):
Pajak daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada
Pemerintah Daerah yang pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah.

2.1.1.6. Tata Cara Pemungutan Pajak


Tata cara pemungutan pajak terdiri atas stesel pajak, asas pemungutan
pajak, dan sistem pemungutan pajak.

22

Menurut Siti Resmi (2011, 7), Stelel Pajak Pemungutan pajak dapat
dilakukan dengan tiga stelsel, yaitu:
1. Stelsel Nyata (Riil) ini menyatakan bahwa pengenaan pajak
didasarkan pada objek sesungguhnya terjadi (untuk PPh maka
objeknya adalah penghasilan). Oleh karena itu, pemungutan
pajaknya baru dapat dilakukan pada akhir tahun
2. Stelsel Anggapan (Fiktif) menyatakan bahwa pengenaan pajak
didsarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh ndang-undang..
3. Stelsel Campuran menyatakan bahwa pengenaan pajak didasarkan
pada kombinasi antara stelsel nyata dan telsel anggapan.

Menurut Waluyo (2008, 13), asasasas pemungutan pajak yaitu:


1. Asas equality pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata
yaitu pajak dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding
dengan kemampuan membayar pajak atau ability to pay dan sesuai
dengan manfaat yang diterima. Adil yang dimaksud bahwa setiap
wajib pajak menyumbangkan uang untuk mengeluarkan
pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaat yang
diminta.
2. Asas Certainty penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang
wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara
jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta
batas waktu pembayaran.
3. Asas Convenience kapan wajib pajak itu harus membayar pajak
sebaiknya sesuai dengan saat saat yang tidak menyulitkan wajib
pajak. Asas Economy Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya
pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan
seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib
pajak.

Menurut Mardiasmo (2009, 7), Sistem pemungutan pajak dapat dibagi


menjadi tiga, yaitu:
1. Official Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak
yang member wewenang kepada pemerintah untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang.
2. Self Assessment System merupakan pemungutan pajak yang
memberikan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada
Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

23

3. Withholding System merupakan sistem pemungutan pajak yang


memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau
memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.1.1.7.Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2009, 9), ada 4 macam tarif pajak,yaitu:
1. Tarif sebanding/proporsional,yaitu tarif berupa persentase yang
tetap, terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga
besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya
nilai yang dikenai pajak.
2. Tarif tetap, yaitu tarif berupa jumlah yang tetap terhadap jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
3. Tarif progresif, yaitu tarif persentase yang digunakan semakin
besar bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar
4. Tarif degresif, persentase tafir yang digunakan semakin kecil bila
jumlah yang dikenai pajak semakin besar.

Menurut Erly Suandy (2011, 7), tarif pajak ada(4) empat yaitu:
1. Tarif sebanding/proporsional adalah tarif pajak yang merupakan
persentase yang tetapi jumlah pajak yang terutang akan berubah
secara proporsional atau sebanding pengenaan pajaknya.
2. Tarif progresif adalah tarif pajak yang presentasenya semakin
besar jika dasar pengenaan pajaknya meningkat, jumlah pajak
yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan
perubahan dasar pengenaan pajaknya.
3. Tarif degresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin kecil
jika dasar pengenaan pajaknya meningkat, jumlah pajak yang
terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan
perubahan dasar pengenaan pajaknya.
4. Tarif tetap adalah tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap
walaupun dasar pengenaan pajaknya berbeda/berubah, sehingga
jumlah pajak yang terutang selalu tetap.

Menurut Waluyo (2008, 18), tarif pajak ada 4 (empat), yaitu:


1. Tarif pajak proposional/ sebanding yaity tarif pajak berupa
persentase tetap terhadap jumlah berapa pun yang menjadi dasar
pengenaan pajak

24

2. Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya


menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar
pengenaannya semakin besar.
3. Tarif pajak Degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin
menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak
menjadi semakin besar.
4. Tarif pajak tetap adalah tarif berupa jumlah yang tetap (sama
besarnya) terhadap berapa pun jumlah yang menjadi dasar
pengenaan pajak.

2.1.1.8.Jenis-jenis Surat Pajak


2.1.1.8.3.5. Surat Pemberitahuan (SPT)
Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut UU No. 28 Tahun 2007 yang
dikutip oleh Siti Resmi (2011, 18):
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
(WP) digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau
pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau
harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan.
Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 151):
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan dokumen yang menjadi alat
kerja sama antara wajib pajak dan administrasi pajak, yang memuat
data-data yang diperlukan untuk menetapkan secara tepat jumlah
pajak yang terutang.
Menurut Siti Resmi (2011, 42):
Surat Pemberitahuan merupakan sarana bagi wajib pajak untuk
melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan.
Menurut Siti Resmi (2011, 42) Terdapat dua macam SPT yaitu:
1. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan untuk
melakukan pelaporan atas pembayaran pajak bulanan.
2. SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan yang digunakan untuk
melakukan pelaporan atas pembayaran pajak tahunan.

25

Adapun Fungsi SPT menurut Siti Resmi (2011, 42), adalah Sebagai
sarana

WP

untuk

melaporkan

dan

mempertanggung-jawabkan

penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk


melaporkan tentang pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain
dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak, penghasilan yang
merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak, harta dan kewajiban,
dan pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu)
Masa Pajak.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, batas waktu penyampaian
Surat Pemberitahuan adalah:
1. Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah akhir Masa Pajak;
2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir
Tahun Pajak; atau
3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun
Pajak.

Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, apabila Surat


Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu
rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00

26

(satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, pengenaan sanksi
administrasi

berupa

denda

sebagaimana

dimaksud

di

atas

tidak

dilakukan/dikenakan terhadap:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara
asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di
Indonesia;
5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi
tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
8. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

2.1.1.8.3.6. Surat Setoran Pajak


Pelaksanaan pembayaran pajak dapat dilakukan Kantor Penerima
Pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) yang dapat diambil
di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, atau dengan cara lain melalui
pembayaranpajak secara elektronik (e-payment). Adapun pengertian Surat Setoran
Pajak, yaitu :
Menurut Siti Resmi (2011:31) :
Surat Setoran Pajak merupakan surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang

27

terutang ke kas negara atau ketempat pembayaran lain yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Pengertian surat setoran pajak (SSP) menurut Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 menyatakan bahwa:
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir
atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas nagara melalui tempat
pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Fungsi Surat Setoran Pajak (SSP) sebagai bukti pembayaran paajak apabila
telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau
apabila telah mendapatakan validasi.

2.1.1.8.3.7. Surat Ketetapan Pajak


Besarnya pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak sebagai ketetapan
pajak, tertuang dalam surat yang diistilahkan dengan Surat Ketetapan Pajak.
Pengertian Surat Ketetapan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dikutip oleh
Waluyo (2008, 51), surat ketetapan pajak adalah: ...surat ketetapan yang
meliputi Surat Ketetapan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Nihil, atau Surat Ketetapan Lebih Bayar. Surat
Ketetapan Pajak ini sebagai suatu ketetapan terulis yang menimbulkan hak dan
kewajiban, memuat besarnya utang pajak pada tahun tertentu bagi Wajib Pajak
yang nama dan alamatnya tercantum dalam surat ketetapan pajak. Ketetapan pajak
ini merupakan tembusan dari kohir sehingga bentuk dan isi kohir sama dengan
surat ketetapan pajak.

28

2.1.1.8.3.1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) .

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28


Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok
pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak
yang masih harus dibayar.
Menyimak Pasal 13 Undang-undang KUP dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan
berdasarkan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
menyatakan kewenangan Direktur Jendral Pajak untuk dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal terdapat pajak yang tidak ataau
kurang dibayar, dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Direktur jendral pajak diberi kewenangan untuk menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar yang pada hakekatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu saja.
Surat Ketetapan Kurang Bayar tersebut dapat diterbitkan apabila hasil pemeriksaan atau
keterangan lain pajak yang terutang tidak kurang atau lebih dibayar, surat pemberitahuan
(SPT) tidak disamoaikan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam pasal 3 Ayat
(3) undang-undang pajak penghasilan dan setelah ditegur secara tertuli tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dlam surat teguran, hasil pemeriksaan atau
keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak penjualan atas Barang
Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya tarif 0% (nol persen), kewajiban pembukuan sebagaimana diatur dalam pasal
29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya wajib pajak yang terutang,

29

kepada wajib pajak diterbitkan norma pokok wajib pajak (NPWP) dan atau dikukuhkan
sebagai pengusaha kena pajak secara jabatan.

Fungsi SKPKB sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut
SPT Wajib Pajak, sebagai sarana untuk mengenakan sanksi di bidang perpajakan
sebagai alat untuk menagih hutang pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ini tetap dapat diterbitkan walaupun
jangka waktu 5 (lima) tahun telah lewat. Penerbitannya berdasarkan hasil
penelitian terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap Wajib Pajak yang di pidana karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara.
2.1.1.8.3.2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambhan (SKPKBT)
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Surat Ketetapan Kurang
Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah: ...surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Direktur
Jendral Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila
ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang
terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Sebagai konsekuensinya jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam SKPKBT ditambah sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seraus persen) dari jumlah pajak
yang tidak atau kurang dibayar.

30

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin


diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak.
Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan
syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak
sebelumnya.
2.1.1.8.3.3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Ketetapan
Pajak Nihil adalah: ...surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak
tidak trutang dan tidak ada kredit pajak.
SKPN ini diterbitkan didasarkan pada hasil pemeriksaan terhadap
Surat Pemberitahuan bila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak
ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak
2.1.1.8.3.4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Ketetapan Pajak

Lebih Bayar adalah: ...surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah


kelebihan pembayaran pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang
atau seharusnya tidak terutang. Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) berdasarkan hasil penelitian
terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan wajib pajak terdapat
kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, hasil pemeriksaan
terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak

31

yang dibayar lebih besar dari pada jumlah pajak yang terutang, hasil
pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari
pada jumlah pajak yang terutang.

2.1.1.8.3.8. Surat Tagihan Pajak


Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Surat Tagihan Pajak (STP)

adalah:... surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi


berupa bunga dan atau denda. Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan surat
ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak,
atau Tahun Pajak dalam hal sebelum wajib pajak diberikan atau diterbitkan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan dikukuhkan sebgai Pengusaha Kena
Pajak, bila diperoleh data atau informasi yang menunjukan adanya kewajiban
perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak, Sebelum dan setelah penghapusan
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena
pajak diperoleh data atau informasi yang menunjukan adanya kewajiban
perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
Adapun alasan diterbitkan Surat Tagihan Pajak apabila Pajak
Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar, dari hasil
penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai salah tulis atau salah
hitung, wajib pajak dikenal sanksi administrasi berupa denda atau bunga,
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetapi
tidak membuat faktur pajak dan tidak tepat waktu, pengusaha yang telah

32

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak mengisi faktur pajak
secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (5) Undang-undang
PPN dan PPnBM, Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak seusai
dengan masa penerbitan faktur pajak, dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian pajak masukan.

2.1.1.9. Pengertian Kepatuhan


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995, 1013) dalam Sony Devano
dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 110), istilah kepatuhan berarti tunduk patuh pada
ajaran atau aturan. Kepatuhan adalah suatu sikap yang merupakan respon yang
hanya muncul apabila individu tersebut dihadapkan pada suatu stimulus yang
menghendaki adanya reaksi individual. Berdasarkan teori tersebut maka dapat
dikatakan bahwa kapatuhan adalah suatu sikap yang akan muncul pada seseorang
yang merupakan suatu reaksi terhadap sesuatu yang ada dalam peraturan yang
harus dijalankan.

2.1.1.10. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak


Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif Wajib Pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang
tinggi. Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai
dengan kebenarannya. Karena semakin besar pekerjaan dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak, bukan fiskus selalu
pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam Self Assesment System,
dengan tujuan dapat meningkatkan pendapatan pajak yang optimal.

33

Kepatuhan pajak merupakan persoalan laten dan aktual yang sejak dulu ada
di perpajakan. Di dalam negeri, rasio kepatuhan Wajib Pajak yang menjadi
indikator kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban
perpajakannya dari tahun ke tahun masih menunjukan presentase yang tidak
mengalami peningkatan secara berarti. Hal ini didasarkan jika kita melihat
perbandingan jumlah wajib pajak yang memenuhi syarat patuh di Indonesia
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar.
Menurut Chaizi Nasucha yang dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu
(2006, 111):
Kepatuhan wajib pajak diidentifikasikan dari: (1). Kepatuhan Wajib
Pajak dalam mendaftarkan diri, (2). Kepatuhan Wajib Pajak untuk
menyetorkan Kembali SPT, (3). Kepatuhan dalam perhitungan dan
pembayaran pajak terutang, (4). Kepatuhan dalam pembayaran
tunggakan.
Kepatuhan wajib pajak adalah rasa bersalah dan rasa malu, persepsi
wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka
tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.

Sedangkan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 544/KMK.04/2000


dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 112):
Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam
pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentun
peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan
perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara.
Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Sony
Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 110)

sebagai: Suatu iklim

kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin


dalam situasi dimana:

34

Wajib Pajak Paham atau berusaha untuk memahami semua


ketentuan perundang-undangan perpajakan,

Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.

Menghitung pajak yang terhitung dengan benar.

Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.


Menurut Safri Nurmantu dalam Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu

(2006, 110):
Kepatuhan Wajib Pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan
sebagai suatu keadaan di mana Wajb Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

2.1.1.11. Jenis-Jenis Kepatuhan


Menurut nurmantu (2003) dalam Widi Widodo (2010, 68), terdapat dua
macam jenis kepatuhan, yaitu:.
1. Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak
memenuhi kewajibannya secara formal sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak
secara substantif (hakekat) memenuhi semua ketentuan material
perpajakan , yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang
perpajakan.

Menurut Widi Widodo (2010, 71), Pengukuran kepatuhan pajak baik


secara formal maupun material lebih kepada kesadaran seorang individu sebagai
warga negara untuk melakukan kewajibannya bagi kemajuan bangsanya. Dengan
tingginya tingkat kepatuhan maka pendapatan dari sektor pajak akan semakin
meningkat sehingga mempelancr pembangunan bangsa. Dari hasil penelitian

35

kepatuhan secara formal diperlihatkan melalui tingginya angka kesadaran Wajib


Pajak untuk membayar dan melaporkan pajak secara tepat waktu. Sedangkan pada
aspek kepatuhan material ditunjukan dengan kecilnya angka tunggakan pajak
yang dilakukan oleh wajib pajak.
2.1.1.12. Kriteria Wajib Patuh
Menurut Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 111),
mengemukakan bahwa:
(1). Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak,
kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak.
(2). Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak
pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu sepuluh tahun
terakhir.
(3). Dalam hak pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang
terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian
sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan
auditnya harus disusun dalam bentuk panjang yang menyajikan
rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal Undangundang Perpajakan laporan keuangan nya tidak diaudit oleh
Akuntan Publik, disyaratkan untuk memenuhi ketentuan.
Adapun indikator Kepatuhan Wajib pajak yaitu perbandingan antara
jumlah SPT wajib pajak orang pribadi yang lapor dengan jumlah wajib pajak
orang pribadi yang terdaftar. Kepatuhan Wajib Pajak dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Kepatuhan Wajib Pajak =

Jumlah SPT yang lapor


Jumlah Wajib Pajak terdaftar

36

2.1.5.

Ruang Lingkup Pencairan Tunggakan Pajak

2.1.2.1. Pengertian Tunggakan Pajak


Dalam rangka mendukung tercapainya rencana penerimaan pajak, perlu
dilaksanakan intensifikasi kegiatan penagihan pajak secara terpadu, profesional dan
berhasil guna. Oleh karena itu, perlu diupayakan pengurang tunggakan pajak secara
optimal melalui peningkatan kegiatan operasional penagihan.

Pengertian tunggakan pajak dan utang pajak yang dikemukakan oleh Djoned
Gunadi M (2005, 249), adalah sebagai berikut:
Tunggakan Pajak Yaitu utang pajak yang tidak atau kurang dibayar
pada saat jatuh tempo dan berakhir pada saat terjadinya pencairan
tunggakan pajak tersebut, oleh karena itu dalam pelunasan
tunggakan pajak di dalamnya terkandung pula:
a. sanksi administrasi bunga penagihan, dan
b. biaya penagihan yaitu biaya yang dikeluarkan negara untuk
melakukan pelaksanaan tindakan penagihan pajak, dapat
meliputi:
biaya pemberitahuan Surat Paksa;
biaya pelaksanaan Surat Perintah Pelaksanaan
Penyitaan;
biaya pengumuman lelang;
biaya tambahan penagihan pajak sebesar 1% (satu
persen) dari nilai lelang;
biaya lain-lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
penagihan pajak dengan sendirinya macam dan
besarnya biaya penagihan adalah sampai sejauh mana
pelaksanaan penagihan pajak tersebut dilakukan
sampai dengan Penanggung Pajak melunasi utang
pajaknya.
Utang pajak yaitu pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum
dalam Surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan- Pasal 1 angka
8 UU PPSP. Dari ketentuan ini nampak bahwa pengetian utang pajak
hanya ada di Surat Ketetapan Pajak, oleh karena pengaturan
pengertiannya pun dalam UU. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
(PPSP).

37

Menurut Siti Resmi (2007, 40) pengertian tunggakan pajak adalah:


Tunggakan pajak adalah jumlah piutang pajak yang belum lunas
sejak dikeluarkannya ketetapan pajak, dan jumlah piutang pajak
yang belum lunas yang sebelumnya dalam masa tagihan pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan dan Putusan
Banding

2.1.2.2. Pengertian Pencairan Tunggakan Pajak


Pengertian cair disini mengandung dua pengertian dimana sampai dengan
lunas atau bahkan sudah tidak dapat dilakukan penagihan lagi dengan kata lain
dihapuskan. Sedangkan pengertian lunas memiliki dua pengetian yakni dengan
cara dibayar lunas, baik dibayar dengann uang tunai maupun melalui pembukuan
atau dengan cara penjualan sita lelang atas barang-barang milik penanggung
pajak. Utang pajak diusulkan dihapuskan apabila tidak ada lagi kemampuan
penanggung pajak dalam membayar utang pajak dan tidak adalagi objek sitanya.
Pengertian pencairan tunggakan pajak yang dikemukakan oleh Waluyo dan
Ilyas Wirawan B. (2003, 64), adalah sebagai berikut:
Pencairan tunggakan pajak adalah jumlah pembayaran atas tunggakan
pajak yang dapat terjadi karena:

1. Pembayaran dengan menggunakan Surat Setoran Pajak untuk


pelunasan piutang pajak yang terdaftar dalam STP/ SKPKB/
SKPKBT/ SK Pembetulan/ SK Keberatan/ Putusan Banding yang
mengakibatkan bertambahnya jumlah piutang pajak.
2. Pemindahbukuan. Sebenarnya wajib pajak sudah membayar
utang pajaknya, tapi salah nomor rekening sehingga dianggap
belum melunasi utangnya. Oleh karena itu, dilakukan
pemindahbukuan.
3. Pengajuan permohonan pembetulan yang dikabulkan atas Surat
Teguran/ Surat Peringatan/ Surat lain yang sejenis, Surat
Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, SPMP, Surat
Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat
Penentuan harga Limit yang dalam perhitungannya terdapat

38

kesalahan atau kekeliruan yang mengakibatkan berkurangnya


jumlah piutang pajak.
4. Pengajuan Keberatan/ Banding yang dikabulkan atas SKPKB/
SKPKBT yang mengakibatkan berkurangnya jumlah piutang
pajak.
5. Penghapusan Piutang. Dilakukan karena piutang pajak sudah
tidak mungkin lagi ditagih penyebabnya antara lain karena wajib
pajak dan atau penanggung pajak sudah meninggal dunia dan
tidak mempunyai harta warisan, wajib pajak dan atau
penanggung pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi dan hak
untuk melakukan penagihan pajak sudah daluarsa.
6. Wajib pajak pindah yang artinya wajib pajak pindah alamat dan
tidak dapat ditemukan lagi.

2.1.2.3. Mekanisme Pencairan Tunggakan


Mekanisme

pencairan

tunggakan

pajak

menurut

undang-undang

perpajakan yaitu, pembayaran surat setoran pajak (SSP), pemindahbukuan, dan


pengurangan/ penghapusan utang pajak.
Pembayaran

surat

setoran

pajak

merupakan

pembayaran

pajak

menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Pengertian surat setoran pajak (SSP)
menurut Resmi Siti (2011, 31), menyatakan bahwa:
Surat Setoran Pajak merupakan surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak
yang terutang ke kas negara atau ketempat pembayaran lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pengertian surat setoran pajak (SSP) menurut Undang-Undang No. 28
Tahun 2007 menyatakan bahwa:
Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau
penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan
formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas nagara melalui
tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

39

Pengertian

pemindahbukuan

menurut

Waluyo

(2000,

71):

Pemindahbukuan adalah pembayaran pajak yang seharusnya tidak


terutang tapi dinyatakan dalam Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak
(SKKPP) karena adanya kesalahan pencatatan.
Pengertian penghapusan utang menurut Panca Kurniawan dan Bagus
Pamungkas (2006, 8) dalam Ivana (2007), menyatakan bahwa:
Penghapusan utang adalah utang pajak dapat dihapuskan karena
terdapat surat ketetapan pajak dalam hal terjadinya pembatalan
surat ketetapan pajak, maka secara hukum untuk menagih pajak
telah hilang, oleh karena itu utang pajak harus dihapuskan.
Pengertian penghapusan utang menurut Resmi Siti (2003, 13), menyatakan
bahwa:
Penghapusan utang adalah kewajiban pajak oleh wajib pajak
tertentu dinyatakan hapus oleh fiskus karena setelah dilakukan
penyidikan dipandang perlu bahwa wajib pajak tidak mampu lagi
memenuhi kewajibannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Menteri Keuangan
mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak
yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal
dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang
telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi
sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa.
Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak
yang akan dapat ditagih atau dicairkan

40

Adapun indikator pencairan tunggakan pajak yaitu perbandingan antara


jumlah tunggakan pajak yang dibayar dengan saldo awal tunggakan pajak.
Pencairan tunggakan pajak dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pencairan Tunggakan Pajak =

2.1.6.

Jumlah tunggakan yang dibayar


Saldo awal tunggakan

Ruang Lingkup Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

2.1.3.9. Pengertian Penerimaan Pajak


Pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh negara kita tidak terlepas
dari peran aktif dari pajak, karena sektor pajak telah menjadi penerimaan bagi
negara yang cukup kompeten. Penerimaan atau pendapatan adalah suatu hasil
yang ingin dicapai oleh setiap perusahaan secara optimal.
Menurut

John Hutagaol (2007, 325) dalam Lina Rahmawatin (2011),

penerimaan pajak adalah: ...sumber penerimaan yang dapat diperoleh secara


terus-menerus dan dapat dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan
pemerintah serta kondisi masyarakat.
Adapun pengertian penerimaan pajak menurut Suryadi dalam internet
http://www.bppk.depkeu.go.id/artikelvol4no1_suryadi.pdf

penerimaan pajak

adalah: ...sumber pembiayaan negara yang dominan baik untuk belanja rutin
maupun pembangunan.
Penerimaan pajak berasal dari pusat dan daerah yang merupakan hasil
pungutan dari wajib pajak. Jika kontribusi pajak dari rakyat ke negara lancar,
maka pembangunan menjadi lancar dan berjalan secara continue.

41

2.1.3.2. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)


Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Siti Resmi (2011:74):
Pengertian Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap
subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
suatu tahun pajak.
Menurut Subekti dan Asrori dalam Dina Fitriani (2009, 139), pengertian
Pajak Penghasilan adalah: ...pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi
atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya selama satu tahun.
Menurut Erly Suandy (2011, 36):
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan,
dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka
waktu tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.

2.1.3.3. Subjek Pajak Penghasilan


Subjek Pajak Penghasilan menurut Siti Resmi (2011, 75):
Segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan
dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan.
Berdasarkan lokasi geografis, subjek pajak dapat dibedakan menjadi dua
menurut Siti Resmi (2011, 76):
1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:
- Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang
berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
untuk bertempat tinggal di Indonesia.

42

- Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,


meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan
lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama
dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundangundangan
Pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah
Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
- Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
- Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima
atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia.
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 36 Tahun 2008 yang dikutip oleh Siti Resmi
(2011, 78), yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah:
1. Kantor perwakilan negara asing;
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan
kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersamasama mereka, dengan syarat:
Bukan warga Negara Indonesia; dan
Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan
lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut; serta
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal
balik;

43

3. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan


Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
tidak menjalankan usaha; atau
kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota;
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
Bukan warga negara Indonesia; dan
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.1.3.4. Objek Pajak Penghasilan


Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau
keadaan) yang dikenakan pajak. Menurut Siti Resmi (2011, 79), Objek Pajak
Penghasilan adalah: ...penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis subjek pajak,
menurut Siti Resmi (2011, 80), penghasilan dapat dikelompokan menjadi :
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan
bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktik dokter,
notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta
tak gerak seperti binga, dividen, royalti, sewa, keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha,
dan lain sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain
sebagainya.

44

2.1.3.5. Penghasilan yang Dikenakan Pajak


Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 36 tahun 2008 dikutip oleh Siti Resmi (2011,
80), Penghasilan yang dikenakan pajak, antara lain :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan
dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain alam UndangUndang Pajak Penghasilan;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan
penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal
- Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu atau anggota
- Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran,
pemecahan atau pengambilalihan usaha
- Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan
atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara
pihakpihak yang bersangkutan
- keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan,
atau
permodalan
dalam
perusahaan
pertambangan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya;
f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi ;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

45

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;


k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan;
s. Surplus Bank Indonesia.

2.1.3.6. Penghasilan yang Tidak Dikenakan Pajak


Penghasilan yang tidak dikenakan pajak menurut Siti Resmi (2011, 84),
dikutip dari Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, yaitu :
1.

2.
3.
4.

a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh


badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia;
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan
atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil
termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
Warisan;
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang dikenakan
pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma

46

penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 15 UU PPh;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
- Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
- Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari
jumlah modal yang disetor;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
- Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
- Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:
- Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib
Pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan
formal/ nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri
maupun luar negeri;
- Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik,
komisaris, direksi atau pengurus dari wajib pajak pemberi
beasiswa;
- Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang
dibayarkan ke sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang
berkaitan dengan bidang studi yang diambil, biaya untuk

47

pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar sesuai


dengan daerah lokasi tempat belajar;
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi
yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk
sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
(empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Peenyelenggara jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

2.1.3.7. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Tarif pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat dilihat pada
tabel 2.1:
Tabel 2.1
Tarif Pajak Wajib Orang Pribadi
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
s/d Rp. 50.000.000
5%
Di atas Rp.50.000.000 s/d Rp.250.000.000
15%
Di atas Rp.250.000.000 s/d Rp.500.000.000
25%
Di atas Rp. 500.000.000
30%
Sumber : undang-undang no.36 tahun 2008
2.1.3.8.Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan

Tidak

Kena

Pajak

(PTKP)

merupakan

pengurangan

penghasilan neto yang diperkenankan oleh undang-undang Nomor 7 tahun 1983


stdtd Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan. PTKP
hanya diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi/perseorangan sesuai pasal 6
ayat (3) UU PPh.
Tidak ada pengertian mengenai definisi penghasilan tidak kena pajak atau
dalam bahasa inggris disebut Personal Exempation. Namun karena PTKP hanya

48

diberikan kepada orang pribadi yang membutuhkan biaya hidup sehari-hari dan
tidak diberikan kepada Wajib Pajak Badan, maka PTKP dapat diartikan sebagai
biaya hidup minimal yang dibutuhkan orang pribadi atau perseorangan yang
ditentukan UU PPh.
Penghasilan Tidak Kena Pajak atau PTKP telah diatur dalam Pasal 7 UU
PPh yang menjelaskan keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus
yang menjadi tanggungan sepenuhnya antara lain orang tua, mertua, anak
kandung dan anak angkat. Sedangkan anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan
seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak. Mulai 1 Januari 2013 batas
Penghasilan tidak kena pajak ini atau yang disebut PTKP (Penghasilan Tidak kena
Pajak) dinaikkan menjadi Rp 24.300.000. Setelah berkonsultasi dengan wakil
rakyat di DPR pemerintah melalui Kemenkeu akhirnya menaikkan batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya PTKP diubah menjadi Rp 24.300.000
atau jika dihitung per bulannya adalah Rp 2.025.000. Sehingga setiap orang yang
mendapatkan penghasilan tidak lebih dari dua juta setiap bulannya dibebaskan
dari pengenaan pajak penghasilan.
Bagi mereka yang telah menikah, PTKP tersebut masih bertambah besar lagi.
Seorang kepala keluarga yang menanggung istri dan anak akan mendapat
tambahan PTKP masing-masing sebesar Rp 2.025.000/tahun. Untuk tanggungan
di perbolehkan dengan jumlah maksimal 3 orang. Sehingga seorang karyawan
atau pegawai yang telah menikah dan memiliki 3 anak kandung yang sepenuhnya

49

ditanggung biaya hidupnya mendapatkan PTKP sebesar Rp

32.400.000.

Selengkapnya perubahan PTKP ini dapat dilihat pada tabel 2.2 :


Tabel 2.2
Penghasilan Tidak Kena Pajak

TK, Lajang (tidak menikah)


TK1, Lajang dengan 1 tanggungan
TK2, Lajang dengan 2 tanggungan
TK3, Lajang dengan 3 tanggungan
K, Menikah tanpa tanggungan,:
K1, Menikah dengan tanggungan
K2, Menikah dengan 2 tanggungan
K3, Menikah dengan 3 tanggungan
Sumber : pajak.go.id

PTKP LAMA
Rp. 15.840.000,Rp. 17.160.000,Rp. 18.480.000,Rp. 19.800.000,Rp. 17.160.000,Rp. 18.480.000,Rp. 19.800.000,Rp. 21.120.000,-

PTKP BARU
Rp. 24.300.000,Rp. 26.325.000,Rp. 28.350.000,Rp. 30.375.000,Rp. 26.325.000,Rp. 28.350.000,Rp. 30.375.000,Rp. 32.400.000,-

Adapun Indikator Penerimaan Pajak Penghasilan dapat ditentukan melalui


suatu rumus sebagai berikut:
Penerimaan Pajak Penghasilan
2.2

Realisasi Penerimaan Pajak Penghasilan


Target Penerimaan Pajak Penghasilan

Kerangka Pemikiran
Pajak yang menjadi sumber penerimaan bagi Negara, mengikuti

perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi negara serta masyarakat dari Negara
tersebut. Tuntutan akan peningkatan penerimaan, penyesuaian struktur perpajakan
serta stabilisasi dan penyehatan ekonomi melalui pendekatan fiskal menjadi
alasan dari waktu ke waktu dilakukan reformasi perpajakan yaitu perubahan yang
mendasar disegala aspek perpajakan. Program reformasi perpajakan dapat berhasil
apabila menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem perpajakan yang
memiliki dua elemen dasar yang saling mempengaruhi, yaitu struktur pajak serta
mekanisme dan institusi yang mengatur administrasi perpajakan dan kepatuhan

50

perpajakan. Administrasi perpajakan diupayakan untuk merealisasikan peraturan


perpajakan dan penerimaan negara sebagai amanat APBN.
Menurut Siti kurnia rahayu (2010, 27) faktor-faktor yang mempengaruhi
Penerimaan Pajak, yaitu:
1. Kejelasan, Kepastian dan Kesederhanaan Peraturan Perundang
Undangan Perpajakan.
2. Kebijakan Pemerintah dalam Mengimplementasikan UndangUndang Perpajakan
3. Sistem Administrasi yang Tepat
4. Pelayanan
5. Kesadaran dan Pemahaman Warga Negara
6. Kualitas Petugas Pajak
2.2.1. Hubungan Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi
Menurut Safri Nurmantu yang dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia
Rahayu (2006:110):
Kepatuhan Wajib Pajak yaitu kepatuhan perpajakan yang didefinisikan
sebagai suatu keadaan di mana Wajb Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.

Berdasarkan

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

penerimaan

pajak,

kepatuhan wajib pajak termasuk dalam faktor Kesadaran dan pemahaman Warga
Negara. Dengan mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi
akan

memberi

keikhlasan

masyarakat

untuk

patuh

dalam

kewajiban

perpajakannya dan dengan pengetahuan yang cukup yang diperoleh karena


memiliki tingkat pendidikan yang tinggi tentunya juga dapat memahami bahwa

51

dengan tidak memenuhi peraturan maka akan menerima sanksi baik sanksi
administrasi maupun pidana fiskal..
Kepatuhan pajak merupakan persoalan laten dan aktual yang sejak dulu ada
di perpajakan. Di dalam negeri, rasio kepatuhan Wajib Pajak yang menjadi
indikator kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban
perpajakannya dari tahun ke tahun masih menunjukan presentase yang tidak
mengalami peningkatan secara berarti. Hal ini didasarkan jika kita melihat
perbandingan jumlah wajib pajak yang memenuhi syarat patuh di Indonesia
sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah Wajib Pajak terdaftar.
Menurut Widi widodo (2010, 71) mengungkapkan bahwa :
Dengan tingginya tingkat kepatuhan maka pendapatan dari sektor pajak
akan semakin meningkat sehingga mempelancr pembangunan bangsa
Menurut Sony Devano dan Siti kurnia Rahayu (2006, 114):
Jika semua wajib pajak di Indonesia berpredikat patuh maka akan
berimplikasi pada optimalisasi penerimaan Pajak. Maka efeknya pada
penerimaan negara yang bertambah besar.
Dengan demikian bahwa dengan Tingkat kepatuhan wajib pajak yang tinggi
akan meningkatkan penerimaan pajak. Berdasarkan uraian di atas maka penulis
merumuskan hipotesis pertama sebagai berikut;
Hipotesis 2: Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap nilai
Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

52

2.2.2. Hubungan Pencairan Tunggakan Pajak dengan Penerimaan Pajak


Penghasilan Orang Pribadi
Menurut Siti Resmi (2007, 40) pengertian tunggakan pajak adalah:
Tunggakan pajak adalah jumlah piutang pajak yang belum lunas
sejak dikeluarkannya ketetapan pajak, dan jumlah piutang pajak
yang belum lunas yang sebelumnya dalam masa tagihan pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan dan Putusan
Banding

Dengan kata lain tunggakan pajak merupakan pajak yang masih harus
dibayar oleh penanggung pajak atas kewajiban pajaknya, beserta dengan sanksi
administrasi yang dapat dikenakan atas kelalaian penanggung pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Berdasarkan

faktor-faktor

optimalisasi Penerimaan

yang

mempengaruhi

dan

menentukan

Pajak pencairan tunggakan pajak termasuk kedalam

faktor kesadaran dan pemahaman Warga Negara. Dengan mengutamakan


kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi akan memberi keikhlasan
masyarakat untuk patuh dalam kewajiban perpajakannya dan dengan pengetahuan
yang cukup yang diperoleh karena memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
tentunya juga dapat memahami bahwa dengan tidak memenuhi peraturan maka
akan menerima sanksi baik sanksi administrasi maupun pidana fiskal.
Menurut Waluyo (2000, 238):
Perkembangan

jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu


menunjukan jumlah yang sangat besar. Peningkatan jumlah
tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan
pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan dibidang
pajak semakin meningkat..

53

Menurut John Hutagaol (2007), dalam Lina Rahmawati:


Pajak terutang yang lalai dilunasi oleh Wajib pajak akan
terakumulasi menjadi tunggakan pajak yang berpotensi mengurangi
penerimaan pajak. Sehingga cenderung dapat berisiko untuk
berkurangnya pendapatan negara yang dapat mengakibatkan defisit
APBN secara tidak langsung. Oleh karena itu, perlu dilakukannya
pelunasan tunggakan pajak agar penerimaan pajak bisa menjadi
optimal.
Untuk itu hasil pencairan tunggakan pajak atau penerimaan pajak dapat
digunakan untuk membiayai pembangunan yang bersifat umum, artinya
pembangunan untuk kepentingan rakyat banyak agar seluruh masyarakat
Indonesia dapat menikmatinya dimasa yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merumuskan hipotesis kedua
sebagai berikut;
Hipotesis 2: Pencairan Tunggakan berpengaruh terhadap Penerimaan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

Tabel 2.3
Tabel Penelitian Terdahulu

Nama Tahun Variabel Yang Diteliti Hasil Penelitian


Vania

2006

1. Kepatuhan Wajib Pajak


2. Pendapatan Perkapita
3. Penerimaan Pajak

Ivana

2007

1. NPWP OP
2. Pencairan Tunggakan
3. SSP diterima
4. Penerimaan Pajak

Yosefa

2011

1. Kepatuhan Wajib Pajak


2. Penerimaan Pajak

Secara parsial kepatuhan wajib


pajak dan pendapatan perkapita
berpengaruh positif signifikan
terhadap penerimaan pajak.
Secara Parsial npwp op, pencairan
tunggakan, dan ssp diterima
berpengaruh signifikan terhadap
penerimaan pajak.
Secara parsial kepatuhan wajib
pajak berpengaruh signifikan
terhadap penerimaan pajak

54

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka penulis menyusun


Paradigma Peneilitian yang disajikan pada gambar 2.1
Kepatuhan wajib pajak
(H1)
Jika semua wajib pajak di Indonesia
berpredikat patuh maka akan berimplikasi pada
optimalisasi penerimaan Pajak. Maka efeknya
pada penerimaan negara yang bertambah
besar.
Sony Devano dan Siti kurnia Rahayu (2006, 114)

Penerimaan Pajak Penghasilan


Orang Pribadi
(Y)

Pencairan Tunggakan Pajak


(H2)
Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari

waktu ke waktu menunjukan jumlah yang


sangat besar. Peningkatan jumlah tunggakan
pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan
kegiatan pencairannya, namun demikian
secara umum penerimaan dibidang pajak
semakin meningkat..
Waluyo (2000, 238)

Gambar 2.1
Paradigma Penelitian

2.3. Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diambil penulis, antara lain:
H1

Kepatuhan

Wajib

Pajak

berpengaruh

terhadap

penerimaan pajak penghasilan orang pribadi


H2

Pencairan

Tunggakan

penerimaan

pajak

Pajak

berpengaruh

penghasilan

orang

terhadap
pribadi.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Objek Penelitian
Objek penelitian merupakan sasaran untuk mendapatkan tujuan tertentu

mengenai suatu hal yang akan dibuktikan secara objektif. Dalam Penelitian ini,
objek penelitian yang digunakan penulis adalah kepatuhan wajib pajak, pencairan
tunggakkan pajak, dan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Penelitian
dilaksanakan pada KPP Pratama Bandung.

3.2 Unit Penelitian


Dalam penelitian ini, penulis menetapkan unit penelitian sesuai dengan
permasalahan yang diteliti adalah wajib pajak orang pribadi terdaftar di KPP
Pratama Bandung yaitu KPP Pratama Bandung Bojonagara, KPP Pratama
Bandung Cibeunying, KPP Pratama Bandung Cicadas, dan KPP Pratama
Bandung Karees.

3.3 Pendekatan Penelitian


Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui
pendekatan kuantitatif. Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif
asosiatif. Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis
data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah
terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang
berlaku untuk umum atau generalisasi.
55

56

Analisis asosiatif merupakan penelitian untuk mengetahui hubungan antara


dua variabel (atau lebih) tersebut. Di mana hubungan antara variabel dalam
penelitian akan dianalisis dengan menggunakan ukuran-ukuran statistika yang
relevan atas data tersebut untuk menguji hipotesis

3.4 Definisi Variabel Penelitian


Dalam penelitian ini penulis menggunakan variabel dependen Kepatuhan
Wajib Pajak dan Pencairan Tunggakan serta variabel independen Penerimaan
Pajak. Adapun definisi dari variabel diatas adalah sebagai berikut:
3.4.1.

Variabel Independen

a. Kepatuhan Wajib Pajak


Dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi dikemukakan Safri
Nurmantu yang dikutip oleh Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu (2006, 110),
kepatuhan wajib pajak adalah: ...kepatuhan perpajakan yang didefinisikan
sebagai suatu keadaan di mana Wajb Pajak memenuhi semua kewajiban
perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.
Adapun indikator yang penulis gunakan untuk mengukur variabel
kepatuhan wajib pajak adalah indikator yang digunakan oleh Vania Yuki
Widiyanti (2007), indikator tersebut yaitu perbandingan antara jumlah SPT wajib
pajak orang pribadi yang lapor dengan jumlah wajib pajak orang pribadi yang
terdaftar. Kepatuhan Wajib Pajak dapat dirumuskan sebagai berikut:
Kepatuhan Wajib Pajak =

Jumlah SPT yang lapor


Jumlah Wajib Pajak Terdaftar

57

b. Pencairan Tunggakan Pajak


Dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi menurut Waluyo dan
Ilyas Wirawan B. (2003, 64), pencairan tunggakan pajak adalah: ... jumlah
pembayaran atas tunggakan pajak yang terjadi karena pembayaran dengan
menggunakan

surat

setoran

pajak,

pemindahbukuan,

pengajuan

permohonan pembetulan yang dikabulkan, pengajuan keberatan/banding


yang dikabulkan, dan penghapusan piutang.
Adapun indikator yang penulis gunakan untuk mengukur variabel
pencairan tunggakan pajak adalah indikator yang digunakan oleh Ivana Puspa
Dewi (2007), Nilai Pencairaan Tunggakan dapat ditentukan melalui suatu rumus
sebagai berikut:
Pencairan Tunggakan Pajak =

3.4.2.

tunggakan pajak yang dibayar


saldo awal tunggakan

Variabel Independen

a. Penerimaan Pajak Penghasilan


Dalam penelitian ini penulis menggunakan definisi yang di kemukakan
oleh John Hutagaol (2007, 325) dalam Lina Rahmawati (2011), penerimaan pajak
adalah : ...merupakan sumber penerimaan yang dapat diperoleh secara terusmenerus dan dapat dikembangkan secara optimal sesuai kebutuhan
pemerintah serta kondisi masyarakat.
Adapun indikator yang penulis gunakan untuk mengukur variabel
Penerimaan Pajak Penghasilan adalah indikator yang digunakan oleh (Lina
Rahmawati, 2011), nilai penerimaan dapat dirumusakan sebagai berikut:
Penerimaan Pajak Penghasilan =

Realisasi Penerimaan Pajak Penghasilan


Target Penerimaan Pajak Penghasilan

58

3.5.

Operasionalisasi Variabel Penelitian


Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini adalah Kepatuhan Wajib

Pajak dan Pencairan Tunggakan Pajak sebagai variabel independen, Penerimaan


Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebagai variabel dependen, dapat dilihat dalam
Tabel 3.1:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
Variabel

Konsep Variabel

Indikator

Kepatuhan WajibKepatuhan Wajib Pajak adalah kepatuhan


Pajak
perpajakan yang didefinisikan sebagai

(X1)

suatu keadaan di mana Wajb Pajak

Skala
Rasio

= Jumlah SPT yang lapor


jumlah wajib pajak terdaftar

memenuhi semua kewajiban perpajakan


dan melaksanakan hak perpajakannya.
(Safri Nurmantu dalam Sony Devano dan
Siti Kurnia Rahayu (2006, 110))
Pencairan tunggakan pajak adalah jumlah
Pencairan
Tunggakan Pajak pembayaran atas tunggakan pajak yang

(X2)

terjadi

karena

menggunakan

pembayaran
surat

setoran

pemindahbukuan,
permohonan

dengan

Rasio
= tunggakan

pajak yang dibayat


saldo awal tunggakan

pajak,

pengajuan
pembetulan

dikabulkan,

yang
pengajuan

keberatan/banding yang dikabulkan, dan


penghapusan piutang.
(Waluyo dan Ilyas Wirawan B. (2003,
64))

Penerimaan
pajak (Y)

Penerimaan pajak merupakan sumber


penerimaan yang dapat diperoleh secara
terus-menerus dan dapat dikembangkan
secara optimal sesuai kebutuhan
pemerintah serta kondisi masyarakat.
(John Hutagaol (2007, 325) dalam Lina
Rahmawati (2011))

= Realisasi Penerimaan Pajak


Target Penerimaan Pajak

Rasio

59

3.6.

Populasi
Menurut Sugiyono (2012, 115) mendefinisikan populasi sebagai berikut:
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak terdaftar

di KPP Pratama Kota Bandung sebanyak 5 KPP. Dari populasi yang akan diambil
sejumlah tertentu sebagai sampel.
TABEL 3.2
KPP Yang Berada Di Kota Bandung Yang Menjadi Populasi
Nama Perusahaan

No.

3.7.

1.

KPP Pratama Bandung Bojonagara

2.

KPP Pratama Bandung Cibeunying

3.

KPP Pratama Bandung Cicadas

4.

KPP Pratama Bandung Karees

5.

KPP Pratama Bandung Tegallega

Teknik Sampling dan Sampel

3.7.1. Teknik Sampling


Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah teknik
Nonprobability Sampling. Nonprobability Sampling adalah teknik pengambilan
sampel yang tidak memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap umur
atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel Sugiyono (2012, 120).

60

Alasan pemilihan sampel dengan menggunakan purposive sampling


adalah karena tidak semua sampel memiliki kriteria sesuai dengan yang telah
penulis tentukan, oleh karena itu penulis memilih teknik purposive sampling
dengan menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu
yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian ini.
Adapun kriteria yang digunakan untuk penentuan sampel, yaitu:
-

KPP Pratama Kota Bandung yang menyajikan data tahunannya secara


berturut-turut selama tahun 2008 sampai 2011.
TABEL 3.3
HASIL PURPOSIVE SAMPLING
Keterangan

KPP yang berada di kota Bandung

Jumlah
5

Pelanggaran Kriteria :
1. KPP Pratama yang tidak menyajikan data tahunannya secara
berturut-turut selama tahun 2008 sampai 2011
KPP di kota Bandung yang terpilih menjadi Sampel

(1)
4

3.7.2. Sampel
Menurut Sugiyono (2012, 116), sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Berdasarkan kriteria yang dijelaskan di atas maka sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar
di KPP Pratama Bandung ada 4 (empat) KPP, adapun data yang digunakan
penulis selama 4 tahun yaitu mulai dari tahun 2008 sampai 2011 dengan jumlah
sebanyak 16 data.

61

TABEL 3.4
KPP Pratama di Kota Bandung Yang Menjadi Sampel
Nama Perusahaan

No.
1.

KPP Pratama Bandung Bojonagara

2.

KPP Pratama Bandung Cibeunying

3.

KPP Pratama Bandung Cicadas

4.

KPP Pratama Bandung Karees

3.8. Data Penelitian


3.8.1. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data sekunder yang bersifat
kuantitatif. Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan, laporan historis yang
telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan dan tidak dipublikasikan. Adapun
data sekunder yang akan diambil dalam penelitian ini adalah data kepatuhan
wajib pajak, data pencairan tunggakan, dan data penerimaan pajak orang pribadi
dengan menggunakan data-data yang telah tersedia di KPP Pratama Bandung,
antara lain KPP Bandung Bojonagara, KPP Bandung Cibeunying, KPP Bandung
Cicadas, dan KPP Bandung Karees, selanjutnya dilakukan proses analisa dan
interpretasi terhadap data-data tersebut sesuai dengan tujuan penelitian.
3.8.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh teori-teori yang mendukung
penelitian ini dengan cara mempelajari, meneliti, mengkaji, serta menelaah

62

literatur-literatur berupa buku, makalah, dan jurnal yang berhubungan


dengan topik penelitian. Laporan Penerimaan Pajak, laporan pencairan
tunggakan, dan laporan penyampaian SPT dari tahun 2008 sampai dengan
tahun 2011 yang diperoleh dari setiap KPP Pratama Bandung, antara lain
KPP Bandung Bojonagara, KPP Bandung Cibeunying, KPP Bandung
Cicadas, dan KPP Bandung Karees. Penulis juga melakukan browsing
pada situs-situs terkait untuk memperoleh tambahan literatur, jurnal, dan
data lainnya yang diperlukan.
b. Dokumentasi (Documentation)
Pengumpulan data dengan mempelajari dokumen-dokumen serta catatancatatan di bagian yang terkait dengan masalah yang diteliti.

3.9. Hipotesis Statistik


Berdasarkan pada alat statistik yang digunakan dan hipotesis penelitian,
maka peneliti menetapkan hipotesis. Hipotesis yang ditetapkan yaitu Hipotesis
Nol (Ho) dan Hipotesis alternatif (Ha). Ho adalah penetapan dugaan tidak ada
pengaruh antara kepatuhan wajib pajak dan pencairan tunggakan pajak terhadap
penerimaan pajak, sedangkan Ha adalah penetapan dugaan ada pengaruh antara
kepatuhan wajib pajak dan pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak
penetapan dugaan tersebut dinyatakan sebagai berikut, yaitu:
1. Kepatuhan Wajib Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi di KPP Pratama Bandung.
Ho1: = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak

63

penghasilan

orang

pribadi

di

KPP

Pratama

Bandung.
Ha1: 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara pencairan
tunggakan
penghasilan

pajak
orang

terhadap
pribadi

penerimaan
di

KPP

pajak
Pratama

Bandung.
2. Pencairan Tunggakan Pajak terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi di KPP Pratama Bandung.
Ho2: = 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara
pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan
pajak penghasilan orang pribadi di KPP Pratama
Bandung.
Ha2: 0 : Terdapat pengaruh yang signifikan antara pencairan
tunggakan
penghasilan

pajak
orang

terhadap
pribadi

penerimaan
di

KPP

pajak
Pratama

Bandung

3.10. Analisis Data


3.10.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah analisis yang digunakan untuk menganalisis data
dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk
umum atau generalisasi.

64

Tahap-tahap yang dilakukan untuk menganalisis kepatuhan wajib pajak,


pencairan tunggakan

dan penerimaan pajak dalam penelitian ini, dilakukan

dengan langkah-langkah sebagai berikut:


1. Kepatuhan Wajib Pajak
a.

Menentukan jumlah SPT dengan cara menjumlahkan Wajib Pajak


yang lapor.

b.

Menentukan jumlah wajib pajak terdaftar di ambil dari data laporan


jumlah wajib pajak orang pribadi yang mendaftarkan diri ke KPP.

c.

Menentukan kepatuhan wajib pajak orang pribadi menggunakan cara


membandingkan wajib pajak yang melaporkan SPT dengan Jumlah
wajib pajak terdaftar.

d.

Adapun kriteria kepatuhan wajib pajak dapat dilihat di tabel 3.2


Tabel 3.5
Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak

e.

Nilai

Tingkat kepatuhan

0% - 25%

Sangat Rendah

26% - 50%

Rendah

51% - 75%

Tinggi

76%- 100%

Sangat Tinggi

Nilai rata-rata (mean) dari kepatuhan wajib pajak adalah


menjumlahkan nilai kepatuhan seluruhnya dibagi dengan jumlah
datanya (jumlah tahun)

65

f.

Memberikan kesimpulan dengan cara membandingkan rata-rata


(mean) dengan kriteria.

2. Pencairan Tunggakan Pajak


a. Menentukan jumlah pencairan tunggakan dengan cara menghitung
semua tunggakan yang dibayar wajib pajak pada bulan tersebut.
b. Menentukan saldo awal tunggakan pajak di ambil dari data jumlah
tunggakan pajak akhir bulan sebelumnya yang dihitung dengan
cara jumlah tunggakan dikurangi dengan tunggakan yang dibayar
atau yang sudah dilakukan pencairan.
c.

Menentukan pencairan tunggakan pajak menggunakan cara


membandingkan tunggakan yang dibayar dengan saldo awal
tunggakan.

d. Adapun kriteria kepatuhan wajib pajak dapat dilihat di tabel 3.3:


Tabel 3.6
Kriteria Pencairan Tunggakan Pajak
Nilai

Tingkat Tunggakan

0% - 25%

Sangat Rendah

26% - 50%

Rendah

51% - 75%

Tinggi

76%- 100%

Sangat Tinggi

66

e. Nilai rata-rata (mean) dari pencairan tunggakan pajak adalah


menjumlahkan total pencairan tunggakan pajak dibagi dengan
jumlah datanya (jumlah tahun)
f. Memberikan kesimpulan dengan cara membandingkan rata-rata
(mean) dengan kriteria.
3. Penerimaan Pajak
a. Menentukan taget penerimaan yang dibuat oleh KPP Bandung
Cibeunying.
b. Menghitung realisasi penerimaan pajak yang diterima dari laporan
penerimaan pajak KPP Bandung Cibeunying.
c. Menentukan

jumlah

membandingkan

penerimaan

realisasi

penerimaan

pajak
pajak

dengan

cara

dengan

target

penerimaan pajak.
d. Adapun kriteria Penerimaan pajak.dapat dilihat di tabel 3.4
Tabel 3.7
Kriteria Penerimaan Pajak
Nilai

Tingkat Penerimaan

0% - 25%

Sangat Rendah

26% - 50%

Rendah

51% - 75%

Tinggi

76%- 100%

Sangat Tinggi

67

e. Nilai rata-rata (mean) dari penerimaan pajak adalah menjumlahkan


total penerimaan seluruhnya dibagi dengan jumlah data (jumlah
tahun).
f. Memberikan kesimpulan dengan cara membandingkan rata-rata
(mean) dengan kriteria.

3.10.2

Analisis Asosiatif
Penelitian asosiatif merupakan penelitian untuk mengetahui hubungan

antara dua variabel (atau lebih) tersebut. Di mana hubungan antara variabel dalam
penelitian akan dianalisis dengan menggunakan ukuran-ukuran statistika yang
relevan atas data tersebut untuk menguji hipotesis. Dalam analisis asosiatif
terdapat beberapa pengujian, antara lain:
A. Uji Pendahuluan (Uji Asumsi Klasik)
Ada beberapa pengujian yang harus dijalankan terlebih dahulu untuk
menguji apakah model yang dipergunakan tersebut mewakili atau mendekati
kenyataan yang ada. Untuk menguji kelayakan model regresi yang digunakan,
maka harus terlebih dahulu memenuhi uji asumsi klasik. Terdapat empat jenis
pengujian pada uji asumsi klasik ini, diantaranya

Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah distribusi
variabel terikat untuk setiap nilai variabel bebas tertentu berditribusi
normal atau tidak. Dalam model regressi linier, asumsi ini
ditunjukkan oleh nilai error () yang berdistribusi normal. Model

68

regresi yang baik adalah model regressi yang memiliki distribusi


normal atau mendekati normal, sehingga layak dilakukan pengujian
secara statistik. Pengujian normalitas data menggunakan Test of
Normality Kolmogorov-Smirnov dan juga digunakan grafik, yaitu
normal probability plot. Deteksi normalitas dengan melihat
penyebaran data (titik) pada sumber diagonal dari grafik dalam
program SPSS.
Dasar pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
Jika Dhitung < Dtabel maka tidak ada alasan untuk menggunakan data
tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Dengan pendekatan grafik :
a. Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.
b. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak
mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak
memenuhi asumsi normalitas.
Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada
sebuah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel
independen. Jika terjadi korelasi, maka dinamakan terdapat problem
multikolinieritas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi
korelasi

di

antara

variabel

independen.

Jika

terbukti

ada

69

multikolinieritas, sebaiknya salah satu dari variabel independen yang


ada dikeluarkan dari model, lalu pembuatan model regresi diulang
kembali (Singgih Santoso, 2012, 234). Untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinieritas dapat dilihat pada besaran Variance
Inflation Factor (VIF) dan Tolerance. Pedoman suatu model regresi
yang bebas multikolinieritas adalah mempunyai angka tolerance
mendekati 1. Batas VIF adalah 10, jika nilai VIF di bawah 10, maka
tidak terjadi gejala multikolinieritas.
Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu
observasi ke observasi yang lain, apabila kesalahan atau residual
dari metode yang diamati tidak memiliki varian yang konstan dari
suatu observasi ke observasi lainnya artinya setiap observasi
mempunyai realibilitas yang berbeda akibat perubahan kondisi yang
melatarbelakangi tidak terangkum dalam spesifikasi model. Untuk
menguji ada tidaknya heteroskedastisitas digunakan grafik plot.
Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk
pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian
menyepit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
Dan bila tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas
dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.

70

Uji Autokorelasi
Uji Autikorelasi bertujuan untuk menguji apakah terdapat
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pengganggu pada periode (t-1) dalam model regresi. Jika
terdapat korelasi maka model tersebut mengalami masalah
autokorelasi. Menurut Singgih Santoso (2012, 241), model regresi
yang baik adalah model yang bebas dari autokorelasi. Untuk
mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan uji statistik Durbin
Watson (DW test). Durbin Watson test dilakukan dengan membuat
hipotesis:
Ho : tidak ada autokorelasi (r = 0)
Ha : ada autokorelasi ( r 0)
Untuk mengambil keputusan ada tidaknya auto korelasi,ada
pertimbangan yang harus dipatuhi, antara lain :
a. Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi = 0, berarti tidak ada autokorelasi.
b. Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah (dl) maka koefisien
autokorelasi >0, berarti ada autokorelasi positif.
c. Bila nilai DW lebih besar dari (4-dl) maka koefisisen autokorelasi <0,
berarti terjadi autokorelasi negatif.
d. Bila nilai DW terletak antara (du) dan (dl) atau DW terletak antara
(4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.

71

Posisi angka Durbin-Watson dapat diperjelas pada gambar 3.1


Positive
Autocorelation

No
Decision

d1

No-auto
Corelation

du

No decision

4-du

Negative
autocorrelation

4-d1

Gambar 3.1

B. Uji Regresi dan Korelasi

Analisis Regresi Berganda

Dilakukan penelitian untuk mengetahui persamaan regresi hubungan


kepatuhan wajib pajak, pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak
Penghasilan orang pribadi.

+e

Dimana:
Y

= Jumlah Penerimaan Orang Pribadi (PPh)

= Konstanta

1, 2

= Koefisien regresi masing-masing variabel independen merupakan


besarnya perubahan variabel Y akibat pertumbuhan tiap unit
variabel X

X1

= Kepatuhan Wajib Pajak

X2

= Pencairan Tunggakan Pajak

= error (kekeliruan pengulangan dan pengaruh faktor lain)

72

Analisis Korelasi
-

Analisis Korelasi Parsial


Analisis korelasi parsial ini digunakan untuk mengetahui kekuatan

hubungan antara korelasi kedua variabel dan ukuran yang dipakai untuk
menentukan derajat atau kekuatan hubungan korelasi tersebut. Menurut Sugiyono
(2012, 216), pengukuran koefisien ini dilakukan dengan menggunakan koefisien
pearson correlation product moment, untuk menguji hubungan asosiatif atau
hubungan bila datanya berbentuk interval atau rasio. Adapun rumus dari korelasi
pearson ini adalah:

rxy =

{ (

) (

) (

)( )

) }{ (

Sumber: Sugiyono (2012, 248)

) ( ) }

Dimana:
r = Koefisien korelasi
x = Variabel independen
y = Variabel dependen
n = Banyak sampel
-

Analisis Korelasi Simultan


Analisis korelasi berganda digunakan untuk mengetahui seberapa erat

hubungan antara seluruh variabel independen dengan variabel dependen. Korelasi


koefisien tersebut didapat dengan rumus sebagai berikut:

Ryx1x2 =

r2 yx1+ r2 yx2

2r

yx1
2

2r

yx2

1-r x1x2
Sumber : Sugiyono (2012, 256)

73

Dimana :

Ryx1x2

= Korelasi antara variabel

x1 dengan x2 secara bersama-sama

dengan variabel Y

ryx1

= Korelasi product moment antara X1 dengan Y

ryx2

= Korelasi product moment antara X2 dengan Y

rx1x2

= Korelasi product moment antara x1 dengan x2


Untuk dapat memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang

ditemukan besar atau kecil, maka dapat berpedoman pada tabel 3.8:
Tabel 3.8
Kategori Koefisien Korelasi
Interval koefisien

Tingkat Hubungan

0.00 - 0.19

Sangat lemah

0.20 - 0.39

Lemah

0.40 - 0.59

Sedang

0.60 - 0.79

Kuat

0.80 - 1.00

Sangat kuat

sumber : Sugiyono (2012, 250)


C. Uji Hipotesis
Untuk menguji hipotesis, yaitu signifikasi variabel bebas (independen)
kepatuhan wajib pajak, pencairan tunggakan pajak terhadap variabel terikat
(dependen) penerimaan pajak penghasilan prang pribadi, akan dilakukan dengan
uji t untuk melihat pengaruh secara parsial dan uji statistik F untuk melihat
pengaruh secara simultan.

74

Uji secara parsial (Uji t)


Ho1: 1 = 0: tidak terdapat pengaruh secara parsial dari kepatuhan
wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan orang
pribadi di KPP Pratama Bandung.
Ha1: 1 0: terdapat pengaruh secara parsial dari kepatuhan wajib
pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi
di KPP Pratama Bandung.
Ho2: 1 = 0: tidak terdapat pengaruh secara parsial dari pencairan
tunggakan

pajak terhadap terhadap penerimaan pajak

penghasilan orang pribadi di KPP Pratama Bandung.


Ha2: 1 0: terdapat pengaruh secara parsial dari pencairan tunggakan
pajak terhadap terhadap penerimaan pajak penghasilan
orang pribadi di KPP Pratama Bandung.
Rumus t-statistik adalah sebagai berikut :
=
Dimana:
bi

= Koefisien regresi

Sbi

= Standar error koefisien regresi


Hasil yang diperoleh thitung dibandingkan dengan ttabel dan tingkat

signifikasi 95% ( = 0,05). Bila nilai thitung > ttabel atau nilai signifikasi < = 0,05
berarti variabel bebas mempunyai pengaruh secara parsial terhadap variabel tak

75

bebas dan bila nilai thitung < ttabel atau nilai signifikasi > = 0,05 berarti variabel
bebas tidak mempunyai pegaruh secara parsial terhadap variabel tak bebas.

Uji secara simultan (uji F)


Ho1 : 1, 2 = 0: tidak terdapat pengaruh secara simultan dari
seluruh variabel bebas (kepatuhan wajib pajak X1
dan pencairan tunggakan pajak X2) terhadap
variabel terikat (penerimaan pajak penghasilan
orang pribadi Y) di KPP Pratama Bandung.
Ha1 : 1, 2 0: terdapat pengaruh secara simultan dari seluruh
variabel bebas (kepatuhan wajib pajak X1 dan
pencairan tunggakan pajak X2) terhadap variabel
terikat (penerimaan pajak penghasilan orang pribadi
Y) di KPP Pratama Bandung.

Rumus uji F-statistik adalah sebagai berikut :

Dimana:

/
)/ (

= Pendekatan distribusi penerimaan

= Banyaknya pengamatan (ukuran sampel)


= Koefisien determinasi
= Kategori variabel
Hasil yang diperoleh Fhitung dibandingkan dengan Ftabel dan tingkat

signifikasi 95% ( = 0,05). Bila nilai Fhitung > Ftabel atau nilai signifikasi < = 0,05
maka variabel bebas mempunyai pengaruh secara simultan terhadap variabel tak

76

bebas dan bila nilai Fhitung < Ftabel atau nilai signifikasi > = 0,05, maka variabel
bebas tidak mempunyai pegaruh secara simultan.
D. Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi menerangkan kemampuan variabel bebas (X)
mempengaruhi variabel tidak bebas (Y). Semakin besar koefisien determinasi
menunjukan semakin baik kemampuan variabel bebas (X) menerangkan variabel
tidak bebas (Y). Rumusnya adalah:
Kd = r2 x 100%
Dimana :
KD = Koefisien determinasi
r2 = Jumlah kuadrat dan koefisien korelasi

3.11 Model Penelitian


Model penelitian merupakan abstraksi dari fenomena-fenomena yang
sedang diteliti. Dalam hal ini model penelitian mengenai Pengaruh Tunggakan
Pajak Penghasilan dengan Menggunakan Metode Gross Up Terhadap Efisiensi
Pajak Penghasilan Badan dapat dilihat pada gambar 3.1:

Kepatuhan Wajib Pajak

(H1)
Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi

(H3)
(H2)
Pencairan Tunggakan Pajak

Gambar 3.2 Model Penelitian

77

Bila dijabarkan secara matematis, maka hubungan dari variabel-variabel


tersebut adalah sebagai berikut:
Y = f (X1,X2)
Di mana:
Y = Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
X1 = Kepatuhan Wajib Pajak
X2= Pencairan Tunggakan Pajak
f = Fungsi
Maksud dari model di atas adalah bahwa Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi (X1) dipengaruhi oleh Kepatuhan Wajib Pajak (X1) dan Pencairan
Tunggakan Pajak (X2). Dengan kata lain bahwa Y adalah fungsi dari X atau Y
dipengaruhi oleh X.

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1

Hasil Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Kota


Bandung
Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Wajib
Pajak Orang Pribadi yang berada di Wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Kota Bandung tahun 2008-2011. Di wilayah Kota Bandung terdapat 5 KPP Pada
saat ini, akan tetapi setelah dilakukan purposive sampling maka diperoleh sampel
yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini sebanyak 4 KPP. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari setiap
masing-masing KPP. Berikut akan disajikan profil singkat dari Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Kota Bandung yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

1) Sejarah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Kota Bandung


Kantor Pelayanan Pajak Wilayah Kota Bandung merupakan unsur
pelaksana Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas untuk melaksanakan kegiatan
operasional

pelayanan

perpajakan di

bidang Pajak Penghasilan, Pajak

Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Tidak
Langsung lainnya. Umumnya dalam daerah wewenangnya berdasarkan kebijakan
teknis yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

78

79

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian pada 4 Kantor Pelayanan


Pajak Pratama yang berada di wilayah Kota Bandung. Maka pada sub bab ini akan
menjelaskan sejarah pada masing-masing Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
Sejarah pajak mula-mula berasal dari negara Perancis pada zaman pemerintahan
Napoleon Bonaparte, yang pada zamannya beliau terkenal dengan nama Cope
Napoleon. Pada masa itu negara Belanda dijajah oleh negara Perancis. Sistem
pajak yang diterapkan Perancis kepada Belanda diterapkan pula oleh Belanda
kepada Indonesia pada saat Belanda menjajah Indonesia, yang pada saat itu
dikenal dengan Oor Logs-Overgangs Blasting (Pajak Penghasilan). Konsep
pajak itu kemudian dibuat pada tahun 1942 di Australia disaat Indonesia masih
diduduki tentara Jepang. Maksud dari peralihan mengenai pajak ini merupakan
suatu peraturan yang dibuat untuk mempersiapkan bilamana dikemudian hari
penjajah Jepang ditarik kembali dari Indonesia.
Pemungutan pajak ini oleh pemerintah Belanda dilaksanakan oleh suatu
badan yaitu Deinspetie van Vinancian, yang kemudian diganti dengan nama
Zeinenbu oleh pemerintah Jepang pada tanggal 15 maret 1942. Lima bulan
kemudian, 15 Agustus 1942, nama tersebut diubah menjadi Kantor Inspeksi
Keuangan dan berkantor di Gedung Concordia (sekarang Gedung Merdeka)
Jalan Asia Afrika. Pada tanggal 21 Agustus 1947 bersamaan dengan Agresi
Militer Belanda I, Kantor Inspeksi Keuangan Bandung dipindahkan ke Bandung
Selatan di Kabupaten Soreang, bersama-sama dengan Tentara Keamanan Rakyat
berevakuasi.

80

Setelah Agresi Militer Belanda II meyerang lagi pada tanggal 19


Desember

1948,

Kantor

Inspeksi

Keuangan

Bandung

dipindahkan

ke

Tasikmalaya. Bersamaan dengan kejadian tersebut, kekuasaan Republik Indonesia


terpecah menjadi dua yaitu:
a. Kelompok Coorvorative, yaitu kelompok anti republic yang tidak ikut
evakuasi dan yang bekerja sama dengan NICA
b. Kelompok Non-Coorporative, yaitu kelompok anti NICA bersama-sama
Republik Indonesia bergerilnya didaerah kantong-kantong yang tidak
dikuasai oleh Belanda.
Setelah berakhirnya Agresi Militer Belanda II, Kantor Inspeksi Keuangan
Bandung

yang

berada

di

Tasikmalaya

dibubarkan

dan

kedudukannya

dikembalikan ke Bandung pada tanggal 17 Desember 1947. Kantor Inspeksi


Keuangan Bandung pada saat itu diserahterimakan oleh menteri yang pertama,
Bapak Safrudin Prawiranegara, dan kemudian menteri negara ini menunjuk Bapak
Sahid Koesoemosarminto sebagai kepala Kantor Inspeksi Keuangan Bandung
yang pertama, periode 1947-1950, berkantor di km 0 (Groofpostweg), saat ini di
Jalan Asia Afrika Nomor 114 Bandung.
Pada tanggal 17 Desember 1975 Inspeksi Keuangan Belanda dengan
keputusan Menteri Keuangan diganti menjadi Inspeksi Pajak Bandung.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 141/KMK.01/1979 tanggal 6
April 1979 Inspeksi Pajak Bandung mulai 1 Januari 1980 dipecah menjadi 2 yaitu:
1. Inspeksi Pajak Bandung Timur yang beralamatkan di Jalan Asia Afrika
nomor 114 Bandung

81

2. Inspeksi Pajak Bandung Barat yang beralamatkan di Jalan Purnawarman


nomor 21 yang kemudian pada tanggal 1 Januari 1981 pindah menempati
gedung baru yang beralamatkan di Jalan Soekarno-Hatta sampai saat ini.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
Kep-48/KMK.01/1988 tanggal 19 Januari 1988 dibentuklah kantor baru yang
diberi nama Kantor Inspeksi Bandung Tengah beralamat di Jalan Purnawarman
No.21 Bandung dengan Drs. Untung Rivai sebagai kepala kantornya. Sejak
berlakunya keputusan menteri keuangan tersebut maka di Bandung dibagi atas
tiga kantor inpeksi pajak, yaitu:
1. Kantor Insfeksi Pajak Bandung Timur
2. Kantor Insfeksi Pajak Bandung Tengah
3. Kantor Infeksi Pajak Bandung Barat
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
tanggal 23 Maret 1988 Nomor Kep-276/KMK/.01/1988, strukutr organisasi dan
tata kerja Direktorat Jendral Pajak di rombak dan berubah nama menjadi Kantor
Pelayanan Pajak (KPP). Dengan semakin pesatnya perkembangan wilayah, maka
dipandang perlu adanya pembagian wilayah kerja agar dapat dimaksimalisasi
penerimaan dari sektor pajak. Dalam perkembangan pada bulan April 2002,
kantor pelayanan pajak di wilayah Bandung telah menjadi enam KPP yakni :
1. Kantor Pelayanan Pajak Bojonegara, Jalan Ir. Sutami No.1
2. KPP Bandung Karees, Jalan Kiaracondong No.372
3. KPP Bandung Tegallega, Jalan Soekarno Hatta No.2116
4. KPP Bandung Cimahi, Jalan Raya Barat No.574

82

5. KPP Bandung Cibeunying, Jalan Purnawarman No.2


6. KPP Bandung Cicadas, Jalah Soekarno Hatta No. 78

Namun Berdasarkan surat Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor


KEP.112/PJ/ 2007, tentang penerapan organisasi, tata cara dan saat mulai
beroperasinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan Kantor Pelayanan,
Penyuluhan, dan Konsultasi di lingkungn Kantor Wilayah Direktorat Janderal
Pajak Banten, Kanwil Jawa Barat I dan II tanggal 28 Agustus 2007, terhitung
mulai tanggal 9 Agustus 2007, Kantor Pelayanan Pajak di Bandung di bagi
menjadi:
1. KPP Bandung Tegallega di Jalan Soekarno-Hatta No. 216 Bandung.
2. KPP Bandung Karees di Jalan Kiaracondong No. 372 Bandung.
3. KPP Bandung Cibeunying di Jalan Purnawarman No. 21 Bandung.
4. KPP Bandung Bojonagara di Jalan Cipaganti No. 157 Bandung.
5. KPP Bandung Cicadas di Jalan Soekarno-Hatta No. 781 Bandung.

Adapun Visi dan Misi dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wilayah Kota
Bandung yaitu:
1. Visi
Menjadi model pelayanan masyarakat yang menyelenggarakan sistem dan
manajemen perpajakan kelas dunia, yang dipercaya dan dibanggakan
masyarakat.
2. Misi
A. Politik, Mendukung Demokrasi Bangsa

83

B. Kelembagaan, senantiasa memperbaharui diri, selaras dengan aspirasi


masyarakat dan teknokrasi perpajakan serta administrasi perpajakan
mutakhir
C. Fiskal, Menghimpun penerimaan dalam negeri dari sektor pajak yang
menunjang kemandirian pembiayaan pemerintah berdasarkan
undangundang perpajakan dengan tingkat efektivitas dan efesiensi yang
tinggi.
D. Ekonomi, Mendukung kebijaksanaan pemerintah dalam mengatasi
permasalahan ekonomi bangsa dengan kebijaksanaan yang minimizing
distortion.
Berikut adalah wilayah kerja dari 4 Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang
ada di Kota Bandung:
1. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cibeunying
Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying yang
berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak I Jawa Barat, yaitu:
1) Kecamatan Cibeunying Kaler
2) Kecamatan Cidadap
3) Kecamatan Coblong
4) Kecamatan Sumur Bandung
5) Kecamatan Bandung Wetan
6) Kecamatan Cibeunying Kidul

84

2. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bojonegara


Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonagara yang
berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak I Jawa Barat, yaitu:
1) Kecamatan andir
2) Kecamatan Cicendo
3) Kecamatan Sukasari
4) Kecamatan Sukajadi
3. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Karees
Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees yang
berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak I Jawa Barat, yaitu:
1) Kecamatan Kiaracondong
2) Kecamatan Lengkong
3) Kecamatan Regol
4) Kecamatan Batununggal
5) Kecamatan Margacinta
6) Kecamatan Rancasari
7) Kecamatan Bandung Kidul
8) Kecamatan Sumedang
4. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cicadas
Wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cicadas yang
berada dibawah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak I Jawa Barat, yaitu:
1) Kecamatan Mandalajati
2) Kecamatan Ujung Berung

85

3) Kecamatan Cibiru
4) Kecamatan Panyileukan
5) Kecamatan Cinambo
6) Kecamatan Arcamanik
7) Kecamatan Antapani
8) Kecamatan Buah Batu
9) Kecamatan Gede Bage

2)

Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Kota


Bandung
Struktur organisasi sangatlah penting karena dengan adanya struktur

organisasi dapat mempermudah pembagian tugas sesuai dengan bidang masingmasing. Adapun susunan organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
wilayah Kota Bandung sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 55/PMK.01/2007 tanggal 31 Mei 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2007 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak dan Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-112/PJ/2007 tanggal 09
Agustus 2007 tentang Penerapan Organisasi, Tata Kerja dan Saat Mulai
Operasinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan Kantor Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Banten, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I dan Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat II, saat mulai operasional Kantor
Pelayanan Pajak Pratama di wilayah Kota Bandung secara resmi adalah tanggal

86

28 Agustus 2007 dengan menjalankan pekerjaan berdasarkan stuktur organisasi


dan fungsinya sebagaimana telah ditetapkan.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di wilayah Kota Bandung memiliki
struktur organisasi yang terdiri dari:
1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
2. Sub Bagian Umum.
3. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan.
4. Seksi Pengolahan Data dan Informasi.
5. Seksi Pelayanan.
6. Seksi Pengawasan dan Konsultasi.
7. Seksi Pemeriksaan.
8. Seksi Penagihan.
9. Kelompok Jabatan Fungsional, yang terdiri dari:
a. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari sejumlah jabatan fungsional
yang terbagi dalam berbagai kelompok sesuai dengan bidang
keahliannya.
b. Setiap kelompok tersebut dikoordinasikan oleh pejabat fungsional
senior yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
c. Jumlah Jabatan Fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan
dan beban kerja.
d. Jenis dan jenjang jabatan fungsional diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

87

3)

Uraian Tugas Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung


Kantor Pelayanan Pajak Pratama merupakan salah satu badan pelaksana

Direktorat Jenderal Pajak di bidang pelayanan pajak yang berada di bawah


wewenang Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Kantor Pelayanan Pajak
Pratama di wilayah Kota Bandung mengklasifikasikan fungsi dan tugasnya
sebagai berikut:
1. Kepala Kantor Pelayana Pajak Pratama
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama bertugas untuk memberikan
penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan dalam pemeriksaan dan penagihan.
2. Sub Bagian Umum
Sub Bagian Umum memiliki fungsi dan tugas melaksanakan urusan
keuangan, kepegawaian, rumah tangga, tata usaha, dan perlengkapan.
3. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan
Seksi Ekstentifikasi Perpajakan mempunyai fungsi dan tugas melaksankan
pelaksanaan dan penatausahaan pengamatan potensi pajak, pendataan
subjek dan objek pajak, penilaian objek, dan kegiatan ekstentifikasi
perpajakan.
4. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
Seksi Pengolahan Data dan Informasi mempunyai fungsi dan tugas untuk
mengumpulakn dan mengolah data, menyajikan informasi perpajakan,
merekam dokumentasi perpajakan, mengurus tata usaha penerimaan pajak,
pengalokasian dan penatausahan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pelayana dukungan teknis

88

komputer, memantau aplikasi e-SPT dan e-Filling, serta menyiapkan


laporan kerja.
5. Seksi Pelayanan
Seksi

Pelayanan

mempunyai

fungsi

dan

tugas

melaksanakan

pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penetapan dan


penerbitan hukum pajak, penerimaan dan pengolahan surat pemberitahuan
dan surat lainnya, memberikan penyuluhan pajak, dan pelaksanaan registrasi
wajib pajak.
6. Seksi Pengawasan dan Konsultasi
Seksi Pengawasan dan Konsultasi memiliki fungsi dan tugas melaksanakan
pengawasan kepatuhan wajib pajak, memberikan bimbingan dan himbauan
pada wajib pajak konsulatsi teknis perpajakan kepada wajib pajak,
menyusun profil wajib pajak, analisis kinerja wajib pajak, rekonsilisasi data
wajib pajak dalam rangka intensifikasi, dan melakukan evaluasi hasil
banding.
7. Seksi Pemeriksaan
Seksi Pemeriksaan mempunyai fungsi dan tugas melaksanakan untuk
menyusun

rencana

pemeriksaan,

pengawasan

pelaksanaan

aturan

pemeriksaan, penerbitan dan penyaluran SP3, dan administrasi pemeriksaan


lainnya.

89

8. Seksi Penagihan
Seksi Penagihan memiliki fungsi dan tugas melaksanakan pelaksanaan dan
penatausahaan penagihan aktif, piutang pajak, penundaan angsuran
tunggakan pajak, dan usulan penghapusan piutang pajak.
9. Kelompok Jabatan Fugsional
Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai fungsi dan tugas untuk
melaksanakan koordinasi dengan seksi pemeriksaan pejabat fungsional,
penilai, dan berkoordinasi dengan seksi ekstentifikasi.

4)

Aktifitas dan Aspek Kegiatan Kantor Pelayanan Pajak Pratama di


Wilayah Kota Bandung
Kantor Pelayanan Pajak Pratama di wilayah Kota Bandung adalah instansi

vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Kepala Kantor Wilayah. Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
wilayah Kota Bandung mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan,
dan pengawasan wajib pajak di bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Tidak Langsung Lainnya, Pajak
Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah Bangunan dalam
wilayah wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-uandangan yang berlaku.
Dalam melakukan tugasnya Kantor Pelayanan Pajak Pratama di wilayah Kota
Bandung menyelenggarakan fungsi:

90

a. Pengumpulan, pencarian dan pengolahan data, pengamatan potensi


perpajakan, penyajian informasi perpajakan, pendataan objek dan subjek
pajak, serta penilaian objek Pajak Bumi dan Bangunan.
b. Penetapan dan penerbitan produk hokum perpajakan.
c. Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan
pengolahan Surat Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya.
d. Penyuluhan Perpajakan.
e. Pelaksanaan registrasi wajib pajak.
f. Pelaksanaan ekstensifikasi.
g. Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
h. Pelaksanaan pemeriksaan pajak.
i. Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak.
j. Pelaksanaan konsultasi perpajakan.
k. Pelaksanaan intensifikasi.
l. Pelaksanaan administrasi Kantor Pelayanan Pajak Pratama

4.1.2 Gambaran Data Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan


Pajak Pratama di Kota Bandung
Data mengenai kepatuhan Wajib Pajak pada keempat Kantor Pelayanan
Pajak Pratama di Kota Bandung yang menjadi sampel penelitian selama periode
2008-2011 dapat dilihat pada tabel 4.1

91

Tabel 4.1
Data Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di
Kota Bandung
Tahun 2008-2011
Wajib Pajak Jumlah Wajib Kepatuhan
No
KPP
Tahun
Lapor
Pajak
(%)
21,580
47,823
45.12
2008
28,380
73,035
38.86
2009
Bandung
1
Bojonagara
30,403
82,313
36.94
2010
32,007
88,841
36.03
2011
2008
26,471
45,559
58.10
2009
34,662
71,664
48.37
Bandung
2
Cibeunying
2010
26,933
83,222
32.36
2011
37,391
91,424
40.90
2008
7,397
43,634
16.95
2009
9,034
79,247
11.40
3
Bandung Cicadas
2010
29,781
97,887
30.42
2011
44,361
110,202
40.25
23,929
24,121
99.20
2008
34,165
48,074
71.07
2009
4
Bandung Karees
33,865
61,296
55.25
2010
34,692
70,177
49.44
2011
Sumber : KPP Pratama Bandung, data diolah

Persentase wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah


wajib pajak terdaftar di KPP Pratama Bojonagara setiap tahun terus menurun.
Persentase tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 45,12% dan terendah terjadi
pada tahun 2011 sebesar 36,03%. Rata-rata persentase wajib pajak di KPP
Pratama Bojonagara yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib
pajak terdaftar sebesar 39,23%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan di
KPP Pratama Bojonagara masuk ke dalam kriteria rendah. Di KPP Cibeunying
persentase wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib
pajak dari tahun 2008 sampai 2010 menurun, akan tetapi pada tahun 2011 terjadi
peningkatan, persentase paling tinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 58,10% dan

92

terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 32,36%. Rata-rata persentase wajib
pajak KPP Pratama Cibeunying yang melaporkan SPT dibandingkan dengan
jumlah wajib pajak terdaftar sebesar 44,93 %. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kepatuhan di KPP Pratama Cibeunying masuk ke dalam kriteria rendah.
Persentase wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib
pajak terdaftar di KPP Cicadas pada tahun 2009 mengalami penurunan tetapi pada
tahun-tahun berikutnya terus meningkat, persentase tertinggi terjadi pada tahun
2011 sebesar 40,25% dan terendah terjadi pada tahun 2009 sebesar 11,40% saat
terjadi penurunan. Rata-rata persentase wajib pajak KPP Pratama Cicadas yang
melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar sebesar
24,75%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan di KPP Pratama Cicadas
masuk ke dalam kriteria sangat rendah. Di KPP Pratama Karees persentase wajib
pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar
setiap tahun cenderung terus menurun, persentase tertinggi terjadi pada tahun
2008 sebesar 99,20% dan terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 49,44%. Ratarata persentase wajib pajak KPP Pratama Karees yang melaporkan SPT
dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar sebesar 68,74%. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan di KPP Pratama Karees masuk ke dalam
kriteria tinggi.

93

4.1.3

Gambaran Data Pencairan Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak


Pratama di Kota Bandung

Data mengenai pencairan tunggakan pajak pada keempat Kantor


Pelayanan Pajak Pratama di Kota Bandung yang menjadi sampel penelitian
selama periode 2008-2011 dapat dilihat pada tabel 4.2:
Tabel 4.2
Pencairan Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Kota
Bandung

No

KPP

Bandung
Bojonagara

Bandung
Cibeunying

Bandung
Cicadas

Bandung
Karees

Tahun
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011

Tunggakan yang
dibayar
5,972,300
8,933,589,900
9,876,602
2,756,804,032
11,493,673
1,298,466
4,838,036
17,061,839,769
168,463,059
344,815,403
3,293,722
70,164,623
10,790,654,321
4,121,851,111
2,232,714,320
6,291,185,751

Tunggakan Awal
6,949,700
11,391,594,705
11,541,837
5,297,620,100
15,988,196
11,586,143
14,609,885
23,918,203,565
535,507,368
531,423,559
77,055,256
181,259,342
12,412,675,992
15,001,551,692
9,523,478,380
8,880,119,633

Pencairan
(%)
85.94
78.42
85.57
52.04
71.89
11.21
33.11
71.33
31.46
64.89
4.27
38.71
86.93
27.48
23.44
70.85

Sumber : KPP Pratama Bandung, data diolah

Persentase tunggakan pajak yang dibayar dibandingkan dengan saldo awal


tunggakan pajak di KPP Pratama Bandung Bojonagara cenderung tidak tetap
setiap tahunnya berubah-ubah kadang naik kadang turun, pada tahun 2008
merupakan persentase yang tertinggi sebesar 85,94% dan pada tahun 2011
merupakan persentase paling terendah sebesar 52,04%. Rata-rata persentase di

94

KPP Pratama Bojonegara sebesar 75,49%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Bojonagara masuk ke dalam kriteria
tinggi. Di KPP Cibeunying persentase tunggakan pajak yang dibayar
dibandingkan dengan saldo awal tunggakan pajak pada tahun 2009 mengalami
penurunan, akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya persentase meningkat.
persentase paling tinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 71,89% dan terendah
terjadi pada tahun 2009 sebesar 11,21%. Rata-rata persentase di KPP Pratama
Cibeunying

sebesar 46,88%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencairan

tunggakan pajak di KPP Pratama Cibeunying masuk ke dalam kriteria rendah.


Persentase tunggakan pajak yang dibayar dibandingkan dengan saldo awal
tunggakan pajak di KPP Cicadas pada tahun 2009 meningkat tetapi pada tahun
berikutnya menurun. Persentase tertinggi terjadi pada tahun 2011 sebesar 64,89%
dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 4,27%. Rata-rata persentase
pencairan di KPP Pratama Cicadas sebesar 46,88%. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Cicadas masuk ke dalam
kriteria rendah. Di KPP Pratama Karees persentase tunggakan pajak yang dibayar
dibandingkan dengan saldo awal tunggakan pajak pada tahun 2009 dan 2010
mengalami penurunan akan tetapi pada tahun 2011 persentase meningkat.
Persentase pencairan tunggakan pajak tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar
86,93% dan terendah terjadi pada tahun 2011 sebesar 23,44%. Rata-rata
persentase di KPP Pratama Karees sebesar 52,17%. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat pencairan tunggakan pajak di KPP Pratama Cicadas masuk ke dalam
kriteria tinggi

95

4.1.4 Gambaran Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota


Bandung
Data mengenai penerimaan pajak pada keempat Kantor Pelayanan Pajak
Pratama di Kota Bandung yang menjadi sampel penelitian pada periode 20082011:
Tabel 4.3
Data Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Kota
Bandung
Penerimaan
No
KPP
Tahun
Realisasi
Target
(%)
2008
30,501,325,667
17,308,150,002
176.23
2009
25,629,877,636
32,632,296,993
78.54
Bandung
1
Bojonagara
2010
21,903,719,149
40,092,792,001
54.63
2011
23,247,793,987
29,436,462,799
78.98
2008
41,841,640,123
30,422,919,999
137.53
2009
36,738,731,909
43,841,957,995
83.80
Bandung
2
Cibeunying
2010
31,138,400,755
57,672,113,000
53.99
2011
55,643,509,063
46,577,407,902
119.46
2008
4,046,783,929
4,515,001,000
89.63
2009
6,267,554,258
8,592,283,999
72.94
3
Bandung Cicadas
2010
4,123,128,617
10,422,224,000
39.56
2011
5,256,661,332
13,011,936,115
40.40
2008
19,341,840,106
11,098,995,000
174.27
2009
19,937,505,947
17,012,572,000
117.19
4
Bandung Karees
2010
12,367,469,467
26,571,532,000
46.54
2011
16,335,270,151
33,438,238,771
48.85
Sumber : KPP Pratama Bandung, data diolah

Persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan di


KPP Pratama Bojonagara pada tahun 2009 dan 2010 menurun, tetapi pada tahun
2011 realisasi penerimaan pajak meningkat kembali, persentase tertinggi terjadi
pada tahun 2008 sebesar 176,23% dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar
54,63%. Rata-rata persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target

96

penerimaan di KPP Pratama Bojonagara sebesar 75,49%. Hal ini menunjukkan


bahwa tingkat penerimaan di KPP Pratama Bojonagara masuk ke dalam kriteria
tinggi. Di KPP Cibeunying persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan
target penerimaan dengan KPP Bojonagara 2009 dan 2010 menurun tetapi pada
tahun 2011 meningkat kembali, persentase paling tinggi terjadi pada tahun 2008
sebesar 137,53% dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 53,99%. Rata-rata
persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan di KPP
Pratama Cibeunying sebesar 46,88%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan di KPP Pratama Cibeunying masuk ke dalam kriteria rendah.
Persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan di KPP
Cicadas terus menurun setiap tahunnya, persentase tertinggi terjadi pada tahun
2008 sebesar 89,63% dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 39,56%. Ratarata persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan di
KPP Pratama Cicadas sebesar 34,83%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
penerimaan di KPP Pratama Cicadas masuk ke dalam kriteria rendah. Di KPP
Pratama Karees persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target
penerimaan tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan, tetapi di tahun 2011
mengalami kenaikan, persentase tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar
174,27% dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 46,54%. Rata-rata
persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan di KPP
Pratama Karees sebesar 52,17%. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penerimaan
di KPP Pratama Karees masuk ke dalam kriteria tinggi.

97

4.2

Pembahasan

4.2.1 Analisis Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak


Pratama di Kota Bandung
Dari tabel 4.4 dapat dilihat dari kriterianya bahwa rata-rata persentase
wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Kota Bandung cenderung rendah dan terus
menurun . Hanya pada KPP Bandung Karees dan Cibeunying yang terus
mengalami penurunan selama periode tahun 2008-2011. Namun bila dilihat dari
persentasenya di KPP Bandung Karees selalu lebih tinggi dibanding tiga KPP
lainnya selama periode tahun 2008-2011. Sebaliknya presentase di KPP Bandung
Cicadas merupakan yang paling rendah selama peride tahun 2008-2010.
Tabel 4.4
Tingkat Wajib Pajak Lapor Setiap Tahun
No

KPP

Bandung
Bojonagara

Bandung
Cibeunying

Bandung Cicadas

Bandung Karees

Tahun
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011

Wajib Pajak
Lapor (%)
45.12
38.86
36.94
36.03
58.10
48.37
32.36
40.90
16.95
11.40
30.42
40.25
99.20
71.07
55.25
49.44

Kriteria
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Sangat Rendah
Sangat Rendah
Rendah
Rendah
Sangat Tinggi
Tinggi
Tinggi
Rendah

98

Grafik perubahan tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada masing-masing


KPP, sebagai berikut:
120,00%
100,00%
80,00%
60,00%
40,00%

Bandung
Bojonagara

20,00%

Bandung
Cibeunying

0,00%
2008

2009

2010

2011

Gambar 4.1
Grafik Kepatuhan Wajib Pajak

Pada grafik di atas dapat dilihat secara berkelanjutan tingkat persentase


wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak
terdaftar di KPP Bandung Karees terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Hal ini disebebkan terus meningkatnya jumlah Wajib Pajak, namun yang melapor
cenderung tidak mengalami perubahan semenjak tahun 2009. Sebaliknya
persentase wajib pajak yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib
pajak terdaftar KPP Bandung Cicadas terus mengalami peningkatan selama
periode tahun 2008-2011. Berdasarkan data pada tabel 4.4, dapat dihitung nilai
statistik deskriptif untuk masing-masing Kantor Pelayanan Pajak yang meliputi
jumlah sampel (N), rata-rata sampel (mean), nilai maksimum, nilai minimum, dan
standar deviasi untuk variabel kepatuhan Wajib Pajak. Pada tabel 4.5 merupakan
data hasil dari pengolahan statistik deskriptif kepatuhan wajib pajak.

99

Tabel 4.5
Statistik Deskriptif Variabel Kepatuhan Wajib Pajak
Tahun 2008-2011
Descriptive Statistics
Kepatuhan WP
KPP

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

Bandung Bojonagara

39.2375

4.09524

36.03

45.12

Bandung Cibeunying

44.9325

10.94727

32.36

58.10

Bandung Cicadas

24.7550

13.05707

11.40

40.25

Bandung Karees

68.7400

22.26889

49.44

99.20

16

44.4163

20.70458

11.40

99.20

Total

Berdasarkan tabel deskriptif diketahui bahwa Persentase wajib pajak yang


melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar di keempat
KPP sangat bervariasi dengan tingkat persentase terendah sebesar 11,4% yaitu di
KPP Bandung Cicadas tahun 2009 dan persentase tertinggi sebesar 99,20% yang
terjadi pada KPP Bandung Karees pada tahun 2008. Secara rata-rata selama
periode tahun 2008-2011 persentase wajib pajak yang melaporkan SPT
dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar di KPP Bandung Karees
menjadi yang tertinggi (rata-rata = 66,74%) dan di KPP Bandung Cicadas menjadi
yang terendah (rata-rata = 24,75%). Secara keseluruhan persentase wajib pajak
yang melaporkan SPT dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar selama
periode tahun 2008-2011 pada keempat KPP di Kota Bandung rata-rata hanya
sebesar 44,42 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan di KPP
Pratama Kota Bandung masuk ke dalam kriteria rendah.

100

4.2.2 Analisis Pencairan Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak


di Kota Bandung

No

Tabel 4.6
Tingkat tunggakan Pajak dibayar Setiap Tahun
Tunggakan pajak
Kriteria
KPP
Tahun
dibayar (%)
85.94
Sangat Tinggi
2008
78.42
Sangat Tinggi
2009
Bandung
Bojonagara
85.57
Sangat Tinggi
2010
52.04
Tinggi
2011
71.89
2008
Tinggi
11.21
2009
Sangat Rendah
Bandung
Cibeunying
33.11
2010
Rendah
71.33
2011
Tinggi
31.46
2008
Rendah
64.89
2009
Tinggi
Bandung Cicadas
4.27
2010
Sangat Rendah
38.71
2011
Rendah
Sangat Tinggi
2008
86.93
Sangat Rendah
2009
27.48
Bandung Karees
Sangat Rendah
2010
23.44
Tinggi
2011
70.85

Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa persentase tunggakan pajak yang
dibayar dibandingkan dengan saldo awal tunggakan pada keempat Kantor
Pelayanan Pajak di Kota Bandung cenderung naik turun dari tahun ke tahun.
Bahkan penurunan dan kenaikannya terjadi secara drastis yang disebabkan oleh
perubahan jumlah saldoawal tunggakan setiap tahun juga sangat bervariasi. Pada
tahun 2008 persentase tertinggi di KPP Bandung Karees sebesar 86,93% dan
terendah di KPP Bandung Cicadas sebesar 31,46%. Kemudian pada tahun 2009
sebesar 78,42% dan 2010 sebesar 85,57% persentase tertinggi di KPP Bandung
Bojonagara dan terendah di KPP Bandung Cibeunying tahun 2009 sebesar

101

11,21% dan KPP Bandung Cicadas tahun 2010 sebesar 11,21%. Pada tahun 2011
persentase paling tinggi terjadi di KPP Cibeunying sebesar 71,33% dan terendah
terjadi di KPP Cicadas sebesar 38,71%. Grafik perubahan tingkat pencairan
tunggakan pajak pada masing-masing KPP, sebagai berikut:
100,00%
80,00%
60,00%
Bandung Bojonagara
Bandung Cibeunying
Bandung Cicadas
Bandung Karees

40,00%
20,00%
0,00%
2008

2009

2010

2011

Gambar 4.2
Grafik Pencairan Tunggakan Pajak

Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat persentase pada masing-masing


KPP terus mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Namun demikian tingkat
pencairan tunggakan pajak pada tiga KPP mengalami kenaikan pada tahun 2011.
Hanya tingkat pencairan tunggakan pajak pada KPP Bandung Bojonagara yang
mengalami penurunan pada tahun 2011. Selanjutnya berdasarkan data pada tabel
4.6, dapat dihitung nilai statistik deskriptif untuk masing-masing Kantor
Pelayanan Pajak yang meliputi jumlah sampel (N), rata-rata sampel (mean), nilai
maksimum, nilai minimum, dan standar deviasi untuk variabel tingkat pencairan
tunggakan pajak. Pada tabel 4.7 merupakan data hasil dari pengolahan statistik
deskriptif tunggakan pajak.

102

Tabel 4.7
Statistik Deskriptif Variabel Pencairan Tunggakan pajak
Tahun 2008-2011
Descriptive Statistics
Pencairan Tunggakan
KPP

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

Bandung Bojonagara

75.4925

16.01350

52.04

85.94

Bandung Cibeunying

46.8850

29.91802

11.21

71.89

Bandung Cicadas

34.8325

24.92608

4.27

64.89

Bandung Karees

52.1750

31.58169

23.44

86.93

16

52.3463

28.04762

4.27

86.93

Total

Berdasarkan tabel deskriptif diketahui bahwa rata-rata persentase


tunggakan pajak yang dibayar dibandingkan dengan saldo awal tunggakan pada
keempat KPP sangat bervariasi dengan persentase terendah sebesar 4,27% yaitu di
KPP Bandung Cicadas tahun 2010 dan persentase tertinggi sebesar 86,93% yang
terjadi pada KPP Bandung Karees pada tahun 2008. Secara rata-rata selama
periode tahun 2008-2011 persentase di KPP Bandung Bojonagara menjadi yang
tertinggi (rata-rata = 75,49%) dan persentase di KPP Bandung Cicadas menjadi
yang terendah (rata-rata = 34,83%). Secara keseluruhan selama periode tahun
2008-2011 persentase rata-rata pada keempat KPP di Kota Bandung

hanya

sebesar 52,35 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pencairan tunggakan di
KPP Pratama Bandung masuk ke dalam kriteria tinggi.

103

4.2.3 Analisis Penerimaan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota


Bandung
Tabel 4.8
Tingkat Realisasi Penerimaan Pajak Setiap Tahun
No

KPP

Bandung
Bojonagara

Bandung
Cibeunying

Bandung Cicadas

Bandung Karees

Tahun
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011
2008
2009
2010
2011

Realisasi
Penerimaan (%)
176.23
78.54
54.63
78.98
137.53
83.80
53.99
119.46
82.63
72.94
39.56
40.40
174.27
117.19
46.54
48.85

Kriteria
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
Tinggi
Sangat Tingggi
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
Tinggi
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Sangat Tinggi
Sangat Tinggi
Rendah
Rendah

Dari tabel 4.8 dapat dilihat bahwa persentase realisasi penerimaan


dibandingkan dengan target penerimaan pada keempat Kantor Pelayanan Pajak di
Kota Bandung cenderung turun pada tahun 2009 dan 2010 tetapi naik pada tahun
2011. Artinya realisasi penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan
keempat KPP memiliki pola pergerakan yang sama selama periode tahun 2008
hingga tahun 2011. Pada tahun 2008 persentase tertinggi terjadi di KPP Bandung
Bojonagara dan terendah di KPP Bandung Cicadas. Setiap tahunnya terjadi
pergantian posisi untuk penerimaan pajak tertinggi, akan tetapi untuk posisi

104

persentase terendah selalu terjadi di KPP Bandung Cicadas selama periode tahun
2008-2011. Grafik perubahan penerimaan pajak pada masing-masing KPP,
sebagai berikut:
200,00%
150,00%
100,00%

Bandung Bojonagara
Bandung Cibeunying
Bandung Cicadas
Bandung Karees

50,00%
0,00%
2008

2009

2010

2011

Gambar 4.3
Grafik Penerimaan pajak
Pada grafik di atas dapat dilihat persentase pada masing-masing KPP
memiliki pola pergerakan yang sama dari tahun ke tahun. Namun persentase pada
keempat KPP adalah pola penurunan hingga tahun 2010. Diantara keempat KPP
hanya penerimaan pajak pada KPP Bandung Cibeunying yang mencapai target
pada tahun 2011. Selanjutnya berdasarkan data pada tabel 4.8, dapat dihitung nilai
statistik deskriptif untuk masing-masing Kantor Pelayanan Pajak yang meliputi
jumlah sampel (N), rata-rata sampel (mean), nilai maksimum, nilai minimum, dan
standar deviasi untuk variabel penerimaan pajak.
Pada tabel 4.9 merupakan data hasil dari pengolahan statistik deskriptif
penerimaan pajak.

105

Tabel 4.9
Statistik Deskriptif Penerimaan Pajak
Tahun 2008-2011
Descriptive Statistics
Penerimaan Pajak
KPP

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

Bandung Bojonagara

97.0950

53.96933

54.63

176.23

Bandung Cibeunying

98.6950

37.23681

53.99

137.53

Bandung Cicadas

60.6325

24.80413

39.56

89.63

Bandung Karees

96.7125

61.21708

46.54

174.27

16

88.2837

44.77559

39.56

176.23

Total

Berdasarkan tabel deskriptif diketahui bahwa persentase realisasi


penerimaan dibandingkan dengan target penerimaan pada keempat KPP sangat
bervariasi dengan persentase terendah sebesar 39,56% yaitu di KPP Bandung
Cicadas tahun 2010 dan persentase tertinggi sebesar 176,23% yang terjadi pada
KPP Bandung Bojonagara pada tahun 2008. Akan tetapi secara rata-rata selama
periode tahun 2008-2011 persentase realisasi penerimaan dibandingkan dengan
target penerimaan pada KPP Bandung Karees menjadi yang tertinggi (rata-rata =
96,71%) dan di KPP Bandung Cicadas menjadi yang terendah (rata-rata =
60,63%). Secara keseluruhan persentase realisasi penerimaan dibandingkan
dengan target penerimaan selama periode tahun 2008-2011 pada keempat KPP di
Kota Bandung rata-rata hanya sebesar 88,28 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat penerimaan pajak di KPP Pratama Kota Bandung masuk ke dalam kriteria
sangat tinggi.

106

4.2.4 Pengujian Asumsi Klasik


Sebelum dilakukan analisis regresi linier untuk pengujian hipotesis, maka terlebih
dahulu dilakukan pengujian keabsahan persamaan regresi berdasarkan asumsi klasik.
Secara teoritis, model yang digunakan akan menghasilkan nilai parameter penduga yang
sahih bila memenuhi asumsi normalitas, tidak terjadi autokorelasi, tidak terjadi
multikolinearitas, dan tidak terjadi heterokedastisitas.

a) Hasil Uji Normalitas


Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi, variabel
terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.
Model regresi yang baik adalah yang memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal. Adapun alat pengujian yang digunakan oleh penulis yaitu
dengan menggunakan tes Kolmogorov Smirnov. Dalam hal ini untuk mengetahui
apakah distribusi residual terdistribusi normal jika nilai signifikansi lebih dari
0,05.
Tabel 4.10
Uji Normalitas Model Regresi
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N
Normal Parameters

a,b

Most Extreme Differences


Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative

16
0E-7
32.98587837
.119
.119
-.105
.476
.977

Dari tabel di atas dapat dilihat nilai signifikansi (Asymp. Sig. (2-tailed))
dari uji Kolmogorov-Smirnov sebesar 0,977 dan lebih besar dari 0,05. Karena

107

nilai signifikansi uji Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa model regresi telah memenuhi asumsi normalitas.

Gambar 4.4
Normal P-Plot of Regression Standarized Residual
Jika residual berasal dari distribusi normal, maka nilai-nilai sebaran data
residual akan terletak di sekitar garis lurus. Dari plot di atas terlihat bahwa titiktitik tersebar mengikuti garis linier sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan
normalitas terpenuhi.

108

b) Hasil Uji Multikolinieritas


Uji miltikolinearitas adalah keadaan dimana pada model regresi ditemukan
adanya korelasi yang sempurna atau mendekati sempurna antarvariabel
independen. Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi yang
sempurna atau mendekati sempurna di antara variabel bebas (korelasinya 1 atau
mendekati 1). Untuk mengetahui suatu model regresi bebas dari multikolinearitas,
yaitu mempunyai nilai VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 10 dan
mempunyai angka Tolerance lebih dari 0,1.
Tabel 4.11
Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model

Collinearity Statistics
Tolerance

VIF

Kepatuhan WP

.957

1.045

Pencairan Tunggakan

.957

1.045

1
a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Dari tabel di atas diketahui bahwa nilai tolerance kedua variabel


independen lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF dari kedua variabel independen
lebih kecil dari 10. Sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinieritas di
antara kedua variabel independen.
c)

Hasil Uji Heteroskedastisitas


Heteroskedastisitas merupakan indikasi bahwa varian antar residual tidak

homogen yang mengakibatkan nilai taksiran yang diperoleh tidak lagi efisien.
Untuk menguji apakah varian dari residual homogen digunakan uji rank
Spearman, yaitu dengan mengkorelasikan kelima variabel independen terhadap

109

nilai absolut dari residual (error). Apabila ada koefisien korelasi variabel bebas
yang signifikan pada tingkat kekeliruan 5%, mengindikasikan terjadinya
heteroskedastisitas. Pada tabel 4.12 berikut disajikan hasil korelasi kelima
variabel independen terhadap nilai absolut dari residual (absolut_error). Berikut
ini tabel 4.12 yang menyajikan uji Heteroskedastisitas:
Tabel 4.12
Uji Heteroskedastisitas
Correlations
absolut_residual
Spearman's rho
Kepatuhan WP

Correlation Coefficient

.188

Sig. (2-tailed)

.485

Pencairan Tunggakan

16

Correlation Coefficient

.291

Sig. (2-tailed)

.274

16

Pada tabel 4.12 dapat dilihat tidak ada satupun koefisien korelasi dari
variabel independen yang signifikan pada tingkat kekeliruan 5% (kedua nilai sig.
> 0,05). Karena nilai signifikansi kedua variabel independen lebih besar dari 0,05
maka disimpulkan tidak terjadi gejala heteroskedastisitas pada model regresi.
d) Hasil Uji Auitokorelasi
Dengan melakukan uji Durbin Watson, dapat diketahui apakah
terdapat autokorelasi antarsesama urutan pengamatan dari waktu ke waktu.
Secara umum, kriteria yang digunakan adalah:
Jika DU < DW < 4-DU maka Ho diterima, artinya tidak terjadi
autokorelasi

110

Jiak DW < DL atau DW > 4-DL maka Ho ditolak, artinya terjadi


autokorelasi
Jika DL < DW < DU atau 4-DU < DW < 4-DL, artinya tidak ada kepastian
atau kesimpulan yang pasti.
Tabel 4.13
Uji Autokorelasi
Model Summaryb
Model

R Square
.676a

.457

Adjusted R
Square

Std. Error of the


Estimate

.374

35.43252

Durbin-Watson
1.268

a. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan, Kepatuhan WP


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Dari hasil perhitungan diperoleh angka DW sebesar 1.268. Setelah melihat


tabel statistik Durbin-Watson (n=16 dan k=2), diperoleh batas bawah nilai tabel
(dL) = 0,982 dan batas atasnya (dU) = 1,539. Berpedoman pada kriteria umum
yang telah disebutkan diatas, karena nilai DW sebesar 1.268 berada diantara dL
(0,982) dan dU (1,539), maka belum dapat disimpulkan apakah terjadi gejala
autokorelasi pada model regresi.
Untuk memasikan ada tidaknya autokorelasi maka pengujian dilanjutkan
menggunakan runs test. Hasil pengujian menggunakan runs test dapat dilihat pada
tabel 4.14:
Tabel 4.14
Hasil Runs Test Untuk Memastikan Ada Tidaknya Autokorelasi
Runs Test
Unstandardized Residual
a

Test Value
Cases < Test Value
Cases >= Test Value
Total Cases
Number of Runs
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Median

4.03754
8
8
16
8
-.259
.796

111

Melalui hasil runs test pada tabel 4.14 dapat dilihat bahwa nilai
signifikansi uji Z (yaitu 0,796) masih lebih besar dari 0,05 sehingga dapat
dipastikan tidak terdapat autokorelasi pada model regresi. Karena keempat asumsi
regressi sudah terpenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa hasil estimasi model
regressi sudah memenuhi syarat BLUE (best linear unbias estimation) sehingga
dapat dilanjutkan pada pengujian hipotesis.

4.2.5 Analisis Pengaruh Parsial


Pada analisis parsial akan diuji pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap penerimaan pajak. Berikut hasil pengujian pengaruh
masing-masing variabel independen terhadap penerimaan pajak.
4.2.5.1. Analisis Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap Penerimaan
Pajak
Pada analisis ini akan dijelaskan hasil persamaan regresi linier sederhana
untuk mengetahui pengaruh kepatuhan Wajib Pajak terhadap penerimaan
pajak. Adapun langkah pengujian statistik dilakukan sebagai berikut:
a. Analisis Regresi Linear Sederhana

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka hasil regresi


kepatuhan Wajib Pajak (X1) terhadap penerimaan pajak (Y) seperti disajikan
pada tabel 4.15:

112

Tabel 4.15
Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap
Penerimaan Pajak
Coefficientsa
Model

Unstandardized
Coefficients
B

(Constant)

Standardized
Coefficients

Std. Error

35.874

23.603

1.180

.484

Kepatuhan WP

Sig.

Beta

.546

1.520

.151

2.436

.029

a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Dari perhitungan regresi yang telah diperoleh, maka diperoleh bentuk


persamaan regresi linier sebagai berikut:
Y= 35,874 + 1,180 X1
Dimana :
Y

= Penerimaan pajak

X1

= Kepatuhan Wajib Pajak

Pada persamaan diatas, nilai konstanta sebesar 35,874 menunjukkan nilai


rata-rata penerimaan pajak

pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung.

Artinya jika tidak ada Wajib Pajak yang lapor SPT, maka realisasi penerimaan
pajak 35% dari target penerimaan yang ditetapkan. Kepatuhan Wajib Pajak
memiliki koefisien bertanda positif sebesar 1,180, artinya setiap peningkatan
Wajib Pajak yang lapor SPT sebesar satu persen diprediksi akan menaikkan
penerimaan pajak sebesar 1,180 persen.
b. Analisis Korelasi Parsial
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara
kepatuhan Wajib Pajak dengan penerimaan pajak. Berdasarkan hasil pengolahan data
diperoleh koefisien korelasi antara kepatuhan Wajib Pajak dengan penerimaan pajak
seperti disajikan pada tabel 4.16:

113

Tabel 4.16
Korelasi Antara Kepatuhan Wajib Pajak Dengan Penerimaan pajak
Model Summaryb
Model

.546a

R Square

Adjusted R Square

.298

.248

Std. Error of the Estimate


38.84015

Durbin-Watson
1.237

a. Predictors: (Constant), Kepatuhan WP


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Berdasarkan nilai koefisien korelasi pada tabel diatas dapat dilihat bahwa
hubungan antara kepatuhan Wajib Pajak dangan penerimaan pajak sebesar 0,546
dan masuk dalam kategori moderat atau cukup kuat. Arah hubungan positif antara
kepatuhan Wajib Pajak dengan penerimaan pajak menujukkan bahwa kepatuhan
Wajib Pajak yang tinggi cenderung diikuti dengan peningkatan penerimaan pajak.
c. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan untuk membuktikan apakah terdapat


pengaruh yang signifikan dari kepatuhan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak
dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
H0 : 1= 0 :

Kepatuhan Wajib Pajak secara parsial tidak berpengaruh


terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di
Kota Bandung .

Ha : 1 0 :

Kepatuhan Wajib Pajak secara parsial berpengaruh terhadap


penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota
Bandung .

Statistik uji yang digunakan pada pengujian parsial adalah uji t, dimana
nilai tabel yang digunakan sebagai nilai kritis pada uji parsial (uji t) sebesar 2,145
yang diperoleh dari tabel t pada = 0.05 dan derajat bebas 14 untuk pengujian

114

dua arah. Nilai statistik uji t yang digunakan pada pengujian secara parsial dapat
dilihat pada tabel 4.15 dimana diperoleh nilai thitung variabel kepatuhan Wajib
Pajak sebesar 2,436 dengan nilai signifikansi sebesar 0,029.
Kriteria uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
Jika thitung > ttabel, atau thitung < -ttabel maka H0 ditolak (signifikan)
Jika -ttabel thitung ttabel, maka H0 diterima (tidak signifikan)
Hasil yang diperoleh dari perbandingan thitung dengan ttabel adalah thitung >
ttabel (2,436 > 2,145), sehingga pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk
menolak Ho dan menerima Ha yang berarti kepatuhan Wajib Pajak secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.
d. Analisis Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruh


variabel kepatuhan Wajib Pajak terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan hasil
pengolahan data diperoleh koefisien determinasi kepatuhan Wajib Pajak terhadap
penerimaan pajak seperti disajikan pada tabel 4.17:
Tabel 4.17
Koefisien Determinasi Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Terhadap
Penerimaan Pajak
Model Summaryb
Model

.546a

R Square

Adjusted R Square

.298

.248

Std. Error of the Estimate


38.84015

Durbin-Watson
1.237

a. Predictors: (Constant), Kepatuhan WP


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Berdasarkan data pada tabel 4.17 diatas dapat dilihat bahwa nilai koefisien
determinasi (R Square) sebesar 0,298 atau 29,8%, artinya kepatuhan Wajib Pajak
secara parsial memberikan pengaruh sebesar 29,8% terhadap penerimaan pajak,

115

sedangkan sisanya yaitu 70,2% merupakan pengaruh faktor-faktor lain yang tidak
diteliti, termasuk pengaruh pencairan tunggakan pajak.

4.2.5.2. Analisis

Pengaruh

Pencairan

Tunggakan

Pajak

Terhadap

Penerimaan Pajak
Pada analisis ini akan dijelaskan hasil persamaan regresi linier sederhana
untuk mengetahui pengaruh pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan
pajak. Adapun langkah pengujian statistik dilakukan sebagai berikut:
a. Analisis Regresi Linear Sederhana

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka hasil regresi


pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak seperti disajikan pada
tabel 4.18:
Tabel 4.18
Hasil Analisis Regresi Linier Sederhana Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap
Penerimaan Pajak
Coefficientsa
Model

Unstandardized Coefficients
B

(Constant)

Std. Error

46.184

21.734

.804

.369

Pencairan Tunggakan

Standardized
Coefficients

Sig.

Beta

.504

2.125

.052

2.182

.047

a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Dari perhitungan regresi yang telah dioleh, maka diperoleh bentuk


persamaan regresi linier sebagai berikut :
Y= 46,184 + 0,804 X2
Dimana :
Y

= Penerimaan pajak

X2

= Pencairan tunggakan pajak

116

Pada persamaan diatas, nilai konstanta sebesar 46,184 menunjukkan nilai


rata-rata persentase penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota
Bandung. Artinya jika tidak ada pembayaran tunggakan pajak, maka realisasi
penerimaan pajak hanya sebesar 46% dari target penerimaan yang ditetapkan.
Persentase pencairan tunggakan pajak memiliki koefisien bertanda positif sebesar
0,804, artinya setiap peningkatan tunggakan pajak yang dibayar diprediksi akan
meningkatkan penerimaan pajak sebesar 0,804 persen.
b. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui seberapa kuat hubungan antara
pencairan tunggakan pajak dengan penerimaan pajak. Berdasarkan hasil pengolahan
diperoleh koefisien korelasi antara pencairan tunggakan pajak dengan penerimaan pajak
seperti disajikan pada tabel 4.19:

Tabel 4.19
Korelasi Antara Pencairan Tunggakan Pajak Dengan Penerimaan Pajak
Model Summaryb
Model

R Square
.504a

Adjusted R Square

.254

.201

Std. Error of the


Estimate
40.03581

Durbin-Watson

1.561

a. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Berdasarkan nilai koefisien korelasi pada tabel diatas dapat dilihat bahwa
hubungan antara pencairan tunggakan pajak dengan penerimaan pajak sebesar
0,504 dan masuk dalam kategori moderat sedang atau cukup kuat. Arah hubungan
positif antara pencairan tunggakan pajak dengan penerimaan pajak menujukkan
bahwa pencairan tunggakan pajak yang makin tinggi cenderung diikuti dengan
peningkatan penerimaan pajak.

117

c. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan untuk membuktikan apakah terdapat


pengaruh yang signifikan dari pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan
pajak dengan hipotesis statistik sebagai berikut:
H0 : 2 = 0 :

Pencairan tunggakan pajak secara parsial tidak berpengaruh


terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di
Kota Bandung .

Ha : 2 0 :

Pencairan tunggakan pajak secara parsial berpengaruh


terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di
Kota Bandung .

Statistik uji yang digunakan pada pengujian parsial adalah uji t, dimana
nilai tabel yang digunakan sebagai nilai kritis pada uji parsial (uji t) sebesar 2,145
yang diperoleh dari tabel t pada = 0.05 dan derajat bebas 14 untuk pengujian
dua arah. Nilai statistik uji t yang digunakan pada pengujian secara parsial dapat
dilihat pada tabel 4.18 dimana diperoleh nilai thitung variabel pencairan tunggakan
pajak sebesar 2,182 dengan nilai signifikansi sebesar 0,047.
Kriteria uji yang digunakan adalah sebagai berikut.
Jika thitung > ttabel, atau thitung < -ttabel maka H0 ditolak (signifikan)
Jika -ttabel thitung ttabel, maka H0 diterima (tidak signifikan)
Hasil yang diperoleh dari perbandingan thitung dengan ttabel adalah thitung >
ttabel (2,182 > 2,145), sehingga pada tingkat kekeliruan 5% diputuskan untuk
menolak Ho dan menerima Ha yang berarti pencairan tunggakan pajak secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.

118

d. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi dihitung untuk mengetahui seberapa besar pengaruh


variabel pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan
hasil pengolahan data diperoleh koefisien determinasi pencairan tunggakan pajak
terhadap penerimaan pajak seperti disajikan pada tabel 4.20:
Tabel 4.20
Koefisien Determinasi Pengaruh Pencairan Tunggakan Pajak, Terhadap
Penerimaan Pajak
Model Summaryb
Model
1

R Square
.504a

Adjusted R Square

.254

.201

Std. Error of the


Estimate
40.03581

Durbin-Watson
1.561

a. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Berdasarkan data pada tabel 4.20 diatas dapat dilihat bahwa nilai koefisien
determinasi (R Square) sebesar 0,254 atau 25,4%, artinya pencairan tunggakan
pajak secara parsial memberikan pengaruh sebesar 25,4% terhadap penerimaan
pajak. Sedangkan sisanya yaitu 74,6% merupakan pengaruh faktor-faktor lain
yang tidak diteliti, termasuk pengaruh kepatuhan Wajib Pajak.
4.2.6 Analisis Pengaruh Secara Simultan
Pada analisis ini akan dijelaskan hasil persamaan regresi untuk mengetahui
pengaruh kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak secara simultan
terhadap penerimaan pajak. Berdasarkan hasil pengolahan data kepatuhan Wajib
Pajak, Pencairan tunggakan pajak dan penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan
Pajak di Kota Bandung dapat dijelaskan hasilnya sebagai berikut.

119

4.2.6.1 Analisis Regresi Berganda

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, maka hasil regresi


kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak
seperti disajikan pada tabel 4.21:
Tabel 4.21
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda kepatuhan Wajib Pajak dan
Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error

Model

(Constant)

9.874

25.308

Kepatuhan WP
.997
Pencairan Tunggakan
.652
a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

.452
.333

Standardized
Coefficients
Beta
.461
.408

Sig.

.390

.703

2.208
1.955

.046
.072

Dari perhitungan regresi yang telah dioleh, maka diperoleh bentuk


persamaan regresi linier sebagai berikut :
Y= 9,874 + 0,997 X1+ 0,652 X2
Dimana :
Y

= Penerimaan pajak

X1

= Kepatuhan Wajib Pajak

X2

= Pencairan tunggakan pajak

Pada persamaan diatas, nilai konstanta sebesar 9,874 menunjukkan nilai


rata-rata penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung.
Artinya jika tidak ada Wajib Pajak yang lapor SPT dan tidak ada tunggakan pajak
yang dibayar, maka penerimaan pajak sebesar 9,874 persen dari target yang telah
ditetapkan. Kepatuhan Wajib Pajak memiliki koefisien bertanda positif sebesar
0,997, artinya setiap peningkatan Wajib Pajak yang lapor SPT sebesar satu persen
diprediksi akan menaikkan penerimaan pajak sebesar 0,997 persen dengan syarat

120

pencairan tunggakan tidak mengalami perubahan. Pencairan tunggakan pajak


memiliki koefisien bertanda positif sebesar 0,652, artinya setiap peningkatan
tunggakan pajak yang dibayar sebesar 1 persen diprediksi akan meningkatkan
penerimaan pajak sebesar 0,652 persen dengan syarat kepatuhan Wajib Pajak
tidak mengalami perubahan.
4.2.6.2 Analisis Korelasi Berganda

Korelasi berganda digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan secara


bersama-sama variabel independen dengan variabel dependen. Pada permasalahan
yang sedang diteliti yaitu pengaruh kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan
tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak diperoleh koefisien korelasi berganda

pada tabel 4.22:


Tabel 4.22
Koefisien Korelasi Berganda
Model Summaryb
Model

.676a

R Square
.457

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

.374

Durbin-Watson

35.43252

1.268

a. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan, Kepatuhan WP


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Nilai R sebesar 0,676 pada tabel 4.22 menunjukkan kekuatan hubungan


kedua variabel independen (kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan
pajak) secara simultan dengan penerimaan pajak. Jadi pada permasalahan yang
sedang diteliti diketahui bahwa secara simultan kepatuhan Wajib Pajak dan
pencairan tunggakan pajak, memiliki hubungan yang kuat/erat dengan penerimaan
pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung.

121

4.2.6.3 Pengujian Hipotesis

Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk membuktikan apakah


kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak secara simultan
berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota
Bandung dengan rumusan hipotesis statistik sebagai berikut:
Kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak
Ho: Semua 1, 2 = 0

secara simultan tidak berpengaruh terhadap penerimaan


pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung
Kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak

Ha: Ada 1, 2 0

secara simultan berpengaruh terhadap penerimaan pajak


pada Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung

Untuk menguji hipotesis di atas digunakan statistik uji-F yang diperoleh


melalui tabel anova seperti yang disajikan pada tabel 4.23:
Tabel 4.23
Anova Untuk Pengujian Koefisien Regresi secara Simultan
ANOVAa
Model

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

13751.781

6875.890

Residual

16321.023

13

1255.463

Total

30072.803

15

Sig.

5.477

.019b

a. Dependent Variable: Penerimaan Pajak


b. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan, Kepatuhan WP

Berdasarkan tabel 4.23 di atas dapat dilihat bahwa nilai Fhitung sebesar 5,477
dengan nilai signifikansi 0,019. Nilai ini menjadi statistik uji yang akan
dibandingkan dengan nilai F dari tabel dimana pada tabel F untuk = 0.05 dan
derajat bebas (2;13) yaitu diperoleh nilai Ftabel sebesar 3,806. Karena

Fhitung

122

(5,477) lebih besar dibanding Ftabel (3,806) maka pada tingkat kekeliruan 5%
(=0.05) diputuskan untuk menolak Ho dan menerima Ha. Artinya dengan tingkat
kepercayaan 95% dapat disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan
tunggakan pajak secara simultan berpengaruh terhadap penerimaan pajak pada
Kantor Pelayanan Pajak di Kota Bandung.

4.2.6.4 Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi merupakan suatu nilai yang menyatakan besar


pengaruh secara secara simultan variabel independen terhadap variabel dependen.
Pada permasalahan yang sedang diteliti yaitu pengaruh kepatuhan Wajib Pajak
dan pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak diperoleh koefisien
determinasi berganda pada table 4.24:
Tabel 4.24
Koefisien Determinasi Berganda
Model Summaryb
Model
1

R Square
.676a

.457

Adjusted R Square
.374

Std. Error of the


Estimate
35.43252

Durbin-Watson
1.268

a. Predictors: (Constant), Pencairan Tunggakan, Kepatuhan WP


b. Dependent Variable: Penerimaan Pajak

Melalui nilai R-Square seperti pada tabel 4.23 diketahui koefisien


determinasi variabel kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan pajak
terhadap penerimaan pajak adalah sebesar 0,457. Nilai ini menunjukkan besar
pengaruh dari kedua variabel independen yang terdiri dari kepatuhan Wajib Pajak
dan pencairan tunggakan pajak secara simultan terhadap penerimaan pajak. Jadi
berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa secara simultan kepatuhan Wajib

123

Pajak dan pencairan tunggakan pajak memberikan pengaruh sebesar 45,7%


terhadap penerimaan pajak. Sementara sisanya

sebesar

54,3% merupakan

pengaruh lain diluar variabel kepatuhan Wajib Pajak dan pencairan tunggakan
pajak.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh kepatuhan Wajib Pajak

dan pencairan tunggakan pajak terhadap penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama di Kota Bandung, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kepatuhan wajib pajak di Kota Bandung masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan selama periode tahun 20082011 tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada keempat KPP di Kota Bandung
rata-rata hanya sebesar 44,42 %. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak pada KPP
Bandung Karees menjadi yang tertinggi (rata-rata = 66,74%) dan tingkat
kepatuhan Wajib Pajak pada KPP Bandung Cicadas menjadi yang terendah
(rata-rata = 24,75%).
2. Tingkat pencairan tunggakan pajak di kota Bandung tergolong tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan selama periode tahun 20082011 pencairan tunggakan pajak pada keempat KPP di Kota Bandung ratarata hanya sebesar 52,35 %. Pencairan tunggakan pajak pada KPP Bandung
Bojonagara menjadi yang tertinggi (rata-rata = 75,49%) dan tingkat pencairan
tunggakan pajak pada KPP Bandung Cicadas menjadi yang terendah (ratarata = 34,83%).

124

125

3. Tingkat Penerimaan pajak di Kota Bandung sangat tinggi.


Berdasarkan hasil penelitian secara keseluruhan selama periode tahun 20082011 penerimaan pajak pada keempat KPP di Kota Bandung rata-rata hanya
sebesar 88,28 persen. Penerimaan pajak pada KPP Bandung Karees menjadi
yang tertinggi (rata-rata = 96,71%) dan penerimaan pajak pada KPP Bandung
Cicadas menjadi yang terendah (rata-rata = 60,63%).
4. Kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh kecil terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan hasil peneltian sebesar 29,8%

kepatuhan wajib pajak

berpengaruh terhadap penerimaan pajak dengan arah positif, sedangkan


hubungan antara kepatuhan Wajib Pajak dangan penerimaan pajak sebesar
0,546 dan masuk dalam kategori sedang atau cukup kuat, dimana semakin
besar pencairan tunggakan pajak akan meningkatkan penerimaan pajak.
Kemudian dari hasil pengujian menunjukkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.
5. Pencairan tunggakan pajak berpengaruh kecil terhadap penerimaan pajak.
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh pencairan tunggakan pajak sebesar
25,4% terhadap penerimaan pajak dengan arah positif, sedangkan hubungan
antara pencairan tunggakan pajak dengan penerimaan pajak sebesar 0,504 dan
masuk dalam kategori sedang atau cukup kuat, dimana semakin besar
pencairan tunggakan pajak akan meningkatkan penerimaan pajak. Kemudian
dari hasil pengujian menunjukkan bahwa pencairan tunggakan pajak secara
parsial berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak.

126

5.2

Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis mencoba memberikan beberapa

saran sebagai masukkan dan pertimbangan bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Kota Bandung serta peneliti selanjutnya yaitu:
1. Pihak KPP Pratama Kota Bandung
Berdasarkan hasil penelitian diatas apabila kepatuhan wajib pajak dan
pencairan tunggakan pajak meningkat maka berpengaruh terhadap penerimaan
pajak juga menjadi meningkat. Oleh karena itu diharapkan Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Kota Bandung dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak
maupun pencairan tunggakan pajak agar penerimaan pajak menjadi optimal
dan meningkat.
2. Bagi peneliti selanjutnya
Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan dua variabel independent dan
satu variabel dependen. Disarankan bagi peneliti selanjutnya sebaiknya
memperluas ruang lingkup penelitiannya, yaitu dengan meneliti faktor-faktor
lain yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak seperti sistem administrasi
dan kualitas petugas pajak selain yang sudah penulis teliti dan disajikan dalam
penelitian ini. Karena secara simultan kepatuhan wajib pajak dan pencairan
tunggakan mempunyai pengaruh sebesar 45,7% dan sisanya sebesar 54,3%
dipengaruhi oleh faktor lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Devano Sony., Siti Kurnia Rahayu, (2006). Perpajakan: Konsep, Teori, dan
Isu. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Fitriani, Dina W & Putu Mahardika Adi Saputra, 2009, Analisis Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Jumlah Penerimaan Pajak Penghasilan Orang
Pribadi (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Kantor Pelayanan Pajak
Batu), Journal of Indonesian Applied Economics Vol. 3 No. 2, 135-149.
Muliari, Setiawan. (2011). Pengaruh Persepsi Tentang Sanksi Perpajakan dan
Kesadaran Wajib Pajak Pada Kepatuhan Pelaporan Wajib di
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Jurnal Akuntansi
& Bisnis, Volume 6. No.1.
M , Djoned Gunadi, (2005). Administrasi Pajak, Departemen Keuangan, Jakarta.
Mardiasmo, (2009), Perpajakan, Edisi Revisi 2009, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Dewi, Ivana Puspa, (2007). Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi
Tingkat Penerimaan PPh Orang Pribadi (Studi Kasus Kantor
Pelayanan Pajak Batu). Skripsi (S1), Jurusan Ilmu Ekonomi Studi
Pembangunan konsentrasi Perpajakan, Fakultas Ekonomi, Universitas
Brawijaya.
Lebukan, Yosefa, (2011), Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak PPH 21
Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pada Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Makassar Utara, Skripsi (S1), Jurusan
Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Hasanuddin.
Rahayu, Siti Kurnia Rahayu, (2010), Perpajakan Indonesia: Konsep dan Aspek
Formal, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Rahmawati, Lina, (2012), Pengaruh Penagihan Pajak Terhadap Pelunasan
Tunggakan Pajak PAJAK dan Implikasinya Pada Penerimaan
Pajak, Skripsi (S1), Fakultas Enonomi Universitan Komputer Indonesia.
Resmi,Siti, (2003), Perpajakan: Teori dan Kasus, Buku Satu, Salemba Empat,
Jakarta.
Resmi,Siti, (2007), Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 4, Salemba Empat,
Jakarta.
Resmi,Siti. (2011), Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 6, Salemba Empat,
Jakarta.

128

129

Santoso, Singgih. 2012. Analisis SPSS pada Statistik Parametrik, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta.
Suandy, Erly. (2002). Perpajakan, Salemba Empat, Jakarta.
Suandy, Erly. (2011). Hukum Pajak, Edisi 5, Salemba Empat, Jakarta.
Sugiyono. (2012). Statistika Untuk Penelitian, CV Alfabeta, Bandung
Widodo, Widi, (2010). Moralitas,Budaya, dan Kepatuhan Pajak , CV Alfabeta,
Bandung.
Waluyo, (2000), Undang-Undang Perpajakan dan Reformasi, Buku 1,
Salemba Empat, Jakarta.
Waluyo., Ilyas Wirawan B, (2003), Perpajakan Indonesia buku satu, Salemba
Empat, Jakarta.
Waluyo. (2008). Perpajakan Indonesia, Edisi kedelapan, Buku satu, Salemba
Empat, Jakarta.
Widiyanti, Vania Yuki, (2007), Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak dan
Pendapatan Perkapita Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan
Orang Pribadi di KPP Madiun. Skripsi (S1): Fakultas Ekonomi
Universitas Kristen Petra.

Undang-Undang Perpajakan:
Undang Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
Undang Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Pikiran Rakyat Hari Senin 5 April 2013
Internet:
http://www.bppk.depkeu.go.id/artikelvol4no1_suryadi.pdf
http://warungmassahar.blogspot.com
www.pajak.go.id
www.vivanews.com
www.djapk.depkeu.go.id

130

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Cahya

NPM

: 094020057

Tempat Tanggal Lahir

: Bandung, 24 Agustus 1991

Jenis kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Islam

Alamat

: Komplek Girimande A3 No.11 RT.02/05 Cikadut,


Bandung.

Riwayat Pendidikan :
1. TK. Deviana Bandung 1996-1997
2. SDN Cikadut 1 Bandung1997-2003
3. SMP Yayasan Atikan Sunda 2003 2006
4. SMAN 16 Bandung 2006 - 2009
5. Universitas Pasundan Bandung 2009 - sekarang

Anda mungkin juga menyukai