Anda di halaman 1dari 42

Perawatan Luka

A. Pendahuluan

Keberhasilan seorang perawat dalam merawat luka pasien yang didapatkan dalam
sebuah periode perawatan luka tidak lepas dari ketepatan dan keakuratan dalam
melakukan pengkajian pasien yang bersifat holistik dan komprehensif
(Elizabeth.A.Ayello, 2012). Pengkajian pasien yang bersifat holistik dan
komprehensif bukan hanya dilakukan terhadap situasi dan kondisi luka pasien,
namun harus dapat berisikan berupa data diri pasien, riwayat penyakit terdahulu,
riwayat penyakit pasien saat ini dan pola kebiasaan pasien yang erat hubungannya
dengan proses penyembuhan luka pasien diwaktu kedepan.

Pengkajian luka yang benar, dilakukan oleh praktisi perawat berdasarkan prinsip atau
kaidah yang tepat dalam melakukan pengkajian luka. Dalam pelaksanaanya banyak
sekali tekhnik yang telah dikenalkan dan dilakukan dalam melakukan pengkajian
luka, namun tetap tidak ada satu tekhnik yang dapat mewakili sekian banyak kasus
luka untuk dilakukan pengkajian. Oleh karena itu, dengan telah banyaknya model
dan tehknik dalam proses pengkajian luka pasien, diharapkan praktiki luka di
lapangan dapat membuat sebuah pedoman yang mampu diadopsi dan dijalankan
dengan disesuaikan pada kebutuhan pengkajian luka ditiap daerah masing – masing.

Pengkajian yang dilakukan dengan menggunakan prinsip dan tekhnik pengkajian


luka yang tepat, akan menghasilkan pengkajian yang lengkap dan komprehensif.
Dengan mengetahui jenis luka yang akan dirawat oleh praktisi luka, maka kita akan
mengetahui langkah dan modalitas yang akan dipilih dan dipakai untuk diterapkan
pada proses perawatan luka pada pasien (Ruth A Bryant, 2007).

B. Tujuan Pengkajian Luka

1. Mendapatkan informasi yang relevan tentang pasien dan luka.


2. Memonitor proses penyembuhan luka.
3. Menentukan program perawatan luka pada pasien.
4. Mengevaluasi keberhasilan perawatan.
(Carvile, 2007).

C. Pengkajian Riwayat Kesehatan Pasien

Pengkajian dilakukan oleh seorang praktisi perawatan luka tidak hanya dalam hal
mengetahui kondisi luka yang ada pada tubuh pasien, namun juga harus dapat
memberikan data berupa faktor – faktor resiko penghambat penyembuhan luka baik
dari dalam tubuh pasien (Faktor Intrinsik)maupun faktor – faktor dari luar tubuh
pasien (Faktor Ekstrinsik) (Baranoski, 2012).
1. Faktor instrinsik penghambat penyembuhan luka :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Penyakit penyerta
d. Kelebihan berat badan (Obesitas)
e. Keadaan pembuluh darah (Vaskularisasi), perfusi dan oksigenasi jaringan.
f. Status nutrisi
g. Status Psikososial
h. Gangguan mobilisasi
i. Gangguan sensasi persarafan (Neuropati)
2. Faktor ekstrinsik penghambat penyembuhan luka :
a. Penggunaan obat – obatan (Kortikosteroid, antiplatelet)
b. Terapi radiasi dan kemoterapi
c. Kelembapan dan suhu luka
d. Kebersihan lingkungan disekitar luka
e. Benda asing di luka
f. Infeksi luka
g. Tekanan pada luka
h. Pergeseran pada balutan luka
i. Manajemen penatalaksanaan luka.
Contoh format pengkajian luka di klinis :

Gambar 1 : Contoh Format Pengkajian Luka


D. Pengkajian Luka Pasien

Menurut Baranoski dan Ayello, 2012. Pengkajian luka terbagi atas :


1. Jenis luka
2. Jaringan hilang dari luka
3. Tampilan luka
4. Lokasi luka
5. Ukuran luka
6. Produksi cairan luka
7. Kontaminasi dan infeksi luka
8. Kulit sekeliling luka
9. Skala nyeri luka
10. Jenis penyembuhan luka
1. Jenis Luka
a. Luka berdasarkan sifatnya dibagi atas :
I. Luka Akut
Luka akut adalah luka yang sembuh sesuai dengan periode waktu yang
diharapkan melalui intensi primer. Luka akut dapat berupa luka traumatik
atau luka bedah yang sembuh melalui intensi sekunder dan melalui proses
perbaikan yang tepat pada waktu dan mencapai hasil pemulihan integritas
anatomis sesuai dengan proses penyembuhan secara fisiologis (Sharon
Baranoski, 2012).
Selama proses penyembuhan, luka akut membutuhkan lingkungan luka yang
optimal yaitu lingkungan luka moist atau lembab. Luka akut dapat sembuh sekitar
4-14 hari dalam lingkungan luka optimal (Gabriel, 2015).
Luka akut dapat dikategorikan sebagai:
a) Luka Akut akibat tindakan pembedahan seperti : insisi, eksisi dan Skin
graft.
b) Luka Akut bukan akibat pembedahn, seperti : Luka Bakar.
c) Luka Akut akibat faktor lain : abrasi, laserasi, injuri pada lapisan.
Contoh Luka Akut : (Dokumen Muzakki Woundcare Clinic)

Gambar 2 : Luka Akut (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)


II. Luka Kronik
Luka kronik adalah luka yang proses penyembuhannya mengalami
keterlambatan, yang terjadi bila proses perbaikan jaringan tidak sesuai
dengan waktu yang telah diperkirakan dan penyembuhannya mengalami
komplikasi, terhambat baik oleh faktor intrinsik maupun ekstrinsik yang
berpengaruh kuat pada individu, luka atau lingkungan. Atau dapat dikatakan
bahwa luka kronis merupakan kegagalan penyembuhan pada luka akut.
Contoh: Luka decubitus, luka diabetes, dan leg ulcer.

Gambar 3 : Luka Kronik (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)

2. Jaringan Hilang Dari Luka


Kondisi luka yang menyababkan terjdinya kehilangan sejumlah jaringan
menggambarkan kedalaman kerusakan jaringan atau berkaitan dengan stadium
kerusakan jaringan kulit yang terjadi pada luka (Donna Scemons. 2011). Tingkatan
kehilangan jaringan pada luka terbagi atas :
a. Superfisial, merupkan kondisi luka kehilangan jaringan sebatas epidermis.
b. Parsial ( Partial thickness ), merupkan kondisi luka kehilangan jaringan
meliputi epidermis dan dermis.
c. Penuh ( Full thickness ), merupkan kondisi luka kehilangan jaringan yang
meliputi epidermis, dermis dan jaringan subcutan. Mungkin juga melibatkan
otot, tendon dan tulang.

Tingkat keparahan dari kerusakan atau kehilangan jaringan pada luka dapat juga
digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I – IV).
a. Stadium I : Lapisan epidermis yang masih utuh, namun mulai ada eritema atau
perubahan warna pada sekitar luka.

b. Stadium II : Kehilangan kulit superfisial dengan kerusakan lapisan epidermis


dan dermis. Ditandai dengan munculnya eritema pada jaringan sekitar dan
diikuti peristiwa nyeri, panas dan edema. Produksi cairan luka sejenis eksudate
mulai muncul sedikit sampai dengan level sedang.

c. Stadium III : Kehilangan jaringan sampai dengan jaringan subkutan, dengan


ditemukannya rongga (cavity), dan cairan produksi luka berupa eksudat ada
dengan level sedang sampai dengan banyak.

d. Stadium IV : Kehilangan jaringan sampai dengan jaringan subkutan, dengan


ditemukannya rongga (cavity), yang melibatkan bagian lain dari sekitar luka
seperti otot, tendon dan/atau tulang. Pada satdium ini level cairan produksi
luka yang berjenis eksudat berada pada level sedang sampai banyak.

Gambar 4 : Luka Stadium 4 (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)


3. Tampilan Luka
Penampilan luka merupakan sebuah gambaran warna dasar luka yang ditemukan
saat pertama kali menemukan luka untuk dilakukan perawatan. Hal ini penting
untuk dilakukan pengkajian, guna menentukan terapi modalitas atau tindakan apa
yang tepa dilakukan pada luka tersebut (Denise Elston, 2011). Tampilan luka
terbagi atas :
a. Hitam atau Nekrotik merupakan jaringan berbentuk jaringan mati (eschar)
yang mengeras dan bersifat nekrotik dan kering atau tidak lembab.
b. Kuning atau Sloughy merupakan jaringan mati yang bersifat semi keras
(fibrous), lengket pada dasar luka, dan umumnya berwarna kuning muda.
c. Merah atau Granulasi merupakan jaringan yang sudah melewati fase inflamasi
dan proliferasi, sehingga mulai tumbuh dari dalam luka menuju ke luar (atas)
luka yang akan menjadi jaringan granulasi sehat.
d. Pink atau Epithellating merupakan jaringan granulasi yang sudah tumbuh
dengan sempurna dan mulai tertutup dengan lapisan kulit dasar dari pinggir
luka menuju ke tengah atau pusat luka dan sering disebut sebagai jaringan
epitelisasi.
Luka Nekrotik Luka Slough L. Granulasi L. Epitelisasi L. Infeksi

Gambar 5 : Jenis Luka (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)

4. Lokasi Luka
Lokasi atau area dimana luka berada sangatlah menentukan kemudahan dalam
merawat luka dan pencapaian target dari waktu pemulihan luka yang seutuhnya.
Lokasi luka di sekitar persendian cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih
lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, tumit
kaki). atau diarea yang cenderung selalu akan tertekan sehingga membuat luka
sukar bergranukasi, atau lokasi dengan adanya gaya lipatan (shear force ) akan
lambat sembuh (pinggul, bokong).

Gambar 6 : Lokasi Luka di Tubuh Manusia (Dokumen Asli Muzakki Woundcare


Clinic)
5. Ukuran Luka
Pengkajian luka berdasarkan ukuran luka dapat ditampilkan dengan menggunakna
metode pengukuran sederhana berupa hasil ukur dari panjang luka, lebar luka,
diameter luka dan kedalaman luka. Selain menggunakan pengukuran luka untuk
mengetahui luas sebuah luka, perawat luka juga harus mampu menggnakan
pengkajian dua dimensi pada perawatan luka terbuka dan juga pengkajian tiga
dimensi pada perawatan luka yang memiliki rongga atau fistula

Gambar 7 : Aplikasi Alat Ukur Luka (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)

6. Produksi Cairan Luka


Pengkajian dalam hal produksi cairan luka memiliki hal – hal penting yang harus
diperhatikan, dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah :
a. Jenis cairan produksi luka
1) Serous : cairan luka berwarna bening
2) Hemoserous : cairan luka berwarna merah terang transparan
3) Sangouneus : cairan luka berwarna pekat seperti darah kental
4) Purulent : cairan luka berwarna merah kecoklatan, bercampur dengan
nanah.
b. Jumlah cairan produksi luka
Jumlah produksi cairan luka yang keluar dari sebuah luka harus dipantau dan
dicatat dengan baik, agar dapat di perhitungkan dan dilakukan intervensi yang
tepat. Bila terjadi pengeluaran produksi cairan luka berlebihan, maka perawat
luka harus mampu memilih balutan luka yang efektif agar kondisi kelembapan
luka tetap terjaga dan kulit disekitar area luka tetap aman terhindar dari resiko
maserasi hingga laserasi dikemudian waktu.
c. Warna cairan produksi luka
Perubahan warna pada produksi cairan luka dapat menandakan luka terpapar
oleh satu atau lebih mikroorganisme tidak normal ataupun bercampur dengan
darah akibat adanya faktor terjadinya micro bleeding, sehingga menimbulkan
kolonisasi bakteri yang dapat membuat perubahan warna cairan luka. Salah
satu yang sering kita temukan adalah, cairan produksi luka berwarna kuning
kehijauan yang menandakan luka telah terpapar oleh kuman bakteri sejenis
pseudomonas.

Gambar 8 : Luka Bakar Pada Anak (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)

d. Konsistensi cairan produksi luka


Perubahan konsistensi dari produksi cairan luka umumnya dapat terjadi pada
luka yang memiliki kondisi terdapat fistula ataupun edema, karena
mendapatkan pengaruh dari terpaparnya luka dengan cairan lain yang keluar
dari sel disekitar luka.
e. Bau cairan produksi luka
Bau yang dikeluarkan dari cairan luka pada balutan luka saat diganti balutan,
akan sangat menjelaskan bahwa luka dikatakan bersih atau terinfeksi dengan
kuman atau bakteri disekitar lingkungan. Tingkatan bau luka pada balutan luka
pasien dapat dilihat pada level dibawah ini.
7. Kontaminasi dan Infeksi Luka
Luka yang telah dilakukan pengkajian dan telah dilakukan proses pencucian luka
akan diketahui agen apa saja yang terkandung dalam luka tersebut yang beresiko
membuat luka jatuh menjadi luka kronis bila tidak dilakukan penanganan secara
tepat. Maka dalam proses pencucian luka harus jeli dalam melihat agen seperti
kotoran, zat kimia, zat asing, biofilm atau bahkan dari hasil kultur berupa
kolonisasi bakteri pada luka, sehingga penyembuhan dapat berjalan sesuai
waktunya.

Gambar 9 : Derajat Keparahan Luka (Dokumen Muzakki Woundcare Clinic)

8. Kulit Sekeliling Luka


Pentingnya memahami dan menyiapkan kulit di sekeliling luka adalah tidak lain
untuk menyiapkan proses epitelisasi nanti saat jaringan sudah bergranulasi tidak
menjadi terhambat, sehingga sebagai praktisi luka harus dapat menyiapkan
pinggiran luka yang baik.

Gambar 10 : Wound Edge (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)


9. Nyeri Luka
Pada kondisi terjadinya luka pada salah satu bagian tubuh pasien, maka terjadi
terputusnya kontinuitas jaringan yang akan merangsang pengeluran zat kimia
tubuh yang menunjukan reaksi inflamasi seperti bradikinin dan serotonin sehingga
akan membuat tubuh akan merespon dengan munculnya rasa nyeri. Dalam
merawat luka, salah satu hal yang harus dikontrol dari pasien adalah tidak boleh
merasakan nyeri yang berlebihan, yang beresiko akan menjadikan stress pada
jaringan dan akan menghambat pertumbuhan sel baru. Oleh karena itu sebagai
praktisi luka, kita harus mampu mengkaji berapa skala nyeri pasien sebelum,
sesaat dan setelah merawat luka pasien.

Gambar 11 : Instrumen Pengkajian Nyeri VAS


Salah satu contoh Penggunaan pengkajian skala nyeri : VAS (Visual Analogue
Scale) dalam merawat luka pasien.
10. Jenis Penyembuhan Luka
Jenis atau tipe penyembuhan dibagi atas primer atau sekunder bahkan tersier jika
ada infeksi atau benda asing. Tipe penyembuhan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Tipe penyembuhan primer (Primary intention) jika terdapat luka akut yang
sembuh dibantu dengan jahitan atau menggunakan tape (plaster) atau glue
(lem), dan biasanya tahap akhir penyembuhan akan didapatkan jaringan parut.
b) Tipe penyembuhan sekunder (Secondary intention) jika terdapat luka akut
yang sembuh dengan mendukung pertumbuhan jaringan granulasi dari dasar
luka.
c) Tipe penyembuhan tersier; luka akut yang sembuh dengan menghilangkan
benda asing atau infeksi terlebih dahulu sebelum dilakukan tipe penyembuhan
primer atau sekunder.

Gambar 12 : Wound Healing (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)

Analisa Luka

Proses melakukan analisa luka harus dimulai sejak luka dilakukan pengkajian luka,
pencucian dan pembersihan luka dan persiapan dasar luka (Wound bed preparation)
untuk dapat memulai merencakan program perawatan luka, balutan luka yang akan
dipakai dan berapa lama proses penggantian luka yang akan dilakukan terhadap luka
yang akan dirawat (Sharon Baranoski, 2012).

Salah satu langkah mudah dalam menganalisa luka sejak awal, saat proses perawatan dan
menjelang kesembuhan adalah dengan menggunakan tabel algoritme luka dibawah ini.
Gambar 13 : Tabel Algoritma Luka

Berdasarkan tabel algoritme luka diatas, praktisi perawatan luka akan lebih mudah dalam
menerapkan rencana program perawatan luka, pemilihan balutan luka, intervensi mandiri
keperawatan yang bisa dilakukan dan sampai pada tahap evaluasi penyembuhan luka apa
sesuai dengan waktunya atau tidak. Sehingga akan lebih membuat perawatan luka
menjadi lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA

Morgan N. Measuring Wounds. Wound Care Advisor.http://woundcareadvisor.com/measuring-wounds/. Published July 11, 2012.

Van Rijswijk, L. (2013). Wound wise: Measuring wounds to improve outcomes. Nursing Center.com.http://www.nursingcenter.com/lnc/JournalArticle?

Article_ID=1575606.

Swezey, L. (2014). 5 Techniques for Accurate Wound Measurements. (online). https://www.woundsource.com/blog/5-techniques-accurate-wound-

measurements

Baranoski, S., & Ayello, E.A. (2012). Wound Care Essentia: Practice Principles. 3th Edition. New York: Lippincott Williams and Wilkins

Bates-Jensen, B.M. (1997). The Pressure Sore Status Tool a Few Thousand Assessment Later. AdvWound Care, 10(5):65-73

Bryant, R., and Nix., D. (2007). Acute and Chronic Wounds: Current Management Concepts. 3rd ed. St. Louis, MO: Elsevier Mosby.

Carville, K. (2007). Wound Care: Manual. 5thed. Osborne Park:Silver Chain Foundation
MATERI KEPERAWATAN ANAK KRITIS DENGAN ATRESIA ANI

Asuhan Keperawatan Anak sakit kritis dengan Atresia Ani

Latar belakang
Berdasarkan (WHO, 2015), kesehatan menggambarkan suatu kondisi yang dinamis,
meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan sosial dan tidak hanya terbebas dari
suatu penyakit, ketidaksempurnaan dan kelemahan. Dikatakan bahwa sehat yang baik
berarti orang tersebut tidak mempunyai masalah klinis. Organnya berfungsi dengan
normal dan dia tidak sakit. Sehat secara mental atau pisikis ialah sehatnya pikiran,
emosional, dan spiritual dari seseorang. Sedangkan, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun
2014 mengenai SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), Undang-Undang
diatas dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan semua
orang untuk hidup sehat, sehingga tercapai tingkat derajat kesehatan yang tertinggi dapat
tercapai, yang merupakan investasi pada sumber daya manusia dengan produktifitas
sosial dan ekonomis

Menurut (WHO, 2010), diperkirakan sekitar 7% dari semua kematian bayi di dunia
disebabkan oleh kelainan kongenital, tetapi angka tersebut menurun sampai 0,1 pada
tahun 2017, sedangkan skala pemicu kematian bayi di dunia pada tahun 2015, pada bayi
dengan kelainan bawaan sebanyak
303.000. presentase kategori kelainan bawaan pada pemeriksaan sentinel untuk penderita
Atreesia ani mencapai 9, 7% (Riskesdas, 2018). Di Eropa, kurang lebih 25% kematian
neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Asia Tenggara angka kejadian kelainan
kongenital mencapai 5% dari jumlah bayi baru lahir, sedangkan di Indonesia angka
kejadian kelainan kongenital mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup (Verawati, S., S, S.,
M, & Hiswani 2013).

MAR merupakan penyakit yang melebar luas yang menghubungkan anus/rektum serta
perkemihan dan alat kelamin.Kelainan kongenital yaitu suatu kelainan yang ditemukan
pada bayi baru lahir. Kelainan tersebut terjadi pada struktur fungsi dan metabolisme
tubuh bayi. Diantara kelainan-kelainan bawaan MAR atau Atresia Ani ialah salah
satunya. Seorang ibu yang mempunyai obesitas, mempunyai riwayat diabetes dan
perokok merupakan faktor risiko potensial untuk malformasi anorektal. Sedangkan
penyebab

kelainan kongenital meliputi usia, riwayat penyakit, serta jarak antar kelahiran (Nadine,
Z., Ekkehart, J., & Hermann, 2011)
Salah satu solusi untuk mengatasi Malformasi anorektal atau Atresia ani yaitu dengan
dilakukannya tindakan pembedahan melaui 3 tahapan yaitu yang pertama pembuatan
kolostomi segera setelah lahir, kedua dilakukannya Posterio Sagital Ano Rektal Plasy
(PSARP) untuk pembuatan anus, tahapan selanjutnya yaitu pelebaran anus atau businasi.
Setelah lubang anus sesuai dengan ukuran yang diharapkan, maka akan dilakukan
penutupan kolostomi, sehingga pasien dapat buang air besar melalui anus buatan. Para
penderita Atresia ani umumnya akan menunjukan tanda dan gejala dalam hitungan
waktu 24 jam sampai 48 jam pertama, berupa perut kembung, muntah, mekonium tidak
keluar pada 24 jam, serta tidak dapat buang air besar (BAB). Tanda dan gejala yang
membedakan antara penderita laki-laki dan perempuan ialah terjadinya fistel, pada bayi
perempuan sering terjadifistel rektourinal (Dewi, 2013).
A. B. Konsep Dasar Malformasi Anorektal
1. Definisi
Malformasi Anorektal atau Atresia ani merupakan salah satu dari berbagai
kelainan kongenital yang menimpa pada anak. Anus imperfrote (Atresia Ani)
yaitu suatu keadaan dimana lubang anus tidak memiliki lubang. Atresia berasal
dari bahasa Yunani berarti tidak ada, dan trepis artinya nutrisi atau makanan.
Menurut istilah ilmu kedokteran, atresia ani adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan yang normal (Putra, 2012).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital atau kelainan bawaan yang menunjukan
keadaan seseorang yang tidak mempunyai anus atau anus dalam keadaan tidak
sempurna. Perkembangan pada saat ini untuk mengatasi Mallformasi Anorektal
diantaranya yaitu dengan terapi pembedahan yang sudah pernah dijumpai cut
back sederhana hingga yang sering dilakukan pada saat ini disebut Posterio
Sagital Ano Rektal Plasy (PSARP) (Lokanata & Rochadi, 2014).

2. Etiologi
Menurut (Betz, L. C., & Gowden, 2012),
a. Penyebabnya belum dapat diketahui secara betul atau pasti
b. Merupakan keabnormalan gastrointestinal dan ganitourynari. Namun ada
sumber juga yang mengatakan bahwa Malformasi anorektal disebabkan
oleh:
1) Terdapat adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara
sempurna dikarenakan adanya gangguan fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik.
2) Terputusnya saluran cerna pada bagian atas dengan dubur sehingga
menyebabkan bayi lahir tanpa lubang anus atau keadaan anus tidak
sempurna.
3) Terdapat adanya gangguan organogenesis saat masa kehamilan,
penyebab atresia ani biasanya kegagalan pertubuhan janin di dalam
kandungan saat umur 12 mingguu atau 3 bulan.
4) Kongenital dimana sfingter internal yang mungkin kurang memadai.

3. Patofisiologi
Normalnya pada usia kehamilan 5 minggu (35 hari) akan terjadi pemisahan
antara rektum dengan sinus urogenital. Dan pada usia minggu ke-8 minggu (56
hari) akan terjadi repture pada membrane anus yang mengakibatkan
terbentuknya lubang dikulit anus. Malformasi anorektal ini terjadi karena
terganggunya proses perkembangan organ atau adanya kelainan saat
embryogenesis. Namun demikian etiologinya belum dapat diketahui secara
pasti, diduga bersifat multifaktorial. Kelainan ini bisa mengenai saluran usus
pada bagian bawah dan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara anus
atau rektum kloaka akan menimbulkan fistula (Fitri, 2016).

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada penderita Malformasi anorektal (Atresia ani)
menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) adalah tidak keluarnya mekonium pada 24
jam pertama setelah bayi dilahirkan.

5. Pemeriksaan Diagnostik
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yang bertujuan
untuk memastikan diagnosis diantaranya :
a. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya obstruksi
intestinal.
b. Sinar X pada abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan kejelasan gambaran
keseluruhan bowel serta untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rektum dan sfingternya.
c. CT-Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada lesi atau tidak.
d. Pvelografi intra vena
Pemeriksaann ini digunakan untuk mengecek pelviokalises dan ureter.
e. Pemeriksaan pada rektum
Pemeriksaan ini biasanya akan dilakukan colok dubur atau lebi
gampangnya dilakukan pengecekan suhu melalui anus.
f. Rongenogram abdomen dan pelvis

6. Komplikasi
Menurut (Wong, 2012)komplikasi penderita Atresia ani yaitu :
a. Terdapat penyumbatan
b. Terdapat luka pada usus
c. Adanya kerusakan pada uretra akibat pembedahan
d. Terjadi komplikasi pada waktu yang lama
1) Eversi mukosa anal
2) Stenosis
e. Terjadinya keterlambatan atau masalah yang berhubungan dengan toilet
training.
f. Inkontinensia akibat stenosis awal
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula berulang, karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi.
i. Sepsis

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Hidayat, 2010), penatalaksanaan pada penderita Atresia ani yaitu :

1. Pembuatan lubang kolostomi


Pembuatan lubang kolostomi biasanya sementara ataupun permanent dari
usus besar atau colon iliaka. Untuk anomaly tinggi dilakukan tindakan
kolostomi beberapa hari setelah lahir.
2. Posterio Sagital Ano Rektal Plasy (PSARP)
Tindakan Anoplasty dan umumnya ditunda 9-12 bulan. Penundaan ini
bertujuan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-
otot untuk berkembang. Tindakan ini juga dapat memungkinkan bayi
untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
3. Penutupan kolostomi
Tindakan terakhir dari penderita Atresia ani biasanya setelah operasi, anak
akan mulai buang air besar (BAB) melalui anus. Pertama BAB akan sering
tetapi seminggu setelah operasi BAB akan berkurang frekuensinya dan
agak padat.

Pengkajian keperawatan
a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar atau BAB,
meconium keluardari lubang vagina atau meconium terdapat dalam urin.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24 sampai 48 jam pertama kelahiran
3) Riwayat kesehatan keluarga
Merupakan suatu kelainan kongenital bukan kelainan atau penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh anggota keluarga yang lainnya.
b. Riwayat tumbuh kembang
1) Berat badan lahir tidak normal
2) Kemampuan anak, baik motorik kasar, halus, kongnitif dan tumbuh kembang
anak pernah mengalami trauma saat sakit atau trauma lainnya.
3) Riwayat kehamilan mengalami infeksi intrapartal
4) Riwayat kehamilan tidak keluar mekonium
c. Pola nutrisi metabolik
Anak akan mengalami penurunan berat badan.
d. Pola eliminasi
Dikarenakan anus buatan belum berfungsi scara normal sehingga menyebabkan
klien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme yang dapat menyebabkan
kesulitan untuk mengeluarkan feses.
e. Pola aktivitas dan istirahat
Pada pola aktivitas serta latihan ini dipertahankan berguna untuk menghindari
terjadinya kelemahan otot.
f. Pola tidur dan istirahat
Pada penderita Atresia Ani klien cenderung terganggu pola tidur dan istirahatnya
dikarenakan rasa nyeri pada area abdomen akibat prosedur operasi rekolostomi.
g. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan hasil yaitu : adanya luka pembuatan
rekolostomi, luka penutupan kolostomi dan Post Posterio Sagital Ano Rektal
Plasy (PSARP) pada anus.

B. Diagnosa Keperawatan Dan Fokus Intervensi


Diagnosa keperawatan menurut (SDKI, 2017)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2. Konstipasi berhubungan dengan aganglionik (penyakit Hircsprung)
3. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
4. Risiko defisit nutrisi ditandai dengan faktor Pisikologis (keengganan untuk
makan)
5. Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invansif

C. Fokus Intervensi menurut (SIKI,2018), (SLKI,2019)


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Keluhan nyeri menurun
2) Meringis menurun
3) Mual muntah menurun
4) Nafsu makan menbaik
Intervensi :
Observasi
- Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan
intensitas nyeri, identifikasi skala nyeri
- Identifikasi skala nyeri
- Identifikasi respon nyeri non verbal
- Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
- Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (misalnya
TENS, hipnotis, skupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain
2) Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (misalnya suhu, ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihanj meredakan
1) Ajarkan teknnik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Konstipasi berhubungan dengan aganging (penyakit Hircsprung)


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan konstipasi
membaik dengan kriteria hasil :
1) Nyeri abdomen membaik
2) Distensi abdomen membaik
3) Konsistensi feses membaik
Intervensi :
Observasi
1) Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar
2) Identifikasi pengobatan yang berefek pada kondisi gastrointestinal
3) Monitor buang air besar (warna, frekuensi, konsistensi, volume)
4) Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau impaksi
Terapeutik
1) Berikan air hangat setelah makan
2) Sediakan makanan tinggi serat
3) Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien
Edukasi
1) Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan keteraturan
peristaltic usus
2) Anjurkan mencatat warna, frekuensi, konstipasi, volume feses
3) Anjurkan meningkatkan aktifitas fisik, sesuai toleransi
4) Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentukan gas
5) Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi setat
6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan, jika tidak ada kontraindikasi
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu

3. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
hipovolemia membaik dengan kriteria hasil :
1) Kadar Hb membaik
2) Kadar Ht membaik
3) Berat badan membaik
4) Intake cairan membaik
5) Turgor kulit membaik
6) Output urine membaik

Intervensi :
Observasi
1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (misalnya frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah)
2) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
1) Hitung kebutuhan cairan
2) Berikan posisi modified trendelenbreg
3) Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (misalnya NaCL, RL)
2) Kolaborasi pemberian cairan hipotonis (misalnya glukosa 2,5%, NaCL
0,4%)
3) Kolaborasi pemberian cairan kloid (misalnya albumin, plasmanate)
4) Kolaborasi pemberian produk darah

4. Risiko defisit nutrisi berhubungan dengan faktof fisikologis


(keengganan untuk makan)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan defisit
nutrisi dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) Nafsu makan membaik
2) Frekuensi makan meningkat
3) Nyeri abdomen membaik
4) Porsi makan yang dihabiskan meningkat
Intervensi :
Observasi
1) Identifikasi status nutrisi
2) Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3) Identifikasi makanan yang disukai
4) Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5) Monitor berat badan
6) Monitor asupan makanan
7) Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogatrik
8) Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1) Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2) Fasilitasi menentukan pedoman diit (misalnya, piramida makanan)
3) Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
4) Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
5) Berikan makanann tinggi kalori dan tinggi protein
6) Berikan suplemen makanan, jika perlu
7) Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
1) Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2) Ajarkan diet yang di programkan
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (misalnya pereda nyeri,
analgetik), jika perlu
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuuhkan.

5. Risiko infeksi ditandai dengan efek prosedur invansif


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan risiko
infeksi menurun dengan kriteria hasil :
1) Nyeri menurun
2) Kemerahan menurun
3) Bengkak menurun
4) Kebersihan tangan meningkat
5) Kebersihan badan meningkat
Intervensi :
Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan iskemik
Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung
2) Berikan perawatan kulit pada area edema
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3) Ajarkan etika batuk
4) Ajarkan memeriksa kondisi luka atau luka operasi
5) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6) Anjurkan meningkatkan asupan cairan

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, & Fibriani, A. I. (2018). HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH.


2(1), 57–68.
Mendri, N. K., & Prayogi, A. S. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit &
Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Dwiningrum, Erna dkk. (2020). Efektifitas Kompres Hangat Terhadap Perubahan
Tingkat Nyeri Pada Pasien Post Operasi TURP Di Ruang Rawat Inap RSI
Siti Aisyah Mediun. Health Sciences Journal Vol 4(No 1) (2020): 32-34
melalui http://studentjournal.ump.ac.id/index.php/HSJarticle/view/32.
[05/06/21].
Satrika, Erna Dwi. (2019). Perbandingan pengaruh Kompres Hangat Dan
Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien
Post Operasi Laparatomi Di Ruang Mawar RSUD. Dr . H Abdul Moelek
Provinsi Lampung 2019. melalui http//repository.poltekkes-tjk.ac.id/520.
[5/06/21].
Medik, R. (2021). Data Kejadian Kelainan Bawaan Lahir di RSI SA Tahun 2018-
2020. Semarang.
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit (2nd ed.). Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Langi, Y. A. (2013). Penatalaksanaan Nyeri. JURNAL BIOMEDIK (JSM).
Lokanata & Rochadi, 2014. (2014). Malformasi Anorectal. Sub Devision of
Pediatric Surgery Dpt Sardjito Hospital, 1–7.
M. Dewi & Aminah. (2016). Indonesia Journal Human Nutrion. Indonesia
Journal of Human Nutrion, 3 (1), 9-19.
https://foi.org/10.7454/jki.v20i1.439
Muslihatun 2010, h. 118 Rukiyah dan Yulianti 2010, h. 190.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fudamental Keperawatan:
konsep, proses dan praktik (Vols. 1, Edisi 7). Jakarta: ECG.
Putra, S. R. (2012). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita untuk Keperawatan dan
Kebidanan. Yogyakarta: D-Medika.
Riskesdas, 2018. (2018). Kelainan bawaan. Info Pusat dan Informasi Kementian
Kesehatan RI. Jakarta: ISN 244-7659.
Verawati, S., S, S., M, & H. (2013). No Title. Karakteristik Bayi Yang Menderita
Penyakit Hirschsprung Di RSUP H. Adam Malik Kota Medan, Vol 2 No.6.
Wong. (2012). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: ECG.
WHO. (April de2015). Definisi Sehat WHO. Fonte: World Healtth Organization:
Jakarta: www.who.int/indonesia.
Mandal, B. K., Wilkins, E. G. L., Dunbar, E. M., & Mayon-white, R. T. (2008).
Lecture Notes Penyakit Infeksi (6th ed.). Jakarta: Erlangga.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Supartini, Y . (2014). Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta: Dewan
Pengurus PPNI.
Bachrudin, M., & Najib, M. (2016). Keperawatan Medikal Bedah I. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
A. Konsep Penyakit Hirschprung
a. Definisi
Penyakit Hirschprung atau megacolon kongenital adalah penyakit yang
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion pada plexus myentericus (Aurbach)
dan plexus submucosa (Meissner) dari usus sehingga menjadi penyebab
obstruksi terbanyak pada neonates (Palissei, Wirawan, & Faruk, 2021) sel
ganglion berfungsi untuk mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos
dalam usus distal, tanpa adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot
dibagian usus besar tidak dapat melakukan gera peristaltik (gerak mendorong
keluar feses) (Radeanty, Ilawanda, & Anjarwati, 2020).
Pada periode bayi baru lahir, penyakit hirschprung sering datang ditandai
dengan gejala muntah-muntah, distensi abdomen, meconium keluar lebih dari
24 jam setelah kelahiran dan muntah kehijauan. Komplikasi yang harus
diwaspadai akibat penyakit hirschprung adalah enterocolitis, perforasi usus dan
sepsis yang merupakan penyebab kematian tersering. Tanda dan gejala yang
mucul yaitu berupa distensi abdomen dan terkait dengan toksisitas sistemik
yaitu demam, kegagalan pertumbuhan, periode konstipasi yang diselingi
dengan diare yang massif, dehidrasi, laterkgi dan syok (Maidah, Ismet, &
Santosa, 2020).
b. Etiologi
Penyebab belum diketahui tetapi diduga terjadi karena faktor genetik dan
lingkungan, sering terjadi pada anak down syndrome, kegagalan sel neural pada
masa embrio pada dinding anus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada
menyentrik dan submukosa dinding plexus (Nurarif dan Kusuma, 2019).
c. Klasifikasi
Pemeriksaan patologi anatomi dari penyakit hirschprung, sel ganglion
Auerbach dan Meissner tidak ditemukan serabut saraf menebal dan serabut otot
hipertofik. Aganglionis ini mulai dari anus kearah oral.
Berdasarkan (Tang & Li, 2018) panjang segmen yang terkena, penyakit
hirschprung dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori:
1. Penyakit hirschprung segmen pendek / short-segment HSCR (80%)
segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid. Merupakan 80% dari
kasus penyakit hirschprung dan sering ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan.
2. Penyakit hirschprung segmen panjang / long-segment HSCR (15%) daerah
aganglionosis dapat melebihi sigmoid bahkan dapat mengenai seluruh
kolon dan sampai usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki-laki
dan perempuan.
3. Total colonic aganglionosis (5%) bila segmen mengenai seluruh kolon.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit hirschsprung terbagi menjadi dua periode,
yaitu periode neonatal dan periode anak-anak.
1. Periode Neonatal.
Trias gejala klinis yang sering ditemukan pada penyakit
hirschsprung yaitu, pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau,
dan distensi abdomen. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
dikeluarkan segera. Pengeluaran mekonium yang terlambat lebih dari 24
jam merupakan tanda klinis yang signifikan pada HSCR. Namun,
pengeluaran normal mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan
didapatkan pada sebagian besar kasus TCA, yang mana tidak menunjukkan
gejala klasik seperti seharusnya sesuai dengan jenis HSCR lainnya
(Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).
2. Periode Anak-anak.
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen, jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-
liquid dan berbau busuk, penderita biasanya buang
air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit
untuk defekasi (Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).
e. Patofisiologi
Megakolon aganglionik merupakan istilah yang menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom
pada pleksus submucosa (Meissner) dan myenteric (Auerbach) pada satu
segmen kolon atau lebih. Keadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya gerakan peristaltik yang menyebabkan penumpukkan isi usus dan
distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megacolon). Selain itu,
kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap gejala
klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat (feses),
cairan dan gas.
Kegagalan migrasi kraniokaudal pada precursor sel ganglion sepanjang
saluran gastrointestinal antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12
merupakan penyebab penyakit hirschsprung. Distensi dan iskemia pada usus
bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi
menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang
merupakan penyebab kematian pada bayi atau anak dengan penyakit
hirschsprung (Radeanty, Ilawanda, & Anjarwati, 2020).
Gambar 1.1 Anatomi Hirschrsprung

f. Komplikasi
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
hisrchsprung yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi
saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai
dengan demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterocolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi (Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit hirschrsprung adalah sebagai berikut:
1) Temporasi ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasi usus
besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat
anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah
operasi pertama. Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan
seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah satu
prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar
yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah.
Prosedur Duhamel adalah mempertahankan kolon kearah bawah lalu
rectum dan sacrum dindingnya digabungkan menggunakan alat linear
stapler, kemudian dilakukan irisan pada bagian setengah posterior rectum
tepat pada linea dentata dengan ukuran 1,5-2,5 cm di musculocutaneus
junction, kolon ditarik melalui insisi bagian dalam anus (endoanal
incision) dan ganglion sel tampak pada kolon lalu diiris melintang dan
digabungkan ke potongan ujung dari rectum menciptakan penyambungan
kolorektal (end-to-side colorectal anastomosis) (Wibowo, 2021).
h. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien hirschrsprung yaitu: biopsi,
kolonoskopi, radiologis dengan kontras enema (Nadya, 2019).
1) Biopsi
Biopsi digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel abnormal dan untuk
membantu mendiagnosa berbagai kondisi kesehatan yang berbeda atau
untuk mengetahui jenis penyakit tertentu atau penyebab penyakit. Dalam
kasus di mana suatu kondisi yang telah di diagnosa, biopsi dapat
digunakan untuk mengukur seberapa parah kondisi hirschrsprung.
2) Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
terjadinya gangguan atau kelainan pada usus besar (kolon) dan rektum
yang sering menimbulkan gejala berupa sakit perut, darah pada tinja, diare
kronis, gangguan buang air besar atau gambaran abnormal di usus pada
pemeriksaan foto Rontgen dan CT scan.
3) Radiologis dengan kontras enema
Pemeriksaan radiologis untuk diagnosa lanjut pada penyakit
hirschrsprung yang akan muncul gambaran berupa transitional zone pada
sebagian kasus hirschrsprung dini (85-90%). namun untuk kasus pada
Diagnosa terlambat gambaran megakolon lebih sering terlihat dan biasanya
diikuti dengan gejala enterocolitis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hirschsprung
Asuhan keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis
berkesinambungan yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian
merencanakan tindakan untuk menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan
keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan. Tahap-tahap proses
keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan pelaksanaan,
pelaksanaan dan evaluasi kemudian didokumentasikan (Rohmah & Walid, 2020).
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya (Rohmah &
Walid, 2020). Pada tahap pengkajian terdapat beberapa metode pengumpulan
data wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi.
1) Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri abdomen.
Untuk pengkajian nyeri pada anak terdiri atas pengumpulan data subjektif
dan objektif. Keluhan orangtua pada bayinya dapat berupa muntah-
muntah. Keluhan gastrointestinal lain yang menyertai, seperti distensi
abdomen, mual, muntah, dan nyeri kolik abdomen.
2) Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, keluhan orangtua pada bayi
dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24 - 48 jam pertama
setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat
colok dubur merupakan tanda yang khas. Pada anak, selain tanda pada
bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada abdomen. Didapatkan
keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare berulang. Pada kondisi
kronis, orangtua sering mengeluh anak mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Anak mungkin didapatkan mengalami
kekurangan kalori – protein. Kondisi gizi buruk ini merupakan hasil dari
anak karena selalu merasa kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi
terkait dengan konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit,
maka akan terjadi enterokolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut ke
sepsis, transmural nekrosis usus, dan perforasi.
3) Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan kondisi
yang sama pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi sekitar 30% dari
kasus.
4) Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta
perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan.
5) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik.
Pada survei umum terlihat lemah atau gelisah. Tanda-tanda vital biasa
didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya
iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam
bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis. Pada pemeriksaan fisik
fokus pada area abdomen, lipat paha, dan rektum akan didapatkan:
a) Inspeksi: tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal.
Pemeriksaan rektum dan feses akan didapatkan adanya perubahan
feses seperti pita dan berbau busuk.
b) Auskultasi: pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
c) Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d) Palpasi: teraba dilatasi kolon pada abdomen.
6) Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi adanya Leukositosis dan gangguan
elektrolit atau metabolik; foto polos abdomen dengan dua posisi, yaitu
posisi tegak dan posisi berbaring untuk mendeteksi obstruksi intestinal
pola gas usus, serta USG untuk mendeteksi kelainan intra abdominal.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI DPP PPNI, 2017)
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien menurut Nurarif & Kusuma
(2019):
1) Inkontinensia fekal b.d penurunan tonus otot.
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan mual muntah (ketidakmampuan
mencerna makanan).
3) Risiko ketidakseimbangan cairan b.d muntah, diare dan pemasukan
terbatas karena mual.
4) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya
insisi (prosedur invansif).
c. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana
perawat mampu menetapkan menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efisien (Rohmah & Walid, 2020). Luaran (outcome) keperawatan merupakan
aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku atau
dari persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap
intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status Diagnosa
keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan ( SLKI DPP PPNI,
2019).
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan, sedangkan tindakan
keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan ( SIKI DPP
PPNI, 2018).
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana
perawat mampu menetapkan menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efesien. Perencanaan keperawatan menurut Muttaqin & Sari (2019) dari
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien adalah:
1) Inkontinensia fekal b.d penurunan tonus otot
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
kontinensia fekal membaik SLKI Kriteria Hasil:
a) Pengontrolan pengeluaran feses.
b) Defekasi.
c) Frekuensi buang air besar.
Intervensi:
SLKI: Manajemen eliminasi fekal
a) Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar.
b) Monitor buang air besar (mis. warna, frekuensi, konsistensi dan
volume).
c) Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau impaksi.
d) Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien.
e) Sediakan makanan tinggi serat.
f) Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan
keteraturan peristaltik usus.
g) Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentukkan gas.
h) Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat.
i) Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu.
2) Defisit nutrisi b.d mual muntah (ketidakmampuan mencerna makanan)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
status nutrisi SLKI membaik dengan kriteria hasil:
a) Porsi makanan yang di habiskan meningkat.
b) Kekuatan otot pengunyah meningkat.
c) Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat.
d) Pengetahuan tentang pilihan makana yang sehat meningkat.
e) Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat meningkat.
f) Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat
meningkat.
g) Sikap terhadap makanan/minumam sesuai dengan tujuan kesehatan
meningkat.
h) Berat badan membaik.
i) Indeks masa tubuh membaik.
j) Frekuensi makanan membaik.
k) Nafsu makan membaik.
3) Risiko ketidakseimbangan cairan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
keseimbangan cairan meningkat. SLKI, dengan Kriteria Hasil:
a) Asupan cairan.
b) Keluaran urin.
c) Kelembaban membran mukosa.
4) Risiko infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses
keperawatan Tingkat infeksi menurun, SLKI dengan Kriteria Hasil:
a) Demam.
b) Kemerahan.
c) Nyeri.
d. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien sebelum dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah &
Walid, 2019).
Menurut Nursalam (2018) ada 3 jenis tindakan keperawatan:
1) Independen (Mandiri) Tindakan keperawatan Independen adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah
dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2) Interdependen (kolaborasi) Adalah suatu tindakan keperawatan
menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan
tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi dan
dokter.
3) Dependen (ketergantungan atau rujukan) Adalah tindakan yang
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan ini
menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan.
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan menurut Rohmah & Walid, (2020) penilaian
dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan
evaluasi adalah untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan,
memodifikasi rencana tindakan keperawatan, meneruskan rencana tindakan
keperawatan. Menurut Rohmah & Walid (2020) evaluasi dibagi menjadi 2
macam yaitu:
1) Evaluasi proses (Formatif):
a) Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan
b) Berorientasi pada etiologi
c) Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang dilakukan
tercapai.
2) Evaluasi hasil (Sumatif):
a) Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara
paripurna.
b) Berorientasi pada masalah keperawatan.
c) Menjelaskan keberhasilan/tidak keberhasilan
d) Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan. Untuk memudahkan perawat
mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, dugunakan
SOAP.
Pengertian SOAP adalah sebagai berikut:
- S : Subyektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan
- O : Objektif Data objektif adalah data berdarkan hasil pengukuran
atau observasi perawat secara langsung kepada klien, data yang
dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
- A : Assesment Interpretasi dari data subjektif dan data objektif.
Assesment merupakan suatu masalahDiagnosa keperawatan yang
masih terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah
teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif
- P : Perencanaan Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
Tindakan yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak
memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan yang
perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk
menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk mencapai
keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang
dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah klien, tetapi perlu
ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternatif pilihan yang lain
diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Sedangkan
rencana tindakan yang perlu baru atau sebelumnya tidak ada yang
ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan yang ada
sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan
pelaporan yang diberikan, yang dimiliki perawat dalam melakukan
catatan perawat yang berguna untuk kepentingan klien, perawat, tim
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan dasar
komunikasi yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung
jawab perawat (Hidayat, 2019). Kegunaan dokumentasi adalah:
1) Sebagai alat komunikasi anatara anggota perawat dan anggota tim
lainnya.
2) Sebagai dokumentasi resmi dalam sistem pelayanan kesehatan.
3) Dapat digunakan sebagai bahan peneliti dalam bidang keperawatan.
4) Sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan keperawatan.
5) Sebagai alat pertanggungjawaban asuhan keperawatan yang
diberikan terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA

M. Dewi & Aminah. (2016). Indonesia Journal Human Nutrion. Indonesia Journal of
Human Nutrion, 3 (1), 9-19. https://foi.org/10.7454/jki.v20i1.439
Muslihatun 2010, h. 118 Rukiyah dan Yulianti 2010, h. 190.
Nadine, Z., Ekkehart, J., & Hermann, B. (2011). Parental risk factors and anorectal
malformations: Systematic Review and Mental-Analysis Orphanet Journal of
Rare Diseases.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fudamental Keperawatan: konsep,
proses dan praktik (Vols. 1, Edisi 7). Jakarta: ECG.
Putra, S. R. (2012). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita untuk Keperawatan dan
Kebidanan. Yogyakarta: D-Medika.
Riskesdas, 2018. (2018). Kelainan bawaan. Info Pusat dan Informasi Kementian
Kesehatan RI. Jakarta: ISN 244-7659.
Verawati, S., S, S., M, & H. (2013). No Title. Karakteristik Bayi Yang Menderita
Penyakit Hirschsprung Di RSUP H. Adam Malik Kota Medan, Vol 2 No.6.
Wong. (2012). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: ECG.
WHO. (April de2015). Definisi Sehat WHO. Fonte: World Healtth Organization:
Jakarta: www.who.int/indonesia.
Perpes, N. 2. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 2010- 2014.
Mandal, B. K., Wilkins, E. G. L., Dunbar, E. M., & Mayon-white, R. T. (2008).
Lecture Notes Penyakit Infeksi (6th ed.). Jakarta: Erlangga.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Supartini, Y . (2014). Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.
Suriadi, & Yuliani, R . (2010). Asuhan Keperawatan Anak edisi 2. Jakarta: CV. Sagung
Seto.
WRC, M. W. (2016). No Title. https://doi.org/Pengertian anak
Yuliastati, & Nining. (2016). Keperawatan Anak Komprehensif. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Bachrudin, M., & Najib, M. (2016). Keperawatan Medikal Bedah I. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
HIidayat, A.Aziz Alimul & Musrifatul Uliah 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Sigalingging, Ganda. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia : Buku Panduan Laboratorium.
Editor Wuri Praptiani. Jakarta : EGC
Sarfika, dkk. (2015). Pengaruh Teknik Distraksi Menonton Kartun Animasi Terhadap
Skala Nyeri Anak Usia Prasekolah Saat Pemasangan Infus Di Instalasi Rawat
Inap Anak RSUP DR. M. DJAMIL Padang. Jurnal Ners Keperawatan, 1 (11),
Maret 2015 : 32-40.

Anda mungkin juga menyukai