A. Pendahuluan
Keberhasilan seorang perawat dalam merawat luka pasien yang didapatkan dalam
sebuah periode perawatan luka tidak lepas dari ketepatan dan keakuratan dalam
melakukan pengkajian pasien yang bersifat holistik dan komprehensif
(Elizabeth.A.Ayello, 2012). Pengkajian pasien yang bersifat holistik dan
komprehensif bukan hanya dilakukan terhadap situasi dan kondisi luka pasien,
namun harus dapat berisikan berupa data diri pasien, riwayat penyakit terdahulu,
riwayat penyakit pasien saat ini dan pola kebiasaan pasien yang erat hubungannya
dengan proses penyembuhan luka pasien diwaktu kedepan.
Pengkajian luka yang benar, dilakukan oleh praktisi perawat berdasarkan prinsip atau
kaidah yang tepat dalam melakukan pengkajian luka. Dalam pelaksanaanya banyak
sekali tekhnik yang telah dikenalkan dan dilakukan dalam melakukan pengkajian
luka, namun tetap tidak ada satu tekhnik yang dapat mewakili sekian banyak kasus
luka untuk dilakukan pengkajian. Oleh karena itu, dengan telah banyaknya model
dan tehknik dalam proses pengkajian luka pasien, diharapkan praktiki luka di
lapangan dapat membuat sebuah pedoman yang mampu diadopsi dan dijalankan
dengan disesuaikan pada kebutuhan pengkajian luka ditiap daerah masing – masing.
Pengkajian dilakukan oleh seorang praktisi perawatan luka tidak hanya dalam hal
mengetahui kondisi luka yang ada pada tubuh pasien, namun juga harus dapat
memberikan data berupa faktor – faktor resiko penghambat penyembuhan luka baik
dari dalam tubuh pasien (Faktor Intrinsik)maupun faktor – faktor dari luar tubuh
pasien (Faktor Ekstrinsik) (Baranoski, 2012).
1. Faktor instrinsik penghambat penyembuhan luka :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Penyakit penyerta
d. Kelebihan berat badan (Obesitas)
e. Keadaan pembuluh darah (Vaskularisasi), perfusi dan oksigenasi jaringan.
f. Status nutrisi
g. Status Psikososial
h. Gangguan mobilisasi
i. Gangguan sensasi persarafan (Neuropati)
2. Faktor ekstrinsik penghambat penyembuhan luka :
a. Penggunaan obat – obatan (Kortikosteroid, antiplatelet)
b. Terapi radiasi dan kemoterapi
c. Kelembapan dan suhu luka
d. Kebersihan lingkungan disekitar luka
e. Benda asing di luka
f. Infeksi luka
g. Tekanan pada luka
h. Pergeseran pada balutan luka
i. Manajemen penatalaksanaan luka.
Contoh format pengkajian luka di klinis :
Tingkat keparahan dari kerusakan atau kehilangan jaringan pada luka dapat juga
digambarkan melalui beberapa stadium luka (Stadium I – IV).
a. Stadium I : Lapisan epidermis yang masih utuh, namun mulai ada eritema atau
perubahan warna pada sekitar luka.
4. Lokasi Luka
Lokasi atau area dimana luka berada sangatlah menentukan kemudahan dalam
merawat luka dan pencapaian target dari waktu pemulihan luka yang seutuhnya.
Lokasi luka di sekitar persendian cenderung bergerak dan tergesek, mungkin lebih
lambat sembuh karena regenerasi dan migrasi sel terkena trauma (siku, lutut, tumit
kaki). atau diarea yang cenderung selalu akan tertekan sehingga membuat luka
sukar bergranukasi, atau lokasi dengan adanya gaya lipatan (shear force ) akan
lambat sembuh (pinggul, bokong).
Gambar 7 : Aplikasi Alat Ukur Luka (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)
Gambar 8 : Luka Bakar Pada Anak (Dokumen Asli Muzakki Woundcare Clinic)
Analisa Luka
Proses melakukan analisa luka harus dimulai sejak luka dilakukan pengkajian luka,
pencucian dan pembersihan luka dan persiapan dasar luka (Wound bed preparation)
untuk dapat memulai merencakan program perawatan luka, balutan luka yang akan
dipakai dan berapa lama proses penggantian luka yang akan dilakukan terhadap luka
yang akan dirawat (Sharon Baranoski, 2012).
Salah satu langkah mudah dalam menganalisa luka sejak awal, saat proses perawatan dan
menjelang kesembuhan adalah dengan menggunakan tabel algoritme luka dibawah ini.
Gambar 13 : Tabel Algoritma Luka
Berdasarkan tabel algoritme luka diatas, praktisi perawatan luka akan lebih mudah dalam
menerapkan rencana program perawatan luka, pemilihan balutan luka, intervensi mandiri
keperawatan yang bisa dilakukan dan sampai pada tahap evaluasi penyembuhan luka apa
sesuai dengan waktunya atau tidak. Sehingga akan lebih membuat perawatan luka
menjadi lebih efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Morgan N. Measuring Wounds. Wound Care Advisor.http://woundcareadvisor.com/measuring-wounds/. Published July 11, 2012.
Van Rijswijk, L. (2013). Wound wise: Measuring wounds to improve outcomes. Nursing Center.com.http://www.nursingcenter.com/lnc/JournalArticle?
Article_ID=1575606.
measurements
Baranoski, S., & Ayello, E.A. (2012). Wound Care Essentia: Practice Principles. 3th Edition. New York: Lippincott Williams and Wilkins
Bates-Jensen, B.M. (1997). The Pressure Sore Status Tool a Few Thousand Assessment Later. AdvWound Care, 10(5):65-73
Bryant, R., and Nix., D. (2007). Acute and Chronic Wounds: Current Management Concepts. 3rd ed. St. Louis, MO: Elsevier Mosby.
Carville, K. (2007). Wound Care: Manual. 5thed. Osborne Park:Silver Chain Foundation
MATERI KEPERAWATAN ANAK KRITIS DENGAN ATRESIA ANI
Latar belakang
Berdasarkan (WHO, 2015), kesehatan menggambarkan suatu kondisi yang dinamis,
meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental, kesehatan sosial dan tidak hanya terbebas dari
suatu penyakit, ketidaksempurnaan dan kelemahan. Dikatakan bahwa sehat yang baik
berarti orang tersebut tidak mempunyai masalah klinis. Organnya berfungsi dengan
normal dan dia tidak sakit. Sehat secara mental atau pisikis ialah sehatnya pikiran,
emosional, dan spiritual dari seseorang. Sedangkan, berdasarkan UU Nomor 25 Tahun
2014 mengenai SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), Undang-Undang
diatas dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan semua
orang untuk hidup sehat, sehingga tercapai tingkat derajat kesehatan yang tertinggi dapat
tercapai, yang merupakan investasi pada sumber daya manusia dengan produktifitas
sosial dan ekonomis
Menurut (WHO, 2010), diperkirakan sekitar 7% dari semua kematian bayi di dunia
disebabkan oleh kelainan kongenital, tetapi angka tersebut menurun sampai 0,1 pada
tahun 2017, sedangkan skala pemicu kematian bayi di dunia pada tahun 2015, pada bayi
dengan kelainan bawaan sebanyak
303.000. presentase kategori kelainan bawaan pada pemeriksaan sentinel untuk penderita
Atreesia ani mencapai 9, 7% (Riskesdas, 2018). Di Eropa, kurang lebih 25% kematian
neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Asia Tenggara angka kejadian kelainan
kongenital mencapai 5% dari jumlah bayi baru lahir, sedangkan di Indonesia angka
kejadian kelainan kongenital mencapai 5 per 1.000 kelahiran hidup (Verawati, S., S, S.,
M, & Hiswani 2013).
MAR merupakan penyakit yang melebar luas yang menghubungkan anus/rektum serta
perkemihan dan alat kelamin.Kelainan kongenital yaitu suatu kelainan yang ditemukan
pada bayi baru lahir. Kelainan tersebut terjadi pada struktur fungsi dan metabolisme
tubuh bayi. Diantara kelainan-kelainan bawaan MAR atau Atresia Ani ialah salah
satunya. Seorang ibu yang mempunyai obesitas, mempunyai riwayat diabetes dan
perokok merupakan faktor risiko potensial untuk malformasi anorektal. Sedangkan
penyebab
kelainan kongenital meliputi usia, riwayat penyakit, serta jarak antar kelahiran (Nadine,
Z., Ekkehart, J., & Hermann, 2011)
Salah satu solusi untuk mengatasi Malformasi anorektal atau Atresia ani yaitu dengan
dilakukannya tindakan pembedahan melaui 3 tahapan yaitu yang pertama pembuatan
kolostomi segera setelah lahir, kedua dilakukannya Posterio Sagital Ano Rektal Plasy
(PSARP) untuk pembuatan anus, tahapan selanjutnya yaitu pelebaran anus atau businasi.
Setelah lubang anus sesuai dengan ukuran yang diharapkan, maka akan dilakukan
penutupan kolostomi, sehingga pasien dapat buang air besar melalui anus buatan. Para
penderita Atresia ani umumnya akan menunjukan tanda dan gejala dalam hitungan
waktu 24 jam sampai 48 jam pertama, berupa perut kembung, muntah, mekonium tidak
keluar pada 24 jam, serta tidak dapat buang air besar (BAB). Tanda dan gejala yang
membedakan antara penderita laki-laki dan perempuan ialah terjadinya fistel, pada bayi
perempuan sering terjadifistel rektourinal (Dewi, 2013).
A. B. Konsep Dasar Malformasi Anorektal
1. Definisi
Malformasi Anorektal atau Atresia ani merupakan salah satu dari berbagai
kelainan kongenital yang menimpa pada anak. Anus imperfrote (Atresia Ani)
yaitu suatu keadaan dimana lubang anus tidak memiliki lubang. Atresia berasal
dari bahasa Yunani berarti tidak ada, dan trepis artinya nutrisi atau makanan.
Menurut istilah ilmu kedokteran, atresia ani adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan yang normal (Putra, 2012).
Atresia Ani adalah kelainan kongenital atau kelainan bawaan yang menunjukan
keadaan seseorang yang tidak mempunyai anus atau anus dalam keadaan tidak
sempurna. Perkembangan pada saat ini untuk mengatasi Mallformasi Anorektal
diantaranya yaitu dengan terapi pembedahan yang sudah pernah dijumpai cut
back sederhana hingga yang sering dilakukan pada saat ini disebut Posterio
Sagital Ano Rektal Plasy (PSARP) (Lokanata & Rochadi, 2014).
2. Etiologi
Menurut (Betz, L. C., & Gowden, 2012),
a. Penyebabnya belum dapat diketahui secara betul atau pasti
b. Merupakan keabnormalan gastrointestinal dan ganitourynari. Namun ada
sumber juga yang mengatakan bahwa Malformasi anorektal disebabkan
oleh:
1) Terdapat adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara
sempurna dikarenakan adanya gangguan fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik.
2) Terputusnya saluran cerna pada bagian atas dengan dubur sehingga
menyebabkan bayi lahir tanpa lubang anus atau keadaan anus tidak
sempurna.
3) Terdapat adanya gangguan organogenesis saat masa kehamilan,
penyebab atresia ani biasanya kegagalan pertubuhan janin di dalam
kandungan saat umur 12 mingguu atau 3 bulan.
4) Kongenital dimana sfingter internal yang mungkin kurang memadai.
3. Patofisiologi
Normalnya pada usia kehamilan 5 minggu (35 hari) akan terjadi pemisahan
antara rektum dengan sinus urogenital. Dan pada usia minggu ke-8 minggu (56
hari) akan terjadi repture pada membrane anus yang mengakibatkan
terbentuknya lubang dikulit anus. Malformasi anorektal ini terjadi karena
terganggunya proses perkembangan organ atau adanya kelainan saat
embryogenesis. Namun demikian etiologinya belum dapat diketahui secara
pasti, diduga bersifat multifaktorial. Kelainan ini bisa mengenai saluran usus
pada bagian bawah dan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara anus
atau rektum kloaka akan menimbulkan fistula (Fitri, 2016).
4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis pada penderita Malformasi anorektal (Atresia ani)
menurut (Nurarif & Kusuma, 2015) adalah tidak keluarnya mekonium pada 24
jam pertama setelah bayi dilahirkan.
5. Pemeriksaan Diagnostik
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yang bertujuan
untuk memastikan diagnosis diantaranya :
a. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya obstruksi
intestinal.
b. Sinar X pada abdomen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan kejelasan gambaran
keseluruhan bowel serta untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rektum dan sfingternya.
c. CT-Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada lesi atau tidak.
d. Pvelografi intra vena
Pemeriksaann ini digunakan untuk mengecek pelviokalises dan ureter.
e. Pemeriksaan pada rektum
Pemeriksaan ini biasanya akan dilakukan colok dubur atau lebi
gampangnya dilakukan pengecekan suhu melalui anus.
f. Rongenogram abdomen dan pelvis
6. Komplikasi
Menurut (Wong, 2012)komplikasi penderita Atresia ani yaitu :
a. Terdapat penyumbatan
b. Terdapat luka pada usus
c. Adanya kerusakan pada uretra akibat pembedahan
d. Terjadi komplikasi pada waktu yang lama
1) Eversi mukosa anal
2) Stenosis
e. Terjadinya keterlambatan atau masalah yang berhubungan dengan toilet
training.
f. Inkontinensia akibat stenosis awal
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula berulang, karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi.
i. Sepsis
7. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Hidayat, 2010), penatalaksanaan pada penderita Atresia ani yaitu :
Pengkajian keperawatan
a. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar atau BAB,
meconium keluardari lubang vagina atau meconium terdapat dalam urin.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24 sampai 48 jam pertama kelahiran
3) Riwayat kesehatan keluarga
Merupakan suatu kelainan kongenital bukan kelainan atau penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh anggota keluarga yang lainnya.
b. Riwayat tumbuh kembang
1) Berat badan lahir tidak normal
2) Kemampuan anak, baik motorik kasar, halus, kongnitif dan tumbuh kembang
anak pernah mengalami trauma saat sakit atau trauma lainnya.
3) Riwayat kehamilan mengalami infeksi intrapartal
4) Riwayat kehamilan tidak keluar mekonium
c. Pola nutrisi metabolik
Anak akan mengalami penurunan berat badan.
d. Pola eliminasi
Dikarenakan anus buatan belum berfungsi scara normal sehingga menyebabkan
klien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme yang dapat menyebabkan
kesulitan untuk mengeluarkan feses.
e. Pola aktivitas dan istirahat
Pada pola aktivitas serta latihan ini dipertahankan berguna untuk menghindari
terjadinya kelemahan otot.
f. Pola tidur dan istirahat
Pada penderita Atresia Ani klien cenderung terganggu pola tidur dan istirahatnya
dikarenakan rasa nyeri pada area abdomen akibat prosedur operasi rekolostomi.
g. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan hasil yaitu : adanya luka pembuatan
rekolostomi, luka penutupan kolostomi dan Post Posterio Sagital Ano Rektal
Plasy (PSARP) pada anus.
Intervensi :
Observasi
1) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (misalnya frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematokrit meningkat, haus, lemah)
2) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
1) Hitung kebutuhan cairan
2) Berikan posisi modified trendelenbreg
3) Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2) Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (misalnya NaCL, RL)
2) Kolaborasi pemberian cairan hipotonis (misalnya glukosa 2,5%, NaCL
0,4%)
3) Kolaborasi pemberian cairan kloid (misalnya albumin, plasmanate)
4) Kolaborasi pemberian produk darah
DAFTAR PUSTAKA
f. Komplikasi
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
hisrchsprung yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi
saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk, dan disertai
dengan demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus hirschsprung datang
dengan manifestasi klinis enterocolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi (Setiadi, Haikal, & Sunanto, 2021).
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit hirschrsprung adalah sebagai berikut:
1) Temporasi ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasi usus
besar untuk mengembalikan ukuran normalnya.
2) Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat
anak mencapai sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah
operasi pertama. Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan
seperti Swenson, Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah satu
prosedur yang paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar
yang normal bagian akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah.
Prosedur Duhamel adalah mempertahankan kolon kearah bawah lalu
rectum dan sacrum dindingnya digabungkan menggunakan alat linear
stapler, kemudian dilakukan irisan pada bagian setengah posterior rectum
tepat pada linea dentata dengan ukuran 1,5-2,5 cm di musculocutaneus
junction, kolon ditarik melalui insisi bagian dalam anus (endoanal
incision) dan ganglion sel tampak pada kolon lalu diiris melintang dan
digabungkan ke potongan ujung dari rectum menciptakan penyambungan
kolorektal (end-to-side colorectal anastomosis) (Wibowo, 2021).
h. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien hirschrsprung yaitu: biopsi,
kolonoskopi, radiologis dengan kontras enema (Nadya, 2019).
1) Biopsi
Biopsi digunakan untuk mengidentifikasi sel-sel abnormal dan untuk
membantu mendiagnosa berbagai kondisi kesehatan yang berbeda atau
untuk mengetahui jenis penyakit tertentu atau penyebab penyakit. Dalam
kasus di mana suatu kondisi yang telah di diagnosa, biopsi dapat
digunakan untuk mengukur seberapa parah kondisi hirschrsprung.
2) Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui
terjadinya gangguan atau kelainan pada usus besar (kolon) dan rektum
yang sering menimbulkan gejala berupa sakit perut, darah pada tinja, diare
kronis, gangguan buang air besar atau gambaran abnormal di usus pada
pemeriksaan foto Rontgen dan CT scan.
3) Radiologis dengan kontras enema
Pemeriksaan radiologis untuk diagnosa lanjut pada penyakit
hirschrsprung yang akan muncul gambaran berupa transitional zone pada
sebagian kasus hirschrsprung dini (85-90%). namun untuk kasus pada
Diagnosa terlambat gambaran megakolon lebih sering terlihat dan biasanya
diikuti dengan gejala enterocolitis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Hirschsprung
Asuhan keperawatan adalah serangkaian tindakan sistematis
berkesinambungan yang meliputi tindakan untuk mengidentifikasi masalah
kesehatan individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian
merencanakan tindakan untuk menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan
keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan. Tahap-tahap proses
keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan pelaksanaan,
pelaksanaan dan evaluasi kemudian didokumentasikan (Rohmah & Walid, 2020).
a. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan. Pengkajian
merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya (Rohmah &
Walid, 2020). Pada tahap pengkajian terdapat beberapa metode pengumpulan
data wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi.
1) Keluhan utama yang lazim ditemukan pada anak adalah nyeri abdomen.
Untuk pengkajian nyeri pada anak terdiri atas pengumpulan data subjektif
dan objektif. Keluhan orangtua pada bayinya dapat berupa muntah-
muntah. Keluhan gastrointestinal lain yang menyertai, seperti distensi
abdomen, mual, muntah, dan nyeri kolik abdomen.
2) Pengkajian riwayat kesehatan sekarang, keluhan orangtua pada bayi
dengan tidak adanya evakuasi mekonium dalam 24 - 48 jam pertama
setelah lahir diikuti obstruksi konstipasi, muntah, dan dehidrasi. Gejala
ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti
dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Adanya feses yang menyemprot pada saat
colok dubur merupakan tanda yang khas. Pada anak, selain tanda pada
bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada abdomen. Didapatkan
keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare berulang. Pada kondisi
kronis, orangtua sering mengeluh anak mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan. Anak mungkin didapatkan mengalami
kekurangan kalori – protein. Kondisi gizi buruk ini merupakan hasil dari
anak karena selalu merasa kenyang, perut tidak nyaman, dan distensi
terkait dengan konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya proses penyakit,
maka akan terjadi enterokolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut ke
sepsis, transmural nekrosis usus, dan perforasi.
3) Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan kondisi
yang sama pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi sekitar 30% dari
kasus.
4) Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta
perlunya pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan.
5) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik.
Pada survei umum terlihat lemah atau gelisah. Tanda-tanda vital biasa
didapatkan hipertermi dan takikardi dimana menandakan terjadinya
iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi. Tanda dehidrasi dan demam
bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis. Pada pemeriksaan fisik
fokus pada area abdomen, lipat paha, dan rektum akan didapatkan:
a) Inspeksi: tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal.
Pemeriksaan rektum dan feses akan didapatkan adanya perubahan
feses seperti pita dan berbau busuk.
b) Auskultasi: pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
c) Perkusi: timpani akibat abdominal mengalami kembung.
d) Palpasi: teraba dilatasi kolon pada abdomen.
6) Pengkajian diagnostik yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi adanya Leukositosis dan gangguan
elektrolit atau metabolik; foto polos abdomen dengan dua posisi, yaitu
posisi tegak dan posisi berbaring untuk mendeteksi obstruksi intestinal
pola gas usus, serta USG untuk mendeteksi kelainan intra abdominal.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai respons
klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya
baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respon klien, keluarga dan komunitas
terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (SDKI DPP PPNI, 2017)
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien menurut Nurarif & Kusuma
(2019):
1) Inkontinensia fekal b.d penurunan tonus otot.
2) Defisit nutrisi berhubungan dengan mual muntah (ketidakmampuan
mencerna makanan).
3) Risiko ketidakseimbangan cairan b.d muntah, diare dan pemasukan
terbatas karena mual.
4) Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan dan adanya
insisi (prosedur invansif).
c. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana
perawat mampu menetapkan menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efisien (Rohmah & Walid, 2020). Luaran (outcome) keperawatan merupakan
aspek-aspek yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku atau
dari persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap
intervensi keperawatan. Luaran keperawatan menunjukkan status Diagnosa
keperawatan setelah dilakukan intervensi keperawatan ( SLKI DPP PPNI,
2019).
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk
mencapai luaran (outcome) yang diharapkan, sedangkan tindakan
keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan ( SIKI DPP
PPNI, 2018).
Perencanaan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam
diagnosa keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana
perawat mampu menetapkan menyelesaikan masalah dengan efektif dan
efesien. Perencanaan keperawatan menurut Muttaqin & Sari (2019) dari
Diagnosa yang mungkin muncul pada pasien adalah:
1) Inkontinensia fekal b.d penurunan tonus otot
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
kontinensia fekal membaik SLKI Kriteria Hasil:
a) Pengontrolan pengeluaran feses.
b) Defekasi.
c) Frekuensi buang air besar.
Intervensi:
SLKI: Manajemen eliminasi fekal
a) Identifikasi masalah usus dan penggunaan obat pencahar.
b) Monitor buang air besar (mis. warna, frekuensi, konsistensi dan
volume).
c) Monitor tanda dan gejala diare, konstipasi atau impaksi.
d) Jadwalkan waktu defekasi bersama pasien.
e) Sediakan makanan tinggi serat.
f) Jelaskan jenis makanan yang membantu meningkatkan
keteraturan peristaltik usus.
g) Anjurkan pengurangan asupan makanan yang meningkatkan
pembentukkan gas.
h) Anjurkan mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi serat.
i) Kolaborasi pemberian obat supositoria anal, jika perlu.
2) Defisit nutrisi b.d mual muntah (ketidakmampuan mencerna makanan)
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
status nutrisi SLKI membaik dengan kriteria hasil:
a) Porsi makanan yang di habiskan meningkat.
b) Kekuatan otot pengunyah meningkat.
c) Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi meningkat.
d) Pengetahuan tentang pilihan makana yang sehat meningkat.
e) Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat meningkat.
f) Pengetahuan tentang standar asupan nutrisi yang tepat
meningkat.
g) Sikap terhadap makanan/minumam sesuai dengan tujuan kesehatan
meningkat.
h) Berat badan membaik.
i) Indeks masa tubuh membaik.
j) Frekuensi makanan membaik.
k) Nafsu makan membaik.
3) Risiko ketidakseimbangan cairan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
keseimbangan cairan meningkat. SLKI, dengan Kriteria Hasil:
a) Asupan cairan.
b) Keluaran urin.
c) Kelembaban membran mukosa.
4) Risiko infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam proses
keperawatan Tingkat infeksi menurun, SLKI dengan Kriteria Hasil:
a) Demam.
b) Kemerahan.
c) Nyeri.
d. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien sebelum dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah &
Walid, 2019).
Menurut Nursalam (2018) ada 3 jenis tindakan keperawatan:
1) Independen (Mandiri) Tindakan keperawatan Independen adalah suatu
kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah
dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
2) Interdependen (kolaborasi) Adalah suatu tindakan keperawatan
menjelaskan suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerjasama dengan
tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli gizi, fisioterapi dan
dokter.
3) Dependen (ketergantungan atau rujukan) Adalah tindakan yang
berhubungan dengan pelaksanaan rencana tindakan medis. Tindakan ini
menandakan suatu cara dimana tindakan medis dilaksanakan.
e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan menurut Rohmah & Walid, (2020) penilaian
dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati)
dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Tujuan
evaluasi adalah untuk mengakhiri rencana tindakan keperawatan,
memodifikasi rencana tindakan keperawatan, meneruskan rencana tindakan
keperawatan. Menurut Rohmah & Walid (2020) evaluasi dibagi menjadi 2
macam yaitu:
1) Evaluasi proses (Formatif):
a) Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan
b) Berorientasi pada etiologi
c) Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang dilakukan
tercapai.
2) Evaluasi hasil (Sumatif):
a) Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara
paripurna.
b) Berorientasi pada masalah keperawatan.
c) Menjelaskan keberhasilan/tidak keberhasilan
d) Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan
kerangka waktu yang ditetapkan. Untuk memudahkan perawat
mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, dugunakan
SOAP.
Pengertian SOAP adalah sebagai berikut:
- S : Subyektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih
dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan
- O : Objektif Data objektif adalah data berdarkan hasil pengukuran
atau observasi perawat secara langsung kepada klien, data yang
dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
- A : Assesment Interpretasi dari data subjektif dan data objektif.
Assesment merupakan suatu masalahDiagnosa keperawatan yang
masih terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah
teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif
- P : Perencanaan Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
Tindakan yang telah menunjukkan hasil yang memuaskan dan tidak
memerlukan tindakan ulang pada umumnya dihentikan. Tindakan yang
perlu dilanjutkan adalah tindakan yang masih kompeten untuk
menyelesaikan masalah klien dan membutuhkan waktu untuk mencapai
keberhasilannya. Tindakan yang perlu dimodifikasi adalah tindakan yang
dirasa dapat membantu menyelesaikan masalah klien, tetapi perlu
ditingkatkan kualitasnya atau mempunyai alternatif pilihan yang lain
diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan. Sedangkan
rencana tindakan yang perlu baru atau sebelumnya tidak ada yang
ditentukan bila timbul masalah baru atau rencana tindakan yang ada
sudah tidak kompeten lagi untuk menyelesaikan masalah yang ada.
Dokumentasi keperawatan merupakan bukti pencatatan dan
pelaporan yang diberikan, yang dimiliki perawat dalam melakukan
catatan perawat yang berguna untuk kepentingan klien, perawat, tim
kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan dan dasar
komunikasi yang akurat dan lengkap secara tertulis dengan tanggung
jawab perawat (Hidayat, 2019). Kegunaan dokumentasi adalah:
1) Sebagai alat komunikasi anatara anggota perawat dan anggota tim
lainnya.
2) Sebagai dokumentasi resmi dalam sistem pelayanan kesehatan.
3) Dapat digunakan sebagai bahan peneliti dalam bidang keperawatan.
4) Sebagai alat yang digunakan dalam bidang pendidikan keperawatan.
5) Sebagai alat pertanggungjawaban asuhan keperawatan yang
diberikan terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA
M. Dewi & Aminah. (2016). Indonesia Journal Human Nutrion. Indonesia Journal of
Human Nutrion, 3 (1), 9-19. https://foi.org/10.7454/jki.v20i1.439
Muslihatun 2010, h. 118 Rukiyah dan Yulianti 2010, h. 190.
Nadine, Z., Ekkehart, J., & Hermann, B. (2011). Parental risk factors and anorectal
malformations: Systematic Review and Mental-Analysis Orphanet Journal of
Rare Diseases.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA. Yogyakarta: Mediaction Publishing.
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Buku Ajar Fudamental Keperawatan: konsep,
proses dan praktik (Vols. 1, Edisi 7). Jakarta: ECG.
Putra, S. R. (2012). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita untuk Keperawatan dan
Kebidanan. Yogyakarta: D-Medika.
Riskesdas, 2018. (2018). Kelainan bawaan. Info Pusat dan Informasi Kementian
Kesehatan RI. Jakarta: ISN 244-7659.
Verawati, S., S, S., M, & H. (2013). No Title. Karakteristik Bayi Yang Menderita
Penyakit Hirschsprung Di RSUP H. Adam Malik Kota Medan, Vol 2 No.6.
Wong. (2012). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: ECG.
WHO. (April de2015). Definisi Sehat WHO. Fonte: World Healtth Organization:
Jakarta: www.who.int/indonesia.
Perpes, N. 2. (2010). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. 2010- 2014.
Mandal, B. K., Wilkins, E. G. L., Dunbar, E. M., & Mayon-white, R. T. (2008).
Lecture Notes Penyakit Infeksi (6th ed.). Jakarta: Erlangga.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Supartini, Y . (2014). Buku Ajar Konsep Keperawatan Anak. Jakarta: Dewan Pengurus
PPNI.
Suriadi, & Yuliani, R . (2010). Asuhan Keperawatan Anak edisi 2. Jakarta: CV. Sagung
Seto.
WRC, M. W. (2016). No Title. https://doi.org/Pengertian anak
Yuliastati, & Nining. (2016). Keperawatan Anak Komprehensif. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Bachrudin, M., & Najib, M. (2016). Keperawatan Medikal Bedah I. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
HIidayat, A.Aziz Alimul & Musrifatul Uliah 2014. Pengantar Kebutuhan Dasar
Manusia. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Sigalingging, Ganda. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia : Buku Panduan Laboratorium.
Editor Wuri Praptiani. Jakarta : EGC
Sarfika, dkk. (2015). Pengaruh Teknik Distraksi Menonton Kartun Animasi Terhadap
Skala Nyeri Anak Usia Prasekolah Saat Pemasangan Infus Di Instalasi Rawat
Inap Anak RSUP DR. M. DJAMIL Padang. Jurnal Ners Keperawatan, 1 (11),
Maret 2015 : 32-40.