Anda di halaman 1dari 15

MODUL PERAWATAN LUKA MODERN

PENGKAJIAN LUKA

Disusun Oleh :

Nurul Shabrina NIM.191913010

Sudirman NIM.191913014

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH TANJUNGPINANG

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

2021

1
Modul Perawatan Luka Modern

Dosen : Zakiah Rahman, S. Kep, Ns, M. Kep

I. Pendahuluan
Luka sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. Setiap
manusia pasti pernah mengalami yang namanya luka entah itu luka ringan,
sedang maupun berat. Hasil identifikasi catatan kesehatan selama 5 tahun
terakhir yang berasal dari 59 pusat rawat jalan di 18 negara bagian USA
menyebutkan bahwa kebanyakan pasien yang menderita luka adalah laki-laki
dengan jumlah 52,3% dan rata-rata usia 61,7 tahun. Lebih dari 1,6% pasien
meninggal dalam pelayanan atau dalam waktu 4 minggu sejak kunjungan
terakhir. Hampir dua pertiga luka sembuh (65,8%) dengan waktu rata-rata
untuk sembuh 15 minggu dan 10% luka membutuhkan waktu 33 minggu atau
lebih untuk sembuh (Fife, Carter, Walker, & Thomson, 2012).
Setiap luka baik itu luka akut maupun luka kronik pasti akan selalu
melibatkan yang namanya kulit dalam berbagai hal entah itu melalui
pembedahan, skin graft, maupun trauma. Ketika seorang perawat atau tenaga
kesehatan melakukan perawatan terhadap luka, terlebih dahulu harus diteliti
dengan seksama kondisi atau integritas kulit pasien tersebut (Maryunani,
2015). Oleh karena itu perawatan luka harus berlandaskan pada pengetahuan
dasar yang komperhensif terhadap struktur dan fungsi kulit. Dalam perawatan
luka di kenal dua teknik dasar yang sering di terapkan untuk merawat luka
yaitu teknik steril dan teknik bersih. Teknik steril lebih cenderung ke
penggunaan alat yang telah di sterilkan baik dengan alat sterilisasi maupun
dari pabrik tempat alat tersebut diproduksi. Sedangkan teknik bersih lebih
cenderung ke penggunaan alat yang sudah cukup dengan keadaan yang bersih
tanpa perlu di sterilisasi terlebih dahulu (Semer, 2013).

2
II. Landasan Teori
A. Definisi
Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau
pembedahan. Luka bisa diklasifi kasikan berdasarkan struktur anatomis,
sifat, proses penyembuhan, dan lama penyembuhan. Selain itu juga luka
didefinisikan sebagai rusaknya kesatuan / komponen jaringan, dimana
secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang
(Maryunani, 2015).

B. Jenis Luka
Luka di bedakan menjadi dua berdasarkan waktu penyembuhannya
yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut yaitu luka yang baru dan
penyembuhannya berlansung kurang dari beberapa hari. Sedangkan luka
kronis dapat didefinisikan sebagai luka yang karena beberapa alasan
sehingga proses penyembuhannya terhambat. Luka kronis dapat
berlangsung selama beberapa minggu atau berbulan-bulan bahkan tahunan
tergantung penanganan dari luka tersebut (Semer, 2013).
Luka dapat di bedakan berdasarkan kecenderungan dan derajat
kontaminasi luka, yaitu Luka bersih, Luka bersih-terkontaminasi, Luka
terkontaminasi, Luka kotor atau terinfeksi (Kozier, Erb, Berman, &
Snyder, 2011).
1. Luka bersih, merupakan luka yang tidak terinfeksi, terdapat proses
inflamasi yang sangat minimal dan tidak mengenai saluran nafas,
saluran cerna, saluran genitalia, dan saluran kemih. Luka bersih
terutama terdapat pada luka tertutup.
2. Luka bersih-terkontaminasi, merupakan luka bedah yang telah
mengenai saluran nafas, saluran cerna, saluran genitalia, dan saluran
kemih. Luka tersebut tidak memperlihatkan tanda infeksi.
3. Luka terkontaminasi, merupakan luka terbuka, baru, akibat
kecelakaan, dan luka pembedahan yang tidak di lakukan dengan
teknik steril atau adanya sejumlah besar rembesan dari saluran cerna.
Luka terkontaminasi memperlihatkan terjadinya proses inflamasi.

3
4. Luka kotor atau terinfeksi, merupakan luka yang berisi jaringan mati
dan luka yang memperlihatkan tanda-tanda infeksi klinis seperti
drainase purulen.

C. Stadium Luka / Tingkat Luka


Berdasarkan kedalam dan luasnya luka di bagi menjadi stadium I s/d
stadium IV (Maryunani, 2015).

1. Stadium I : Luka superfisial “Non-Blanching Erithema” Yaitu luka


yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
2. Stadium II : Luka “Partial Thickness” Yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis atau bagian atas dari dermis tetapi tidak
melintasinya. Tanda klinis dari luka stadium II antara lain abrasi,
blister atau lubang yang dangkal, lembab dan nyeri.
3. Stadium III : Luka “Full Thickness” Yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan epidermis, dermis dan subkutan tetapi belum
melewatinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai
suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jarigan
sekitarnya. Bisa meliputi jaringan nekrotik atau infeksi.
4. Stadium IV : Luka “Full Thickness” Yaitu luka yang telah mencapai
lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi atau
kerusakan yang luas.

4
D. Lokasi Luka
Merupakan tempat terjadinya luka pada anatomi tubuh si pasien.
Lokasi luka perlu di ketahui untuk memprediksi penyembuhan luka.
Lokasi luka telah terbukti mempengaruhi penyembuhan. Namun, lokasi
spesifik mana yang menguntungkan atau merugikan penyembuhan masih
harus ditentukan.
Luka pada daerah lipatan cenderung aktif bergerak dan tertarik
sehingga memperlambat proses penyembuhan akibat sel-sel yang telah
beregenerasi dan bermigrasi trauma. Contohnya luka pada lutut, siku, dan
telapak kaki. Begitu juga dengan area yang sering tertekan atau daerah
penonjolan tulang seperti pada daerah sacrum. Selain itu proses
penyembuhan luka sangat bergantung pada baik tidaknya vascularisasi
daerah yang terkena.

E. Pengukuran Luka.
Secara garis besar ada 4 parameter yang digunakan dalam
pengukuran luka, yaitu; panjang, lebar, kedalaman, dan diameter.
Pengukuran luas luka merupakan bagian terpenting dari pengkajian luka,
pengukuran luka juga sabagai alat evaluasi kemajuan proses
penyembuhan. Agar pengukuran menjadi lebih akurat maka sebaiknya titik
pada tepi luka pengukuran ditandai sehingga pengukuran tetap konsisten.

5
1. Two dimensional assessment.
Pengukuran superficial pada luka dapat menggunakan
penggaris/mistar dengan mengukur panjang x lebar. Untuk mengukur
lingkaran luka dapat menggunakan plastic transparan yang diletakkan
diatas luka kemudian dilakukan tracing mengikuti tepi luka. Yang perlu
diperhatikan adalah menjaga jangan sampai alat ukur menjadi
contaminated agent.
2. Three dimensional assessment.
Pada luka yang dalam, partial dan full thickeness atau adanya sinus
dan/atau undemining sebaiknya menggunakan pengkajian tiga dimensi.
Pengukuran diarahkan untuk mengetahui panjang, lebar dan kedalaman.
Panjang merupakan jarak terjauh pada arah head to toe, lebar merupakan
jarak terjauh antara sisi kiri dan kanan, sedangkan kedalaman merupakan
jarak terjauh antara bantalan luka dan permukaan kulit. Untuk mengukur
kedalaman luka dapat menggunakan kapas lidi kemudian diletakkan pada
bantalan luka dan pada batas dengan permukaan kulit ditandai dengan ibu
jari pemeriksa. Ada juga metode menggunakan cairan steril. Dimana
cairan steril dituangkan diatas luka hingga rata dengan kulit sekitar
kemudian diaspirasi lalu diukur volume cairan tersebut. Yang perlu
diperhatikan cairan yang digunakan tidak menimbulkan trauma dan
‘wound-friendly’ pada luka. Metode ini juga tidak cocok pada luka dengan
fistula.
Seiring dengan kemajuan teknologi, maka saat ini telah
berkembang banyak metode untuk pengukuran luka, antara lain:
1. Photografy (baik itu kamera konventional, polaroid atapun digital).
2. Wound Tracing.
Menggunakan plastik transparan dan spidol transparan, kemudian
diletakkan diatas luka lalu tepi luka digambar (dijiplak).
3. Stereophotogrammetry (SPG).
Kombinasi kamera video dan software. Luka direkam kemudian
didownload ke komputer. Dengan menggunakan bantuan software
luas permukaan luka dapat dikalkulasi.

6
4. Wound Molds.
Alginate diletakkan pada permukaan luka, bila telah menebal maka
ditmbang beratnya. Hasil dari pengukuran berat alginate dapat
menggambarkan status penyembuhan luka.

F. Warna Dasar Luka


1. Luka dasar merah: Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah
adalah mempertahankan lingkungan luka dalam keadaan lembap,
mencegah trauma/perdarahan serta mencegah eksudat.

2. Luka dasar hitam: Tujuan perawatan adalah meningkatkan sistem


autolisis debridement agar luka berwarna merah, kontrol eksudat,
menghilangkan bau tidak sedap dan mengurangi/menghindari kejadian
infeksi.

7
3. Luka dasar kuning: Tujuan perawatan sama dengan luka dasar warna
kuning, yaitu pembersihan jaringan mati dengan debridement, baik
dengan autolysis debridement maupun dengan pembedahan.

G. Eksudat
Para ahli menggambarkan eksudat sebagai “sesuatu yang keluar dari
luka”, “cairan luka”, “drainase luka” dan “kelebihan cairan normal tubuh”.
Bahkan pada masa mesir kuno eksudat didefinisikan sebagai “wound
balsm”. Produksi eksudat dimulai sesaat setelah luka terjadi sebagai akibat
adanya vasodilatasi pada fase inflamasi yang difasilitasi oleh mediator
infalamasi seperti histamine dan bradikinin.
a. Tipe/Jenis Eksudat

Type Colour Consistensy


Serous Clear Thin, Watery
Fibrinous Cloudy Thin
Serosanguinous Clear, Pink Thin, Watery
Sanguinous Red Thin, Watery
Seropurulent Yellow, Cream coffe Thicker, Cream
Purulent Yellow, Grey, Greeen Thick
Haemopurulent Dark, Blood stained Viscous, Sticky
Haemoragic Red Thick

b. Volume Eksudat

8
Untuk mengetahui volume eksudat maka salah satu tools yang
dapat digunakan adalah “wound exudates continuum” yang
dikembangkan oleh Gray. Parameter tools ini adalah volume dan
vikositas eksudat yang dapat mengindikasikan proses penyembuhan
berlangsung normal atau tidak.

Contoh: Apabila pada hari pertama didapatkan volume skor 3 (medium)


dan vikositas 1 (low) maka total skor eksudatnya 4. Pada hari ketiga
didapatkan volume skor 5 (high) dan vikositasnya skor 3 (medium)
sehingga total skor menjadi 8. Hal ini menunjukkan luka bertambah
buruk dan memerlukan re-evaluasi termasuk penentuan dressing yang
tepat.

c. Konsistensi Eksudat

Konsistensi Kemungkinan Penyebab


High viscosity (Kental kadang - Tinggi protein akibat dari inflamasi
melengket) atau infeksi.
- Jaringan nekrotik.
- Enteric fistula.
- Residu dari beberapa dressing.
Low viscosity (encer dan cair) - Rendah protein akibat dari venous
atau cardiac disease dan malnutrisi.
- Urinary atau limfatik fistula.

9
d. Bau Eksudat
Adanya bau pada eksudat kemungkinan disebabkan oleh:
- Pertumbuhan bakteri atau infeksi.
- Jaringan nekrotik.
- Sinus/enteric atau urinary fistula.

Secara quantitative, salah satu tools yang dapat digunakan untuk


menggambarkan bau eksudat adalah TELER Indikator. TELER Indikator
untuk quantifikasi bau.

Kode Bau
5 Tidak ada bau

4 Bau tercium saat balutan dibuka

3 Bau tercium walaupun balutan belum dibuka

2 Bau tercium dengan jarak satu lengan dari


pasien.
1 Bau tercium didalam kamar

0 Bau tercium diluar kamar

H. Tepi Luka
Tepi luka adalah daerah disekitar pinggiran luka dimana jaringan
normal menyatu dengan dasar luka. Dalam penilaian tepi luka, tenaga
kesehatan harus memperhatikan 2 poin penting yaitu:
1. Ada atau tidaknya tepi luka yang di nilai dengan skala 1-5 untuk
menjelaskan samar atau jelasnya tepi luka.
2. Ada atau tidaknya pengerasan jaringan tepi luka yang di nilai dengan
skala 1-5 untuk menjelaskan besarnya pengerasan tepi luka yang di
ukur dengan sentimeter (cm).

I. Kulit Sekitar Luka

10
Pengkajian kulit sekitar luka merupakan bagian integral dari
pengkajian luka. Parameter yang dapat digunakan untuk mengkaji kulit
sekitar luka adalah sebagai berikut:

Warna Erythema atau pucat - pucat

Tekstur Lembab, kering, macerasi

Temperature Hangat atau dingin

Integritas Maserasi, excoriasi, erosi, papula, pustule,


lesi, dll
Vaskularisasi Capillary refill, terutama daerah tungkai

Pengkajian tepi luka juga diperhatikan untuk mengetahui epitelisasi


dan kontraksi luka. Pengkajian kulit sekitar luka dapat memberikan
panduan dalam mengevaluasi penggunaan balutan sebelumnya. Seperti
maserasi pada kulit sekitar luka dapat terjadi sebagai akibat kontaknya
kulit sekitar luka dengan eksudat atau akibat dari penggunaan balutan yang
terlalu lembab secara tidak tepat.

J. Infeksi Luka
Infeksi dapat didefinisikan sebaga “pertumbuhan organisme pada
luka yang disertai dengan adanya reaksi jaringan”. Reaksi jaringan
ditentukan oleh resistensi host terhadap organisme, sedangkan resistensi
host dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya status kesehatan, status
nutrisi, pengobatan dan derajat luka jaringan yang terkena. Keberadaan
bakteri pada luka akan mengakibatkan:
1. Kontaminasi.
Jumlah bakteri tidak bertambah dan tidak menimbulkan tanda-tanda
klinis.

2. Kolonisasi.

11
Bakteri melakukan multiplikasi (bertambah banyak) namun jaringan
luka mungkin tidak terpengaruh.
3. Infeksi.
Bakteri mengalami multiplikasi, penyembuhan terhenti dan jaringan
luka rusak (infeksi local). Bakteri dapat menimbulkan masalah pada
daerah sekitar luka (spread infection) atau menyebabkan penyakit
infeksi (sistemik infection).

Kontaminasi Kolonisasi Infeksi Perluasan Infeksi


Lokal Infeksi Sistemik

Status Waspada Butuh Intervensi

K. Nyeri Luka
Nyeri merupakan tanda vital kelima, namun nyeri pada luka
kadang tidak dikaji dan tidak diintervensi secara adekuat. Padahal nyeri
luka dapat mengindikasikan adanya infeksi atau bertambah buruknya
proses penyembuhan luka. Oleh karena itu nyeri harus dikaji secara teratur
dengan menggunakan skala pengkajian nyeri yang valid. Penyebab nyeri
perlu untuk diketahui, apakah berhubungan dengan penyakit, pembedahan,
trauma, infeksi atau benda asing. Apakah nyerinya local atau general dan
apakah nyerinya berkaitan dengan pergantian balutan atau produk. Nyeri
dibagi dalam tiga sub konsep; non siklus, siklus dan nyeri kronik :
1. Nyeri Non Siklus merupakan episode tunggal serangan nyeri. Contoh:
nyeri setelah dilakukan debridement.
2. Nyeri Siklus merupakan episode serangan nyeri yang berulang. Contoh
: serangan nyeri setiap penggantian balutan.
3. Nyeri Kronik atau persisten merupakan serangan nyeri tanpa adanya
manipulasi pada luka. Contoh: Pasien merasa lukanya berdenyut-
denyut saat berbaring.

12
Karena nyeri merupakan pengalaman subyektif seseorang maka yang pelru
dibangun adalah komunikasi dengan pasien seputar responnya terhadap
nyeri yang dialami. Sebagai alat Bantu untuk mengevaluasi tingkat nyeri
maka dapat digunakan skala nyeri (0-10) atau skala ekspresi wajah. Hasil
dari skala nyeri tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan
jenis dressing yang akan digunakan termasuk dosis analgetik yang akan
diberikan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri Ringan Moderat Nyeri Berat Sangat Berat

Menurut Suriadi (2007), beberapa hal yang perlu dikaji dalam anamnesa antara
lain:

1. Dimana lokasi nyeri?


2. Seperti apa nyeri yang dirasakan?
3. Apa kah ada gejala lain yang menyertai?
4. Pada saat kapan nyeri dirasakan oleh pasien?
5. Apakah nyeri dirasakan terus menerus atau hanya kadang-kadang ?
6. Sudah berapa lama nyeri dirasakan?
7. Apakah nyeri mengganggu istirahat pasien?
8. Apakah pasien menggunakan obat saat serangan nyeri?
9. Posisi seperti apa yang dapat mempengaruhi nyeri?

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri berhubungan


dengan prosedur pergantian balutan antara lain:

1. Penggunaan cairan pencuci luka yang hangat.


2. Melepaskan balutan dengan hati-hati, atau bilamemungkinakan motivasi psien
untuk melepaskan sendiri. Balutannya.
3. Gunakan 'time out'.
4. Gunakan balutan yang tidak menimbulkan trauma.
5. Evaluasi balutan lama.
6. Rubah frekuensi pergantian balutan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya
cedera atau pembedahan. Luka merupakan rusaknya kesatuan/komponen
jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau
hilang. Ada faktor tertentu yang mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Dan dibutuhkan keahlian khusus dalam melakukan perawatan luka, agar luka
dapat segera disembuhkan.

B. Saran
Sebaiknya dalam perawatan luka dilakukan dengan cara yang benar
sesuai dengan prosedur. Peralatan yang steril dan kemampuan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Agar luka tidak bertambah parah dan cepat
disembuhkan. Untuk pemerintah daerah sebaiknya mengadakan sosialisasi
kepada masyarakat awam tentang pentingnya merawat luka agar
meminimalisasi terjadinya penularan penyakit yang disebabkan oleh luka yang
tidak dirawat dengan baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kartika, R. W. (2015). Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. CDK


230, pp. 546-550.

Kartika, R. W. (2015). Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. Wound


Care/Diabetic Center. CDK-230, Vol. 42

Maryunani, A. (2015). Perawatan Luka Modern (Modern Woundcare). Jakarta:


IN MEDIA.

Romanelli, M., Vowden, K., & Weir, D. (2017). Exudate Management. Wounds
International, pp. 1-5.

Semer, N. (2013). Dasar-dasar perawatan luka. Los Angeles: Global-HELP


Organization.

15

Anda mungkin juga menyukai