Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
[ CITATION Abi19 \l 1033 ]
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses
patologis yang
berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter, 2006).
Berdasarkan lamanya
proses penyembuhan luka, luka dikelompokkan menjadi luka akut dan kronis.
Luka akut merupakan
cedera jaringan yang dapat pulih kembali seperti keadaan normal dengan bekas
luka yang minimal
dalam rentang waktu 8-12 minggu. Penyebab utama dari luka akut adalah cedera
mekanikal karena
faktor eksternal, seperti terjadinya kontak antara kulit dengan permukaan yang
keras atau tajam, luka
tembak, dan luka pasca operasi. Sedangkan luka kronis adalah luka yang gagal
diproses melalui
proses reparasi yang tertib dan tepat waktu untuk menghasilkan integritas
anatomis dan fungsional
dari lokasi yang cedera (Lazarus,2004). Salah satu penyebab terjadinya luka
kronik adalah kegagalan
pemulihan karena kondisi fisiologis (seperti diabetes melitus dan kanker), infeksi
terus-menerus, dan
rendahnya tindakan pengobatan yang diberikan (Purnama, 2017).
Jika terjadi luka maka tubuh akan mengeluarkan kompensasi berupa mekanisme
penyembuhan. Penyembuhan luka normal melibatkan tiga fase berturut-turut
tetapi tumpang tindih,
termasuk hemostasis / fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase remodeling
(Wang, 2018). Ketika
proses inilah komplikasi sering terjadi. Komplikasi yang sering terjadi selama
proses penyembuhan
adalah berupa infeksi (Eitel,1988). Luka ini menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan
dan menyebabkan biaya medis yang signifikan (Powers dkk, 2016)

[ CITATION Win20 \l 1033 ] Perawatan luka harus menyesuaikan kondisi


dan problem luka yang terjadi dan tidak selalu
sama pada setiap diagnosis luka. Perawatan
luka yang optimal berperan penting dalam
proses penyembuhan luka agar dapat berlangsung dengan baik. Selain bertujuan
untuk mencapai kesembuhan luka, perawatan
luka bertujuan untuk memperoleh waktu
penyembuhan yang lebih singkat,
menghindari gangguan dan masalah yang
ditimbulkan oleh luka, yang dapat berujung
pada produktivitas kerja dan biaya yang
dikeluarkan dalam proses penyembuhan
luka.5

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah tipe luka dan manajemen keperawatan luka?

C. Tujuan
Mengetahui tipe luka dan manajemen keperawatan luka
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Luka
Sjamsuhidajat Luka adalah hilang atau rusaknya
sebagian jaringan tubuh yang disebabkan
oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan
suhu, paparan zat kimia, ledakan, sengatan
listrik, maupun gigitan hewan [ CITATION Win20 \l 1033 ].
Kartika Luka adalah terputusnya kontinuitas jaringan karena cedera atau
pembedahan. Luka bisa diklasifi kasikan berdasarkan struktur anatomis,
sifat, proses penyembuhan, dan lama penyembuhan [ CITATION Gif18 \l 1033 ]
B. Tipe Luka [ CITATION Gif18 \l 1033 ]
Luka di bedakan menjadi dua berdasarkan waktu penyembuhannya
yaitu luka akut dan luka kronis. Luka akut yaitu luka yang baru dan
penyembuhannya berlansung kurang dari beberapa hari. Sedangkan luka
kronis dapat didefinisikan sebagai luka yang karena beberapa alasan
sehingga proses penyembuhannya terhambat. Luka kronis dapat
berlangsung selama beberapa minggu atau berbulan-bulan bahkan tahunan
tergantung penanganan dari luka tersebut (Semer, 2013).
Luka dapat di bedakan berdasarkan kecenderungan dan derajat
kontaminasi luka, yaitu Luka bersih, Luka bersih-terkontaminasi, Luka
terkontaminasi, Luka kotor atau terinfeksi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2011)
1. Luka bersih, merupakan luka yang tidak terinfeksi, terdapat proses
inflamasi yang sangat minimal dan tidak mengenai saluran nafas,
saluran cerna, saluran genitalia, dan saluran kemih. Luka bersih
terutama terdapat pada luka tertutup.
2. Luka bersih-terkontaminasi, merupakan luka bedah yang telah
mengenai saluran nafas, saluran cerna, saluran genitalia, dan saluran
kemih. Luka tersebut tidak memperlihatkan tanda infeksi.
3. Luka terkontaminasi, merupakan luka terbuka, baru, akibat kecelakaan,
dan luka pembedahan yang tidak di lakukan dengan teknik steril atau
adanya sejumlah besar rembesan dari saluran cerna. Luka
terkontaminasi memperlihatkan terjadinya proses inflamasi.
4. Luka kotor atau terinfeksi, merupakan luka yang berisi jaringan mati
dan luka yang memperlihatkan tanda-tanda infeksi klinis seperti
drainase purulen
Berdasarkan kedalam dan luasnya luka di bagi menjadi stadium I s/d
stadium IV (Maryunani, 2015)
1. Stadium I : Luka superfisial “Non-Blanching Erithema”
Yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.

Gambar 2.1 luka stadium I (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011)
2. Stadium II : Luka “Partial Thickness”
Yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis atau bagian atas dari dermis
tetapi tidak melintasinya. Tanda klinis dari luka stadium II antara lain abrasi,
blister atau lubang yang dangkal, lembab dan nyeri.
Gambar 2.2 luka stadium II (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011)
3. Stadium III : Luka “Full Thickness”
Yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan epidermis, dermis dan
subkutan tetapi belum melewatinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai
suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jarigan sekitarnya. Bisa
meliputi jaringan nekrotik atau infeksi.

Gambar 2.3 luka stadium III (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011)
4. Stadium IV : Luka “Full Thickness”
Yaitu luka yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya
destruksi atau kerusakan yang luas.

Gambar 2.4 luka stadium IV (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011)

C. Karakteristik Luka
[ CITATION Gif18 \l 1033 ] Karakteristik luka dapat di lihat dari lokasi, bentuk,
ukuran, kedalaman, tepi, Undermining/Tunneling, karakteristik jaringan nekrotik,
eksudat, warna kulit di sekitar luka, edema, indurasi, karakteristik lain, jaringan
granulasi, dan epitelisasi (Sussman & Jensen, 2007).
1. Lokasi
Lokasi luka merupakan tempat terjadinya luka pada anatomi tubuh si pasien.
Lokasi luka perlu di ketahui untuk memprediksi penyembuhan luka. Lokasi luka
telah terbukti mempengaruhi penyembuhan. Namun, lokasi spesifik mana yang
menguntungkan atau merugikan penyembuhan masih harus ditentukan.
2. Bentuk
Untuk luka yang akan sembuh, akan sering berubah bentuk dan mungkin akan
berbentuk lebih teratur, bentuk melingkar atau oval. Bentuk luka dianggap lebih
membantu untuk menentukan ukuran keseluruhan luka. Bentuk luka ditentukan
dengan mengevaluasi perimeter luka. Bentuk luka dilapisi dengan kontraksi luka.
Kontraksi luka bisa terlihat saat area permukaan luka terbuka berkurang dan saat
bentuk luka berubah
3. Ukuran
Ukuran luka dapat di artikan sebagai luas permukaan luka si pasien. Luas
permukaan dapat dilihat dengan mengalikan panjang dengan lebar. Metode yang
paling umum digunakan dalam menentukan ukuran adalah mengukur (dalam cm)
aspek terpanjang dan tegak lurus dari permukaan luka yang terlihat. Hal ini dapat
menjadi sulit untuk ditentukan dalam mengukur ukuran pada beberapa luka,
karena tepi luka mungkin sulit untuk diketahui atau tepinya mungkin tidak
teratur.
4. Kedalaman
Merupakan ukuran dasar luka ke permukaan luka. Mengukur kedalaman luka
dapat dengan menggunakan aplikator yang berujung katun/kapas. Masukkan
aplikator di bagian terdalam dari luka dan tandai aplikator dengan pulpen, dan
ukur jarak dari ujung yang ditandai, dengan menggunakan panduan pengukuran
metrik.
5. Tepi
Tepi luka merupakan daerah dimana jaringan normal menyatu dengan dasar luka.
Tepi luka menunjukkan beberapa karakteristik luka yang paling penting. Saat
menilai tepi luka, lihat bagaimana penamakan dari luka tersebut.
6. Undermining/Tunneling
Undermining/Tunneling merupakan hilangnya jaringan dibawah permukaan kulit
yang utuh. Undermining didefinisikan sebagai pengikisan dibawah tepi luka, dan
tunneling didefinisikan sebagai sebaris dari jalur bidang yang mengarah ke
saluran sinus. Undermining biasanya melibatkan jaringan subkutan dan
mengikuti jalur bidang disamping luka. Tunneling biasanya melibatkan
persentase kecil dari margin luka: sempit dan cukup panjang dan tampaknya
memiliki tujuan.
7. Karakteristik jaringan nekrotik
Nekrosis didefinisikan sebagai jaringan devisa yang mati. Dapat berwarna hitam,
coklat, abu-abu, atau kuning. Tekstur bisa kering dan kasar, lembut, lembab, atau
berserabut. Karakteristik jaringan nekrotik meliputi tampilan, warna, konsistensi.
Bau bisa ada atau tidak ada. Banyak tenaga kesehatan yang salah menilai
jaringan nekrotik. Terkadang merreka menilai jaringan kuning dan putih sebagai
jaringan nekrotik padahal tidak selamanya seperti itu. Jaringan kuning bisa
berupa lemak kuning yang sehat, membran reticular dermis, atau tendon.
Jaringan putih bisa berupa jaringan ikat, fasia, atau ligament.
8. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terdapat pada luka. Untuk menilai jumlah
eksudat di luka, amati dua area yakni luka itu sendiri dan balutan yang digunakan
pada luka. Amati luka untuk menilai kelembaban yang ada. Sebelum menilai
jenis eksudat, bersihkan luka dengan NaCl atau air putih secara normal dan
evaluasi eksudat segar. Pilih jenis eksudat yang dominan di luka, sesuai warna
dan konsistensi.
9. Warna Kulit di Sekitar luka
Warna kulit di sekitar luka dapat mengindikasikan luka lebih lanjut dari tekanan,
gesekan, atau gunting. Karakteristik Kulit di Sekitar luka sering merupakan
indikasi pertama yang menyebabkan kerusakan jaringan lebih lanjut. Yang paling
sering ditemukan dalam pengamatan kulit disekitar luka adalah eritema. Eritema
didefinisikan sebagai kemerahan atau kehitaman pada kulit, dibandingkan
dengan kulit di sekitarnya. Eritema setelah trauma disebabkan oleh pecahnya
venula dan kapiler kecil atau mungkin disebabkan oleh aliran darah masuk untuk
memulai proses peradangan.
10. Edema
Edema merupakan pembengkakakan yang terjadi pada luka dan sekitarnya. Kaji
jaringan dalam 4 cm tepi luka. Kenali edema dengan menekan jari ke dalam
jaringan dan tunggu selama 5 detik. Saat melepaskan tekanan, jaringan gagal
untuk kembali ke posisi normal, dan lekukan muncul. Ukur seberapa jauh edema
melampaui tepi luka.
11. Indurasi
Indurasi adalah ketegasan jaringan yang abnormal dengan margin. Indurasi dapat
menjadi tanda kerusakan yang akan terjadi pada jaringan. Seiring dengan
perubahan warna kulit, indurasi merupakan pertanda trauma jaringan akibat
tekanan lebih lanjut. Raba dimana indurasi dimulai dan dimana ia berakhir. Raba
dari jaringan sehat, bergerak menuju tepi luka. Biasanya terasa sedikit ketegasan
pada tepi luka itu. Jaringan normal terasa lembut dan kenyal sedangan indurasi
terasa keras dan tegas saat disentuh.
12. Karakteristik lain
Karakteristik lain yang dapat dievaluasi pada jaringan disekitarnya termasuk
maserasi dan perdarahan. Maserasi didefinisikan sebagai pelunakan pada
jaringan ikat. Jaringan maserasi kehilangan pigmentasi dan bahkan pigmen kulit
yang gelap terlihat pucat. Jaringan yang melemah ini sangat rentan terhadap
trauma, menyebabkan kerusakan dari jaringan maserasi dan pembesaran luka.
13. Jaringan granulasi
Jaringan granulasi adalah penanda dari kesehatan luka. Itu adalah tanda fase
proliferatif dari penyembuhan luka dan biasanya akhir dari penutupan luka.
Jaringan granulasi berkembang dari pembuluh darah kecil dan jaringan ikat ke
rongga luka. Jaringan granulasi itu sehat jika cerah, berdaging merah, mengkilap
dan granular dengan penampilan seperti beludru.
14. Epithelization
Epithelization adalah proses pelepasan epidermal dan muncul sebagai kulit
merah muda atau merah. Epithelization mungkin pertama diperhatikan selama
fase peradangan atau fase proliferasi dari penyembuhan sebagai jaringan merah
muda yang berpigmen ringan, bahkan pada individu dengan kulit berwarna
gelap. Banyak orang membingungkan jaringan parut pink terang atau kulit baru
sebagai eritema. Pada luka dengan ketebalan parsial, sel epitel dapat berpindah
dari tempat di permukaan luka atau dari tepi luka, atau keduanya. Pada luka
dengan ketebalan penuh, pelepasan epidermal terjadi dari tepi saja, biasanya
setelah luka hampir sepenuhnya terisi dengan jaringan granulasi

D. Proses Penyembuhan Luka


[ CITATION Roh15 \l 1033 ] Proses penyembuhan luka merupakan
proses yang dinamis (Hutchinson J, 2010).
Proses ini tidak hanya terbatas pada proses
regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh faktor endegon
seperti; umur, nutrisi, imunologi,
pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik
. Fase-fase penyembuhan luka dapat dibagi
menjadi tiga fase (Hutchinson J, 2010),
yaitu;
1. Fase inflamasi, yaitu fase yang terjadi
ketika awal terjadinya luka atau cedera
(0-3 hari).
2. Fase rekontruksi yaitu fase ini akan
dimulai dari hari ke-2 sampai 24 hari
(6 minggu). Fase ini dibagi menjadi
fase destruktif dan fase proliferasi atau
fibroblastik fase.
3. Fase maturasi, merupakan fase
remodeling, dimana fungsi utamanya
adalah meningkatkan kekuatan
regangan pada luka. Ini bertepatan
dengan penurunan dalam vaskularisasi
dan ukuran skar. Fase ini biasanya
membutuhkan waktu antara 24 hari
sampai 1 tahun.

E. Manajemen Luka
[ CITATION Gif18 \l 1033 ] Dalam perawatan luka di kenal dua teknik dasar yang
sering di terapkan untuk merawat luka yaitu teknik steril dan teknik bersih.
Teknik steril merupakan teknik di mana tenaga kesehatan memakai peralatan dan
bahan yang telah disterilkan sehingga tidak ada bakteri atau partikel virus yang
menempel di permukaannya. Beberapa contoh peralatan steril antara lain
peralatan yang telah di sterilkan dengan Autoklaf untuk digunakan di ruang
operasi serta beberapa peralatan medis yang telah di sterilkan dan dibungkus
dengan baik dari pabrik sehingga tidak terkontaminasi dengan lingkungan luar
yang tidak steril. Sedangkan teknik bersih adalah teknik dimana tenaga kesehatan
memakai peralatan dan bahan yang tidak memerlukan perlakukan yang seksama
seperti memperlakukan instrument
steril. Cukup dengan peralatan yang telah di bersihkan dengan alkohol tanpa
harus di masukkan ke Autoklaf terlebih dahulu (Semer, 2013).
Seiring dengan perkembangan zaman, di kenal teknik perawatan konvensional
dan teknik perawatan luka modern. Teknik rawat luka modern lebih efektif
daripada konvensional yang di buktikan dengan penelitian tentang Teknik
Perawatan Luka Modern dan Konvensional Terhadap Kadar Interleukin 1 dan
Interleukin 6 Pada Pasien Luka diabetik. Dalam penelitian ini diamati
peningngkatkan perubahan faktor pertumbuhan dan sitokin, terutama interleukin.
Proses penyembuhan luka dipengaruhi faktor pertumbuhan dan sitokin, hal ini
akan dirangsang oleh pembalutan luka. teknik pembalutan luka modern (Kalsium
alginat) dapat menyerap luka drainase, non oklusive, non adhesif, dan
debridement autolitik (Nontji, Hariati, & Arafat, 2015).
Kartika (2015) menjelaskan dalam tulisannya tentang Pengkajian Luka:
1. Status nutrisi pasien: BMI (body mass index), kadar albumin
2. Status vaskuler: Hb, TcO2
3. Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan imunosupresan yang
lain
4. Penyakit yang mendasari: diabetes atau kelainan vaskulerisasi lainnya
5. Kondisi luka:
a. Lokasi, ukuran, dan kedalaman luka
b. Eksudat dan bau
c. Warna dasar luka: Dasar pengkajian berdasarkan warna: slough (yellow),
necrotic tissue (black), infected tissue (green), granulating tissue (red),
epithelialising (pink).
1) Luka dasar merah:
Tujuan perawatan luka dengan warna dasar merah adalah mempertahankan
lingkungan luka dalam keadaan lembap, mencegah trauma/perdarahan serta
mencegah eksudat.

Gambar 2.9 Luka dengan warna dasar merah tua atau terang dan selalu tampak
lembap merupakan luka bersih dengan banyak vaskulerisasi, karenanya luka mudah
berdarah (Kartika, 2015)
2) Luka dasar hitam:
Tujuan perawatan adalah meningkatkan sistem autolisis debridement agar luka
berwarna merah, kontrol eksudat, menghilangkan bau tidak sedap dan
mengurangi/menghindari kejadian infeksi.

Gambar 2.10 Luka dengan warna dasar hitam adalah


jaringan nekrosis, merupakan jaringan avaskuler (Kartika,
2015)
3) Luka dasar kuning:
Tujuan perawatan sama dengan luka dasar warna kuning, yaitu
pembersihan jaringan mati dengan debridement, baik dengan
autolysis debridement maupun dengan pembedahan.

Gambar 2.11 Luka dengan warna dasar kuning/kuning


kecoklatan/kuning kehijauan/kuning pucat adalah jaringan
nekrosis merupakan kondisi luka yang terkontaminasi atau
terinfeksi dan avaskuler (Kartika, 2015)
Maryunani (2015) menjelaskan dalam tulisannya tentang macam-mcam
dressing primer antara lain gauze/kasa kering, kassa anti lengket, balutan
kering anti lengket yang dilapisi transparant film, balutan post operasi, transparant
film, hydrogels, calcium alginate, hydrocellulosa, hydrocolloid, foam, Balutan
hidropobik, silver dressing, tulle grass dengan antiseptic, tule grass dengan antibiotic,
dan zinc cream.
1. Guaze/kassa kering
Merupakan merupakan jenis balutan dengan susunan material yang terdiri dari katun,
rayon, dan/atau polyster. Kassa biasanya di sediakan dalam bentuk bersih atau dapat
juga di sterilkan terlebihdahulu dengan alat sterilisasi. Balutan kassa dapat menyerap
eksudat dengan jumlah minimal hingga banyak. Materialnya dapat berfungsi sebagai
bahan penampung. Balutan kassa biasa di gunakan pada luka yang terinfeksi dengan
eksudat sedikit atau banyak. Balutan ini juga dapat digunakan untuk luka berongga
atau memiliki terowongan.
2. Kassa anti lengket
Balutan ini tersusun atas berbagai balutan anti lengket berbahan rayon sintesis.
Lapisan atasnya biasanya non woven sehingga bakteri tidak dapat masuk dan eksudat
tidak tembus keluar balutan. Balutan ini biasa digunakan pada luka superfisial dengan
eksudat sedang, luka bakar, dan luka post operasi.
3. Balutan kering anti lengket yang dilapisi transparant film
Biasanya tersusun oleh transparant film polyster perforasi tipis yang direkatkan pada
absorbent berbahan katun atau acrylic. Balutan ini seringkali digunakan ssebagai
lapisan yang kontak dengan balutan pelindung.
4. Balutan post-operasi
Balutan ini biasanya mengkombinasikan balutan primer antara lain katun dan/atau
acrylic, dan balutan sekunder atau lapisan luar untuk merekatkan balutan. Jenis
balutan ini merupakan jenis balutan steril. Balutan ini biasa digunakan pada luka
dengan eksudat sedikit. Dengan balutan ini pasien dapat mandi tanpa perlu khawatir
terhadap lukanya.
5. Trasparant film
Balutan ini memiliki komposisi clear polyurethane yang disertai perekat adhesive
atau tidak adhesive. Jenis balutan ini digunakan untuk jenis luka yang rentan terkena
air. Selain untuk melindungi dari paparan air, balutan ini juga dapat melindungi luka
dari bakteri dan jamur dengan tetap menjaga sirkulasi udara disekitar luka.
6. Hydrogels
Merupakan suatu jenis koloid yang terdiri dari polymer dalam bentuk air, tetapi tidak
terlarut. Hydrogels dapat berfungsi sebagai debridement alami karena dapat
membantu proses peluruhan jaringan yang telah mati oleh tubuh si penderita itu
sendiri. Secara umum hydrogels terdiri dari dua jenis yaitu hydrogels dressing dan
amorphous gel. Hydrogels dressing biasa digunakan untuk luka nekrotik permukaan
dan luka bakar derajat II. Sedangkan amorphous gel biasa digunakan untuk luka
nekrotik dalam dan luka dalam dengan cairan sedikit. Dogan, et all (2014), dalam
penelitiannya menjelaskan bahwa Sodium Pentahydrate Pentahydrate (NaB) dan
Pluronic (Plu) yang mengandung Hydrogel dapat meningkatkan penyembuhan luka
kronik. Aplikasi gel NaB / Plu ditemukan dapat meningkatkan kontraksi luka dan
deposisi kolagen di daerah luka. Temuan ini dapat digunakan di klinik dermatologis
dan menjadi solusi masa depan untuk luka kronis.
7. Calcium alginate
Balutan ini tersusun oleh ion calsium dan natrium sehingga mempunyai daya larut
yang tinggi dan dapat menggantikan ion-ion yang hilang pada luka. Balutan ini
berbentuk jalinan serabut yang mirip dengan jalinan bulu domba. Selain
menggantikan ion yang hilang pada luka, jenis balutan ini juga dapat menyerap
sejumlah cairan yang cukup banyak pada luka. Calsium alginate biasanya di gunakan
pada luka dekubitus dengan jumlah cairan banyak, dalam, dan terinveksi. Selain itu
juga balutan ini biasa digunakan pada luka superfisial dengan cairan banyak dan pada
luka bakar derajat I dan II.
8. Hydrocellulosa
Hidroselulosa merupakan jenis balutan yang terbuat dari selulosa dengan daya serap
cairan yang tinggi. Selain itu balutan ini juga dapat lansung mengikat bakteri kedalam
seratnya serta mempertahankan cairan luka yang sedang atau banyak. Balutan ini
biasa digunakan untuk luka kaki, luka tekan stdium I dan II, luka DM, luka bedah,
luka traumatik, luka bakar yang tidak lebih dari 10% permukaan tubuh, dan
penyerapan cairan pada luka kanker.
9. Hydrocolloid
Hidrokoloid biasanya terdiri dari polyurethane film, sodium carboxymethylcellulose,
gelatin, pectin, dan elastomers. Jenis balutan ini biasa digunakan pada luka lembab
untuk melindungi luka dari trauma atau kontaminasi dari lengkungan sekitar luka
yang dapat menyebabkan infeksi. Oleh karena itu balutan ini kurang efektif untuk
digunakan pada luka dengan cairan yang banyak. Balutan ini kebanyakan dugunakan
pada luka dengan dasar berwarna merah atau granulasi.
10. Foam
Foam tersusun dari polymer atau polyurethane yang mengandung sel-sel berlubang
kecil yang mampu menahan cairan dan menariknya dari dasar luka. Balutan ini paling
sering digunakan pada luka yang berair/basah walaupun terkadang juga dapat
digunakan pada luka lembab.
11. Balutan hidropobik
Balutan ini terdiri dari bahan khusus berupa DACC (Diyalkylacbamoylchloride) yang
menyebabkan balutan ini memiliki sifat hidrofobik yang kuat. Balutan mulai sering
digunakan dalam perawatan luka saat ini karena kemampuannya yang secara cepat
dapat membersihkan cairan luka, pus, debris, bahkan mampu mengangkat bakteri dan
jamur. Dalam pengaplikasiannya, balutan ini biasa di gunakan pada luka inveksi baik
partial maupun full thickness, luka post operasi, luka berongga, luka trauma, serta
berbagai luka kronik.
12. Silver dressing
Merupakan jenis balutan yang mengandung silver untuk sediaan topikal antimikroba.
Balutan ini digunakan untuk membunuh kuman pada luka karena kandungan silver
sulphadiazine yang terdapat pada jenis balutan ini mempunyai aktivitas antibakteri
yang luas terhadap jasad renik gram positif dan gram negatif.
13. Tulle grass dengan antiseptic
Balutan ini mengandung parafin, petrolatum, dan bahan lain yang berfungsi sebagai
antiseptik. Balutan ini dapat memberikan lingkungan yang lembab pada luka den
sebagai terapi antiseptik pada luka terkontaminasi atau terinfeksi.
14. Tulle grass dengan antibiotic
Balutan ini terdiri dari kassa katun yang dipadukan dengan salep lanoparaffin yang
mengandung framycetin sulphate 1%. Balutan ini biasa digunakan sebagai agent
antibakteri untuk organisme yang sensitif terhadap framycetin
15. Zinc cream
Zinc cream merupakan jenis salep yang berfungsi untuk melindungi kulit disekitar
luka agar tidak terjadi maserasi. Zinc cream biasa digunakan untuk semua jenis luka
dengan berbagai jenis warna dasar luka.

[ CITATION Roh15 \l 1033 ] Manajemen luka sebelumnya tidak


mengenal adanya lingkungan luka yang
lembab. Manajemen perawatan luka yang
lama atau disebut metode konvensional
hanya membersihkan luka dengan normal
salin atau ditambahkan dengan iodin
povidine, kemudian di tutup dengan kasa
kering. Tujuan manajemen luka ini adalah
untuk melindungi luka dari infeksi
(Carville, 2010). Ketika akan merawat luka
di hari berikutnya, kasa tersebut menempel
pada luka dan menyebabkan rasa sakit pada
klien, disamping itu juga sel-sel yang baru
tumbuh pada luka juga rusak.
Menurut Carville K (2007)
manajemen luka yang dilakukan tidak
hanya melakukan aplikasi sebuah
balutan atau dressing tetapi bagaimana
melakukan perawatan total pada klien
dengan luka. Manajemen luka ditentukan dari pengkajian klien, luka
klien dan lingkungannya serta
bagaimana kolaborasi klien dengan tim
kesehatan. Tujuan dari manajemen
luka, yaitu: Mencapai hemostasis,
mendukung pengendalian infeksi,
membersihkan (debride)
devaskularisasi atau material infeksi,
membuang benda asing,
mempersiapkan dasar luka untuk graft
atau konstruksi flap, mempertahankan
sinus terbuka untuk memfasilitasi
drainase, mempertahankan
keseimbangan kelembaban,
melindungi kulit sekitar luka,
mendorong kesembuhan luka dengan
penyembuhan primer dan
penyembuhan sekunder
Manajemen luka yang lama
diganti dengan manajemen luka
terbaru yang memiliki tujuan salah
satunya yaitu menciptakan lingkungan
luka yang lembab untuk mempercepat
proses penyembuhan luka (moist
wound healing).
Perkembangan moist wound
healing diawali pada tahun 1962 oleh
Winter, yang melakukan penelitian
eksperimen menggunakan luka
superfisial pada babi (Rainey J, 2002).
Setengah dari luka ini dilakukan teknik
perawatan luka kering dan sebagian
ditutupi polythene sehingga
lingkungan luka lembab. Hasilnya
menunjukkan bahwa perawatan luka
dengan polythene terjadi epitelisasi
dua kali lebih cepat dari pada
perawatan luka kering. Hal tersebut
menunjukkan bahwa lingkungan luka
yang kering menghalangi sel epitel
yang migrasi di permukaan luka,
sedangkan dengan lingkungan lembab
sel-sel epitel lebih cepat migrasinya
untuk membentuk proses epitelisasi
(Carville K, 2007).
Moist wound healing merupakan
suatu metode yang mempertahankan
lingkungan luka tetap lembab untuk
memfasilitasi proses penyembuhan
luka (Carville K, 2007). Lingkungan
luka yang lembab dapat diciptakan
dengan occlusive dressing/ semiocclusive dressing. Dengan perawatan luka tertutup
(occlusive dressing)
maka keadaan yang lembab dapat
tercapai dan hal tersebut telah diterima
secara universal sebagai standar baku
untuk berbagai tipe luka. Alasan yang
rasional teori perawatan luka dengan
lingkungan luka yang lembab adalah:
1. Fibrinolisis; Fibrin yang terbentuk
pada luka kronis dapat dengan
cepat dihilangkan (fibrinolitik)
oleh netrofil dan sel endotel
dalam suasana lembab.
2. Angiogenesis; Keadaan hipoksi
pada perawatan tertutup akan
lebih merangsang lebih cepat
angiogenesis dan mutu pembuluh
kapiler. Angiogenesis akan
bertambah dengan terbentuknya
heparin dan tumor nekrosis faktor
– alpha (TNF-alpha)
3. Kejadian infeksi lebih rendah
dibandingkan dengan perawatan
kering (2,6% vs 7,1%)
4. Pembentukan growth factors yang
berperan pada proses
penyembuhan dipercepat pada
suasana lembab. Epidermal
Growth Factor (EGF), Fibroblast
Growth Factor (FGF) dan
Interleukin 1/Inter-1 adalah
substansi yang dikeluarkan oleh
magrofag yang berperan pada
angiogenesis dan pembentukan
stratum korneum. Platelet
Derived Growth Factor (PDGF)
dan Transforming Growth
Factor- beta (TGF-beta) yang
dibentuk oleh platelet berfungsi
pada proliferasi fibroblast
5. Percepatan pembentukan sel aktif;
Invasi netrofil yang diikuti oleh
makrofag, monosit, dan limfosit
ke daerah luka berfungsi lebih
dini.
Keuntungan lainnya
menggunakan moist wound healing
juga akan mengurangi biaya perawatan
pada klien dan mengefektifkan jam
perawatan perawat di rumah sakit
(Rainey J, 2002). Untuk menciptakan
kelembaban lingkungan luka maka
diperlukan pemilihan balutan luka atau
dressing yang tepat. Dressing yang ideal digunakan untuk menciptakan
lingkungan lembab, yaitu occlusive
dressing/ semi-occlusive dressing
.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim et
al pada tahun 1996, menunjukkan
bahwa balutan hidrokoloid dengan
occlusive dressing lebih efektif,
efisiensi waktu dan cost efektif
daripada kasa basah dan kering.
Tujuan manajemen luka
selain mempertahankan keseimbangan
kelembaban (moist wound healing)
dengan occlusive dressing adalah
mempersiapkan dasar luka sebelum
dilakukan pemasangan graft atau flap
konstruksi. Menurut Scnultz et al
(2003), mempersiapkan dasar luka
atau disebut wound bed preparation
adalah manajemen luka untuk
mempercepat penyembuhan
endogenous atau untuk memfasilitasi
keefektifan pengukuran terapeutik
lainnya (Carville K, 2007). Sedangkan
Falanga (2004) menyatakan bahwa
manajemen luka dengan wound bed
preparation memiliki tahapan-tahapan
yang disingkat dengan TIME, yaitu;
tissue management (manajemen
jaringan), infection or inflammation
control (pengendalian infeksi),
moisture balance (keseimbangan
kelembaban), dan edge of wound
(pinggiran luka) (Carville K, 2007).
Pelaksanaan wound bed preparation
dengan TIME.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

Anda mungkin juga menyukai