Anda di halaman 1dari 3

KEKERASAN BERBALUT INTELEKTUALITAS

Peristiwa saling membunuh antara Habil dan Qobil, boleh jadi merupakan bentuk
pembunuhan – sebagai ikon kekerasan- yang pertama terjadi di muka bumi ini. Dan seiring
semakin menumpuknya jumlah manusia yang menghuni muka bumi ini, semakin banyak
pula lahir Habil dan Qobil yang lain. Ia bisa berwujud preman yang sangar, eksekutif berdasi
yang parlente bahkan anak kecil yang masih lugu. Siapapun bisa berpotensi menjadi pelaku
kekerasan, baik secara eksplisit maupun secara implisit.

Hari-hari terakhir ini, kekerasan sepertinya semakin mudah terjadi dalam masyarakat.
Tawuran antar kelompok pemuda, tawuran antar desa, tawuran antar agama/aliran, tawuran
antar mahasiswa satu jurusan dengan jurusan lainnya, tawuran antar kampus, dan juga
tawuran antar sekolah. Bahkan baru-baru ini ada seorang anak SD yang membunuh anak
SMP hanya gara-gara masalah sepele. Bila sudah begini, kebanyakan orang akan
menganalisis dan mengevaluasi tentang pendidikan di negeri ini. Apa yang salah dengan
pendidikan ini sehingga anak-anak sebagai objek pendidikan bisa berperilaku seperti ini. Ada
yang bilang kurikulumlah yang perlu direformasi. Kurikulum dianggap kurang
mengakomodasi pendidikan moral dan agama, terutama untuk sekolah-sekolah umum. Ada
yang mengatakan bahwa nilai-nilai kebaikan tidak tersampaikan dengan baik. Yang jelas,
apapun kritiknya, sistem pendidikan memang harus selalu berkembang, dinamis, mengikuti
perkembangan jaman. Dan sebagai wujud keprihatinan atas itu semua, pemerintah
mencanangkan konsep Pendidikan Berkarakter.

Secara khusus mengenai anak-anak sebagai pelaku kekerasan, rasanya banyak


faktor yang bisa menyebabkannya. Masa anak-anak adalah masa yang penting untuk
pembekalan sebelum ia menjejak ke level usia yang lebih dewasa. Ibarat kertas, anak-anak
adalah kertas putih polos yang bisa diberi warna apapun, diberi coretan apapun. Kertas putih
itu bisa dijadikan lukisan yang indah atau menjadi rusak tak berbentuk. Warna yang
menempel di kertas itu, coretan yang menghiasai kertas putih itu, adalah segala hal yang
dilihat dan di dengar anak-anak dari lingkungannya terutama dari media. Perkembangan
teknologi informasi yang begitu pesat, membuat orang tua sulit untuk membatasi tayangan
yang dilihat anak melalui media. Semakin banyak tayangan yang menampilkan kekerasan
bahkan seksualitas.

Kalau bicara masalah tayangan yang mengandung kekerasan atau seksualitas, berarti
ini tentang sesuatu yang ditampilkan secara audio visual, yang bisa dilihat dan didengar.
Dan yang pasti, media yang sudah sangat familiar di masyarakat adalah televisi. Media
entertainment yang bisa dinikmati kapan saja, oleh siapa saja, oleh setiap umur dan
kalangan. Televisi bukan barang mahal lagi, hampir setiap rumah mempunyai televisi.
Bahkan di kalangan anak-anak, selain televisi media yang berpotensi menyajikan seks dan
kekerasan adalah video game (playstation). Beberapa game untuk PC juga banyak yang
mengandung unsur kekerasan dan seks.

Secara khusus, Suparto Brata sangat mengkhawatirkan pengaruh televisi pada anak-
anak. Ia menyebut televisi sebagai “guru besar” yang beresiko besar terhadap anak-anak
(Jawa Pos,17/12/2006). Anak memang paling mudah belajar dan meniru (untuk berbuat
kebaikan maupun kekerasan) dari apa yang mereka lihat dan dengar, dari media ataupun
yang mereka lihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang mereka lihat dan
dengar, lebih mudah terekam di otak daripada yang mereka baca. Ini disebabkan, masih
menurut Suparto Brata, orang tak perlu belajar untuk menikmati televisi, karena secara
kodrati orang bisa melihat dan mendengar. Beda dengan membaca dan menulis yang harus
dipelajari dan bukan kodrat.

Lalu sebenarnya apa yang mendasari maraknya tayangan yang mengandung seks
dan kekerasan di televisi?. Jawaban yang hampir pasti adalah adalah karena rating.
Pengelola televisi rasanya sulit sekali mengurangi apalagi mengeleminir acara-acara yang
ratingnya tinggi walaupun mungkin bila ditinjau dari segi kualitas acara, nilainya minus. Dan
seperti apa yang ditulis Kholilul Rohman Ahmad dalam review buku Matinya Rating Televisi :
Ilusi Sebuah Netralitas yang berjudul Maria Eva Dan Politik Bisnis Televisi, orang-orang yang
mengkritik acara-acara televisi akan dituduh sebagai orang yang mengkritik mekanisme
pasar. Karena rating sudah lazim diasumsikan sebagai representasi selera masyarakat.

Namun kita juga perlu memberi apresiasi atas apa yang sudah dilakukan oleh televisi
untuk meminimalisir dampak dari tayangan seks dan kekerasan. Mereka melabeli tayangan-
tayangan mereka agar tercipta segmentasi penonton. Ada label A (Anak-anak), R (Remaja)
D (Dewasa), SU (Semua Umur), BO (Bimbingan Orang Tua) bahkan label “17+”. Label
terakhir ini bisa dipahami dalam 2 makna, pertama tayangan itu mempunyai content-content
yang menjurus ke arah seksualitas atau mempunyai content kekerasan. Termasuk juga
dalam hal pengaturan jam tayang. Tapi seperti tayangan smackdown sebelumnya yang
sudah terlanjur digandrungi anak-anak, jam berapapun ditayangkan mereka rela menahan
kantuk supaya bisa menonton.
Dengan demikian kita tidak perlu selalu menempatkan televisi atau media lainnya
sebagai pihak yang bersalah. Lepas dari efek-efek negatif yang ditimbulkannya, televisi
punya efek-efek positif yang yang perlu diperhitungkan, terutama terkait pemberitaan.
Televisi hanya media, yang seperti produk teknologi lainnya, diciptakan dengan tujuan awal
untuk memudahkan kehidupan manusia. Hanya kemudian, tergantung kepada kita
pemanfaatannya lebih ke arah mana. Seperti diungkapkan sebelumnya, kekerasan bisa
berpotensi dilakukan oleh siapa saja. Dan kekerasan pun bisa terjadi dalam lingkungan
apapun, dari mulai lingkungan militer (yang sudah identik dengan kekerasan untuk disiplin)
sampai lingkungan keluarga dan pendidikan.

Pemberian PR yang menumpuk pada pelajar SD, juga adalah suatu bentuk kekerasan
(kalau boleh dikatakan demikian). Pemberian PR yang menumpuk menyita sebagian besar
waktu mereka yang seharusnya bisa digunakan untuk bermain, berinteraksi sosial dengan
teman dan keluarga serta melakukan kegiatan lain selain belajar. Menurut Afie Kohn, penulis
The Homework Myth, PR tidak hanya mengikis kecintaan anak-anak untuk belajar tapi juga
punya dampak psikologis yang merugikan. Apalagi dari hasil penelitian Duke Univercity,
didapati bahwa tidak ada korelasi antara PR dan kemajuan akademis pelajar. Korelasi hanya
ditemukan pada pelajar SMP dan SMU, tidak pada pelajar SD. Lalu jika pada beberapa TK
muridnya sudah diajarkan membaca dan berhitung, bisakah disebut kekerasan?.

Disamping pendidik, orang tua pun bisa melakukan kekerasan dalam konteks
pendidikan. Orang tua seringkali mengatasnamakan masa depan anak, dengan memaksa
anak mereka untuk ikut berbagai tambahan pelajaran (les) yang melelahkan fisik dan
psikologis. Sepulang sekolah, anak harus ikut les matematika, les Bahasa Inggris, les
komputer, renang, piano dan sebagainya. Seolah-olah setiap hari adalah full day school.
Kalau sudah begini, jangan salahkan bila anak cenderung menjadi pribadi yang introvert,
kurang bisa berinteraksi sosial, bagus dalam hardskill tapi kurang bagus dalam softskill
karena mengalami social phobia (meminjam istilahnya Nalini M. Agung).

Anda mungkin juga menyukai