Sunan Kalijaga mempunyai nama asli Raden Said, yang merupakan seorang putra dari adipati tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta. Raden Said sejak kecil telah diperkenalkan dengan agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Gelora jiwa muda Raden Said meledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban yang menarik pajak dengan sangat tinggi pada masyarakat. Maksud meringankan penderitaan yang dialami rakyat Tuban telah disampaikan kepada ayahnya, namun rupanya ayahnya tidak bisa berbuat banyak. Sebab ayahnya hanya sebagai adipati bawahan Majapahit. Maka muncul niat untuk mengambil hasil bumu yang disimpan di gudang kadipaten. Bahan makanan ini dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan, dengan tanpa sepengetahuan mereka. Hilangnya barang-barang digudang membuat para penjaga gelisah. Maka pada suatu malam para penjaga mengintai dari kejauhan pelaku pencurian selama ini dengan bersembunyi di balik rumah yang tidak jauh dari gudang kadipaten. Betapa terkejutnya para prajurut ketika tahu pelaku pencurian adalah Raden Said. Melihat perbuatan Raden Said, Adipati Wilatikta sangatlah marah. Karena perbuatannya Raden Said harus dihukum cambuk pada tangannya dan disekap selama beberapa hari. Lantas apakah Raden Said merasa jera dengan hukuman yang diberikan? Setelah selesai menjalani masa hukuman Raden Said benar-benar pergi menjauh dari lingkungan keistanaan. Raden Said tak pernah pulang, hingga membuat ibunda dan adiknya merasa cemas. Lalu apa yang dilakukan Raden Said? Raden Said mengenakan topeng khusus dengan mengenakan pakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kadipaten Tuban. Sasaran utamanya adalah orang kaya pelit dan pejabat yang curang. Harta ini kemudian dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita. Tapi ketika perbuatannya mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya. Ada seorang pemimpin perampok yang mengetahui maksud tindakan Raden Said. Sehingga pemimpin perampok berusaha menghasut dengan mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakan Raden Said. Pada suatu malam Raden Said selesai melaksankaan salat Isya’, Raden Said mendengar suara jerit tangis para penduduk desa kampungnya sedang dijarah perampok. Raden Said segera mendatangi tempat kejadian. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said, para perampok bergegas melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang menggagahi seorang gadis cantik. Raden Said mendobrak pintu rumah sigadis yang sedang digagahi. Di dalam kamar Raden Said melihat sosok yang sama berpakaian persis dirinya, orang dengan topeng yang serupa berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya perampok ini telah selesai menggagahi sigadis. Raden Said berusaha mengangkap perampok ini tetapi sayang, ia berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan tertalu-talu, penduduk kampong bergegas berdatangan ke lokasi kejadian. Sigadis yang baru saja digagahi perampok memeluk erat tangan Raden Said. Tentu saja Raden Said merasa panic dan kebingungan. Sedangkan para pemuda kampong berusa masuk dengan menghunuskan senjatanya. Lantas Raden Said ditangkap dan diserahkan ke kepala desa. Kepala desa yang penasaran berusaha membuka topeng Raden Said. Begitu mengetahui orang dibalik topeng tersebut kepala desa menjadi terbungkam. Sungguh tidak disangka, perampok yang meresahkan itu adalah putra junjungannya sendiri. Gegerlah masyarakat waktu itu. Raden Said dituding sebagai perampok dan pemerkosa para gadis. Terbukti dengan adanya sigadis yang menjadi saksi hidup atas kejadian yang terjadi. Sang kepala desa berusaha menutupi aib junjungannya, dengan membawa diam-diam Raden Said ke Istana Kadipaten Tuban tanpa sepengetahuan orang. Mendengar berita ini, tentusaja adipati murka, dan mengusir Raden Said dari wilayah Kadipaten Tuban. “Pergi dari KadipatenTuban ini! Engkau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum engkau dapat menggetarkan dinding-dinding Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari!” Adipati Wilatikta sangat merasa terpukul atas kejadian ini. Raden Said yang digadang menjadi pewaris tahta justru memupuskan harapannya. Sirna sudah pengharapannya kepada Raden Said. Hanya ada satu orang yang dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan yang merupakan adik Raden Said yang berjiwa luhur. Dewi Rasawulan yakin kalau kakaknya Raden Said bukanlah dalang dibalik tindakan keji itu. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya diam-diam mencari Raden Said untuk diajak pulang. Raden Said mencari guru sejati Kemanakah Raden Said pergi setelah diusir dari Kadipaten Tuban? Raden Raden Said mengembara tanpa tujuan pasti. Sampai pada akhirnya Raden Said menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun Raden Said menjadi perampok budiman. Ya betul… sebutan perampok budiman dinisbatkan kepada Raden Said karena hasil rampokannya selalu diberikan kepada fakir miskin, tanpa sedikitpun Raden Said memakan hasil rampokannya. Yang sasarannya adalah para hartawan kikir yang enggan menyantuni rakyat miskin dan tidak mau membayar zakat. Di Hutan Jatiwangi Raden Said membuang nama aslinya. Orang-orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya. Pada suatu hari ada orang berjubah putih lewat Hutan Jatiwangi. Dari kejauhan Raden Said sudah mengincarnya. Orang ini membawa tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinaya langkah orang tua jubah putih ini. Hingga ketika telah begitu dekat Raden Said menghadangnya. Tanpa berpikir panjang Raden Said langsung merebut tongkat yang dibawa orang tua berjubah putih. Karena diminta dengan paksa orang tua ini akhirnya jatuh tersungkur. Dengan susah payah orang tua itu bangun. Matanya mengeluarkan air mata meski tanpa mengeluarkan suara tangis. Raden Said mengamati tongkat yang baru direbutnya, yang rupanya tidak terbuat dari emas. Hanya gagangnya saja yang teruat dari kuningan sehingga berkilauan kalua terkena cahaya matahari, lantas Nampak seperti emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu. “jangan menangis ini tongkatmu aku kembalikan”. “bukan tongkat ini yang aku tangisi” ujar lelaki tua sambal memperloihatkan beberapa batang rumput di tangannya. “lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini terjatuh seketika ketika aku terjatuh tersungkur tadi.” “hanya beberapa lembar rumput kau merasa berdosa?” Tanya raden said heran. “ya memang berdosa, kau mencabutnya tanpa suatu keperluan, andaikan itu kucabut untuk makan ternak itu tidak mengapa. Namun untuk suatu kesia-siaan benar-benar berdosa” jawab orang tua. Hati Raden Said bergetar mendengar jawaban yang mengandung nilai tauhid ini. “anak muda pa yang sesungguhnya engkau cari di hutan ini?” “saya menginginkan harta” “Untuk apa” “saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita.” “hem… sungguh mulia hatimu, sayang… cara mendapatkannya yang keliru.” Orang tu… apa maksudmu? “Boleh bertanya aku anak muda?” desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu dengan air yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu benar?” “sungguh perbuatan bodoh” sahut Raden Said. “hanya menambah kotor dan bau pakaian saja” Lelaki tua tersenyum, “demikianlah amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram atau mencuri itu sama saja halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.” Raden Said tercekat. Lelaki tua lalu melanjutkan ucapannya “Allah adalah Dzat yang baik, hanya menerima amal yang baik atau halal.” Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali wajah lelaki tua itu. Agung berwibawa, namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Raden Said mulai tertarik dengan karakter lelaki berjubah putih. “Banyak usaha untuk mengentaskan kemiskinan dan meringankan penderitaan rakyat, namun ketika tidak bisa merubahnya dengan memberi bantuan dengan beras dan emas mka harus berpindah dengan cara lain dengan memperingatkan para penguasa yang bersikap sewenang-wenang. Disamping membimbing masyarakat meningkatkan tarah hidupnya.” Raden Said semakin terpana, ucapan semacam inilah yang didambakannya selama ini. “kalua kau tak mau bekerja ekras dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal, ambillah sesukamu!” berkata demikian lelaki tua sambal menunjuk pada sebuah batang pohon aren. Yang seketika pohon berubah menjadi emas. Tentu saja mata Raden Said terbelalak. Raden Said sebagai pemuda yang berpengalaman, berbagai ilmu dan kesaktian dapat dikuasainya. Awalnya Raden Said mengira lelaki tua tadi menggunakan ilmu sihir. Tetapi kalau itu sihir seharusnya Raden Said dapat mengatasinya. Namu nrupanya pohon aren itu tetap saja berwujud emas. Artinya orang tua itu tidak menggunakan sihir. Benar-benar keheranan Raden Said ini, ilmu apa yang dapat membuat pohon aren bisa menjadi emas. Raden Said terdiam beberapa saat di tempatnya berdiri. Lalu dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar telah menjadi emas seluruhnya. Raden Said ingin mengambil buah aren yang berkilauan, mendadak buah itu rontok berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Raden Said jatuh terjerembab ketanah dan pingsan. Ketika sadar buah aren yang rontoh tadi telah berubah menjadi hijau layaknya umumnya pohon aren. Raden Said bangkit berdiri dan mencari orang tua tadi, namun sayang orang tua tadi sudah tidak ditempat. Pesan orang tua tadi masih terngiang di telinganya, yaitu tentang amal dengan barang haram yang diibaratkan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Lalu Raden Said mengejar orang tua tadi. Segenap tenaga dikerahkannya hingga akhirnya dapat melihat bayangan orang tua tadi dari kejauhan. Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tetapi tetap saja Raden Said tidak bisa menyusulnya. Hingga sampai-sampai Raden Said jatuh terseok-seok, hingga ketika tenaganya telah habis terkuras barulah Raden Said sampai dibelakang lelaki tua. Lelaki tua tadi berhenti, bekan karena Raden Said, melainkan karena ada sungai yang terlalu lebar dihadapannya. Nampak tidak ada jembatan untuk menyebrang , dan jika harus menyebrang sungai itu Nampak sangat dalam. “tunggu…,” Raden Said menyahut ketika melihat orang tua tadi melangkahkan kaki kesungai. Raden Said meminta “sudilah kiranya tuan menerima saya sebagai murd” “menjadi muridku?” orang tua menoleh. “mau belajar apa?” “apa saja, asal tuan menerima saya menjadi murid” Berat, berat sekali anak muda, bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya” “saya bersedia” Lelaki tua itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperinyah ,eminggui tongkat itu. Tak boleh beranjang dari tempat itu sebelum orang tua menemuinya. Raden Said bersedia menerima persyaratan itu. Selanjutnya lelaki tua menyebrangi sungai. Untuk kesekian kalinya Raden Said kembali keheranan sebab lelaki tua berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas daratan saja, tanpa basah sedikitpun. Ini makin meyakinkan Raden Said kalau gurunya ini adalah orang yang tepat. Setelah lelaki tua hilang dari pandangan, Raden Said teringat dengan kisah Ashabul Kahfi yang sangatlah ajaib yang dibacanya dari Al-Qur’an. Maka Raden Said bersila dan berdo’a kepada Allah supaya ditidurkan sebagaimana Allah menidurkan Ashabul Kahfi di dalam goa. Benar saja, selama tiga tahun Allah menidurkan Raden Said, hingga akar pepohonan dan rerumputan menyelubungi anggota tubuhnya. Dan setelah tiga tahun lamanya lelaki tua tadi kembali menemuinya. Namun Raden Said tidak bisa dibangunkan. Baru setelah mengumandangkan adzan barulah Raden Said bisa dibangunkan. Raden Said dikenakan pakai yang bersih, dan diajak ke Tuban. Ya ke Tuban karena ternyata lelaki tua itu adalah Sunan Bonang. Raden Said menerima pengajaran dari Sunan Bonang. Dan setelah peristiwa itu Raden Said lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Arti kalijaga artinya adalah yang menunggui sungai.