Anda di halaman 1dari 3

Kisah Perjalanan Dakwah Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah salah satu dari wali songo, hanya beliau yng berdakwah
mengunakan budaya Jawa. Bahkan beliau setelah menjadi wali, menganti
jubahnya menjadi pakaian Jawa lengkap dengan blangkonnya.
Namun ada perjalanan panjang untuk Sunan Kalijaga mempunyai nama asli
Raden Said. Beliau merupakan putra dari Adipati Tuban yang bernama
Tumenggung Wilantikta atau biasa disebut sebagai Raden Sahur. Sejak kecil
Raden Said telah dididik mengenai agama Islam oleh guru agama di Kadipaten
Tuban. Beliau sangat tidak menyukai para penguasa yang ada di Tuban. Mereka
berbuat semena-mena pada rakyat kecil ini yang membuat Raden Said marah.
Hingga Raden Syahid bertanya ke suatu ayah “Bapak, mengapa rakyat kadipaten
Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah
tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis ini.
Kemarahan beliau semakin menjadi-jadi tatkala melihat pejabat Tuban yang
menarik pajak kepada rakyat miskin. Rakyat di Tuban telah mengalami
penderitaan akibat dari kemarau yang panjang ditambah lagi harus membayar
pajak, tentu saja rakyat akan semakin menderita. Telebih pajak yang ditarik
kadang tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Maka dari itu rakyat sungguh
sengsara.
Raden Said terkenal dengan mudah bergaulnya, walaupun beliau anak dari
Adipati Tuban namun beliau lebih suka berhgaul dengan rakyat yang biasa.
Beliau berteman dengan masyarakat dari berbagai kalangan mulai dari yang
miskin hingga yang kaya. Dengan mudah bergaulnya tersebut Raden Said
menjadi tahu keadaan rakyat Tuban yang sebenarnya.
Raden Said telah menyampaikan niatnya untuk mengurangi penderitaan rakyat
Tuban kepada ayahnya. Namun apa daya ayahnya tidak bisa berbuat banyak.
Raden said pun bisa memaklumi keadaan tersebut, karena Adipati berada di
bawah pimpinan Kerajaan Majapahit yang mengharuskan rakyat membayar
pajak. Dengan keadaan tersebut Raden Said berinisiatif untuk keluar rumah di
malam hari, dan meninggalkan membaca ayat suci Al-Qur’an yang telah
dilakukannya di malam-malam sebelumnya.
Beliau menjadi “Maling Cluring” yaitu pencuri yang mengambil hasil bumi yang
berada di gudang kadipaten. Pajak bumi tersebut merupakan pajak yang diberikan
oleh rakyat. Hasil curian tersebut lalu dibagikan kepada rakyat tidak mampu
secara tersembunyi. Lama kelamaan tindakan tersebut diketahui oleh ayahnya
sendiri, lalu beliau di hukum cambuk sebanyak 200 kali di tangannya dan di
kurung selama beberapa hari di kamarnya.
Setelah hukuman selesai Sunan Kalijaga (Raden Said) benar-benar keluar dari
kadipaten dan tidak kembali lagi, hal ini membuat cemas keluarganya. Beliau
masih melakukan pencurian dengan menggunakan pakaian serba hitam dan
mengenakan topeng. Sasaran yang beliau curi adalah kaum bangsawan yang pelit
dan tidak mau bersedekah kepada rakyat kecil. Hasil curiannya tentu sasa
dibagikan kepada rakyat miskin. Suatu hari beliau dijebak oleh orang yang
membencinya dengan menyamar berpakaian seperti dirinya. Beliau di fitnah telah
memperkosa seorang anak.
Dari kejadian tersebut ayahnya menjadi marah dan mengusirnya dari Kadipaten
Tuban. Beliau tidak boleh pulang sebelum dapat menggetarkan dinding istana
dengan suara merdu lantunan ayat Al-Qur’an yang selama ini sering dibaca di
malam hari. Dewi Rasawulan tidak percaya dengan fitnah tersebut ia merasa iba
dengan kakaknya tersebut. Dewi Rasawulan pun berinisiatif untuk pergi mencari
kakaknya dan membujuknya kembali pulang ke kadipaten.
Raden Said melakukan perjalanan yang tidak pasti arah dan tujuannya hingga
sampailah di hutan jatiwangi. Disana beliau menjadi pencuri yang budiman, yaitu
dengan mencuri harta orang kaya yang pelit dan dibagikannya kepada masyarakat
yang tidak mampu. Suatu hari beliau bertemu dengan seorang kakek tua yang
mengenakan jubah putih sambil membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.
Orang tersebutlah yang berhasil menyadarkan Raden Said bahwa cara yang
dilakukannya untuk menolong orang tidak mampu merupakan cara yang salah.
Orang tersebut mengumpamakan perilaku Raden Said bagaikan mencuci baju
dengan air kencing.
Dari situlah Raden Said ingin menjadi murid dari kakek tua tersebut. Namun ada
syarat yang harus dipenuhi yaitu dengan menunggui tongkat yang telah
ditancapkan di tanah sampai kakek tua datang. Ujian tersebut mampu dijalani
oleh Raden said selama tiga tahun beliau bersemedi di tempat tersebut. Setelah
ujian berhasil raden Said dibersihkan tubuhnya dan diberi pakaian yang bersih,
kemudian beliau di bawa ke Tuban. Mengapa demikian? Karena kakek tua
berjubah putih itu adalah Sunan Bonang.
Dengan Sunan Bonang, beliau mulai menimba ilmu mengenai pelajaran agama.
Gelar Sunan Kalijaga didapatkannya karena beliau pernah menunggui sungai
selama bertahun-tahun. Dalam bahasa jawa kali berarti sungai dan jaga berarti
menjaga.
Setelah bertahun-tahun ibu Raden Said mengetahui kabar bahwa anaknya tidak
bersalah dan ia merasa menyesal telah mengusir anaknya. Untuk mengobati rasa
rindu dari ibunya, Sunan Kalijaga (Raden Said) mengerahkan ilmu tingginya
untuk melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dari kejauhan dan nantinya suara
tersebut di kirim ke Kadipaten Tuban. Suara merdu dari Raden Said mampu
menggetarkan dinding istana dan siapa saja yang mendengarnya.
Beliau memutuskan untuk mengembara sembari berdakwah menyebarkan agama
Islam dari Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Kearifan dan kebijaksanaan dalam
berdakwah yang dimiliki Sunan Kalijaga mampu menjadikannya sebagai Guru
Suci se-tanah jawa. Saat usia senjanya beliau memilih Kadilangu, Demak sebagai
tempat peristirahatan terakhirnya.

Anda mungkin juga menyukai