Raden Mahmud Syahid atau dikenal dengan Raden Mas Said hidup
berkecukupan sejak kecil. Ayahnya, Raden Suhur atau Arya Wilwatika adalah
seorang bupati Tuban. Sementara itu, ibunya bernama Dewi Nawangrum. Terlahir
sebagai anak bangsawan, ia tumbuh menjadi remaja nakal dan pembangkang.
Raden Sahid seringkali tidak sejalan dengan tindakan Adipati Arya Wilwatika
yang keras terhadap rakyat, tak terkecuali dalam penerapan pajak. Raden Said
menganggap bahwa hal itu menyengsarakan rakyat, apalagi kondisi rakyat tengah
ditimpa kemiskinan yang berat. Jika ditinjau dari kehidupan kalangan ningrat yang
hidp bermewah-mewahan, tentu saja itu berbanding terbalik. Dari kondisi ini, Raden
Sahid melihat adanya kesenjangan sosial yang tinggi.
“Hai para perampok. Pilih harta atau nyawa!” ancam Raden Said.
“Hahaha... kau ini gila atau bagaimana? Perampok kok mau dirampok? Kau
ingin mencari mati?” tantang kepala perampok.
Akhirnya terjadi perkelahian hebat di antara mereka. Raden Said yang hanya
sendirian dikeroyok oleh kawanan perampok. Hanya bermodalkan tangan kosong,
Raden Said tak gentar melawan para perampok. Ia menunjukkan keahlian beladiri
yang dimiliki. Dengan kemampuan beladiri yang memukau, Raden Said berhasil
membuat kawanan perampok tersebut tumbang dan berkata, “Menyerah atau mati?”
Setelah itu, kawanan perampok tersebut menjadi pengikut setia Raden Said.
Mereka menjadi kawanan perampok yang terkenal dengan kemampuan beladiri yang
mumpuni. Mereka bisa merampok dengan mudah karena kekuatan yang mereka
miliki. Hasil rampokan mereka pun melimpah dan selalu dibagikan kepada rakyat
miskin. Hingga suatu ketika, Raden Said tidak berhasil mendapatkan harta rampokan.
Setiap usaha yang dilakukan beserta pengikutnya selalu gagal. Di tengah kegagalan
tersebut, mereka melihat ada orang bersorban dan berperawakan tinggi besar. Cara
berpakaian orang tersebut berbeda dengan orang Jawa pada umumnya dengan
memegang tongkat dari emas.
“Bohong! Jangan pura-pura tidak tahu, aku tahu tongkatmu itu harganya
sangat mahal.”
XII MIPA 6
15