Anda di halaman 1dari 4

1.

Berbahasa Indonesia yang baik berarti bahwa kita harus menggunakan bahasa Indonesia sesuai
dengan konteks berbahasa yang selaras dengan nilai sosial masyarakat. Peraturan ini berkaitan
penggunaan ragam bahasa secara tulis dan lisan untuk kebutuhan berkomunikasi. Ragam
bahasa dari sisi penggunaan bahasa ada dua, yaitu ragam formal dan ragam nonformal. Ada dua
hal yang kita perhatikan dalam kalimat ini. Pertama, berbahasa sesuai dengan konteksnya dan,
kedua, berbahasa selaras dengan nilai sosial masyarakat. Hal itu yang menjadi alasan mengapa
Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan berbasis teks dalam pengajaran berbahasa, baik
bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Bahasa diperkenalkan kepada siswa dalam
konteksnya dan tidak sebagai satuan-satuan kata yang berdiri sendiri. Dengan demikian, siswa
dihadapkan dengan konsep-konsep bahasa sejak awal. Misalnya, perbedaan penggunaan kata
cuma dan hanya. Adapun, bahasa Indonesia yang baik berkaitan dengan nilai sosial masyarakat.
Artinya, pada saat menggunakan bahasa, wajib diperhatikan kepada siapakah kita
berkomunikasi. Berkomunikasi dengan teman tentu akan berbeda dengan berkomunikasi
dengan orang tua. Kata aku digunakan kepada teman-teman dan kata saya digunakan kepada
orang yang lebih tua atau yang dihormati. Dalam hal ini, kesantunan berbahasa mulai diajarkan.

Berbahasa Indonesia yang benar berarti bahwa harus digunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan
kaidah atau aturan bahasa Indonesia. Kaidah bahasa Indonesia meliputi kaidah tata bahasa, kaidah
ejaan, dan kaidah pembentukan istilah. Kaidah tata bahasa dan kaidah pembentukan istilah berkaitan
dengan bahasa Indonesia lisan dan tulis. Penggunaan bahasa yang tidak memperhatikan kaidah tata
bahasa akan membingungkan. Misalnya, kesalahan tata bahasa dalam kalimat “Karena sering
kebanjiran, gubernur melarang pembangunan gedung di sana”. Apakah “gubernur” yang sering
kebanjiran atau “suatu daerah”? Kesalahan seperti itu sering terjadi dalam kalimat majemuk. Kaidah
ketatabahasaannya adalah “Dalam kalimat majemuk bertingkat, subjek dalam anak kalimat dapat
dihilangkan jika induk kalimat dan anak kalimat mengandung subjek yang sama”. Dalam kalimat contoh,
subjek pada induk kalimat tidak sama dengan subjek pada anak kalimat. Akibatnya, subjek pada anak
kalimat wajib hadir. Kaidah pembentukan istilah berkaitan penggunaan kata serapan. Seringkali,
ditemukan ucapan “Selamat pagi. Selamat menjalankan aktifitas hari ini”.

Pengguna bahasa tidak secara cermat membedakan penulisan aktif dan aktivitas karena dalam bahasa
Indonesia bunyi [f] dan [v] tidak membedakan arti. Contoh lainnya, dalam kalimat Pengakuannya
menunjukkan sisi gentle dari dirinya. Seharusnya, istilah yang digunakan adalah gentlemen. Kedua kata
sifat ini berbeda arti. Kata gentle berarti ‘lemah lembut’, sedangkan gentlemen berarti ‘lelaki yang
memiliki etika, moral, dan berbudi bahasa halus’. Penggunaan istilah asing, sebaiknya, disertai dengan
pengetahuan tentang bahasa asing yang digunakan.

Adapun kaidah ejaan hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa Indonesia tulis dan berkaitan dengan
dua hal. Pertama, kaidah ejaan berkaitan dengan penulisan kata, misalnya sekadar bukan *sekedar; di
antara bukan *diantara sebaliknya ditonton bukan *di tonton. Kedua, kaidah ejaan berkaitan dengan
penggunaan tanda baca. Misalnya, “Yuk, kita makan, Eyang” akan berbeda artinya dengan “Yuk, kita
makan Eyang”. Kalimat pertama ‘mengajak eyang untuk makan bersama’, sedangkan kalimat kedua
berarti ‘mengajak kita untuk memakan eyang’. Penggunaan koma yang kecil menghasilkan perbedaan
arti yang besar.
Lalu, apakah itu berarti bahwa kita harus selalu berbahasa ragam formal? Pada saat kita berbicara
dengan tukang sayur atau kepada teman, kita tentu tidak perlu menggunakan ragam formal.
Permasalahannya adalah apakah pada saat berbahasa ragam nonformal, kita harus tetap mengindahkan
kaidah berbahasa? Jawabannya adalah ya! Menggunakan kaidah dalam ragam nonformal berarti
menggunakan pilihan kata yang sesuai dan tepat serta menggunakan kaidah tata bahasa yang benar.
Misalnya, pada saat membeli bakso, jangan mengatakan, “*Bang, saya bakso pake bihun.” Kalimat itu
bukan kalimat yang benar. Saya bukan bakso, saya orang. Untuk menjadi kalimat yang baik dan benar,
hanya dibutuhkan satu kata, yaitu “mau” menjadi “Bang, saya mau bakso pake bihun.”

Kita mengenal moto penggunaan bahasa Indonesia, yaitu gunakan bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Kita sering mengartikannya sebagai penggunaan bahasa Indonesia yang baik pada situasinya dan
benar pada kaidahnya. Namun, bahasa Indonesia yang baik tidaklah sederhana. Banyak aspek yang perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa Indonesia yang baik
mempertimbangkan aspek situasi, mitra, sarana, lokasi, dan pokok bahasan. Lalu, bahasa Indonesia yang
benar berdasarkan pada aspek kaidah yang berlaku.

Penggunaan bahasa Indonesia yang hanya berdasarkan kaidah tidaklah cukup. Jika hanya berdasarkan
kaidah, komunikator pengguna bahasa Indonesia akan sangat kaku dan sulit terjadinya umpan balik dari
komunikan. Komunikasi pun tidak akan berjalan dengan baik, bahkan bisa terjadi kesalahpahaman. Hal
pertama yang menjadi pertimbangan adalah aspek situasi. Situasi penggunaan bahasa terdiri atas dua,
yaitu situasi resmi dan nonresmi. Pada situasi resmi, bahasa Indonesia dituturkan dalam ragam baku.
Ragam baku yang dimaksud tentunya berdasarkan kaidah. Situasi resmi yang menggunakan bahasa lisan
biasa kita lihat pada rapat, simposium, pidato, dan pertemuan resmi lainnya. Dalam penggunaan bahasa
lisan, ciri ragam baku yang dapat dilihat adalah penggunaan kosakatanya. Sebab, bahasa lisan sangat
terbantu dengan mimik, intonasi, dan sebagainya. Hal itulah yang membedakan dengan bahasa tulis.
Bahasa tulis hanya bisa terbantu dengan pemakaian tanda baca, penggunaan huruf, dan penulisan kata.
Situasi resmi yang menggunakan bahasa tulis biasa kita lihat pada penulisan surat resmi, karya ilmiah,
perundang-undangan, dan naskah resmi lainnya. Tentu, tidak sepatutnya penggunaan bahasa nonresmi
digunakan pada situasi yang resmi, misalnya kata gaul bro digunakan sebagai sapaan pada surat antar-
instansi atau pidato kenegaraan. Situasi yang tidak bisa dibayangkan jika hal itu terjadi.

Aspek situasi penggunaan bahasa Indonesia bukanlah satu-satunya yang dapat menjadi pertimbangan.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kesopanan, bahasa Indonesia yang baik akan
mempertimbangkan aspek mitra tutur. Biasanya, hal itu dapat dilihat dari kasus bahasa lisan.
Penggunaan kata kamu tidak dapat digunakan untuk menyapa semua orang. Tidak bisa kita bayangkan
jika penggunaan kata kamu digunakan untuk menyapa orang yang lebih tua atau orang yang kita
hormati, seperti presiden, raja, atau atasan kita. Bahkan, penggunaan kata kamu dalam beberapa situasi
dirasa tidak tepat, seperti pidato kenegaraan, surat antar-instansi, dan sebagainya. Namun, kata itu
selalu kita temui pada situasi nonresmi dan ditujukan pada mitra tutur yang lebih muda.
Dalam beberapa kasus kebahasaan, aspek situasi dan mitra dapat saling terkait. Kedua aspek itu juga
terkait dengan aspek sarana. Aspek sarana yang dimaksud adalah bahasa tulis dan lisan. Di atas, telah
disebutkan perbedaan bahasa tulis dan lisan. Perbedaan itulah yang menyebabkan bahasa tulis harus
lebih berhati-hati. Banyak kasus ujaran kebencian melalui media sosial melalui status, pesan, atau twit.
Sebagian kasus diakhiri dengan permohonan maaf dikarenakan hal itu tidak disengaja atau niatnya
hanya bercanda. Namun, kita harus ingat bahwa bahasa tulis tidak bisa dibantu dengan intonasi dan
mimik, melainkan hanya bisa dibantu dengan tanda baca, penulisan kata, dan penggunaan huruf. Kita
perlu memilih kata yang tepat dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik.

Pemilihan kata yang baik perlu juga mempertimbangkan konteks nonkebahasaan seperti kelayakan
geografis. Hal itu selaras dengan aspek yang mempertimbangkan lokasi penggunaan bahasa Indonesia.
Hal itu dapat dilihat dari penggunaan kata “butuh”. Pada daerah tertentu, kata itu dekat dengan makna
‘kemaluan laki-laki’. KBBI juga menyebutkan kata “butuh” dalam ragam kasar memiliki makna ‘kemaluan
laki-laki; zakar’. Jika kata itu harus digunakan di daerah itu dan dirasa harus diganti, penutur bahasa
Indonesia yang baik bisa juga memilih kata “perlu”.

Aspek terakhir yang menjadi pertimbangan dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik adalah
pokok bahasan. Kita sering mendengar bahasa jurnalistik, bahasa hukum, bahasa ilmiah, dan bahasa-
bahasa lainnya. Padahal, semua itu hanyalah laras dalam bahasa Indonesia. Namun, masing-masing
memiliki ciri yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia laras hukum, khususnya perundang-undangan, kita
akan menemui banyak istilah asing bidang hukum. Biasanya istilah asing itu belum ada padanan yang
sesuai. Namun, penulisannya tetap harus mengikuti Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI),
yaitu ditulis miring. Selain itu, terdapat juga penggunaan frasa baku yang tidak bisa dipertukarkan
anggota frasanya, yaitu frasa “dalam Pasal” dan “pada ayat”. Selanjutnya, dalam bahasa jurnalistik,
kalimat-kalimat digunakan sangat pendek tetapi jelas. Sebab, hal itu biasanya mempertimbangkan
kolom penulisan dalam surat kabar. Komposisi struktur beritanya pun harus berstruktur piramida
terbalik. Penggunaan bahasa Indonesia laras hukum dan jurnalistik merupakan contoh sebagian dari
laras-laras dalam bahasa Indonesia lainnya, seperti laras ilmiah hingga sastra yang juga memiliki ciri
tersendiri. Meski memiliki ciri tersendiri, kata-kata yang tersusun di dalamnya merupakan kata baku.
Tidak hanya itu, laras dalam Indonesia yang memiliki tingkat keresmiannya tinggi akan sangat patuh
pada PUEBI.

PUEBI merupakan salah satu acuan dasar dari penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Dalam PUEBI,
telah diatur beberapa ketentuan mengenai pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca,
dan penulisan unsur serapan. Acuan penggunaan bahasa Indonesia yang benar tidak hanya berdasarkan
PUEBI. Penggunaan bahasa Indonesia yang benar dapat mengacu pada Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Bahasa Indonesia yang baik dan benar bukanlah sesuatu yang rumit, tetapi juga tidak sederhana.
Pengutamaan bahasa Indonesia juga tidak kalah pentingnya. Namun, bukan berarti kita menggunakan
bahasa Indonesia seadanya. Sebab, pada suatu saat kita akan berada pada situasi yang memerlukan
penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam atau laras tertentu. Oleh karena itu, gunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar.

2.

Anda mungkin juga menyukai