PROMOTED CONTENT
Bisnis digital profit mudah dan praktis - go hoki 2020
PELAJARI LEBIH→
Ragam Lisan
Ragam Tulis
b) Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata:
1. Ragam Lisan
2. Ragam Tulis
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai
sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum
tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada
bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik
ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!”
Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik
tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa
yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti
kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik
dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus
memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988, halaman 20).
Perbedaan Ragam Bahasa Ilmiah dan Ragam Bahasa Sastra.
Ada bermacam-macam ragam bahasa, salah satunya adalah bahasa sastra dan bahasa
ilmiah. Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat
berkomunikasi atau berinteraksi dengan manusia yang lain, bahasa indonesia memiliki
banyak ragam bahasa, namun yang sering kali dibahas adalah bahasa sastra dan bahasa
ilmiah. Bahasa sastra dan bahasa ilmiah sering kali kita bandingkan, karena pada bahasa
sastra dan bahasa ilmiah memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki kegunaan yang
berbeda.
Bahasa indonesia adalah ragam bahasa indonesia yang digunakan untuk kegiatan
ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar. Kegiatan ilmiah biasanya bersifat resmi.
Sebagai kegiatan yang bersifat resmi ragam bahasa indonesia yang digunakan dalam kegiatan
ini adalah ragam bahasa indonesia baku. Jadi bahasa indonesia ilmiah adalah ragam bahasa
Indonesia yang digunakan oleh kelompok terpelajar.
Dalam penelitiannya tentang bahasa ilmiah, Hyland (2011:177-183) via
Nurgiantoro, 2014: 131 mengemukakan sejumlah karakteristik bahasa ilmiah sebagai
berikut.
1. Bahasa ilmiah disusun secara sistematis dan meyakinkan agar pembaca mau menerimanya.
Intinya, bahasa ilmiah disiasati dan dikembangkan sedemikian rupa lewat penalaran dan
argumentasi untuk mencapai efek meyakinkan (persuasive effect)
2. Bahasa ilmiah mengembangkan argumentasi lewat pemilihan bentuk stile yang khusus, yang
khas, yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain. Berbagai bidang keilmuan
tertentu lazimnya membentuk komunitasnya sendiri dengan mempergunakan model stile
tertentu yang sama-sama diketahui oleh anggotanya.
3. Tiap komunitas keilmuan memiliki stile yang berbeda untuk membahasakan ide , gagasan
dan temuan penelitian; mereka juga mengembangkan struktur dan cara penalaran dan
argumentasi yang tidak sama. Perbedaan stile juga disebabkan oleh adanya perbedaan kultur
dan bahasa di dunia. Bahasa ilmiah pada kultur penulisannya dengan bahasa inggris,
misalnya menunjukkan adanya kecenderungan sebagai berikut : (i) struktur dan tujuan
ditunjukkan lebih jelas, (ii) banyak merujuk acuan mutakhir, (iii)kurang menolerasi digresi,
(iv) berhati-hati dalam membuat pernyataan, dan (v) banyak memakai kata dan kalimat
penghubung untuk menunjukkan adanya hubungan antar bagian yang jelas.
4. Pengembangan penalaran dan argumentasi mencakup negosiasi antar personal dalam suatu
komunitas keilmuan. Namun, penulisan karya ilmiah tidak sekedar melahirkan text. Ia juga
menyiasati stile yang mampu meyakinkan,mengonstruk, dan menegosiasi hubungan sosial.
Dalam realisasinya ciri ragam ilmiah yaitu :
1. Cendikia: Bahasa yang cendekia mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama,
sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima secara tepat oleh pembaca.
2. Lugas: Paparan bahasa yang lugas akan menghindarkan dari kesalahpahaman dan
kesalahtafsiran isi kalimat. Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.
3. Jelas : Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam bahasa yang jelas dan
(2) hubungan antara gagasan yang satu dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas,
umumnya akan muncul pada kalimat yang panjang.
4. Formal : Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal. Tingkat
keformalan bahasa dalam tulisan ilmiah dapat dilihat pada lapis kosakata, bentukan kata, dan
kalimat. Contoh : wanita, daripada, bagaimana dll
5. Objektif : Sifat objektif tidak cukup dengan hanya menempatkan gagasan sebagai pangkal
tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan kata.
6. Konsisten : Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali digunakan sesuai dengan kaidah
maka untuk selanjutnya digunakan secara konsisten.
7. Bertolak dari gagasan : Bahasa ilmiah digunakan dengan orientasi gagasan. Pilihan kalimat
yang lebih cocok adalah kalimat pasif, sehingga kalimat aktif dengan penulis sebagai pelaku
perlu dihindari.
8. Serta ringkas dan padat : Ciri padat merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan
dengan unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan
unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
Penggunaan ragam bahasa ilmiah Penggunaan bahasa dalam bidang ilmu pengetahuan
mempunyai sifat pemakaian yang khas, yang spesifik, sehingga dapat dikatakan bahwa
bahasa dalam bidang ilmu pengetahuan mempunyai ragam bahasa tersendiri yang berbeda
dengan ragam-ragam bahasa yang lain. Sifat-sifat tersebut ada yang umum sebagai bahasa
ilmiah, dan ada yang khusus berhubungan dengan pemakaian kosakata, istilah, serta bentuk-
bentuk gramatika.
Sifat bahasa ragam ilmiah yang bersifat umum berhubungan dengan fungsi bahasa
sebagai alat untuk menyampaikan informasi ilmiah pada peristiwa komunikasi yang terjadi
antara penulis dan pembaca. Informasi yang disampaikan tentu dengan bahasa yang jelas,
benar, efektif, sesuai, bebas dari sifat samar-samar, dan tidak bersifat taksa (ambigu). Hal ini
penting sekali diperhatikan oleh penulis agar informasi ilmiah yang disampaikan dapat
dipahami secara jelas, objektif, dan logis, sehingga dapat tercapai kesamaan pemahaman,
persepsi, dan pandangan terhadap konsep-konsep keilmuan yang dimaksud oleh penulis dan
pembaca. Informasi dan konsep-konsep ilmiah yang disampaikan dalam bentuk karya tulis
ilmiah, misalnya, laporan penelitian (studi), makalah, skripsi, tesis, dan disertasi adalah
bersifat formal. Oleh karena itu, ragam bahasa yang digunakan dalam karya tulis ilmiah
adalah ragam bahasa baku (standar).
Ragam bahasa selanjutnya yang sering kali di bincangkan adalah ragam bahasa sastra.
Sastra menurut Lukens(2003:9) via Nurgiantoro(2013:3) menawarkan dua hal utama, yaitu
kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan
hiuran, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak
pembaca untuk ke dunia fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh
dengan daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tau dan merasa terikat
karenanya,” mempernainkan emosi pembaca sehingga larut dalam arus cerita.
Bahasa sastra sangat konotatif, karena bersifat emosi, berbicara sastra sering kali hal
yang muncul dalam benak adalah imajinatif, hal yang imajinatif biasanya termasuk sastra dan
berbeda dengan ilmiah yang bersifat pemikiran. Namun nyatanya, sastra bukan berarti tidak
ada pemikiran, karena untuk membuat sebuah karya yang memiliki emosional sangat
membutuhkan pemikiran yang imajinatif.
Adapun sifat bahasa sastra, dikemukakan oleh Slamet Muljana (1954: 4) melalui
Rachmad Djoko pradopo bahwa bahasa sastra itu bahasa berjiwa yang telah mengandung
perasaan dan lain dari arti kamus. Didalam kamus kata itu masih dalam bahan mentah yang
masih menunggu pengolahan, menunggu tugas dalam bahasa. Oleh Slamet muljana
pengetahuan kata yang berjiwa disebut dengan stilistika.
Pada umumnya gaya bahasa itu merupakan penyimpangan dari bahasa normatif dan
merupakan defamiliarisasi atau deotomatisasi. Mengenai konsep gaya ini, lebih lanjut
dikemukakan oleh Envist (via pradopo,1997:40) sebagai berikut.
1. Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya.
2. Pemilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin.
3. Sekumpulan ciri-ciri pribadi.
4. Penyimpangan dari norma atau kaidah.
5. Sekumpulan ciri-ciri kolektif.
6. Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam text yang lebih luas daripada kalimat.
RAGAM BAHASA
3.1 Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda
dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut bisa
berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi sosiolinguistik lain, termasuk
variasi bahasa baku itu sendiri. Variasi di tingkat leksikon, seperti slang dan argot, sering
dianggap terkait dengan gaya atau tingkat formalitas tertentu, meskipun penggunaannya
kadang juga dianggap sebagai suatu variasi atau ragam tersendiri.
Fungsi bahasa dalam masyarakat antara lain:
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat mengidentifikasi diri.
Setelah mengetahui fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia dalam berbagai sudut
pandang, kita pun perlu mengetahui ragam atau variasi Bahasa Indonesia. Keragaman
bahasa ini disebabkan karena adanya keragaman situasi, kondisi, waktu, dan hal-hal lain yang
memerlukan penyesuaian bahasa. Keanekaragaman penggunaan bahasa Indonesia itulah yang
dinamakan ragam bahasa. Ragam ini ada beberapa macam, yaitu
a. Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap dengan fonem sebagai
unsur dasar. Ragam ini berhubungan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Pengguna
bahasa lisan (pembicara) dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka
(mimik), gerak tangan atau isyarat untuk menyampaikan maksud pembicaraannya. Yang
termasuk ragam ini antara lain ragam percakapan ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam
panggung.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan adalah :
a. Memerlukan kehadiran orang lain sebagai lawan bicara
b. Unsur gramatikal tidak terlihat atau dinyatakan secara lengkap
c. Terikat ruang dan waktu
d. Dipebgaruhi oleh tinggi rendahnya suara (intonasi)
Kelebihan ragam bahasa lisan :
a. Penggunaannya dapat disesuaikan dengan situasi
b. Lebih efisien
c. Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekanan suara dan
gerak anggota badan untuk lebih memperjelas maksud pembicaraannya kepada
pendengar.
d. Pembicara dapat segera mengetahui reaksi pendengar terhadap apa yang
dibicarakannya.
Kelemahan ragam bahasa lisan :
a. Berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase sederhana.
b. Pembicara seringkali mengulang beberapa kalimat.
c. Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan dengan baik, terlebih orang yang telah
terbisa menggunakan bahasa daerah setempat dalam berbahasa lisan.
d. Aturan bahasa yang dilakukan tidak formal.
b. Ragam Bahasa Tulis
Merupakan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur
dasarnya. Ragam ini berhubungan dengan tata cara penulisan dan kosakata yang menuntut
adanya kelengkapan unsur kata seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, pilihan kata
yang tepat, penggunaan ejaan dan tanda baca yang benar.
Yang termasuk ragam tulis adalah ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, dan
ragam surat-menyurat
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
a. Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
b. Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap.
c. Tidak terikat ruang dan waktu.
d. Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Kelebihan ragam bahasa tulis :
a. Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau materi yang
menarik dan menyenangkan.
b. Biasanya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c. Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d. Dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, memberikan informasi yang dapat
menambah pengetahuan pembaca.
1. Sederhana
Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling
banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari
tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan
kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan
dalam bahasa jurnalistik.
2. Singkat
Singkat berarti langsung kepada pokok masalah, tidak bertele-tele, tidak berputar-putar,
tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang
tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas,
sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan
disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.
3. Padat
Menurut. Patmono S.K., redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik
(1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap kalimat dan
paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak
pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat.
Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat
mengandung lebih banyak informasi.
4. Lugas
Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan
kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan
persepsi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan
adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.
5. Jelas
Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam
adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan,
maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada.
Kedua warna itu sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam
dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas
susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan kaidah subjek-objek-predikat- keterangan
(SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.
6. Jernih
Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan
sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan
bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada
akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona
yang luar biasa apabila dimasukkan ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan kalimat
yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali
fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka
baik dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk. Menurut orang komunikasi, jernih
berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola
pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat
semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan
kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.
Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci
siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran,
keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat. Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada,
misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para
anggota dan pimpinan partai politik.
7. Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan
perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur,
terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Wartawan sering juga disebut seniman. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca
dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau
kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak
akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak
mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada
pendekatan dan kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu
ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus
tampak pada bahasa jurnalistik pers.
8. Demokratis
Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis.
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau
perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam
gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan aspek fungsional.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan
pengemis dan pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan,
maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan
pengemis keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan
diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar, karikatur, atau teks foto. Secara
ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama di depan
hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda.
Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang
membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia
dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat persatuan dan kesatuan
bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat
demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.
9. Populis
Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya
jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran khalayak pembaca,
pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi
oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para
pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa
yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja,
terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.
10. Logis
Logis berarti apa pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph
jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Bahasa jurnalistik
harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai
contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: “jumlah korban tewas dalam musibah
longsor dan banjir bandang itu 225 orang, namun sampai berita ini diturunkan belum juga
melapor.” Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah
tewas, bisa melapor?
11. Gramatikal
Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam
bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi
sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut
pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling
besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok
masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: “Ia
bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total
APBN dalam tiga tahun ke depan.” Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: “Ia
mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari
total APBN dalam lima tahun ke depan.”
Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal.
Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus
kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh
pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya
menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata
bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu, mangkanya, sopir, jontor,
kelar, semangkin.
Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan
makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak diselipi
kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan. Menurut teori
komunikasi, khalayak media massa terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-
ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori
jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau
kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali
menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.
Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak
hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata
yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin
disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar
hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada
pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata atau diksi
yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal.
Kalimat akif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada
kalimat pasif. Sebagai contoh, “Presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presiden. Contoh
lain, “pencuri mengambil perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya
perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri.” Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan
katanya, dan kuat maknanya. Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas
pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.
Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah
dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala
berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-
istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau
komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat
bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga
mengandung unsur pemerkosaan. Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia
kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami
maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan,
atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-
istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum.
Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan
dalam tanda kerung.
Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis,
mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap
wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan
peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam
mengelola penerbitan pers yang berkualitas.
Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan
saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya,
melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja
mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu. Dalam menjalankan
fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika
bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak
boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian
yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-
kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta
fantasi seksual khalayak pembaca.