Anda di halaman 1dari 32

Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu dari bangsa Indonesia

yang sudah dipakai oleh masyarakat Indonesia sejak dahulu jauh


sebelum Belanda menjajah Indonesia, namun tidak semua orang
menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar, salah
satunya pada penggunaan bahasa Indonesia itu sendiri yang tidak
sesuai dengan Ejaan maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh
karena itu pengetahuan tentang ragam bahasa cukup penting untuk
mempelajari bahasa Indonesia secara menyeluruh yang akhirnya
bisa diterapkan dan dapat digunakan dengan baik dan benar
sehingga identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan hilang.

PROMOTED CONTENT
Bisnis digital profit mudah dan praktis - go hoki 2020

1 Trik baru yang membunuh diabetes. Semua dokter menyembunyikanny


Siapa yang menderita diabetes baca segera, sebelum Anda menghapus

Bahasa Indonesia perlu dipelajari oleh semua lapisan masyrakat.


Tidak hanya pelajar dan mahasiswa saja, tetapi semua warga
Indonesia wajib mempelajari bahasa Indonesia. Dalam bahasan
bahasa Indonesia itu ada yang disebut ragam bahasa. Dimana
ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya
berbeda-beda. Ada ragam bahasa lisan dan ada ragam bahasa
tulisan. Disini yang lebih lebih ditekankan adalah ragam bahasa
lisan , karena lebih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalkan ngobrol, puisi, pidato,ceramah,dll.
Pidato sering digunakan dalam acara-acara resmi. Misalnya pidato
pesiden, pidato dari ketua OSIS, ataupun pidato dari pembina
upacara. Sistematika dalam pidato pun hendaklah dipahami betul-
betul. Agar pidato yang disampaikan sesuai dengan kaidah yang
benar. Pidato sama halnya denan ceramah. Hanya saja ceramah
lebih membahas tentang keagamaan.kalau pidato lebih umum dan
bisa digunakan dalam banyak acara.

Pengertian Ragam bahasa


Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan
pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut
medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh
penuturnya dianggap sebagai ragam yang baik (mempunyai prestise
tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya
ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana
resmi, atau di dalam surat menyurat resmi (seperti surat dinas)
disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.

Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan


pemakaian bahasa Indonesia, timbul dua masalah pokok, yaitu
masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi
remi, seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi
digunakan bahasa baku. Sebaliknya dalam situasi tak resmi, seperti
di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan
bahasa baku.

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk


menghasilkan bahasa, ragam bahasa terdiri dari:

1. Ragam bahasa lisan


2. Ragam bahasa tulis

Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan


fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan,
sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa
tulis. Jadi dalam ragam bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal,
dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara
penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam
kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat.
Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan
ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa
ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis
ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki
seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula
kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan
kosa kata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang
berbeda satu dari yang lain.

Fungsi ragam bahasa


Fungsi bahasa Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bahasa
nasional:

1. Mampu menyatukan ribuan bahasa yang beragam di


Indonesia
2. Speaker Indonesia mampu
3. Simbol kebanggaan nasional
4. Simbol identitas nasional
5. Berarti menyatukan berbagai kelompok etnis
6. Pemersatu alat perhubungan antara budaya dan antar-
regional
GLUCOACTIVE

Siapa yang menderita diabetes baca segera, sebelum Anda


menghapus

PELAJARI LEBIH→

Fungsi sebagai bahasa negara:

1. bahasa resmi negara


2. bahasa pengantar dalam pendidikan
3. berarti komunikasi di tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan pembangunan nasional dan pelaksanaan
4. budaya dan pengembangan alat-alat ilmu pengetahuan dan
teknologi

Macam-Macam Ragam Bahasa


Berikut ini terdapat beberapa macam-macam ragam bahasa, antara
lain:
1. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan media
antara lain:

 Ragam Lisan

Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian


sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan kalimat. Namun, hal
itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian,
ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan
unsur-unsur  di dalam kelengkapan unsur-unsur di dalam struktur
kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena
situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam
memahami makna gagasan yang disampaikan secara lisan.

Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah


kebakuannya dengan pembicaraan lisan dalam situasi tidak formal
atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu
tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai
ragam lisan, hanya saja diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh
karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak menunjukkan
ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis,
ragam bahasa serupa itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam
tulis.  Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan ragam lisan
memiliki ciri kebakuan yang berbeda.

Ciri-ciri ragam lisan:

1. Memerlukan orang kedua/teman bicara;


2. Tergantung situasi, kondisi, ruang & waktu;
3. Tidak harus memperhatikan unsur gramatikal, hanya perlu
intonasi serta bahasa tubuh.
4. Berlangsung cepat;
5. Sering dapat berlangsung tanpa alat bantu;
6. Kesalahan dapat langsung dikoreksi;
7. Dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik wajah serta
intonasi.

Contoh ragam lisan adalah ‘Sudah saya baca buku itu.’

 Ragam Tulis

Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang


diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian, sedangkan
ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya
ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar
terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh karena itu, dalam
penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan
ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan,
struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan
unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.

Ciri-ciri ragam tulis :

1. Tidak memerlukan orang kedua/teman bicara;


2. Tidak tergantung kondisi, situasi & ruang serta waktu;
3. Harus memperhatikan unsur gramatikal;
4. Berlangsung lambat;
5. Selalu memakai alat bantu;
6. Kesalahan tidak dapat langsung dikoreksi;
7. Tidak dapat dibantu dengan gerak tubuh dan mimik muka,
hanya terbantu dengan tanda baca.

Contoh ragam tulis adalah ’Saya sudah membaca buku itu.’

Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis


(berdasarkan tata bahasa dan kosa kata):
a) Tata Bahasa
(Bentuk kata, Tata Bahasa, Struktur Kalimat, Kosa Kata)
1. Ragam bahasa lisan:

 Nia sedang baca surat kabar


 Ari mau nulis surat
 Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu.
 Mereka tinggal di Menteng.
 Jalan layang itu untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.
 Saya akan tanyakan soal itu

2. Ragam bahasa tulis:

 Nia sedangmembaca surat kabar


 Ari mau menulis surat
 Namun, engkau tidak boleh menolak lamaran itu.
 Mereka bertempat tinggal di Menteng
 Jalan layang itu dibangun untuk mengatasi kemacetan lalu
lintas.
 Akan saya tanyakan soal itu.

b) Kosa kata
Contoh ragam lisan dan tulis berdasarkan kosa kata:

1. Ragam Lisan

 Ariani bilang kalau kita harus belajar


 Kita harus bikin karya tulis
 Rasanya masih terlalu pagi buat saya, Pak

2. Ragam Tulis

 Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar


 Kita harus membuat karya tulis.
 Rasanya masih terlalu muda bagi saya, Pak.
Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam
bahasa standar, semi standar dan nonstandar. Bahasa ragam
standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap.
Akan tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar
tetap luwes sehingga memungkinkan perubahan di bidang
kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai
jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998:
14).

Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar


dilakukan berdasarkan:

1. Topik yang sedang dibahas,


2. Hubungan antarpembicara,
3. Medium yang digunakan,
4. Lingkungan, atau
5. Situasi saat pembicaraan terjadi

Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan


nonstandard adalah sebagai berikut:

 Penggunaan kata sapaan dan kata ganti,


 Penggunaan kata tertentu,
 Penggunaan imbuhan,
 Penggunaan kata sambung (konjungsi), dan
 Penggunaan fungsi yang lengkap.

Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda


ragam standar dan ragam nonstandar yang sangat menonjol.
Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa
dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita
menyebut diri kita, dalam ragam standar kita akan menggunakan
kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan
menggunakan kata gue.

Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat


menandai perbedaan ragam standar dan ragam nonstandar. Dalam
ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku
atau istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah
ciri lain. Dalam ragam standar kita harus menggunakan imbuhan
secara jelas dan teliti.

Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi)


merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonstandar, sering kali
kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala, kenyataan
ini mengganggu kejelasan kalimat.

Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan


ragam standar dan nonstandar. Artinya, ada bagian dalam kalimat
yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup mendukung
pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat
kalimat dihilangkan. Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita
menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke mana?”
“Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.”untuk
menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya, pëmbedaan lain, yang juga
muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi.
Masalahnya, pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam
lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.

2. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan cara


pandang penutur
Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri
dari ragam dialek, ragam terpelajar, ragam resmi dan ragam tak
resmi.
Contoh ragam dialek adalah ‘Gue udah baca itu buku.’
Contoh ragam terpelajar adalah ‘Saya sudah membaca buku itu.’
Contoh ragam resmi adalah ‘Saya sudah membaca buku itu.’
Contoh ragam tak resmi adalah ‘Saya sudah baca buku itu.’

3. Ragam Bahasa Indonesia berdasarkan topik


pembicaraan
Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari ragam
bahasa ilmiah, ragam hukum, ragam bisnis, ragam agama, ragam
sosial, ragam kedokteran dan ragam sastra.

Ciri-ciri ragam ilmiah:

1. Bahasa Indonesia ragam baku;


2. Penggunaan kalimat efektif;
3. Menghindari bentuk bahasa yang bermakna ganda;
4. Penggunaan kata dan istilah yang bermakna lugas dan
menghindari pemakaian kata dan istilah yang bermakna kias;
5. Menghindari penonjolan persona dengan tujuan menjaga
objektivitas isi tulisan;
6. Adanya keselarasan dan keruntutan antarproposisi dan
antaralinea.

Contoh ragam bahasa berdasarkan topik pembicaraan:

1. Dia dihukum karena melakukan tindak pidana. (ragam


hukum)
2. Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan diberikan diskon.
(ragam bisnis)
3. Cerita itu menggunakan unsur flashback. (ragam sastra)
4. Anak itu menderita penyakit kuorsior. (ragam kedokteran)
5. Penderita autis perlu mendapatkan bimbingan yang intensif.
(ragam psikologi)

Ragam Bahasa Indonesia Baku dan Tidak


Baku
Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh
sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi
dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam
penggunaannya.

Kata baku sebenanya merupakan kata yang digunakan sesuai


dengan kaidah bahasa Indonesia yang telah ditentukan. Konteks
penggunaannya adalah dalam kalimat resmi, baik lisan
maupun tertulis dengan pengungkapan gagasan secara tepat.

Ciri-ciri bahasa baku :

1. Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat


menyurat dinas, pengumuman-pengumuman yang
dikeluarkan oleh instansi resmi,  perundang-undangan,
penamaan dan peristilahan resmi, dan sebagainya.
2. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi, karya ilmiah,
buku pelajaran, dan sebagainya.
3. Pembicaraan di depan umum, seperti dalam ceramah, kuliah,
pidato dan sebagainya.
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.
Sedangkan kata tidak baku merupakan kebalikan dari kata baku.
Suatu kata bisa diklasifikasikan tidak baku bila kata yang digunakan
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang ditentukan.
Biasanya hal ini muncul dalam bahasa percakapan sehari-hari,
bahasa tutur. Tidak ada cirri-ciri penggunaan kata ini karena
digunakan sebagai bahasa sehari-hari (seenaknya).

Contoh bahasa baku dan bahasa tidak


baku
Bahasa baku Bahasa tidak baku

–       Cantik sekali –       Cantik banget


–       Lempeng saja
–       Lurus saja
–       Masih sembratu
–       Masih kacau
–       Duit
–       Uang
–       Enggak gampang
–       Tidak mudah
–       Diikat sama kawat
–       Diikat dengan kawat
–       Gimana kabarnya
–       Bagaimana kabarnya

Ragam Bahasa Indonesia Yang Baik Dan


Yang Benar
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah Bahasa Indonesia
yang digunakan sesuai dengan situasi pembicaraan (yakni, sesuai
dengan lawan bicara, tempat pembicaraan, dan ragam
pembicaraan) dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam
Bahasa Indonesia (seperti: sesuai dengan kaidah ejaan, istilah, dan
tata bahasa). Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988, pemakaian bahasa
yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku
itulah yang merupakan bahasa yang benar atau betul.

“Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud


hatinya mencapai sasarannya, apapun jenisnya itu, dianggap
berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan
serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa
itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat. Bahasa yang
harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku”
(Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1988, halaman 19).

Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai
sasarannya, begitu juga sebaliknya, jika kita berbahasa baik belum
tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada
bahasa baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik
ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh naik meja, nanti jatuh!”
Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik
tidak boleh naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”

Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia
dengan baik dan benar, yang berarti “pemakaian ragam bahasa
yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti
kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik
dan benar sebaliknya mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus
memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1988, halaman 20).
Perbedaan Ragam Bahasa Ilmiah dan Ragam Bahasa Sastra.
Ada bermacam-macam ragam bahasa, salah satunya adalah bahasa sastra dan bahasa
ilmiah. Bahasa adalah salah satu alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat
berkomunikasi atau berinteraksi dengan manusia yang lain, bahasa indonesia memiliki
banyak ragam bahasa, namun yang sering kali dibahas adalah bahasa sastra dan bahasa
ilmiah. Bahasa sastra dan bahasa ilmiah sering kali kita bandingkan, karena pada bahasa
sastra dan bahasa ilmiah memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki kegunaan yang
berbeda.
Bahasa indonesia adalah ragam bahasa indonesia yang digunakan untuk kegiatan
ilmiah oleh kelompok masyarakat terpelajar. Kegiatan ilmiah biasanya bersifat resmi.
Sebagai kegiatan yang bersifat resmi ragam bahasa indonesia yang digunakan dalam kegiatan
ini adalah ragam bahasa indonesia baku. Jadi bahasa indonesia ilmiah adalah ragam bahasa
Indonesia yang digunakan oleh kelompok terpelajar.
Dalam penelitiannya tentang bahasa ilmiah, Hyland (2011:177-183) via
Nurgiantoro, 2014: 131 mengemukakan sejumlah karakteristik bahasa ilmiah sebagai
berikut.
1.      Bahasa ilmiah disusun secara sistematis dan meyakinkan agar pembaca mau menerimanya.
Intinya, bahasa ilmiah disiasati dan dikembangkan sedemikian rupa lewat penalaran dan
argumentasi untuk mencapai efek meyakinkan (persuasive effect)
2.      Bahasa ilmiah mengembangkan argumentasi lewat pemilihan bentuk stile yang khusus, yang
khas, yang membedakannya dengan ragam bahasa yang lain. Berbagai bidang keilmuan
tertentu lazimnya membentuk komunitasnya sendiri dengan mempergunakan model stile
tertentu yang sama-sama diketahui oleh anggotanya.
3.      Tiap komunitas keilmuan memiliki stile yang berbeda untuk membahasakan ide , gagasan
dan temuan penelitian; mereka juga mengembangkan struktur dan cara penalaran dan
argumentasi yang tidak sama. Perbedaan stile juga disebabkan oleh adanya perbedaan kultur
dan bahasa di dunia. Bahasa ilmiah pada kultur penulisannya dengan bahasa inggris,
misalnya menunjukkan adanya kecenderungan sebagai berikut : (i) struktur dan tujuan
ditunjukkan lebih jelas, (ii) banyak merujuk acuan mutakhir, (iii)kurang menolerasi digresi,
(iv) berhati-hati dalam membuat pernyataan, dan (v) banyak memakai kata dan kalimat
penghubung untuk menunjukkan adanya hubungan antar bagian yang jelas.
4.      Pengembangan penalaran dan argumentasi mencakup negosiasi antar personal dalam suatu
komunitas keilmuan. Namun, penulisan karya ilmiah tidak sekedar melahirkan text. Ia juga
menyiasati stile yang mampu meyakinkan,mengonstruk, dan menegosiasi hubungan sosial.
Dalam realisasinya ciri ragam ilmiah  yaitu :
1.       Cendikia: Bahasa yang cendekia mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama,
sehingga gagasan yang disampaikan penulis dapat diterima secara tepat oleh pembaca.
2.      Lugas: Paparan bahasa yang lugas akan menghindarkan dari kesalahpahaman dan
kesalahtafsiran isi kalimat. Penulisan yang bernada sastra perlu dihindari.
3.      Jelas : Gagasan akan mudah dipahami apabila (1) dituangkan dalam bahasa yang jelas dan
(2) hubungan antara gagasan yang satu dengan yang lain juga jelas. Kalimat yang tidak jelas,
umumnya akan muncul pada kalimat yang panjang.
4.      Formal : Bahasa yang digunakan dalam komunikasi ilmiah bersifat formal. Tingkat
keformalan bahasa dalam tulisan ilmiah dapat dilihat pada lapis kosakata, bentukan kata, dan
kalimat. Contoh : wanita, daripada, bagaimana dll
5.      Objektif : Sifat objektif tidak cukup dengan hanya menempatkan gagasan sebagai pangkal
tolak, tetapi juga diwujudkan dalam penggunaan kata.
6.      Konsisten : Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah, sekali digunakan sesuai dengan kaidah
maka untuk selanjutnya digunakan secara konsisten.
7.      Bertolak dari gagasan : Bahasa ilmiah digunakan dengan orientasi gagasan. Pilihan kalimat
yang lebih cocok adalah kalimat pasif, sehingga kalimat aktif dengan penulis sebagai pelaku
perlu dihindari.
8.      Serta ringkas dan padat : Ciri padat merujuk pada kandungan gagasan yang diungkapkan
dengan unsur-unsur bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai dengan
unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri kepadatan sudah terpenuhi.
Penggunaan ragam bahasa ilmiah Penggunaan bahasa dalam bidang ilmu pengetahuan
mempunyai sifat pemakaian yang khas, yang spesifik, sehingga dapat dikatakan bahwa
bahasa dalam bidang ilmu pengetahuan mempunyai ragam bahasa tersendiri yang berbeda
dengan ragam-ragam bahasa yang lain. Sifat-sifat tersebut ada yang umum sebagai bahasa
ilmiah, dan ada yang khusus berhubungan dengan pemakaian kosakata, istilah, serta bentuk-
bentuk gramatika.
Sifat bahasa ragam ilmiah yang bersifat umum berhubungan dengan fungsi bahasa
sebagai alat untuk menyampaikan informasi ilmiah pada peristiwa komunikasi yang terjadi
antara penulis dan pembaca. Informasi yang disampaikan tentu dengan bahasa yang jelas,
benar, efektif, sesuai, bebas dari sifat samar-samar, dan tidak bersifat taksa (ambigu). Hal ini
penting sekali diperhatikan oleh penulis agar informasi ilmiah yang disampaikan dapat
dipahami secara jelas, objektif, dan logis, sehingga dapat tercapai kesamaan pemahaman,
persepsi, dan pandangan terhadap konsep-konsep keilmuan yang dimaksud oleh penulis dan
pembaca. Informasi dan konsep-konsep ilmiah yang disampaikan dalam bentuk karya tulis
ilmiah, misalnya, laporan penelitian (studi), makalah, skripsi, tesis, dan disertasi adalah
bersifat formal. Oleh karena itu, ragam bahasa yang digunakan dalam karya tulis ilmiah
adalah ragam bahasa baku (standar).
Ragam bahasa selanjutnya yang sering kali di bincangkan adalah ragam bahasa sastra.
Sastra menurut Lukens(2003:9) via Nurgiantoro(2013:3) menawarkan dua hal utama, yaitu
kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan
hiuran, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, mengajak
pembaca untuk ke dunia fantasi, membawa pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh
dengan daya suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tau dan merasa terikat
karenanya,” mempernainkan emosi pembaca sehingga larut dalam arus cerita.
 Bahasa sastra sangat konotatif, karena bersifat emosi, berbicara sastra sering kali hal
yang muncul dalam benak adalah imajinatif, hal yang imajinatif biasanya termasuk sastra dan
berbeda dengan ilmiah yang bersifat pemikiran. Namun nyatanya, sastra bukan berarti tidak
ada pemikiran, karena untuk membuat sebuah karya yang memiliki emosional sangat
membutuhkan pemikiran yang imajinatif.
Adapun sifat bahasa sastra, dikemukakan oleh Slamet Muljana (1954: 4) melalui
Rachmad Djoko pradopo bahwa bahasa sastra itu bahasa berjiwa yang telah mengandung
perasaan dan lain dari arti kamus. Didalam kamus kata itu masih dalam bahan mentah yang
masih menunggu pengolahan, menunggu tugas dalam bahasa. Oleh Slamet muljana
pengetahuan kata yang berjiwa disebut dengan stilistika.
Pada umumnya gaya bahasa itu merupakan penyimpangan dari bahasa normatif dan
merupakan defamiliarisasi atau deotomatisasi. Mengenai konsep gaya ini, lebih lanjut
dikemukakan oleh Envist (via pradopo,1997:40) sebagai berikut.
1.      Bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya.
2.      Pemilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin.
3.      Sekumpulan ciri-ciri pribadi.
4.      Penyimpangan dari norma atau kaidah.
5.      Sekumpulan ciri-ciri kolektif.
6.      Hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam text yang lebih luas daripada kalimat.

RAGAM BAHASA
3.1  Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah varian dari sebuah bahasa menurut pemakaian. Berbeda
dengan dialek yaitu varian dari sebuah bahasa menurut pemakai. Variasi tersebut bisa
berbentuk dialek, aksen, laras, gaya, atau berbagai variasi sosiolinguistik lain, termasuk
variasi bahasa baku itu sendiri. Variasi di tingkat leksikon, seperti slang dan argot, sering
dianggap terkait dengan gaya atau tingkat formalitas tertentu, meskipun penggunaannya
kadang juga dianggap sebagai suatu variasi atau ragam tersendiri.
Fungsi bahasa dalam masyarakat antara lain:
1.      Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2.      Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3.      Alat mengidentifikasi diri.
Setelah mengetahui fungsi dan kedudukan Bahasa Indonesia dalam berbagai sudut
pandang, kita pun perlu mengetahui ragam  atau  variasi Bahasa Indonesia. Keragaman
bahasa ini disebabkan karena adanya keragaman situasi, kondisi, waktu, dan hal-hal lain yang
memerlukan penyesuaian bahasa. Keanekaragaman penggunaan bahasa Indonesia itulah yang
dinamakan ragam bahasa. Ragam ini ada beberapa macam, yaitu
a.         Ragam Bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap dengan fonem sebagai
unsur dasar. Ragam ini berhubungan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Pengguna
bahasa lisan (pembicara) dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka
(mimik), gerak tangan atau isyarat untuk menyampaikan maksud pembicaraannya. Yang
termasuk ragam ini antara lain ragam percakapan ragam pidato, ragam kuliah, dan ragam
panggung.
Ciri-ciri ragam bahasa lisan adalah :
a. Memerlukan kehadiran orang lain sebagai lawan bicara
b. Unsur gramatikal tidak terlihat atau dinyatakan secara lengkap
c. Terikat ruang dan waktu
d. Dipebgaruhi oleh tinggi rendahnya suara (intonasi)
Kelebihan ragam bahasa lisan :
a. Penggunaannya dapat disesuaikan dengan situasi
b. Lebih efisien
c. Faktor kejelasan karena pembicara menambahkan unsur lain berupa tekanan suara dan   
    gerak anggota badan untuk lebih memperjelas maksud pembicaraannya kepada   
    pendengar.
d. Pembicara dapat segera mengetahui reaksi pendengar terhadap apa yang
    dibicarakannya.
Kelemahan ragam bahasa lisan :
a. Berisi beberapa kalimat yang tidak lengkap, bahkan terdapat frase-frase sederhana.
b. Pembicara seringkali mengulang beberapa kalimat.
c. Tidak semua orang bisa melakukan bahasa lisan dengan baik, terlebih orang yang telah
    terbisa menggunakan bahasa daerah setempat dalam berbahasa lisan.
d. Aturan bahasa yang dilakukan tidak formal.
b.        Ragam Bahasa Tulis
Merupakan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur
dasarnya. Ragam ini berhubungan dengan tata cara penulisan dan kosakata yang menuntut
adanya kelengkapan unsur kata seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, pilihan kata
yang tepat, penggunaan ejaan dan tanda baca yang benar.
Yang termasuk ragam tulis adalah ragam teknis, ragam undang-undang, ragam catatan, dan
ragam surat-menyurat
Ciri-ciri ragam bahasa tulis :
a. Tidak memerlukan kehadiran orang lain.
b. Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap.
c. Tidak terikat ruang dan waktu.
d. Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Kelebihan ragam bahasa tulis :
a. Informasi yang disajikan bisa dipilih untuk dikemas sebagai media atau materi yang
    menarik dan menyenangkan.
b. Biasanya memiliki kedekatan budaya dengan kehidupan masyarakat.
c. Sebagai sarana memperkaya kosakata.
d. Dapat digunakan untuk menyampaikan maksud, memberikan informasi yang dapat
    menambah pengetahuan pembaca.

Kelemahan ragam bahasa tulis :


a. Tidak ada alat atau sarana untuk memperjelas pengertian bahasa lisan, sehingga tulisan   
    harus disusun dengan sebaik-baiknya.
b. Tidak mampu menyajikan berita secara lugas, jernih dan jujur, jika harus mengikuti
     kaidah-kaidah bahasa yang dianggap cenderung miskin daya pikat dan nilai jual.
Ragam bahasa lain adalah ragam bahasa fungsional yaitu ragam bahasa yang
dihubungkan dengan profesi , lembaga, lingkungan kerja atau kegiatan tertentu lainnya serta
dikaitkan juga dengan keresmian keadaan pengunaannya. Ada beberapa ragam bahasa
fungsional, antara lain:
1.      Ragam Bahasa Ilmiah
2.      Ragam Bahasa Bisnis
3.      Ragam Bahasa Sastra
4.      Ragam Bahasa Filosof
5.      Ragam Bahasa Jurnalistik
3.2  Ragam Bahasa Ilmiah
Ragam ilmiah ialah ragam bahasa keilmuan, yaitu corak dan ciri bahasa yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah. Ragam bahasa ilmiah harus dapat  menjadi
wahana  pemikiran ilmiah yang tertuang dalam teks karya ilmiah. Pengertian ragam bahasa
ilmiah dan karakteristik ragam ilmiah dalam bahasa Indonesia diuraikan berikut ini.
1.        Pengertian Ragam Ilmiah
Ilmiah itu merupakan kualitas dari tulisan yang membahas persoalan-persoalan
dalam bahasa Indonesia bidang ilmu tertentu. Kualitas keilmuan itu didukung juga oleh
pemakaian bahasa dalam ragam ilmiah. Jadi, ragam bahasa ilmiah itu mempunyai
sumbangan yang tidak kecil terhadap kualitas tulisan ilmiah. Ragam ilmiah merupakan
pemakaian bahasa yang mewadahi dan mencerminkan sifat keilmuan dari karya ilmiah.
Sebagai wadah, ragam ilmiah harus menjadi ungkapan yang tepat bagi kerumitan
(sofistifikasi) pemikiran dalam karya ilmiah. Dari pemakaian ragam itu juga bukan saja
tercermin sikap ilmiah, melainkan juga kehati-hatian, kecendekiaan, kecermatan,  ke
bijaksanaan (wisdom), dan kecerdasan  dari penulisnya.
Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu ragam bahasa Indonesia
yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah. Sebagai bahasa yang digunakan untuk
memaparkan fakta, konsep, prinsip, teori atau gabungan dari keempatnya, bahasa
Indonesia diharapkan dapat menjadi media yang efektif untuk komunikasi ilmiah, baik
secara tertulis maupun lisan.
2.        Karakteristik Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
Karakteristik ragam bahasa ilmiah ialah: (1) mencerminkan sikap ilmiah, (2)
transparan, (3) lugas, (4) menggunakan paparan (eksposisi) sebagai bentuk karangan yang
utama, (5) membatasi pemakaian majas (figures of speech), (6) penulis menyebut diri
sendiri sebagai orang ketiga (penulis, peneliti), (7) sering menggunakan definisi, klasifikasi,
dan analisis, (8) bahasanya ringkas tetapi padat,  (9) menggunakan tata cara penulisan, dan
format karya ilmiah secara konsisten (misalnya dalam merujuk sumber dan menyusun daftar
pustaka), (10) dan menggunakan bahasa Indonesia baku.
Sikap ilmiah yang harus tercermin dalam ragam ilmiah ialah sikap objektif, jujur,
hati-hati, dan saksam. Ragam ilmiah bersifat cendekia (intelektual), artinya bahasa
Indonesia ragam ilmiah itu dapat digunakan secara tepat untuk mengungkapkan hasil
berpikir logis, yaitu mampu membentuk pernyataan yang tepat dan saksama.
Ragam ilmiah  bersifat transparan dalam arti kata-kata itu membawa pembaca
langsung ke maknanya; kata-kata yang digunakan hendaknya tidak bermakna ganda
(ambigu). Kata-kata yang dipilih hendaknya kata-kata yang denotatif bukan konotatif.
Bahasa ragam ilmiah bersifat lugas, dalam arti menggambarkan keadaan atau fakta
sebagaimana  adanya. Ragam ilmiah tidak berbunga-bunga penuh ornamen seperti ragam
bahasa sastra. Ragam ilmiah tidak berputar-putar dalam menuju ke satu tujuan, bahasa
ragam ilmiah langsung menuju ke sasaran, langsung ke pokok masalah.
Bentuk karangan  utama yang digunakan dalam tulisan ilmiah ialah paparan atau
eksposisi, dan dapat diselingi deskripsi,  argumentasi, narasi. Dalam tulisan ilmiah ada
sesuatu yang perlu dideskripsikan, kadang diceritakan, atau beberapa definisi
diperbandingkan dan dibahas secara lebih tepat. Seperti yang sudah disebutkan, dalam
paparan banyak digunakan definisi, klasifikasi atau analisis.
Berbeda dengan tulisan ragam sastra, dalam ragam ilmiah pemakaian majas
dibatasi. Majas itu sebenarnya juga menjelaskan, tetapi lebih mengacu pada imajinasi
daripada realitas. Dalam ragam sastra, majas dapat menumbuhkan “keremang-remangan”
suatu hal yang kadang memang diupayakan dalam karya sastra yang berbentuk puisi.
Mengapa majas hanya dibatasi dan tidak disingkirkan? Karena dalam ragam bahasa ilmiah
terdapat kata atau istilah yang sebenarnya semula berupa majas, misalnya mewatasi,
melahirkan, membuahkan.
Dalam ragam ilmiah, penyebutan penulis bukan aku atau saya melainkan penulis
atau dalam hal laporan hasil penelitian, peneliti, atau kalimat-kalimatnya menggunakan
bentuk pasif, sehingga penyebutan penulis dapat dilesapkan.
Ragam bahasa ilmiah bersifat ringkas berpusat pada pokok permasalahan.
Kalimat-kalimatnya harus hemat, tidak terdapat kata-kata yang mubazir. Namun kalimat-
kalimatnya  harus lengkap, bukan penggalan kalimat.
Ragam bahasa ilmiah harus mengikuti tata tulis karya ilmiah yang standar.
Misalnya penggunaan salah satu sistem penulisan rujukan atau catatan kaki  diterapkan
secara konsisten, demikian pula dalam menyusun daftar pustaka.
Pemakaian bahasa dalam tulisan ilmiah termasuk pemakaian bahasa dalam situasi
resmi. Pemilihan kata (diksi) harus memenuhi beberapa prinsip, yaitu ketepatan, kebakuan,
keindonesiaan, dan kelaziman. Dalam prinsip ketepatan, kata yang dipilih secara tepat
sesuai dengan yang dimaksudkan. Prinsip kebakuan menekankan pemakaian kata baku.
Prinsip keindonesiaan menyarankan penggunaan kata-kata bahasa Indonesia. Prinsip
kelaziman, menyarankan penggunaan kata-kata yang sudah umum.
3.3  Ragam Bahasa Bisnis
Ragam bahas bisnis adalah ragam bahasa yang digunakan dalam berbisnis, yang
biasa digunakan oleh para pebisnis dalam menjalankan bisnisnya. Ciri-ciri ragam bahasa
bisnis antara lain:
1.      Menggunakan bahasa yang komunikatif.
2.      Bahasanya cenderung resmi.
3.      Terikat ruang dan waktu.
4.      Membutuhkan adanya orang lain.
3.4  Ragam Bahasa Sastra
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis
yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan, seperti
keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan
yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra
memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual,
dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks
sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka, melainkan suatu kecakapan dalam
menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai sastra. Jelasnya faktor yang menentukan
adalah kenyataan bahwa sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan
maksud tersebut, sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas
daripada yang bersifat estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial,
moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan kepada pembacanya.
Seringkali dengan membaca sastra muncul ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam
ketegangan itulah diperoleh kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca
sastra kita terlibat secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah
kemungkinan besar muncul kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga
bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang dalam
tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta
manusia dengan menggunakan media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif,
disampaikan secara khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
Ragam bahasa sastra adalah ragam bahasa yang banyak menggunakan kalimat tidak
efektif. Penggambaran yang sejelas-jelasnya melalui rangkaian kata bermakna konotasi
sering dipakai dalam ragam bahasa sastra. Ciri-ciri ragam bahasa sastra antara lain:
1.      Menggunakan kalimat yang tidak efektif.
2.      Menggunakan kata-kata yang tidak baku.
3.      Adanya rangkaian kata yang bermakna konotasi.
3.5  Ragam Bahasa Filosof
Filsafat bahasa adalah ilmu gabungan antara linguistik dan filsafat. Ilmu ini
menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar
konseptual dan teoretis linguistik. Filsafat bahasa dibagi menjadi filsafat bahasa
ideal dan filsafat bahasa sehari-hari.
Filsafat bahasa ialah teori tentang bahasa yang berhasil dikemukakan oleh para
filsuf, sementara mereka itu dalam perjalanan memahami pengetahuan konseptual. Filsafat
bahasa ialah usaha para filsuf memahami conceptual knowledge melalui pemahaman
terhadap bahasa.
Dalam rangka mencari pemahaman ini, para filsuf telah juga mencoba mendalami
hal-hal lain, misalnya fisika, matematika, seni, sejarah, dan lain-lain. Cara bagaimana
pengetahuan itu diekspresikan dan dikomunikasikan di dalam bahasa, di dalam fisika,
matematika dan lain-lain itu diyakini oleh para filsuf berhubungan erat dengan hakikat
pengetahuan atau dengan pengetahuan konseptual itu sendiri. Jadi, dengan meneliti
berbagai cabang ilmu itu, termasuk bahasa, para filsuf berharap dapat membuat filsafat
tentang pengetahuan manusia pada umumnya.
Letak perbedaan antara filsafat bahasa dengan linguistik adalah linguistik bertujuan
mendapatkan kejelasan tentang bahasa. Linguistik mencari hakikat bahasa. Jadi, para
sarjana bahasa menganggap bahwa kejelasan tentang hakikat bahasa itulah tujuan akhir
kegiatannya, sedangkan filsafat bahasa mencari hakikat ilmu pengetahuan atau hakikat
pengetahuan konseptual. Dalam usahanya mencari hakikat pengetahuan konseptual itu,
para filsuf mempelajari bahasa bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai objek
sementara agar pada akhirnya dapat diperoleh kejelasan tentang hakikat pengetahuan
konseptual itu.
Para filsuf juga tertarik untuk memperbaiki bahasa. Bahasa seharusnya diperbaiki
karena kegiatan keilmuan para filsuf boleh dikatakan tergantung kepada pemakaian bahasa.
Di lain pihak, telah banyak keluhan dari sarjana di berbagai bidang bahwa bahasa yang
mereka pakai mengandung banyak kelemahan.
Keluhan para filsuf terhadap kelemahan bahasa terwujud dalam beberapa bentuk.
Sebagai misal, Plotinus dan Bergson menganggap bahwa bahasa itu tidak cocok untuk
dipakai sebagai dasar formulasi kebenaran yang fundamental. Menurut pendapat mereka,
orang akan dapat memahami kebenaran hanya kalau mereka itu menyatu dengan kenyataan
dan tanpa bahasa. Paling-paling bahasa hanya mampu menggambarkan kebenaran itu dengan
gambaran yang bengkok.
Jadi, dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda terhadap bahasa ini. Pertama,
pandangan yang mengatakan bahwa bahasa itu masih dapat berfungsi untuk menjadi sarana
pengantar filsafat. Akan tetapi, dalam pengalaman pemakaian ini tidak baik, karena si
pemakai sendirilah yang salah. Si pemakai menyimpang dari cara pemakaian bahasa yang
baik dan yang benar, tanpa memberikan makna apa-apa terhadap penyimpangan yang mereka
lakukan. Dalam kelompok ini terdapatlah misalnya orang-orang seperti Locke dan Ludwig
Wittgenstein. Locke tidak menyukai jargon scholastik. Wittgenstein berkata bahwa
kebanyakan masalah yang timbul dalam pembicaraan filsafat berasal dari kenyataan bahwa
para filsuf menggunakan terminologi (istilah) secara menyimpang, berlainan dengan makna
yang sebenarnya.
Orang-orang dari kelompok kedua berpendapat bahwa bahasa yang kita pakai
sehari-hari ini memang kurang kuat, kurang cermat, kurang memenuhi syarat, kurang sesuai
untuk dipakai sebagai sarana pengantar filsafat. Bahasa kita itu samar, tidak eksplisit (tidak
lugas), mengandung keraguan (ambigu), kurang mandiri atau suka tergantung pada konteks
(context dependent) dan sering menimbulkan salah paham. Di dalam kelompok ini
terdapatlah orang-orang seperti Leibniz, Russel, dan Carnap yang menginginkan timbulnya
suatu bahasa buatan manusia yang lebih sesuai untuk filsafat. Bahasa buatan manusia itu
perlu diusahakan agar kelemahan-kelemahan yang ada di dalam bahasa alamiah dapat
dikoreksi.
3.5.1  Hubungan Bahasa dengan Filsafat
Bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan
antarmanusia, tetapi, bahasa pun mampu mengubah seluruh kehidupan manusia. Artinya,
bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dari kehidupan manusia. Kearifan Melayu
mengatakan : “Bahasa adalah cermin budaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”.
Jadi bahasa adalah sine qua non, suatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat
manusia.
Bagaimanapun alat paling utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang
filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan perenungan kefilsafatannya kepada
orang lain. Tanpa bantuan bahasa, seseorang tidak akan mengerti tentang buah pikiran
kefilsafatan. Louis O. Katsooff  berpendapat bahwa suatu system filsafat sebenarnya dalam
arti tertentu dapat dipandang sebagai suatu bahasa, dan perenungan kefilsafatan dapat
dipandang sebagai suatu upaya penyusunan bahasa tersebut. Karena itu filsafat dan bahasa
senantiasa akan beriringan, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini karena bahasa pada
hakikatnya merupakan sistem symbol-simbol. Sedangkan tugas filsafat yang utama adalah
mencari jawab dan makna dari seluruh symbol yang menampakkan diri di alam semesta ini.
Bahasa juga adalah alat untuk membongkar seluruh rahasia symbol-simbol tersebut.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa bahasa dan filsafat memiliki hubungan atau relasi
yang sangat erat, dan sekaligus merupakan hukum kausalitas (sebab musabbab dan akibat)
yang tidak dapat ditolak kehadirannya. Sebab itulah seorang filosof (ahli filsafat), baik secara
langsung maupun tidak, akan senantiasa menjadikan bahasa sebagai sahabat akrabnya yang
tidak akan terpisahkan oleh siapa pun dan dalam kondisi bagaimanapun. Bahasa memiliki
daya tarik tersendiri untuk dijadikan objek penelitian filsafat, ia juga memiliki kelemahan-
kelemahan tertentu sehubungan dengan fungsi dan perannya yang begitu luas dan kompleks.
Salah satu kelemahannya yaitu tidak mengetahui dirinya secara tuntas dan sempurna,
sebagaimana mata tidak dapat melihat dirinya sendiri.
3.5.2  Fungsi Filsafat terhadap Bahasa
Kerja filsafat adalah dimulai dari suatu peranyataan kritis tentang sesuatu realitas
yang tidak hanya mempertanyakan tentang dunia yang konkrit, tetapi juga sebagian realitas
yang oleh sebagian orang dianggap tabu untuk dipertanyakan. Bagi filsafat seluruh realitas
adalah layak untuk dipertanyakan. Bagi filsafat pertanyaan itu bukanlah sekedar bertanya,
tapi diharapkan berupa pertanyaan yang kritis tentang apa saja.
“Filsafat harus mengkritik pertanyaan-pertanyaan yang tidak mamadai dan harus
ikut mencari jawaban yang benar”, kata Franz Magnis-Suseno. Atau seperti kata Robert
Spaemann : ”Yang baik tidak dapat terletak dalam pertanyaan sendiri, melainkan harus dalam
jawaban”. Itu sudah menjadi pertanyaan para filosof tempo dulu, dari Socrates sampai Ibnu
Rusd dari Andalusia.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa masalah kebahasaan yang memerlukan
analisis atau kerja filsafat dalam memahami dan memecahkannnya, antara lain :
1.        Masalah “bahasa’ pertama dan mendasar adalah apa hakikat bahasa itu ? mengapa bahasa itu
harus ada pada manusia dan merupakan cirri utama manusia. Apa pula hakikat manusia itu,
dan bagaimana hubungan antara “bahasa” dan “manusia” itu.
2.        Apakah perbedaan utama antara “bahasa” manusia dan bahasa di luar manusia, seperti
bahasa binatang dan atau bahasa makhluk lain. Apa persamaannya dan apa pula
perbedaannya.
3.        Apa hubungan antara bahasa dan akal, dan juga apa hubungannya antara bahasa dengan hati,
intuisi dan fenomena batin manusia lainnya.
Problem-problem tersebut, merupakan sebagian dari contoh-contoh problematika
kebahasaan, yang dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran yang dalam dan
sistematis atau analisis filsafat. Agar ada sedikit gambaran, berikut ini akan diuraikan secara
singkat mengenai hubungan fungsional antara bahasa dan filsafat. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.        Filsafat, dalam arti analisis merupakan salah satu metode yang digunakan oleh para filosof
dan ahli filsafat dalam memecahkan, seperti mengenai apakah hakikat bahasa itu, atau
pernyataan dan ungkapan bahasa yang bagaimana yang dapat dikategorikan ungkapan bahasa
bermakna dan tidak bermakna.
2.        Filsafat, dalam arti pandangan atau aliran tertentu terhadap suatu realitas, misalnya filsafat
idealisme, rasionalisme, realisme, filsafat analitif, Neo-Posotovisme, strukturalisme,
posmodernisme, dan sebagainya, akan mewarnai pula pandangan para ahli bahasa dalam
mengembangkan teori-teorinya. Aliran filsafat tertentu akan mempengaruhi dan memberikan
bentuk serta corak tertentu terhadap teori-teori kebahasaan yang telah dikembangkan para
ahli ilmu bahasa atas dasar aliran filsafat tersebut. Sebut saja “Sausurian”, adalah suatu aliran
linguistic dan ilmu sastra yang dikembangkan di atas bangunan filsafat strukturalisme
Ferdinand de Saussure.
3.        Filsafat, juga berfungsi member arah agar teorai kebahasaan yang telah dikembangkan para
ahli ilmu bahasa, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu,
memiliki relevansi dan realitas kehidupan ummat manusia.
4.        Filsafat, termasuk juga filsafat bahasa, juga mempunyai fungsi untuk memberikan petunjuk
dan arah dalam pengembangan teori-teori kebahasan menjadi ilmu bahasa (linguistic) atau
ilmu sastra. Suatu teori kebahasaan yang dikembangkan oleh suatu aliran filsafat tertentu,
akan menghasilkan forma aliran ilmu bahasa tertentu pula. Hal ini akan sangat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu kebahasaan secara berkelanjutan.
3.5.3 Aturan-Aturan Terpokok Suatu Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam uraian kefilsafatan terdiri dari seperangkat istilah dan
seperangkat pernyataan yang dibentuk dari istilah-istilah tertentu ditambah dengan istilah-
istilah lain dalam maknanya yang lazim, yang diambilkan dari bahasa yang digunakan oleh
sang filsuf (misalnya bahasa Inggris). Suatu bahasa yang lengkap terdiri dari seprangkat
istilah dan tiga perangkat aturan.
Perangkat aturan pertama bersifat semantik. Aturan-aturan ini menerangkan hubungan antara
ungkapan-ungkapan bahasa dengan hal-hal yang ditunjukkan. Aturan-aturan tersebut dapat
dibagi lebih lanjut sebagai berikut:
1.      Aturan-aturan pembentukan. Aturan-aturan ini menerangkan kapankah seperangkat tanda
menunjukkan suatu pertanyaan. Misalnya, ada aturan : “Bila ada ungkapan yang terdiri dari
suatu kata benda, kata kerja ‘adalah’, dan suatu kata sifat, maka hasilnya akan berupa suatu
pernyataan.”
2.      Aturan-aturan yang melukiskan apakah yang ditunjuk oleh macam-macam tanda tertentu.
Aturan-aturan ini mengatakan bahwa kata-kata benda menunjukkan orang, tempat, atau
barang, dan bahwa sebutan menunjukkan ciri-ciri.
3.      Aturan-aturan yang melukiskan bilamanakah suatu pernyataan dikatakan mengandung
‘kebenaran’. Aturan-aturan ini dapat memberikan batasan pengertian mengenai hubungan
kebenaran. Misalnya, pernyataan sederhana seperti “Saya merasa dingin,” dikatakan benar
jika, dan hanya jika, saya sungguh-sungguh merasa dingin.
Perangkat aturan kedua bersifat pragmatis. Aturan-aturan ini menerangkan latar
istilah-istilah atau pernyataan-pernyataan yang bersifat kejiwaan, emosional, geografik, dan
sebagainya. Misalnya nama ‘Tuhan’ senantiasa dipakai dengan perasaan hormat.
Perangkat aturan ketiga bersifat sintaksis. Aturan-aturan ini menerangkan cara-cara
menyimpulkan ungkapan-ungkapan berdasarkan ungkapan-ungkapan yang lain dengan jalan
perubahan bentuk. Misalnya, jika (1) ‘p’ dan (2) ‘p’ meliputi ‘q’, maka (3) dapatlah
disimpulkan ‘q’. Yang tersangkut dalam hal ini ialah aturan-aturan logika, definisi bukti, dan
sebagainya.
3.6  Ragam Bahasa Jurnalistik          
3.6.1  Pengertian Bahasa Jurnalistik
Bahasa Jurnalistik adalah gaya bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis
berita. Disebut juga Bahasa Komunikasi Massa (Language of Mass Communication, disebut
pula Newspaper Language), yakni bahasa yang digunakan dalam komunikasi melalui media
massa, baik komunikasi lisan (tutur) di media elektronik (radio dan TV) maupun komunikasi
tertulis (media cetak), dengan ciri khas singkat, padat, dan mudah dipahami.
3.6.1 Ciri Utama Bahasa Jurnalistik
Secara lebih seksama bahasa jurnalistik dapat dibedakan pula berdasarkan
bentuknya menurut media menjadi bahasa jurnalistik media cetak, bahasa jurnalistik radio,
bahasa jurnalistik televisi dan bahasa jurnalistik media online internet. Bahasa jurnalistik
media cetak, misalnya, kecuali harus mematuhi kaidah umum bahasa jurnalistik, juga
memiliki ciri-ciri yang sangat khusus yang membedakannya dari bahasa jurnalistik radio,
bahasa jurnalistik TV, dan bahasa jurnalistik media online internet. Ada beberapa ciri-ciri
utama bahasa jurnalistik yang berlaku untuk semua bentuk media berkala tersebut.

1.        Sederhana

Sederhana berarti selalu mengutamakan dan memilih kata atau kalimat yang paling
banyak diketahui maknanya oleh khalayak pembaca yang sangat heterogen, baik dilihat dari
tingkat intelektualitasnya maupun karakteristik demografis dan psikografisnya. Kata-kata dan
kalimat yang rumit, yang hanya dipahami maknanya oleh segelintir orang, tabu digunakan
dalam bahasa jurnalistik.

2.        Singkat

Singkat berarti langsung kepada pokok masalah, tidak bertele-tele, tidak berputar-putar,
tidak memboroskan waktu pembaca yang sangat berharga. Ruangan atau kapling yang
tersedia pada kolom-kolom halaman surat kabar, tabloid, atau majalah sangat terbatas,
sementara isinya banyak dan beraneka ragam. Konsekwensinya apa pun pesan yang akan
disampaikan tidak boleh bertentangan dengan filosofi, fungsi, dan karakteristik pers.

3.        Padat

Menurut. Patmono S.K., redaktur senior Sinar Harapan dalam buku Teknik Jurnalislik
(1996: 45), padat dalam bahasa jurnalistik berarti sarat informasi. Setiap  kalimat dan
paragrap yang ditulis memuat banyak informasi penting dan menarik untuk khalayak
pembaca. Ini berarti terdapat perbedaan yang tegas antara kalimat singkat dan kalimat padat.
Kalimat yang singkat tidak berarti memuat banyak informasi. Sedangkan kaliamat yang padat
mengandung lebih banyak informasi.
4.        Lugas

Lugas berarti tegas, tidak ambigu, sekaligus menghindari eufemisme atau penghalusan
kata dan kalimat yang bisa membingungkan khalayak pembaca sehingga terjadi perbedaan
persepsi. Kata yang lugas selalu menekankan pada satu arti serta menghindari kemungkinan
adanya penafsiran lain terhadap arti dan makna kata tersebut.

5.        Jelas

Jelas berarti mudah ditangkap maksudnya, tidak baur dan kabur. Sebagai contoh, hitam
adalah wara yang jelas. Putih adalah warna yang jelas. Ketika kedua warna itu disandingkan,
maka terdapat perbedaan yang tegas mana disebut hitam, mana pula yang disebut putih. Pada.
Kedua warna itu  sama sekali tidak ditemukan nuansa warna abu-abu. Perbedaan warna hitam
dan putih melahirkan kesan kontras. Jelas di sini mengandung tiga arti: jelas artinya, jelas
susunan kata atau kalimatnya sesuai dengan  kaidah subjek-objek-predikat- keterangan
(SPOK), jelas sasaran atau maksudnya.

6.        Jernih

Jernih berarti bening, tembus pandang, transparan, jujur, tulus, tidak menyembunyikan
sesuatu yang lain yang bersifat negatif seperti prasangka atau fitnah. Sebagai bahan
bandingan, kita hanya dapat menikmati keindahan ikan hias arwana atau oscar hanya pada
akuarium dengan air yang jernih bening. Oscar dan arwana tidak akan melahirkan pesona
yang luar biasa apabila dimasukkan  ke dalam kolam besar di persawahan yang berair keruh.
Dalam pendekatan analisis wacana, kata dan kalimat yang jernih berarti kata dan  kalimat
yang tidak memiliki agenda tersembunyi di balik pemuatan suatu berita atau laporan kecuali
fakta, kebenaran, kepentingan public. Dalam bahasa kiai, jermh berarti bersikap berprasangka
baik dan sejauh mungkin menghindari prasangka buruk. Menurut orang komunikasi, jernih
berarti senantiasa mengembangkan pola piker positif (positive thinking) dan menolak pola
pikir negative (negative thinking). Hanya dengan pola pikir positif kita akan dapat melihat
semua fenomena dan persoalan yang terdapat dalam masyarakat dan pemerintah dengan
kepala dingin, hati jernih dan dada lapang.

Pers, atau lebih luas lagi media massa, di mana pun tidak diarahkan untuk membenci
siapa pun. Pers ditakdirkan untuk menunjukkan sekaligus mengingatkan tentang kejujuran,
keadilan, kebenaran, kepentingan rakyat.  Tidak pernah ada dan memang tidak boleh ada,
misalnya hasutan pers untuk meraih kedudukan atau kekuasaan politik sebagaimana para
anggota dan pimpinan partai politik.

7.        Menarik
Bahasa jurnalistik harus menarik. Menarik artinya mampu membangkitkan minat dan
perhatian khalayak pembaca, memicu selera baca, serta membuat orang yang sedang tertidur,
terjaga seketika. Bahasa jurnalistik berpijak pada prinsip: menarik, benar, dan baku.
Wartawan sering juga disebut seniman. Bahasa jurnalistik menyapa khalayak pembaca
dengan senyuman atau bahkan cubitan sayang, bukan dengan mimik muka tegang atau
kepalan tangan dengan pedang. Karena itulah, sekeras apa pun bahasa jurnalistik, ia tidak
akan dan tidak boleh membangkitkan kebencian serta permusuhan dari pembaca dan pihak
mana pun. Bahasa jurnalistik memang harus provokatif tetapi tetap merujuk kepada
pendekatan dan  kaidah normatif. Tidak semena-mena, tidak pula bersikap durjana. Perlu
ditegaskan salah satu fungsi pers adalah edukatif. Nilai dan nuansa edukatif itu, juga harus
tampak pada bahasa jurnalistik pers.

8.        Demokratis

Salah satu ciri yang paling menonjol dari bahasa jurnalistik adalah demokratis.
Demokratis berarti bahasa jurnalistik tidak mengenal tingkatan, pangkat, kasta, atau
perbedaan dari pihak yang menyapa dan pihak yang disapa sebagaimana di jumpai dalam
gramatika bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Bahasa jurnalistik menekankan  aspek fungsional.
Bahasa jurnalistik memperlakukan siapa pun apakah presiden atau tukang becak, bahkan
pengemis dan pemulung secara sama. Kalau dalam berita disebutkan presiden mengatakan,
maka kata mengatakan tidak bisa atau harus diganti dengan kata bersabda. Presiden dan
pengemis  keduanya tetap harus ditulis mengatakan. Bahasa jurnalistik menolak pendekatan
diskriminatif dalam penulisan berita, laporan, gambar,  karikatur, atau teks foto. Secara
ideologis, bahasa jurnalistik melihat setiap individu memiliki kedudukan yang sama  di depan
hukum schingga orang itu tidak boleh diberi pandangan serta perlakuan yang berbeda.
Semuanya sejajar dan sederajat. Hanya menurut perspektif nilai berita (news value) yang
membedakan diantara keduanya. Salah satu penyebab utama mengapa bahasa Indonesia
dipilih dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa pengikat  persatuan dan kesatuan
bangsa, karena bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia memang sangat
demokratis. Sebagai contoh, prisiden makan, saya makan, pengemis makan, kambing makan.

9.        Populis

Populis berarti setiap kata, istilah, atau kalimat apa pun yang terdapat dalam karya-karya
jurnalistik harus akrab di telinga, di mata, dan di benak pikiran  khalayak pembaca,
pendengar, atau. pemirsa. Bahasa jurnalistik harus merakyat, artinya diterima dan diakrabi
oleh semua lapisan masyarakat. Mulai dari pengamen sampai seorang presiden, para
pembantu rumah tangga sampai ibu-ibu pejabat. Kebalikan dari populis adalah elitis. Bahasa
yang elitis adalah bahasa yang hanya dimengerti dan dipahami segelintir kecil orang saja,
terutama mereka yang berpendidikan dan berkedudukan tinggi.

10.    Logis

Logis berarti apa  pun yang terdapat dalam kata, istilah, kalimat, atau paragraph
jurnalistik harus dapat diterima dan tidak bertentangan dengan akal sehat. Bahasa jurnalistik
harus dapat diterima dan sekaligus mencerminkan nalar. Di sini berlaku hokum logis. Sebagai
contoh, apakah logis kalau dalam berita dikatakan: “jumlah korban tewas dalam musibah
longsor dan banjir bandang itu 225 orang, namun sampai berita ini diturunkan belum juga
melapor.” Jawabannya tentu saja sangat tidak logis, karena mana mungkin korban yang sudah
tewas, bisa melapor?

11.    Gramatikal

Gramatikal berarti kata, istilah, atau kalimat apa pun yang dipakai dan dipilih dalam
bahasa jurnalistik harus mengikuti kaidah tata bahasa baku. Bahasa baku artinya bahasa resmi
sesuai dengan ketentuan tata bahasa serta pedoman ejaan yang disempurnakan berikut
pedoman pembentukan istilah yang menyertainya. Bahasa baku adalah bahasa yang paling
besar pengaruhnya dan paling tinggi wibawanya pada suatu bangsa atau kelompok
masyarakat. Contoh berikut adalah bahasa jurnalistik nonbaku atau tidak gramatikal: “Ia
bilang, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 15 persen dari total
APBN dalam tiga tahun ke depan.” Contoh bahasa jumalistik baku atau gramatikal: “Ia
mengatakan, presiden menyetujui anggaran pendidikan dinaikkan menjadi 25 persen dari
total APBN dalam lima tahun ke depan.”

12.    Menghindari kata tutur

Kata tutur ialah kata yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari secara informal.
Kata tutur ialah kata-kata yang digunakan dalam percakapan di warung kopi, terminal, bus
kota, atau di pasar. Setiap orang bebas untuk menggunakan kata atau istilah apa saja sejauh
pihak yang diajak bicara memahami maksud dan maknanya. Kata tutur ialah kata yang hanya
menekankan pada pengertian, sama sekali tidak memperhatikan masalah struktur dan tata
bahasa. Contoh kata-kata tutur: bilang, dilangin, bikin, diksih tahu,  mangkanya, sopir, jontor,
kelar, semangkin.

13.    Menghindari Kata dan Istilah Asing

Berita ditulis untuk dibaca atau didengar. Pembaca atau pendengar harus tahu arti dan
makna setiap kata yang dibaca dan didengarnya. Berita atau laporan yang banyak  diselipi
kata-kata asing, selain tidak informatif dan komunikatif juga membingungkan. Menurut teori
komunikasi, khalayak media massa terdiri atas berbagai suku bangsa, latar belakang sosial-
ekonomi, pendidikan, pekerjaan, profesi dan tempat tinggal. Dalam perspektif teori
jurnalistik, memasukkan kata atau istilah asing pada berita yang kita tulis, kita udarakan atau
kita tayangkan, sama saja dengan sengaja menyebar banyak duri di tengah jalan. Kecuali
menyiksa diri sendiri, juga mencelakakan orang lain.

14.    Pilihan Kata (diksi) yang Tepat

Bahasa jurnalistik sangat menekankan efektivitas. Setiap kalimat yang disusun tidak
hanya harus produktif tetapi juga tidak boleh keluar dari asas efektifitas. Artinya setiap kata
yang dipilih, memang tepat dan akurat sesuai dengan tujuan pesan pokok yang ingin
disampaikan kepada khlayak. Pilihan kata atau diksi, dalam bahasa jurnalistik, tidak sekadar
hadir sebagai varian dalam gaya, tetapi juga sebagai suatu keputusan yang didasarkan kepada
pertimbangan matang untuk mencapai efek optimal terhadap khalayak. Pilihan kata atau diksi
yang tidak tepat dalam setiap kata jurnalistik, bisa menimbulkan akibat fatal.

15.    Mengutamakan Kalimat Aktif

Kalimat akif lebih mudah dipahami dan lebih disukai oleh khalayak pembaca daripada
kalimat pasif. Sebagai contoh, “Presiden mengatakan, bukan dikatakan oleh presiden. Contoh
lain, “pencuri mengambil  perhiasan dari dalam almari pakaian, dan bukan diambilnya
perhiasan itu dari dalam almari pakaian oleh pencuri.” Bahasa jurnalistik harus.jelas susunan
katanya, dan kuat maknanya. Kalimat aktif lebih memudahkan pengertian dan memperjelas
pemahaman. Kalimat pasif sering menyesatkan pengertian dan mengaburkan pemahaman.

16.    Menghindari Kata atau Istilah Teknis

Karena ditujukan untuk umum, maka bahasa jurnalistik harus sederhana, mudah
dipahami, ringan dibaca, tidak membuat kening berkerut apalagi sampai membuat kepala
berdenyut. Salah satu cara untuk itu ialah dengan menghindari penggunaan kata atau istilah-
istilah teknis. Bagaimanapun kata atau istilah teknis hanya berlaku untuk kelompok atau
komunitas tertentu yang relatif homogen. Realitas yang homogen, menurut perspektif filsafat
bahasa tidak boleh dibawa ke dalam realitas yang heterogen. Kecuali tidak efelitf, juga
mengandung unsur pemerkosaan. Sebagai contoh, berbagai istilah teknis dalam dunia
kedokteran, atau berbagai istilah teknis dalam dunia mikrobiologi, tidak akan bisa dipahami
maksudnya oleh khalayak pembaca apabila dipaksakan untuk dimuat dalam berita, laporan,
atau tulisan pers. Supaya mudah dicerna dan mudah dipahami maksudnya, maka istilah-
istilah teknis itu harus diganti dengan istilah yang bisa dipahami oleh masyarakat umum.
Kalaupun tak terhindarkan, maka istilah teknis itu harus disertai penjelasan dan ditempatkan
dalam tanda kerung.

Surat kabar, tabloid, atau majalah yang lebih banyak memuat kata atau istilah teknis,
mencerminkan media itu : (1) kurang melakukaii pembinaan dan pelatihan terhadap
wartawannya yang malas, (2) tidak memiliki editor bahasa, (3) tidak memiliki buku panduan
peliputan dan penulisan berita serta laporan, atau (4) tidak memiliki sikap profesional. dalam
mengelola penerbitan pers yang berkualitas.

17.    Tunduk kepada Kaidah Etika

Salah satu fungsi utama pers adalah edukasi, mendidik (to educated), Fungsi ini bukan
saja harus, tercermin pada materi isi berita, laporan, gambar, dan artikel-aritikelnya,
melainkan juga harus tampak pada bahasanya. Pada bahasa tersimpul etika. Bahasa tidak saja
mencerminkan pikiran tapi sekaligus juga menunjukkan etika orang itu. Dalam menjalankan
fungsinya mendidik khalayak, pers wajib menggunakan serta tunduk kepada kaidah dan etika
bahasa baku. Bahasa pers harus baku, benar, dan baik. Dalam etika berbahasa, pers tidak
boleh menuliskan kata-kata yang tidak sopan, vulgar, sumpah serapah, hujatan dan makian
yang sangat jauh dari norma sosial budaya agama. Pers juga tidak boleh menggunakan kata-
kata porno dan berselera rendah lainnya dengan maksud untuk membangkitkan asosiasi serta
fantasi seksual khalayak pembaca.

Anda mungkin juga menyukai