Anda di halaman 1dari 50

BAHAN AJAR MATA KULIAH

Biologi Sel
Pertemuan Ke 4 dan 5
Dosen: Dr. Faiqah, S. Si., M. Kes

Mata Kuliah : Biologi Sel


Kode Mata Kuliah / SKS : 106H4122
Semester : AKHIR
Program Studi : Biologi
Mata Kuliah Prasyarat : Biologi Dasar
Dosen Penanggung Jawab : Prof. Dr. Dirayah R. Husain, DEA
Dr. A. Ilham Latunra, M. Si.

Dr. Sulfahri, S. Si., M. Si.


Tim Dosen
Dr. Faiqah, S. Si., M. Kes.

Sasaran Belajar : Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami sistem


dan mekanisme komunikasi sel.

Mata kuliah ini membahas tentang Sel Sebagai Unit


Dasar Kehidupan, Sejarah Perkembangan Teori Sel
Deskripsi Mata Kuliah
: Teknik pemeriksaan dan Konservasi sel, Morfologi dan
komponen penyusun Sel, Selubung sel, membran
plasma, sitoskeleton, sitoplasma dan organel sel, inti sel
dan bahan pewarisan sifat serta komunikasi antar sel

1. Pendahuluan
Garis Besar Materi Pokok Bahasan III:
Pokok bahasan keempat dan kelima ini terkait pada pengetahuan dan pemahaman sistem
dan mekanisme komunikasi sel.
Sasaran Pembelajaran:
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami elemen dasar pada sistem pensinyalan sel,
survey pesan ekstraseluler dan reseptornya, transduksi sinyal oleh protein reseptor G-
coupled, messenger kedua, spesifisitas respon protein G-coupled, regulasi kadar glukosa
darah, peranan GPCRs dalam persepsi sensoris, fosforilasi protein tirosin sebagai sebuah
1
mekanisme untuk transduksi sinyal, jalur Ras-MAP kinase, Pensinyalan melalui reseptor
insulin, peranan kalsium dan NO sebagai messenger intraseluler, mekanisme apoptosis sel.
Perilaku Awal:
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami sistem dan mekanisme komunikasi sel.
Manfaat Pokok Bahasan:
Setelah mahasiswa mengikuti dan memahami materi bahasan ini maka mahasiswa mampu
memahami dan menjabarkan sistem dan mekanisme komunikasi sel.
Urutan Pembahasan:
Sistem dan mekanisme komunikasi sel secara berurutan akan meliputi:
1. Elemen dasar pada sistem pensinyalan sel
2. Survey pesan ekstraseluler dan reseptornya
3. Transduksi sinyal oleh protein reseptor G-coupled
a. Reseptor
b. Protein G
c. Terminasi respon
4. Messenger kedua (penemuan siklus AMP, turunan senyawa fosfatidilinositol sebagai
messenger kedua, fosfolipase C)
5. Spesifisitas respon protein G-coupled
6. Regulasi kadar glukosa darah (mobilisasi glukosa, amplifikasi sinyal, aspek lain pada
jalur transduksi sinyal cAMP)
7. Peranan GPCRs dalam persepsi sensoris
8. Fosforilasi protein tirosin sebagai sebuah mekanisme untuk transduksi sinyal
a. Dimerisasi reseptor
b. Aktivasi protein kinase
c. Interaksi protein fosfotirosine-dependent
d. Aktivasi jalur pensinyalan hilir
e. Pengakhiran respon
9. Jalur Ras-MAP kinase
a. Protein tambahan
b. Adaptasi MAP kinase untuk transmisi beragam informasi
10. Pensinyalan melalui reseptor insulin
a. Reseptor insulin adalah protein tirosin kinase
b. Substrat reseptor insulin 1 dan 2
c. Transport glukosa
2
d. Diabetes mellitus
11. Peranan kalsium sebagai messenger intraseluler
a. IP3 dan channel yang berbatas muatan Ca2+
b. Visualisasi Ca2+ sitoplasmik dan konsentrasinya pada sel hidup
c. Ca2+ pengikat protein
12. Peranan NO sebagai messenger intraseluler
a. NO sebagai aktivator Guanilil siklase
b. Inhibisi fosfodiester
13. Mekanisme apoptosis sel
a. Jalur ekstrinsik apoptosis
b. Jalur instrinsik apoptosis
c. Nekroptosis
d. Pensinyalan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel.

2. Petunjuk Belajar
Pada materi bahasan ini sebagai pengetahuan dan pemahaman sistem dan mekanisme
komunikasi sel.
Uraian Materi Bahasan:
BAB IV
SISTEM DAN MEKANISME KOMUNIKASI SEL

1. Elemen dasar pada sistem pensinyalan sel


Kebanyakan sel pada hewan maupun tumbuhan memiliki spesialisasi dengan satu atau
lebih fungsi spesifik. Banyak proses biologis membutuhkan banyak tipe sel yang bisa bekerja
sama dan mengkoordinasi aktivitas tersebut. Agar hal tersebut dapat terselenggara, maka sel
harus berkomunikasi dengan sel lainnya, yang bisa dilakukan melalui proses yang disebut
pensignalan sel/cell signalling. Sistem pensinyalan sel memungkinkan sel untuk memberikan
respon yang sesuai dengan stimulus spesifik dari lingkungan.
Pensinyalan sel akan mempengaruhi berbagai aspek pada struktur sel dan fungsi sel,
sehingga akan dibahas pada bab ini. Disisi lain, pemahaman mengenai sistem pensinyalan sel
membutuhkan pengetahuan mengenai tipe aktivitas seluler lainnya. Wawasan mendalam
tentang pensinyalan sel dapat menghubungkan berbagai proses seluler yang nampaknya
berdiri sendiri. Pensinyalan sel secara khusus melibatkan regulasi pertumbuhan sel dan
pembelahan. Hal ini menjadikan mengapa pemahaman mengenai pensinyalan sel menjadi
sangat penting agar terdapat pemahaman mengenai bagaimana sel kehilangan
kemampuannya untuk mengontrol pembelahan sel sehingga berkembang menjadi sel
malignan tumor.
Akan sangat membantu bila pembahasan dimulai dari pengenalan beberapa aspek
umum yang dijumpai pada semua jalur pensinyalan. Sel biasanya berkomunikasi dengan sel
lainnya melalui molekul messenger ekstraseluler. Messenger ekstraseluler dapat bepergian

3
menempuh jarak pendek dan menstimulasi sel yang berada pada area yang dekat dengan
sumber pengirim pesan/messenger, atau messenger ekstraseluler dapat melakukan perjalanan
ke seluruh bagian tubuh, secara potensial menstimulasi sel yang jauh dari sumber sel
pengirim pesan. Pada pensinyalan autokrin, sel yang memproduksi messenger
mengekspresikan reseptor pada permukaan selnya agar dapat merespon messenger tersebut
(Gambar 1a). Sehingga, sel yang melepaskan pesan tersebut akan menstimulasi atau
menginhibisi dirinya sendiri. Pada pensinyalan parakrin (Gambar 1b), molekul messenger
hanya akan bepergian dengan jarak tempuh yang pendek melalui ruang ekstraseluler menuju
ke sel yang berada disekitar jangkauan sumber sel yang melepaskan messenger tersebut.
Molekul messenger parakrin biasanya memiliki keterbatasan area jangkauan karena sifatnya
yang tidak stabil, atau terdegradasi oleh enzim, atau berikatan dengan matriks ekstraseluler.
Pada pensinyalan endokrin, molekul messenger akan mencapai sel target melalui aliran
darah (Gambar 1c). Messenger endokrin biasa disebut hormon, dan memiliki sifat spesifik
dimana hormon hanya akan bekerja pada sel target yang jaraknya jauh di dalam tubuh.

Gambar 1. Tipe-tipe pensinyalan interseluler yaitu autokrin (a), parakrin (b), dan endokrin (c).

Sebuah gambaran mengenai jalur pensinyalan nampak pada gambar 2. Pensinyalan


sel diinisiasi dengan pelepasan molekul messenger oleh sel yang terlibat pada pelepasan
messenger ke sel lainnya di dalam tubuh (tahap 1, Gambar 2). Lingkungan ekstraseluler sel
mengandung ratusan molekul yang berbeda, mulai dari komponen kecil (seperti steroid dan
neurotransmitter), protein hormon solubel kecil (contoh glukagon dan insulin) sampai
glikoprotein berukuran besar yang berikatan dengan permukaan sel lain. Sel hanya bisa
merespon pesan ekstraseluler tertentu jika sel mengekspresikan reseptor yang secara spesifik
mengenali dan berikatan dengan molekul messenger tersebut (tahap 2, Gambar 2). Molekul
yang berikatan dengan reseptor disebut ligan. Sel dengan tipe yang berbeda akan memiliki
komplemen reseptor yang berbeda pula, sehingga memungkinkan sel merespon messenger
ekstraseluler yang berbeda-beda. Bahkan sel yang memiliki reseptor serupa dapat
memberikan respon yang berbeda terhadap molekul messenger ekstraseluler yang sama. Sel
hati dan sel otot rangka, keduanya memiliki reseptor  2-adrenergic. Aktivasi reseptor ini
melalui sirkulasi adrenalin menyebabkan pemecahan glikogen di dalam sel hati dan relaksasi
pada sel otot rangka. Respon yang berbeda disebabkan oleh interaksi stimulus yang sama
dapat dilacak sehingga merujuk pada protein intraseluler yang berbeda yang terlibat dalam
respon kedua tipe sel ini. Demikianlah tipe aktivitas yang terjadi dan melibatkan sel berbeda
akan bergantung pada tipe stimulus yang diterima dan sistem intraseluler yang dimiliki oleh
sel tersebut.
Pada kebanyakan kasus, molekul messenger ekstraseluler berikatan dengan reseptor
pada permukaan luar sel yang merespon. Interaksi ini akan menginduksi perubahan
konformasi pada reseptor sehingga menyebabkan signal diteruskan melewati membran
menuju ke domain reseptor sitoplasmik (tahap 3, Gambar 2). Pada saat signal telah sampai

4
permukaan dalam membran plasma, akan terjadi dua rute transmisi sinyal ke interior sel,
sehingga memicu respon yang sesuai. Rute tertentu yang terjadi bergantung pada tipe
reseptor yang diaktivasi. Pada pembahasan selanjutnya, akan difokuskan pada kedua jalur
transduksi ini, tetapi perlu diingat bahwa ada banyak rute pensinyalan ekstraseluler lainnya
yang bisa memberikan dampak pada sebuah sel. Contoh bagaimana neurotransmitter bekerja
dengan membuka channel ion pada membran plasma dan berikatan dengan reseptor
intraseluler.

Gambar 2. Sebuah gambaran jalur


pensinyalan utama dimana molekul messenger
ekstraseluler bisa menimbulkan respon
intraseluler yang berbeda. Dua tipe jalur sinyal
transduksi yang berbeda pada gambar, satu
jalur pensinyalan diaktivasi oleh messenger
kedua diffusibel dan jalur pensinyalan lainnya
diaktivasi oleh perekrutan protein oleh
membran plasma. Kebanyakan jalur
transduksi signal melibatkan kombinasi kedua
jalur aktivasi tersebut diatas. Perlu
diperhatikan pula bahwa jalur pensinyalan
tidak selamanya berlangsung linier, bisa
bercabang-cabang dan saling ter-interkoneksi
membentuk sistem kompleks. Tahapan sesuai
dijelaskan pada teks.

Akan dibahas dua jalur utama pensinyalan pada bab ini yaitu:
 Sebuah tipe reseptor (Sub-judul ke-4. Messenger kedua) yang mentrasmisikan sinyal dari
domain sitoplasmanya menuju enzim yang ada disekitarnya (tahap 4, Gambar 2), yang
akan menghasilkan messenger kedua (tahap 5, Gambar 2). Karena reseptor tersebut
mempengaruhi respon seluler melalui pembentukan messenger kedua, enzim yang terlibat
pada proses ini disebut efektor. Messenger kedua merupakan substansi kecil yang secara
tipikal mengaktivasi (atau meng-inaktivasi) protein spesifik. Bergantung pada struktur
kimiawinya, messenger kedua dapat berdifusi melalui sitosol atau tetap tertanam pada
lapisan lipid bilayer membran.
 Tipe reseptor lainnya (Sub-judul ke-8. Fosforilasi protein tirosin sebagai sebuah
mekanisme untuk transduksi sinyal) mentransmisikan signal melalui transformasi domain
sitoplasmanya menjadi area perekrutan protein pensinyalan seluler (tahap 4a, Gambar 2).
Protein berinteraksi satu sama lain, atau berinteraksi dengan komponen sebuah membran
seluler, melalui jenis domain interaksi tertentu, seperti domain SH3 yang nantinya akan
dibahas.
Apakah signal ditransmisikan melalui messenger kedua atau melalui perekrutan
protein, hasilnya akan sama; protein yang terletak pada bagian atas jalur pensinyalan
intraseluler diaktivasi (tahap 6, Gambar 2). Jalur pensinyalan merupakan lalu lintas super

5
informasi pada sel. Setiap jalur pensinyalan terdiri atas sejumlah protein spesifik yang
mengoperasikan sebuah sekuens (tahap 7). Kebanyakan “protein pensinyalan” tersusun atas
banyak domain yang memungkinkan protein tersebut berinteraksi secara dinamik dengan
sejumlah partner, baik secara simultan ataupun sekuensial. Tipe konstruksi modular ini
diilustrasikan oleh protein Grb2 dan IRS-1. Tidak seperti Grb2 dan IRS-1 yang fungsinya
secara eksklusif memediasi interaksi protein dengan protein, banyak protein pensinyalan
lainnya juga mengandung katalitik dan atau domain regulatoris yang membuat protein
tersebut menjadi lebih aktif pada jalur pensinyalan.
Setiap protein pada jalur pensinyalan, secara tipikal bekerja dengan cara merubah
konformasi subsekuen atau protein hilir secara berseri, sebuah proses yang mengaktivasi atau
meng-inhibisi protein tersebut (Gambar 3). Sehingga tidak heran lagi jika alterasi pada
konformasi pensinyalan protein yang terjadi melibatkan protein kinase dan protein fosfatase,
dimana masing-masing menambahkan dan menghilangkan grup fosfat dari protein lain
(Gambar 3). Genom manusia mengkode lebih dari 500 protein kinase yang berbeda dan
sekitar 150 protein fosfatase yang berbeda. Sedangkan protein kinase biasanya bekerja dalam
bentuk subunit tunggal, banyak protein fosfatase memiliki sebuah subunit regulatoris yang
menentukan spesifisitas substrat. Sehingga, sebuah subunit katalitik fosfatase tunggal dapat
membentuk sebuah host enzim berbeda dengan menghilangkan grup fosfat dari substrat
protein yang berbeda.
Kebanyakan protein kinase mentransfer grup fosfat ke serin atau residu threonin dari
substrat proteinnya, tetapi sebuah kelompok protein kinase penting (kurang lebih 90 pada
manusia) memfosforilasi residu tirosin. Beberapa protein kinase dan fosfatase merupakan
protein sitoplasmik solubel, sedang lainnya merupakan protein integral membran. Banyak
kinase ditemukan pada sel dalam keadaan terhambat. Bergantung pada kinase tertentu, enzim
ini dapat diaktivasi di dalam sel oleh modifikasi kovalen atau melalui interaksi dengan
protein lainnya, molekul kecil, atau membran lipid. Yang mengagumkan adalah walaupun
ratusan protein yang mengandung residu asam amino terdapat di dalam sel memiliki potensi
mengalami fosforilasi, setiap protein kinase dan fosfatase mampu mengenali substrat
spesifiknya dan mengabaikan protein lain yang bukan target substratnya. Beberapa protein
kinase dan fosfatase memiliki sejumlah jenis protein sebagai target substratnya, sedangkan
lainnya mem-fosforilasi atau de-fosforilasi hanya sebuah residu asam amino tunggal pada
sebuah substrat protein tunggal.

Gambar 3. Jalur transduksi sinyal melibatkan


protein kinase dan protein fosfatase yang
aktivitas katalitiknya merubah konformasi dan
aktivitas senyawa protein yang dimodifikasi.
Pada contoh menunjukkan protein kinase 2
diaktivasi oleh protein kinase 1. Saat telah
diaktivasi, protein kinase 2 memfosforilasi
protein kinase 3, mengaktifkan enzim. Protein
kinase 3 memfosforilasi sebuah faktor
transkripsi, meningkatkan affinitasnya untuk
sebuah area pada DNA. Pengikatan faktor
transkripsi pada DNA akan mempengaruhi
transkripsi gen yang ditarget. Setiap tahapan
aktivasi pada jalur tersebut dapat direversi
oleh sebuah fosfatase.

6
Banyak substrat protein enzim ini berupa enzim pula  kebanyakan berupa kinase
atau fosfatase lain  tetapi substrat dapat berupa channel, ion faktor transkripsi, dan beragam
tipe protein regulatoris. Diduga bahwa hampir setengah protein transmembran dan protein
sitoplasmik difosforilasi pada satu atau lebih tempat kejadian. Fosforilasi protein dapat
merubah perilaku protein melalui beberapa cara. Fosforilasi dapat mengaktifkan atau meng-
inaktivasi sebuah enzim, atau meningkatkan/menurunkan interaksi protein dan protein,
menginduksi sebuah protein agar berpindah dari satu kompartemen sub-seluler ke
kompartemen lainnya, atau dapat berperan sebagai signal yang menginisiasi degradasi protein.
Pendekatan proteomik skala besar telah dilakukan untuk mengidentifikasi beragam substrat
protein kinase dan residu spesifik yang difosforilasi di berbagai jaringan. Studi pada
proteome vertebrata telah mengidentifikasi lebih dari 20.000 fosfoprotein yang membawa
200.000 situs fosforilasi. Terjadinya fosforilasi protein secara meluas dan dianggap penting,
telah menunjukkan perbedaan besar pada frekuensi fosforilasi tirosin dalam protein tertentu
yang berasal dari dua tipe sel kanker yang berbeda.
Sinyal ditransmisikan disepanjang jalur pensinyalan tersebut pada akhirnya
mencapai target protein (tahap 8, Gambar 2) yang terlibat dalam proses seluler mendasar
(tahap 9, Gambar 2). Bergantung pada tipe sel dan pesan yang dibawa, respon akan diinisiasi
oleh protein target melibatkan perubahan pada ekspresi gen, sebuah alterasi pada aktivitas
enzim metabolik, sebuah re-konfigurasi sitoskeleton, sebuah peningkatan atau penurunan
mobilitas sel, perubahan pada permeabilitas ion, aktivasi sintesis DNA, atau bahkan apoptosis
sel. Sebenarnya setiap aktifitas dimana sebuah sel yang terlibat diregulasi oleh signal berasal
dari permukaan sel. Keseluruhan proses dimana informasi dibawa oleh molekul messenger
ekstraseluler dan ditranslasi dalam bentuk perubahan yang terjadi di dalam sel disebut
sebagai transduksi signal.
Akhirnya, proses pensignalan harus dihentikan. Hal ini sangat penting karena sel
harus tetap responsif terhadap pesan signal lain yang mungkin saja akan diterima. Tahapan
pertama adalah eleminasi molekul messenger ekstraseluler. Untuk melakukan proses ini, sel
tertentu harus memproduksi enzim ekstraseluler yang akan menghancurkan messenger
ekstraseluler spesifik tersebut. Pada kasus lain, reseptor didegradasi bersama dengan ligand-
nya, sehingga menyebabkan sel tersebut mengalami penurunan sensitivitas terhadap stimulus
selanjutnya.

2. Survey pesan ekstraseluler dan reseptornya


Variasi molekul yang dapat berfungsi sebagai carrier informasi ekstraseluler
termasuk didalamnya :
 Asam amino dan derivatnya, contoh glutamat, glisin, asetilkolin, epinefrin, dopamin, dan
hormon tiroid. Molekul ini berperan sebagai neurotransmitter dan hormon.
 Gas seperti NO dan CO
 Steroid yang merupakan derivat kolesterol. Hormon steroid mengatur diferensiasi
seksual, kehamilan, metabolisme karbohidrat, dan ekskresi ion sodium dan potasium.
 Eicosanoid, merupakan molekul non-polar yang mengandung 20 karbon yang merupakan
derivat asam lemak disebut asam arachinodic. Eicosanoid mengatur beragam proses
termasuk inflamasi, rasa sakit, tekanan darah, dan penggumpalan darah. Beberapa obat
bebas digunakan untuk mengobati sakit kepala dan inflamasi menghambat sintesis
eicosanoid.
 Beragam jenis polipeptida dan protein. Beberapa senyawa tersebut ditemukan sebagai
protein transmembran pada permukaan sel yang sedang berinteraksi. Beberapa yang
merupakan bagian atau memiliki asosiasi dengan matriks ekstraseluler. Akhirnya,
sejumlah besar protein diekskresi menuju lingkungan ekstraseluler, dimana protein ini
7
terlibat pada proses regulasi seperti pembelahan sel, diferensiasi, respon imun, atau
apoptosis sel dan pertahanan hidup sel.
Molekul pensinyalan ekstraseluler umumnya, tetapi tidak selalu dikenali oleh reseptor
spesifik yang ditemukan pada permukaan sel yang merespon. Pada ilustrasi gambar 2,
reseptor mengikat molekul pensinyalannya dengan afinitas tinggi dan menerjemahkan
interaksi tersebut di permukaan luar sel sampai terjadi perubahan di dalam sel. Reseptor yang
telah berevolusi untuk memediasi transduksi sinyal sebagai berikut:
 Reseptor protein G berpasangan (GPCRs) merupakan kelompok famili reseptor terbesar
yang terdiri atas tujuh  -helikase transmembran. Reseptor ini menerjemahkan molekul
pensinyalan ekstraseluler yang diikat menjadi protein GTP-pengikat aktif.
 Reseptor protein tirosin kinase (RTKs) mewakili kelompok reseptor kedua yang
berkembang untuk menerjemahkan molekul messenger ekstraseluler yang ada menjadi
sebuah bentuk perubahan yang terjadi di dalam sel. Pengikatan ligan ekstraseluler
spesifik dengan sebuah RTK akan menyebabkan dimerisasi reseptor yang diikuti oleh
aktivasi reseptor domain protein kinase, yang berada pada bagian dalam region
sitoplasmik. Setelah aktivasi, protein kinase yang spesifik terhadap residu tirosin pada
substrat protein sitoplasmik, akan merubah aktivitas, lokalisasi atau kemampuannya
untuk berinteraksi dengan protein lain di dalam sel.
 Saluran yang dibatasi ligan mewakili kelompok ketiga reseptor permukaan sel yang
mengikat ligan ekstraseluler. Kemampuan protein ini untuk menggerakkan ion melintasi
membran plasma diregulasi secara langsung oleh ligan pengikat. Aliran ion melintasi
membran dapat mengakibatkan perubahan sementara membran potensial yang
berpengaruh pada aktivitas protein membran lain, seperti protein channel yang dijaga
oleh muatan. Rangkaian peristiwa ini merupakan dasar formasi sebuah impuls saraf.
Sebagai tambahan, influks ion tertentu seperti Ca2+ dapat merubah aktivitas enzim
sitoplasmik tertentu. Sebuah kelompok terbesar pada channel ligan yang dibatasi muatan
berfungsi sebagai reseptor untuk neurotransmitter.
 Reseptor hormon steroid berperan sebagai ligan yang diatur oleh faktor transkripsi.
Hormon steroid berdifusi melalui membran plasma dan berikatan dengan reseptornya,
yang berada pada sitoplasma. Pengikatan hormon akan menyebabkan perubahan
konformasi yang menyebabkan reseptor kompleks hormon bergerak menuju nukleus dan
berikatan dengan elemen yang ada pada promotor atau enhancer gen hormon responsif.
Interaksi ini menimbulkan peningkatan atau penurunan laju transkripsi gen.
 Terakhir, terdapat sejumlah tipe reseptor lainnya yang bekerja dengan mekanisme yang
unik. Beberapa reseptor ini contohnya reseptor sel T dan B yang terlibat pada respon
terhadap antigen asing, berasosiasi dengan molekul pensinyalan yang diketahui seperti
protein tirosin kinase sitoplasmik. Kita akan membahas lebih mendalam mengenai
GPCR dan RTK.

3. Transduksi sinyal oleh protein reseptor G-berpasangan


Reseptor protein G berpasangan (GPCR) disebut demikian karena protein tersebut
berinteraksi dengan protein G yang akan dibahas nanti. Anggota superfamili GPCR juga
disebut sebagai reseptor tujuh transmembran (7TM) karena mengandung tujuh heliks
transmembran (Gambar 5b). Ribuan GPCR berbeda telah diidentifikasi pada organisme
berupa yeast sampai tanaman berbunga dan mamalia yang bersama-sama meregulasi
spektrum luar biasa pada proses seluler. Faktanya, GPCR merupakan superfamili terbesar
dari protein yang dikodekan oleh genom hewan. Termasuk didalamnya ligan alami yang
mengikat GPCR berupa variasi jenis hormon (pada hewan dan tumbuhan), neurotransmitter,
derivat opium, kemo-atraktan (contoh molekul yang memikat sel fagositik pada sistem imun),
odoran dan tastan (molekul yang dideteksi oleh reseptor olfaktori dan gustatoris

8
memunculkan indera penciuman dan perasa), dan foton. Berikut adalah sejumlah ligan yang
berperan pada jalur ini dan efektor tempat bekerja pada gambar tabel 4.

Gambar tabel 4. Contoh proses fisiologik yang dimediasi oleh GPCR dan protein G heterometrik.
Tabel menunjukkan jenis stimulus, nama reseptor penerima stimulus, efektor yang bereaksi serta
bentuk respon fisiologiknya

a. Reseptor
Reseptor protein G berpasangan memiliki topologi dimana amino terminusnya
ditemukan diluar sel, tujuh -heliks yang melintang pada membran plasma dihubungkan oleh
loop dengan panjang bervariasi, dan karboksil terminus berada pada bagian dalam sel
(Gambar 5b). terdapat tiga loop yang berada pada bagian luar sel, yang bersama-sama
membentuk kantung pengikat ligan, yang strukturnya bervariasi diantara GPCR yang berbeda.
Terdapat pula tiga loop yang berada pada area sitoplasmik membran plasma yang memiliki
tempat pengikatan untuk protein pensinyalan intraseluler. Sangat sulit secara teknis untuk
menyiapkan kristal GPCR tidak termodifikasi yang cocok untuk analisis kristalografi sinar-X.
selama beberapa tahun, rhodopsin merupakan satu-satunya anggota superfamili yang
memiliki struktur kristal sinar-X yang telah dideterminasi. Rhodopsin memiliki struktur stabil
yang tidak biasa untuk sebuah GPCR, merujuk pada fakta bahwa ligan-nya (sebuah grup
retinal) secara permanen berikatan dengan protein dan molekul protein dapat eksis dalam
bentuk konformasi inaktif tunggal tanpa keberadaan stimulus (ditempat gelap). Pada awal
tahun 2007, yang merupakan usaha selama bertahun-tahun oleh kelompok peneliti, sebuah
struktur kristal GPCR yang tidak jelas ditemukan paad sebuah literatur. Sebagian besar
struktur ini mengungkapkan bahwa GPCR pada kondisi yang inaktif, namun studi terbaru
menunjukkan struktur beberapa GPCR pada kondisi aktif dan intermediate.
Struktur kristal sinar-X GPCR pertama yang aktif bersama dengan protein G yang
berikatan ditemukan oleh Brian Kobilka dan kolega di Universitas Stanford. Konformasi
inaktif GPCR distabilisasi oleh interaksi nonkovalen diantara residu spesifik dalam -heliks
transmembran. Pengikatan ligan mengganggu interaksi ini, sehingga menyebabkan reseptor
mengasumsikan bentuk konformasi aktif. Hal ini memerlukan rotasi dan pergeseran -heliks
transmembran yang berhubungan satu sama lain. Karena  -heliks transmembran melekat
pada loop sitoplasmik, maka rotasi atau pergerakan pada  -heliks transmembran
menyebabkan perubahan konformasi loop sitoplasmik. Hal tersebut akan mengarah pada
peningkatan afinitas reseptor protein G yang berada pada permukaan sitoplasmik di membran
plasma (Gambar 5b). Sebagai konsekuensinya, reseptor pengikat ligand akan membentuk
sebuah kompleks protein G reseptor (Gambar 6 tahap 1). Interaksi dengan reseptor
menginduksi perubahan konformasional pada subunit  protein G, menyebabkan pelepasan
GDP yang diikuti pengikatan GTP (Gambar 6 tahap 2). Pada saat berada di fase aktif, sebuah

9
reseptor tunggal dapat mengaktivasi sejumlah molekul protein G, yang merupakan saran
untuk penguatan sinyal.

Gambar 5. Sistem pengikatan pada membran pada proses transduksi sinyal yang melibatkan reseptor tujuh
transmembran (7TM) dan sebuah protein G heterometrik. (a) reseptor tipe ini, termasuk tipe reseptor yang
mengikat epinefrin dan glukagon, mengandung tujuh heliks yang melintang pada membran. Saat berikatan
dengan ligannya, reseptor akan berinteraksi dengan sebuah protein G trimetrik, yang akan mengaktivasi
sebuah efektor seperti adenilil siklase. Sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar, subunit  dan  pada
protein G bertautan dengan membran melalui grup lipid yang tertanam pada lapisan lipid bilayer. (Catatan:
banyak GPCR dapat aktif dalam bentuk lebih dari dua molekul reseptor). (b) sebuah model yang
mnggambarkan aktivasi GPCR rhodopsin berdasarkan struktur kristalografik sinar-X. pad bagian kiri,
rhodopsin berada pada kondisi inaktif (dalam keadaan gelap) bersama dengan protein G heterometrik yang
tidak terikat (disebut transdusin). Pada saat kofaktor retinal (pada gambar berwarna merah muda yang
tertanam pada protein rhodopsin) menyerap proton, kofaktor retinal akan mengalami reaksi isomerisasi (dari
bentuk cis ke trans), yang akan menyebabkan gangguan ikatan ionik antara residu protein ketiga dan keenam
transmembran heliks. Peristiwa tersebut menyebabkan perubahan pada konformasi protein, termasuk
kemiringan luar dan rotasi heliks transmembran keenam (panah melengkung merah), yang memperlihatkan
situs pengikatan untuk subunit G  pada protein G. Molekul rhodopsin pada bagian kanan digambarkan dalam
bentuk aktif dengan bagian subunit G berikatan dengan reseptor sitoplasmik.

b. Protein G
Disebut protein G karena mengikat nukleotida guanin, baik GDP atau GTP. Disebut
heterotrimerik karena semua protein G memiliki tiga subunit polipeptida yang berbeda,
disebut subunit  ,  ,  . Subunit tersebut yang membedakannya dari protein G monomerik
berukuran kecil, seperti Ras. Protein heterotrimerik G berada di membran plasma dan diikiat
oleh rantai lipid yang secara kovalen melekat pada subunit  dan  (Gambar 5a).
Situs pengikatan nukleotida guanin terdapat pada subunit G. Penggantian GDP oleh
GTP, diikuti interaksi dengan GPCR teraktivasi, menghasilkan sebuah perubahan
konformasional pada subunit G  . Pada perubahan ikatan GTPnya, subunit G  memiliki
afinitas rendah terhadap G   , menyebabkan diasosiasi kompleks trimerik. Setiap diasosiasi
subunit G (dengan perlekatan GTP) akan bebas mengaktivasi sebuah protein efektor, seperti
adenilil siklase (Gambar 6 tahap 3). Pada peristiwa ini, aktivasi efektor mengarah pada
produksi messenger kedua cAMP (Gambar 6 tahap 4). Efektor lainnya termasuk fosfolipase
C- dan GMP fosfodiesterase siklik. Messenger kedua nantinya akan mengaktivasi satu atau
lebih protein pensinyalan seluler.

10
Sebuah protein G dikatakan aktif ketika subunit  -nya berikatan dengan GTP.
Subunit G  dapat meng-inaktivasi dirinya sendiri melalui hidrolisis GTP menjadi GDP dan
fosfat anorganik (Pi) (Gambar 6 tahap 5). Hal ini menghasilkan perubahan konformasional
yang menyebabkan sebuah penurunan afinitas terhadap efektor dan sebuah peningkatan
afinitas terhadap subunit . Diikuti dengan hidrolisis GTP, subunit G akan memutuskan diri
dengan efektor dan berasosiasi kembali dengan subunit  untuk membentuk kembali protein
G heterometrik inaktif (Gambar 6 tahap 6). Dalam arti, fungsi protein G heterotrimerik
sebagai trimer molekular, dimana protein ini akan diaktivasi melalui interaksi sebuah reseptor
teraktivasi dan menginaktivasi dirinya sendiri melalui hidrolisis ikatan GTP setelah beberapa
waktu berlalu. Pada saat aktif, subunit G dapat mengaktifkan efektor hilir.
Protein G heterotrimerik terdiri atas empat jenis yaitu Gs, Gq, Gi, dan G12/13.
Klasifikasi ini berdasarkan subunit G  dan efektor yang mereka pasangkan. Respon tertentu
ditimbulkan oleh sebuah GPCR teraktivasi bergantung pada tipe protein G yang berinteraksi
dengannya, walaupun beberapa GPCR dapat berinteraksi dengan protein G berbeda dan
memicu lebih dari satu respon fisiologik. Anggota famili Gs berpasangan dengan reseptor
adenilil siklase. Adenilil siklase diaktivasi oleh subunit Gs berikatan dengan GTP. Anggota
famili Gq terdiri atas subunit G  yang mengaktivasi PLC  . PLC  menghidrolisis
fosfatidilinositol bifosfat, menghasilkan inositol trifosfat dan diasilgliserol. Fungsi subunit Gi
yang teraktivasi melalui penghambatan adenilil siklase. Kelompok G12/13 tidak diketahui
secara mendalam dibandingkan kelompok famili protein G lainnya walaupun aktivasinya
dihubungkan dengan proliferasi sel berlebihan dan transformasi malignant. Mengikuti
pemisahan dari subunit G  , kompleks   juga memiliki fungsi pensinyalan dan dapat
berpasangan dengan sejumlah tipe efektor yang berbeda, termasuk PLC, channel ion K+ dan
Ca2+, dan adenilil siklase.

Gambar 6. Mekanisme aktivasi/inhibisi efektor yang


dimediasi reseptor dengan menggunakan protein G
heterotrimerik. Pada tahap 1, ligan berikatan dengan
reseptor, merubah konformasinya dan meningkatkan
afinitasnya terhadap protein G yang diikatnya. Tahap
2, subunit G  melepaskan GDPnya yang diganti oleh
GTP. Pada tahap 3, subunit G  memisah dari
kompleks G   dan berikatan dengan sebuah efektor
(adenilil siklase), sehingga mengaktifkan efektor.
Dimer G   dapat juga berikatan dengan sebuah
efektor (tidak ada pada gambar) seperti channel ion
atau sebuah enzim. Pada tahap 4, aktivasi adenilil
siklase memproduksi cAMP. Pada tahap 5, aktivitas
GTPase pada G  menghidrolisis ikatan GTP,
sehingga menginaktivasi G  . pada tahap 6, G 
berpasangan kebali dengan G   membentuk kembali
protein G trimerik, dan efektor menghentikan
aktivitasnya. Pada tahap 7, reseptor telah difosforilasi
oleh GRK, dan tahap 8 reseptor yang telah
difosforilasi tersebut telah berikatan dengan sebuah
molekul arrestin, yang menghambat ikatan reseptor
yang terikat ligan untuk mengaktivasi protein G
tambahan. Reseptor berikatan dengan arrestin
kemungkinan besar akan di endositosis.

11
c. Terminasi respon
Kita telah melihat bahwa pengikatan ligan menyebabkan aktivasi reseptor. Reseptor
aktif akan menghidupkan protein G, dan protein G akan mengaktifkan efektor. Untuk
mencegah stimulasi berlebihan, reseptor harus dihambat agar tidak terus-menerus
mengaktivasi protein G. untuk memperoleh kembali sensitivitas terhadap stimuli berikutnya;
reseptor, protein G dan efektor harus dikembalikan ke kondisi inaktif seperti semula.
Desensitisasi, sebuah proses yang menghambat reseptor aktif agar tidak mengaktivasi protein
G tambahan, terjadi melalui dua tahapan. Tahap 1, domain sitoplasmik pada GPCR
teraktivasi difosforilasi oleh kinase spesifik disebut protein G-coupled receptor kinase (GRK)
(Gambar 6 tahap 7). GRK berasal dari kelompok kecil protein kinase serin-threonin yang
secara spesifik mengenali GPCR teraktivasi.
Fosforilasi GPCR menyebabkan berlangsungnya tahap kedua, yaitu pengikatan
protein disebut arrestin (Gambar 6 tahap 8). Arrestin merupakan sekelompok kecil protein
yang berikatan dengan GPCR dan bersaing agar dapat berikatan dengan protein G
heterotrimerik. Akibatnya, ikatan yang dibentuk arrestin mencegah aktivasi protein G
tambahan di masa datang. Proses ini disebut desensitisasi karena sel berhenti merespon
stimulus walaupun stimulus baru tetap berdatangan di area luar permukaan sel. Desentisisasi
merupakan salah satu mekanisme yang memperbolehkan sel agar dapat merespon perubahan
lingkungannya, daripada melanjutkan rangkaian proses aktivasi secara terus menerus akibat
stimulus lingkungan yang tidak mengalami perubahan berarti. Arti pentingnya proses
desentisisasi dapat ditemukan melalui ilustrasi pada observasi mutasi yang menginterfensi
fosforilasi rhodosin oleh GRK mengarah pada matinya sel fotoreseptor di retina. Jenis sel
retinal seperti ini diduga merupakan salah satu penyebab kebutaan pada penyakit retinitis
pigmentosa.
Arrestin dapat digambarkan sebagai protein-hub yang memiliki kemampuan untuk
berikatan dengan beragam protein yang berbeda yang terlibat pada berbagai proses
intraseluler. Saat protein tersebut berikatan dengan GPCR terfosforilasi (Gambar 7 tahap 1),
molekul arrestin juga mampu berikatan dengan molekul adaptor AP2 yang terletak dilubang
berlapis clathrin (tahap 2). Interaksi antara arrestin terikat dan lubang berlapis clathrin
memicu penyerapan GPCR terfosforilasi ke dalam sel melalui endositosis. Bergantung pada
kondisinya, reseptor yang telah dihapus dari permukaan melalui endositosis dapat
berpartisipasi dalam beberapa hasil alternatif. Pada sejumlah kasus, receptor mengembara
disepanjang jalur endositik menuju endosom, sementara molekul arrestin terkait berperan
sebagai perancah untuk perakitan sejumlah kompleks pensinyalan sitoplasmik. Jalur MAPK
yang nantinya akan dibahas lebih jauh, diduga diaktivasi oleh arrestin terikat GPCR
terlokalisasi di dalam endosom (tahap 3). Penemuan “pensinyalan endosom” merupakan
suatu hal yang mengejutkan karena para peneliti mengangap bahwa GPCR (begitupula RTK)
hanya mampu melakukan transduksi sinyal bila berada di permukaan sel. Sekarang
ditemukan bahwa signal yang ditransmisi dari endosom memiliki properti dan peran
fisiologik yang berbeda dari transmisi sinyal yang berasal dari membran plasma. Pada hasil
yang kedua, lalu lintas internalisasi reseptor dapat berasal dari endosom menuju lisosom
dimana reseptor tersebut akan didegradasi (tahap 4). Jika reseptor didegradasi, sel akan
kehilangan sensitivitas sementara terhadap ligan yang dimaksud. Akhirnya, menurut skema
ketiga, arrestin terikat GPCR dapat difosforilasi dan dikembalikan ke membran plasma (tahap
5). Jika reseptor dikembalikan ke permukaan sel, sel akan tetap sensitif terhadap ligan
(disebut re-sensitisasi).
Pensinyalan melalui subunit G  teraktivasi diterminasi oleh mekanisme yang lebih
sederhana: molekul GTP terikat akan dihidrolisis menjadi GDP (Gambar 6, tahap 5).

12
Sehingga, kekuatan dan durasi signal ditentukan sebagian oleh rerata hidrolisis GTP melalui
subunit G  . Subunit G  memiliki aktivitas GTPase yang lemah, yang memungkinkannya
untuk menghidrolisis GTP terikat secara perlahan dan menginaktivasi dirinya sendiri.
Terminasi respon diakselerasi oleh regulator pensinyalan protein G (RGS). Interaksi dengan
sebuah protein RGS meningkatkan rerata hidrolisis GTP oleh subunit G  . Saat GTP telah
dihidrolisis, G-GDP akan berasosiasi kembali dengan subunit G untuk membentuk kembali
kompleks trimerik inaktif (tahap 6). Sehingga membuat sistem kembali dalam kondisi
istirahat. Mekanisme untuk transmisi sinyal melintasi membran plasma oleh protein G berasal
dari proses evolusi yang telah lama berlangsung dan tetap dipertahankan.

Gambar 7. Arrestin yang dimediasi internalisasi


GPCR. Arrestin terikat GPCR (tahap 1)
diinternalisasi saat terjebak pada lubang berlapis
clathrin yang menonjol kedalam sitoplasma (tahap 2).
Kuncup berlapis clathrin ditransformasi menjadi
clathrin berlapis vesikel yang membawa senyawanya
termasuk GPCR ke endosom. Saat berada di
endosom, arrestin berperan sebagai perancah
penyusunan kompleks pensinyalan, termasuk
pensinyalan yang mengaktivasi kaskade MAPK dan
faktor transkripsi ERK (tahap 3). Kemungkinan lain,
GPCR dapat dibawa ke lisosom untuk didegradasi
(tahap 4), atau GPCR dapat dikembalikan ke
membran plasma di dalam sebuah endosom pendaur-
ulang (tahap 5), dimana GPCR dapat berinteraksi
dengan ligan ekstraseluler yang baru (tahap 6).

Karena protein G merupakan hal penting dalam fungsi fisiologik organisme


multiseluler, maka protein G merupakan target utama bagi bakteri patogen. Contoh, toksin
kolera (diproduksi oleh bakteri Vibrio cholerae) mengerahkan efeknya melalui modifikasi
subunit G  dan menghambat aktivitas GTPase host pada sel epitel intestinal. Hasilnya,
molekul adenilil siklase tetap berada pada kondisi aktif, terus mengeluarkan cAMP yang
menyebabkan sel epitelial mensekresi sejumlah besar volume cairan di lumen intestinum.
Proses kehilangan air berkaitan dengan respon yang tidak wajar ini sehingga mengarah pada
kematian karena dehidrasi. Toksin pertussis merupakan salah satu faktor virulensi yang
dihasilkan oleh Bordetella pertussis, sebuah mikroorganisme yang menyebabkan batuk rejan.
Batuk rejan melemahkan saluran respirasi pada 50.000 juta penderita di seluruh dunia setiap
tahunnya, menyebabkan kematian sekitar 350.000 kasus per tahun. Toksin pertussis juga
menyebabkan inaktivasi subunit G  , sehingga menginterferensi jalur pensinyalan yang
mengarahkan sel host agar membentuk respon defensif terhadap infeksi bakteri.

4. Messenger kedua (turunan senyawa fosfatidilinositol sebagai messenger kedua,


fosfolipase C)
AMP siklik merupakan sebuah messenger kedua yang mampu berdifusi kebagian
lain di dalam sel. Sintesis AMP siklik mengikuti peristiwa pengikatan messenger
pertamasebuah hormon atau ligan lainnyapada sebuah reseptor di permukaan terluar sel.
Contoh pada difusi AMP siklik kedalam sitoplasma sebuah sel neuron mengikuti stimulasi
oleh molekul messenger ekstraseluler. Messenger pertama berikatan secara eksklusif dengan
jenis reseptor tunggal, messenger kedua kadang menstimuli beragam aktivitas seluler.
Sehingga messenger kedua memungkinkan sel untuk melakukan serangkaian respon berskala

13
besar dan terkoordinasi setelah stimulasi oleh sebuah ligan ekstraseluler tunggal. Messenger
kedua lainnya termasuk Ca2+, fosfoinositida, inositol trifosfat, diasilgliserol, cGMP dan nitrit
oksida.

Turunan senyawa fosfatidilinositol sebagai messenger kedua


Fosfolipid membran sel dianggap hanya sebagai molekul struktural saja yang
menyusun kohesifitas membran dan sifat impermeabel terhadap zat yang larut dalam air.
Namun, fosofolipid bukan hanya berperan sebagai penyusun struktur tetapi juga mampu
membentuk prekursor sejumlah molekul messenger kedua. Fosfolipid membran sel
dikonversi menjadi messenger kedua oleh sejumlah jenis enzim yang diregulasi pada respon
signal ekstraseluler. Enzim yang termasuk adalah fosfolipase (enzim pemecah lipid),
fosfolipid kinase (enzim yang memfosforilasi lipid), dan fosfolipid fosfatase (enzim yang
men-de-fosforilasi lipid). Fosfolipase merupakan enzim yang menghidrolisis ikatan ester
spesifik yang menghubungkan berbagai kompleks lipid yang menyusun sebuah molekul
fosfolipid (Gambar 8). Pada gambar ditunjukkan bagian yang terpotong pada struktur umum
fosfolipid yang diserang oleh enzim fosfolipase yang disebutkan sebelumnya. Enzim ini
dapat diaktivasi sebagai bentuk respon terhadap signal ekstraseluler dan produk yang
dihasilkan berfungsi sebagai messenger kedua. Pada bagian ini akan dibahas messenger
kedua berupa lipid yang merupakan derivat fosfatidilinositol dan dihasilkan setelah transmisi
sinyal oleh reseptor berpasangan protein G dan protein tirosin-kinase. Saat neurotransmiter
asetilkolin berikatan dengan permukaan sel otot halus pada dinding abdomen perut, sel otot
akan distimulasi agar berkontraksi. Saat antigen asing terikat dengan permukaan sel mast, sel
akan terstimulasi untuk mensekresi histamin, sebuah substansi yang dapat memicu simptom
serangan alergi. Pada kedua bentuk respon tersebut, salah satunya mengarah pada kontraksi
sedang lainnya mengarah pada sekresi, yang sama-sama dipicu oleh messenger kedua, sebuah
substansi yang berasal dari derivat senyawa fosfatidil (komponen minor pada kebanyakan
membran seluler).

Gambar 8. Messenger kedua yang berbasis lipid. Struktur fosfolipid secara umum.

Fosfolipase C
Tidak semua messenger kedua yang mengandung inositol berada di lipid membran
bilayer. Saat asetilkolin berikatan dengan sel otot halus, atau sebuah antigen berikatan dengan
sel mast, reseptor yang terikat akan mengaktivasi protein G heterotrimerik yang akan
mengaktivasi efektor fosfatidilinositol-spesifik fosfolipase C-. PLC berada di permukaan
dalam membran. Terikat di membran karena interaksi antara domain pH dan fosfoinositida

14
yag tertanam di lapisan bilayer. PLC mengkatalisis sebuah reaksi yang memecah PI(4,5)P2
menjadi dua molekul yaitu inositol 1,4,5 trifosfat (IP3) dan diasilgliserol (DAG). Keduanya
memegang peranan penting sebagai messenger kedua pada pensinyalan sel (Gambar 9).
Diasilgliserol (Gambar 9) sebuah molekul lipid yang berada dibagian membran plasma yang
formasinya mengikuti PLC. Diasilgliserol akan merekrut dan mengaktivasi protein efektor
yang mengandung sebuah domain C1 DAG-berikatan. Efektor yang baik untuk dijadikan
contoh adalah famili protein yang disebut protein kinase C (PKC) yang akan memfosforilasi
residu serin dan treonin pada berbagai macam protein target. Isoform protein kinase C
memliki sejumlah peran dalam pertumbuhan seluler dan diferensiasi, metabolisme seluler,
kematian sel, dan respon imun.
Inositol 1,4,5 trifosfat (IP3) merupakan gula fosfat berukuran kecil, larut di dalam air
sehingga dapat berdifusi secara cepat melewati interior sel. Molekul IP3 dibentuk di membran
berdifusi ke sitosol (Gambar 9) dan berikatan dengan reseptor spesifik IP3, yang berlokasi
pada permukaan RE halus. Diketahui bahwa RE halus berperan sebagai tempat penyimpanan
kalsium pada beragam jenis sel. Reseptor IP3 berfungsi sebagai channel Ca2+ tetramerik.
Pengikatan IP3 membuka channel, sehingga memungkinkan ion Ca2+ berdifusi ke sitoplasma
(Gambar 9). Ion kalsium dapat pula dianggap sebagai messenger kedua karena ion kalsium
dapat berikatan dengan beragam molekul target, memicu respon spesifik. Kontraksi sel otot
halus dan eksositosis histamin yang mengandung granula sekretoris pada sel mast dipicu oleh
peningkatan level kalsium. Begitupula respon sel hati terhadap hormon vasopresin (hormon
yang memiliki aktivitas antidiuretik pada ginjal). Vasopresin akan berikatan dengan
reseptornya pada permukaan sel hati dan menyebabkan pemecahan IP3 yang dimediasi oleh
pelepasan ion Ca2+.

Gambar 9. Turunan messenger kedua sebagai akibat dari ikatan ligan-diinduksi pemecahan fosfoinositida (PI) pada
lipid bilayer. Pada tahap 1 dan 2, grup fosfat ditambahkan oleh lipid kinase pada PI untuk membentuk PIP2. Saat
stimulus diterima oleh reseptor, ligan yang terikat reseptor mengaktivasi protein G heterotrimerik yang mengandung
subunit G q (tahap 3), yang akan mengaktivasi enzim PI spesifik fosfolipase C- (tahap 4), yang mengkatalisis reaksi
dimana PI(4,5)P2 dipecah menjadi diasilgliserol (DAG) dan inositol 1,4,5 trifosfat (IP3) (tahap 5). DAG akan
merekrut protein kinase PKC ke membran dan mengaktifkan enzim (tahap 6). IP3 berdifusi ke sitosol (tahap 7),
dimana ia akan berikatan dengan reseptor IP3 dan channel Ca2+ pada membran SER (tahap 8). Pengikatan IP3
pada reseptornya menyebabkan pelepasan ion kalsium ke sitosol (tahap 9).

15
5. Spesifisitas respon protein G-coupled
Sejumlah jenis agen, termasuk hormon, neurotransmitter, dan stimuli sensoris
bekerja seperti halnya GPCR dan protein G heterotrimerik mentransmisi informasi melintasi
membran plasma, memicu berbagai macam respon seluler. Kelompok GPCR mampu
mengikat berbagai jenis ligan. Sebagai tambahan, reseptor untuk ligan tertentu dapat
memiliki beragam bentuk (isoform). Contoh, ditemukan sembilan bentuk isoform berbeda
pada reseptor adrenergik yang mengikat epinefrin, dan 15 bentuk isoform berbeda untuk
reseptor serotonin, sebuah neurotransmitter yang dilepaskan oleh sel saraf di otak. Isoform
berbeda dapat memiliki afinitas berbeda pada ligan atau dapat berinteraksi dengan tipe
protein G yang berbeda. Sebuah reseptor dengan isoform yang berbeda dapat ditemukan pada
membran plasma yang sama, atau dapat pula ditemukan pada membran dari berbagai jenis sel
target. Protein G heterotrimerik yang mentransmisi signal dari reseptor ke efektor dapat pula
memiliki bentuk yang beragam, begitupula efektor. Genom manusia mengkode setidaknya 16
subunit G  yang berbeda, lima subunit G  yang berbeda, dan 11 subunit G  yang beda,
bersama denga sembilan isoform efektor adenilil siklase. Kombinasi berbeda pada subunit
spesifik menyusun protein G memiliki kemampuan yang berbeda untuk bereaksi bersama
isoform spesifik pada reseptor dan efektor.
Protein G bekerja dengan cara menghambat kerja efektornya. Stimulus yang sama
dapat mengaktivasi protein G stimulator (yang memiliki subunit G s) didalam sebuah sel dan
protein G inhibitor (memiliki subunit G  i) didalam sel yang berbeda. Contoh pada saat
epinefrin berikatan dengan reseptor adrenergik beta pada sel otot jantung, protein G dengan
subunit G  s teraktivasi, yang nantinya menstimulasi produksi cAMP, sehingga mengarah
pada peningkatan laju dan kekuatan kontraksi. Sebaliknya, ketika epinefrin berikatan dengan
reseptor adrenergik alfa pada sel otot halus di usus, sebuah protein G dengan subunit G  I
teraktivasi, sehingga menghambat produksi cAMP, menyebabkan relaksasi otot. Akhirnya,
beberapa reseptpr adrenergik mengaktifkan protein G dengan subunit Gq yang menyebabkan
aktivasi PLC  . Sehingga jelas, messenger ekstraseluler yang sama dapat mengaktivasi
beragam jalur berbeda pada lokasi sel yang berbeda.

6. Regulasi kadar glukosa darah (mobilisasi glukosa, amplifikasi sinyal, aspek lain
pada sinyal melalui jalur transduksi cAMP)
Glukosa dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh hampir semua tipe sel yang
ada di dalam tubuh. Glukosa dioksidasi menjadi CO2 dan H2O melalui glikolisis dan siklus
asam trikarboksilik (TCA), sehingga menghasilkan ATP bagi sel yang dapat digunakan untuk
mendorong reaksi yang membutuhkan energi. Tubuh mempertahankan level glukosa di darah
dalam jumlah yang sedikit. Glukosa berlebih akan disimpan dalam bentuk glikogen, sebuah
polimer besar bercabang yang menyusun monomer glukosa yang memiliki ikatan glikosidik.
Hormon glukagon diproduksi oleh sel alfa pankreas sebagai bentuk respon terhadap
rendahnya kadar glukosa. Glukagon menstimulasi pemecahan glikogen dan melepaskan
glukosa ke darah, sehingga menyebabkan level glukosa meningkat. Hormon insulin
diproduksi oleh sel beta pankreas sebagai respon terhadap peningkatan kadar glukosa dan
menstimulasi penyerapan glukosa untuk disimpan dalam bentuk glikogen. Akhirnya,
epinefrin, yang juga sering disebut hormon “fight or flight” diproduksi oleh kelenjar adrenal
pada kondisi stress. Epinefrin menyebabkan peningkatan glukosa darah sebagai sumber
energi bagi tubuh yang dibutuhkan pada kondisi stress.
Insulin bekerja melalui sebuah reseptor protein tirosin-kinase dimana jalur
pensinyalannya akan dibahas di sub bab 10. Sebaliknya, glukagon dan epinefrin bekerja
dengan cara melakukan pengikatan dengan GPCR. Glukagon merupakan protein berukuran
kecil yang terdiri dari 29 asam amino, sedang epinefrin adalah protein berukuran kecil yang
merupakan derivat asam amino tirosin. Dari segi struktur, kedua molekul tersebut tidak
16
memiliki kesamaan, namun keduanya mengikat GPCR dan menstimulasi pemecahan
glikogen menjadi glukosa 1-fosfat (Gambar 10). Sehingga, pengikatan GPCR oleh kedua
hormon ini mengarah pada inhibisi enzim glikogen sintase, yang mengkatalisis reaksi yang
berlawanan dimana unit glukosa ditambahkan ke molekul glikogen yang sedang bertumbuh.
Jadi kedua stimulus tersebut (glukagon dan epinefrin), dikenali oleh reseptor yang berbeda,
menginduksi respon pada sebuah sel target yang sama. Kedua reseptor pada dasarnya berbeda
satu sama lain pada struktur kantong pengikat ligan di permukaan ekstraseluler sel, yang
spesifik untuk satu atau lebih hormon berbeda. Setelah aktivasi oleh ligan masing-masing,
kedua reseptor mengaktifkan protein G heterotrimerik yang sama yang menyebabkan
peningkatan kadar cAMP.

Gambar 10. Reaksi yang menyebabkan


penyimpanan glukosa atau mobilisasi. Aktivitas dua
enzim utama pada reaksi ini, glikogen fosforilase
dan glikogen sintase dikendalikan oleh hormon yang
bekerja melalui jalur transduksi signal. Glikogen
fosforilase diaktivasi sebagai bentuk respon dari
glukagon dan epinefrin, sedangkan glikogen sintase
diaktivasi sebagai bentuk respon terhadap insulin.

Mobilisasi glukosa: sebuah contoh bentuk respon yang diinduksi cAMP


cAMP disintesis oleh adenilil siklase, sebuah protein membran integral yang domain
katalitiknya berada di permukaan dalam membran plasma (Gambar 11). cAMP menimbulkan
sebuah respon yang mengarah pada mobilisasi glukosa dengan cara menginisiasi sebuah
reaksi berantai, seperti yang diilustrasikan pada gambar 12. Tahapan pertama pada rangkaian
reaksi ini adalah reaksi kaskade yang terjadi pada saat hormon berikatan dengan reseptornya,
mengaktifkan subunit G s, sehingga mengaktifkan efektor adenilil siklase. Enzim teraktivasi
mengkatalisis formasi cAMP (tahap 1 dan 2, Gambar 12).

17
Gambar 11. Formasi AMP siklik dari ATP yang
dikatalis oleh adenilil siklase, sebuah protein
integral membran yang memiliki dua bagian, setiap
bagian memiliki enam transmembran heliks
(nampak pada gambar dua dimensi). Sisi aktif enzim
berlokasi pada permukaan dalam membran di
dalam sebuah celah yang berada diantara domain
sitoplasmik yang serupa. Pemecahan cAMP (tidak
ditunjukkan pada gambar) dilakukan oleh sebuah
fosfodiesterase yang mengkonversi nukleotida siklik
menjadi 5’ monofosfat.

Setelah terbentuk, molekul cAMP berdifusi kedalam sitoplasma dan berikatan


dengan sebuah situs allosterik pada sebuah subunit regulatori cAMP-dependent protein
kinase (protein kinase A, PKA) (tahap 3, gambar 12). Pada bentuk inaktifnya, PKA adalah
sebuah heterotetramer yang tersusun atas dua subunit regulatori (R) dan dua subunit katalitik
(C). pada kondisi normal, subunit regulatori menghambat aktivitas katalitik enzim.
Pengikatan cAMP menyebabkan dis-asosiasi subunit regulatori, sehingga menyebabkan
pelepasan subunit katalitik aktif PKA. Target substrat PKA pada sel hati termasuk dua enzim
yang memegang peranan penting dalam metabolisme glukosa, yaitu glikogen sintase dan
fosforilase kinase (tahap 4 dan 5, gambar 12). Fosforilasi glikogen sintase menghambat
aktivitas katalitiknya dan menghambat konversi glukosa menjadi glikogen. Sebaliknya,
fosforilasi fosforilase kinase mengaktifkan enzim untuk mengkatalisis transfer grup fosfat ke
molekul glikogen fosforilase. Penemuan Krebs dan Fischer menyebutkan bahwa penambahan
sebuah grup fosfat tunggal pada sebuah residu serine di polipeptida glikogen fosforilase
mengaktifkan enzim ini (tahap 6), menstimulasi pemecahan glikogen (tahap 7). Glukosa 1-
fosfat terbentuk dalam sebuah reaksi diubah menjadi glukosa, yang akan berdifusi masuk ke
dalam aliran darah dan mencapai jaringan lain di dalam tubuh (tahap 8).
Seperti yang diharapkan, sebuah mekanisme harus ada untuk membalikkan tahapan
yang dijelaskan diatas tadi; jika tidak sel akan tetap berada pada kondisi teraktivasi secara
berkepanjangan. Sel hati mengandung fosfatase yang menghilangkan gugus fosfat yang
ditambahkan oleh kinase. Anggota tertentu pada famili enzim ini, protein 1-fosfatase, dapat
menghilangkan fosfat dari semua enzim terfosforilasi (Gambar 12); fosforilase kinase,
glikogen sintase, dan glikogen fosforilase. Destruksi molekul cAMP yang terjadi di dalam sel
dilakukan oleh enzim cAMP fosfodiesterase yang membantu terminasi respon.

18
Gambar 12. Respon oleh sebuah sel hati terhadap glukagon dan epinefrin. Tahapan setelah menanggapi rangsangan
hormonal mengarah pada mobilisasi glukosa seperti yang dijelaskan didalam paragraf diatas. Banyak tahapan pada
kaskade reaksi diikuti oleh amplifikasi signal dramatis. Tahapan mengarah pada amplifikasi ditandai dengan panah
biru. Aktivasi transkripsi oleh CREB terjadi dalam hubungannya dengan rangkaian koaktivator biasa (contoh p300
dan CBP) dan kompleks modifikasi kromatin (tidak ditunjukkan digambar).

Amplifikasi signal
Pengikatan sebuah molekul hormon tunggal pada permukaan sel dapat mengaktivasi
sejumlah protein G, dimana setiap protein dapat mengaktivasi efektor adenilil siklase, dan
memproduksi messenger cAMP dengan jumlah besar dalam jangka waktu yang singkat.
Hingga, produksi messenger kedua memungkinkan sebuah mekanisme yang dapat
mengamplifikasi signal yang berasal dari pesan awal. Banyak tahapan pada rangkaian reaksi
diilustrasikan pada Gambar 12 menyebabkan amplifikasi signal (tahapan ini diindikasikan
dengan tanda panah biru). Molekul cAMP mengaktifkan PKA. Setiap subunit katalitik PKA
memfosforilasi sebuah kelompok besar molekul fosforilase kinase, yang nantinya akan
memfosforilasi kelompok molekul glikogen fosforilase dalam jumlah yang lebih besar,
sehingga dapat mengkatalisis formasi glukosa fosfat dalam jumlah yang banyak. Dengan
demikian, sesuatu yang dimulai dengan stimulus yang hampir tidak terlihat di permukaan sel
dengan cepat diubah menjadi mobilisasi glukosa dalam jumlah besar di dalam sel.

Aspek lain pada jalur transduksi signal cAMP


Walaupun studi terbaru dan tercepat mengenai efek cAMP diproduksi di sitoplasma,
nukleus dan gennya juga berpartisipasi dalam respon tersebut. Sebuah fraksi molekul PKA
teraktivasi ditranslokasi menuju nukleus dimana molekul PKA akan memfosforilasi protein
nuklear utama (tahap 9 Gambar 12), terutama faktor transkripsi yang disebut CREB (respon

19
elemen cAMP terikat protein). Versi terfosforilasi CREB mengikat dalam bentuk sebuah
dimer di situs DNA (Gambar 12 tahap 10) yang mengandung sekuens nukleotida tertentu
(TGACGTCA), yang dikenal sebagai cAMP response element (CRE). Elemen respon
merupakan situs pada DNA dimana faktor transkripsi mengikat dan meningkatkan laju
inisiasi transkripsi. CRE berlokasi pada area regulator pada gen yang memegang peranan
dalam respon terhadap cAMP. Pada sel hati, contohnya beberapa enzim terlibat dalam
glukogenesis, sebuah siklus dimana glukosa dibentuk dari glikolisis intermediate, yang
dikode oleh yang terletak didekat CRE. Dengan demikian, epinefrin dan glukagon tidak
hanya mengaktifkan enzim katabolik yang terlibat dalam pemecahan glikogen, tetapi juga
terlibat dalam sintesis enzim anabolik yang dibutuhkan untuk sintesis glukosa dari prekursor
berukuran lebih kecil.
cAMP diproduksi oleh beragam sel sebagai bentuk respon terhadap adanya variasi
ligan berbeda. Beberapa respon hormonal dimediasi oleh cAMP pada sel mamalia seperti
yang tertera pada gambar tabel 13. Jalur APM siklik terlibat pada proses yang berlangsung
pada sistem saraf, termasuk proses belajar, sistem memori, dan adiksi obat. Penggunaan
opium kronik contohnya menyebabkan peningkatan level adenilil siklase dan PKA, yang
secara parsial bertanggungjawab terhadap respon fisiologik yang terjadi selama penghentian
konsumsi obat. Siklik nukleotida lainnya, GMP siklik juga berperan sebagai messenger kedua
di dalam sel tertentu diilustrasikan oleh relaksasi yang diinduksi pada sel otot halus yang
akan dibahas di sub bab 11. GMP siklik juga memegang peranan penting pada jalur
pensinyalan yang melibatkan penglihatan.

Gambar tabel 13. Contoh respon hormon yang diinduksi oleh mediasi cAMP

Karena cAMP mengerahkan sebagaian besar pengaruhnya dengan mengaktivasi


PKA, respon sel tertentu terhadap cAMP biasanya ditentukan oleh protein spesifik yang
difosforilasi oleh kinase ini (Gambar 14). Walaupun aktivasi PKA didalam sel hati sebagai
bentuk respon terhadap epinefrin mengarah pada pemecahan glikogen, aktivasi enzim yang
sama didalam sel tubulus ginjal sebagai respon terhadap vasopresin menyebabkan
peningkatan permeabilitas membran terhadap air, dan aktivasi enzim pada sel tiroid sebagai
bentuk respon terhadap TSH mengarah pada sekresi hormon tiroid. Sehingga jelas, PKA
harus memfosforilasi substrat berbeda pada setiap tipe sel ini, sehingga menghubungkan
peningkatan level cAMP yang diinduksi oleh epinefrin, vasopresin, dan TSH untuk respon
fisiologis berbeda.

20
Gambar 14. Ilustrasi skematik beragam proses yang
dapat dipengaruhi oleh perubahan konsentrasi
cAMP. Semua efek ini diduga dimediasi oleh
aktivasi enzim yang sama, protein kinase A.
faktanya, hormon yang sama dapat menimbulkan
respon berbeda pada sel yang berbeda, bahkan pada
saat hormon berikatan dengan reseptor yang sama.
Contohnya epinefrin berikatan dengan reseptor
adrenergik beta yang sama dengan di sel hati, sel
lemak, dan sel otot halus usus, menyebabkan
produksi cAMP pada ketiga tipe sel tersebut.
Namun, responnya secara umum berbeda: glikogen
dipecah di sel hati, triasilgliserol dipecah di sel
lemak, dan sel otot halus mengalami fase relaksasi.
Karena adanya PKA, cAMP diketahui berinteraksi
dengan channel ion fosfodiesterase dan GEFs.

Lebih dari seratus substrat PKA telah ditemukan. Kebanyakan substrat tersebut
menyebabkan fungsi yang berbeda, yang menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya
PKA memfosforilasi susbtrat yang sesuai sebagai bentuk respon terhadap stimulus tertentu,
pada tipe sel tertentu. Pertanyaan ini terjawab melalui observasi bahwa setiap sel yang
berbeda mengekspresikan substrat PKA yang berbeda dan sebagian dengan ditemukannya
protein penahan PKA atau AKAP yang berfungsi sebagai penghubung pensinyalan. AKAP
pertama yang ditemukan dalam bentuk protein yang dimurnikan bersama PKA. Setidaknya
ada 50 lebih AKAP yang telah ditemukan, beberapa dapat dilihat pada gambar 15.
Sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar 15, AKAP memberikan kerangka struktural atau
perancah untuk mengkoordinasi interaksi protein-protein dengan mengasingkan PKA ke
lokasi tertentu di dalam sel. Sebagai bentuk konsekuensinya, PKA terakumulasi didekat satu
atau lebih substrat. Saat level cAMP meningkat dan PKA teraktivasi, substrat relevan berada
disekitarnya sehingga pertama kali mengalami fosforilasi. Pemilihan substrat sebagaian besar
merupakan konsekuensi dari lokalisasi subseluler PKA dengan adanya substrat tertentu. Sel
berbeda akan mengekspresikan AKAP yang berbeda, menyebabkan lokalisasi PKA karena
adanya substrat berbeda dan fosforilasi substrat yang berbeda yang diikuti dengan
peningkatan level cAMP. Penting diketahui bahwa tidak seperti kebanyakan protein yang
memiliki fungsi yang sama, AKAP memiliki struktur yang beragam, yang mengindikasikan
bahwa proses evolusi memaksa timbulnya beragam tipe protein berbeda agar memiliki
peranan pensinyalan yang serupa di dalam sel.

21
Gambar 15. Representasi skematik kompleks pensinyalan AKAP yang terjadi didalam kompartemen subseluler yang
berbeda. AKAP disetiap protein kompleks tersebut ditandai dengan kotak berwarna ungu. Pada setiap kasus, AKAP
membentuk sebuah perancah yang membawa molekul PKA bertemu substrat potensial dan protein lainnya yang
terlibat pada jalur pensinyalan, termasuk fosfatase (segitiga hijau) yang dapat menghilangkan gugus fosfat tambahan
dan fosfodiesterase yang dapat melakukan terminasi pensinyalan yang berlangsung. AKAP yang ditunjukkan pada
gambar menarget PKA pada sejumlah kompartemen berbeda, termasuk membran plasma, mitokondria, sitoskeleton,
sentrosom, dan nukleus.

7. Peranan GPCRs dalam persepsi sensoris


Kemampuan kita untuk melihat, merasa, dan mencium aroma sebagian besar
bergantung pada GPCR. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, rhodopsin yang memiliki
struktur dan aktivasi seperti yang diilustrasikan pada gambar 5b adalah sebuah GPCR.
Rhodopsin merupakan protein yang sensitif terhadap cahaya ditemukan pada sel batang retina,
yang merupakan sel fotoreseptor yang merespon intensitas cahaya rendah dan berperan
menunjukkan penglihatan hitam putih pada malam hari, atau pada saat berada di tempat gelap.
Beberapa protein yang masih memiliki hubungan dekat dengan GPCR dapat pula ditemukan
pada sel kerucut retina, yang memberikan penglihatan berwarna pada kondisi terang.
Absorbsi foton cahaya tunggal menginduksi sebuah perubahan konformasional pada molekul
rhodopsin, yang akan mentransmisi sebuah signal ke protein G heterotrimerik (disebut
transdusin), yang akan mengaktivasi sepasang efektor. Efektor berupa enzim cGMP
fosfodiesterase, menghidrolisis nukleotida siklik cGMP, sebuah messenger kedua yang
memiliki struktur serupa dengan cAMP (Gambar 11). cGMP memegang peranan penting
dalam eksitasi visual di dalam sel batang retina. Pada kondisi gelap, level cGMP tetap tinggi
dan dengan demikian mampu berikatan dengan channel natrium berpagar cGMP pada
membran plasma, menjaga agar channel tersebut tetap pada konfigurasi terbuka, mengarah
pada arus ionik berterusan ke dalam sel (disebut sebagai “dark current”). Aktivasi cGMP
fosfodiesterase menyebabkan penurunan level cGMP, sehingga terjadi penutupan channel
sodium. Respon yang tidak biasa ini dipicu oleh penurunan konsentrasi sebuah messenger
kedua, sehingga mengarah pada pembentukan potensial aksi disepanjang saraf optik.

22
Indera penciuman dapat bekerja bergantung pada impuls saraf yang ditransmisikan
disepanjang neuron olfaktori yang memanjang dari epitelium rongga nasal bagian atas sampai
ke bulbus olfaktori yang berlokasi di batang otak. Ujung distal neuron ini, yang berlokasi di
nasal epitelium mengandung reseptor bau, yang merupakan GPCR yang mampu mengikat
beragam senyawa kimiawi yang masuk ke dalam rongga hidung. Reseptor bau mamalia
pertama kali diidentifikasi pada tahun 1991 oleh Linda Buck dan Richard Axel dari
Universitas Columbia. Diestimasikan bahwa manusia mengekspresikan kurang lebih 400
reseptor bau yang disatukan dapat digabungkan dengan berbagai macam struktur kimiawi
yang berbeda (odor/bau). Setiap reseptor olfaktori mengekspresikan hanya satu alel dari salah
satu dari ratusan gen reseptor bau yang berbeda. Karena itu, setiap saraf sensoris ini hanya
mengandung satu reseptor bau spesifik dan hanya mampu merespon satu atau beberapa
senywa kimiawi yang serupa. Sehingga hasilnya, aktivasi neuron yang berbeda yang
mengandung reseptor bau yang berbeda memberi kita persepsi aroma yang berbeda. Hal ini
tidak berarti bahwa satu senyawa kimiawi tidak dapat berinteraksi dengan lebih dari satu
reseptor olfaktoris, melainkan kombinasi spesifik dari reseptor yang diaktifkan oleh senyawa
itu mungkin memainkan peranan kunci dalam menghasilkan bau tertentu. Mutasi pada
pengkodean gen spesifik reseptor bau tertentu dapat menyebabkan seseorang memiliki
inabilitas untuk mendeteksi senyawa kimiawi tertentu di lingkungannya dimana kebanyakan
anggota populasi dapat melakukannya. Saat diaktivasi oleh ikatan ligan, reseptor signal bau
melalui protein G heterotrimerik ke adenilil siklase, menyebabkan sintesis cAMP dan
pembukaan channel ion berbatas cAMP. Respon ini mengarah pada generasi potensial aksi
yang ditransmisikan ke otak.
Persepsi kita mengenai rasa tidak berbeda dengan persepsi kita mengenai bau. Setiap
reseptor sel perasa pada lidah menyampaikan rasa dari lima jenis kualitas rasa yang dimiliki
yaitu asin, asam, manis, pahit, atau umami. Sel reseptor rasa menimbulkan rasa umami
sebagai bentuk respon terhadap asam amino aspartat dan glutamat serta terhadap purin
nukleotida, sehingga menimbulkan persepsi rasa makanan asin. Hal ini merupakan alasan
mengapa monosodium glutamat dan disodium guanilat dipakai sebagai penyedap rasa. Rasa
umami mendorong mamalia untuk mengkonsumsi makanan dengan kadar protein tinggi.
Pesepsi bahwa suatu makanan atau minuman itu asin atau asam ditimbulkan oleh ion sodium
atau proton pada makanan. Ion ini akan melewati sel reseptor membran plasma via channel
Na+ atau H+, sehingga masing-masing mengarah pada depolarisasi sel membran plasma.
Sebaliknya, persepsi bahwa makanan itu pahit, manis, atau asin bergantung pada senyawa
yang berinteraksi dengan GPCR di permukaan reseptor sel. Manusia mengkode kurang lebih
30 kelompok reseptor perasa pahit disebut T2Rs yang berpasangan dengan protein G
heterotrimerik yang sama. Sebagai sebuah grup, reseptor perasa ini dapat mengikat beragam
senyawa, termasuk alkaloid tanaman atau sianida, yang akan memunculkan rasa pahit di
dalam mulut. Sebagian besar substansi yang menimbulkan persepsi ini adalah senyawa toksik
sehingga tercipta rasa tidak menyenangkan, respon protektif yang menyebabkan kita
memuntahkan makanan dari mulut. Tidak seperti sel olfaktoris yang mengandung reseptor
protein tunggal, satu sel indera perasa dapat menyebabkan sensasi pahit yang mengandung
beragam reseptor T2R berbeda yang merespon substansi berbahaya yang tidak terkait.
Sehingga hasilnya, banyak substansi beragam yang dapat menimbulkan rasa yang sama, yang
berarti makanan yang kita makan itu pahit dan tidak menyenangkan.
Sebaliknya, sebuah makanan yang menimbulkan rasa manis biasanya mengandung
karbohidrat tinggi kaya energi. Manusia hanya memiliki satu reseptor perasa manis dengan
afinitas tinggi (sebuah T1R2-T1R3 heterodimer) dan dapat merespon gula, beberapa peptida
manis dan protein (contoh monellin), dan pemanis buatan. Untunglah, makanan yang
dikunyah melepaskan bau yang berjalan sampai tenggorokan ke neuron olfaktoris di mukosa
nasal, memungkinkan otak untuk memahami apa yang sedang kita kunyah daripada pesan

23
yang relatif sederhana yang diberikan oleh reseptor rasa. Ini adalah gabungan dari reseptor
penciuman dan pengecap (gustatori) yang memberi kita indera perasa yang kaya. Arti
pentingnya neuron olfaktoris terhadap persepsi rasa semakin jelas pada saat kita terserang flu
yang menyebabkan kita kehilangan apresiasi terhadap rasa makanan.

8. Fosforilasi protein tirosin sebagai sebuah mekanisme untuk transduksi sinyal


Protein tirosin-kinase adalah enzim yang memfosforilasi residu tirosin spesifik
pada substrat protein. Fosforilasi protein tirosin adalah sebuah mekanisme untuk transduksi
signal yang terjadi seiring dengan evolusi organisme multiseluler. Lebih dari 90 protein
tirosin kinase berbeda dikode oleh genom manusia. Kinase ini terlibat dalam proses regulasi
pertumbuhan, pembelahan, diferensiasi, pertahanan diri, perlekatan dengan matriks
ekstraseluler, dan migrasi sel. Ekspresi mutan tirosin kinase yang tidak dapat diregulasi dan
secara terus-menerus aktif dapat mengarah pada pembelahan sel yang tidak terkontrol dan
perkembangan kanker. Salah satu tipe leukimia contohnya, terjadi pada sel yang memiliki
versi protein tirosin kinase ABI yang tidak terkontrol. Protein tirosin-kinase dapat dibagi
menjadi dua grup yaitu reseptor protein tirosin-kinase (RTK) yang merupakan protein
integral membran yang mengandung transmembran heliks tunggal dan domain pengikatan
ligan ekstraseluler, dan protein tirosin-kinase non-reseptor (atau sitoplasmik). Genom
manusia mengkode hampir 60 RTK dan 32 non reseptor TK. RTK pertama yang dipelajari
adalah EGFR, diidentifikasi pertama kali pada tahun 1978 oleh Stanley Cohen di Universitas
Vanderbit. RTK diaktivasi secara langsung oleh pertumbuhan ekstraseluler dan faktor
diferensiasi seperti epidermal growth factor (EGF) dan platelet-derived growth factor (PDGF)
atau oleh regulator metabolik seperti insulin. Non reseptor protein tirosin kinase diregulasi
secara tidak langsung oleh signal ekstraseluler, dan non-reseptor protein tirosin kinase
mengontrol proses seperti beragam respon imun, adhesi sel, migrasi sel neuronal. Pada sub
bab ini akan dibahas mengenai transduksi signal oleh RTK.

a. Dimerisasi reseptor
Pertanyaan yang sering muncul terkait mekanisme transduksi sinyal adalah
bagaimana hingga keberadaan faktor pertumbuhan di luar sel dapat diterjemahkan dalam
bentuk perubahan senyawa kimiawi di dalam sel? Beberapa studi struktural dan biokimiawi
yang dilakukan menunjukkan bahwa pengikatan ligan menyebabkan dimerisasi domain
pengikatan ligan ekstraseluler pada reseptor berpasangan. Ada dua mekanisme dimerisasi
reseptor yang diketahui: dimerisasi yang dimediasi ligan dan dimerisasi yang dimediasi
reseptor (Gambar 16). Studi awal menunjukkan bahwa ligan RTK mengandung dua area
pengikatan reseptor. Sehingga hal ini memungkinkan bagi molekul pertumbuhan tunggal atau
molekul faktor diferensiasi untuk berikatan dengan dua reseptor tersebut secara bersamaan,
sehingga menyebabkan dimerisasi reseptor yang dimediasi ligan (Gambar 16a). model ini
didukung oleh melalui observasi bahwa faktor pertumbuhan dan diferensiasi seperti platelet-
derived growt factor (PDGF) atau colony-stimulating factor-1 (CSF-1) tersusun atas dua
subunit terkait disulfida yang identik, dimana setiap subunit memiliki area reseptor
pengikatan. Namun, tidak semua faktor pertumbuhan memiliki model seperti itu. Beberapa
faktor pertumbuhan (seperti EGF atau TGF-) hanya memiliki reseptor pengikatan tunggal.
Studi struktural saat ini mendukung mekanisme kedua (Gambar 16b) dimana pengikatan
ligan menginduksi perubahan konformasional pada domain ekstraseluler di sebuah reseptor,
mengarah pada formasi atau eksposur pada sebuah dimerisasi interface reseptor. Dengan
mekanisme ini, ligan berperan sebagai regulator alosterik yang merubah kemampuan
reseptornya untuk membentuk dimer. Sejumlah kecil RTK, termasuk insulin dan reseptor
IGF-1, hadir sebagai dimer inaktif tanpa keberadaan ligan. Hampir semua RTK, dimerisasi
reseptor menyebabkan penjajaran dua domain protein tirosin kinase pada sisi sitoplasmik

24
membran plasma. Membawa dua domain kinase berdekatan sehingga memungkinkan trans-
autofosforilasi, dimana aktivitas protein kinase pada satu reseptor dimer memfosforilasi
residu tirosin di domain sitoplasmik pada reseptor lain yang mengalami dimerisasi,
begitupula sebaliknya (Gambar 16a,b).

Gambar 16. Tahapan aktivasi sebuah reseptor tirosin-kinase (RTK). (a) dimerisasi yang dimediasi ligan. Pada kondisi
non-aktif, reseptor berada pada membran sebagai monomer. Pengikatan sebuah ligan bivalen mengarah secara
langsung ke dimerisasi reseptor dan aktivasi fungsi kinasenya, menyebabkan terjadi penambahan grup fosfat pada
domain sitoplasmik pada subunit reseptor lainnya. Residu fosfatirosine yang baru saja dibentuk pada reseptor
berperan sebagai area pengikatan target protein yang mengandung domain SH2 atau PTB. Protein target kemudian
menjadi aktif akibat interaksinya dengan reseptor tadi. (b) dimerisasi yang dimediasi oleh reseptor. Urutan
peristiwanya sama dengan tahapan (a), kecuali ligan bersifat monovalen dan, akibatnya sebuah ligan yang terpisah
berikatan dengan setiap monomer inaktif. Pengikatan setiap ligan memicu perubahan konformasional pada reseptor
sehingga menciptakan sebuah dimerisasi interface (tanda panah merah). Ligan yang mengikat monomer berinteraksi
melalui interface ini dan menjadi sebuah dimer aktif.

b. Aktivasi protein kinase


Situs autofosforilasi pada RTK dapat memiliki dua fungsi: RTK dapat meregulasi
aktivitas reseptor kinase atau berperan sebagai area pengikatan untuk molekul pensinyalan
sitoplasmik. Aktivitas kinase biasanya dikontrol oleh autofosforilasi pada residu tirosin yang
berada pada loop aktivasi di domain kinase. Loop aktivasi saat tidak terfosforilasi
menghalangi situs pengikatan substrat, sehingga mencegah masuknya ATP. Setelah
fosforilasi, loop aktivasi distabilisasi pada sebuah posisi yang jauh dari situs pengikatan

25
substrat, menyebabkan aktivasi domain kinase. Saat domain kinasenya telah diaktifkan,
subunit reseptor melanjutkan proses fosforilasi setiap residu tirosin yang berada disekitar area
yang berdekatan dengan domain kinase. Situs fosforilasi inilah yang berperan sebagai area
pengikatan untuk pensinyalan seluler protein.

c. Interaksi protein fosfotirosin-dependen


Jalur pensinyalan terdiri atas sebuah rantai protein pensinyalan yang berinteraksi
dengan satu sama lain secara berurutan (Gambar 3). Protein pensinyalan mampu berasosiasi
dngan reseptor protein tirosine kinase aktif, karena protein itu memiliki domain yang secara
spesifik berikatan dengan residu tirosin yang terfosforilasi (Gambar 16). Sebuah studi terbaik
mengenai domain pengikatan pTyr adalah domain Src-homolog 2 (SH2) dan domain
pengikatan fosfotirosin (PTB). Awalnya domain SH2 diidentifikasi sebagai bagian protein
yang dikode oleh genom virus penyebab tumor (onkogenik). Terdiri dari lebih 100 asam
amino dan memiliki kantong pengikatan yang tetap yang dapat mengakomodasi sebuah
residu tirosin terfosforilasi (Gambar 17). Lebih dari 110 domain SH2 dikode pada genom
manusia. SH2 memediasi sejumlah besar interaksi protein-protein dependen-fosforilasi.
Interaksi ini terjadi setelah fosforilasi residu tirosin spesifik. Contoh, domain SH2 pada
protein Src tirosin kinase mengenali pTyr-Glu-Glu-Ile, sedangkan domain SH2 pada PI 3-
kinase mengikat pTyr-Met-X-Met (dimana X bisa digantikan oleh residu apapun). Sangat
menarik untuk diobservasi dimana genom ragi yang bertunas mengode hanya satu domain
protein SH2, yang berkorelasi dengan keseluruhan aktivitas pensinyalan yang tidak
melibatkan tirosin-kinase pada sel eukariotik bersel satu ini.
Domain PTB ditemukan baru-baru ini. PTB dapat berikatan dengan residu tirosin
yang biasanya ditemukan sebagai bagian dari sebuah pola aspargin-prolin-X-tirosin (Asn-
Pro_X-Tyr). Beberapa PTB berikatan secara spesifik dengan pola Asn-Pro-X-Tyr yang tidak
terfosforilasi, sedangkan lainnya berikatan spesifik dengan pola yang terfosforilasi.

Gambar 17. Interaksi antara sebuah domain SH2 pada


sebuah protein dan sebuah peptida yang mengandung sebuah
residu fosfotirosin. Domain SH2 protein yang ditunjukkan
pada gambar dengan area permukaan yang dapat diakses
ditandai titik merah dan rantai utama polipeptida ditandai
pita ungu. Fosfotirosin mengandung heptapeptida (pro-
Asn_pTyr-Glu-Glu-Ile-Pro) ditunjukkan dalam bentuk
model pengisian ruang yang rantai sampingnya berwarna
hijau dan rantai utama berwarna kuning. Grup fosfat
berwarna biru muda. Residu tirosine terfosforilasi dan residu
isoleusin (+3) terproyeksi kedalam kantung pada permukaan
domain SH2, membentuk interaksi yang sangat erat, namun
hanya pada saat kunci residu tirosin terfosforilasi

d. Aktivasi jalur pensinyalan hilir


Kita telah mengetahui bahwa protein tirosin kinase (RTK) mengalami autofosforilasi
oleh satu atau lebih residu tirosin. Beragam protein pensinyalan dengan domain SH2 dan
PTB ditemukan pada sitoplasma. Aktivasi reseptor menghasilkan formasi kompleks
pensinyalan, dimana SH2 dan PTB yang mengandung protein berikatan dengan situs spesifik
autofosforilasi yang ada pada reseptor (Gambar 16). Kita dapat membedakan beberapa grup

26
pensinyalan protein yang dapat berinteraksi dengan RTK aktif, termasuk adaptor dan
perancah protein, faktor transkripsi, dan enzim (Gambar 18).
 Fungsi adaptor protein dan perancah protein sebagai penghubung yang memungkinkan
dua atau lebih protein pensinyalan bergabung sebagai bagian dari sebuah kompleks
pensinyalan (Gambar 18a). adaptor protein memiliki domain SH2 dan satu atau lebih
domain interaksi protein-protein tambahan. Contoh, adaptor protein Grb2 memiliki satu
SH2 dan dua domain SH3 (Src-homolog 3) domain SH3 berikatan dengan pola sekuens
kaya prolin. Domain SH3 pada Grb2 berikatan secara konstitutif dengan protein lain,
termasuk Sos dan Gab. Domain SH2 berikatan dengan residu tirosine terfosforilasi
dengan pola Tyr-X-Asn. Karena itu, fosforilasi tirosin pada pola Tyr-X-Asn pada sebuah
RTK menyebabkan translokasi Grb2-Sos atau Grb2-Gab dari sitosol ke sebuah reseptor
yang berada di membran plasma (Gambar 18a).
 Faktor transkripsi yang termasuk dalam famili STAT memegang peranan penting pada
fungsi sistem imun. STAT memiliki domain SH2 bersama sebuah situs fosforilasi tirosin
yang dapat bekerja sebagai situs pengikatan untuk domain SH2 molekul STAT lainnya
(gambar 18c). situs pengikatan SH2 pada tirosin fosforilasi STAT berada didalam sebuah
reseptor terdimerisasi yang mengarah pada perekrutan protein STAT (Gambar 18c). pada
asosiasi dengan kompleks reseptor, residu tirosin pada ptotein STAT terfosforilasi.
Sebagai akibat dari interaksi antara residu tirosin terfosforilasi pada satu protein STAT
dan domain SH2 pada STAT kedua, begitupun sebaliknya, faktor transkripsi ini akan
membentuk dimer. Dimer tetapi bukan monomer, bergerak ke nukleus dimana dimer
akan menstimulasi transkripsi gen spesifik yang terlibat pada sebuah respon imun.
 Enzim pensinyalan termasuk protein kinase, protein fosfatase, lipid kinase, fosfolipase,
dan protein pengaktivasi GTPase. Pada saat dilengkapi dengan domain SH2, enzim
tersebut berasosiasi dengan RTK teraktivasi dan di-”on”-kan secara langsung ataupun
tidak sebagai akibat dari asosiasi ini (Gambar 18d). ada tiga mekanisme umum yang
telah diketahui dimana enzim tersebut diaktivasi setelah asosiasi dengan reseptor. Enzim
dapat diaktivasi sebagai akibat dari translokasinya ke membran, sehingga enzim akan
berada didekat substrat. Enzim dapat pula diaktivasi melalui mekanisme alosterik,
dimana pengikatan fosfotirosin menyebabkan perubahan konformasi pada domain
katalitik, sehingga terjadi perubahan aktivitas katalitik. Terakhir, enzim dapat diregulasi
secara langsung melalui fosforilasi. Seperti yang akan dibahas pada poin terakhir, protein
pensinyalan yang berasosiasi dengan RTK teraktivasi menginisiasi rangkaian peristiwa
yang mengarah pada perubahan biokimiawi yang dibutuhkan untuk merespon
keberadaan molekul messenger ekstraseluler.

27
Gambar 18. Diversitas protein pensinyalan. Sel
mengandung sejumlah protein dengan domain SH2
dan PTB yang berikatan dengan residu tirosin
terfosforilasi. (a) adaptor protein seperti Grb2,
berperan sebagai penghubung dengan protein lain.
Seperti yang terlihat, Gbr2 berperan sebagai
penghubung antara faktor pertumbuhan teraktivasi
RTK dan Sos, sebuah aktivator dan sebuah protein
downstream yang disebut Ras. Fungsi Ras akan
dibahas nanti. (b) protein docking IRS mengandung
domain PTB yang memungkinkan IRS berikatan
dengan reseptor aktif. Saat telah berikatan, residu
tirosin pada protein docking difosforilasi oleh
reseptor. Residu terfosforilasi ini berfungsi sebagai
situs pengikatan untuk protein pensinyalan lainnya.
(c) faktor transkripsi tertentu berikatan dengan RTK
aktif yang memicu fosforilasi dan aktivasi faktor
transkripsi dan relokasi ke nukleus. Anggota famili
STAT faktor transkripsi menjadi teraktivasi. (d)
beragam enzim pensinyalan yang diaktivasi setelah
pengikatan dengan RTK aktif. Pada gambar, sebuah
fosfolipase (PHPLC-gamma), lipid kinase (PI3K),
dan protein tirosine kinase (Shp2) terikat pada situs
fosfotirosine pada sebuah reseptor.

e. Pengakhiran respon
Transduksi sinyal oleh RTK diterminasi oleh internalisasi reseptor, utamanya
melalui endositosis yang dimediasi clathrin. Beberapa RTK memiliki pola sekuens pendek
pada domain sitoplasmiknya yang berikatan dengan adaptor protein clathrin AP-2 yang
diduga memediasi proses internalisasi. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa
ubikitinasi RTK sebagai kunci utama proses internalisasi. Ligase ubikitin (famili Cbl)
berkaitan dengan kompleks pensinyalan RTK melalui domain SH2 atau adaptor protein, dan
masing-masing terikat secara kovalen dengan satu atau lebih ubikitin pada RTK, yang
menandai proses internalisasi. Pada kasus yang melibatkan GPCR (Gambar 7), internalisasi
RTK memiliki beberapa jalan; RTK dapat didegradasi di lisosom, dikembalikan ke membran
plasma, atau menjadi bagian kompleks pensinyalan endosomal dan berperan secara
berkelanjutan dengan pensinyalan intraseluler.
Setelah kita membahas mengenai beberapa mekanisme dimana RTK dapat diaktivasi
pada jalur pensinyalan, sekarang kita dapat membahas mengenai beberapa jalur hilir yang
dapat mengaktivasi RTK. Kita akan membahas mengenai jalur Ras-MAP kinase, yang
mungkin dapat menjadi karakteristik rangkaian pensinyalan yang diaktivasi oleh protein
tirosin kinase. Rangkaian proses yang berbeda akan dibahas pada konteks reseptor insulin.

9. Jalur Ras-MAP kinase


Retrovirus merupakan virus berukuran kecil yang membawa materi genetiknya
dalam bentuk RNA. Beberapa virus ini memiliki gen yang disebut onkogen, yang

28
memungkinkan transformasi sel normal menjadi sel tumor. Ras awalnya digambarkan
sebagai produk retroviral onkogen, lalu kemudian dideterminasi sebagai derivat dari sel host
mamalia retrovirus. Setelah itu, diketahui bahwa 30% sel kanker pada manusia mengandung
versi mutasi gen RAS. Sehingga pada titik ini, sangat penting untuk mengetahui bahwa
protein Ras merupakan bagian dari 150 superfamili protein G kecil (monomerik) termasuk
Rabs, Sar1, dan Ran. Protein tersebut terlibat dalam proses regulasi, termasuk pembelahan sel,
diferensiasi, ekspresi gen, organisasi sitoskeletal, pembajakan vesikula, transpor
nukleositoplasmik. Prinsip yang dibahas berhubungan dengan Ras teraplikasi pada semua
kelompok superfamili protein G berukuran kecil.
Ras merupakan sebuah GTPase kecil yang tertancap pada permukaan dalam
membran plasma yang secara kovalen dilekatkan oleh grup lipid yang tertanam pada lapisan
dalam bilayer (Gambar 18a). Fungsi Ras serupa dengan protein G heterometrik yang dibahas
sebelumnya, dan seperti protein tersebut, Ras juga berfungsi sebagai sebuah pegalih dan
timer molekuler. Tidak seperti protein G heterometrik, Ras hanya terdiri dari subunit tunggal
berukuran kecil. Protein Ras memiliki dua bentuk: sebuah bentuk GTP terikat aktif dan
sebuah bentuk GDP terikat inaktif (Gambar 19). Ras-GTP mengikat dan mengaktivasi
pensinyalan protein hilir. Ras di-off-kan melalui hidrolisis ikatan GTP nya menjadi GDP.
Mutasi pada salah satu gen RAS manusia yang mengarah pada formasi tumor mencegah
protein menghidrolisis ikatan GTP menjadi bentuk GDP. Sehingga, versi mutan Ras tetap
dalam kondisi “on”, mengirimkan pesan secara berkelanjutan ke hilir disepanjang jalur
pensinyalan, sehingga sel tetap berproliferasi.

Gambar 19. Struktur sebuah protein G dan siklus protein G. (a) perbandingan struktur tersier GTP terikat dalam
kondisi aktif (merah) dan GDP terikat inaktif (hijau) pada protein G kecil, Ras. Sebuah ikatan nukleotida guanin
digambarkan dalam bentuk bola dan tongkat. Perbedaan pada konformasi ditemukan pada dua are fleksibel pada
molekul yang dikenal sebagai switch (pengalih) I dan II. Perbedaan konformasi ditunjukkan pada gambar
mempengaruhi kemampuan molekul untuk berikatan dengan protein lain. (b) siklus protein G. protein G berada pada
kondisi inaktif saat berikatan dengan sebuah molekul GDP. Jika protein G inaktif berinteraksi dengan sebuah
penghambat dis-asosiasi nukleotida guanin (GDI), pelepasan GDP dihambat dan protein tetap pada kondisi inaktif
(tahap 1a). jika protein G inaktif berinteraksi dengan faktor pertukaran nukleotida guanin (GEF; tahap 1b), protein G
akan menukarkan GDP-nya untuk sebuah GTP (tahap 2), yang nantinya akan mengaktifkan protein G sehingga
protein G dapat berikatan dengan protein target hilir (tahap 3). Pengikatan protein G yang terikat GTP mengaktivasi
protein target, yang biasanya merupakan sebuah enzim seperti protein kinase atau sebuah protein fosfatase. Hal ini
berpengaruh pada transmisi signal jauh ke hilir disepanjang jalur pensinyalan. Protein G memiliki sebuah aktivitas
GTPase intrinsik yang lemah yang distimulasi oleh interaksi dengan sebuah protein pengaktif GTPase (GAP) (tahap
4). Derajat stimulasi GTPase oleh sebuah GAP mendeterminasi lamanya durasi protein G teraktivasi. Sehingga, GAP
berperan sebagai sebuah pengatur waktu yang mengatur lamanya durasi respon (tahap 5). Saat GTP telah
terhidrolisis, komplek terdis-asosiasi, dan protein G inaktif siap memulai siklus yang sama (tahap 6).

29
a. Protein tambahan
Perputaran protein G monomerik, seperti Ras antara kondisi aktif dan inaktif dibantu
oleh protein tambahan yang terikat pada protein G dan meregulasi aktivitasnya (Gambar 19b).
protein tambahan ini terdiri atas:
1. Protein pengaktif GTPase (GAPs). Kebanyakan protein G monomerik memiliki
kapabilitas untuk menghidrolisis sebuah ikatan GTP, namun kemampuan tersebut
diakselerasi melalui interaksi dengan spesifik GAPs. Karena GAP menstimulasi
hidrolisis ikatan GTP, sehingga menginaktivasi protein G, secara dramatis GAP akan
mempersingkat durasi sebuah respon yang dimediasi protein G. mutasi pada gen Ras-
GAP (NF1) menyebabkan neurofibromatosis 1, sebuah penyakit dimana tubuh pasien
mengembangkan tumor jinak (neurofibromas) disepanjang selubung yang melapisi
batang saraf.
2. Faktor pertukaran nukleotida guanin (GEFs). Protein G inaktif dikonversi menjadi
bentuk aktif saat ikatan GDP diganti dengan sebuah GTP. GEF merupakan protein yang
berikatan dengan sebuah protein G monomerik inaktif dan menstimulasi disasosiasi
ikatan GDP. Saat GDP dilepaskan, protein G dengan cepat berikatan dengan sebuah GTP
yang dapat ditemukan pada konsentrasi tinggi di dalam sel, sehingga dapat mengaktivasi
protein G.
3. Penghambat dis-asosiasi nukleotida guanin (GDIs). GDI merupakan protein yang
menghambat pelepasan sebuah bentuk ikatan GDP dari sebuah protein G monomerik,
sehingga mempertahankan protein pada kondisi inaktif, yaitu GDP terikat. Aktivitas dan
lokalisasi beragam protein tambahan ini diatur oleh protein lain, sehingga dengan
demikian mengatur keadaan protein G.
Ras-GTP dapat dianggap sebagai sebuah penghubung pensinyalan karena dapat
berinteraksi secara langsung dengan beberapa target hilir. Dibagian ini akan dibahas
mengenai Ras sebagai sebuah elemen pada rangkaian Ras-MAP kinase. Rangkaian Ras-MAP
kinase di-on-kan pada respon terhadap sinyal ekstraseluler yang luas dan memegang peranan
utama dalam regulasi aktivitas vital seperti proliferasi sel dan diferensiasi. Jalur yang
menyampaikan sinyal ekstraseluler dari membran plasma melalui sitoplasma menuju ke
nukleus. Garis besar keseluruhan digambarkan pada Gambar 20. Jalur ini diaktivasi saat
sebuah faktor pertumbuhan, seperti EGF atau PDGF berikatan dengan domain ekstraseluler
pada RTK-nya. Banyak RTK teraktivasi memiliki residu tirosin terfosforilasi yang bertindak
sebagai situs docking untuk adaptor protein Grb2. Grb2 nantinya akan berikatan dengan Sos,
yaitu sebuah GEF untuk Ras. Pembentukan situs pengikatan Grb2 pada sebuah reseptor aktif
akan memicu translokasi Grb2-Sos dari sitoplasma ke permukaan sitoplasmik membran
plasma, menempatkan Sos di area yang dekat dengan Ras (Gambar 18).
Hanya dengan membawa Sos ke membran plasma akan menyebabkan aktivasi Ras.
Hal ini diilustrasikan pada sebuah studi menggunakan versi mutan Sos yang secara permanen
tertambat pada permukaan dalam membran plasma. Ekspresi membran yang mengikat Sos
mutan menyebabkan aktivasi konstitutif Ras dan transformasi sel menjadi sebuah fenotip sel
ganas. Interaksi dengan Sos membuka situs pengikatan nukleotida Ras. Sehingga, GDP
dilepaskan dan diganti oleh GTP. Pergantian GDP menjadi GTP pada situs pengikatan
nukleotida Ras menyebabkan perubahan konformasi dan pembentukan interface pengikatan
untuk sejumlah protein, termasuk sebuah protein pensinyalan disebut Raf. Raf kemudian
direkrut ke permukaan dalam membran plasma untuk diaktivasi oleh sebuah kombinasi reaksi
fosforilasi dan de-fosforilasi.
Raf adalah sebuah protein serin-treonin kinase. Salah satu substratnya adalah protein
kinase MEK (Gambar 20). MEK, yang diaktivasi karena fosforilasi oleh Raf, akan

30
memfosforilasi dan mengaktivasi dua MAP kinase yang disebut ERK1 dan ERK2. Hampir
160 protein yang dapat difosforilasi oleh kinase ini telah diketahui, termasuk faktor
transkripsi, protein kinase, protein sitoskletal, regulator apoptotik, reseptor, dan protein
pensinyalan lainnya. Saat telah teraktivasi, MAP kinase akan bergerak ke nukleus dimana
MAP kinase akan memfosforilasi dan mengaktivasi sejumlah faktor transkripsi dan protein
nuklear lainnya. Akhirnya, jalur ini akan mengarah pada aktivasi sejumlah gen yang terlibat
didalam proliferasi sel, termasuk D1 siklin, yang memegang peranan penting mengatur
kondisi sel dari fase G1 ke fase S di siklus sel.
Onkogen diketahui karena kemampuannya untuk menyebabkan sel menjadi sel
kanker. Onkogen berasal dari gen sel normal yang kemungkinan mengalami mutasi atau
mengalami over-ekspresi gen. Banyak protein yang berperan pada jalur pensinyalan Ras
ditemukan karena dikode oleh gen onkogen yang menyebabkan kanker. Termasuk
didalamnya gen untuk Ras, Raf, dan sejumlah faktor transkripsional yang dihasilkan pada
akhir jalur pensinyalan (contoh Fos dan Jun). Gen untuk beberapa RTK berada di permulaan
reaksi ini, termasuk reseptor untuk EGF dan PDGF, yang juga telah diidentifikasi diantara
banyaknya onkogen. Fakta bahwa banyaknya protein yang terlibat pada jalur pensinyalan ini
dikode oleh gen penyebab kanker saat termutasi menandakan arti pentingnya regulasi dan
kontrol jalur pensinyalan pada pertumbuhan dan proliferasi sel.

Gambar 20. Tahapan rangkaian jalur MAP-kinase.


Pengikatan faktor pertumbuhan pada reseptornya
(tahap 1) mengarah pada autofosforilasi residu tirosin
pada reseptor (tahap 2) dan perekrutan selanjutnya
adalah protein Grb2-Sos (tahap 3). Kompleks Grb-
Sos menyebabkan pertukaran GTP-GDP pada Ras
(tahap 4), yang akan merekrut protein Raf ke
membran untuk difosforilasi dan diaktivasi (tahap 5).
Pada jalur yang digambarkan, Raf memfosforilasi
dan mengaktivasi kinase lain yang disebut MEK
(tahap 6), sehingga menyebabkan fosforilasi dan
aktivasi kinase lain lagi yang disebut ERK (tahap 7).
Ketiga tahapan fosforilasi yang ditunjukkan dari
tahap 5 sampai 7 merupakan karakteristik semua
rangkaian peristiwa pada jalur MAP-kinase. Karena
aktivitas sekuensial kinasenya, Ras dikenal sebagai
MAPKKK (MAP kinase kinase kinase), MEK sebagai
MAPKK (MAP kinase kinase, dan ERK dikenal
sebagai MAPK (MAP kinase). MAPKK memiliki
spesifisitas kinase ganda, sebuah istilah yang
menandakan bahwa MAPKK dapat memfosforilasi
kinase sama halnya dengan residu serin dan treonin.
Semua MAPK memiliki tripeptida diarea yang dekat
dengan situs katalitik dengan sekuens Thr-X-Tyr.
MAPKK memfosforilasi MAPK pada kedua sekuens
residu treonin dan tirosin, sehingga mengaktivasi
enzim (tahap 7). Saat telah teraktivasi, MAPK
ditranslokasi ke nukleus untuk memfosforilasi faktor
transkripsi (TF, tahap 8) seperti Elk-1. Fosforilasi
faktor transkripsi menyebabkan peningkatan afinitas
MAPK terhadap situs regulatoris pada DNA (tahap
9), sehingga mengarah pada peningkatan jumlah gen
yang ditranskripsi (contoh Fos dan Jun) yang terlibat
pada respon pertumbuhan. Salah satu gen yang
ekspresinya distimulasi, dikode oleh sebuah MAPK
fosfatase (MKP-1, tahap 10). Anggota famili MKP
dapat menghilangkan gugus grup fosfat pada residu
treonin dan tirosin pada MAPK (tahap 11), sehingga
menginaktivasi MAPK dan menghentikan aktivitas
pensinyalan disepanjang jalurpensinyalan ini.
31
b. Adaptasi MAP kinase untuk transmisi beragam informasi
Jalur mendasar yang sama dari RTK melalui Ras untuk aktivasi faktor transkripsi
seperti yang diilustrasikan pada gambar 20, ditemukan pada semua sel eukariotik, mulai dari
yeast, lalat, nematoda, sampai mamalia. Proses evolusi membuat jalur tersebut memiliki akhir
yang berbeda. Pada yeast contohnya, rangkaian jalur MAP kinase dibutuhkan oleh sel untuk
merespon faktor kawin; pada lalat buah, jalur itu dibutuhkan selama diferensiasi fotoreseptor
pada komponen mata; dan pada tanaman berbunga, jalur ini mentransmisikan sinyal yang
menginisiasi pertahanan terhadap patogen. Pada setiap kasus, inti utama jalur pensinyalan
melibatkan tiga enzim yang bekerja secara berkelanjutan: sebuah MAPKKK, MAPKK, dan
MAPK (Gambar 20). Setiap komponen ini ditemukan pada organisme tertentu yang diwakili
oleh famili protein berukuran kecil. Hingga saat ini, terdapat 14 MAPKKK berbeda, 7
MAPKK berbeda, dan 13 MAPK berbeda telah diidentifikasi pada mamalia. Dengan
menggunakan beragam protein pada kelompok famili ini, mamalia mampu menghimpun
sejumlah jalur MAP kinase yang mentransmisikan beragam signal ekstraseluler yang berbeda.
Kita telah membahas bagaimana stimulus mitogenik ditransmisikan disepanjang satu jalur
pensinyalan MAP kinase yang menyebabkan proliferasi sel. Sebaliknya, saat sel terekspos
akibat stimuli stress, seperti sinar-X atau senyawa kimiawi berbahaya, signal diteruskan
seperti pada gambar 20. Penarikan dari siklus sel memberi waktu sel untuk memperbaiki
kerusakan akibat kondisi buruk.
Studi terbaru menitik-beratkan pada spesifisitas pensinyalan rangkaian jalur MAP
kinase untuk mencoba memahami bagaimana sel mampu memanfaatkan protein serupa
sebagai komponen pada jalur pensinyalan yang menimbulkan respon seluler yang berbeda.
Studi sekuens asam amino dan stuktur protein mengindikasikan jawaban mengenai
pertanyaan tersebut berkaitan dengan interaksi selektif antara enzim dan substrat. Contoh,
beberapa anggota famili MAPKKK memfosforilasi anggota famili MAPKK, lalu MAPKK
memfosforilasi MAPK. Namun banyak anggota famili protein ini yang dapat berpartisipasi
pada lebih dari satu jalur pensinyalan MAPK.
Spesifisitas jalur MAP kinase dapat dicapai dengan lokalisasi spasial pada
komponen protein. Lokalisasi spasial dicapai melalui perancah protein, yang memiliki fungsi
jelas untuk menambatkan anggota yang sesuai dari jalur pensinyalan dalam orientasi spasial
tertentu yang meningkatkan interaksi timbal balik antara protein. AKAP yang digambarkan
pada gambar 15 merupakan contoh perancah protein yang terlibat pada jalur yang digerakkan
oleh cAMP. Kelompok protein perancah lainnya seperti protein yeast yang ditunjukkan pada
gambar 21a,b memegang peranan merutekan signal melalui salah satu dari berbagai jalur
MAP kinase. Pada beberapa kasus, perancah protein dapat memegang peranan aktif dalam
proses pensinyalan. Contoh, perancah protein dapat menginduksi perubahan pada konformasi
pensinyalan protein terikat, sehingga mengarah pada aktivasi atau inhibisinya. Beberapa
protein perancah yang memiliki peranan enzimatik, sebagaimana yang diilustrasikan pada
aktivitas MAPKK pada protein perancah Pbs2 yeast ditunjukkan pada gambar 21b. Sebagai
tambahan untuk memfasilitasi seri khusus pada sebuah reaksi, protein perancah dapat
mencegah protein terlibat pada satu jalur pensinyalan agar dapat berpartisipasi pada jalur
pensinyalan lainnya. Sehingga, beberapa jalur pensinyalan dapat berbagi set protein
pensinyalan yang sama dalam jumlah terbatas tanpa mengganggu spesifisitasnya. Ini
merupakan contoh kasus yang ditemukan pada protein MAPKKK yeast Ste11 seperti yang
ditunjukkan pada gambar 21a,b, dimana protein Ste11 berpartisipasi dikedua proses respon
kawin dan osmoregulatori bergantung pada jenis protein perancah yang berinteraksi
dengannya. Studi terbaru menunjukkan bahwa protein perancah dapat diasosiasikan dengan

32
beberapa kelompok protein berbeda dari waktu ke waktu, memungkinkan untuk sebuah
reseptor untuk memicu proses spesifik downstream pada waktu tertentu setelah aktivasi. Arti
penting protein perancah diilustrasikan dengan baik melalui sebuah percobaan dimana dua
protein perancah pada rangkaian proses MAPK yeast (Ste5 dan Pbs2) yang secara genetik
dikombinasikan untuk membentuk sebuah fusi protein (Ste5-Pbs2) (Gambar 21c). pada
kondisi normal, kedua protein perancah tersebut memediasi dua jalur pensinyalan MAPK
yang berbeda (Gambar 21a,b). Saat sel yeast yang mengandung fusi protein terpapar signal
untuk proses kawin yang biasanya merangsang respon kawin, sel akan merespon dengan
menampakkan respon osmoregulasi.

Gambar 21. Peranan protein perancah dalam


memediasi dua jalur pensinyalam MAPK. (a) jalur
MAPK yang meregulasi proses kawin pada sel ini
ditimbulkan oleh faktor kawin yang mengikat sebuah
GPCR, Ste2, mengarah pada aktivasi sebuah G  yang
akan mengikat protein perancah Ste5, yang nantinya
akan berikatan dengan protein MAPKKK, MAPKK,
dan MAPK pada jalur tersebut. (b) jalur MAPK yang
meregulasi respon osmoregulatorir yeast pada sel
yang terpapar konsentrasi garam tinggi. Reseptor
teraktivasi (Sho1) mengikat protein perancah Pbs2
melalui domain SH3nya. MAPKKK Ste11 digunakan
pada dua jalur pensinyalan ini, tetapi juga direkrut
pada jalur pensinyalan respon lain berdasarkan
interaksinya dengan protein perancah yang sesuai.
Protein perancah Pbs2 tidak merekrut MAPKK yang
terpisah, tetapi memiliki aktivitas MAPKK
enzimatiknya sendiri. (c) saat sel dimodifikasi secara
genetis untuk mengekspresikan fusi protein perancah
Ste5-Pbs2, sel akan merespon faktor kawin dengan
menampakkan respon osmoregulasinya.

10. Pensinyalan melalui reseptor insulin


Tubuh kita melakukan sejumlah upaya untuk mempertahankan kadar glukosa darah
dalam jumlah yang sedikit. Sebuah penurunan pada level glukosa darah dapat mengarah pada
hilangnya kesadaran dan koma, karena sistem saraf pusat sangat bergantung pada glukosa
sebagai sumber metabolismenya. Peningkatan kadar glukosa darah yang persisten disebabkan
karena kekurangan glukosa, cairan, dan elektrolit pada urine dan adanya masalah kesehatan
yang serius. Level glukosa pada sistem sirkulasi dimonitor oleh pankreas. Saat level glukosa
darah berada dibawah ambang batas, sel alfa pada pankreas akan mensekresikan glukagon.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, glukagon bekerja melalui GPCR dan menstimulasi
pemecahan glikogen sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Saat kadar
glukosa darah meningkat, disebabkan karena konsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat,
sel beta pankreas merespon melalui sekresi insulin. Fungsi insulin sebagai molekul
messenger ekstraseluler, menginformasikan sel bahwa kadar glukosa darah meningkat. Sel
yang mengekspresikan reseptor insulin pada permukaan selnya, seperti sel hati, merespon
pesan ini dengan meningkatkan penyerapan glukosa, peningkatan glikogen dan sintesis
trigliserida, dan atau penurunan glukaneogenesis.

33
a. Reseptor insulin adalah protein tirosin kinase
Setiap reseptor insulin tersusun atas sebuah rantai  dan  yang berasal dari sebuah prekursor
tunggal melalui prosesing proteolitik. Rantai  sepenuhnya reseptor ekstraseluler dan
memiliki situs pengikatan insulin. Rantai  tersusun atas region ekstraseluler, sebuah region
transmembran tunggal, dan region sitoplasmik (Gambar 22). Rantai  dan  saling bertautan
melalui ikatan disulfida. Dua dari heterodimer   disatukan oleh ikatan disulfida diantara
rantai . Sehingga, sementara kebanyakan RTK diduga berada pada permukaan sel sebagai
monomer, reseptor insulin berada dalam bentuk dimer stabil. Seperti RTK lainnya, reseptor
insulin inaktif tanpa keberadaan ligan (Gambar 22a). studi terbaru mengindikasikan bahwa
reseptor dimer insulin berikatan erat dengan molekul insulin tunggal. Hal ini menyebabkan
penempatan ulang domain pengikatan ligan di luar sel, yang menyebabkan domain tirosin
kinase di bagian dalam sel mendekat secara fisik. Penyelarasan domain kinase mengarah
pada trans-autofosforilasi dan aktivasi reseptor (Gambar 22b).
Beberapa situs fosforilasi tirosin telah diidentifikasi di region sitoplasmik pada reseptor
insulin. Tiga situs fosforilasi tersebut ditemukan pada loop aktivasi. Pada kondisi tidak
terfosforilasi, loop aktivasi mengasumsikan sebuah konformasi yang menempati sisi aktif.
Pada fosforilasi ketiga residu tirosin, aktivasi loop mengasumsikan sebuah konformasi baru
yang jauh dari celah katalitik. Konformasi terbaru ini membutuhkan rotasi lobus berukuran
kecil dan besar pada domain kinase terhadap satu sama lain, sehingga membawa residu yang
esensial untuk katalisis agar mendekat satu sama lain. Selain itu, loop aktivasi akan
membiarkan celah katalitik terbuka sehingga dapat mengikat substrat. Setelah aktivasi
domain kinase, reseptor akan memfosforilasi dirinya sendiri pada residu tirosin yang
ditemukan didekat membran dan pada ujung karboksil terminal (Gambar 22b).

b. Substrat reseptor insulin 1 dan 2


Kebanyakan RTK memiliki situs autofosoforilasi yang secara langsung merekrut
domain SH2 yang mengandung protein pensinyalan (seperti pada gambar 18 a, c, d). reseptor
insulin adalah sebuah pengecualian terhadap aturan umum ini, karena berasosiasi dengan
keluarga kecil protein adaptor (Gambar 18b), disebut insulin-receptor substrates (IRSs). IRS
kemudian akan menyediakan tempat pengikatan untuk domain SH2 yang mengandung
protein pensinyalan. Beberapa peristiwa yang terjadi selama pensinyalan insulin ditunjukkan
pada Gambar 22. Setelah terjadi pengikatan ligan dan aktivasi kinase, reseptor insulin akan
meng-autofosforilasi tirosin 960, yang kemudian akan membentuk situs pengikatan untuk
domain pengikatan fosfotirosin (PTB) pada reseptor substrat insulin. Seperti yang dijelaskan
pada Gambar 22c, IRS dikarakterisasi oleh keberadaan sebuah domain PH N-terminal,
sebuah domain PTB, dan sebuah rantai panjang mengandung situs fosforilasi tirosin. Domain
PH dapat berinteraksi dengan fosfolipid ditemukan pada lapisan dalam membran plasma,
domain PTB mengikat pada situs fosforilasi tirosin pada sebuah reseptor teraktivasi, dan situs
fosforilasi tirosin menyediakan area pengikatan untuk domain SH2 yang mengandung protein
pensinyalan. Setidaknya empat anggota famili IRS telah teridentifikasi. Berdasarkan hasil
yang diperoleh pada eksperimen yang menggunakan tikus knock-out, diduga bahwa IRS-1
dan IRS-2 merupakan reseptor pensinyalan insulin yang paling relevant.
Autofosforilasi pada reseptor insulin teraktivasi pada Tyr960 memiliki situs
pengikatan untuk IRS-1 atau IRS-2. Hanya setelah asosiasi stabil dengan IRS-1 atau IRS-2,
maka reseptor insulin teraktivasi akan memfosforilasi residu tirosin yang berada pada adaptor
protein tersebut (Gambar 22c). IRS-1 dan IRS-2 mengandung sejumlah besar situs fosforilasi
tirosin dalam jumlah besar yang mencakup situs pengikatan untuk domain SH2 pada
pensinyalan protein hilir, termasuk PI 3-kinase, Grb2, dn Shp2.

34
Gambar 22. Respon reseptor insulin terhadap pengikatan ligan. (a) reseptor insulin, yang ditunjukkan pada skema
berada pada kondisi inaktif adalah sebuah tetramer yang memiliki subunit  dan . (b) pengikatan molekul tunggal
insulin pada subunit  menyebabkan sebuah perubahan konformasi pada subunit  , yang mengaktifkan aktivitas
tirosin kinase pada subunit  . Subunit  yang teraktivasi memfosforilasi resiu tirosin yang berada pada domain
sitoplasmik reseptor, begitupula residu tirosin pada beberapa reseptor substrat insulin (IRS). (c) saat telah terikat
dengan reseptor insulin, sejumlah residu tirosin pada IRS mungkin saja terfosforilasi dan kemudian bertindak
sebagai situs pengikatan protein lain, termasuk protein adaptor Gbr2, sebuah lipid kinase PI3K, dan protein
pensinyalan lainnya. Aktivasi Gbr2 menyebabkanaktivasi jalur Ras dan transkripsi gen, sementara aktivasi PI3K
akan mengarah pada produksi PIP3.

PI 3-kinase (PI3K) terdiri atas dua subunit, satu subunit mengandung dua domain
SH2 dan lainnya mengandung domain katalitik (Gambar 23). PI3K yang diaktivasi secara
langsung sebagai akibat pengikatan dua domain SH2 nya pada situs fosforilasi tirosin,
memfosforilasi fosfoinositida pada posisi ke 3 cincin inositol. Produk dari enzim ini, yang
termasuk PI 3,4-bifosfat (PI(3,4)P2) dan PI 3,4,5-trifosfat (PIP3), akan tetap berada pada
lapisan sitoplasmik di membran plasma dimana keduanya akan menyediakan situs pengikatan
untuk domain PH yang mengandung protein pensinyalan seperti serin-treonin kinase PKB
dan PDK1. Seperti yang tampak pada gambar 23, PKB (lebih sering dikenal sebagai AKT)
memegang peranan memediasi respon terhadap insulin, seperti halnya signal ekstraseluler
lainnya. Perekrutan PDK1 pada membran plasma, yang dekat dengan PKB, menyediakan
kondisi dimana PDK1 dapat memfosforilasi dan mengaktivasi aktivitas Ser/Thr kinase pada
PKB (Gambar 23). Sementara fosforilasi PDK1 sangat esensial, maka tidak memungkinkan
untuk aktivitas PKB. Aktivasi PKB juga bergantung pada fosforilasi oleh kinase kedua,
mTOR, yang memiliki peran krusial meregulasi sejumlah aktivitas seluler. Pensinyalan PI3K
diterminasi melalui pemindahan fosfat pada posisi 3 cincin inositol oleh lipid fosfatase PTEN
(Gambar 23).

35
Gambar 23. Peranan PI-3 kinase dalam mengaktivasi
beragam jalur pensinyalan. Aktivasi PI3K mengarah
pada formasi pengikatan fosfoinositida membran,
termasuk PIP3. Salah satu kinase utama pada sejumlah
jalur pensinyalan adalah PKB (AKT), yang berinteraksi
dengan membran plasma dengan PIP3, pada sebuah
domain PH. Interaksi ini merubah konformasi PKB,
menjadikannya substrat untuk PIP3 terikat kinase
lainnya (PDK1), yang nantinya akan memfosforilasi
PKB. Fosfat kedua yang terlihat pada gambar terikat
pada PKB ditambahkan oleh kinase kedua,
kemungkinan besar mTOR. Saat telah teraktivasi, PKB
berdisosiasi dari membran plasma dan bergerak ke
sitosol dan nukleus. PKB merupakan komponen mayor
pada sejumlah jalur pensinyalan terpisah yang
memediasi respon insulin. Jalur ini mengarah pada
translokasi transporter glukosa ke membran plasma,
sintesis glikogen, dan sintesis protein baru pada sel. PKB
juga memegang peranan penting pada mekanisme
bertahan hidup melalui penghambatan protein pro-
apoptotik Bad dan atau mengaktivasi faktor transkripsi
NF-kB.

c. Transport Glukosa
PKB secara langsung terlibat dalam meregulasi transport glukosa dan sintesis
glikogen. Transporter glukosa GLUT4 membawa insulin dependent glukosa dari darah.
Tanpa keberadaan insulin, GLUT4 akan terperangkap di vesikel membran pada sel responsif
insulin (Gambar 24). Penemuan terbaru mengindikasikan bahwa vesikel ini akan ditambatkan
pada jaringan cis-Golgi oleh sebuah protein yang disebut TUG. TUG terpotong dalam respin
terhadap insulin, menyebabkan vesikel GLUT4 melakukan fusi dengan membran plasma,
sebuah proses yang diarahkan sebagai translokasi GLUT4. Peningkatan jumlah transporter
glukosa pada plasma membran mengarah pada peningkatan penyerapan glukosa (Gambar 24).
Glukosa berlebih yang digunakan oleh sel otot dan hati akan disimpan dalam bentuk
glikogen. Sintesis glikogen dilakukan oleh glikogen sintase, sebuah enzim yang akan
dihentikan kerjanya melalui fosforilasi residu serin dan treonin. Glikogen kinase-3 sintase
(GSK-3 diidentifikasi sebagai regulator negatif pada glikogen sintase. GSK-3 nantinya akan
diinaktivasi setelah fosforilasi oleh PKB. Sehingga, aktivasi PI-3 kinase jalur PKB sebagai
bentuk respon terhadap insulin mengarah pada sebuah penurunan aktivitas GSK-3 kinase
yang mengakibatkan sebuah peningkatan aktivitas glikogen sintase (Gambar 24c). aktivasi
protein fosfatase 1, sebuah enzim yang diketahui men-defosforilasi glikogen sintase, akan
berperan besar pada aktivasi glikogen sintase (Gambar 12).

d. Diabetes mellitus
Salah satu penyakit yang umum ditemukan pada manusia adalah diabetes mellitus yang
disebabkan oleh cacatnya jalur pensinyalan insulin. Diabetes memiliki dua bentuk yaitu tipe I
dimana 5-10% kasus, dan tipe II yang mencakup 90-95% kasus diabetes. Diabetes tipe I
disebabkan karena ketidakmampuan untuk memproduksi insulin. Sedangkan diabetes tipe II
lebih kompleks dimana tingkat insiden penyakit semakin meningkat di seluruh dunia dengan
laju yang memprihatinkan. Peningkatan angka insidensi penyakit disebabkan karena adanya
perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. Diet kalori tinggi dikombinasi dengan gaya

36
hidup memetap diduga sebagai penyebab munculnya kondisi yang disebut resistensi insulin,
dimana sel target berhenti merespon kehadiran hormon. Hal ini menyebabkan elevasi kronik
kadar glukosa darah, yang akan menstimulasi pankreas mensekresikan insulin dalam jumlah
besar, sehingga tercipta suatu siklus yang mengarah pada matinya sel beta pankreatik yang
mensekresi insulin pada pankreas. Kebanyakan resiko penyakit akibat diabetes-penyakit
kardiovaskular, kebutaan, penyakit ginjal, dan terhambatnya sirkulasi ke anggota gerak yang
mengarah pada amputasi- diduga disebabkan adanya kerusakan pada pembuluh darah, namun
mekanisme molekular dimana terbentuk kondisi resisten insulin dan konsekuensinya terhadap
metabolisme yang menyebabkan kondisi tersebut masih menjadi perdebatan.

11. Peranan kalsium sebagai messenger intraseluler


Kalsium memegang peranan penting pada berbagai aktivitas seluler, termasuk kontraksi otot,
respon imun, pembelahan sel, sekresi, fertilisasi, transmisi sinaptik, metabolisme, proses
transkripsi, pergerakan sel, dan kematian sel. Pada setiap proses tersebut, sebuah pesan
ekstraseluler diterima pada permukaan sel dan mengarah pada peningkatan dramatis
konsentrasi ion kalsium di dalam sitosol. Konsentrasi ion kalsium pada kompartemen seluler
tertentu dikendalikan oleh aktivitas teregulasi pompa Ca2+, penukar Ca2+, dan atau channel
ion Ca2+ yang berada didalam membran yang mengelilingi kompartemen tersebut (Gambar
24). Konsentrasi ion Ca2+ pada sitosol sel yang berada pada kondisi istirahat dipertahankan
pada kondisi rendah, sekitar 10-7 M. sebaliknya, konsentrasi ion ini pada ruang ekstraseluler
atau didalam lumen retikulum endoplasma atau sebuah vakuola sel tumbuhan biasanya
10.000 kali lebih tinggi daripada sitosol. Level kalsium sitosolik dipertahankan pada kondisi
rendah karena (1) Channel ion Ca2+ pada plasma dan membran RE pada kondisi normal
dalam keadaan tertutup, sehingga menyebabkan membran ini sangat impermeabel terhadap
ion ini, dan (2) sistem energi yang dipicu Ca2+ pada plasma dan membran RE memompa
kalsium keluar sitosol. Elevasi abnormal pada konsentrasi Ca2+ sitosolik, seperti yang terjadi
pada sel otak terjadi setelah adanya stroke, dapat menyebabkan kematian sel.

Gambar 24. Kalsium menginduksi pelepasan kalsium,


seperti yang terjadi di sel otot jantung. Sebuah
depolarisasi tegangan membran menyebabkan
membukanya channel kalsium berbatas muatan di
membran plasma, membolehkan masuknya sejumlah
kecil Ca2+ ke sitosol (tahap 1). Ion kalsium berikatan
dengan reseptor ryanodine pada membran RE halus
(tahap 2), sehingga terjadi pelepasan Ca2+ tersimpan ke
sitosol (tahap 3), yang memicu kontraksi sel. Ion kalsium
secara bertahap dipindahkan dari sitosol melalui aksi
pompa Ca2+ yang terletak di membran RE halus (tahap
4) dan sebuah sistem transport sekunder Ca2+/Na+ pada
membran plasma (tahap 5) akan menyebabkan relaksasi.
Siklus ini berulang disetiap detakan jantung.

37
a. IP3 dan channel yang berbatas muatan Ca2+
Kita telah membahas dua tipe reseptor pensinyalan sebelumnya yaitu GPCR dan
RTK. Diketahui bahwa interaksi antara molekul messenger ekstraseluler dengan sebuah
GPCR dapat mengarah pada aktivasi enzim fosfolipase C-  yang akan memecah
fosfoinositida PIP2, untuk melepaskan molekul IP3, sehingga membuka channel kalsium
pada membran RE, dan mengarah pada peningkatan Ca2+ sitosolik. Messenger ekstraseluler
yang signalnya melalui RTK dapat memicu respon yang sama. Perbedaan utamanya adalah
RTK mengaktivasi anggota subfamili fosfolipase C-, yang memiliki domain SH2 sehingga
memungkinkan fosfolipase C-  berikatan dengan RTK terfosforilasi aktif. Ada sejumlah
isofom PLC. Contoh, PLC  diaktivasi oleh ion Ca2+, dan PLC  mengaktivasi Ras-GTP.
Semua isoform PLC menyebabkan reaksi yang sama, memproduksi IP3 dan menghubungkan
sejumlah reseptor permukaan agar terjadi peningkatan Ca2+ sitoplasmik. Terdapat rute utama
lainnya yang dapat menyebabkan peningkatan Ca2+ sitosolik. Pada kasus ini, impuls saraf
menyebabkan depolarisasi membran plasma , sehingga memicu pembukaan channel berbatas
muatan Ca2+ di membran plasma, memungkinkan influks Ca2+ dari medium ekstraseluler.

b. Visualisasi Ca2+ sitoplasmik dan konsentrasinya pada sel hidup


Pemahaman kita mengenai peranan ion Ca2+ didalam respon seluler telah
berkembang sangat pesat melalui perkembangan molekul indikator yang memancarkan
cahaya karena keberadaan kalsium bebas. Pada pertengahan tahun 1980-an, sebuah tipe
komponen pengikat kalsium berfluorosens dan sensitif (contoh fura-2) dikembangkan oleh
Roger Tsien di Universitas California, San Diego. Komponen ini disintesis dalam sebuah
bentuk yang dapat memasuki sel melalui difusi membran plasma. Saat telah berada di dalam
sel, komponen dimodifikasi sehingga memiliki bentuk yang menyebabkan komponen
tersebut tidak dapat meninggalkan sel. Dengan menggunakan probe ini, konsentrasi ion
kalsium bebas pada bagian berbeda di dalam sel hidup dapat ditentukan melalui pemantauan
cahaya yang dipancarkan menggunakan mikroskop fluorosensi dan teknik imaging
terkomputerisasi. Penggunaan kalsium-sensitif, molekul memancarkan cahaya memberikan
gambaran dramatis komplek spasial dan perubahan temporal terhadap konsentrasi kalsium
bebas sitosolik yang ada pada sebuah sel yang merespon berbagai stimulus. Salah satu
keuntungan mempelajari respon yang dimediasi kalsium dibandingkan respon yang dimediasi
oleh tipe messenger lain yang lokasinya berada di dalam sel, keberadaanya tidak dapat
divisualisasikan. Bergantung pada tipe sel yang merespon, stimulus tertentu dapat
menginduksi osilasi repetitif didalam konsentrasi ion kalsium bebas, yang menyebabkan
terbentuknya gelombang pelepasan Ca2+ yang menyebar dari satu ujung ke ujung sel lainnya,
atau memicu pelepasan Ca2+ terlokalisasi dan transien pada satu bagian sel. Pada gambar 25
menunjukkan sel purkinje, sebuah tipe neuron pada serebellum mamalia yang
mempertahankan kontak sinaptik dengan ratusan sel lainnya melalui jejaring rumit
fotosinaptik dendrit. Mikrograf pada gambar 25 menunjukkan pelepasan kalsium bebas pada
region terlokalisasi di “pohon dendritik” sel setelah terjadi aktivasi sinaptik. Pelepasan
sejumlah kalsium akan terbatas pada region sel tersebut.
Reseptor IP3 seperti yang dijelaskan sebelumnya merupakan satu atau dua tipe
utama channel ion Ca2+ yang ditemukan pada membran RE; tipe lainnya disebut reseptor
ryanodine. Reseptor ryanodine paling banyak ditemukan pada sel yang teraktivasi dan paling
baik dipelajari pada sel kardiak dan sel otot rangka, dimana sel tersebut memediasi
peningkatan level Ca2+ setelah kedatangan sebuah potensial aksi. Mutasi pada kardiak
isoform RyR diduga penyebab kematian mendadak akibat olahraga belebih. Bergantung pada

38
tipe sel dimana isoform RyR ditemukan, RyR dapat dibuka menggunakan berbagai agen
termasuk kalsium itu sendiri. Influks sejumlah kalsium terbatas melalui channel yang terbuka
di membran plasma menginduksi pembukaan reseptor ryanodine di RE, menyebabkan
pelepasan Ca2+ ke sitosol (Gambar 24). Fenomena ini disebut kalsium menginduksi pelepasan
kalsium (CICR).

Gambar 25. Demonstrasi eksperimental pada lokalisasi


pelepasan Ca2+ intraseluler pada dendrit tunggal sebuah
neuron. Mekanisme yang dimediasi IP3 melepaskan Ca2+
dari stok intraseluler dijelaskan pada gambar 9. Pada
mikrograf ini merupakan neuron serebellum, ion
kalsium yang dilepaskan terlokalisasi dalam porsi kecil
komplek “pohon dendritik”. Kalsium dilepaskan dari RE
(berwarna merah) diinduksi di dendrit setelah terjadinya
produksi lokal IP3, yang diikuti aktivasi berulang sebuah
sinapsis terdekat. Situs melepaskan ion Ca2+ sitosolik
ditandai fluorosens dari indikator kalsium berfluorosensi
yang dimasukkan ke dalam sel setelah terjadinya
stimulasi sel.

Signal ekstraseluler yang ditransmisikan oleh ion Ca2+ biasanya bekerja dengan
pembukaan sejumlah kecil channel ion Ca2+ pada permukaan sel di area stimulus. Saat ion
Ca2+ melewati channel ini dan memasuki sitosol, Ca2+ akan bekerja didekat channel ion Ca2+
pada RE, menyebabkan channel ini terbuka dan melepaskan sejumlah kalsium tambahan di
area yang berdekatan pada sitosol. Pada beberapa respon, peningkatan level Ca2+ akan
terlokalisasi pada region kecil sitosol (Gambar 25). Pada kondisi lain, gelombang kalsium
yang disebarkan akan melepaskan sejumlah kalsium di seluruh kompartemen sitoplasmik.
Salah satu gelombang dramatis Ca2+ yang terjadi di menit pertama atau selanjutnya setelah
fertilisasi dan diinduksi oleh sperma yang menyentuh membran plasma sel telur. Peningkatan
secara tiba-tiba konsentrasi kalsium sitoplasmik akibat fertilisasi akan memicu sejumlah
peristiwa, termasuk aktivasi siklin dependent kinase yang mengarahkan zigot ke area
pembelahan mitotiknya. Gelombang kalsium bersifat transien karena ion secara cepat
dipompa keluar sitosol dan kembali ke RE dan atau ruang ekstraseluler.
Studi terbaru mengenai pensinyalan kalsium menitikberatkan pada fenomena yang
dikenal sebagai store-operated calcium entry (SOCE) dimana kata store merujuk pada ion
kalsium yang disimpan di RE. selama periode pengulangan respon seluler, tumpukan ion
kalsium instraseluler dapat berkurang. Selama SOCE, penurunan level kalsium pada RE akan
memicu respon yang mengarah pada pembukaan channel kalsium di membran plasma seperti
yang nampak pada gambar 26. Saat channel ini terbuka, ion Ca2+ dapat memasuki sitosol dari
arah dimana ion kalsium tersebut dapat dipompa kembali ke RE, sehingga mengisi kembali

39
stok kalsium di RE. Mekanisme yang bertanggungjawab pada peristiwa SOCE adalah sistem
pensinyalan yang beroperasi diantara RE dan membran plasma. Pada sistem ini, penurunan
Ca2+ pada RE akan mengarah pada pengelompokan pada membran RE pada sebuah Ca2+-
pendeteksi protein yang disebut STIM1 menuju ke region dimana RE dan membran plasma
saling mendekat satu sama lain (25-50nm). Setelah terjadi pengaturan ulang pada membran
RE, klaster STIM1 bekerja merekrut subunit pada membran plasma (Gambar 26) yang
disebut Orai1 menuju region berdekatan pada membran plasma. Orai1 adalah sebuah channel
ion Ca2+ tetrametrik yang telah diketahui terlibat pada sejumlah defisiensi imun yang bersifat
menurun yang disebabkan kekurangan stok Ca2+ pada limfosit T. Kontak antara permukaan
sitosolik STIM1 dan protein Orai1 di persimpangan membran plasma RE menyebabkan
pembukaan channel Orai1, influks Ca2+ ke dalam mikro-domain sitosol didekat klaster
STIM1, dan pengisian kembali stok Ca2+ sel di RE.

Gambar 26. Sebuah model untuk mekanisme


penyimpanan kalsium pada tempat penyimpanan
pasokan kalsium. Saat lume Remengandung sejumlah
ion Ca2+, protein STIM1 pada membran RE dan protein
Orai1 pada plasma membran terletak secara difusi pada
membran masing-masing, dan channel kalsium Orai1
tertutup. Jika stok kalsium pada RE berkurang, sebuah
sistem pesninyalan akan beroperasi diantara dua
membran, menyebabkan dua protein menjadi
berkelompok pada membran masing-masing dengan
jarak yang berdekatan satu sama lain. Interaksi semu
antara dua protein membran menyebabkan pembukaan
channel Orai1 dan influks ion Ca2+ kedalam sitosol
dimana pada saat dibutuhkan ion tersebut dapat
dipompa keluar kembali ke lumen RE.

c. Ca2+ pengikat protein


Tidak seperti cAMP, yang aktivasinya dimediasi oleh stimulasi protein kinase,
kalsium dapat mempengaruhi sejumlah efektor seluler yang berbeda, termasuk pitein kinase
(Gambar tabel 27). Bergantung pada tipe sel, ion kalsium dapat mengaktivasi atau
menghambat sejumlah sistem emzim dan sistem transport, merubah permeabilitas ionik
membran, menginduksi fusi membran, dan merubah struktur sitoskeletal dan fungsinya.
Kalsium tidak dengan sendirinya menyebabkan rangkaian respon tersebut, tetapi kalsium
berperan sebagai penghubung dengan sejumlah kalsium pengikat protein, seperti kalmodulin
yang terlibat pada berbagai macam jalur pensinyalan.
Kalmodulin secara umum ditemukan pada tumbuhan, dan mikroorganisme
eukariotik, dan secara virtual memiliki sekuens asam amino yang sama dari satu ujung
spektrum eukariotik ke ujung lainnya. Setiap molekul kalmodulin memiliki empat sisi
pengikatan kalsium. Kalmodulin tidak memiliki afinitas yang cukup terhadap Ca2+ untuk
mengikat ion pada sel yang tidak terstimulasi. Namun jika konsnetrasi Ca2+ meningkat pada
respon stimulus, ikatan ion pada kalmodulin merubah konformasi protein dan meningkatkan
afinitasnya terhadap beragam efektor. Bergantung pada tipe sel, kompleks kalsium-
kalmodulin (Ca2+- CaM) dapat mengikat sebuah protein kinase, sebuah nukleotida

40
fosfodiester siklik, channel ion, atau bahkan sistem transport kalsium pada membran plasma.
Kompleks Ca2+- CaM dapat menstimulasi transkripsi gen melalui aktivasi beberapa protein
kinase (CaMKs) yang memfosforilasi faktor transkripsi. Pada studi kasus terbaik, salah satu
protein kinase ini memfosforilasi CREB pada residu serin yang sama dengan PKA (Gambar
12).

Gambar tabel 27. Contoh protein pada sel mamalia yang diaktivasi oleh Ca2+

12. Peranan NO sebagai messenger intraseluler


Selama tahun 1980, messenger tipe terbaru ditemukan dan bukan merupakan
komponen organik, seperti cAMP, atau bukan merupakan ion seperti Ca2+; melainkan sebuah
gas anorganik berupa nitrit oksida (NO). NO bukan merupakan komponen biasa karena NO
bekerja sebagai messenger ekstraseluler, memdiasi komunikasi interseluler, dan berperan
sebagai messenger kedua yang bekerja didalam sel dimana NO diproduksi. NO dibentuk dari
asam amino L-arginin pada sebuah reaksi yang membutuhkan oksigen dan NADPH dan
dikatalisis oleh enzim nitrit oksida sintase (NOS). semenjak ditemukan, NO sudah terbukti
terlibat pada banyak sekali proses biologis termasuk antikoagulasi, neurotransmisi, relaksasi
otot halus, dan persepsi visual.
Pada banyak fenomena biologis, penemuan fungsi NO sebagai molekul messenger
dimulai karena observasi yang tidak disengaja. Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa
asetilkolin bekerja di dalam tubuh untuk merelaksasi sel otot halus pada pembuluh darah,
namun responnya tidak dapat diduplikasi secara in vitro. Saat bagian pada sebuah pembuluh
darah besar seperti aorta diinkubasi pada konsentrasi fisiologik asetilkolin secara in vitro,
proses preparasinya akan menunjukkan sedikit atau bahkan tidak ada respon.
Pengikatan asetilkolin pada permukaan luar sel endotelial (tahap 1, Gambar 28),
sebuah signal muncul pada konsentrasi Ca2+ sitosolik (tahap 2) yang mengaktivasi nitrit
oksida sintase (tahap 3). NO dibentuk pada sel endotelial berdifusi disepanjang membran
plasma dan menuju ke sel otot halus yang berdekatan (tahap 4), dimana NO akan berikatan

41
dan menstimulasi guanilil siklase (tahap 5), enzim yang mensintesis GMP siklik (cGMP)
yang merupakan messenger kedua yang penting memiliki struktur yang sama dengan cAMP.
GMP siklik berikatan dengan cGMP-dependent protein kinase )sebuah PKG) yang akan
memfosforilasi spesifik substrat dan menyebabkan relaksasi sel otot (tahap 6) dan dilatasi
pembuluh darah.

Gambar 28. Jalur transduksi sebuah signal yang terjadi


karena induksi NO dan siklik GMP menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Tahapan sesuai yang
dijelaskan pada paragraf diatas.

a. NO sebagai aktivator Guanilil siklase


NO berperan sebagai sebuah aktivator guanilil siklase yang dibuat pertama kali pada akhir
tahun 1970-an oleh Ferid Murad dan kolega pada Universitas Virginia. Murad mengerjakan
azide (N3), sebuah inhibitor poten pada transpor elektron, dan kebetulan menemukan molekul
yang distimulasi oleh produksi cGMP pada ekstrak seluler. Murad dan koleganya
mendemonstrasikan bahwa azide secara enzimatik dikonversi menjadi nitrit oksida, lalu
berperan sebagai aktivator guanilil siklase yang sebenarnya. Studi ini juga menjelaskan
peranan nitrogliserin yang telah digunakan sejak 1860-an untuk mengobati pasien penyakit
angina yang terjadi akibat aliran darah yang kurang lancar ke jantung, sehingga
meningkatkan aliran darah ke organ. Manfaat therapeutik nitrogliserin diketahui melalui
observasi menarik pada orang yang memiliki penyakit jantung yang bekerja di pabrik alfred
nobel menggunakan nitrogliserin ditemukan merasakan nyeri yang lebih karena angina pada
hari ia tidak masuk kerja. Sehingga hadiah nobel diberikan oleh yayasan alfred nobel atas
penemuan NO tersebut.

b. Inhibisi fosfodiester
Penemuan NO sebagai messenger kedua juga mengarah pada pengembangan viagra
(sildenafil). Karena rangsangan seksual, saraf di penis melepaskan NO, yang menyebabkan
relaksasi sel otot halus di lapisan pembuluh darah penis dan pembengkakan organ akibat
darah yang mengalir masuk. Seperti yang digambarkan diatas, NO memediasi respon ini pada
sel otot halus melalui aktivasi enzim guanilil siklase dan produksi cGMP yang berkelanjutan.
Viagra dan obat yang sejenis tidak mempengaruhi pelepasan NO atau aktivasi guanilil siklase,
namun lebih berperan sebagai inhibitor pada cGMP fosfodiesterase, enzim yang
menghancurkan cGMP. Inhibisi enzim ini mengarah pada mempertahankan level cGMP yang

42
meningkat, sehingga memicu perkembangan dan menjaga kondisi ereksi. Viagra lebih
spesifik untuk isoform tertentu pada cGMP fosfodiesterase, PDE5, yang merupakan versi
senyawa yang bekerja pada penis. Isoform enzim lainnya adalah, PDE3 memegang peranan
utama meregulasi kontraksi otot jantung, tapi untungnya tidak terhambat oleh obat tersebut.
Viagra ditemukan pada saat obat potensial angina memiliki efek samping.
Studi terbaru menemukan NO memiliki beragam kinerja didalam tubuh yang tidak
melibatkan produksi cGMP. Contohnya, NO ditambahkan ke grup SH pada residu sistein
tertentu di lebih dari seratus protein termasuk hemoglobin, Ras, channel ryanodin, dan
kaspase. Modifikasi pasca-translasi yang disebut S-nitrosilasi, mengubah aktivitas, pergantian,
atau interaksi protein.

13. Mekanisme apoptosis sel


Apoptosis atau kematian sel yang terprogram, merupakan suatu proses normal yang
unik ditemukan pada sel hewan. Apoptosis terjadi melalui sekuens peristiwa yang ter-
program yang mengarah pada kematian sel. Kematian karena apoptosis sel adalah proses
yang teratur dan rapi (Gambar 29) dikarakterisasi melalui penyusutan keseluruhan volume sel
dan nukleusnya, hilangnya mekanisme adhesi dengan sel tetangga, dan formasi lepuh pada
permukaan sel, pemotongan kromatin menjadi fragmen kecil, penghancuran sisa sel mati
melalui fagositosis.

Gambar 29. Perbandingan antara sel normal dan


apoptotik. (a,b) mickrograf elektron scanning sel normal
(a) dan sel T apoptotik hibridoma (b). permukaan sel
apoptotik menunjukkan banyak tonjolan seperti
bertunas. Garis menunjukkan ukuran 4 mm. (c) ilustrasi
perbedaan morfologi antara sebuah sel yang mengalami
apoptosis (diatas kanan) dan sel yang mengalami
nekroptosis (ditengah).

Apoptosis sering dikontraskan dengan beberapa tipe kematian sel disebut nekrosis,
yang biasanya diikuti oleh sejumlah trauma fisik atau kerusakan biokimiawi. Seperti
apoptosis, nekrosis dapat terjadi sebagai sebuah proses teregulasi dan terprogram (disebut
nekroptosis), walaupun tidak terlalu terorganisir bila terjadi pada kondisi alami. Nekrosis
dikarakterisasi melalui pembengkakan sel dan membran internal organel, pemecahan
membran, kebocoran konten sel ke lingkungan, dan menyebabkan induksi pada inflamasi.
Karena merupakan proses yang aman dan teratur, apoptosis sering dibandingkan dengan
ledakan terkendali pada sebuah gedung yang telah diberi peledak lalu kemudian dihancurkan
strukturnya tanpa harus mengkhawatirkan debris yang terbentuk setelahnya.

43
Mengapa tubuh kita memiliki sel yang tidak diinginkan, dan bagaimana tubuh kita
menemukan sel target yang akan dieleminasi? Jawaban paling singkat adalah: dimanapun
disetiap bagian tubuh kita. Selama perkembangan masa embrionik, bentuk awal dari tangan
manusia hanya menyerupai dayung tanpa ada jarak antara jaringan yang nantinya akan
menjadi jari. Jari kemudian dibentuk dari struktur yang menyerupai dayung tersebut melalui
eleminasi kelebihan sel dengan apoptosis. Ada tiga tahapan proses tersebut yang juga
ditemukan pada tikus. Limfosit T merupakan sel pada sistem imun yang mengenal dan
membunuh sel abnormal atau sel yang target yang terinfeksi patogen. Sel target tersebut
dikenali oleh reseptor spesifik yang ditemukan pada permukaan sel limfosit T. Selama
perkembangan embrionik, limfosit T yang diproduksi memiliki reseptor yang dapat berikatan
secara kuat dengan protein yang ditemukan pada permukaan sel normal di dalam tubuh.
Limfosit T yang memiliki reseptor tersebut sanagt berbahaya bagi tubuh dieleminasi melalui
apoptosis. Apoptosis tidak berhenti hanya sampai masa perkembangan embrionik saja.
Diestimasikan bahwa sekitar 1010-1011 sel pada tubuh orang dewasa mati karena proses
apoptosis. Contoh, apoptosis terlibat pada eleminasi sel yang mengalami kerusakan genomik.
Hal ini penting karena kerusakan pada cetak biru genomik dapat menyebabkan pembelahan
sel yang tidak teratur dan perkembangan sel kanker. Apoptosis juga bertanggungjawab
terhadap kematian sel yang tidak lagi dibutuhkan, seperti sel T teraktivasi yang telah bekerja
merespon agen infeksius yang telah dieleminasi. Akhirnya, apoptosis juga terlibat pada
penyakit neurodegeneratif seperti penyakit Alzheimer, Parkinson, dan Hutington. Eleminasi
neuron esensial selama progresi penyakit menyebabkan hilangnya memori atau penurunan
kemampuan koordinasi motorik. Hal ini menunjukkan bahwa apoptosis berperan membentuk
jaringan dan organ selama perkembangan embrionik dan berperan mempertahankan
homeostasis pada tubuh hewan dewasa. Penyakit yang cukup berbahaya dapat disebabkan
oleh kegagalan proses apoptosis saat akan mengeleminasi sel (contoh sel kanker) secara
keseluruhan dan dapat pula disebabkan oleh induksi berlebihan pada apoptosis saat
mengeleminasi sel yang tidak tepat (contoh diabetes tipe I).
Istilah apoptosis pertama kali disebutkan oleh John Kerr (1972), Andrew Wylie, dan
A.R. Currie pada sebuah jurnal yang menggambarkan tentang kematian sel yang
terkoordinasi pada beragam sel. Pengetahuan yang berdasarkan sisi molekular apoptosis
pertama kali dilakukan pada sebuah studi cacing nematoda C. elegans, yang perkembanagn
selnya dapat diikuti secara presisi selama perkembangan embrionik. Hampir 1090 sel yang
diproduksi selama perkembangan cacing tersebut, 131 sel dimaksudkan mati melalui
apoptosis. Pada suatu studi ditemukan bahwa cacing yang membawa mutasi gen CED-3 akan
mengalami proses perkembangan tanpa kehilangan satu sel pun melalui apoptosis. Hasil studi
mengindikasikan bahwa produk gen CED-3 memiliki peranan terhadap apoptosis organisme.
Identifikasi gen CED-3 pada nematoda mengarah pada penemuan protein homolog mamalia,
yang sekarang disebut sebagai kaspase. Kaspase merupakan kelompok sistein protease
tertentu (contoh protease dengan residu sistein utama pada area katalitiknya) yang diaktivasi
pada tahap awal apoptosis dan bertanggungjawab memicu kebanyakan atau hampir semua
perubahan yang terjadi pada saat kematian sel. Kaspase menyebabkan peristiwa tersebut
melalui pemotongan grup protein esensial tertentu. Berikut adalah target kaspase:
 Lebih dari satu lusin protein kinase, termasuk focal adhesion kinase (FAK), PKB, PKC,
dan Raf1. Inaktivasi FAK sebagai contoh, akan mengganggu adhesi sel sehingga
menyebabkan pelepasan sel apoptotik dengan sel tetangga. Inaktivasi beberapa kinase
tertentu, seperti PKB akan menyebabkan gangguan mekanisme jalur pensinyalan
pertahanan diri awal melalui inaktifasi jalur Nf-kB.
 Lamin, yang menyusun lapisan dalam envelope nukleus. Pemotongan lamin
menyebabkan pembongkaran lamina nuklear dan menciutnya nukleus.

44
 Protein sitoskeleton seperti filamen intermediate, aktin, tubulin, dan gelsolin.
Pemotongan dan akibat inaktivasi protein ini akan mengarah pada perubahan bentuk sel.
 Sebuah endonuklease disebut kaspase yang diaktivasi DNAse (CAD) yang akan
diaktivasi setelah pemotongan kaspase pada sebuah protein inhibitor. Saat telah
teraktivasi, CAD ditranslokasi dari sitoplasma ke nukleus dimana CAD akan menyerang
DNA sehingga menjadi fragmen-fragmen.
Studi terbaru menitikberatkan pada kejadian yang mengarah pada aktivasi program
penghancuran sel. Apoptosis dapat dipicu melalui stimuli internal seperti abnormalitas DNA,
dan stimuli eksternal seperti sitokin tertentu (protein yang disekresi oleh sel pada sistem
imun). Contoh sel epitelial prostat menjadi apototik saat kehilangan hormon testosteron. Hal
ini menjadi alasan mengapa kanker prostat yang telah menyebar ke jaringan lainnya ditangani
dengan penggunaan obat yang menginterfensi produksi testosteron. Studi mengindikasikan
bahwa stimulus eksternal mengaktivasi apoptosis melalui sebuah jalur pensinyalan, yang
disebut jalur ekstrinsik yang berbeda dari jalur yang digunakan oleh stimulus internal yang
disebut jalur intrinsik. Kita akan membahas mengenai jalur ekstrinsik dan intrinsik secara
terpisah. Namun perlu diperhatikan bahwa terdapat hubungan antara kedua jalur tersebut dan
bahwa signal apoptotik ekstraseluler dapat menyebabkan aktivasi jalur intrinsik.

a. Jalur ekstrinsik apoptosis


Tahapan pada jalur intrinsik diilustrasikan pada gambar 30. Pada kasus yang
diilustrasikan pada gambar 30, stimulus untuk apoptosis dibawa oleh protein messenger
ekstraseluler yang disebut Tumor Necrosis Factor (TNF), yang diberi nama berdasarkan
kemampuannya untuk membunuh sel tumor. TNF merupakan protein trimerik yang
diproduksi oleh sejumlah sistem sel imun sebagai bentuk respon terhadap kondisi yang
merugikan, seperti paparan radiasi ion, peningkatan temperatur, infeksi virus, atau agen
kimiawi toksik seperti yang digunakan untuk kemoterapi kanker. Seperti halnya tipe molekul
messenger pertama yang telah dibahas, TNF memicu respon melalui pengikatan pada trans-
membran reseptor, TNFR1. Protein TNFR1 trimerik merupakan anggota famili “reseptor
kematian” yang mengaktifkan proses apoptotik. Domain sitoplasmik setiap subunit reseptor
TNF memiliki segmen yang mengandung 70 asam amino yang disebut “domain kematian”
(setiap segmen pada gambar 30) yang memediasi interaksi protein-protein. Pengikatan TNF
pada reseptor trimerik menyebabkan perubahan konformasi reseptor “domain kematian”,
yang nantinya mengarah pada perekrutan sejumlah protein, seperti yang nampak pada gambar
30.
Protein terakhir yang akan bergabung pada kompleks yang menyusun permukaan
dalam membran plasma adalah dua molekul prokaspase-8 (Gambar 30). Protein ini disebut
protein “prokaspase” karena setiap prekursor sebuah kaspase mengandung sebuah porsi
ekstra yang disebut “pro region” yang harus dihilangkan oleh proses proteolitik untuk
mengaktivasi enzim. Sintesis kaspase sebagai pro-enzim melindungi sel dari kerusakan yang
tidak disengaja pada proses proteolitik. Tidak seperti kebanyakan proenzim, prokaspase
menghambat sebuah aktivitas proteolitik level rendah. Menurut satu model, saat dua atau
lebih prokaspase berada berdekatan satu sama lainnya, seperti yang nampak pada gambar 30,
prokaspase mampu memotong rantai polipeptida lainnya dan mengkonversi molekul lain
menjadi molekul kaspase aktif sepenuhnya. Enzim matang (kaspase-8) mengandung empat
rantai polipeptida yang berasal dari dua prekursor pro-kaspase.
Aktivasi kaspase-8 memiliki prinsip yang sama dengan aktivasi efektor oleh sebuah hormon
atau faktor pertumbuhan. Pada semua jalur pensinyalan ini, pengikatan ligan ekstraseluler
menyebabkan perubahan pada konformasi sebuah reseptor yang mengarah pada pengikatan
dan aktivasi protein yang terjadi di jalur hilir. Kaspase-8 digambarkan sebagai kaspase

45
inisiator karena menginisiasi apoptosis melalui pemotongan dan pengaktifan jalur hilir, atau
eksekusioner, kaspase yang memiliki kontrol proses penghancuran diri pada sel.

Gambar 30. Model yang disederhanakan pada jalur


ekstrinsik apoptosis (dimediasi reseptor) dan jalur
nekrotik. Saat TNF berikatan dengan sebuah reseptor
TNF (TNFR1), reseptor teraktivasi akan mengikat
protein adaptor sitoplasmik TRADD dan protein
pensinyalan tambahan termasuk RIP1K kinase.
Domain sitoplasmik pada reseptor TNF, FADD.
TRADD, dan RIP1K, saling berinteraksi satu sama
lain melalui region homolog yang disebut “domain
kematian” yang dimiliki setiap protein. Pada jalur
apoptotik, RIP1K berasosiasi dengan adaptor protein
FADD dan prokaspase-8. Setelah disusun dalam suatu
kompleks, dua molekul prokaspase saling memotong
satu sama lain untuk menghasilkan molekul kaspase-8
aktif yang memiliki empat segmen polipeptida.
Kaspase 8 adalah sebuah kompleks inisiator yang
mengaktivasi kaspase hilir (eksekusioner) yang
membawa pesan kematian. Pada jalur nekrotik,
asosiasi RIP1K dengan kinase lainnya, RIP3K akan
membentuk nekroptosom aktiv. Fosforilasi RIP3K
pada MLKL menyebabkan translokasi MLKL ke
membran dan oligomerisasi untuk membentuk
channel yang memungkinkan kebocoran sitoplasmik.
Dapat diperhatikan bahwa interaksi antara TNF dan
TNFR1 kemungkinan mengarah pada kemampuan
bertahan hidup sel dibandingkan penghancuran diri
oleh sel.

b. Jalur instrinsik apoptosis


Stimulus internal seperti kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki, kekurangan
oksigen (hipoksia), konsentrasi Ca2+ sitosolik yang sangat tinggi, infeksi virus, stres pada RE,
atau stres oksidatif yang berat (contoh produksi sejumlah besar radikal bebas destruktif),
memicu apoptosis melalui jalur intrinsik yang diilustrasikan pada Gambar 31. Aktivasi jalur
intrinsik diregulasi oleh anggota famili protein Bcl-2, yang dikarakterisasi dengan keberadaan
satu atau leboh domain BH kecil. Famili Bcl-2 dapat dibagi menjadi tiga kelompok: (1)
anggota proapoptotik (termasuk beberapa domain BH) yang memicu apoptosis (Bax dan
Bak), (2) anggota anti-apoptotik (termasuk beberapa domain BH) yang melindungi sel dari
apoptosis (contoh Bcl-x1, Bcl-w, dan Bcl-2), dan (3) hanya protein BH-3 (diberi nama
demikian karena mengandung hanya satu domain BH), yang memicu apoptosis melalui
mekanisme yang tidak langsung. Menurut struktur, BH3-hanya protein (contoh Bid, Bad,
Puma, Bim) dapat menggunakan kemampuan pro-apoptotiknya melalui dua cara, bergantung
pada jenis protein yang terlibat. Pada beberapa kasus, BH3 adalah penentu yang mungkin
menentukan apakah sel akan mengikuti jalur untuk tetap bertahan hidup atau mati. Pada
sebuah sel yang sehat, BH3-hanya protein dapat absen atau sangat diinhibisi, dan protein
anti-apoptotik Bcl-2 dapat menahan anggota pro-apoptotik. Mekanisme ini masih menjadi
perdebatan. Hanya dalam menghadapi jenis tekanan tertentu, BH3-hanya protein
diungkapkan atau diaktifkan, sehingga menggeser keseimbangan arah apoptosis. Pada
kondisi ini, efek menahan pada protein Bcl-2 antiapoptotik diganti, dan protein proapoptotik
Bax bebas untuk melakukan translokasi dari sitosol ke membran luar mitokondria (OMM).
Walaupun mekanismenya belum terlalu jelas, diduga bahwa molekul Bax (dan atau molekul

46
Bak, yang merupakan residen permanen OMM) mengalami perubahan konformasi yang
menyebabkan molekul Bax untuk merakit menjadi sebuah multisubunit, saluran berlapis
protein didalam OMM. Setelah terbentuk, secara dramatis channel ini akan meningkatkan
permeabilitas OMM dan memicu pelepasan protein mitokondrial khusus, yaitu sitokrom C
yang akan menempati ruang intermembran. Hampir semua molekul sitokrom C yang
ditemukan pada semua sel bermitokondria dapat dilepaskan dari sel yang mengalami
apoptotik dalam jangka waktu pendek bahkan dalam hitungan lima menit. Sel yang tidak
memiliki Bax dan Bak akan terhindar dari proses apoptotik, sehingga memberikan gambaran
betapa pentingnya peranan protein pto-apoptotik tersebut.
Pelepasan protein pro-apoptotik mitokondria seperti sitokrom C nampaknya adalah
sebuah titik yang tidak bisa dikembalikan lagi, sehingga bersifat irreversibel dan sel
berkomitmen untuk melakukan apoptosis. Setelah mencapai sitosol, sitokrom C akan
membentuk kompleks multiprotein yang berbentuk roda disebut apoptosome, yang juga
termasuk beberapa molekul prokaspase-9. Molekul prokaspase-9 akan teraktivasi melalui
penggabungan kompleks multiprotein dan tidak membutuhkan pemotongan proteolitik
(Gambar 31). Seperti kaspase-8 yang diaktivasi oleh jalur yang dimediasi reseptor seperti
yang dijelaskan diatas, kaspase-9 adalah sebuah kaspase inisiator yang mengaktivasi kaspase
eksekusioner hilir, yang akan menyebabkan apoptosis. Jalur ekstrinsik (dimediasi reseptor)
dan intrinsik (dimediasi mitokondria) akhirnya akan bertemu melalui aktivasi kaspase
eksekusioner yang sama, yang akan memotong target seluler yang sama.

Gambar 31. Jalur intrinsik (dimediasi mitokondria)


pada apoptosis. Beragan penyebab stres sel dapat
menyebabkan anggota protein proapoptotik Bcl-2
yaitu Bax atau Bak ber-oligomerisasi didalam
membran luar mitokondria, membentuk suatu
saluran/channel yang memfasilitasi pelepasan molekul
sitokrom C dari ruang intermembran. Saat telah
mencapai sitosol, molekul sitokrom C membentuk
suatu multisubunit kompleks dengan sebuah protein
sitosolik yang disebut Apaf-1 dan molekul prokaspase-
9. Molekul prokaspase-9 diaktivasi sehingga memiliki
sifat proteolitik penuh yang disebabkan perubahan
konformasional yang diinduksi oleh asosiasi dengan
Apaf-1. Molekul kaspase-9 memotong dan
mengaktivasi kaspase eksekusioner, yang akan
memicu respon apoptotik. Jalur intrinsik dapat dipicu
oleh beberapa sel (hepatosit) melalui signal
ekstraseluler. Hal ini timbul saat kaspase inisiator
pada jalur ekstrinsik, kaspase-8, memotong domain
BH3-hanya protein disebut Bid, menghasilkan
fragmen protein (tBid) yang berikatan dengan Bax,
menginduksi insersi Bax kedalam OMM dan
melepaskan sitokrom C dari mitokondria.

47
Sel yang akan dieksekusi untuk apoptosis, akan kehilangan kontak dengan sel
tetangganya dan mulai menciut. Akhirnya, sel mengalami disintegrasi menjadi suatu tubuh
apoptotik kental yang diselubungi membran. Keseluruhan program apoptotik dapat terjadi
kurang dari satu jam. Bangkai apoptotik dikenali kehadirannya melalui fosfatidilserin pada
permukaannya. Fosfatidilserine adalah suatu fosfolipid yang pada kondisi normal ditemukan
pada lapisan dalam membran plasma. Selama apoptosis, sebuah fosfolipid “pengacak”
menggerakkan molekul fosfatidilserin ke lapisan luar membran plasma untuk dikenali
sebagai bentuk signal bagi makrofag agar memfagositosis sel tersebut. Kematian apoptotik
sel terjadi tanpa adanya tumpahan isi sel ke lingkungan ekstraseluler (Gambar 32). Hal ini
sangat penting karena pelepasan debris seluler dapat memicu inflamasi, sehingga
menyebabkan kerusakan yang sangat besar pada jaringan.

Gambar 32. Pembersihan sel apoptotik yang


dilakukan melalui fagositosis. Mikrograf elektron
menunjukkan bangkai sel apoptotik didalam
sitoplasma fagosit. Perhatikan sifat kompak dari sel
yang tertelan dan kepadatan kromatinnya.

c. Nekroptosis
Kebalikan dari apoptosis, sel nekroptotik akan memiliki membran plasma yang
pecah, menyebabkan konten seluler akan tumpah ke lingkungannya, dan sering memicu
respon inflamatoris. Respon inflamatori ini kadang bersifat menguntungkan, dalam arti dapat
membimbing sel imun ke situs infeksi, misalnya. Namun, misregulasi jalur nekroptosis
diduga memicu penyakit inflamatori seperti penyakit Chron;s dan penyakit inflamasi sistem
cerna.
Pemahaman mengenai mekanisme molekular yang menyebabkan terjadinya
nekroptosis merupakan bahan yang dijadikan subjek penelitian. Studi terbaru menunjukkan
bahwa nekroptosis dapat dipicu oleh signal yang sama -pengikatan TNF pada reseptor TNF-
yang juga mengarah pada jalur ekstrinsik apoptosis. Pada jalur nekroptosis, kaspase-8 tidak
diaktivasi. Namun, sebuah seri interaksi yang mengarah pada perekrutan kinase RIPK1 dan
RIPK3, yang diduga melakukan oligomerisasi menjadi sebuah struktur yang disebut
nekrosom, dan aktivasi aktivitas kinase RIPK3 (Gambar 30). Bukti terbaru menunjukkan
bahwa sebuah substrat RIPK3, yang disebut MLKL ditargetkan untuk membran plasma
setelah difosforilasi. Diduga bahwa MLKL dapat mengoligomerisasi menjadi bentuk pori
transmembran yang menyebabkan pelepasan integritas membran plasma dan kematian sel.

48
d. Pensinyalan untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel.
Seperti halnya ada signal yang menyebabkan destruksi sel, terdapat pula signal yang
yang menyebabkan sel mempertahankan kelangsungan hidup sel. Faktanya, interaksi TNF
dengan reseptor TNF sering mentransmisikan dua signal tertentu yang berlawanan kedalam
interior sel: satu menstimulasi apoptosis dan lainnya menstimulasi kelangsungan hidup sel.
Sehingga, kebanyakan sel memiliki reseptor TNF tidak akan mengalami apoptosis saat diberi
perlakuan oleh TNF. Hal ini merupakan penemuan yang sedikit mengecewakan karena
awalnya diharapkan bahwa TNF dapat digunakan sebagai agen untuk mematikan sel tumor.
Kelangsungan hidup sel dimediasi melalui aktivasi sebuah faktor transkripsi kunci yang
disebut NF-kB, yang mengaktivasi ekspresi gen yang dikode protein untuk kelangsungan
hidup sel. Sehingga nasib sel ditentukan oleh keseimbangan antara signal yang memicu
kelangsungan hidup sel, apoptotik, dan nekroptosis.

3. Penutup Rangkuman
Tes Formatif:
Untuk mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa pada
materi diberikan pertanyaan:
1. pemahaman dan penjabaran sistem dan mekanisme komunikasi sel.
Umpan Balik:
Mahasiswa dapat mengajukan hal tentang kondisi yang dialami dan diharapkannya untuk
memahami materi bahasan terkait.
Pembahasan:
Setelah pemaparan materi bahasan tersebut di atas mahasiswa diberi kesempatan bertanya
atau membentuk kelompok diskusi
Penelitian:
Fasilitator menguraikan berbagai contoh penelitian yang telah dan sedang serta
prospective dan yang sedang dalam rencana kegiatan penelitian dari berbagai dosen dalam
lingkup laboratorium sendiri maupun peneliti terkait secara nasional maupun internasional.
Penerapan:
Fasilitator menguraikan tentang Penghiliran/penerapan dari berbagai penelitian terkait
pentingnya memahami teknik dan metode yang digunakan untuk mempelajari struktur dan
fungsi sel pada skala laboratorium.
Latihan:
Di dalam kelas mahasiswa diberi kegiatan berupa menjelaskan dengan kata-kata sendiri
dalam mendiskripsikan teknik dan metode yang digunakan untuk mempelajari struktur dan
fungsi sel pada skala laboratorium.
Tugas Mandiri:
Dapat diberikan dalam bentuk menambahkan materi atau publikasi terkait pokok bahasan.

49
Daftar Pustaka

Campbell, N.A., J. B. Reece & L.G. Mitchell. 1999. Biology, Addison – Wesley, an Imprint
of Addison Wesley longman, Inc.

Lamb N. & Ania Manson, 2007. Crash Course: Cell Biology and Genetics. Mosby Elsevier
Philadelphia, PA.

Savada David, E. 1993. Cell Biology, Organelle Structure and Function. Jones and Bartiett
Publisher, Borton, London.

Starr C, & Ralph Taggart. 1993, Biology the Unity & Diversity of Life, Sixth Edition.
Wodworth Publishing Company, Belmont, California A Division of Wodsworth, Inc.

Srivastava V, McKee Lauren S, Bulone V. 2017, Plant Cell Walls, In: eLS. John Wiley &
Sons, Ltd: Chichester.

50

Anda mungkin juga menyukai