Bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu dari bangsa Indonesia yang sudah dipakai oleh masyarakat
Indonesia sejak dahulu jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, namun tidak semua orang
menggunakan tata cara atau aturan-aturan yang benar, salah satunya pada penggunaan bahasa
Indonesia itu sendiri yang tidak sesuai dengan Ejaan maupun Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh
karena itu pengetahuan tentang ragam bahasa cukup penting untuk mempelajari bahasa Indonesia
secara menyeluruh yang akhirnya bisa diterapkan dan dapat digunakan dengan baik dan benar
sehingga identitas kita sebagai bangsa Indonesia tidak akan hilang.
Bahasa Indonesia perlu dipelajari oleh semua lapisan masyrakat. Tidak hanya pelajar dan mahasiswa
saja, tetapi semua warga Indonesia wajib mempelajari bahasa Indonesia. Dalam bahasan bahasa
Indonesia itu ada yang disebut ragam bahasa. Dimana ragam bahasa merupakan variasi bahasa yang
pemakaiannya berbeda-beda. Ada ragam bahasa lisan dan ada ragam bahasa tulisan. Disini yang
lebih lebih ditekankan adalah ragam bahasa lisan , karena lebih banyak digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalkan ngobrol, puisi, pidato,ceramah,dll.
Pidato sering digunakan dalam acara-acara resmi. Misalnya pidato pesiden, pidato dari ketua OSIS,
ataupun pidato dari pembina upacara. Sistematika dalam pidato pun hendaklah dipahami betul-
betul. Agar pidato yang disampaikan sesuai dengan kaidah yang benar. Pidato sama halnya denan
ceramah. Hanya saja ceramah lebih membahas tentang keagamaan.kalau pidato lebih umum dan
bisa digunakan dalam banyak acara.
Ragam Bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang berbeda-beda menurut topik yang
dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang dibicarakan, serta menurut
medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa yang oleh penuturnya dianggap sebagai ragam
yang baik (mempunyai prestise tinggi), yang biasa digunakan di kalangan terdidik, di dalam karya
ilmiah (karangan teknis, perundang-undangan), di dalam suasana resmi, atau di dalam surat
menyurat resmi (seperti surat dinas) disebut ragam bahasa baku atau ragam bahasa resmi.
Menurut Dendy Sugono (1999 : 9), bahwa sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia, timbul
dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan tak baku. Dalam situasi remi,
seperti di sekolah, di kantor, atau di dalam pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya
dalam situasi tak resmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan
bahasa baku.
Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa terdiri
dari:
Bahasa yang dihasilkan melalui alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar
dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam bahasa
lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara
penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki
hubungan yang erat.
Ragam bahasa tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu,
sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa
itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar,
meskipun ada pula kesamaannya. Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata,
masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
Ragam Lisan
Ragam bahasa baku lisan didukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi
pelesapan kalimat. Namun, hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya. Walaupun demikian,
ketepatan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan unsur-unsur di dalam kelengkapan
unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam baku lisan karena
situasi dan kondisi pembicaraan menjadi pendukung di dalam memahami makna gagasan yang
disampaikan secara lisan.
Pembicaraan lisan dalam situasi formal berbeda tuntutan kaidah kebakuannya dengan pembicaraan
lisan dalam situasi tidak formal atau santai. Jika ragam bahasa lisan dituliskan, ragam bahasa itu
tidak dapat disebut sebagai ragam tulis, tetapi tetap disebut sebagai ragam lisan, hanya saja
diwujudkan dalam bentuk tulis. Oleh karena itu, bahasa yang dilihat dari ciri-cirinya tidak
menunjukkan ciri-ciri ragam tulis, walaupun direalisasikan dalam bentuk tulis, ragam bahasa serupa
itu tidak dapat dikatakan sebagai ragam tulis. Kedua ragam itu masing-masing, ragam tulis dan
ragam lisan memiliki ciri kebakuan yang berbeda.
Ragam Tulis
Dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang
oleh situasi pemakaian, sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya
ditunjang oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur kalimat. Oleh
karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan kecermatan dan ketepatan di
dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta
kelengkapan unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Contoh perbedaan ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis (berdasarkan tata bahasa dan kosa
kata):
a) Tata Bahasa
Ragam Lisan
Ragam Tulis
Istilah lain yang digunakan selain ragam bahasa baku adalah ragam bahasa standar, semi standar dan
nonstandar. Bahasa ragam standar memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan
tetapi, kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam standar tetap luwes sehingga memungkinkan
perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan perkembangan berbagai jenis laras
yang diperlukan dalam kehidupan modem (Alwi, 1998: 14).
Pembedaan antara ragam standar, nonstandar, dan semi standar dilakukan berdasarkan:
Ciri yang membedakan antara ragam standar, semi standar dan nonstandard adalah sebagai berikut:
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam standar dan ragam
nonstandar yang sangat menonjol. Kepada orang yang kita hormati, kita akan cenderung menyapa
dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara, Anda. Jika kita menyebut diri kita, dalam ragam
standar kita akan menggunakan kata saya atau aku. Dalam ragam nonstandar, kita akan
menggunakan kata gue.
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai perbedaan ragam standar dan
ragam nonstandar. Dalam ragam standar, digunakan kata-kata yang merupakan bentuk baku atau
istilah dan bidang ilmu tertentu. Penggunaan imbuhan adalah ciri lain. Dalam ragam standar kita
harus menggunakan imbuhan secara jelas dan teliti.
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi) merupakan ciri pembeda lain.
Dalam ragam nonstandar, sering kali kata sambung dan kata depan dihilangkan. Kadang kala,
kenyataan ini mengganggu kejelasan kalimat.
Kelengkapan fungsi merupakan ciri terakhir yang membedakan ragam standar dan nonstandar.
Artinya, ada bagian dalam kalimat yang dihilangkan karena situasi sudah dianggap cukup
mendukung pengertian. Dalam kalimat-kalimat yang nonstandar itu, predikat kalimat dihilangkan.
Seringkali pelesapan fungsi terjadi jika kita menjawab pertanyaan orang. Misalnya, Hai, Ida, mau ke
mana?” “Pulang.” Sering kali juga kita menjawab “Tau.”untuk menyatakan ‘tidak tahu’. Sebenarnya,
pëmbedaan lain, yang juga muncul, tetapi tidak disebutkan di atas adalah Intonasi. Masalahnya,
pembeda intonasi ini hanya ditemukan dalam ragam lisan dan tidak terwujud dalam ragam tulis.
2. Bahasa Indonesia berdasarkan cara pandang penutur
Berdasarkan cara pandang penutur, ragam bahasa Indonesia terdiri dari ragam dialek, ragam
terpelajar, ragam resmi dan ragam tak resmi.
Berdasarkan topik pembicaraan, ragam bahasa terdiri dari ragam bahasa ilmiah, ragam hukum,
ragam bisnis, ragam agama, ragam sosial, ragam kedokteran dan ragam sastra.
Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat
pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam
penggunaannya.
Kata baku sebenanya merupakan kata yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang
telah ditentukan. Konteks penggunaannya adalah dalam kalimat resmi, baik lisan maupun tertulis
dengan pengungkapan gagasan secara tepat.
1. Komunikasi resmi, yakni dalam surat menyurat resmi, surat menyurat dinas, pengumuman-
pengumuman yang dikeluarkan oleh instansi resmi, perundang-undangan, penamaan dan
peristilahan resmi, dan sebagainya.
2. Wacana teknis seperti dalam laporan resmi, karya ilmiah, buku pelajaran, dan sebagainya.
3. Pembicaraan di depan umum, seperti dalam ceramah, kuliah, pidato dan sebagainya.
4. Pembicaraan dengan orang yang dihormati dan sebagainya.
Sedangkan kata tidak baku merupakan kebalikan dari kata baku. Suatu kata bisa diklasifikasikan tidak
baku bila kata yang digunakan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang ditentukan.
Biasanya hal ini muncul dalam bahasa percakapan sehari-hari, bahasa tutur. Tidak ada cirri-ciri
penggunaan kata ini karena digunakan sebagai bahasa sehari-hari (seenaknya).
Bahasa baku:
Cantik sekali
Lurus saja
Masih kacau
Uang
Tidak mudah
Diikat dengan kawat
Bagaimana kabarnya
Bahasa tidak baku:
Cantik banget
Lempeng saja
Masih sembratu
Duit
Enggak gampang
Diikat sama kawat
Gimana kabarnya
Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah Bahasa Indonesia yang digunakan sesuai dengan
situasi pembicaraan (yakni, sesuai dengan lawan bicara, tempat pembicaraan, dan ragam
pembicaraan) dan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam Bahasa Indonesia (seperti: sesuai
dengan kaidah ejaan, istilah, dan tata bahasa). Seperti yang ditulis di buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Depdiknas) tahun 1988,
pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang
merupakan bahasa yang benar atau betul.
“Orang yang mahir menggunakan bahasanya sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya,
apapun jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi
menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau
tepat. Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu beragam baku” (Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 19).
Jadi jika kita berbahasa benar belum tentu baik untuk mencapai sasarannya, begitu juga sebaliknya,
jika kita berbahasa baik belum tentu harus benar, kata benar dalam hal ini mengacu kepada bahasa
baku. Contohnya jika kita melarang seorang anak kecil naik ke atas meja, “Hayo adek, nggak boleh
naik meja, nanti jatuh!” Akan terdengar lucu jika kita menggunakan bahasa baku, “Adik tidak boleh
naik ke atas meja, karena nanti engkau bisa jatuh!”
Untuk itu ada baiknya kita tetap harus selalu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, yang
berarti “pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan yang di samping itu mengikuti
kaidah bahasa yang benar. Ungkapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebaliknya mengacu ke
ragam bahasa yang sekaligus memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran” (Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988, halaman 20).