Anda di halaman 1dari 3

FORMAT ESAI REFLEKSI DIRI

MATA KULIAH TERINTEGRASI: PENGANTAR PROFESIONALISME DOKTER SPESIALIS

TOPIK INTERPROFESSIONAL EDUCATION

Nama : dr. Ahmad Dharobi

PPDS Program Studi : Ilmu Bedah

Minggu pelaksanaan : Minggu ke-2

Fasilitator :
- Prof. dr. Rismawati Y., Sp.PK (K)
- Prof. dr. Nur Indrawaty Lipoeto, MSc, PhD, Sp.GK (K)
- Prof. Dr.dr. Masrul, MSc, Sp.GK (K)
- Prof. DR. dr. Rizanda Machmud, M.Kes, FISPH, FISCM
- DR. dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K.Psi,M.Kes,FINASIM
- DR. dr. Yuniar Lestari, M.Kes
- DR. dr. Rika Susanti, Sp.FM (K)
- dr. Alexander Kam, Sp.PD
- dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.FM, M.Sc
- dr. Aswiyanti Asri, M.Si.Med, Sp.PA (K)
- dr. Ida Rahmah Burhan, MARS
- dr. Rahma Tsania Zhuhra, M.Pd.Ked
- Diny Amenike, M.Psi, Psikolog

Pada minggu kedua ini kami mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga yang baru dan lebih
banyak melalui diskusi-diskusi kasus-kasus etik dan artikel yang terkait IPC dan IPE. Hal ini disajikan
secara interaktif melalui materi kuliah, diskusi kasus dan role play yang kemudian didiskusikan dari segi
etik, profesionalisme dan hukum. Kami bisa membayangkan dan mempersiapkan diri ketika nanti kami
dihadapkan dengan kemungkinan kasus-kasus nyata di lapangan agar terhindar dari pelanggaran yang
bisa menjerumuskan seorang dokter.

Kuliah yang paling berkesan saya dapatkan adalah Prinsip Analisis Data yang disampaikan oleh
Prof. Dr. dr. Rizanda Machmud, M.Kes., FISPH, FISCM. Meskipun ada pergeseran jadwal, saya
mendapatkan ilmu penelitian thesis baik teori hingga teknis, strategi dan tips yang jelas. Tampak sekali,
beliau sangat menguasai apa yang dia sampaikan. Menurut saya, porsi kuliah Prof. Dr. dr. Rizanda
Machmud, M.Kes., FISPH, FISCM layak mendapatkan porsi lebih. Karena bagi saya penelitian ini, salah
satu tantangan yang rumit dan mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap peserta PPDS.
Pada minggu ini kami diberikan artikel mengenai IPC, lalu diskusi kasus seorang anak yang
meninggal pasca operasi Tonsiledektomi, Epistemologi dan lain-lainnya. Kendala awal mengenai kasus
etik yang mendadak berubah saat akan diskusi adalah sempat membuat kami kebingungan. Namun tak
lama ketika ketua kelompok membacakan kasus di depan kelas, kami pun merasa tertantang untuk
membahas kasus tersebut dengan suasana kompetitif yang sangat kental di kelas pada pagi hari itu.
Hampir setiap anggota menyampaikan pedapatnya dari perspektif etik, hukum dan profesionalisme. Dari
diskusi-diskusi ini, secara langsung maupun tidak, saya mulai mengenal karakter dari teman-teman di
luar prodi saya. Untuk tugas yang akan didiskusikan terkadang kami terkendala waktu untuk bisa
ngumpul diskusi, namun hal ini bisa kami atasi dengan memaksimalkan teknologi untuk bisa diskusi dan
membagi tugas via online.

Kasus meninggalnya seorang anak paska operasi Tonsilektomi menarik untuk dibahas dari
berbagai aspek keilmuan terutama dari perspektif seorang dokter. Pemaparan kasus masih umum ini,
namun kita bisa menggali celah-celah kemungkinan yang menjerumuskan seorang dokter. Untuk kasus
ini, saya melihat permasalahan ini di sisi pihak pasien dan di sisi seorang dokter.

Masalah ini bisa dinilai dari sudut pandang seorang dokter maupun sudut pandang pasien/
keluarga pasien. Seperti yang saya sampaikan saat diskusi lalu, saya menyampaikan tidak ada suatu
kejadian yang terjadi tiba-tiba, meskipun di skenario disebutkan pasien tiba-tiba meninggal. Dari segi
etik dan profesionalisme, selayaknya seorang dokter menggunakan prinsip autonomi berupa informed
consent yang menjelaskan tujuan, indikasi, manfaat (benefisien), tidak bertujuan mencelakakan(non-
malifisien) dan juga menyampaikan resiko jika tidak diambil keputusan bahkan resiko ringan hingga
terberat jika diambil keputusan untuk tindakan (kematian), selanjutnya keluarga pasien yang
memutuskan dengan pertimbangan besarnya manfaat dari mudhorot. Sehingga suatu saat terjadi resiko
tindakan berupa kematian, setidaknya pihak dokter sudah memegang bukti persetujuan tindakan dari
keluarga. dan keluarga pun lebih rela menerima resiko tersebut. Peraturan informed consent ini sudah
banyak diatur di antaranya: UU no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, Permenkes No.
290/Menkes/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Di pihak dokter, banyak hal-hal yang mesti diperhatikan seperti: penguasaan dalam penanganan
kasus, komunikasi dengan pasien yang hal ini telah banyak diatur dalam PERKONSIL Kedokteran
Indonesia No. 4 tahun 2011 tentang disiplin dokter. Selain itu, ada hal menarik bahwa keluarga mulai
marah ketika dokter di ICU (mungkin dokter anastesi) menyampaikan bahwa sang anak Mati Batang
Otak (MBO). Barangkali bagi orang awam dengan tingkat pendidikan tertentu akan timbul pertanyaan,
“kenapa yang dioperasi amandel, tapi yang mati batan otak?”. Maka dari itu, harus berhati-hati dalam
menyampaikan berita buruk. Jika harus, sebaiknya koordinasikan dengan DPJP yang menangani saat
operasi, agar ada penjelasan yang sejalan dengan informed consent sebelumnya. Selanjutnya ada celah
berbahaya akibat miskomunikasi antar sesama dokter yang melayani pasien. Jangan sampai ada
penjelasan sejawat ke keluarga pasien yang justru bisa membinasakan sejawat lainnya. kalau boleh
mengutip perkataan salah satu dokter Forensik di Riau dr. Syarifah, Sp.FM “Celetukanmu harimaumu
atau hati-hati celetukan maut”.
Harapan saya untuk keberlangsungan kolompok yang sudah cukup baik dan kompetitif ini, agar
tetap menjaga kekompakan, tetap saling bisa memberikan kontribusi terbaik untuk kelompoknya
maupun teman sekelas, lebih akrab dan saling mengenal lebih baik lagi. jika memungkinkan, barangkali
bisa kita adakan diskusi outdor di alam Sumbar yang indah nan menawan ini.

Anda mungkin juga menyukai