Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

DOKTER BERMEDIA SOSIAL DITINJAU DARI ETIK, HUKUM KESEHATAN DAN


PROFESIONALITAS

OLEH

KELOMPOK C
dr. Bram Sesario Rendi dr. Nurul Sari
dr. Riche Anggresti dr. Rikardi Santosa
dr. Nurul Fadhilah dr. Maressya Silvia Eszy
dr. Rudi Wijaya dr. Nurhayani Fatimah
dr. Zulherman dr. Fiqi Quinta Decroli
dr. Muhammad Irfan dr. Yoan Rahmah Aprilia
dr. Muhammad Brahmana Putra dr. Anindia Rahmawati Asbar
dr. Hanna Ramadhani Putri dr. Idebina Pasliko
dr. Aulia Kamil dr. Afwan Fajri
dr. Dila Khairat dr. Pramadhita Junaidi
dr. Eka Syafnita dr. Vivi Hafizarni
dr. Lukman Hakim dr. Vitara Arya Triputri

Pembimbing :
Prof. dr. Rismawati Yaswir, Sp.PK(K)
Dr. dr. Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, KIC, SH
Dr. dr. Rika Susanti, Sp.FM(K)
dr. Taufik Hidayat, Sp.FM, M.Sc

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

JULI 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan taufik, hidayah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
pleno yang berjudul “Dokter Bermedia Sosial Ditinjau Dari Etik, Hukum Kesehatan dan
Profesionalitas”. Tugas Pleno ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi
persyaratan Program Kuliah Terintegrasi PPDS Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Padang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. dr. Rismawati Yaswir, Sp.PK(K), Dr. dr.
Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, KIC, SH, Dr. dr. Rika Susanti, Sp.FM(K), dan dr. Taufik
Hidayat, Sp.FM, M.Sc sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan tugas ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tugas pleno ini masih jauh dari
sempurna, banyak terdapat kekurangan, mengingat kemampuan penulis yang terbatas. Segala
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna melengkapi dan
menyempurnakannya.

Padang, 23 Juli 2023

Penulis

i
DAFTAR IS

ii
I

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i

DAFTAR ISI……………………………………………………………….……….....………….ii

BAB I……………………………………………………………………………………………...1

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang......................................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan....................................................................................................................2

BAB II.............................................................................................................................................2

ILUSTRASI KASUS.......................................................................................................................4

BAB III............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN..............................................................................................................................6

3.1 Sudut Pandang Etika Kedokteran.....................................................................................6

3.1.1 Definisi Etika Kedokteran...............................................................................................6

3.1.2 Etika Dokter dalam Media Sosial....................................................................................7

3.1.3 Sanksi Etik.......................................................................................................................9

3.1.4 Keterkaitan Pelanggaran Etik dengan Kasus.................................................................12

3.2 Sudut Pandang Profesionalisme...........................................................................................15

3.3 Sudut Pandang Hukum.........................................................................................................15

3.4 Sudut Pandang Masyarakat..................................................................................................16

BAB IV..........................................................................................................................................18

KESIMPULAN..............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................24
ii

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehadiran media dengan segala kelebihannya telah menjadi bagian hidup manusia.
Perkembangan zaman menghasilkan beragam media, salah satunya media sosial. Menurut
McGraw Hill Dictionary media sosial merupakan sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk
berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan
gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual. Media sosial umumnya dimanfaatkan
untuk saling berbagi, berpartisipasi, sebagai sarana untuk melakukan interaksi sosial, mencari
berita, informasi dan pengetahuan, mendapatkan hiburan, melakukan komunikasi online, dan
dapat menjadi penggerak masyarakat karena mampu mengundang banyak tanggapan dari
khalayak, baik itu kritikan, saran, celaan hingga pembelaan.1 Penggunaan media sosial semakin
hari semakin meningkat dan memberikan pengaruh yang signifikan pada semua sektor
kehidupan termasuk dalam dunia kedokteran. Dampak positifnya media sosial membuat praktik
kedokteran menjadi lebih transparan dan akuntabel, serta lebih mudah diakses. Dokter secara
luas juga dapat memanfaatkan media sosial sebagai wadah edukasi dan sosialisasi mengenai
program promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat.2
Fenomena pengguna media sosial paling banyak adalah popularitas dari Tiktok.
Eksistensi TikTok digunakan sebagai sarana yang dapat mewadahi kreativitas penciptaan konten
yang leluasa sehingga menjadikan perangkat yang sangat membantu dan mengatasi kejenuhan
pada masa pandemic Tiktok digunakan sebagai komunikasi dalam bentuk video dari tahun 2020.
Menurut Surahman, Ingky, Senaharjanta (2020), komunikasi dalam bentuk video adalah media
terbanyak yang mengomunikasikan suatu isu sosial karena lebih mudah dicerna oleh manusia.3
Terlepas dari makin banyaknya interaksi pengguna media sosial, ternyata TikTok juga
merupakan salah satu platform yang menjadi tempat pelecehan seksual. Salah satu kasus
terbanyak yang akhir-akhir ini ditemukan di media sosial adalah mengenai pelecehan seksual.
Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang berkonotasi seks yang dilakukan sepihak

1
dan tidak dikehendaki oleh korbannya; bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan, simbol, isyarat,
dan tindakan.3
Salah satu contoh adalah video yang sempat ramai pada April 2021 pada akun Tiktok
berita seperti @metro_tv, @tvonenews, dan @pikiranrakyat yang mengunggah video berdurasi
15 detik milik sang dokter. Video itu berisi adegan dr. K yang sedang memperagakan
pemeriksaan vagina diiringi teks percakapan dengan bidan. Ekspresi yang dimunculkan saat
pemeriksaan vagina di video tersebut memiliki makna konotatif kenikmatan seks dengan jari,
yang diartikan gestur klimaks dan kenikmatan wanita.3
Video tersebut dikecam oleh pemerhati hak perempuan karena mengandung pelecehan
seksual. Hal ini juga yang memicu netizen merasa geram dengan perilaku dr. K yang tidak
mengetahui etikanya sebagai seorang dokter. Jadi, masyarakat menilai konten dr. K ini
memberikan ekspresi mesum yang seharusnya tidak dilakukan dan ini dapat menimbulkan
hilangnya rasa kepercayaan terhadap dokter kandungan laki-laki.3
Saat itu akun TikTok dr. K memiliki 125.000 pengikut (April 2021) sehingga membuat
unggahan tersebut menjadi sangat viral di media sosial. Banyak dari masyarakat yang
mengomentari isi konten dr. K yang sangat tidak pantas untuk diunggah sehingga membuatnya
dicap sebagai pencari popularitas dari konten pelecehan tersebut. Akibat video tersebut banyak
masyarakat yang mengkhawatirkan hal ini bisa berdampak pada kesehatan ibu atau saat
melahirkan dan dapat menurunkan kepercayaan pengalaman perempuan saat menghadapi
persalinan dan melakukan pemeriksaan transvaginal dalam mengakses layanan kesehatan
reproduksi. Akibatnya, pemerhati perempuan menuntut agar surat izin praktik dokter (SIP) dr. K
dicabut.3

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan Umum dari makalah ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa kasus video
pelanggaran etik oleh dr. K ditinjau dari sudut pandang moral, etik dan hukum.

Sedangkan tujuan khusus dari makalah ini adalah untuk:

1) Mengetahui definisi pelanggaran etika kedokteran

2
2) Mengetahui etika profesi dokter terkhusus dalam beraktivitas di media sosial
3) Memahami sanksi etik jika terjadi pelanggaran etik
4) Menganalisa sebuah kasus ditinjau dari sudut pandang etik
5) Menganalisa sebuah kasus ditinjau dari sudut pandang hukum
6) Menganalisa sebuah kasus ditinjau dari sudut pandang professional
7) Menganalisa sebuah kasus ditinjau dari sudut pandang masyarakat

3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

Pada tanggal 7 April 2021, akun tiktok @dr.kepinsamuelmpg mengunggah video pendek
berdurasi 15 detik. Video tersebut memperagakan reka adegan pemeriksaan pasien sesaat
sebelum dilakukannya persalinan. Dalam video tersebut, dokter K yang sedang mengenakan jas
putih dokter dengan stetoskop yang dikalungkan di lehernya mendapat konsultasi dari bidan,”
Dok tolong cek pasien Ny.A udah pembukaan berapa?. Lalu dokter K menjawab sambil sorot
kamera mendekat menyorot dokter K “Oke kak..”sambil mengerenyutkan alis mata dan
menggigit bibir bawah, serta mengancungkan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang sudah
dipasangi handschoenen menunjukkan persiapan akan melakukan pemeriksaan Vaginal Touche
(VT). Kemudian dokter K memutar mata keatas dan menengadah dengan keterangan “awkward
momen” sambil bergoyang-goyang dan menjawab ”pembukaan 3 kak”. Adegan tersebut diiringi
musik disko dengan efek cahaya yang beragam warna berkelap-kelip.4

Video tersebut kemudian viral di media sosial, tidak hanya tiktok, namun juga banyak
beredar diunggahan instagram, twitter, dan YouTube. Walaupun sudah dihapus, video tersebut
masih beredar lewat unggahan netizen yang mengupload ulang video dokter K itu. Ribuan
masyarakat Indonesia yang menonton video tersebut beramai-ramai memberikan komentar pro
dan kontra terhadap aksi yang dilakukan oleh dokter K tersebut.4

Sebagian besar masyarakat menyayangkan atau bahkan mengecam tindakan yang


dilakukan oleh dokter K. Pada kolom komentar dari beberapa akun Tiktok berita @metro_tv,
@tvonenews, dan @pikiranrakyat, masyarakat meminta agar dokter K mendapatkan sanksi etik
dan bahkan pencabutan surat izin praktik dokter (SIP) agar kejadian ini tidak terulang kembali.
Karena dokter K sudah dianggap hanya mencari popularitas, melakukan pelecehan dan
berdampak pada penurunan kepercayaan pasien terutama kepada dokter kandungan laki-laki.
Tuntutan ini juga didukung oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks)

4
dan Gerakan Dokter Anti Stigma yang mengecam video tersebut, karena dinilai candaan tersebut
bernuansa seksual sekaligus merendahkan perempuan.1 Namun juga terdapat beberapa komentar
berlawanan yang mengatakan bahwa sanksi pencabutan SIP itu terlalu berlebihan dan cukup
dengan peringatan dan pembinaan saja mengingat perjuangan untuk mendapatkan gelar dokter
dan izin praktek tersebut tidak mudah.

Dokter influencer lain seperti Dokter Tirta juga menyampaikan pendapatnya mengenai
kasus dokter K ini, dimana ia sempat menghubungi dokter K melalui Direct Message Instagram
untuk segera menghapus video tersebut, meminta maaf dan mengklarifikasi atas video yang telah
membuat gaduh di media sosial. Dokter Tirta juga berpesan untuk menjaga kerahasiaan pasien
dan jika ingin disampaikan ke media sosial harus dengan seizin pasien, berpikir terlebih dahulu
sebelum melakukan atau membuat konten, pikirkan impactnya, apakah akan merendahkan pasien
atau merugikan sejawat lain atau tidak.5

Sebelum dipanggil oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), Dokter K sempat
membuat video permintaan maaf kepada masyarakat terutama kaum perempuan atas video
TikTok “Pembukaan Persalinan” yang dibuatnya. Dokter K mengatakan kalau ia tidak berhati-
hati dalam memilih lagu latar dan memasang ekspresi wajah yang terkesan melecehkan
perempuan dan dokter K akan lebih berhati-hati dalam membuat video konten dan akan lebih
fokus untuk membuat video yang mengedukasi.4

Untuk memutuskan sanksi yang akan diberikan kepada dokter K, Ketua MKEK IDI
Jakarta Selatan Emil Dinal Markojo mengatakan telah dilakukannya sidang tertutup pada tanggal
17, 18, dan 19 April 2021 sehingga tidak semua sanksi dapat disampaikan ke publik. Keputusan
sanksi ini sudah sesuai dengan regulasi dan tata tertib organisasi kedokteran. Pihak Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Cabang Jakarta juga menyatakan video TikTok dokter K merupakan pelanggaran
etika kedokteran kategori sedang dan ia mendapatkan sanksi kategori satu dan dua yang terukur
selama 6 bulan. 4

Pada akhir persidangan, dokter K kembali meminta maaf atas perbuatan yang ia lakukan,
terutama kepada masyarakat khususnya perempuan, kepada Organisasi Perkumpulan Obstetri

5
dan Ginekologi Indonesia (POGI), almamater, dan keluarga. Dokter K berharap kejadian ini
tidak membuat menurunnya kepercayaan masyarakat dan menjadi enggan untuk memeriksaan
diri pada dokter. Dokter K juga berjanji akan lebih berhati-hati, tidak akan mengulangi, siap
untuk menerima sanksi yang telah diberikan dan akan menjaga nama baik profesi seumur hidup.4

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sudut Pandang Etika Kedokteran


3.1.1 Definisi Etika Kedokteran
Etik berasal dari kata ethos (yunani), "yang berarti yang baik dan yang layak". Etik
merupakan nilai-nilai, norma-norma, perilaku untuk jenis profesi tertentu. Profesi adalah
pekerjaan yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat seperti dokter, dokter gigi,
advokat, polisi, dll.6 Pengertian etik kedokteran menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) adalah sekumpulan nilai-nilai dan moralitas profesi kedokteran yang tercantum
dalam KODEKI, fatwa, etik, pedoman dan kesepakatan etik lainnya dari IDI sebagai organisasi
profesi.5 Etika kedokteran adalah prinsip-prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus
diterapkan oleh para dokter dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawat dan masyarakat
umum. Kasus etik merupakan kasus aduan, laporan, ataupun temuan oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK).6
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 memiliki substansi yang
komprehensif untuk mewujudkan profesionalitas dokter. Seluruh substansinya bersifat
kewajiban, tidak hanya kewajiban yang bersifat eksternal dalam hubungannya dokter dengan
pihak atau orang lain, tetapi juga kewajiban yang bersifat internal, yaitu dalam hubungannya
dokter dengan diri sendiri. Artinya, Kode Etik Kedokteran Indonesia menekankan kewajiban
dokter dalam berbagai dimensinya, baik internal maupun eksternal, untuk mewujudkan bangunan
yang kokoh dalam bentuk profesionalisme dokter. Substansi Kode Etik Kedokteran Indonesia
meliputi Kewajiban Umum (diterjemahkan dalam 13 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban
Dokter Terhadap Pasien (diterjemahkan dalam 4 Pasal beserta penjelasannya), Kewajiban Dokter
Terhadap Teman Sejawat (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya), dan Kewajiban
Dokter Terhadap Diri Sendiri (diterjemahkan dalam 2 Pasal beserta penjelasannya).8
Kode Etik Kedokteran Indonesia juga mengatur pelanggaran etik murni (tidak
berimplikasi hukum) dan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum. Pelanggaran etik murni,
misalnya adalah larangan bagi dokter untuk mengiklankan diri dan kemampuan/kelebihan-
kelebihan yang dimilikinya (Pasal 4 (2) (3) Kode Etik Kedokteran Indonesia); larangan bagi

7
dokter membuat papan nama dengan ukuran dan ketentuan yang tidak sesuai standar yang
ditetapkan oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (Pasal 4 (4) (a) Kode Etik Kedokteran
Indonesia); larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, tanpa
persetujuan teman sejawat dan tidak berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 Kode Etik
Kedokteran Indonesia); larangan bagi dokter berpraktik dalam kondisi kesehatan yang tidak
prima (Pasal 20 (7) Kode Etik Kedokteran Indonesia). Sedangkan pelanggaran etik yang
berimplikasi hukum, misalnya adalah: dokter yang mempublikasikan rahasia tentang kondisi
kesehatan pasien tanpa adanya alasan pembenar (Pasal 16 Kode Etik Kedokteran Indonesia);
dokter yang melakukan abortus (Pasal 11 (2) Kode Etik Kedokteran Indonesia), dokter yang
melakukan euthanasia (Pasal 11 (2) Kode Etik Kedokteran Indonesia).8
  
3.1.2 Etika Dokter dalam Media Sosial
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) telah mengeluarkan fatwa  mengenai
etika dalam menggunakan media sosial bagi dokter pada tanggal 30 April 2021, yaitu:9

1. Dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif dari aktivitas media sosial 
secara keseluruhan dalam upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan
yang berlaku.
2. Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan,
dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.
3. Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan promotif dan preventif bernilai etika
tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi,
serta peraturan perundangan yang berlaku.
4. Penggunaan media sosial untuk memberantas hoaks/informasi keliru terkait
kesehatan/kedokteran merupakan tindakan mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika
umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam upaya tersebut,
dokter harus menyadari potensi berdebat dengan masyarakat. Dalam berdebat di media
sosial, dokter perlu mengendalikan diri, tidak membalas dengan keburukan, serta
menjaga marwah luhur profesi kedokteran. Apabila terdapat pernyataan yang
merendahkan sosok dokter, tenaga kesehatan, maupun profesi / organisasi profesi dokter /

8
kesehatan, dokter harus melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur
yang disediakan dan langkah lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
5. Pada penggunaan media sosial, dokter harus menjaga diri dari promosi diri berlebihan
dan praktiknya serta mengiklankan suatu produk dan jasa sesuai dengan SK MKEK Pusat
IDI No. 022/PB/K.MKEK/07/2020 tentang Fatwa Etika Dokter Beriklan dan Berjualan
Multi Level Marketing yang diterbitkan MKEK Pusat IDI tanggal 28 Juli 2020.
6. Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan
dokter lainnya, dokter harus menggunakan jenis dan fitur media sosial khusus yang
terenkripsi end-to-end dan dengan tingkat keamanan baik, dan memakai jalur pribadi
kepada dokter yang dikonsultasikan tersebut atau pada grup khusus yang hanya berisikan
dokter.
7. Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib
mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat
tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia
kedokteran, privasi pasien / keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan
peraturan internal RS/klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil
pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan, hanya boleh dilakukan atas
persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini
dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus
kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin 6.
8. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan memberikan edukasi kesehatan bagi
masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus
pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, maka dokter harus
memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran.
9. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan
yang terbatas pada dokter dan atau tenaga kesehatan, hendaknya menggunakan akun
terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.
10. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi
sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan peraturan perundangan yang berlaku

9
dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak
untuk dilihat publik.
11. Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan
karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
12. Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan
medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebaiknya dokter
menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke
publik menggunakan akun media sosial dokter sebagai tindakan memuji diri secara
berlebihan.
13. Pada kondisi di mana dokter memandang aktivitas media sosial sejawatnya terdapat
kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi.

Penegakan, pengawasan, dan perumusan etik praktik kedokteran dilakukan oleh MKEK
sebagai badan otonom IDI yang dibagi menjadi tingkat pusat, wilayah, dan cabang. Majelis ini
memiliki hak untuk menyampaikan pertimbangan pelaksanaan etika kedokteran dan
mengusulkan secara lisan atau tertulis, diminta atau tidak diminta kepada pengurus IDI mengenai
setiap permasalahan etika kedokteran di wilayah juris diksinya masing-masing.10

3.1.3 Sanksi Etik


Hal pertama yang harus diingat bahwa sanksi yang diberikan adalah hasil keputusan manusia dan
bukan semata reaksi sebab akibat dari alam, sehingga harus ada individu atau institusi yang
memiliki kuasa yang lebih dominan dibandingkan pelaku. Sanksi dapat berupa pencabutan atau
pembekuan hak pelaku yang bersifat sementara. Berat ringannya sanksi biasanya ditentukan
pemilik kuasa berdasarkan kerugian atau beban yang dialami pihak korban. Dalam hal ini syarat
pemberian sanksi adalah dianggap bersalah oleh pemilik kuasa, meskipun dapat saja bukan
benar-benar bersalah pada kenyataannya. Hal itu menyebabkan sanksi dapat menjadi salah satu
buah kekuasaan yang dapat disalahgunakan.10
Adapun tujuan pemberian sanksi yaitu:10
1. Sebagai hukuman bagi orang yang melakukan pelanggaran terhadap suatu aturan. Bentuk dan
beratnya hukuman harus disesuaikan dengan beratnya pelanggaran yang terjadi dan dampak
yang dihasilkan. 

10
2. Sebagai sarana untuk mendidik dan melakukan rehabilitasi agar dapat memberikan manfaat
di kemudian hari. Perlu diberikan umpan balik kepada pihak yang melakukan pelanggaran
sehingga dapat memahami kesalahannya sekaligus mengetahui cara menghindari terjadinya
pengulangan pelanggaran. 
3. Untuk melindungi masyarakat terhadap dampak negatif pelanggaran aturan. Integritas
kelompok yang memiliki aturan tersebut juga perlu dilindungi dengan mencegah pelanggaran
yang dapat merusak harkat profesi.
4. Sebagai panutan bagi anggota lain dalam kelompok yang sama dan terikat aturan yang sama .

Pemberian sanksi secara umum dilakukan dengan tiga tahap:10


1. Tahap pertama adalah merumuskan tujuan sanksi yang diberikan. Sanksi harus bertujuan
mendidik pelaku dengan nilai yang sesuai, mempertimbangkan kondisi pelaku dan
masyarakat secara luas. Pemberian sanksi juga harus disertai penjelasan dan penegasan agar
pelaku mengerti bahwa terdapat peraturan yang harus ditaati. Sanksi juga harus diberikan
secara spesifik dan menghindari pertimbangan tidak relevan yang dapat mengalihkan
perhatian dari pelanggaran etik itu sendiri (non-issue). 
2. Tahap kedua adalah menentukan berat ringannya sanksi berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu jenis pelanggaran, berat ringannya pelanggaran berdasarkan konsensus
atau ketentuan yang berlaku, riwayat pelanggaran, dan faktor-faktor penyerta lain. Selain itu
harus dilakukan upaya menyeimbangkan antara sanksi aktif dan pasif. Jenis pelanggaran
yang dimaksud adalah pemberian sanksi dengan penjelasan dan penegasan terhadap
tindakan yang dibuat, bukan terhadap suatu klausul peraturan semata, misalnya “Anda
melanggar karena Anda mencuri” bukan sekedar mengatakan “Anda melanggar peraturan
nomor ” tanpa menjelaskan lebih rinci isi peraturan tersebut. Hal itu bertujuan agar pelaku
mengerti jenis pelanggaran dan dampak yang mungkin timbul, bukan hanya menyebutkan
klausul/peraturan pelanggaran yang terjadi. Berat ringannya pelanggaran ditentukan
berdasarkan konsensus atau keputusan pihak berwenang dengan mempertimbangkan
berbagai kondisi. Keributan yang ditimbulkan seseorang di perpustakaan memiliki sanksi
berbeda dibandingkan dengan keributan di kelas. Bermain telepon genggam pada saat
pemeriksaan imigrasi memiliki dampak berbeda dibandingkan dengan bermain telepon

11
genggam di bioskop. Riwayat pelanggaran berkaitan dengan jumlah pelanggaran
sebelumnya yang pernah dilakukan pelaku, baik pelanggaran serupa maupun tidak. Faktor
penyerta yang perlu dipertimbangkan misalnya niat, keadaan individu pada saat kejadian,
tingkat kemudahan kerjasama pelaku pada proses peradilan, pengaruh alkohol atau obat-
obatan terlarang. Sanksi juga perlu diberikan dengan mempertimbangkan kombinasi sanksi
pasif (berupa pembekuan hak) maupun aktif (berupa pemberian kewajiban) yang dapat
memberikan dampak positif terhadap pelaku dan masyarakat sekitarnya.
3. Tahap ketiga adalah pelaksanaan sanksi yang konkrit dan terawasi. Sanksi yang telah
diberikan harus dievaluasi bila terdapat pengulangan pelanggaran atau hambatan ketika
sanksi sedang dijalankan.

Sesuai dengan dibaginya tiga kategori gradasi pelanggaran etik sebelumnya berupa
pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat, maka dalam inventarisasi alternatif sanksi yang
diberikan melalui usulan ini juga perlu dibagi tiga kategori. Usulan tersebut ialah:11
1. Sanksi kategori 1, terdiri dari berbagai sanksi yang memiliki sifat murni bertujuan
melakukan pembinaan perilaku terhadap pelanggarnya. 
2. Sanksi kategori 2, terdiri dari sanksi yang memiliki sifat penginsafan terhadap
pelanggarnya, namun tanpa konsekuensi pemecatan dari keanggotaan yang berimplikasi
pada kehilangan hak dan wewenangnya sebagai dokter secara total pada kurun waktu
tertentu.
3. Sanksi kategori 3, terdiri dari sanksi yang memiliki sifat penginsafan berupa pemecatan
sementara dari keanggotaan, yang berimplikasi pada kehilangan hak dan wewenangnya
sebagai dokter secara total pada kurun waktu tertentu.

Bentuk Sanksi berdasarkan kategori:11


Kategori 1:
1. Membuat refleksi diri dan janji kepada diri sendiri secara tertulis. 
2. Mengikuti workshop etik yang ditentukan MKEK. 
3. Mengikuti modul etik yang sedang berjalan di FK yang ditunjuk MKEK
4. Mengikuti program membayangi panutan selama 3 (tiga) bulan

12
5. Kerja sosial pengabdian profesi selama 3 (tiga) bulan
6. Surat permohonan maaf dan atau pelurusan berita jika menyangkut informasi di media
massa atau media sosial sambil aktif meluruskan pemahaman masyarakat umum terkait
informasi keliru yang disebarkan. 
7. Dan metode-metode lain yang dianggap baik dan cocok menjadi representasi esensi
tujuan sanksi yaitu murni pembinaan perilaku.
Kategori 2:
1. Mengikuti program membayangi panutan selama 4-12 bulan. 
2. Kerja sosial pengabdian profesi selama 4-12 bulan. 
3. Pemberhentian sementara dari jabatan di IDI dan organisasi di bawah IDI serta
pelarangan menjabat untuk 1 periode kepengurusan pasca keputusan. 
4. Dan metode lain yang dianggap baik dan cocok menjadi representasi esensi tujuan sanksi
yaitu penginsafan tanpa pemecatan keanggotaan.
Kategori 3:
1. Kehilangan hak dan kewenangan melakukan praktik kedokteran, termasuk dicabut
sementara seluruh rekomendasi izin praktik yang akan ditindaklanjuti kemudian oleh
otoritas penerbit izin praktik untuk menonaktifkan sementara Surat Izin Praktik yang
bersangkutan
2. Kehilangan hak dan kewenangan menjadi pengurus dan anggota IDI dan seluruh
organisasi di bawah IDI termasuk Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp), Perhimpunan
Dokter Pelayanan Primer (PDPP), dan Perhimpunan Dokter keseminatan tertentu
(PDSm), 
3. Kehilangan hak dan kewenangan menyandang suatu jabatan publik atau organisasi yang
menyaratkan dijabat oleh seorang dokter aktif yang akan ditindaklanjuti
instansi/organisasi terkait, 
4. Surat tanda registrasi (STR) dan status di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi
non-aktif yang akan ditindaklanjuti oleh KKI.

3.1.4 Keterkaitan Pelanggaran Etik dengan Kasus

13
Aktivitas media sosial terutama oleh dokter dianggap seperti pisau bermata dua. Di satu
sisi dapat memberikan potensi yang luas sebagai media edukasi yang ringan, informatif, dan
menghibur kepada masyarakat. Namun di sisi lain, fleksibilitas informasi yang diberikan kepada
publik bisa saja berbenturan dengan etik, hukum dan atau profesionalitas. Sesuai dengan poin 1
Fatwa MKEK mengenai etika kedokteran dalam aktivitas media sosial tahun 2021, seorang
dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif dari aktivitas media sosial  secara
keseluruhan dalam upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan yang berlaku.9
Berdasarkan kasus pada tulisan ini, Dokter K mendapat kecaman akibat kontennya
mengenai pemeriksaan vagina dalam persiapan persalinan. Penelitian yang dilakukan oleh
Caulley dalam Dqlap.id (2021), untuk menilai analisis konten perlu dilakukan pendekatan
kualitatif berdasarkan sudut pandang komunikasi nonverbal dan verbal. Dari segi non-verbal,
dokter KS memberikan ilustrasi visual proses pemeriksaan vagina dalam dengan ekspresi wajah
yang tidak sesuai dan cenderung tidak senonoh. Ekspresi tersebut juga disertai ilustrasi dua jari
yang diangkat sebelum melakukan pemeriksaan dalam vagina, memicu konotasi negatif dalam
artian kenikmatan seks dengan jari dan terkesan melecehkan kaum wanita. Sedangkan dari segi
komunikasi verbal (teks), penggunaan keterangan percakapan dalam video menimbulkan
mispersepsi bagi masyarakat, terutama kalimat terakhir “awkward moment” yang terkesan
menjelaskan situasi antara dokter dengan pasien wanita yang bersifat sensual. Perilaku dokter
tersebut dianggap menghilangkan kepercayaan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan
kebidanan kepada dokter laki-laki.3
Tindakan dokter K dianggap telah melanggar kode etik kedokteran. Sesuai dengan pasal
1 KODEKI tahun 2012 bagian kewajiban dokter, setiap dokter wajib menjunjung tinggi,
menghayati, dan mengamalkan sumpah dan atau janji dokter. Selain itu poin yang juga dilanggar
adalah poin 2 dan  3 fatwa MKEK mengenai etika kedokteran dalam aktivitas media sosial yang
berisi “Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan,
dan etika profesi pada aktivitas media sosial. Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan
promotif dan preventif yang bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran
ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku”.9 Dokter K juga
melanggar isi sumpah dokter “saya akan menjalankan tugas dengan cara terhormat dan bermoral
tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya”. Perilaku Dokter K dianggap tidak bermoral dan

14
melanggar sopan santun, tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat, cenderung
merendahkan harkat martabat wanita, serta dianggap merendahkan pekerjaan dokter sejawat
kandungan. 
Pada pasal 10 KODEKI 2012 disebutkan bahwa seorang dokter wajib menghormati hak-
hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan
pasien. Poin mengenai menjaga kepercayaan pasien dilanggar oleh dokter K yang membuat ibu
hamil atau wanita pada umumnya merasa jijik, malu, dan marah melihat pemeriksaan yang
berhubungan dengan area kemaluan seperti diolok-olok atau dijadikan bahan bercanda demi
sebuah konten. Akibatnya, kepercayaan pasien pada dokter kandungan mulai terkikis akibat
konten tidak senonoh tersebut. 
Penggunaan media sosial juga memerlukan batasan-batasan guna mempertahankan nama
baik profesi. Berdasarkan poin ke-8 fatwa MKEK "Pada penggunaan media sosial dengan tujuan
memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan
akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk
pertemanan, maka dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap
profesi kedokteran.” Dokter K mengunggah konten bukan edukasi kesehatan menggunakan
atribut kedokteran pada akun pribadi dan mengunggah konten pribadi yang dapat diakses secara
luas oleh masyarakat. Hal ini jelas bertentangan dengan fatwa MKEK poin ke-10 mengenai etika
kedokteran dalam aktivitas media sosial  yaitu "pada penggunaan media sosial dengan tujuan
pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan
peraturan perundangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus
untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik".9
Batasan lain yang diperlukan oleh seorang dokter ketika menggunakan media sosial
adalah memperketat pertemanan dan privasi akun. Hal tersebut diperlukan untuk memilah siapa
saja yang diperkenankan melihat isi konten akun tersebut. Pembatasan hubungan non-profesional
secara online antara dokter dengan pasien ini bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah etik
pada dokter. Ketika seorang dokter membagikan kasus pada media sosial perlu dijaga
kerahasiaan pasien serta perlu adanya informed consent dari pasien tersebut. Namun seorang
dokter harus mengetahui bahwa sistem privasi media sosial ini memiliki kelemahan. Salah
satunya yang mungkin dapat terjadi adalah kebocoran informasi postingan kepada publik.12

15
Dalam kasus pelanggaran yang dilakukan oleh rekan sejawat, seorang dokter diharapkan
dapat menasehati rekannya tersebut melalui jalur pribadi. Respon yang tidak baik terutama di
kolom komentar media sosial oleh dokter dengan dokter dianggap tidak sesuai dengan lafaz
Sumpah Dokter yang berisi “Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai saudara
kandung.” Seorang dokter wajib mengingatkan rekan sejawatnya melalui jalur pribadi apabila
ada kekeliruan yang dilakukan oleh rekan sejawatnya, terutama dalam aktivitas media sosial,
dimana hal ini juga dituangkan dalam fatwa MKEK poin 13. 
Pemerhati perempuan yang mengecam konten tersebut dan menuntut agar izin praktek
dokter (SIP) tersebut dicabut. Dalam kasus ini Dokter K mendapat sanksi dari MKEK yaitu
sanksi perbuatan sedang atau kategori dua berupa penjeraan non pemecatan (pembekuan
kegiatan selama enam bulan). 

3.2 Sudut Pandang Profesionalisme


Menurut KBBI, profesional adalah sesuatu yang berhubungan dengan profesi dan
berkaitan dengan mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang
yang profesional. Orang yang bergabung dengan kelompok profesi memiliki pengetahuan dan
keahlian khusus atau yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang lain. Anggota profesi
menyatakan komitmen terhadap kemampuan, integritas dan moral, altruism, dan dukungan demi
kesejahteraan masyarakat. Anggota profesi ini diatur oleh kode etik.13
Pelaku professional adalah perilaku yang berbasis pengetahuan dan keterampilan yang
mencerminkan nilai-nilai profesionalisme yang dapat dilihat dari cara bertutur kata, cara
berinteraksi dengan orang lain, dan cara berpenampilan sehari-harinya. Seorang dokter harus
memiliki nilai-nilai profesionalisme yang dihasilkan dari tanggung jawab moral sepenuhnya,
adanya kasih sayang, dan penghormatan hak asasi manusia karena pasien merupakan wujud
insan bermartabat. Profesionalisme dalam kedokteran menunjukkan kemampuan seorang dokter
untuk melakukan pertimbangan spesifik serta memiliki sikap perilaku yang bertanggung jawab
dan bertindak berdasarkan kemampuan clinical reasoning. Profesionalisme dalam kedokteran
juga dibentuk dari beberapa komponen perilaku, antara lain: altruisme, kompeten, kejujuran dan
integritas, performa, manajemen, serta menghormati orang lain dan humanis. Sikap yang baik

16
akan menstimulasi pembentukan perilaku yang baik pula, sehingga sesuai dengan standar dan
dinyatakan sebagai perilaku profesional.14
Pasal 1 butir 11 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dikatakan Profesi
Kedokteran adalah suatu pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan,
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat. Pada butir 14 pasal 1 tersebut juga dinyatakan bahwa Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran adalah majelis yang berwenang menentukan ada atau tidaknya kesalahan
yang dilakukan dokter atau dokter gigi  dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan
kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.15

Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan


penerapan keilmuan, yang pada hakikatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu :15
a). Melaksanakan praktik  kedokteran dengan tidak kompeten
b). Tugas dan tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan baik
c).  Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi.
Selain itu, dalam Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dijelaskan bahwa terdapat 7 area
kompetensi dasar seorang dokter, yaitu profesionalitas yang luhur, mawas diri dan
pengembangan diri, komunikasi efektif, pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran,
keterampilan Klinis, dan pengelolaan masalah kesehatan. Dalam kasus ini poin pertama
mengenai profesionalitas yang luhur diantaranya adalah bermoral, beretika, dan disiplin menjadi
penekanan utama masalah. Sikap dan perilaku dokter KS di dalam video tersebut tidak
menunjukkan seorang dokter yang  bermoral dan tidak menjunjung tinggi profesionalisme.
Seharusnya, sebagai seorang dokter yang profesional harus bisa menjaga keseimbangan dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Selain itu, tindakan yang dilakukan Dokter KS juga
dianggap melecehkan sejawat dokter kandungan pria. Hal ini juga diperparah dengan
penggunaan atribut dokter dalam video tersebut yang menegaskan identitas profesi. Pasalnya
tindakan yang dilakukannya dalam video tersebut membuat berkurang/hilangnya asas
kepercayaan masyarakat kepada dokter terutama dokter pria dalam hal pemeriksaan fisik yang
bersifat sensitif. Masyarakat terutama wanita akan merasa jijik atau takut apabila dilakukan oleh
dokter yang berlainan jenis.16

17
3.3 Sudut Pandang Hukum
Dari segi hukum, terdapat UU ITE No. 11 tahun 2008 yang mengatur berbagai
perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Hal-hal yang perlu dihindari dan diperhatikan saat bermedia
sosial adalah:17
a. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
(Pasal 45 ayat 1)
b. Melanggar kesusilaan (Pasal 45 ayat 1)
c. Menyebarkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (Pasal 45 Ayat 2)
d. Penghinaan dan/atau pencemaran nama baik (Pasal 45 Ayat 3)

Berkaitan dengan kasus dokter yang memiliki konten mengenai pemeriksaan vagina
dalam persiapan persalinan, tindakan dokter tersebut dianggap telah melakukan pelecehan
terhadap kaum wanita. Meskipun dalam video yang berdurasi 15 detik tidak ada unsur
pencemaran nama baik, namun ekspresi dan tindakan yang dicontohkan saat melakukan
pemeriksaan dalam pada ibu hamil menimbulkan mispersepsi dan melanggar sopan santun dan
termasuk melanggar kesusilaan. Pada pasal 45 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa : Setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tindakan dokter tersebut juga syarat akan aksi pornografi. Defini pronografi sesuai pasal
1 UU No 44 tahun 2008 adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilan dalam masyarakat. Sedangkan pada pasal 4
ayat 2 mengatakan bahwa setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang disebutkan
sebagai berikut :18

18
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan
b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin
c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual
d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Ketentuan pidana yang tertuang dalam undang-undang tersebut dijelaskan pada pasal 30
bahwa, “Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah)”.18
Dokter KS memang tidak menampilkan alat kelamin atau menyediakan pronografi secara
eksplisit. Namun dengan ekspresi disertai keterangan tertulis yang tercantum dalam video
tersebut cukup menjadi bukti kuat bahwa dokter tersebut sedang mengilustrasikan pemeriksaan
vagina yang dianggap sensualitas antara dokter dengan pasien wanita ke publik. Tindakan
tersebut sarat akan aksi pornografi dan melanggar norma kesusilaan di masyarakat. 
3.4 Sudut Pandang Masyarakat
Menurut Prof. Dr. Bimo Walgito, persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh
penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera
atau juga disebut proses sensoris. Proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus
tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. 19 Jalaludin Rakhmat
menyatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.20
Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja, tentu ada faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat
sesuatu mungkin memberi interpretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu. Secara umum
Sondang P. Siagian membagi faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang menjadi tiga,
yaitu:21
1. Faktor dari diri orang yang bersangkutan sendiri, yaitu faktor yang timbul apabila
seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang

19
dilihatnya, hal tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individual seperti sikap, motif,
kepentingan, minat, pengalaman dan harapannya.
2. Faktor dari sasaran persepsi, yaitu faktor yang timbul dari apa yang akan dipersepsi,
sasaran itu bisa berupa orang, benda atau peristiwa yang sifat- sifat dari sasaran itu
biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya. Seperti gerakan, suara,
ukuran, tindak-tanduk dan cirri-ciri lain dari sasaran persepsi.
3. Faktor dari situasi, yaitu faktor yang muncul sehubungan karena situasi pada waktu
mempersepsi. Pada bagian ini persepsi harus dilihat secara kontekstual yang berarti
dalam situasi, yang mana persepsi itu timbul dan perlu mendapat perhatian karena situasi
merupakan faktor yang ikut berperan dalam penumbuhan persepsi seseorang.
Jadi, persepsi setiap orang terhadap suatu objek akan berbeda-beda. Oleh karena itu,
persepsi memiliki subjektif. Persepsi yang dibentuk oleh seseorang dipengaruhi oleh pikiran dan
lingkungan sekitarnya. Selain itu, satu hal yang perlu diperhatikan dari persepsi adalah bahwa
persepsi secara substansial bisa sangat berbeda dengan realita.
Kehadiran media sosial berpotensi untuk merubah pola interaksi sosial, baik pada tingkat
antara individual maupun tingkat komunitas. Dalam praktiknya, media sosial tidak hanya
digunakan dalam konteks pribadi, namun digunakan juga untuk kepentingan profesional, salah
satunya oleh profesi dokter. Hasil survei Modahl, Tompsett, & Moorhead (2011) menemukan
bahwa dokter sangat terlibat dengan jaringan online dan media sosial.22
Sebuah penelitian deskriptif kualitatif mengenai interaksi sosial dokter dalam sosial
media, merangkum beberapa pendapat masyarakat atau pasien tentang dokter yang bersosial
media, yaitu ;22

1.   Adanya unsur promosi atas kompetensi dokter dalam konten yang diunggah ke
Instagram. Unsur promosi tersebut tidak berarti berupa promosi secara advertorial
atau disengaja dan berbayar, melainkan dengan cara edukatif. Promosi dengan
hastagnya menandakan bentuk jualan. Caption-nya cenderung mengajak dengan
berbagi pengalaman, dan ajakannya halus, hanya menyarankan dan berupa
penjelasan.

20
2. Jawaban dari pasien atau masyarakat mengenai tujuan dari konten yang diunggah ke
Instagram dokter menyatakan bahwa tujuan utama dari konten yang diunggah oleh
dokter ke media sosialnya adalah bersifat berbagi informasi sekaligus mengedukasi
orang yang melihat konten pada media sosialnya. Hal yang diharapkan adalah bahwa
konten tersebut bermanfaat, banyak disebarluaskan, dan pada akhirnya menjadi E-
WOM, sehingga nama dokter tersebut dikenal baik, dan mempunyai follower yang
bertambah.
3. Persepsi pasien/masyarakat, bahwa tujuan utama dari isi konten yang diunggah oleh
dokter ke Instagramnya adalah untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat
mengenai kesehatan. Selain itu, masyarakat yang menjadi pengikut Instagram dokter
juga menganggap bahwa konten tersebut sebenarnya memiliki tujuan lain, yaitu untuk
mempromosikan kompetensi dokter, meningkatkan jumlah pengikut dokter di
Instagram, dan menciptakan image positif terhadap nama dokter di masyarakat. Hal
ini salah satunya terlihat dari unggahan informasi mengenai hasil dan bukti kerja dari
dokter yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi masyarakat dalam menilai
kompetensi dokter.

Bagi masyarakat profesi kedokteran masih dihargai kehormatannya dan dianggap kasta
tertinggi. Salah satu dilema etik lain dalam kasus ini adalah adanya identitas sosial yang melekat
pada seorang dokter. Walaupun dokter telah melakukan pemisahan antara akun edukasi dan akun
pribadi sesuai fatwa MKEK poin 10, ketika seorang dokter melakukan kebebasan ekspresi pada
akun pribadi, masyarakat akan tetap menganggap pribadi yang dilihat tersebut adalah seorang
dokter, tidak terlepas dari sifat akun pertemanan yang privat sekalipun. Hal ini merupakan salah
satu bentuk lemahnya sistem privasi yang ada di media sosial. Bahkan dalam beberapa kasus hal
ini tentu dapat menimbulkan mispersepsi di masyarakat bahwa kebebasan ekspresi yang
dilakukan dokter tersebut sebagai cerminan dari profesionalitas profesi. Persepsi tersebut akan
menjadi kompleks jika masyarakat tidak terima akan kekeliruan yang dilakukan, melakukan
penyebarluasan info tersebut ke lingkungan yang lebih luas/publik sehingga menjadi sebuah hal
yang viral. Maka perlu disayangkan jika terdapat pelanggaran etik pada akun pribadi dokter
tersebut, akan berdampak pada organisasi profesi juga.

21
Adapun tanggapan masyarakat mengenai kasus ini dapat dilihat melalui komentar pada
ssssebagai pencari popularitas. Masyarakat juga mengkhawatirkan kesehatan ibu hamil atau saat
persalinan dikarenakan kurangnya rasa percaya pada dokter kandungan laki-laki. Masyarakat
sendiri ada yang menginginkan pencabutan surat izin praktek (SIP) dokter tersebut dan ada juga
yang mendukung agar perbuatan dokter tersebut dimaafkan.3
Dari akun tiktok Metro TV, masyarakat rata-rata kecewa dengan tindakan dokter
tersebut. Komentar pertama mendapat likes sebanyak 723 Likes yang menandakan ada 723
masyarakat yang setuju dengan pernyataan tersebut. Tidak ada normalisasi untuk perilaku
menyimpang, apalagi dilakukan oleh seorang dokter yang dikhawatirkan akan merusak reputasi
dokter lain. Namun pada akun tiktok TV One News, ada masyarakat yang juga memberikan
dukungan berupa memaafkan tindakan dokter tersebut dan meyakini bahwa tindakan dokter
tersebut memang tidak benar. Komentar kedua sebanyak 26 likes dan komentar keempat
sebanyak 23 likes. Hal ini sesuai dengan pernyataan Whiting dan Williams (2013), perangkat
komentar turut mengambil peran pada kegunaan dan kepuasan di media sosial.3

Gambar 1. Tangkapan layar tiktok news metro tv


Gambar 2. Tangkapan layar tiktok news tvonenews

22
Sumber Tiktok TV One News

Sumber Tiktok Metro TV

BAB IV
KESIMPULAN

Etik merupakan nilai-nilai, norma-norma, perilaku untuk jenis profesi tertentu. Etika
kedokteran adalah prinsip-prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus diterapkan oleh para
dokter dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawat dan masyarakat umum. KODEKI
mengatur pelanggaran etik murni dan pelanggaran etik yang berimplikasi hukum.
Profesional adalah sesuatu yang berhubungan dengan profesi dan berkaitan dengan mutu,
kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional.
Pelaku professional adalah perilaku yang berbasis pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang
mencerminkan nilai-nilai profesionalisme. Nilai-nilai profesionalisme dapat dilihat dari cara
bertutur kata, cara berinteraksi dengan orang lain, dan cara berpenampilan sehari-harinya.
Seorang dokter harus memiliki nilai-nilai profesionalisme. Kasus dokter yang memiliki konten
mengenai pemeriksaan vagina dalam persiapan persalinan, tindakan dokter tersebut dianggap

23
telah melakukan pelecehan terhadap kaum wanita dan tidak menunjukkan sikap dokter yang
profesional.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yakni majelis yang mengatur etik telah
mengeluarkan fatwa mengenai etika bermedia sosial untuk dokter pada 30 April 2021.
Penegakan, pengawasan, dan perumusan etik praktik kedokteran dilakukan oleh MKEK sebagai
badan otonom IDI yang dibagi menjadi tingkat pusat, wilayah, dan cabang. Majelis ini memiliki
hak untuk menyampaikan pertimbangan pelaksanaan etika kedokteran dan mengusulkan secara
lisan atau tertulis, diminta atau tidak diminta kepada pengurus IDI mengenai setiap permasalahan
etika kedokteran.
        Pada sanksi etik, yang diberikan adalah hasil keputusan manusia dan bukan semata reaksi
sebab akibat dari alam. Harus ada individu atau institusi yang memiliki kuasa yang lebih
dominan dibandingkan pelaku. Sanksi dapat berupa pencabutan atau pembekuan hak pelaku
yang bersifat sementara. Berat ringannya sanksi biasanya ditentukan pemilik kuasa berdasarkan
kerugian atau beban yang dialami pihak korban. Pemberian sanksi secara umum dilakukan
dengan tiga tahap yaitu merumuskan tujuan sanksi yang diberikan, menentukan berat ringannya
sanksi, pelaksanaan sanksi yang konkrit dan terawasi. Sanksi yang telah diberikan harus
dievaluasi bila terdapat pengulangan pelanggaran atau hambatan ketika sanksi sedang dijalankan.
Sanksi-sanksi yang diberikan dibagi berdasarkan pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat.
Dalam kasus ini seorang dokter muda yang mendapat kecaman akibat kontennya mengenai
pemeriksaan vagina dalam persiapan persalinan. Tindakan dokter tersebut dianggap telah
melanggar kode etik kedokteran berupa pelecehan terhadap kaum wanita. Hal ini bertentangan
dengan fatwa MKEK mengenai dokter dalam bermedia sosial yang menjunjung tinggi nilai
kesantunan, etika dan moral dalam masyarakat. Penggunaan media sosial sebaiknya dibuat
dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Dalam kasus ini dr
kevin mendapat sanksi dari MKEK yaitu sanksi perbuatan sedang atau kategori dua berupa
penjeraan non pemecatan (pembekuan kegiatan selama enam bulan). Profesi kedokteran masih
dihargai kehormatannya. Pelanggaran etik pada akun pribadi dokter tersebut, akan berdampak
pada organisasi profesi juga.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Irianto, R. Pengaruh Penggunaan Media Sosial Di Kalangan Mahasiswa Terhadap Pola


Komunikasi Sosial (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2014
Universitas Muhammadiyah Malang). Thesis, University of Muhammadiyah Malang ;
2015.
2. Pemanfaatan dan Permasalahan Etika Media Sosial Dalam Praktik Kesehatan . FK-KMK
UGM; 2022 (Cited 20 July 2023) Available from https://fkkmk.ugm.ac.id/pemanfaatan-
dan-permasalahan-etika-media-sosial-dalam-praktik-kesehatan/
3. Damayanti RK, Surahman S. Analisis konten video pelecehan seksual dokter kevin
samuel di akun tiktok berita: studi etnografi virtual. Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi,
Vol. 19 No. 1; April 2023.

25
4. IDI Sanksi Dokter Kevin 6 Bulan Terkait Konten TikTok. Berita CNN Indonesia ; 2021
(Cited 18 July 2023) Available from
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210422114525-20-633275/idi-sanksi-dokter-
kevin-6-bulan-terkait-konten-tiktok

5. Tanggapan Para Dokter Soal Video Viral Dokter Kevin Samuel. Berita Tempo.co; 18
April 2021. (Cited 20 July 2023) Available from
https://seleb.tempo.co/read/1453845/tanggapan-para-dokter-soal-video-viral-dokter-
kevin-samuel
6. Hanafiah, Jusuf. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 1999.
7. Prawiroharjo P, Purwadianto, Sjamsoehidajat, Sidipratomo P, Santosa F, Wasisto B,
Setiabudy R, Sulaiman A, Rozaliyani A, Sukarya W, Soendoro J, Soetedjo, Librianty N.
Pedoman Organsasi dan Tata Laksana MKEK; 2018.
8. Purwadianto, Soetedjo, Gunawan S, Budiningsih Y, Prawiroharjo P, Firmansyah A. Kode
Etik Kedokteran Indonesia. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia; 2012.
9. MKEK. Surat Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Tentang Fatwa Etik
Dokter dalam Aktivitas Media Sosial; 2021.
10. Rozaliyani A, Melia PDI, Librianty N. Prinsip Penetapan Sanksi Bagi Pelanggaran Etik
Kedokteran . JEKI, 2018,2(1):19-22; 2018.
11. Prawiroharjo P, Purwadianto A, Budiningsih A. Sistem Akumulasi Penetapan Sanksi:
Usulan Perubahan Kategorisasi dan Akumulasi Penetapan Sanksi Untuk Pelanggaran
Etik Kedokteran. JEKI; 2018,2(3):87-92. Doi: 10.26880/jeki.v2i3.21.
12. Prawiroharjo P, Librianty N. Tinjauan Etika Penggunaan Media Sosial Oleh Dokter.
JEKI; 2017;1(1): 31–4. doi: 10.26880/jeki.v1i1.7
13. Cruess, R. L., Cruess, S.R., dan Johnston, S.E. Professionalism : an ideal to be sustained.
Lancet; 2000; 356: 156–59. DOI: 10.1016/S0140-6736(00)02458-2
14. Purnamasari, CB. Persepsi instruktur laboratorium keterampilan klinik dan mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada tentang definisi komponen perilaku dalam
profesionalisme [Thesis]. Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah Mada; 2014.
15. Salinan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi ;2011.

26
16. Purnamasari CB, Claramita M, Prabandari YS. Pembelajaran Profesionalisme
Kedokteran Dalam Persepsi Instruktur Dan Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia, Vol 4 No 1 Maret 2015.Yogyakarta (Indonesia); 2015.
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik; 2008.
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi; 2008.
19. Walgito Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset ; 1989.
20. Rakhmat Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya; 2007.
21. Sondang Siagian. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Rineka Cipta; 1995.
22. Sapoetri Apnizar, Pannindriya Sri Tunggul. Geliat Interaksi Sosial Dokter Masa Kini
Melalui Media Sosial Instagram. Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi.
2019;5(2). 

27

Anda mungkin juga menyukai