Anda di halaman 1dari 3

MATA KULIAH TERINTEGRASI: PENGANTAR PROFESIONALISME DOKTER SPESIALIS

TOPIK INTERPROFESSIONAL EDUCATION

Nama : dr. Ahmad Dharobi

PPDS Program Studi : Ilmu Bedah

Minggu pelaksanaan : Minggu 1

Fasilitator :

Prof. dr. Rismawati Y, Sp.PK (K)


Prof. Dr. dr. Masrul, MSc, Sp.GK (K)
Prof. dr. Hardisman, M. HID., Dr. PH., FRSPH
Dr. dr. Emilzon Taslim, Sp.An, KAO, KIC, SH, MH
Dr. dr. Etriyel Myh, Sp.U (K)
Dr.dr. Finny Fitri Yanni, Sp.A (K)
Dr. dr. Rika Susanti, Sp.FM (K)
Dr. dr. Bobby Indra Utama, Sp.OG (K)
dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.FM
dr. Laila Isrona, M.Sc
drg. Mustafa Noer, MS
dr. UIya Uti Fasrini, M.Biomed
dr. Rahma Tsania Zhuhra, M.Pd.Ked
Chief Residen Ilmu Penyakit Dalam

I. Bagian pertama

Di minggu pertama saya belajar Mata Kuliah Terintegrasi, saya menyadari adanya andil dari
Universitas dalam mempersiapkan calon residen guna menjalani Pendidikan Spesialis. Saya mengerti
perjalanan PPDS ini tidak mudah, bahkan untuk masuknya saja saya merasakan telah banyak banyak hal
yang dilalui dan dikorbankan. Untuk itu, dengan adanya kuliah pembekalan ini saya sangat berharap
dengan mempelajari 4 mata kuliah ini, saya memiliki gambaran lebih jelas tentang keresidenan dan lebih
siap menghadapi semua tantangan ke depan sehingga menjadi seorang Spesialis yang bertaqwa,
menjunjung tinggi nilai kemusiaan, menginternalisasi nilai, norma dan etika akademik, serta memiliki
karakter Andalasian.

Kegiatan kuliah minggu pertama ini membuka wawasan saya lebih dalam mengenai profesi
kedokteran, pemaparan mengenai IPE dan IPC sangat dibutuhkan oleh seorang pembelajar maupun
praktis kedokteran khususnya dokter spesialis yang sedang saya dalami di bidang bedah. Di sini saya
belajar penting menghargai perbedaan profesi dan mampu bekerjasama dengan setiap bidang demi
mencapai keberhasilan penangan pasien. Keberhasilan ini tidak hanya di lihat dari sembuh tidaknya
penyakit seorang pasien namun harus dilihat secara holistik sebagai manusia seutuhnya baik fisik,
mental, efektifitas biaya, keramahan dan lainnya. Hal ini erat kaitannya dengan pelajaran Filsafat
Kedokteran, dimana kami diminta untuk membedakan mana Good Doctor dan mana Great Doctor. Ada
banyak materi kuliah yang sangat bermanfaat bahkan perlu diberikan secara berkala kepada kami
selama masa pendidikan seperti wawasan Hukum dimana dokter spesialis merupakan lahan empuk
dijadikan sasaran tuntutan dari berbagai LSM, kemudian pelajaran Etika, Norma, dan Karakter
Andalusians sangat diperlukan oleh seorang insan manusia yang merupakan mahkluk yang memiliki
potensi menjadi lebih baik dan lebih buruk. Harapannya dengan adanya pembekalan kuliah ini, saya
akan menjadi Spesialis Bedah lulusan Unand yang ahli di bidangnya, memiliki nilai religius dan karakter
Anadalusian seperti yang diharapkan.

II. Bagian kedua

Materi-materi kuliah ini mengingatkan saya dengan sebuah pengalaman saat bekerja di Rumah
Sakit Daerah. Di saat kami terdampak pandemi Covid-19, saya dan beberapa teman sejawat saya yang
bekerja sebagai dokter IGD mendapat tanggung jawab tambahan sebagai dokter jaga Covid mulai Dari
IGD, Poli dan Bangsal Isolasi Covid. Pada awal penanganan Covid, kami harus beradaptasi cepat namun
tetap saja belum tertata dengan baik.

Ketidakteraturan penanganan Covid di awal pandemi di RSUD kami ini dapat dilihat di lapangan
di antaranya kepanikan dan ketakutan di kalangan tim Covid, tupoksi masing bagian yang belum teratur
sehingga tampak bekerja sendiri-sendiri bahkan malah timpang tindih, tak jarang di lapangan seorang
dokter merangkap sebagai MOD menyelesaikan masalah administratif, kadang juga merangkap seperti
security untuk mengamankan keluarga pasien yang ngamuk. Selain itu, berkembangnya berbagai
informasi terapi yang “liar” kerap menjadi konflik antara sesama Spesialis Paru dan juga dengan Spesialis
Penyakit Dalam dan membuat dokter jaga makin kebingungan.

Setelah permasalahan-permasalahan tadi muncul, maka dari Komite Medik berinisiatif


mengumpulkan semua dokter untuk membahas penanganan Covid agar lebih tertata. Pada pertemuan
ini, kami mendapat sosialisasi bahwa tim Satgas Covid dipimpin oleh salah satu dokter Paru dibantu oleh
dokter paru lainnya dan dokter penyakit dalam. Selanjutnya, kami diberi arahan kepada kami mengenai
tugas masing-masing serta alur-alur lebih jelas seperti alur berkoordinasi ke bidang lain, alur
penanganan pasien, alur pemilahan pasien permasalahan lainnya yang selalu menjadi ditemukan di
lapangan. Selain koordinasi sesama dokter, direktur RSUD kerap mengadakan pertemuan koordinasi dan
evaluasi dengan beberapa perwakilan tim dan masing-masing perwakilan intalasi agar bisa terjalin
kerjasama tim yang diharapkan.

III. Bagian ketiga

WHO (2010) mendifinisikan Interperofessional Collaborative Practice sebagai kerjasama antara


beragam profesi petugas medis dengan pasien, keluarga, pengasuh, dan komunitas untuk mencapai
pelayanan terbaik. Hal ini sudah kami jalani semasa musim Covid, meskipun saat itu kami tidak tahu
istilah IPC atau IPE ini, kami telah melakukan apa yang menjadi substansi untuk mencapai kesepakatan
guna mencapai tujuan terbaik secara musyawarah.
Kemudian, pentingnya menerapkan prinsip bioetika prima facie yang terdiri dari autonomy,
beneficience, non-malificience, justice. Prinsip Bioetika ini memiliki tujuan utama dalam pelayanan,
mencapai hasil terbaik dan meminimallisir kerugian. Hal-hal yang prinsip ini bahkan secara tegas telah
diatur di antaranya dalam Peraturan Konsil (PERKONSIL) Kedokteran Indonesia Nomor 4 tahun 2011
tentang disiplin dokter dan dokter gigi. Diantara poin pelanggaran yang ditertibkan dalam Perkonsil
tersebut adalah: terkait dengan permasalah kompetensi profesi, tidak melakukan tindakan/asuhan
medis memadai pada situasi tertentu, melakukan pemeriksaan dan pengobatan atau berlebihan yang
membahayakan pasien, melakukan tindakan tanpa informed consent, dan banyak lagi. Hal ini sangat
berhubungan dengan narasi pengalaman saya saat kami menghadapi pandemi Covid, di saat keilmuan
baku tentang penanganan Covid diperdebatkan bahkan di tingkat pusat, maka di sinilah peran para
profesi medis untuk mencari tahu dan menerapkan keilmuan yang mutakhir untuk kesembuhan pasien
dan tidak malah membahayakan pasien. Selain itu, pada prinsip autonomy, erat kaitannya dengan
informed consent dimana pasien/ keluarga yang didiagnosa Covid maupun Suspect Covid diberikan
pilihan untuk mendapatkan perawatan atau menolak, memilih isolasi mandiri atau tidak. Meskipun
sempat jadi masalah ketika penyebaran semakin meluas diakibatkan pasien yang disarankan isolasi
mandiri maupun dirawat ruang isolasi memilih menolak dan mendatangi keramaian. Maka ada
peraturan pemerintah yang tegas melibatkan aparat TNI dan Polri, agar mereka patuh untuk menjalani
isolasi baik di rumah, rumah sakit atau ruangan yang disediakan pemerintah. Meskipun hal ini terkesan
mengabaikan prinsip autonomy pasien yang melanggar aturan tersebut, namun ini wajib dilakukan
karena mempertahankan prinsip bioetika lainnya dan hak autonomy masyarakat yang lebih luas
sehingga memiliki nilai manfaat tinggi daripada mudharot.

IV. Bagian ke-empat

Harapan saya dari kuliah pembekalan ini, kami bisa mengambil manfaat yang luas berupa
pemahaman dan penerapan nilai-nilai baik yang menjadi tujuan dalam pembelajaran ini. Tentunya hal
ini memerlukan pembelajaran berkelanjutan, ada evaluasi, bimbingan khusus sesuai kebutuhan saat
menjalani pendidikan sehingga semua berjalan pada jalur yang benar dan menghasilkan pribadi
profesional yang diharapkan. Yang ingin saya ketahui pada pembelajaran selanjutnya adalah bagaimana
penerapan teori-teori berupa contoh teknis dalam menghadapi permasalah di lapangan yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan.

Anda mungkin juga menyukai