Anda di halaman 1dari 21

SEL.07.2-T1-2.

Eksplorasi
Konsep
Pengantar

Bayangkan ketika Anda dulu menjadi seorang siswa


(SD/SMP/SMA). Ingatlah teman Anda satu persatu! Bagaimana
karakteristik masing-masing teman Anda? Tahukah Anda apa
kelebihan dari masing-masing mereka? Apakah mereka mempunyai
minat yang berbeda-beda? Bagaimana gaya belajar mereka?
Siapakah diantara teman Anda yang paling pandai dalam berhitung
dan selalu tercepat dalam mengumpulkan tugas? Atau siapakah
yang justru sebaliknya, yaitu lama sekali dalam menangkap
pelajaran? Siapakah yang level membacanya paling tinggi?
Siapakah teman Anda yang perlu dibantu untuk meningkatkan
keterampilan memahami bacaan mereka? Adakah teman Anda yang
pandai dalam pelajaran keterampilan dan seni? Adakah teman Anda
yang suka berkelompok dalam mengerjakan pelajaran ataupun
dalam hal apapun? Atau adakah teman Anda yang justru sebaliknya,
ia suka dengan tugas mandiri dan begitu juga dalam kesehariannya
lebih suka dengan kesendirian? Siapakah yang senang berbicara
didepan? Siapakah yang senang dengan menggambar? Siapakah di
antara teman Anda suka tertidur ketika pelajaran Matematika
karena tidak mengerti? Dan masih banyak yang bisa Anda
bayangkan dan temukan pada teman-teman Anda dulu ketika di
sekolah. Seru, ya, mengingat masa-masa sekolah? Lantas jika Anda
sebagai gurunya, jika Anda sebagai guru, maka usaha apa yang
harus dilakukan untuk menyesuaikan proses pembelajaran sehingga
terpenuhinya kebutuhan individu setiap siswa?

Sejatinya setiap individu itu berbeda satu dengan yang lainnya.


Begitu juga setiap siswa di kelas pasti berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Begitu banyak kebutuhan siswa yang harus dipenuhi.
Tanpa disadari, guru setiap harinya menghadapi murid dengan
berbagai keragaman yang banyak sekali macamnya. Guru selalu
dihadapkan berbagai tantangan dalam mengajar dan kerap kali
harus melakukan dan memutuskan sesuatu hal dalam satu waktu.
Keterampilan yang luar biasa ini banyak yang tidak disadari oleh
para guru, karena begitu naturalnya hal ini terjadi di kelas dan guru
menghadapi tantangan tersebut menjadi hal yang biasa baginya.
Berbagai usaha dilakukan oleh para guru, tentunya tujuannya
adalah untuk memastikan bahwa setiap peserta didik sukses dalam
proses pembelajarannya.

Nah, dengan melihat banyak perbedaan antara satu peserta didik


dengan peserta didik yang lainya, tentunya perlu adanya
pembelajaran berdiferensiasi. Sebelum beranjak ke definisi tentang
apa itu pembelajaran berdiferensiasi, silahkan simak teori-teori
yang mendasari perlunya pembelajaran berdiferensiasi. Selamat
menyimak!

SEL.07.2-T1-2 Eksplorasi
Konsep

1 2 3 4 5 6 7 8

Gunakan navigasi diatas untuk ke halaman berikutnya!

Perlunya Pembelajaran Berdiferensiasi

Sejatinya setiap individu itu berbeda satu dengan yang lainnya.


Begitu juga setiap siswa di kelas pasti berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Begitu banyak kebutuhan siswa yang harus dipenuhi.
Tanpa disadari, guru setiap harinya menghadapi murid dengan
berbagai keragaman yang banyak sekali macamnya. Guru selalu
dihadapkan berbagai tantangan dalam mengajar dan kerap kali
harus melakukan dan memutuskan sesuatu hal dalam satu waktu.
Keterampilan yang luar biasa ini banyak yang tidak disadari oleh
para guru, karena begitu naturalnya hal ini terjadi di kelas dan guru
menghadapi tantangan tersebut menjadi hal yang biasa baginya.
Berbagai usaha dilakukan oleh para guru, tentunya tujuannya
adalah untuk memastikan bahwa setiap peserta didik sukses dalam
proses pembelajarannya.

Nah, dengan melihat banyak perbedaan antara satu peserta didik


dengan peserta didik yang lainya, tentunya perlu adanya
pembelajaran berdiferensiasi. Sebelum beranjak ke definisi tentang
apa itu pembelajaran berdiferensiasi, silahkan simak teori-teori
yang mendasari perlunya pembelajaran berdiferensiasi.

Perbedaan itu bisa Anda lihat dari sistem ekologi pada setiap
individu (latar belakang keluarga, budaya, politik, ekonomi,
lingkungan, dan lain sebagainya), multiple intelligences, zone of
proximal development (ZPD), learning modalities atau yang kita
kenal dengan gaya belajar, serta masih banyak perbedaan lainnya
yang Anda mungkin dapati tentang perbedaan pada setiap individu
ini. Di bawah ini Anda akan membaca tentang beberapa teori bahwa
sejatinya individu itu berbeda. Disini akan dipaparkan 4 teori yang
melatar belakangi perlunya pembelajaran berdiferensiasi, yaitu

1. Teori sistem ekologi


2. Teori Multiple Intelligences
3. Teori Zone of Proximal Development (ZPD)
4. Learning modalities

Mari kita mulai eksplor!

Teori Sistem Ekologi

Urie Bronfenbrenner merupakan ahli yang mengemukakan teori sistem mengenai


ekologi yang menjelaskan perkembangan individu dalam interaksinya dengan
lingkungan di luar dirinya yang terus-menerus mempengaruhi segala aspek
perkembangan (Hayes dkk, 2017).
Teori sistem ekologi merupakan pandangan sosiokultural Bronfenbrenner tentang
perkembangan yang terdiri dari lima sistem lingkungan. Mulai dari pengaruh
interaksi langsung pada individu hingga pengaruh kebudayaan yang berbasis luas.
Kelima sistem ekologi tersebut adalah mikrosistem, mesosistem, ekosistem,
makrosistem, dan kronosistem.

Berikut penjelasan mengenai urutan sistem tersebut:

1. Mikrosistem adalah kondisi yang melatarbelakangi anak hidup dan


berinteraksi dengan orang lain dan institusi yang paling dekat dengan
kehidupannya, seperti orang tua, teman sebaya, tetangga, dan teman
sekolah;
2. Mesosistem adalah hubungan antara dalam mikrosistem. Sebagai
contoh, orang tua dan guru berinteraksi dalam sistem sekolah, anggota
keluarga dan kerabat menjadi relasinya di dalam institusi keagamaan,
pelayanan kesehatan berinteraksi dengan keluarga anak dan sekolahnya.
3. Ekosistem adalah sistem yang berisi sejumlah kondisi yang
mempengaruhi perkembangan anak di lingkungan rumah namun anak
disini tidak terlibat dalam satu peran langsung. sebagai contoh, karena
adanya kondisi kemiskinan dalam keluarga, anak terpaksa harus bekerja
untuk mencari uang dan tidak melanjutkan sekolah.
4. Makrosistem adalah sistem yang mengelilingi mikro, meso dan ekosistem
dan merepresentasikan nilai-nilai ideologi, hukum masyarakat dan budaya
politik. Sebagai contoh anak Indonesia tidak sama-sama dengan anak
Amerika
5. Kronosistem adalah dimensi waktu yang menuntun perjalanan setiap
level sistem dari mikro dan makro. Sistem ini juga mencakup berbagai
peristiwa hidup yang penting pada individu dan kondisi sosio-kultural.

Pada penjelasan teori Bronfenbrenner tersebut, dijelaskan bahwa anak mempunyai


lingkungan yang berbeda-beda antara satu individu dengan yang lainnya. Silahkan
Anda perhatikan ilustrasi berikut dengan seksama, dan lihat perbedaannya,
sehingga Anda menemukan kedua individu ini berbeda:

JORIN

(Mikrosistem). Jorin adalah seorang siswi SMP Negeri kelas 2. Ia terlahir dari
keluarga berada dan berpendidikan. Ayahnya adalah keturunan Belanda sementara
Ibunya adalah keturunan Indonesia asli. Ia adalah anak sulung dari 3 bersaudara.

(Mesosistem). Jika Jorin berada di rumah, Ia mempunyai tanggung jawab untuk


mengasuh kedua adiknya, yaitu kelas 2 SD dan kelas 4 SD. Setiap ke sekolah Ia di
antar jemput oleh ayah/ibunya atau kadang pulang sendiri dengan menggunakan
kendaraan aplikasi, dan ia merasa senang akan itu. Ia terbiasa bertemu dengan
banyak orang, misalnya rekan bisnis ayah/ibunya, bertemu dengan teman dan guru
les musiknya, sering pulang pergi Indonesia-Belanda untuk mengunjungi keluarga
dari Ayahnya, dan masih banyak lagi yang memungkinkan Jorin berinteraksi dengan
banyak orang.
(Ekosistem). Walaupun berkecukupan, namun Ayah/Ibunya mengajarkan
kemandirian sejak dini, sehingga ia terbiasa mandiri, misalnya saja ia terbiasa
dengan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring setelah makan, menyapu, dan
mengepel kamarnya, sehingga Jorin terbiasa dengan hidup bersih dan mandiri.

(Makrosistem dan Kronositem). Sampai usia 17 tahun, Jorin memiliki dwi


kewarganegaraan yaitu Indonesia dan Belanda, dan setelah itu karena Ibu Jorin
keturunan Indonesia, maka Jorin harus memilih kewarganegaraan, apakah Belanda
atau Indonesia. Tentunya Jorin memiliki pandangan terhadap budaya dan sosial
yang berbeda, belum lagi ditambah dengan ideologi yang dianutnya dan juga hukum
masyarakat, dan juga budaya politik yang berbeda pula. Itu terbentuk sejak ia lahir
sampai seusianya.

JATI

(Mikrosistem). Jati adalah seorang siswa kelas 2 SMP Negeri yang sekelas dengan
Jorin. Ia tergolong dari keluarga biasa saja. Ia adalah anak semata wayang. Ayah
dan Ibunya keduanya berkebangsaan Indonesia bersuku madura dan jawa. Ada 2
sepupu yang ikut tinggal di rumahnya.

(Mesosistem) Sepulang sekolah Jati membantu Ayah dan Ibunya yang bekerja
mengelola sebuah toko sayur di pasar tradisional. Jati banyak bertemu dengan
banyak orang, seperti pembeli sayur langganannya, kuli panggul pasar, mitra ayah
ibunya di pasar. Ayah dan ibu Jati sibuk sekali dengan jualannya di pasar, apalagi
jika menjelang Idul Fitri dan tahun baru, mereka sesekali mengantarkan sayuran
untuk bapak dan ibu guru ke sekolah.

(Ekosistem). Sepulang sekolah jati terbiasa membantu ayah dan ibunya berjualan
sayur di pasar. Keberadaannya di rumah hanya ada saat malam hari, yaitu sepulang
dari lapak miliknya dan itupun terkadang ayah dan ibunya masih berada di lapak,
ayah ibunya pulang ke rumah saat siang hari saja. Kondisi rumah yang kadang
berantakan membuat ia lelah untuk meneruskan belajar. Dan baginya berantakan
atau tidak sama saja, karena ia terbiasa melihat kehidupan pasar.

(Makrosistem dan Kronosistem). Pada rentang waktu yang cukup lama, kehidupan
Jati dan keluarganya, tentunya mempunyai pandangan tersendiri terhadap
lingkungan, kehidupan sosial dan budaya dan sekitarnya. Sehingga membentuk
pribadi diri Jati.

Nah, Anda tentu dapat membedakan bukan kedua individu itu berbeda? Sekarang,
dari kedua kasus di atas, tentu Anda dapat membedakan apa itu makrosistem,
mesosistem, ekosistem, makrosistem dan kronosistem. Pada kedua ilustrasi
tersebut dapat kita lihat kedua individu tersebut berbeda, baik dari lingkungan
keluarga, strata ekonomi, pandangan tentang makna kebersihan, lingkungan orang-
orang yang biasa berinteraksi dengan individu tersebut.

Masih banyak contoh yang lain. Tentunya Anda bisa membayangkan masing-
masing dari teman sekolah Anda dulu, bahwa dari latar belakang lingkungan mereka
sangatlah beragam. Satu teman sekolah dengan teman sekolah yang lainnya,
tentunya mempunyai kekhasan, bukan? Tidak mungkin satu dengan yang lain itu
sama, namun tidak menutup kemungkinan satu sama lain mempunyai latar belakang
lingkungan atau ekologi yang mirip walau tidak sama persis.

Teori Multiple Intelligences

Teori tentang multiple intelligences atau dalam Bahasa Indonesia biasa disebut sebagai
kecerdasan majemuk. Teori ini dicetuskan dan dikembangkan oleh Howard Gardner (1993),
seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan dari Graduate School of Education,
Harvard University, Amerika Serikat. Gardner mendefinisikan intelegensi sebagai
kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting
yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Berdasarkan pengertian ini, dapat
dipahami bahwa intelegensi bukanlah kemampuan seseorang untuk menjawab soal-soal tes
IQ dalam ruang yang tertutup dan hanya konsentrasi pada soal itu tanpa ada gangguan dari
lingkungan luar. Akan tetapi inteligensi memuat kemampuan seseorang untuk memecahkan
persoalan yang nyata dan dalam situasi yang bermacam-macam.

Dapat dikatakan juga bahwa setiap orang memiliki delapan jenis kecerdasan dalam tingkat
yang berbeda-beda. Pada teori multiple intelligences ini disebutkan ada delapan bentuk
kecerdasan. Delapan jenis kecerdasan itu memiliki komponen inti dan ciri-ciri yang berbeda
juga. Kehadiran ciri-ciri pada individu menentukan kadar profil kecerdasannya. Dalam
kehidupan nyata, kecerdasan-kecerdasan itu hadir dan muncul bersama-sama atau berurutan
dalam suatu atau lebih aktivitas. Kedelapan kecerdasan tersebut, yaitu:

1. Kecerdasan verbal-linguistik
Kecerdasan verbal-linguistik merupakan kemampuan berbahasa misalnya saja
melalui membaca, menulis, berbicara, memahami urutan dan makna dari kata-
kata, serta menggunakan bahasa dengan benar.
2. Kecerdasan logis-matematis
Ini merupakan kecerdasan dalam mengolah angka, matematika, dan logika untuk
menemukan dan memahami berbagai pola, seperti pola pikir, pola visual, pola
jumlah, atau pola warna.
3. Kecerdasan spasial-visual
Kecerdasan ini merupakan kemampuan pada bidang ruang dan gambar. Individu
memiliki kekuatan dalam imajinasi dan senang dengan bentuk, gambar, pola,
desain, serta tekstur.
4. Kecerdasan kinestetik-jasmani
Kemampuan dalam koordinasi anggota tubuh dan keseimbangan. Siswa yang
memiliki kecerdasan ini senang melakukan berbagai aktivitas fisik, seperti naik
sepeda, menari, atau olahraga. Ia juga mungkin merasa sulit duduk diam dalam
waktu lama dan mudah bosan.
5. Kecerdasan musical
Tidak hanya dapat memainkan alat musik atau mendengarkan lagu. Mereka yang
memiliki kecerdasan ini juga mampu memahami dan membuat melodi, irama,
nada, vibrasi, suara, dan ketukan menjadi sebuah musik.
6. Kecerdasan intrapersonal
Ini merupakan kecerdasan introspektif di mana peserta didik mampu memahami
diri sendiri, mengetahui kekuatan, kelemahan, dan motivasi diri. Jika kecerdasan
ini menonjol pada diri peserta didik, biasanya dia akan bisa berbuat bijaksana dan
bisa mengendalikan keinginan serta perilakunya, juga mampu membuat rencana
dan keputusan. Kecerdasan ini dimiliki oleh penulis, ilmuwan, dan filsuf.
7. Kecerdasan interpersonal
Kecakapan ini merupakan kemampuan untuk bermasyarakat serta memahami dan
berinteraksi dengan orang lain. Mereka yang mempunyai kecerdasan ini mampu
bekerja, berinteraksi, dan berhubungan dengan orang lain, suka bekerja sebagai
tim, memiliki banyak teman, menunjukkan empati kepada orang lain, sensitif
terhadap perasaan dan ide-ide orang lain, memediasi konflik, dan mengemukakan
kompromi.
8. Kecerdasan naturalis
Ini adalah kemampuan untuk mengenali dan mengkategorikan tanaman, hewan,
dan benda-benda lain di alam, serta tertarik mempelajari spesies makhluk hidup.
Mereka yang unggul dalam kecerdasan ini biasanya suka dengan alam, misalnya
saja suka dengan bercocok tanam, suka dengan hewan peliharaan, dan aktivitas
sejenisnya yang berkaitan dengan alam.

Sebagai ilustrasi silahkan Anda simak cerita berikut:

Dzaki adalah seorang siswa SD kelas 6. Jika ada tugas Bahasa Indonesia diminta untuk
membuat karangan, maka ia dengan semangat mengerjakannya. Ia mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler musik di sekolahnya. Jika ada temannya yang kesulitan ia sering membantu
dan juga sering menjadi ketua kelompok jika ada tugas kelompok, maka tak heran jika ia
mempunyai banyak teman dan sahabat. Hanya saja dia paling tidak suka dengan pelajaran
berhitung, tak heran jika pelajaran matematika memiliki nilainya kurang bagus.

Sementara Lina adalah teman sekelas Dzaki. Ia senang sekali dengan pelajaran matematika,
dan sering sekali memenangkan lomba olimpiade matematika tingkat nasional. Setiap
olimpiade matematika ia mengikutinya, hampir tak pernah absen. Di rumahnya, ia
mempunyai hewan peliharaan dan sangat sayang dengan hewan peliharaannya. Ia
merawatnya dengan senang hati dengan membantu ibunya membersihkan kendang
piaraannya. Selain itu dia adalah anak baik yang selalu membantu ibunya menyiram tanaman
dan ikut membereskan tanaman.
Pada dua cerita di atas, Anda sudah dapat melihatnya, bukan? Bahwa antara Dzaki dan Lina,
keduanya mempunyai kecerdasan yang berbeda-beda. Sekarang coba Anda ingat-ingat teman
Anda di kelas dulu waktu masih bersekolah. Pasti dari masing-masing memiliki kecerdasan
yang berbeda-beda dan mempunyai keunggulan masing-masing pula. Pada satu sisi tidak
unggul, bisa saja disisi lain ia mempunyai kecerdasan pada bidang lain. Atau bisa jadi satu
kecerdasan dengan kecerdasan yang lain saling beriringan.

Teori Zone of Proximal Development (ZPD)

Zone of Proximal Development (ZPD) adalah zona antara tingkat perkembangan aktual dan
tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan anak
menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri. Sedangkan tingkat perkembangan potensial
tampak dari kemampuan anak menyelesaikan tugas atau memecahkan masalah dengan
bantuan orang dewasa. Ketika masuk dalam ZPD, maka anak sebenarnya dapat melakukan
aktifitas/tugas yang diberikan, akan tetapi lebih optimal jika orang dewasa atau pendamping
yang lebih tahu, membantunya untuk mencapai tingkat perkembangan aktual tersebut. Hal
tersebut dapat dikatakan bahwa setiap peserta didik memiliki ZPD yang berbeda-beda, maka
dari itu bimbingan dan instruksi dengan kadar yang sesuai sangat dibutuhkan untuk dapat
mengembangkan potensi masing-masing siswa (Suprayogi et, al., 2022).

Pada teori ini terdapat dua level untuk ukuran kemampuan dan potensi peserta didik, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan
aktual peserta didik adalah ketika dia bekerja untuk menyelesaikan tugas atau soal tanpa
bantuan orang lain. Sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah tingkat dari
kompetensi peserta didik yang dapat tercapai ketika dia dibantu oleh orang lain. Perbedaan
diantara kedua tingkat kemampuan tersebut termasuk dalam ZPD. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa ZPD terletak diantara hal-hal yang dapat dilakukan oleh peserta didik dan
hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh peserta didik tanpa pendampingan.

Ada sebuah pertanyaan, “Apakah anak harus dibantu? Tidak bisakah anak belajar sendiri?”.
Kondisi terbantu (tanpa dibantu) adalah kondisi di mana anak berada pada tingkat
perkembangan aktual. Kondisi ini akan dicapai dengan lebih optimal dengan bantuan, jika
anak memang masih belum menguasai apa yang dipelajari.

Perhatikan contoh berikut untuk lebih memudahkan memahami teori ZPD:

Bu Muniroh mengajar di kelas 1 SD. Ia mempunyai 30 murid. Dua diantaranya jika belajar
tidak mudah cepat untuk menangkap pelajaran, yaitu Siti dan Bambang. Siti lebih suka
menyendiri dan tidak mudah untuk bergaul. Sementara Bambang, senang bergerak dan
aktivitas fisik, sehingga terkesan mengganggu. Tibalah saatnya belajar Matematika. Pada saat
belajar, Siti merasa minder karena merasa tidak bisa mengerjakan, sementara Bambang
keliling kelas sehingga tidak konsentrasi ketika Bu Muniroh menjelaskan, sesekali dipanggil
namanya supaya Bambang sadar bahwa ia sedang belajar di kelas, sehingga Bambang susah
untuk menangkap pelajaran secara klasikal. Oleh karena itu keduanya memerlukan
bimbingan tersendiri dari Bu Muniroh untuk mengerjakan soal.
Pada saat murid-murid yang lain mengerjakan tugas, Bu Muniroh berkeliling kelas untuk
memantau. Kemudian Bu Muniroh akan lebih lama di dekat Siti dan Bambang untuk
membimbing mereka belajar sesuai dengan kemampuan mereka berdua.

Nah, dari penjelasan di atas, Anda bisa melihat perbedaan dari dua tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan aktual telah tercapai oleh 28 murid Bu Muniroh, sementara dua yang
lainnya, yaitu Siti dan Bambang pada tahap tingkat perkembangan potensial. Keduanya
memerlukan bimbingan khusus dari Bu Muniroh untuk memaksimalkan potensi yang mereka
punya. Nah, jarak antara 28 murid dengan Siti dan Bambang dinamakan ZPD.

Anda sudah mengerti sampai sini, bahwa lagi-lagi individu itu berbeda, atau peserta didik
dalam kelas itu memiliki banyak perbedaan satu sama lain? Berikut satu lagi disajikan bahwa
Individu itu berbeda, yaitu dari segi modalitas belajar.

Learning Modalities

Perbedaan peserta didik dalam pembelajaran juga dapat dilihat dari segi yang lain, yaitu
learning modalities atau modalitas dalam belajar yang kerap salah diinterpretasikan sebagai
gaya belajar.

Learning modalities ini biasa dikenal sebagai VAK atau Visual, Auditory, dan Kinestetik.
Nah, sampai disini mungkin Anda sudah familiar bukan dengan istilah ini apa itu VAK atau
learning modalities. Anda mungkin telah mengikuti tes yang mengkategorikan modalitas
belajar Anda atau diberi tahu bahwa Anda adalah tipe pembelajar tertentu.

o Visual
Modalitas belajar visual adalah menerima informasi lebih mudah melalui gambar.
Otak kita memproses informasi visual dengan sangat efisien. Jauh lebih mudah
untuk mengingat gambar yang jelas seperti foto daripada mengingat apa yang
dikatakan atau ditulis seseorang.

o Auditori
Modalitas belajar auditori adalah menerima informasi lebih mudah melalui
mendengar. Siswa dengan mode ini biasanya sering mengajukan pertanyaan, dan
menggunakan diskusi untuk mengklarifikasi atau menyerap materi. Ketika Anda
berada dalam mode auditori, Anda mungkin berbicara dan membaca lebih lambat
untuk menyerap semuanya.

o Kinestetik
Modalitas kinestetik melakukan sesuatu dengan fisik, atau paling tepat
digambarkan sebagai belajar sambil melakukan (learning by doing), baik sebagai
aktivitas langsung atau melalui pengalaman, atau dengan bergerak sambil berpikir
atau belajar.

Ketiga modalitas belajar di atas, tidak secara baku bahwa siswa hanya menggunakan satu
modalitas belajar saja. Intinya: jangan terjebak dalam stereotip tipe pelajar seperti apa peserta
didik tersebut. Bisa saja peserta didik itu termasuk kedalam pembelajar multimodal, artinya
peserta didik dapat menggunakan salah satu dari mode ini, tergantung pada situasinya.
Setelah Anda membaca dan memahami keempat teori dan beberapa ilustrasi di atas, Anda
bisa melihat bahwa tiap peserta didik juga memiliki keistimewaan masing-masing. Nah,
sekarang Anda mengerti bukan, bahwa setiap peserta didik itu berbeda-beda. Semuanya
berbeda satu sama lain. Memiliki kebutuhan yang berbeda dan tidak bisa disama ratakan
antara satu peserta didik dengan peserta didik yang lain.

Pengertian Pembelajaran Berdiferensiasi

Menurut Tomlinson (2001) Pembelajaran berdiferensiasi adalah


usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk
memenuhi kebutuhan belajar peserta didik sebagai individu. Atau
bisa dikatakan juga bahwa pembelajaran berdiferensiasi adalah
pembelajaran yang memberi keleluasaan dan mampu mengakomodir
kebutuhan peserta didik untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai
dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik yang
berbeda-beda.

Jika kita melihat kasus Pak Darso di atas, bukan berarti Pak Darso
harus mengajar dengan 28 cara yang berbeda untuk mengajar 28
murid. Bukan pula Pak Darso harus memperbanyak soal untuk
peserta didik yang lebih cepat mengerjakannya. Bukan pula Pak
Darso harus mengelompokan yang pintar dengan yang pintar dan
yang lambat dengan yang lambat. Bukan pula memberikan tugas
yang berbeda pada setiap anak. Bukan pula pembelajaran yang
semrawut, dimana guru harus membuat beberapa perencanaan
pembelajaran sekaligus, dimana guru harus lari kesana kemari
untuk mengajari anak satu dengan yang lainnya dalam waktu yang
bersamaan. Guru bukanlah makhluk ajaib yang harus kesana kemari
berada dalam tempat yang berbeda dalam satu waktu untuk
membantu banyak peserta didik dalam satu waktu bersamaan dan
memecahkan semua permasalahan. Lantas seperti apa sebetulnya
pembelajaran berdiferensiasi itu?

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk


akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi
kepada kebutuhan peserta didik. Keputusan-keputusan yang dibuat
tersebut adalah yang terkait dengan:

1. Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang


“mengundang” peserta didik untuk belajar dan bekerja
keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian
juga memastikan setiap peserta didik di kelasnya tahu
bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di
sepanjang prosesnya.
2. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang
didefinisikan secara jelas. Jadi bukan hanya guru yang
perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga
peserta didiknya.
3. Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut
menggunakan informasi yang didapatkan dari proses
penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat
menentukan peserta didik mana yang masih ketinggalan,
atau sebaliknya, peserta didik mana yang sudah lebih dulu
mencapai tujuan belajar yang ditetapkan.
4. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan
belajar peserta didiknya. Bagaimana ia akan menyesuaikan
rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar
peserta didik tersebut. Misalnya, apakah ia perlu
menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda,
dan penugasan serta penilaian yang berbeda.
5. Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru
menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang
memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur
yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan
kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara
efektif.

Jika kita mengacu ke kasus Pak Darso di atas, maka keputusannya


untuk memberikan soal tambahan, dengan jenis soal yang tetap
sama serta tingkat kesulitan yang juga sama, kepada tiga murid
yang selesai terlebih dahulu, belum dapat dikatakan sebagai
diferensiasi. Apalagi, tujuan diberikannya soal tadi adalah agar tiga
murid tersebut ada ‘pekerjaan’ sehingga tidak mengganggu murid
yang lain. Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada
pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon
kebutuhan belajar tersebut. Oleh karena itu, Pak Darso perlu
melakukan identifikasi kebutuhan belajar dengan lebih
komprehensif, agar dapat merespon dengan lebih tepat terhadap
kebutuhan belajar peserta didiknya, termasuk ketiga peserta didik
tersebut.

Ciri-ciri dari Pembelajaran Berdiferensiasi

Nah, lantas apa sajakah ciri-ciri dari pembelajaran berdiferensiasi


ini? Mari kita lihat!
Menurut Tomlinson (2001): pembelajaran berdiferensiasi memiliki
empat ciri, yaitu:

1. Pembelajaran berfokus pada konsep dan prinsip pokok.


Harus berfokus pada kompetensi dasar pembelajaran.
2. Evaluasi kesiapan dan perkembangan belajar peserta didik
diakomodasi ke dalam kurikulum; Di sini perlu adanya
pemetaan kebutuhan peserta didik kemudian dimasukan
kedalam strategi pembelajaran.
3. Pengelompokan peserta didik dilakukan secara fleksibel;
misalnya, bisa secara mandiri, berkelompok berdasarkan
tingkat kecerdasan, berkelompok berdasarkan modalitas
belajar, dll.
4. Siswa secara aktif bereksplorasi dibawah bimbingan dan
arahan guru. Pembelajaran berdiferensiasi ini berpusat
kepada siswa.

Apakah Anda sudah mengerti definisi dan ciri-ciri dari pembelajaran


berdiferensiasi? Jika belum, silahkan baca ulang kembali. Jika
sudah memahami, mari kita lanjutkan untuk mempelajari pemetaan
kebutuhan siswa.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan diagram pemahaman pembelajaran


diferensiasi berikut:

Pemetaan Kebutuhan Belajar Siswa


Sekarang, mari kita bahas bagaimana kita dapat melakukan
pemetaan kebutuhan belajar peserta didik. Baca dengan seksama!

Menurut Tomlinson (2001), ada tiga cara untuk memetakan


kebutuhan belajar peserta didik, yaitu:

1. kesiapan belajar peserta didik (readiness);


2. minat peserta didik; dan
3. profil belajar peserta didik.

Kesiapan Belajar Peserta Didik (Readiness)

Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar kata “kesiapan belajar”? Bayangkanlah
situasi berikut ini:

Pada pelajaran bahasa Indonesia, Bu Tia ingin mengajarkan muridnya membuat


karangan berbentuk narasi. Ia kemudian melakukan penilaian. Ia menemukan
bahwa ada tiga kelompok murid di kelasnya.

o Kelompok A adalah murid yang telah memiliki keterampilan menulis


dengan struktur yang baik dan memiliki kosakata yang cukup kaya.
Mereka juga cukup mandiri dan percaya diri dalam bekerja.

o Kelompok B adalah murid yang memiliki keterampilan menulis dengan


struktur yang baik, namun kosakatanya masih terbatas.

o Kelompok C adalah murid yang belum memiliki keterampilan menulis


dengan struktur yang baik dan kosakatanya pun terbatas.

Apa yang dilakukan oleh Bu Tia di atas adalah memetakan kebutuhan belajar
berdasarkan kesiapan belajar. Kesiapan belajar (readiness) adalah kapasitas untuk
mempelajari materi baru. Sebuah tugas yang mempertimbangkan tingkat kesiapan
peserta didik akan membawa peserta didik keluar dari zona nyaman mereka, namun
dengan lingkungan belajar yang tepat dan dukungan yang memadai, mereka tetap
dapat menguasai materi baru tersebut.

Ada banyak cara untuk membedakan kesiapan belajar. Tomlinson (2001)


mengatakan bahwa merancang pembelajaran berdiferensiasi mirip dengan
menggunakan tombol equalizer pada stereo atau pemutar CD. Untuk mendapatkan
kombinasi suara terbaik biasanya Anda akan menggeser-geser tombol equalizer
tersebut terlebih dahulu. Saat Anda mengajar, menyesuaikan “tombol” dengan tepat
untuk berbagai kebutuhan peserta didik akan menyamakan peluang mereka untuk
mendapatkan materi, jenis kegiatan dan menghasilkan produk belajar yang tepat di
kelas Anda. Tombol-tombol dalam equalizer tersebut mewakili beberapa perspektif
kontinum yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat kesiapan peserta didik.
Pada modul ini, kita hanya akan mencoba membahas enam dari beberapa contoh
perspektif kontinum tersebut, dengan mengadaptasi alat yang disebut Equalizer.

1. Bersifat mendasar - Bersifat transformatif


Saat sebagian peserta didik dihadapkan pada sebuah ide yang baru, atau
jika ide itu bukan di salah satu bidang yang dikuasai oleh peserta didik,
mereka sering membutuhkan informasi pendukung yang lebih jelas,
sederhana, dan tidak bertele-tele untuk memahami ide tersebut. Mereka
akan perlu waktu untuk berlatih menerapkan ide secara langsung. Jika
peserta didik berada dalam tingkatan ini, maka bahan-bahan materi yang
mereka gunakan dan tugas-tugas yang mereka lakukan harus bersifat
mendasar dan disajikan dengan cara yang membantu mereka
membangun landasan pemahaman yang kuat. Di lain waktu, ketika
peserta didik dihadapkan pada ide-ide yang telah mereka pahami atau
berada di area yang menjadi kekuatan mereka, maka dibutuhkan
informasi yang lebih rinci dari ide tersebut. Mereka perlu melihat
bagaimana ide tersebut berhubungan dengan ide-ide lain untuk
menciptakan pemikiran baru. Kondisi seperti itu membutuhkan bahan dan
tugas yang lebih bersifat transformatif.
2. Konkret - Abstrak
Di lain kesempatan, guru mungkin dapat mengukur kesiapan belajar
peserta didik dengan melihat apakah mereka masih di tingkatan perlu
belajar secara konkret atau sudah siap bergerak mempelajari sesuatu
yang lebih abstrak.
3. Sederhana - Kompleks
Beberapa peserta didik mungkin perlu bekerja dengan materi lebih
sederhana dengan satu abstraksi pada satu waktu; yang lain mungkin bisa
menangani kerumitan berbagai abstraksi.
4. Terstruktur - Open Ended
Kadang-kadang peserta didik perlu menyelesaikan tugas yang ditata
dengan cukup baik untuk mereka, di mana mereka tidak memiliki terlalu
banyak keputusan untuk dibuat. Namun, di waktu lain, peserta didik siap
menjelajah dan menggunakan kreativitas mereka.
5. Tergantung (Dependent) - Mandiri (Independent)
Walaupun pada akhirnya kita mengharapkan bahwa semua peserta didik
kita dapat belajar, berpikir dan menghasilkan pekerjaan secara mandiri,
namun sama seperti tinggi badan, mungkin seorang anak akan lebih cepat
bertambah tinggi daripada yang lain. Dengan kata lain, beberapa peserta
didik mungkin akan siap untuk kemandirian yang lebih awal daripada yang
lain.
6. Lambat - Cepat
Beberapa peserta didik dengan kemampuan yang baik dalam suatu mata
pelajaran mungkin perlu bergerak cepat melalui materi yang telah ia
kuasai atau sedikit menantang. Tetapi di lain waktu, peserta didik yang
sama mungkin akan membutuhkan lebih banyak waktu daripada yang lain
untuk mempelajari topik yang lain.

Contoh Pemetaan atau identifikasi kebutuhan belajar berdasarkan kesiapan belajar


(Readiness):

Ibu Lusi akan mengajar pelajaran Matematika. Tujuan Pembelajaran yang ia


tetapkan adalah: peserta didik dapat menyajikan dan menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan keliling bangun datar.

Ia kemudian membuat pemetaan kebutuhan belajar dan memberikan penugasan


seperti di bawah ini
Minat Peserta Didik

Peserta didik juga memiliki minat sendiri. Ada peserta didik yang minatnya sangat
besar dalam bidang seni, matematika, sains, drama, memasak, dsb. Minat adalah
salah satu motivator penting bagi peserta didik untuk dapat ‘terlibat aktif’ dalam
proses pembelajaran.

Seorang guru dalam merancang pembelajaran memiliki tujuan mempertimbangkan


minat peserta didik diantaranya:

o Membantu peserta didik menyadari bahwa ada kecocokan antara sekolah


dan keinginan mereka sendiri untuk belajar;

o Menunjukkan keterhubungan antara semua pembelajaran;

o Menggunakan keterampilan atau ide yang familiar bagi peserta didik


sebagai jembatan untuk mempelajari ide atau keterampilan yang kurang
familiar atau baru bagi mereka, dan;

o Meningkatkan motivasi peserta didik untuk belajar.

Sepanjang tahun, peserta didik yang berbeda akan menunjukkan minat pada topik
yang berbeda. Gagasan untuk membedakan melalui minat adalah untuk
"menghubungkan" peserta didik pada pelajaran untuk menjaga minat mereka.
Seorang guru menjaga minat murid tetap tinggi, diharapkan dapat meningkatkan
kinerja peserta didik.

Beberapa contoh ide yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan


mempertahankan minat diantaranya misalnya:

o Meminta peserta didik untuk memilih apakah mereka ingin


mendemonstrasikan pemahaman dengan menulis lagu, melakukan
pertunjukan atau menari atau bentuk lain sesuai minat mereka.

o Menggunakan teknik Jigsaw dan pembelajaran kooperatif.

o Menggunakan strategi investigasi kelompok berdasarkan minat.

o Membuat kegiatan “sehari di tempat kerja”. Peserta didik diminta


mempelajari bagaimana sebuah keterampilan tertentu diaplikasikan dalam
kehidupan nyata. Mereka boleh memilih profesi yang sesuai minat
mereka.

Contoh pemetaan atau identifikasi kebutuhan belajar berdasarkan minat.


Ibu Zaenab ingin mengajarkan murid-muridnya keterampilan membuat tulisan teks
prosedur. Ia kemudian melihat pada catatan yang dimilikinya. Ia menemukan bahwa
di kelasnya ada:

o 8 orang murid yang sangat menyukai kegiatan olahraga;

o 6 orang yang menyukai hal-hal yang berkaitan dengan sains.

o 4 orang senang membuat prakarya dan.

o 2 orang senang memasak.

Setelah selesai mendiskusikan tentang apa dan bagaimana membuat tulisan


berbentuk prosedur, Bu Zaenab lalu meminta murid berlatih membuat sendiri tulisan
berbentuk prosedur tersebut. Setiap murid diperbolehkan untuk menulis dengan
topik sesuai dengan minat mereka tersebut. Ada murid yang memilih membuat
tulisan prosedur memasak nasi goreng, ada murid yang memilih membuat tulisan
tentang prosedur membuat bunga dari sedotan, dsb

Profil Belajar Peserta Didik

Profil belajar peserta didik terkait dengan banyak faktor, seperti: bahasa, budaya, kesehatan,
keadaan keluarga, dan kekhususan lainnya. Selain itu juga akan berhubungan dengan gaya
belajar seseorang. Profil belajar peserta didik ini merupakan pendekatan yang disukai peserta
didik untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya berpikir, kecerdasan, budaya, latar belakang,
jenis kelamin, dll.

Tujuan dari mengidentifikasi atau memetakan kebutuhan belajar peserta didik berdasarkan
profil belajar adalah untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara
natural dan efisien. Namun demikian, sebagai guru, kadang-kadang kita secara tidak sengaja
cenderung memilih modalitas belajar yang sesuai dengan modalitas belajar kita sendiri.
Padahal kita tahu setiap anak memiliki profil belajar sendiri. Memiliki kesadaran tentang ini
sangat penting agar guru dapat memvariasikan metode dan pendekatan mengajar mereka.

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seseorang. Berikut ini adalah
beberapa yang harus diperhatikan (Suprayogi et. Al., 2022):

1. Bahasa
2. Ketertarikan atau minat
3. Apa yang peserta didik pelajari di rumah
4. Gaya belajar
5. Special Needs atau kebutuhan khusus tertentu, misal disleksia, ADHD, autis.
6. Preferensi Belajar, setiap peserta didik memiliki acuan pada pola mereka belajar,
seperti ada peserta didik yang belajar dari buku, e-book, video Youtube, dan
banyak preferensi yang lain. (Miller, 2021)
7. Latar belakang peserta didik, contohnya tentang relasi hubungan dengan orang tua
dan tempat tinggal.
8. Konsentrasi.
9. Pembelajaran dinamis, setiap peserta didik punya metodenya masing-masing
dalam menerima pembelajaran, ada pula mereka yang berfokus pada
keterampilan, berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas, sehingga
peserta didik mengambil makna dari pembelajarannya lewat aktivitas luar (Bell,
2017)
10. Prior Knowledge; atau pengetahuan sebelumnya yang setiap peserta didik
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menangkap informasi baru, ada yang
baru mengenal atau sudah lebih awal mengenal informasi yang baru (TOP HAT,
n.d.)
11. Culture; latar belakang budaya yang berbeda bisa juga mempengaruhi peserta
didik dalam pembelajaran.
12. Prior Experience, atau pengalaman yang dimiliki peserta didik sebelumnya.
13. Karakter. Tentunya karakter tiap peserta didik berbeda-beda.
14. Waktu dalam pengerjaan tugas. Setiap peserta didik memiliki kesempatan waktu
yang berbeda-beda dalam mengerjakan dan menyelesaikan tugas.
15. Status ekonomi.
16. Terakhir adalah liking school, yaitu peserta didik menyukai aktivitas bersekolah.

Contoh pemetaan atau identifikasi kebutuhan belajar berdasarkan profil pelajar peserta didik:

Pak Herman akan mengajar pelajaran IPA, dengan tujuan pembelajaran yaitu agar murid
dapat mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang habitat makhluk hidup.

Berdasarkan identifikasi yang ia lakukan, Pak Herman telah mengetahui bahwa sebagian
muridnya adalah pembelajar visual, sebagian lagi adalah pembelajar auditori, dan pembelajar
kinestetik.

Untuk memenuhi kebutuhan belajar murid-muridnya tersebut, Pak Herman lalu memutuskan
untuk melakukan beberapa hal berikut ini:

1. Saat mengajar, Pak Herman melakukan hal-hal berikut ini:

o Ia menggunakan banyak gambar atau alat bantu visual saat menjelaskan.

o Ia juga menyediakan video yang dilengkapi penjelasan lisan yang dapat diakses
oleh peserta didik.

o Pak Herman juga membuat beberapa sudut belajar atau display yang ditempel di
tempat-tempat berbeda untuk memberikan kesempatan murid bergerak saat
mengakses informasi.

2. Saat memberikan tugas, Pak Herman memperbolehkan murid-muridnya memilih cara


mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang habitat makhluk hidup. Murid boleh
menunjukkan pemahaman dalam bentuk gambar, rekaman wawancara maupun performance
atau role-play.

Perlu diperhatikan bahwa mengidentifikasi atau memetakan kebutuhan belajar peserta


didik, tidak selalu harus melibatkan sebuah kegiatan yang rumit. Guru yang
memperhatikan dengan saksama hasil penilaian formatif, perilaku peserta didik atau
terbiasa mendengarkan dengan baik peserta didiknya biasanya akan dengan mudah
mengetahui kebutuhan belajar peserta didiknya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka kita dapat menarik kesimpulan. Pembelajaran


berdiferensiasi ini adalah belajar yang berorientasi pada kebutuhan peserta didik, minat
peserta didik, dan profil peserta didik. Pembelajaran tersebut tentunya harus tetap mengacu
pada tujuan pembelajaran. Hal tersebut dilakukan untuk lebih mengoptimalkan dalam proses
pembelajaran.

Kelebihan dan Tantangan Pembelajaran Berdiferensiasi

Jika kita merujuk pada kelebihan dalam pembelajaran


berdiferensiasi, setidaknya sudah tertuang diatas. Menurut
Suprayogi, (2022) ada beberapa kelebihan dan tantangan dalam
menjalankan pembelajaran diferensiasi ini, yaitu:

1. Kelebihan Pembelajaran Berdiferensiasi


o Memenuhi kebutuhan peserta didik;
o Memaksimalkan kualitas pembelajaran peserta
didik;
Apabila pembelajaran yang peserta didik terima
sesuai dengan kebutuhannya, maka peserta didik
pasti akan dapat memperoleh pengetahuan secara
maksimal. Peserta didik akan mendapatkan
kualitas belajar yang baik bila pengajarnya
memiliki pengertian mengenai kebutuhan
belajarnya dan dapat mengarahkannya dalam
membuat pilihan-pilihan terkait pembelajaran.
o Meningkatkan motivasi peserta didik.
Pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran
berdiferensiasi adalah student-centered. Student-
centered adalah pendekatan dimana pengajar tidak
langsung mengajar kepada peserta didik,
melainkan peserta didik harus mengkonstruksikan
pengetahuannya sendiri.
o Peserta didik menjadi lebih terlibat dan fokus di
kelas.
Jika strategi pengajaran tidak sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, maka peserta didik dapat
kehilangan fokus. Sebaliknya, peserta didik akan
terpicu dan terlibat di kelas apabila tugas dan
aktivitas yang dilakukan merupakan pilihannya
sendiri.
o Peserta didik dapat merelasikan pelajaran dengan
kehidupan.
Peserta didik dapat menghubungkan pelajaran
dengan nilai-nilai yang mereka miliki apabila
pembelajaran dilakukan berdasarkan minat peserta
didik
o Peserta didik dapat mengasah self-management
skill-nya.
Self-management skill adalah kemampuan
seseorang mengatur diri sendiri dan
mengidentifikasi langkah-langkah serta strategi
yang perlu diambil untuk mencapai suatu target
tertentu
o Meningkatkan prestasi peserta didik.
Peserta didik akan mampu mendapatkan prestasi
yang baik apabila menerima pengajaran yang
sesuai dengan gaya belajarnya.
2. Tantangan Pembelajaran Berdiferensiasi
Adapun tantangannya adalah sebagai berikut:
o Persiapan yang memakan waktu
o Guru harus dihadapkan dengan berbagai macam
perangkat pembelajaran dan juga perangkat
evaluasi yang banyak. Sehingga tak jarang guru
kurang memiliki waktu persiapan yang cukup untuk
menerapkannya.
o Terbatasnya waktu di kelas
Ada berbagai aktivitas yang dikerjakan, dan
pengajar harus dapat mendampingi serta
menangani semua peserta didik dalam kelasnya
o Guru harus memiliki management skills yang baik
Bukan hanya peserta didik yang dituntut untuk
memiliki management skill yang baik, seperti yang
tertuang pada kelebihan pembelajaran
berdiferensiasi di atas. Guru juga dituntut untuk
mengatur diri sendiri dan mengidentifikasi langkah-
langkah serta strategi yang perlu diambil untuk
mencapai suatu target tertentu dalam
pembelajaran.
o Kurangnya bahan pembelajaran
Peserta didik diberikan beragam pilihan bahan
pembelajaran yang didasarkan pada tingkat
kesiapan dan gaya belajar mereka. Artinya,
pengajar harus dapat mengumpulkan beragam
bahan pembelajaran untuk mengakomodasi
kebutuhan setiap peserta didik terpenuhi.
o Kurangnya pelatihan bagi pengajar mengenai
penggunaan pembelajaran berdiferensiasi
Meskipun diferensiasi didasari pada banyak teori,
ternyata pengimplementasiannya masih kurang
dimengerti. Implementasi pembelajaran
berdiferensiasi dapat mengalami hambatan
apabila pengajar tidak memiliki pemahaman yang
tepat mengenai pembelajaran diferensiasi. Anda
bisa mengambil contoh kasus di awal, yaitu contoh
kasus Pak Darso.

Itulah kelebihan dalam menjalankan pembelajaran berdiferensiasi


dan juga tantangan yang harus dihadapi bagi seorang guru dalam
mengajar di kelas.

Anda mungkin juga menyukai