net/publication/354693183
CITATIONS READS
0 56
1 author:
Shidarta Shidarta
Binus University
450 PUBLICATIONS 299 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Shidarta Shidarta on 20 September 2021.
Dalam rangka meraih derajat sebagai universitas berkelas dunia, banyak perguruan tinggi di
Indonesia berupaya untuk menggantikan bahasa pengantar pembelajaran yang digunakan di
kelas, dari bahasa Indonesia ke bahasa pergaulan internasional. Bahasa Inggris adalah pilihan
yang dianggap suatu keniscayaan. Fenomena ini menarik perhatian, khususnya bagi penstudi
hukum, mengingat ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum; ilmu hukum positif) yang diajarkan
di level sarjana (stratum satu), sangat bergantung pada kekuatan pemahaman terkait konsep-
konsep mendasar tentang hukum. Repotnya, konsep-konsep ini diberi nama (terma) yang sangat
khas secara hukum.
Ketika bahasa hukum yang berbasis bahasa Indonesia berkembang selepas Indonesia merdeka,
para ahli hukum kita berlomba-lomba memperkenalkan terminologi yang menurut mereka paling
proporsional untuk menamakan suatu konsep (atau konstruk) hukum yang semula berbahasa
asing. Kata strafbaarfeit, misalnya, dipopulerkan menjadi beberapa alternatif terma: peristiwa
pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana. Masing-masing mempunyai argumentasi tersendiri
untuk mengatakan bahwa istllah yang paling tepat adalah seperti terma yang diajukannya oleh si
pengusul. Peristilahan tadi memang sempat dipakai secara silih berganti dalam buku-buku teks
hukum di Indonesia. Sempat ada fanatisme penggunaan istilah-istilah tadi berangkat dari siapa
guru besar yang semula mengusulkan terma tersebut. Mereka yang beralmamater di Universitas
Gadjah Mada, misalnya, akan cenderung menggunakan istilah yang berbeda dengan yang pernah
kuliah di Universitas Indonesia.
Namun, bahasa hukum rupanya harus tunduk juga pada hukum bahasa. Sama seperti fenomena
terminologi pada bahasa pada umumnya, terbukti preferensi penggunaan suatu kata di dalam
bahasa, jarang bisa dipaksakan. Dalam cerita tentang strafbaarfeit ini, akhirnya yang lebih banyak
dipakai adalah ‘tindak pidana’. Saat ini hampir tidak ditemukan ada peraturan perundang-
undangan produk nasional yang memakai istilah ‘perbuatan pidana’ atau ‘peristiwa pidana’
sebagai kata lain untuk menyebutkan ‘tindak pidana’.
Demikian juga dengan kata ‘verbintenis’ yang diterjemahkan oleh Prof. Subekti dengan ‘perikatan’.
Namun, beliau lebih suka memakai kata ‘persetujuan’ untuk kata ‘overeenkomst’. Padahal, terma
yang lebih populer dipakai adalah ‘perjanjian’. Jadi Prof. Subekti sebenarnya berjasa
mengintroduksi kata ‘perikatan’ dan ‘persetujuan’, tetapi tidak semua kosa kata ini kemudian
diterima untuk dipakai sebagai bahasa hukum di Indonesia. Hebatnya, sekalipun Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang diterjemahkan oleh Prof. Subekti dan R. Tjitrosudibio itu dicetak
ulang terus-menerus dan dipakai secara luas, tetap saja kata ‘persetujuan’ ini dipertahankan, dan
para pembacanya secara sadar dapat memahami bahwa setiap kata ‘persetujuan’ harus dibaca
sebagai ‘perjanjian’.
Demikianlah ilustrasi secara singkat tentang kerumitan bahasa hukum yang harus diantisipasi
oleh siapapun yang memutuskan untuk memakai bahasa asing sebagai bahasa pengantar dalam
proses belajar-mengajar di ranah ilmu hukum. Mereka yang ditugaskan menjadi pengajar harus
dapat memastikan bahwa suatu istilah yang sudah menjadi terminologi baku dalam hukum
positif, benar-benar mendapat padanan yang tepat dalam bahasa asing.
Ada beberapa faktor yang perlu dicermati sebelum suatu istilah hukum akan dilahirkan.
Pertama, para pembentuk hukum harus menyimak filosofi di balik suatu konsep hukum. Istilah
strafbaarfeit yang diterjemahkan menjadi peristiwa pidana tentu berangkat dari filosofi yang
berbeda dengan perbuatan pidana dan tindak pidana. Dalam konteks ini juga termasuk
penelaahan atas latar belakang keluarga sistem hukum. Konsep ‘mortgage’ dalam sistem Anglo
Sakson tidak bisa serta merta diidentikkan dengan konsep ‘hipotek’ yang ada dalam sistem
hukum Indonesia. Kedua, para pembentuk hukum juga harus menyimak kesesuaian istilah itu
dengan kelaziman yang sudah diterima lama dalam doktrin hukum. Misalnya, kata ‘oneerlijke
concurrentie’ atau ‘unfair competition’ sudah cukup lama dimaknai dalam buku-buku teks hukum
berbahasa Indonesia menjadi ‘persaingan curang’. Entah mengapa, tiba-tiba dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 muncul istilah baru: ‘persaingan tidak sehat’. Ketiga, pembentuk
hukum perlu mempertimbangkan faktor efisiensi berbahasa sebagaimana diajarkan dalam teknik
perundang-undangan. Kendati hukum dalam satu sisi adalah produk politik, tetapi terkadang
pertimbangan politik yang terlalu menonjol dapat menyebabkan bahasa hukum kita menjadi
tidak tampil elegan di dalam perbendaharaan hukum positif kita. Sebagai contoh kasus, pernah
terjadi dinamika politik yang membuat pembentuk hukum kita harus memilih apakah akan
menggunakan istilah ‘serikat pekerja’ atau ‘serikat buruh’ sewaktu menyusun peraturan di bidang
ketenagakerjaan. Jalan keluarnya terbilang unik (dan notabene “sangat Indonesia”), yaitu bahwa
setiap kata ‘serikat pekerja’ di dalam keseluruhan naskah peraturan ketenagakerjaan akan selalu
diikuti tanda garis miring dan ditambah kata ‘serikat buruh’. Pembentukan terma hukum yang
boros seperti ini jelas tidak direkomendasikan dalam teknik perundang-undangan.
Nah, hal-hal di atas adalah contoh pertimbangan yang perlu dilakukan terkait topik diskusi awal
kita tentang gagasan dalam penyampaian materi ajar dalam bahasa asing. Penggunaan istilah
hukum kita yang tidak tertata rapi akan menyulitkan para pengajar hukum kita dalam mencari
istilah padanannya di dalam bahasa asing. Sementara para pembentuk hukum kita juga tidak
pernah berinisiatif untuk secara rutin menerbitkan translasi resmi produk hukum seperti
peraturan perundang-undangan kita ke dalam bahasa asing tertentu. Bahkan saat ini belum ada
satu badan negara yang secara terkoordinasi dan sistematis melaksanakan tugas ini demi tujuan
memudahkan pemahaman para pengguna hukum Indonesia yang tidak memahami benar bahasa
Indonesia. Translasi yang ada selama ini masih dilakukan secara sporadis dan tidak berorientasi
pada sikap konsisten dalam pemakaian istilah-istilah hukum. Padahal konsistensi semacam ini
pada gilirannya akan membantu pengenalan dan pembelajaran hukum Indonesia bagi peserta
didik dari luar Indonesia atau tatkala hukum Indonesia harus diajarkan tidak di dalam bahasa
ibunya.
Patut disaran agar keseriusan untuk memikirkan pengembangan bahasa hukum Indonesia mulai
menghinggapi para penstudi hukum kita di Tanah Air. Hal ini akan mudah dilakukan jika ada
badana negara yang secara resmi menawarkan kosa kata asing yang pas. Hal ini berguna agar
tidak terlanjur lahir terma-terma hukum hasil kreativitas sendiri yang berseliweran, atau timbul-
tenggelam karena tidak dipakai secara meluas. Pengecualiannya bisa muncul jika konsep hukum
itu berasal dari khazanah hukum kita sendiri, seperti hukum adat.
Kita berharap kondisi kebahasaan kita saat ini yang belum cukup siap dalam mengantarkan
hukum positif Indonesia menjadi kian terbaca (readable) dan terpahami (understandable) bagi
subjek hukum asing, akan bisa diatasi. Di sini diperluklan campur tangan negara. Sebab, jika
dibiarkan pembentukan istilah hukum ini menjadi bagian kreativitas ahli hukum secara individual,
jangan heran jika akan bermunculan terma-terma alternatif yang justru makin membingungkan.
Bukan tidak mungkin, suatu ketika istilah “unhealthy competition” akan lahir
menggantikan istilah “oneerlijke concurrentie'” atau “unfair competition””. (***)
RELATED CONTENT
NAME*
EMAIL*
MESSAGE*
SUBMIT
H-1 menuju #Wisuda63BINUSUNIVERSITY yang besok akan di wisuda udah pada siap belum nihhh???
More From
View publication stats
BINUS EDUCATION
Select Program
Say Hi ! or..
SEND YOUR QUESTION