PUISI
PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
DAN PROSES KREATIFNYA
Diterbitkan oleh
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. [0274] 381542 Faks. [0274] 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
Website: pustakapelajar.co.id
ISBN: 978-602-229-985-1
Rina Ratih
BAB I
PENGERTIAN PENYAIR, PUISI, DAN SAJAK — 1
1.1 Pengertian Penyair, Puisi, dan Sajak — 4
1.2 Puisi sebagai Media Ekspresi Perempuan Penyair — 7
BAB 2
EMANSIPASI PEREMPUAN INDONESIA — 15
2.1 Raden Ajeng Kartini sebagai Perempuan Penyair — 15
2.2 Surat-Surat Raden Ajeng Kartini — 19
BAB 3
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1920-1942 — 25
3.1 Selasih — 26
3.2 Hamidah — 31
BAB 4
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1942-1945 — 37
4.1 Nursyamsu — 38
4.2 Maria Amin — 45
BAB 6
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1965-1980 — 83
6.1 Isma Sawitri — 85
6.2 Dwiati Mardjono — 89
6.3 Susy Aminah Aziz — 93
6.4 Bisby Soenharjo — 97
6.5 Toeti Heraty — 100
6.6 Rita Oetoro — 104
6.7 Rayani Sriwidodo — 106
6.8 Upita Agustine — 110
6.9 Diah Hadaning — 115
6.10 Yvonne de Fretes — 118
6.11 Agnes Sri Hartini — 122
6.12 Dewi Motik — 125
6.13 Ar. Kemalawati — 129
BAB 8
POTENSI DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP
PROSES KREATIF PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
— 179
8.1 Potensi Diri Perempuan Penyair — 180
8.1 Dukungan Keluarga dan Masyarakat — 195
3.1 Selasih
3.2 Hamidah
BERPISAH
Sungguh berat rasa berpisah
‘Ninggalkan kekasih berusuh hati,
Duduk berdiri sama gelisah
Ke mana hiburan akan dicari.
Kian ke mari mencari kesunyian
‘Ngenangkan kasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau mendering.
Di manakah dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuk duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Di manakah dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang nyeberang segara?
1935
4.1 Nursyamsu
TINGGI HATI
Aku berdiri di luar dalam hujan menitik
Dia duduk di dalam, rindu memandang ke luar
Aku tahu ia sunyi
Dia tahu aku sepi
Aku tahu dia menunggu aku mengetuk pintu
Meminta masuk
Dia tahu aku menunggu dia membuka pintu
Memanggil masuk
Dalam remukan sunyi
SUNYI I
Engkau suka akan sunyi?
Ah, niscaya belum pernah kau mengalami
Sunyi sempit mengurung
Sepi berat mengimpit
Dan belum pernah kau merasa
Nafsu merobek menguakkan tabir
Hendak lari melepaskan diri
Tapi sia-sia perbuatanmu semua
Karena berlapis-lapis tabir mengepung
Lingkaran hitam tiada bertembus
Aku benci akan sunyi!
UMUR
Tiap fajar menyambutku pagi
Bertambah umurku sehari
Tiap senja lari dari bumi
Berakhirlah umurku hari ini?
KAPAL UDARA
Gegar gentar suara mesin
Raja udara menguasai angkasa
Menderu gemuruh berpusing miring
Bagai burung mengintai mangsa
Raksasa udara melaju jauh
Berbalik pula puluh menyerbu
Terdahulu Saturday puluhan menderu
Mata bersinar
Semangat berkobar
Kapan zamanku menghadapi pula
Raksasa dunia kepunyaan kita?
5.1 Sabarjati
5.2 S. Rukiah
TAK SANGGUP
Kau menangis hati kecilku?
Ah
Tidak dengan ratapanmu
Tidak juga dengan keluhanmu
Sia-sia
Kaucucurkan air mata
Ingin kebebasan?
Pun juga keadilan?
Mari, mari tinggalkan tempat ini
Tiada lagi waktu lebih
Untuk mengeluh dan bersedih
Tak sanggup katamu?
Karena gentar nyelam derita?
5.3 Walujati
NANTI, NANTIKANLAH
Rumput kering kemuning
Terhampar luas
Gemetar tambah hawa panas
Atas padang sunji
Ah, rumput, akarmu djangan turut mengering;
Djangan mati kaku ditanah terbaring
Nanti, nantikanlah
Dengan sabar dan tabah
Sampai hudjan turun membasahi bumi.
JUITA
Kepercayaanku padamu, Juita, sebagai pinggan
Perak, indah berukiran bunga berserak …
Hatiku yang jatuh, tiada berkuasa, karena dirimu
Juita, sebagai mawar putih sekuntum mewangi harum
Terletak di pinggan perak…
Dan Kasih mesraku padamu, Juita, sebagai selubung
Tipis, merah menyala, penutup mawarku, Permata…!
Tertawa engkau dan bungaku pelahan kauangkat
Ke atas bahu…
Jari halus gemulai, berkuku panjang permain, permainkan
Selubung sutera dewangga…
Ah! Alangkah indah jarimu terbayang di bawah merah…!
Dan pinggan perakku diam terletak di ribaanmu.
SURAT KASIH
Cerah berubah mendung, mengungsi permainan warna,
Seruan, gerak dayung; gelegar guruh menjadi hujan.
Pohon naungan, kereta dorong, mencari anak dan rusa
Di atap sekitar Lembang monotoni air kepanjangan.
Pengap dipagut kabut: tadi berumah di pedalaman laut,
Kini dipijak ujung benua, nyaris menjejak bulan,
Keluwesan pemindahan jantung, penggantian cornea
Juga denyutan urat nadi bersesuaian, makin senada,
Bayangan sekekar jangkar; kejauhan bukan jarak
Kebalauan pangkal kendara, kegelisahan langkah
Menyerupai gelagap kita setiap berpisah,
Berapa stasiun bawah tanah, berapa pelabuhan udara,
Penampung saling ucapan yang terasa mutlak,
Keluasan dalam telapak, kelanggengan bila bersama.
HANYA MENCOBA
Tong besar, kosong
Tertegak di bawah pohon rimbun,
Melihat ke dalam….
Tampak muka di cermin air
Sedikit di dasar tong lama berkarat
Pinggir kasar terpegang, dingin kelu.
Tong besi!
Ini tong kosong
Berteriak ke dalam
Suara tiba ke dasar hitam
Dipukul kembali ke hawa luar
Tak nyata, jauh … menghilang.
Sekali lagi…
Batu kecil dijatuhkan ke dalam
Suara nyaring mendengking
Tertumbuk telinga
Ini lain dari lain!
Tong Kosong!
AIR TENANG
Tenang, hanya kerut-kerut kecil
Terapung daun terjatuh
Mengikuti air didorong angin
Hinggap perlahan capung
Atas daun pergi lambat
Nakhoda capung di kapal daun
Tenang pergi, terus lalu …
Seakan jiwa tenang pula
CILIWUNG PAGI
Lincah tangan, lincah mata menyapa
Ciliwungku coklat
Padat mengancam duka
Adakah padamu rahasia terbenam
Dari beribu kesetiaan yang diserahkan
Beribu cinta, cemas dan kerinduan pada alirmu yang damai
Ciliwungku coklat
Tiap kita bersapa
Adakah tanya pada wajahmu yang kelam
Di sini, sekali waktu akan lepas menatapmu
Karena pencuci-pencuci telah mendapati tempatnya yang
wajar
Karena pemandi-pemandi telah mendapat tempat yang
pada tempatnya
Di sini, akan tiada laki-laki jongkok menghadapkan
punggungnya
Pada pemakai jalan di sini
Karena semua telah mendapati kewajarannya
Sepasang tangan berkaitan
Ria menuruni tangga kali
Ibu muda dan bocah perempuan belum tahu apa
Berenang bagai duyung di kerajaannya
Adakah kesangsian pada harapnya yang sederhana
Beribu kemerlap sedan di kiri kanannya
Bukanlah mimpinya saat ini
Mimpinya adalah tetes-tetes air bagai embun
Bagai kaca
Bagai air yang direguk hari-hari penuh nikmat
Menyegarkan tubuhnya yang sarat kerja
ANDONG TUA
Andong tua merayap jalannya
Sarat penumpangnya
Oleh simbok-simbok tua yang lelah
Kuda, kusir, dan penumpang
Sama-sama tak pernah kenyang
Buatku
Bau tlepongnya yang kecut
Adalah ciri khas kotaku
Di mana aku mengukir rindu
PANTAI UTARA
Luruskan pandang ke daratan tandus, ke petak-petak
garam
Ke laut, layar putih-putih, perahu-perahu bebas
0, Laut Jawa di belakang desa-desa sengsara
Laut Jawa di belakang kejatuhan dan kebangkutan
suatu bangsa
Laut adalah kita, perahu-perahu berkuasa
Dari arafuru, selat sunda, selat malaka
Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya
Sebelum Sultan Agung monopoli kapal dagang
bersenjata
Laut adalah kita, sebelum cengkeh dan pala
Laut adalah kita, sesudah minyak dan baja
Perahu-perahu begitu manis, kapal-kapal lebih perkasa
Luruskan pandang ke laut, laut yang merdeka.
DARI PURWOKERTO
Selamat tidur, si bocah memberi salam
Kereta baru berangkat jam 10 malam
Selamat tidur gerbong-gerbong tua
Selamat tidur gunung Slamet
TANAH KESAYANGAN
Tanah yang manis
Adalah peneguh segala kehidupan
Tempat tumbuhnya harapan
Tumbuhnya perjuangan
Nafasnya selalu kebenaran
Di kala mimpi di kala jaga
Lagunya kedamaian
Yang bersemayam di sudut hati
Mengalirkan air suci
Ialah kesakitan yang tiada terkalahkan
Tanah yang manis
Bumi yang mengandungkan dan melahirkan
Pahlawan-pahlawan paling sakti
Menumbuhkannya dalam lagu-lagu
Semangat kemerdekaan
Dan membesarkannya penuh keyakinan
Demi peradaban
Sesudah perjalanan panjang
Halim, kaitak, san fransisco dan dulles
Sesudah tiada jawab pasti yang menenangkan
Nanar kutatap awan kelabu dari balik jendela kaca
Tersungkur pandang pada gedung-gedung
Berdinding bata begitu beku
Ah, semuanya tiada mampu melunakkan gelisahku
Gerimis semakin padat membeku
Deras pada akhirnya
Dinginnya menyusup sampai ke ruas tulang
Terasa kaku sekujur tubuh
Mulut bagaikan terkunci
Sejenak bertalu tanya tiada jawab
Surabaya, 1964
KEHIDUPAN DI KOTA
Seperti seorang enggan bersalaman
Karena hidup didera kesibukan
Kebisingan dan kehidupan di kota
Yang jemu hormat dan sungkan
Sebab hati dalam keakuan
Diriku, kekasih!
Seperti juga waktu lalu
Dalam kalbu rindu bertemu
Aku terus berjalan
Penuh salam kemesraan
CATATAN TERAKHIR
Dalam kamarku kini
Yang menghimpit waktu dan benakku
Hati dan jiwaku teramat lelah
Lelah…lelah sekali
Wajah ini tidak segairah
Kalau aku remaja mula dewasa
Telah lewat cepat dan cepat
Aku membuat sajak rasanya lambat
Tiada kata yang tepat
Kuraba dahiku
Panas terasa tempurung otak
Kemerucut ciut
Garis mata dan pipi
Umur tua melanda diri
Kerja tiba di penantian usia
Belum terselesaikan jua
Akan keringkah ilham di dada?
Atau, barangkali
Umurku tinggal sejengkal jari
Memburu memakan waktuku kini
Kalau demikian, sayang
Baiklah …kawan!
Hanya ini peninggalan
Mungkin terlupakan
Mungkin terkenang
Entah, di mana
Akhir peristirahatan
DANAU BEKU
Aku berpijak di atas hatiku – yang beku
Kau tahu, ini kali suatu danau
Yang beku, licin, dan keras
Dengan arus kecil di tengah, mengalir deras
Airnya – darahku
Darah yang cair pasti tercampur air
Air atau air matakah?
Sepanjang arus anak-anak bermain dan tertawa
Kemudian si buyung kecil jatuh ke dalamnya
Satu kaki tak dapat keluar lagi
Tersangkut pada dasar karton arus tadi
Ramai-ramai anak-anak menariknya ke luar
Dan menyelamatkannya: jadilah ia pahlawan sehari
Maka mereka semua pergi – masih terdengar
Suara menggema –sesudah sekian lama
KUDA BEBAN
Ambillah cambuk deralah jantung
Yang telah tertidur seperti kuda beban
Yang tua menempuh jalan berkepanjangan
Terus melangkah ta’ada henti
(kaki bergegas maju meski pelahan)
Panggil namanya –belai sebentar-
Jantung yang lelap, tetapi peka kebohongan
Hanya terlalu penat untuk menghalau berat
Kantuk dari pelupuk mata, terkatup rapat
Oleh detak pembuluh darah yang lambat
O, bangunkan jantung, gerakkan supaya
Seperti kuda sembrani –ia terbang segera!
WANITA
Hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
Berjalan lambat karena kainnya yang berwiru
Meninggalkan rumah depan menuju jalan
Terlentang antara pohon palma berderetan
Jari hati-hati memegang wiru kataku
Sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
Kenakan kerikil menggoyang tumit selop tinggi
Belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni
SACTUARY
(letters to two friends
Teilhard de chardin)
Dalam setiap ihwal – hanya
Ada satu jalan menuju Tuhan:
‘Tetap setia dan jujur – kepada
Diri sendiri – kepada
Apa yang kau rasa
Paling luhur dalam budimu’
Dan jalan akan lapang
Terbentang di depanmu
MEDITASI
Pada akhirnya
Kita pun pasrah – karena
Tidak bisa mengusir
Bayang-bayang kita sendiri
REQUIEM
Dari tiada – kembali
Kepada ketiadaan
Dari ada – menjelma
Ke dalam keabadian
Bila akhir tiba
Relakan jasadku – bagi:
Ilmu kedokteran dan
Lembaga kemanusiaan
POKOK MURBEI
Pokok murbei terangguk-angguk di halaman
Sesosok kelam di bidang datar berada
Menyilang bayang murbei ke semak-semak pisang
Hanya gema
Ketika peluit kereta
Memantulkan gulita
Di tembok-tembok kota
Saatnyakah percakapan diam
Bersama Adam mengenang taman
Mereguk seseteguk anggur andaikan
Ada gema
Kini sayupnya
Dengung serangga
Sisa sindirnya
INGIN KUTANYAKAN
Pernahkah kau merasa
Segala yang diperbuat tak berarti
BALADA SARINAH
Wanitaku
Bunga sepatu merah jambu
selaksa gairah diperamnya
Selaksa tabir dikuaknya
Bukit-bukit diguncangnya
Wanitaku
Gemintang pun disuntingnya
Nafas angin
Setiap teluk nusantara
1982
PERJALANAN HARI
Pagi
Yang berbisik lewat surya
Bisa jadi, lewat sajak
Menyapa
Dengan syukur
Jendela yang berderit
Menyandarkan seulas senyum
Masih banyak lagi pagi
Dipungut dari tabirNya
Terima kasih, Tuhan
Senja
AWAL-AKHIR
Awal kehidupan makhluk di dunia
Akhir kehidupan makhluk di dunia
Adalah yang menjalin segala
Kisah kasih sepanjang masa
Manusia, sadarlah engkau
Bila engkau telah mengawali suatu masa
Suatu waktu engkau akan mengakhiri masa tersebut.
Bila engkau mengawali suatu masa kesedihan
Suatu waktu kesedihan itu akan berakhir
Tetapi
Bila engkau mengawali suatu masa kebahagiaan
Suatu waktu kebahagiaan itu akan berlalu, berakhir
Tetapi
Bila engkau sadar setiap awal selalu ada akhir,
Itu adalah suatu awal yang
Indah,
Mudah-mudahan akan diakhiri dengan
Suatu akhir yang
Indah, pula.
MAUT
Sebagian umat ngeri menghadapimu,
Sebagian umat takut berjumpa denganmu,
Sebagian umat berusaha menghindarimu,
Di setiap sudut, siap, mengintip kereta-keretamu,
Celah, celah besar-kecil dapat dimasuki olehmu,
Tak seorang umat yang mempu menghalangimu.
Aku tidak, aku tidak …
Aku tak gentar terhadapmu.
Kusongsong engkau dengan senyum yang semanis-manis-
nya,
Kujelang engkau dengan tangan terbuka selebar-lebar-
nya.
RAKYAT KECIL
Kau, rakyat kecil
Selalu menjadi buah bibir bagi pengejar kekuasaan
Kau, rakyat kecil
Selalu menjadi hiasan, pemanis bagi pengejar kekuasaan
Kau rakyat kecil
Selalu menjadi tumpuan janji bagi pengejar kekuasaan
Tetapi
Bila kekuasaan telah tercapai di tangannya
Kau, rakyat kecil
Dilupakan mereka
Lupa janji
Lupa ikatan
DIHEMPAS BADAI
Seperti biduk rapuh bermain di samudera
Alangkah hebatnya petualangan ini
Seperti layang-layang di tengah padang
Inilah tangan mengulur
Harap terbang tinggi
Seperti kelana di hutan belantara
Ikut arah angin kembara
OMBAK
Seandainya kau pergi jauh
Tak kembali
Akan kulayari kekecewaanku
Agar siapapun kan merasakan
Berbagai makna di kakiku
Yang terus telanjang
1987
LOGIKA
Satu tambah satu tambah satu
Selalu sama dengan tiga
Berapa manusia:
Satu roh tambah satu jiwa tambah satu tubuh?
Kebenaran satu
Cara beribu
Dan masih juga ragu
Berapa jumlah-Nya
Dalam begitu banyak cara?
1984
KETIKA BERPAPASAN
Ketika berpapasan
Di jalanan beraspal
Kami tak saling mengenal
Kami tak saling menyapa
Ketika berpapasan
Mata kami saling curiga
Mata kami saling bertanya-tanya
Kamu atau saya?
Sekarang bumi makin padat, kental
Semua jalan sudah beraspal
Kami lebih tak saling mengenal
Lebih tak saling menyapa
Mata kami sudah nyalang
Mencari mangsa, saling mengorbankan
Kamu, bukan saya!
1984
UNTUK KEKASIH
Sudah kusediakan puisi
Tiga bait
Tiap bait tiga baris
Sudah kusediakan dupa
Kesucian diri
Permandian abad ini
Apa belum cukup?
Katakanlah lagi
Kepuasan tak bakal dicapai
1983
BOLA
Aku tertawa terpingkal-pingkal
Ketika kubaca selembar koran
Kaumku sedang bermain bola
Padahal aku benci bola
Kerna bola selalu menggelinding
Dari satu kaki laki-laki ke satu kaki laki-laki lain
Aku benci cola
Kerna ia slalu disodok di meja bilyard
Aku benci bola
Kerna bola slalu menggelinding ke mana saja
Aku juga membenci kamu
Karena kamu punya bola
Apa lagi kutahu
Bolamu suka ke mana-mana
1983
BALADA PERTEMUAN
Kita bertemu pada suatu ruang kosong
Mungkin sebuah bangsal
atau sebuah kamar pelacur
aneh,
pertemuan kita dibarengi image kuno
merambat perlahan bersama waktu
menggulir di kaki
mungkin saat ini kita seperti bayi
dininabobokan nyanyian
atau dongeng si kancil
gembira, cemas, takut, malu
jadi satu
ketika perasaan mencuat setinggi langit
Lalu,
Suasana malam mengisahkan kepada kita
Tentang lonte, ulama, imam, ataupun pejabat
Dalam sebuah drama Rendra
Hanya itukah?
Pernah kau tahu
Tentang malaikat yang menggaruk pantatnya
Ketika duduk di kursi rotan
Atau nabi yang selalu membetulkan
Letak kaca matanya,
Ketika bersastra
Oh,
Kita bertemu pada suatu ruang kosong
Mungkin kamar pelacur
Atau kamar penyakit kusta
Pertemuan kita dibarengi ilusi kuno
SORGA
Akulah sorga
Mangsa idaman pemburu
Berlumuran darah
Yang membidikku dengan senapan
Akan kehilangan peluru
Yang bersarang di dadaku
Akulah sorga
Peluru yang menghujam
Menggeliatkan jantung kehidupan
ORANG CAHAYA
Orang mengapung menantang matahari
Di atas laut tak ada penyelam
Orang membuih mencari matahari
Dalam dirinya kegelapan mengelam
Orang makan tanpa pertarungan
IBU
Aku buka album keluarga
Potretmu mengawali lembarnya
Aku tertegun walau akhirnya aku tersenyum
Ibu
Dengan apa aku puji akan kepengkuhanmu
Kau lembut, laksana salju. Putih tak bercela
Ibu
Dengan apa aku berterimakasih
Titik keringatmu adalah seperangkat ketulusanmu
Aku buka album keluarga
Potretmu mengawali lembarnya
Ketika kututup kembali
Air mata menitik
Surga masih ada di telapak kakimu
UNTUK SUAMIKU
Aku cari kau di rak buku-buku yang kian tua
Hanya sebuah debu mengoyak namamu
Semakin lelah aku mencari
Ke lorong-lorong lengkung alis matamu
Semakin lelah aku mencari
Hingga ke parit kecil serta gang-gang
Pada cuacamu ada tsunami menggoyang
Kau terhempas
Di karang ini pernah kau singgah bersamaku
Beabad-abad lamanya
Aku cari kau di rak-rak buku yang kian tua
Hingga ke ketiak zaman dan kelangkang masa
Suamiku
Ingin kugenggan kembali hakikimu
YANG KUGENGGAM
Yang kugenggam ini mungkin
Bayang-bayangku sendiri
Menggeliat waktu kuberi nafas
Dan menatap
Waktu kutetesi darah luka
Ketika ia bangkit
Cepat-cepat kutikam dengan tombak
Tidur abadinya akan lebih
Sempurna
Menyimpan luka dunia
IBU
Setiap pagi kau tuang cinta-cinta ke dalam cangkir
Terbaca dengan mudahnya pada asap dan bening teh
Lalu dengan cinta mengalir dalam tubuh
Kami mulai perlawatan
Kumpulkan luka-luka dan khabar derita
Sementara hatimu tak pernah ragu tak pernah pura-pura
Pada keluh kesah kesedihan hati
Petang hari setelah perlawatan
Kau sisir luka-luka dari baju kami
Lalu lelaplah mata dalam tidur
Sementara kau rajut jalinan cinta
Untuk kau tuang esok
Ke dalam cangkir-cangkir kami
1996
SURAT CINTA
Akan kutanam pokok-pokok melati
Di hatiku
Dan kuantar bunga-bunganya
Kepada hatimu
1997
DOA
Bukit-bukit di hatiku
Ditumbuhi semak-semak berduri
Tak lagi bertunas
Tak lagi berbunga
Tuhan, ulurkan tangan-Mu.
1997
PUISI
Memerangkap rembulan
Dalam sangkar
Memenjara sepi
Hingga renta
2005
MENJADI IBU
Aku meloncat-loncat. Melubangi tanah. Memisahkan air.
Kubayangkan boneka-boneka kecil meloncat dari perut-
nya
“Aku yang jadi ibu. duduklah. Aku akan mengeram seperti
ayam.
Perutku akan meletus”
(semua mata menatapku. Mereka berpegangan erat
Sesekali membetulkan mahkota daun di atas kepala)
Aku tak lagi meloncat. Sebuah jalan menawarkan hidup-
nya untukku.
“Jadilah kau perempuan. Membesarkan langit dan menyu-
burkan bumi”
(Kali ini aku yang menatap suara itu.
Suara yang menuntut hak)
Aku mulai mempelajari aroma
Dipecahkan serat tubuhku, aku harus menumbuhkan
ladang
Seorang pedagang akan menanamkan benihnya. Lengkap
dengan Cangkul tajam.
Dia akan lukai tubuh
Dia alirkan darah dari dua kakiku
Darah yang menunjukkan wujud laki-lakinya.
PERJALANAN MAWAR
1
Langkah pagi yang kita bangun, isa
Berganti malam pekat tak berkesudahan
Seperti taburan jelaga
Menutup pandangan kita
Ataukah kita bertatapan
Tak ada
2.
Mungkin juga tangismu
Yang melelahkan mawar itu mewangi
Hingga kebimbangan menuntas
Pada jarak penyeberangan diri
SEBELUM MATAHARI
Jauh sebelum matahari
Aku telah melihat mata angin
Sendiri. Rumah belantara
Bagai mengusung seribu
Laba-laba menggantung.
Aku sendiri, anak-anak bermain
Berlari mengejar angin
Mencari bayangan
Sendiri
Jauh sebelum matahari
Tak ada peluit atau tanda
Yang dimeja cuma angin
Tanpa kopi.
Tapi aku telah menyiapkan
Sarapan pagi
NYANYIAN KARTUN
Kita berumah di negeri dongeng. Ruhmu bangkit
Dari Geliat Waktu. Lewat Bahasa Kabut dan
Bunga bunga, aku mengenalmu. Saat Peri-Peri
Mungil melagukan Elegi: Cinta Yang Mati. Lalu
Kita meniti Pelangi. Sesekali tergelincir dan
Bangun lagi.
TAK PERLU Sayap Kupu-Kupu! Ruhmu terbang di
Awang-Awang. Benih Benih Sejarah kautaburkan:
Jadi Angka, Warna Warna serta Gugus Cahaya
Meski Peri-Peri telah pergi, membalik Malam
Menjadi pagi. Kita berdiri. Belajar menyapa
Embun dan Matahari
Di SELA Gumpalam Mega, Musim Musim menua. Engkau
Sering menjadi Bola Salju. Menggelinding
Sesekali melintasiku. Menyisakan Kenang
BERWAKTU-WAKTU kucatat Kemenangan dan Dongeng
Pucat, kekalahanmu. Bahkan Suatu Hari: Getar
Angin terbalut Requiem, kematianmu. Tapi aku
Tak punya Airmata. Malam hari kuubah ia Api
Bagi Lilin dan Kepekatan. Kini kujadikan
Bumi. Yang kugali, kutanami Puisi.
KANVAS SUNYI
UNTUKKU, kaukirimkan Lembaran Hari Hari
Bergambar sunyi. Garis Garis. Warna Warna
Tanpa Napas dan Tegursapa. Gambar Mawar
Tak sempurna
Yang kini memfosil pada Kanvasnya
UNTUKKU, Keruncingan Duri Duri di setiap
Jengkal Bumi. Tunas Tunas Baru yang warna
SENJA DI BERANDA
Senja menunggu kita di beranda
Dengan wajah kuning dan sebuah senyum simpul
Diajaknya kita duduk-duduk bersama
Lalu kita nikmati istirahat itu
Sambil menghirup secangkir teh
Dan berbincang-bincang tentang sebuah taman
Yang tak terjangkau meski di hadapan kita
Sementara di sepanjang jalan lampu-lampu
Mulai berkedip
Sesaat kita tergagap ketika senja bertanya
Tentang hari, tapi dalam mata kita berputar juga
Peristiwa-peristiwa: pagi jernih seperti kanak-kanak,
Siang meletihkan, dan sore …
Sore adalah senja yang menyorotkan
Sinar kuningnya ke wajah kita
Tangannya sebentar lagi memoles langit dengan jelaga
Mulutnya berbisik di telinga kita,
“Apa acaramu malam ini, di manakah
Kau akan bermalam?”
KEN AROK
Saat tertikam keris anusapati
Berkata ia, revolusi takkan mati
Akan tumbuh bagai duit di jalan tol
Ken arok-ken arok baru yang bahkan
Lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya
Di peradaban
Ia akan bunuh setiap tunggul ametung
Dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang
Merauh negeri dan isinya habis-habis
Lalu mulai bermimpi tentang
Kerajaan miliknya.
Ia kagumi dirinya sendiri betapa kuatnya
Tangan-tangannya
LEGENDA
Joko tarub tak menemukan gaun para dewi
Dari balik kaca ray-ban ia bahkan
Tak bisa lihat pelangi
Sedang dari atas baby-benz sangkuriang jatuh cinta
Pada meriem belina
Dan raja-raja mencari nyai suzanna
Zaman telah lalu
Tapi kini dan lampau hanya waktu.
Sajak ‘Ken Arok’ hanya terdiri atas 1 bait. Sajak ini meng-
ambil judul dari cerita Ken Arok Dedes. Sebagai penyair yang
dibesarkan setelah masa reformasi di Indonesia, Omi adalah
perempuan yang cerdas dan kreatif. Sajak Omi lebih menggu-
nakan Bahasa yang ‘lincah’, sebagaimana tampak pada baris
sajak, ‘Saat tertikam keris anusapati/ Berkata ia, revolusi tak-
kan mati/ Akan tumbuh bagai duit di jalan tol/ Ken arok-
ken arok baru yang bahkan/ Lebih dahsyat mengukir dalam-
dalam namanya/ Di peradaban/ Ia akan bunuh setiap tunggul
ametung/ Dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang/ Me-
rauh negeri dan isinya habis-habis/ Lalu mulai bermimpi
tentang/ Kerajaan miliknya/ Ia kagumi dirinya sendiri betapa
kuatnya/ Tangan-tangannya/ Yang telah mencekik Kediri/
Menjual kelahirannya dan meninggikan/ Singasari.’
B D
S T
S. Rukiah, 56 talent, 180
Sabarjati, 53 tanggung jawab, 145
sajak, 14, 35, 39, 55, 57, 64, 70, teks sastra, 2
72, 108, 121, 174, 187 tema, 178
Umar Junus, 1
Walujati, 59
wartawan, 183
wartawati, 182
wilayah publik, 177
women reader, 4
workshop, 171