Anda di halaman 1dari 238

PUISI

PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


DAN PROSES KREATIFNYA

Dr. Rina Ratih, M.Hum. i


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
ii
DAN PROSES KREATIFNYA
Dr. Rina Ratih, M.Hum

PUISI
PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
DAN PROSES KREATIFNYA

Dr. Rina Ratih, M.Hum. iii


PUISI
PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
DAN PROSES KREATIFNYA

Cetakan Pertama • April 2019

Penulis • Dr. Rina Ratih, M.Hum.

Perwajahan Buku • Jendro Yuniarto


Sampul Depan • Haitamy
Pracetak • Riyanto

Diterbitkan oleh
PUSTAKA PELAJAR
Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. [0274] 381542 Faks. [0274] 383083
E-mail: pustakapelajar@yahoo.com
Website: pustakapelajar.co.id

ISBN: 978-602-229-985-1

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


iv
DAN PROSES KREATIFNYA
Buku ini sebagai rasa syukur
kepada Allah yang telah memberikan
nikmat ilmu dan usia

Buku ini sebagai rasa terima kasih


kepada suami Tirto Suwondo dan anak-anak
yang selalu memberi support

Buku ini sebagai kontribusi


seorang dosen sastra

Yogyakarta, 2 April 2019


Rina Ratih

Dr. Rina Ratih, M.Hum. v


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
vi
DAN PROSES KREATIFNYA
PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah, akhirnya buku ini selesai ditulis setelah cukup


lama tertunda. Buku ini disusun berawal dari keprihatinan
saya terhadap langkanya buku tentang perempuan penyair
Indonesia. Kelangkaan informasi dan proses kreatif perem-
puan penyair Indonesia menjadi masalah tersendiri, khusus-
nya bagi mahasiswa dan para peneliti sastra yang membu-
tuhkan referensi dan kelengkapan data penelitian. Oleh ka-
rena itu, perlu kiranya disusun buku yang memuat informasi
dan proses kreatif perempuan penyair Indonesia sejak tahun
1920 sampai tahun 2000.
Perempuan penyair di Indonesia mulai terlibat aktif
menulis puisi pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan
Jepang, masa kemerdekaan, dan masa reformasi di Indone-
sia sampai tahun 2000. Situasi sosial dan politik berpengaruh
terhadap tema dan bentuk puisi yang ditulis oleh mereka. Potensi
mereka sebagai perempuan penyair dari satu generasi ke ge-
nerasi berikutnya diaktualisasikan melalui karya-karya cip-
taan mereka. Melalui sosok-sosok perempuan dalam puisi,
perempuan penyair sebagai anggota masyarakat menampil-
kan peran dan potensi kaum perempuan pada saat karya itu

Dr. Rina Ratih, M.Hum. vii


ditulis.
Tiada kata yang dapat saya sampaikan kecuali ucapan
syukur kepada Allah yang telah memberi banyak kenikmatan
ilmu dan usia. Terima kasih kepada berbagai pihak terutama
suami Tirto Suwondo yang selalu memberikan support untuk
selalu berbagi ilmu kepada orang lain. Buku ini juga meru-
pakan kontribusi saya sebagai dosen sastra di Universitas
Ahmad Dahlan Yogyakarta. Semoga buku ini bermanfaat.

Yogyakarta, 2 April 2019


Penulis,

Rina Ratih

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


viii
DAN PROSES KREATIFNYA
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS — vii


DAFTAR ISI — ix

BAB I
PENGERTIAN PENYAIR, PUISI, DAN SAJAK — 1
1.1 Pengertian Penyair, Puisi, dan Sajak — 4
1.2 Puisi sebagai Media Ekspresi Perempuan Penyair — 7

BAB 2
EMANSIPASI PEREMPUAN INDONESIA — 15
2.1 Raden Ajeng Kartini sebagai Perempuan Penyair — 15
2.2 Surat-Surat Raden Ajeng Kartini — 19

BAB 3
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1920-1942 — 25
3.1 Selasih — 26
3.2 Hamidah — 31

BAB 4
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1942-1945 — 37
4.1 Nursyamsu — 38
4.2 Maria Amin — 45

Dr. Rina Ratih, M.Hum. ix


BAB 5
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1945-1965 — 51
5.1 Sabarjati — 53
5.2 S. Rukiah — 56
5.3 Walujati — 59
5.4 Siti Nuraini — 63
5.6 Sri Kusdyantinah — 66
5.7 Samiati Alisjahbana — 69
5.8 Poppy Donggo Hutagalung — 72
5.9 Lastri Fardani Sukarton — 76

BAB 6
PEREMPUAN PENYAIR TAHUN 1965-1980 — 83
6.1 Isma Sawitri — 85
6.2 Dwiati Mardjono — 89
6.3 Susy Aminah Aziz — 93
6.4 Bisby Soenharjo — 97
6.5 Toeti Heraty — 100
6.6 Rita Oetoro — 104
6.7 Rayani Sriwidodo — 106
6.8 Upita Agustine — 110
6.9 Diah Hadaning — 115
6.10 Yvonne de Fretes — 118
6.11 Agnes Sri Hartini — 122
6.12 Dewi Motik — 125
6.13 Ar. Kemalawati — 129

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


x
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 7
PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
TAHUN 1980-2000 — 135
7.1 Dhenok Kristianti — 136
7.2 Nana Ernawati — 139
7.3 Ida Ayu Galuh Pethak — 142
7.4 Azwina Aziz Miraza — 145
7.5 Abidah El Khalieqy — 149
7.6 Dianing Widya Yudhistira — 152
7.7 Dorothea Rosa Herliany — 156
7.8 Medy Loekito — 158
7.9 Oka Rusmini — 161
7.10 Ulfatin Ch. — 164
7.11 Endang Susanti Rustamaji — 168
7.12 Nenden Lilis — 171
7.13 Omi Intan Naomi — 175

BAB 8
POTENSI DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP
PROSES KREATIF PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
— 179
8.1 Potensi Diri Perempuan Penyair — 180
8.1 Dukungan Keluarga dan Masyarakat — 195

DAFTAR PUSTAKA — 205


DAFTAR INDEKS — 215
BIODATA PENULIS — 221

Dr. Rina Ratih, M.Hum. xi


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
xii
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB I
PENGERTIAN PENYAIR, PUISI, DAN
SAJAK

Pada umumnya, buku-buku referensi sastra memuat


pengarang/penyair laki-laki beserta karya-karyanya, seperti
yang sudah ditulis oleh H.B. Jassin, Ajip Rosidi, A. Teeuw,
Umar Junus, Sarwadi, Herman J. Waluyo, Rachmat Djoko
Pradopo, dan Suminto A. Sayuti. Hanya satu atau dua nama
perempuan penyair yang muncul dalam pembahasan buku-
buku tersebut padahal perempuan penyair Indonesia tetap
ada dan berkarya di setiap angkatan. Korrie Layun Rampan
dan Toeti Heraty merupakan dua penulis yang memberi
perhatian khusus, rajin mengumpulkan data, dan menganalisis
secara singkat serta menerbitkan buku tentang perempuan
penyair.
Buku ini diharapkan dapat melengkapi data dari buku-
buku yang sudah tersedia karena buku ini memuat nama-
nama perempuan penyair Indonesia mulai tahun 1920-an seba-
gai awal lahirnya sastra Indonesia sampai tahun 2000. Buku
ini juga memuat informasi karya-karya dan proses kreatif
serta potensi perempuan penyair. Pembahasan perempuan

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 1


penyair dibagi dalam beberapa periode sesuai dengan peris-
tiwa politik yang terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, buku
ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk
melengkapi data, baik penelitian mahasiswa maupun pene-
litian dosen.
Puisi dan perempuan penyair merupakan dua hal yang
menarik dalam buku ini. Puisi masih dianggap sebagai karya
sastra yang sulit dipahami, baik oleh guru maupun oleh siswa
(mahasiswa). Perempuan penyair adalah perempuan yang
berprofesi sebagai pembuat puisi. Perempuan penyair memang
tidak sebanyak laki-laki penyair di Indonesia tetapi mereka
tetap berkarya. Perempuan penyair mencipta puisi dilatari
oleh berbagai peristiwa sosial, budaya, dan politik. Oleh
karena itu, pemahaman terhadap karya-karya mereka tidak
dapat dilepaskan dari berbagai peristiwa kesejarahan di
negeri ini. Memahami sebuah puisi dapat menggunakan bebe-
rapa pendekatan atau teori. Khusus dalam buku ini akan di-
gunakan konsep-konsep teori feminis dan Gynokritik. Teori
ini dipilih karena yang dibahas dalam buku ini adalah puisi-
puisi karya perempuan.
Kritik sastra feminis mengarah pada studi sastra yang
memfokuskan diri pada analisis tentang perempuan, yaitu
perempuan sebagai pusat studi. Kritik ini mempersoalkan
asumsi-asumsi tentang perempuan berdasarkan paham ter-
tentu yang dikaitkan dengan kodrat perempuan. Kritik ini
juga berusaha mengidentifikasi pengalaman dan perspektif
pemikiran perempuan dan laki-laki yang direpresentasikan
dalam teks sastra. Hal demikian bertujuan untuk mengubah

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


2
DAN PROSES KREATIFNYA
pemahaman terhadap karya sastra dan signifikasinya dari
berbagai kode gender yang ditampilkan teks berdasarkan
hipotesis yang disusun (Showalter dalam Culler, 1983:50).
Oleh karena itu, kritik ini bertujuan memberikan respons kritis
terhadap pandangan-pandangan yang termanifestasi dalam
karya sastra yang diberikan oleh budayanya sekaligus
mempertanyakan hubungan antara teks, kekuasaan, dan
seksualitas yang terungkap dalam teks (Millet dalam Culler,
1983:47).
Kritik sastra feminis mencakup (1) penelitian terhadap
perempuan, yaitu bagaimana laki-laki memandang perem-
puan dan bagaimana perempuan dilukiskan dalam teks sastra,
(2) penelitian tentang perempuan, yaitu tentang kreativitas
perempuan yang terkait dengan potensi perempuan di tengah-
tengah tradisi masyarakat patriarki, dan (3) penelitian yang
berkaitan dengan penggunaan teori dalam kajian tentang
perempuan (Ruthven, 1984:24-58). Dengan kata lain, kritik
sastra feminis ini meliputi penelitian tentang bagaimana
perempuan dilukiskan dalam karya sastra dan bagaimana
potensi yang dimiliki perempuan di tengah kekuasaan pa-
triarki (Ruthven, 1984:40-50).
Feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi
perempuan yang menjadi gerakan terorganisir untuk men-
capai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transfor-
masi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi
perempuan. Feminisme juga merupakan ideologi pembebasan
perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Feminisme menawar-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 3


kan berbagai analisis mengenai penyebab dan pelaku dari
penindasan perempuan (Humm, 2007:157-158).
Dalam teori feminis, terdapat dua macam konsep tentang
pembaca, yaitu (1) pembaca sebagai perempuan (women reader),
dan (2) membaca sebagai perempuan (reading as women). Dalam
konteks pembaca, penelitian ini menggunakan konsep pem-
baca yang kedua, yaitu membaca sebagai perempuan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Showalter (1985:3) bahwa kritik
sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca perempuan
membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastra-
nya. Selain itu, dilakukan juga pembacaan perempuan sebagai
penyair (women as writer) sehingga diperoleh gambaran nada
(tone) atau sikap penyair terhadap permasalahan yang diha-
dapi, baik dalam statusnya sebagai ibu, istri, anak, maupun
sebagai anggota masyarakat.

1.1 Pengertian Penyair, Puisi, dan Sajak

Istilah ‘penyair’ atau poet ditujukan kepada orang yang


membuat syair atau pengarang syair; pengarang sajak; pu-
jangga (Crowther, 1995:890; Moeliono, 1997:983). Yang di-
maksud ‘perempuan penyair Indonesia’ dalam buku ini ada-
lah perempuan Indonesia -yang tercatat dalam beberapa buku
sastra- sebagai pembuat syair atau pengarang sajak. Adapun
perempuan Indonesia yang tercatat atau dikelompokkan
sebagai penyair itu berdasarkan pada beberapa pendapat pe-
neliti dan kritikus sastra Indonesia, seperti: H.B. Jassin (1969),
Toeti Heraty (1979, 2006), Ajip Rosidi (1991), Korrie Layun
Rampan (1997, 2000), Linus Suryadi (1987), Taufik Ismail

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


4
DAN PROSES KREATIFNYA
(2002), dan Eneste (2000).
Istilah ‘syair’ atau ‘sajak’ memiliki arti ‘persamaan bunyi;
puisi; irama’. Puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat
oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait
(Moeliono, 1997:862, 794). Sajak (poem) juga diartikan sebagai
sebuah tulisan atau karangan kreatif dalam bentuk sanjak,
terutama yang mengandung atau menggambarkan sebuah
perasaan yang mendalam, sedangkan puisi (poetry) diartikan
sebagai kumpulan syair atau karya sastra secara umum: epic/
lirik/ drama/ puisi simbolis (Crowther, 1995:890).
Dari penjelasan di atas, istilah ‘puisi’ dibedakan dengan
‘sajak’. Puisi (poetry) digunakan sebagai genre sastra,
sedangkan sajak (poem) digunakan untuk individu puisi.
Dengan demikian, penggunaan istilah ‘puisi’ dan ‘sajak’ tidak
dikacaukan. Berdasarkan hal tersebut, dalam buku ini, istilah
‘puisi’ digunakan untuk menyebut genre sastra, misalnya
antologi puisi, bahasa puisi, dan sebagainya. Istilah ‘sajak’
digunakan untuk menyebut individunya, misalnya sajak-sajak
karya Lastri Fardani Sukarton atau sajak ‘Perpisahan’ karya
Lastri Fardani Sukarton.
Shahnon Ahmad (1978:3) mengemukakan definisi-definisi
puisi yang dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris.
Pertama, Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu
adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah.
Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun
sebaik-baiknya. Kedua, Carlyle menjelaskan bahwa puisi
merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair dalam
menciptakan puisi itu memikirkan bunyi yang merdu seperti

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 5


musik dalam puisinya. Kata-kata disusun begitu rupa sehingga
yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti
musik. Ketiga, Wordsworth menjelaskan bahwa puisi adalah
pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang
direka atau diangankan. Keempat, Dunton berpendapat
bahwa puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret
dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Kelima,
Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-
detik yang paling indah dalam hidup kita, misalnya peristiwa-
peristiwa yang menimbulkan keharuan yang kuat, seperti
kebahagiaan, kegembiraan, percintaan, kesedihan dan lain
sebagainya. Dari beberapa pendapat di atas, puisi adalah salah
satu genre sastra yang menggunakan kata-kata puitis untuk
mengungkapkan pengalaman manusia yang paling berkesan.
Puisi sebagai salah satu genre sastra berbeda dengan
prosa. Puisi mempunyai karakteristik pemadatan bahasa.
Penamaan puisi itu sesuai dengan kepadatannya atau konsen-
trasinya, dalam bahasa Belanda puisi disebut gedicht atau
dalam bahasa Jerman Dichtung; dalam istilah itu terkandung
arti ‘pemadatan atau konsentrasi’, dichten berarti ‘membuat
sajak’ dan juga berarti ‘pemadatan’ (Pradopo, 1993:11). Dalam
puisi, kata-kata tidaklah keluar dari simpanan ingatan. Kata-
kata dalam puisi itu lahir dan dilahirkan kembali (dibentuk)
pada waktu pengucapannya sendiri. Sepanjang sejarahnya,
puisi itu selalu berubah disebabkan oleh evolusi selera dan
konsep estetik yang berubah-ubah. Meskipun demikian,
dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1-2) bahwa ada satu hal
yang tetap dalam puisi, yaitu menyatakan sesuatu secara tidak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


6
DAN PROSES KREATIFNYA
langsung, maksudnya mengatakan suatu hal dan berarti yang
lain.
Unsur-unsur puisi berupa emosi, imajinasi, pemikiran,
ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata
kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Jika
disimpulkan, ada tiga unsur pokok puisi menurut Shahnon
Ahmad (1978:3-4); pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide,
atau emosi; kedua, bentuknya; dan ketiga, kesannya. Semua-
nya terungkap dengan media bahasa. Adapun tiga aspek yang
perlu diperhatikan dalam puisi, yaitu sebagai berikut. Per-
tama, sifat seni atau fungsi seni; puisi sebagai karya sastra
fungsi estetiknya dominan. Unsur-unsur keindahan ini
merupakan unsur-unsur kepuitisan, misalnya persajakan,
diksi, irama, dan gaya bahasanya. Kedua, kepadatan; puisi
merupakan ekspresi esensi karena puisi itu mampat dan padat,
maka penyair memilih kata dengan akurat. Ketiga, ekspresi
tidak langsung, artinya puisi itu menyatakan sesuatu hal yang
berarti hal lain (Altenbernd, 1970:9).

1.2 Puisi sebagai Media Ekspresi Perempuan Penyair

Sebagai manusia, perempuan mempunyai kemampuan


untuk menyampaikan ide, pikiran, dan perasaannya dalam
menghadapi berbagai masalah kehidupan yang terjadi di
masyarakat. Perempuan yang kreatif dalam bidang bahasa
menuangkan ide, pikiran, dan perasaannya ke dalam bentuk
karya sastra. Perempuan seperti itulah yang kemudian dikenal
oleh masyarakat sebagai pengantar lahirnya karya sastra.
Perempuan penyair dari satu generasi ke generasi berikutnya

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 7


mengekspresikan pikiran dan perasaan serta tujuan hidupnya
ke dalam karya sastra sebagai representasi berbagai persoalan
kaum perempuan di masyarakat pada saat itu.
Sebagai pengantar lahirnya karya sastra atau pencipta,
kehidupan penyair tidak dapat dilepaskan dari berbagai
persoalan yang ada di sekitarnya. Berbagai persoalan sosial
yang terjadi di masyarakat menjadi inspirasi baru bagi penyair
yang mampu membentuk pemikiran hasil konstruksi sosial.
Penyair, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai fungsi
penting di masyarakat. Mereka melihat ‘kepincangan-kepin-
cangan’ yang terjadi dalam kehidupan yang kemudian disam-
paikan dalam bentuk tulisan. Kesadaran masyarakat terhadap
hadirnya penyair muncul setelah penyair mampu memberikan
berbagai informasi kepada masyarakat. Masalah sosial budaya
yang diungkap pengarang dalam karya sastra tidak dapat
dilepaskan dengan ruang dan waktu.
Perempuan penyair lebih sedikit dibandingkan dengan
perempuan sebagai pengarang. Perempuan sebagai pengarang
di Indonesia mulai mendapat perhatian dan menjadi bahan
perbincangan pada awal tahun 1960-an padahal tonggak
sastra Indonesia dimulai pada tahun 1920-an. Perempuan
pengarang di Indonesia sangat disayangkan keberadaannya
dibandingkan dengan laki-laki pengarang sehingga menim-
bulkan kekecewaaan. Padahal, karya sastra dianggap sebagai
‘suara yang dapat bergema selama seribu tahun dan dapat
mencapai jarak seluas kehidupan’, seperti yang ditulis Virga
Belan dalam Majalah Seni dan Kebudayaan (Edisi April, 1962)
berikut ini.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


8
DAN PROSES KREATIFNYA
Absennja kaum perempuan dalam bidang pembangunan
mental dan spiritual di negeri kita, sesungguhnja suatu
hal jang sangat kita sajangkan. Padahal karja sastra tjukup
untuk memperdengarkan suara jang dapat bergema
untuk seribu tahun, jang dapat mentjapai djarak seluas
kehidupan, setinggi djarak antara langit dan bumi.

Demikian pula Trisno Sumarjo (1963) mengamati ciri-ciri


kegiatan perempuan di Indonesia tahun 1960-an khususnya
pada bidang sastra yang ditulisnya dalam majalah Seni dan
Kebudayaan (Edisi Februari, 1963). Dinyatakan bahwa ciri
sastrawati Indonesia hanya berkarier pendek. Bahkan menurut
pengamatannya, perempuan penyair Indonesia berhenti me-
nulis puisi dan prosa setelah menikah dan berumah tangga.
Seolah-olah menulis sastra hanya dilakukan sebagai ungkapan
putri remaja saja, sebagaimana dinyatakan berikut ini.
Tentang tjiri kegiatan sastrawati kita di bidang sastra hanja
berkarier pendek, berhenti mengarang setelah berumah
tangga dan berkeluarga. Seolah sastra hanja perlu bagi
ungkapan putri remadja.

Dari pernyataan Trisno Sumarjo di atas, tampak seolah-


olah bahwa perempuan penyair di Indonesia lebih memen-
tingkan rumah tangga daripada berkegiatan sastra. Menulis
sastra hanya dilakukan pada masa remaja sebelum mereka
berumah tangga. Hal ini juga membuktikan bahwa perempuan
penyair di Indonesia saat itu lebih memprioritaskan rumah
tangga daripada menulis sastra.
Selain Trisno Sumarjo, Prayoga juga menilai kegiatan
perempuan yang tertarik menulis sastra karena nafsu romantik
saja. Menurut pengamatannya, ‘janganlah gugur sesudah masa
strum und drang mereka lewat, karena biasanya masa itu

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 9


mereka tertarik karena nafsu romantik’. Harapannya, perem-
puan penyair itu terus berkarya tidak berhenti saat mereka
memasuki dunia rumah tangga, seperti yang diungkapkannya
dalam TEMPO (Edisi April 1962) berikut ini.
Djanganlah gugur sesudah masa sturm und drang mereka
lewat, karena biasanja masa itu mereka tertarik sastra
karena nafsu romantik, -tetapi hendaknja malahan tum-
buh dan matang bersama dengan kemasakan djiwa
dengan pendapat-pendapat jang lebih obdjektif.

Tulisan Virga Belan, Idrus Ismail, Trisno Sumarjo, dan


Prayoga didasarkan pada pengamatan terhadap aktivitas
perempuan pada tahun 1960-an baik sebagai pengarang novel
maupun sebagai penyair di Indonesia. Hal ini diperkuat
dengan catatan Eneste (2001) bahwa sampai tahun 1962,
perempuan penyair hanya ada 2 orang yang telah menerbit-
kan kumpulan puisi yaitu S. Rukiah (Tandus, 1952, Jakarta:
Balai Pustaka) dan Susi Aminah Aziz (Seraut Wajahku, 1961,
Jakarta: Kemuning). Akan tetapi, pada tahun-tahun berikut-
nya, terutama mulai tahun 1970-an sampai dengan tahun 2000-
an, jumlah perempuan penyair dan pengarang di Indonesia
terus bertambah. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan
kuantitas penyair dan pengarang perempuan di Indonesia.
Hasil pengamatan Eneste (2001), perempuan penyair di
Indonesia, sejak awal kelahiran sastra Indonesia tahun 1920-
an sampai tahun 2000 tercatat 28 penyair yang telah berhasil
membuat 68 buku kumpulan puisi tunggal/antologi dari 810
buku yang sudah diterbitkan. Data ini menunjukkan bahwa
karya perempuan penyair kurang lebih hanya 7% dari seluruh
penyair di Indonesia. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


10
DAN PROSES KREATIFNYA
kualitas karya-karya perempuan rendah. Jumlah buku kum-
pulan puisi karya perempuan memang sedikit karena perem-
puan yang berkecimpung dalam penulisan puisi tidak
sebanyak laki-laki sehingga hal ini berdampak pada jumlah
karya yang dihasilkan. Apabila dicermati, sesungguhnya
beberapa perempuan penyair Indonesia memiliki bakat besar,
sebagaimana pernyataan Rampan berikut.
Di antara mereka memang banyak yang menampakkan
bakat besar. Hanya kebanyakan perempuan penyair In-
donesia berhenti menyair jika mereka telah memasuki
gerbang rumah tangga atau diikuti oleh kerja (Rampan,
1997: xx).

Kutipan di atas menguatkan persepsi masyarakat (Virga


Belan, Trisno Sumarjo, dan Prayoga) bahwa keberadaan
perempuan penyair Indonesia lebih mendahulukan perannya
pada wilayah domestik. Akan tetapi, perempuan yang telah
menikah atau bekerja memang dapat menentukan pilihan:
apakah mereka fokus pada rumah tangga atau berdedikasi
pada pekerjaan meskipun mereka dianggap memiliki bakat
di bidang kepenyairan. Pilihan perempuan untuk fokus pada
pekerjaan atau rumah tangga inilah yang merupakan salah
satu faktor sedikitnya jumlah perempuan penyair dibanding-
kan laki-laki penyair yang berimbas pada jumlah karya
perempuan penyair.
Apabila ditinjau dari kuantitasnya, karya-karya perem-
puan penyair di Indonesia sedikit (7% dari seluruh penyair
di Indonesia pada tahun 1962), tetapi telah cukup merefleksi-
kan berbagai peristiwa yang dialami, baik oleh dirinya seba-
gai individu maupun oleh kaum perempuan pada umumnya.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 11


Keikutsertaan penyair sebagai perempuan dalam memberikan
kontribusi pemikiran dalam bentuk puisi menjadi bukti bahwa
perempuan ikut aktif di sektor kehidupan, khususnya hu-
maniora. Dengan kata lain, perempuan penyair telah ikut
mengukir sejarah kesusastraan Indonesia dengan kreativitas
dan imajinasi yang diperoleh melalui aktivitasnya sebagai
anggota masyarakat ke dalam puisi.
Puisi dipilih perempuan penyair sebagai media pengung-
kapan ide, pikiran, dan perasaan daripada cerpen dan novel.
Puisi merupakan usaha untuk mencairkan pengalaman hidup
yang ‘membeku dan yang mengganggu dalam ingatan’,
sebagaimana pengakuan salah satu perempuan penyair In-
donesia berikut ini.
Puisi itu merupakan usaha untuk mencairkan pengalaman-
pengalaman hidup yang membeku dan yang menggang-
gu dalam ingatan. Maka untuk mencairkannya, saya buat
puisi (Sinar Harapan, 11 April 1982).

Pengakuan penyair Toeti Heraty di atas menunjukkan


bahwa puisi menjadi salah satu media yang digunakan perem-
puan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya ter-
hadap permasalahan yang dialaminya sebagai individu.
Pengalaman-pengalaman hidup yang dianggapnya membeku
dan mengganggu dalam ingatannya, dapat direpresentasikan
ke dalam sebuah puisi. Hal-hal yang dianggap tidak mungkin
ditulis secara ekplisit dan terbuka dapat diekspresikan melalui
puisi karena puisi adalah genre sastra yang padat bentuk dan
bahasanya. Menurut Pradopo (1997:v-vi), puisi digemari
masyarakat sebab selain memberikan kenikmatan seni, puisi
juga memperkaya kehidupan batin, menghaluskan budi,

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


12
DAN PROSES KREATIFNYA
bahkan juga sering membangkitkan semangat hidup yang
menyala dan mempertinggi rasa ketuhanan serta keimanan.
Penelitian terhadap perempuan penyair dan puisi cipta-
annya dilatarbelakangi oleh beberapa alasan. Pertama, melalui
puisi, perempuan penyair mengungkapkan pengalaman-
pengalaman hidupnya. Artinya, penyair mengekspresikan
pengalamannya ke dalam bentuk puisi. Bentuk-bentuk keti-
dakadilan terhadap kaum perempuan di Indonesia masih terus
berlangsung karena kuatnya sistem patriarkat dan hal itu
menjadi salah satu sumber ide bagi penyair. Oleh sebab itu,
perempuan penyair memiliki kepekaan perasaan dan keta-
jaman pikiran terhadap nasib kaumnya yang mengalami
berbagai bentuk ketidakadilan itu.
Puisi merupakan alat atau sarana penyampaian ide pen-
yair. Melalui puisi, penyair menyampaikan ide, pikiran, dan
perasaannya mengenai realitas sosial yang terjadi di masya-
rakat. Realitas sosial itu berupa peristiwa dan kejadian sehari-
hari yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, puisi
merupakan sarana komunikasi penyair dengan penikmat atau
pembacanya. Mereka mengekspresikan pikiran dan pera-
saannya terhadap berbagai fenomena kehidupan ke dalam
sebuah puisi. Apapun yang mereka pikirkan dan rasakan
dapat menjadi puisi asalkan diekspresikan melalui bahasa.
Meskipun mereka mengekspresikannya ke dalam bentuk
bahasa namun tidak semua pembaca secara langsung mema-
hami maksud penyair.
Para penyair memilih kata-kata yang sesuai dengan apa
yang dirasakan dan dipikirkan pada saat karya itu ditulis.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 13


Itulah sebabnya, pembaca seringkali menemui kesulitan
menangkap pesan penyair dalam sebuah puisi. Membaca atau
meneliti puisi, pada hakikatnya merupakan proses pertemuan
antara penyair dengan peneliti sebagai pembaca. Pembaca
pada waktu berhadapan dengan puisi, sudah mempunyai
bekal pengetahuan yang mengisi ‘cakrawala harapannya’
ketika membaca. Cakrawala harapan itulah yang selanjutnya
mengarahkan pembacaannya. Membaca bukanlah proses yang
berjalan satu arah, melainkan satu bentuk interaksi dinamis
antara teks dan pembaca (Iser, 1978:56).
Memahami makna puisi masih dianggap sulit oleh seba-
gian besar pembaca. Hal ini karena puisi merupakan ekspresi
tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Mi-
chael Riffaterre (dalam Ratih, 2016:5) disebabkan oleh
penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti
(distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of mean-
ing). Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan meto-
nimi. Metafora dan metonimi adalah bahasa kiasan pada
umumnya, seperti metafora, personifikasi, sinekdoki, dan
metonimi. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas,
kontradiksi, dan nonsense. Penciptaan arti disebabkan oleh
pengorganisasian ruang teks, yaitu enjambement, sajak,
tipografi dan homologue.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


14
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 2
EMANSIPASI
PEREMPUAN INDONESIA

2.1 Raden Ajeng Kartini sebagai Perempuan Penyair

Raden Ajeng Kartini adalah putri bangsawan Jawa, Bupati


Jepara R.M.A.A. Sosrodidingrat. Pada masa kanak-kanaknya
sampai berumur 12 tahun, ia berbahagia karena dapat
mengenyam pendidikan sekolah seperti saudara-saudara laki-
lakinya. Hal ini bukan peristiwa biasa, karena suatu pan-
dangan masyarakat pada waktu itu bahwa anak perempuan
tidak memerlukan kepandaian apapun di dalam hidupnya.
Anak perempuan bangsawan tidak patut keluar rumah dan
belajar bersama dengan anak laki-laki dan bergaul dengan
mereka (Sulastin, 1979:viii).
Kondisi perlakuan ketidakadilan terhadap perempuan di
Indonesia, khususnya dalam lingkup keluarga, pada masa
itu dapat dirujuk pada surat-surat Kartini yang dibukukan
pada permulaan abad ke-20. Kartini (1879-1904) menuliskan
semangat perjuangan, kegelisahan, dan perlakukan ketidak-
adilan terhadap perempuan khususnya di Jawa dalam bentuk

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 15


karya sastra (puisi) dan surat-surat yang dikirimkan kepada
para sahabatnya. Surat-surat Kartini untuk para sahabatnya
dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Door
Duisternis Tot Licht (dialihbahasakan menjadi Habis Gelap
Terbitlah Terang oleh Sulastin-Sutrisno (1979). Melalui surat-
suratnya, Kartini membicarakan nilai-nilai tradisi (khususnya
Jawa) yang cenderung membelenggu perempuan, menja-
dikannya tergantung pada laki-laki, yang menyebabkan
perempuan menjadi kaum yang tidak berdaya, sehingga me-
nurut Nugroho (2008:88), mereka seakan-akan tidak diberi
peranan signifikan dalam komunitas masyarakatnya.
Masyarakat Indonesia mengenal Raden Ajeng Kartini
(1879-1904) sebagai seorang perintis emansipasi kaum perem-
puan di Indonesia. Kartini menulis puisi berjudul “Manusia
dan Hatinya’ (dalam Rampan, 1984: 15) yang terdiri atas 14
bait 60 baris. Puisi tersebut ditulis dengan nama samaran
‘jiwa’ dan telah dimuat dalam Api Kartini edisi Juni 1959 terdiri
atas 14 bait 60 baris, berikut ini.

MANUSIA DAN HATINYA

Betapa si anak manusia


Betapa asing mula jadinya
Cuma sekilas, hati ikrar setia
Tinggal menetap, tinggal dan esa
Betapa hati di dada
Tersayat dengan suara
Betapa asing mula tadinya
Lama, lama gaungi diri laksana doa
Betapa ini jiwa
Dalam sorak-sorai melanglang

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


16
DAN PROSES KREATIFNYA
Jantung pun gelegak berdenyar
Bila itu mata sepasang
Ramah pandang menatap
Jabat tangan hangat diulurkan
Tahu kau, samudra biru
Menderai dari pantai ke pantai?
Di mana, bisikkan padaku
Di mana, mukjizat bersemi?
Bayu, tangkas, katakan padaku
Pendatang dari daerah-daerah tanpa nama
Siapa gerangan dia, pendatang tanpa dipinta
Mengikat hati abadi begini?
Oi! Bisikkan padaku, surya bercahaya kencana
Sumber sinar, sumber panas kuasa
Apa gerangan mukjizat agung
Nikmatkan hati bagia begini
Labuhkan, lunakkan derita
Yang selalu datang dengan manjanya?
Sepancar surya, habis tembusi daunan
Jatuh di laut pasang mengimbak-imbak
Terang sekarang, gemilang dunia
Dalam paduan cahaya kencana surya
Permainan cahaya dan warna
Pameran di tentang mata mesra
Dan hati kecil yang terpesona
Hembuskan doa syukur tulus rela
Mukjizat ternyata tiga!
Di hamparan mutiara cair gemerlapan
Dipahatkan aksara padanya oleh surya
Cinta, persahabatan, simpati!
Cinta, Persahabatan, Simpati
Berdesau ombak membisikkan kembali
Berendang kayu dan pohon
Pada si anak manusia menganga bertanya
Manis membelai terdengar
Nyanyian gaib ombak dan bayu
“seluruh, seluruh dunia

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 17


Jiwa seia bakal bersua!”
Tiada tenaga kuasa lerai
Apa pun, pangkat, martabat
Tiada peduli segala
Tangan pun berjabatan!
Dan bila jiwa telah seia
Retak tidak, tali abadi
Mengikat erat, setia arungi segala
Rasa, jarak dan masa
Tunggal dalam suka, satu dalam duka
Seluruh hidup gagah ditempuh!
Oi, bagia dia si penemu jiwa seia
Yang maha kudus dia suntingkan

Menurut Rampan (1984:18), sajak Kartini memang penuh


semangat keindonesiaan yaitu semangat kebangunan dan
semangat kebangsaan sesuai dengan nyala jiwanya yang hidup
dan berkembang, yang demikian arif memandang zaman,
dan yang bisa membaca tanda-tanda masa. Puisi ini merupakan
satu-satunya karya Kartini yang ditemukan terpublikasi di
sebuah majalah.
Kartini sebagai kaum ningrat mendapat pendidikan yang
baik. Ia mengagumi sajak-sajak Peter August de Geneset (1829-
1860), seorang penyair Belanda (Rampan, 1984:16). Keter-
tarikan Kartini terhadap sajak-sajak Peter mengilhaminya
menulis puisi. Kartini kemudian menulis puisi dan mengguna-
kan nama samaran ‘jiwa’. Apa yang dilakukan Kartini meru-
pakan strategi agar puisinya dapat dimuat di majalah dan
tentu saja agar dapat dibaca orang lain. Kondisi sosial pada
masa itu tidak memberi ruang bagi perempuan Indonesia
untuk ‘berpikir dan menuangkan pikirannya’ ke dalam suatu
karya. Media masih terbatas, apalagi media bagi perempuan.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


18
DAN PROSES KREATIFNYA
Oleh sebab itu, usaha Kartini sebagai perempuan pada masa
itu yang menulis puisi dengan menggunakan nama samaran
‘jiwa’ menunjukkan kecerdasannya.
Pada sajak berjudul ‘Manusia dan Hatinya’, Kartini ber-
usaha menjelaskan arti eksistensi manusia sebagai persona
yang harus berinteraksi. Akan tetapi, kebebasan berinteraksi
untuk berkata dan berbuat itu tidak mudah diraihnya,
sehingga hanya melalui doa, seorang manusia bisa tetap
memiliki harapan, seperti diekspresikan dalam baris sajak,
‘lama, lama gaungi diri laksana doa’. Kartini menyampaikan
pesan agar kaum perempuan dapat mencapai kesempurnaan
dan kebahagiaan di masa depan. Ia tidak menginginkan kaum
perempuan terbelenggu tradisi terus-menerus tetapi meng-
harapkan mereka dapat bergaul dan berkeliling dunia, seperti
diekspresikannya dalam baris sajak, ‘seluruh, seluruh dunia/
jiwa seia bakal bersua!”.
Sebagai perempuan, Kartini cerdas dan memiliki kema-
tangan jiwa. Ia melihat situasi dan kondisi perempuan Indo-
nesia saat itu. Ia memiliki kesadaran pentingnya perempuan
Indonesia berpandangan maju. Satu-satunya cara yang dapat
dilakukan Kartini pada masa ‘pingitan’ adalah menulis, baik
menulis surat untuk para sahabatnya, juga menulis puisi yang
kemudian dimuat di sebuah majalah. Semangatnya terus
berkobar di dalam dadanya untuk kemajuan bangsanya.

2.2 Surat-Surat Raden Ajeng Kartini

Surat-surat Kartini mengutarakan keinginannya ‘melepas-


kan belenggu karena masih terikat pada hukum, adat istiadat,

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 19


dan kebiasaan masyarakat’. Menurut Kartini, adat istiadat
dan kebiasaan masyarakat bertentangan dengan sesuatu yang
baru. Oleh karena itu, Kartini selalu berpikir dan terus
berupaya untuk melepaskan diri dari adat istiadat yang keras
dan tidak mudah dihancurleburkan. Perhatian dan perjuangan
Kartini tampak jelas bagi kaum perempuan, sebagaimana
tampak pada surat yang ditujukan kepada Nona E.H.
Zeehandelaar, tertanggal 25 Mei 1899 (Sulastin, 1979:1) sebagai
berikut.
Aduh, Saudara tidak tahu bagaimana rasanya dengan
sebulat hati mencintai zaman muda, zaman baru, zaman
milikmu, tetapi tangan dan kaki kami masih terbelenggu;
masih terikat pada hukum, adat istiadat dan kebiasaan
negeri kami. Kami tidak mungkin melepaskan diri dari
belenggu itu. Dan adat istiadat serta kebiasaan negeri kami
bertentangan sama sekali dengan yang baru, yang ingin
saya lihat dimasukkan ke dalam masyarakat kami. Siang
malam saya renungkan, saya pikirkan daya upaya untuk
melepaskan diri dari adat istiadat negeri saya yang keras
itu. Tetapi ….adat Timur lama itu benar-benar kokoh dan
kuat. Saya rasa akan dapat juga saya hancur leburkan,
sekiranya tidak ada ikatan lain yang lebih kokoh dan kuat
daripada adat istiadat yang selama ini mengikat saya pada
dunia saya; yakni cinta saya kepada mereka yang
melahirkan saya, yang telah memberikan segala-galanya…

Isi surat kepada sahabatnya di atas mengungkapkan


kesedihan sekaligus kegelisahan Kartini menghadapi adat
istiadat dan kebiasaan di negerinya. Langkah kakinya masih
terbelenggu sedangkan keinginannya sudah jauh melangkah
ke depan. Kartini sadar bahwa masyarakatnya sangat jauh
tertinggal oleh Negara lain dalam berbagai aspek kehidupan.
Akan tetapi, untuk melakukan perubahan mindset kepada

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


20
DAN PROSES KREATIFNYA
masyarakatnya masih ‘jauh panggang dari api’. Kartini juga
sadar bahwa adat Timur itu sangat kokoh dan kuat tertanam
sehingga tidak mudah menerima hal-hal yang baru, seperti
yang dikatakannya dalam surat, “Siang malam saya renung-
kan, saya pikirkan daya upaya untuk melepaskan diri dari
adat istiadat negeri saya yang keras itu. Tetapi adat Timur
lama itu benar-benar kokoh dan kuat. Saya rasa akan dapat
juga saya hancur leburkan, sekiranya tidak ada ikatan lain
yang lebih kokoh dan kuat daripada adat istiadat yang selama
ini mengikat saya pada dunia saya”.
Kartini berniat untuk melakukan perubahan meskipun
hal itu sangat sulit dan mendapat rintangan yang menghadang
cita-citanya: memajukan perempuan Indonesia melalui
pendidikan. Strategi perjuangan yang dilakukan oleh Kartini
untuk mengatasi permasalahan yang dialami kaumnya adalah
melalui pendidikan. Kartini berpandangan bahwa pendidikan
dianggap syarat utama untuk membebaskan diri dari segala
kekurangan. Satu pendekatan perjuangan yang cerdas, dalam
konteks masa itu, mengingat pendidikan secara nyata dapat
mengubah sistem nilai dalam masyarakat selain menawarkan
berbagai kesempatan bagi perempuan untuk mengaktuali-
sasikan diri (Nugroho, 2008:88-89).
Perjuangan Kartini untuk memajukan kaum perempuan
bangsanya adalah mendirikan sekolah. Kartini penuh dengan
harapan terhadap kaumnya agar dapat hidup lebih baik. Kar-
tini sadar, cita-citanya mendirikan sekolah bagi kaum perem-
puan di negerinya tergantung pada perjuangan dan ke-
beraniannya. Ayahnya sangat berperan dan mendukung cita-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 21


cita Kartini untuk ‘mengangkat derajat dan membawa pelita
ke dalam dunia perempuan dan membangunkannya dari
keadaan yang menyedihkan’, sebagaimana diutarakan dalam
surat yang ditujukan kepada Nyonya M.C.E. Ovink – Soer
pada bulan Agustus 1900 (Sulastin, 1979:79) berikut ini.
Tercapai atau tidaknya tujuan saya tersebut, hanyalah
bergantung kepada kemauan dan kecakapan saya. Saya
penuh harapan, penuh keberanian. Doakanlah agar
keberanian itu tetap segar terpelihara dalam diri saya, Ibu!
Segera saya minta izin Ayah agar saya menyampaikan
berita baik itu kepada Nyonya Abendanon. Saya tak
mendapat kesulitan. Malam itu juga saya tulis surat kepa-
danya dan kepada ibu juga. Sebenarnya sekolah gadis
Bumiputra itu masih belum tentu didirikan, tetapi saya
tidak putus asa. Ada tanda-tanda bahwa beberapa orang
yang berpengaruh, bahkan mungkin juga lebih banyak
yang berusaha sungguh-sungguh mengangkat derajat
dan membawa pelita ke dalam dunia perempuan Bumi-
putra, membangunkannya dari keadaannya yang
menyedihkan.

Isi surat Kartini di atas jelas mengungkapkan perasaaan


seorang perempuan Indonesia yang berhati mulia. Kartini
cerdas dan sudah jauh memandang ke masa depan. Dia memi-
liki harapan dan keberanian sebagai modalnya memajukan
bangsa melalui perempuan. Sekecil apapun harapannya,
Kartini bertekad kuat mewujudkan sekolah bumiputra. Dalam
pandangan kartini, perempuan Indonesia itu sangat menyedih-
kan karena tidak memiliki keterampilan hidup dan tidak
berpendidikan. Hanya melalui sekolah, perempuan Indone-
sia dapat memiliki kesadaran untuk maju bersama menuju
perubahan.
Usaha Kartini sebagai perempuan Indonesia mulai me-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


22
DAN PROSES KREATIFNYA
nampakkan hasil dengan rencana didirikannya sekolah gadis
bumiputra. Kartini memiliki harapan dan keberanian yang
tidak dimilliki oleh perempuan lain pada masa itu. Kuatnya
adat dan tradisi tidak menggoyahkan Kartini muda untuk
mengangkat derajat kaum perempuan melalui pendidikan.
Kartini tidak putus asa meskipun banyak rintangan untuk
mendirikan sekolah bagi perempuan bumi putra. Bagi Kartini,
pendidikan merupakan salah satu jalan menuju kehidupan
yang lebih baik.
Dua surat Kartini yang ditulisnya pada usia 20 tahunan
itu sebagai gambaran betapa besarnya semangat Kartini mem-
perjuangkan nasib bangsanya. Tulisannya menunjukkan se-
mangat dan pikiran-pikiran yang maju. Maka, berdasarkan
pemahaman yang cerdas, Kartini mengambil pendidikan
sebagai titik strategis yang harus dibuka untuk kaum perem-
puan (Hafidz, 1993:94). Langkah-langkah Kartini menjadi
stimulus bagi perjuangan perempuan di masa-masa berikut-
nya. Usaha yang dilakukan Kartini akhirnya berhasil men-
dirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Pelan tetapi pasti
perubahan itu terjadi. Perempuan Indonesia yang menda-
patkan pendidikan mulai menunjukkan kesadaran terhadap
eksistensinya sebagai manusia. Kesadaran perempuan itu
kemudian tampak, tidak hanya dalam sikap tetapi juga ditun-
jukkan melalui tulisan. Hal ini terbukti dengan lahirnya
perempuan sebagai pengarang dan penyair di Indonesia.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 23


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
24
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 3
PEREMPUAN PENYAIR
TAHUN 1920-1942

Perempuan penyair di Indonesia yang dibahas dalam buku


ini dibatasi pada nama-nama penyair yang telah tercatat
dalam beberapa buku referensi dan memperhatikan informasi
penting lainnya dari buku-buku antologi puisi serta tulisan-
tulisan di berbagai media yang memuat biografi dan proses
kreatif mereka. Pengelompokan perempuan penyair dimulai
dari tahun 1920 karena tahun itu dianggap sebagai lahirnya
kesusastraan Indonesia (Pradopo, 1995:57).
Penyair sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari tidak lepas dari berbagai peristiwa yang terjadi
di sekitarnya. Oleh sebab itu, peristiwa sosial politik yang
menjadi sejarah bagi rakyat Indonesia sejak tahun 1920 sampai
tahun 2000 menjadi catatan penting dalam proses kepenyairan
mereka. Adapun peristiwa penting dalam sejarah Bangsa In-
donesia adalah sebagai berikut (1) tahun 1920 setelah dinya-
takan sebagai tahun kelahiran sastra Indonesia, (2) tahun 1942
pada saat Indonesia dijajah pemerintah Jepang, (3) tahun 1945
pada saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, (4)

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 25


tahun 1965 pada saat terjadi peristiwa G 30 S PKI dan per-
gantian masa Orde Lama ke Orde Baru, dan (4) tahun 2000
setelah terjadi reformasi di Indonesia. Tahun-tahun tersebut
dijadikan titik-titik pembahasan proses kreatif dan ‘suara’
mereka sebagai perempuan karena puisi-puisi mereka me-
nyampaikan pikiran, perasaan, sikap, dan pengalaman dari
berbagai peristiwa yang dilatarbelakangi oleh budaya, sejarah,
dan politik pada saat itu.

3.1 Selasih

Tidak lama setelah Raden Ajeng Kartini wafat (1904),


sejumlah perempuan terpelajar membentuk organisasi-
organisasi modern, seperti ‘Gerakan Perempuan Poetri Mar-
dika’ (1912), ‘Kelompok Pemudi Jawa Muda’ (1915), dan
‘Aisyah’ (pemudi Muhammadiyah) pada tahun 1917 (Nugroho,
2008:90). Tujuan didirikannya ‘Gerakan Perempuan Poetri
Mardika’ adalah memajukan pendidikan anak-anak perem-
puan. Corak pergerakan perempuan pada umumnya ialah
memperbaiki pendidikan dan menambah kecakapan perem-
puan, seperti: memasak, menjahit, dan pemeliharaan perem-
puan bersalin (Soewondo, 1984:197).
Tonggak sejarah yang penting dalam perubahan funda-
mental perjuangan kaum perempuan Indonesia setelah
‘Sumpah Pemuda’ adalah Kongres Perempuan I pada tanggal
22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Hasil Kongres I me-
mutuskan perlunya didirikan sebuah badan federasi organi-
sasi perempuan yang bernama Perikatan Perkumpulan Perem-
puan Indonesia (PPPI). Ciri utama perjuangan ini adalah

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


26
DAN PROSES KREATIFNYA
mewujudkan kerjasama demi persatuan dan kemajuan bagi
kaum perempuan, berazaskan kebangsaan dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari pergerakan kebangsaan
Indonesia dalam rangka menghadapi penindasan dari bangsa
asing untuk menuju cita-cita Indonesia merdeka (Gunawan,
1993:102). Dalam rapat-rapat terbuka, perkumpulan-per-
kumpulan perempuan itu membahas masalah kedudukan
perempuan dalam perkawinan, poligami, dan pendidikan
untuk anak-anak perempuan. Rupanya semangat Kartini telah
memasuki alam kesadaran perempuan Indonesia untuk mem-
peroleh pendidikan agar memiliki kedudukan yang setara
dengan laki-laki.
Situasi politik dan sosial pada saat itu berpengaruh ter-
hadap puisi-puisi yang diciptakan oleh perempuan penyair.
Penyair yang tercatat dalam sejarah sastra Indonesia mulai
aktif menulis puisi pada tahun 1920-an adalah Selasih, Ha-
midah, Muh. Yamin, dan Roestam Effendi. Pada tahun 1920-
1922, sajak-sajak Muh. Yamin dimuat dalam majalah Jong
Sumatra. Penyair lainnya, Roestam Effendi menulis drama
bersajak berjudul Bebasari (1924) dan kumpulan sajak berjudul
Percikan Permenungan (1926) (Rampan, 1997: xii; Rosidi,
1969:55-56). Selasih dan Hamidah, dua perempuan penyair
ini aktif menulis puisi tetapi karya-karyanya baru diterbitkan
dalam antologi Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (A Taste of Betel
and Lime) pada tahun 1979 oleh Toeti Heraty.
Selasih, nama aslinya adalah Seleguri dan nama lengkap-
nya Nyonya Sariamin Ismail. Selasih dilahirkan pada tanggal
31 Juli 1909 di Talu, Sumatera Barat. Ia sekolah guru kemudian

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 27


mengajar di salah satu sekolah (SLA) Gadis di Bengkulu. Ia
juga aktif dalam berbagai organisasi perempuan. Tahun 1947-
1948, Selasih terjun ke bidang politik menjadi anggota DPRD
Riau. Buku yang sudah ditulisnya adalah buku tata bahasa dan
dua novel berjudul: Kalau Tak Untung (1933), dan Pengaruh
Keadaan (1937). Sajak-sajak Selasih dimuat dalam Poedjangga
Baroe, Pandji Poestaka dan majalah lainnya seperti Asyara, Bin-
tang Hindia, Sari Pusaka (Rosidi, 1986:54), dan diantologikan
dalam Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979)
serta Tonggak 1 (ed. Linus Suryadi, 1987).
Selasih adalah nama samaran yang digunakan oleh Sari-
amin ketika mempublikasikan karyanya, baik berupa puisi
maupun novel. Seperti halnya Kartini yang menggunakan
nama samaran ‘Jiwa’ dalam puisinya, Sariamin pun meng-
gunakan nama samaran ‘Selasih atau Seleguri’ untuk menutupi
identitasnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial masya-
rakat Indonesia pada masa itu masih dalam penjajahan
Belanda yang membatasi penulis pribumi mempublikasikan
karya-karyanya. Meskipun sudah sejak tahun 1920 dikenal
majalah Sri Poestaka (1919-1941), Pandji Poestaka (1919-1942,
Jong Sumatra (1920-1926), tetapi hingga awal tahun 1930-an
niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus
kebudayaan dan kesusastraan belum terlaksana. Barulah,
pada tahun 1930 terbit majalah Timboel dalam Bahasa Indo-
nesia yang sebelumnya diterbitkan dalam Bahasa Belanda
oleh Sanusi Pane sebagai direkturnya. Pada tahun 1932, Sutan
Takdir Alisjahbana yang ketika itu bekerja di Balai Pustaka
mengadakan rubrik ‘Menuju Kesusastraan Baru’ dalam ma-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


28
DAN PROSES KREATIFNYA
jalah Pandji Poestaka (Rosidi, 1969:32). Selasih merupakan salah
satu perempuan yang aktif menulis puisi dan mempublikasikan
karyanya pada majalah Pandji Poetaka itu. Sajak Selasih (Heraty,
1979:86-88) yang paling menonjol berjudul “Cinta yang Suci”
berikut ini.

CINTA YANG SUCI


Kuncintai kanda sepenuh hati
Dengan cinta ibu, yang mahasuci
Suka membela berbuat jasa
Sekuat tulang sehabis tenaga.
Biar melayang nyawa di badan
Ataupun karam tengah lautan
Biar habis harta dan benda
Jika penebus jiwa kakanda
Kucintai kanda sebagai istri
Suka menyerah berbuat bakti
Kasih bercampur dendam berahi
Penghiburkan sukma, penggembirakan hati
Kucintai kanda sebagai anak,
Seperti anak sayangkan bapak,
Kupandang tinggi, serta mulia,
Kutakuti tuan, kuhormati kanda.
Kucintai kanda bagai saudara,
Tempat adinda minta bicara,
Sebagai dahan tempat bergantung,
Di waktu panas tempat berlindung.
Kucintai kanda sebagai sahabat,
Lawan bergurau bermusyawarat,
Taman bersuka bercengkerama,
Penghilangkan bimbang pelipur duka.
Kucintai kanda dengan cinta suci,
Cinta ibu cinta sejati,
Cinta istri cinta berahi,
Cinta anak cinta berbakti,
Cinta saudara penjauhi cedera,

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 29


Cinta sahabat pokok gembira.
Adakah kanda yang lebih kuat,
Yang lebih besar tinggi derajat,
Cinta yang lima cinta perempuan,
Ke hadapan kanda beta serahkan.
Tuanlah ayahku jiwa pujaan,
Tempat adinda menyerahkan badan,
Tuan anakku timbunan sayang,
Kanda suami tempatku rindu,
Bagai saudara tempat bertenggang,
Seperti sahabat orang pembantu.
Kanda! Di mana hilangmu akan terganti
Ke mana tukaran adinda cari
Kudaki bukit dan gunung
Lalu segara adinda harung
Kujalani kampung negara
Setara kakanda bertemu tiada
1937

Dalam sajak ‘Cinta yang Suci’, unsur pantun yang berpola


/abab/ dan syair yang berpola /aaaa/ mempengaruhi sajak
secara keseluruhan. Selasih mengungkapkan penyerahan cinta
seorang perempuan (istri) kepada laki-laki (suami). Cinta dan
pengorbanan seorang istri kepada suami dikemukakan dalam
10 bait sajak tersebut dengan berbagai perumpamaan yang
digunakan untuk mengekspresikan rasa cinta tersebut.
Selasih sebagai penyair merepresentasikan kehidupan
kaum perempuan pada masa itu. Dalam pandangan Selasih,
perempuan Indonesia pada masa itu sebagian besar menyerah-
kan hidup dan cintanya untuk laki-laki sebagai pendamping
hidupnya, sebagaimana diekspresikan dalam baris sajak, ‘kanda!
Di mana hilangmu akan terganti/ ke mana tukaran adinda
cari/ kudaki bukit dan gunung/ laut segara adinda harung/

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


30
DAN PROSES KREATIFNYA
kujalani kampung negara’. Baris-baris sajak ini menunjukkan
bahwa perempuan pada masa itu bersedia mengorbankan jiwa
dan raga demi laki-laki. Sikap yang ditunjukkan perempuan
dalam sajak di atas sebagai bentuk keikhlasan dan kesetiaan
seorang istri.
Cinta seorang istri kepada suaminya adalah cinta penuh
totalitas, seperti cinta seorang ibu kepada anaknya, cinta se-
orang anak kepada orang tua, cinta seorang istri, saudara,
dan cinta sahabat, seperti diekspresikan pada baris-baris sajak
berikut, ‘Kucintai kanda dengan cinta suci/ Cinta ibu cinta
sejati/ Cinta istri cinta berahi/ Cinta anak cinta berbakti/
Cinta saudara penjauhi cedera/ Cinta sahabat pokok gembira.
Sebagai perempuan, Selasih menyadari dan dapat mera-
sakan besarnya cinta seorang istri kepada suami yang di-
cintainya. Bentuk cinta dan pengabdian seorang istri ditun-
jukkan lewat kesetiaan dan kerelaan berkorban untuk suami.
Dalam pandangannya, perempuan hidup untuk melayani dan
membahagiakan laki-laki. Seolah-olah laki-laki merupakan
satu-satunya kebahagiaan dalam hidup seorang perempuan.
Kehidupan perempuan yang telah berumah tangga pada masa
itu hanya fokus pada tugas istri melayani suami atau tugas
ibu membesarkan anak-anaknya.

3.2 Hamidah

Hamidah, nama lengkapnya Fatimah Haan Delais. Ia di-


lahirkan pada tahun 1915 di Bangka dan meninggal pada tahun
1953. Nama samarannya antara lain: Hamidah, Dali,
Damanhury, Damhoeri, Darmawijaya, Jambi, Enes, Eff-Nu,

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 31


dan Darwis. Hamidah pernah bekerja sebagai guru setelah
lulus Sekolah Normal Gadis di Padang Panjang, Sumatra Barat.
Hamidah juga menulis novel berjudul Kehilangan Mestika (1935)
(Heraty, 1979:227; Suyadi, 1987:201; Rosidi, 1991:56; Rampan,
1997:xii). Sajak-sajak Hamidah dimuat dalam buku antologi
Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Ed. Toeti Heraty, 1979) dan Tonggak
1 (ed. Linus Suryadi, 1987). Sajak Hamidah berjudul ‘Berpisah’
dimuat dalam Pujangga Baru (1935), Seserpih Pinang Sepucuk
Sirih (1979:84) dan Tonggak 1 (1987:202) berikut ini.

BERPISAH
Sungguh berat rasa berpisah
‘Ninggalkan kekasih berusuh hati,
Duduk berdiri sama gelisah
Ke mana hiburan akan dicari.
Kian ke mari mencari kesunyian
‘Ngenangkan kasih diri masing-masing
Hati terharu, dilipur nyanyian
Tapi suara tak mau mendering.
Di manakah dapat awak menyanyi
Bukankah sukma tersentuk duri?
Hati pikiran berusuh diri?
Di manakah dapat bersuka ria
Tidakkah badan sebatang kara?
Kenangan melayang nyeberang segara?
1935

Pada sajak ‘Berpisah’ yang berbentuk soneta ini, Hamidah


melukiskan kegelisahan hati, kedukaan jiwa seorang perem-
puan ketika berpisah dengan kekasih, seperti tampak dalam
baris, ‘Sungguh berat rasa berpisah/ ‘Ninggalkan kekasih
berusuh hati,/ Duduk berdiri sama gelisah/ Ke mana hiburan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


32
DAN PROSES KREATIFNYA
akan dicari’. Bahkan, hidup seorang perempuan yang di-
tinggal kekasih itu diibaratkan, ‘badan sebatang kara?/
kenangan melayang nyeberang segara?/. Baris-baris sajak
tersebut menggambarkan bahwa perempuan seolah-olah tidak
bisa hidup bahagia tanpa seorang laki-laki sebagai kekasih.
Hidup penuh kegelisahan dan kesunyian, seolah hanya
seorang kekasih saja yang dapat memberi hiburan dan
kebahagiaan dalam hidupnya. Stereotif bahwa perempuan
lemah tanpa laki-laki tampak jelas pada sajak Hamidah ini.
Penguatan stereotif ini dapat ditemukan pada setiap larik
sajak yang berjudul ‘Berpisah’.
Penyair Hamidah memiliki model sajak yang sama
dengan Selasih, yaitu puisi berbentuk pantun, syair, dan soneta.
Temanya cinta dan rumah tangga serta mencerminkan penye-
rahan kaum perempuan sepenuhnya kepada laki-laki, baik
sebagai kekasih maupun sebagai suami. Bagi perempuan
masa itu, cinta dan rumah tangga adalah pusat kehidupan
sehingga suami (laki-laki) merupakan gantungan hidup tunggal.
Pada suamilah, kebahagiaan hidup perempuan bergantung
(bandk. Rampan, 1997:xii).
Kehidupan yang penuh penderitaan dan kemelaratan
agaknya menjadi minat pengarang perempuan ini. Juga penga-
rang perempuan ini agaknya seorang yang suka bersedih-
sedih, seperti tampak dalam karya-karyanya (Ajip Rosidi,
1991:55-56).
Sajak-sajak Hamidah berbentuk soneta. Selasih dan
Hamidah, keduanya mengangkat tema cinta, rumah tangga,
dan suami sebagai pusat kehidupan perempuan (Rampan,

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 33


1997:xii).
Dua kutipan di atas melukiskan kehidupan perempuan
Indonesia pada masa itu (penjajahan Belanda) menurut kaca
mata Ajip Rosidi dan Rampan. Puisi-puisi yang ditulis Selasih
dan Hamidah merupakan representasi dari berbagai penga-
laman hidup yang dialami kaum perempuan pada masa itu.
Sebagai penyair, Hamidah mengekspresikan kesedihan hati
seorang perempuan yang harus berpisah dengan kekasihnya.
Melalui sajaknya, Hamidah juga mengekspresikan bagaimana
emosi perempuan yang labil ketika jauh atau berpisah dengan
kekasihnya.
Sebagai perempuan, Hamidah memiliki potensi dalam
bidang jurnalistik sehingga dipercaya sebagai pembantu
majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Hamidah men-
dapatkan dua kesempatan, pertama ia dapat belajar dan ter-
libat dalam proses penerbitan sebuah majalah. Kedua, ia dapat
meningkatkan kualitas tulisannya dan memiliki kesempatan
karya-karyanya dimuat pada majalah tersebut. Sebagai perem-
puan, Hamidah menyadari bahwa kehidupan kaum perem-
puan di Indonesia pada masa itu hanya berada pada wilayah
domestik. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi perem-
puan pada masa itu sebagian besar masalah hubungan laki-
laki dan perempuan dan rumah tangga.
Selasih dan Hamidah, dua perempuan penyair ini meng-
ekespresikan berbagai pengalaman hidup perempuan Indo-
nesia pada masa itu. Bagi perempuan, cinta dan rumah tangga
adalah pusat kehidupan sehingga suami (laki-laki) merupakan
gantungan hidup istri dan sumber kebahagiaannya. Stereotif

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


34
DAN PROSES KREATIFNYA
bahwa perempuan itu emosional dan lemah karena tidak
mandiri dalam sajak Selasih dan Hamidah justru mengen-
talkan pandangan masyarakat tentang perempuan Indone-
sia. Akan tetapi, itulah representasi perempuan Indonesia yang
dikemukakan penyair pada zamannya.
Emosi dan suasana batin perempuan yang labil dieks-
presikan oleh Hamidah dan Selasih melalui sajak-sajaknya
menandai stereotif bahwa perempuan itu makhluk yang
emosional dan hidupnya bergantung kepada laki-laki. Pan-
dangan masyarakat terhadap perempuan yang emosional dan
lemah ini menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-
peran yang kurang penting atau subordinat. Kedua perem-
puan penyair ini menciptakan sajak-sajak emosional yang
secara tidak disadari justru telah ‘mengentalkan’ stereotif bahwa
perempuan itu makhluk yang lemah dan hidup serta keba-
hagiaannya bergantung kepada laki-laki.
Stereotif adalah pelabelan negatif terhadap perempuan.
Sosok perempuan yang ditampilkan dalam sajak-sajak karya
Selasih dan Hamidah telah memberi kesan khusus atas sifat-
sifat yang harus disandang oleh perempuan. Tentu saja ste-
reotif inilah yang kemudian dianggap sebagai awal munculnya
ketidakadilan terhadap perempuan-perempuan pada generasi
berikutnya. Masalah cinta dan pengabdian seorang istri ke-
pada suami atau cinta setia seorang perempuan kepada laki-
laki yang ditulis Selasih dan Hamidah membuktikan puisi-
puisi pada zaman itu romantik idealis.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 35


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
36
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 4
PEREMPUAN PENYAIR
TAHUN 1942-1945

Berakhirnya masa kolonialisme Belanda di Indonesia dilan-


jutkan dengan sistem kolonial Jepang pada tahun 1942-1945.
Semangat nasionalisme tetap dipertahankan oleh rakyat In-
donesia pada masa pendudukan Jepang, meskipun semua
organisasi perempuan yang telah ada dibubarkan. Hanya ada
satu organisasi perempuan, yaitu Fuyinkai di bawah penga_-
wasan yang berkuasa waktu itu dan harus menurut garis yang
diberikan oleh pemerintah Jepang. Untuk meningkatkan
partisipasi perempuan Indonesia dalam Perang Asia Timur
Raya, Jepang membentuk ‘Barisan Srikandi’, sebagai bagian
dari Fujinkai, yang anggotanya perempuan berusia 15-20
tahun dan belum bersuami (Nugroho, 2008:94; Soewondo,
1984:204). Tugas mereka adalah mengunjungi tentara yang
sakit, pemberantasan buta huruf, mengurus dapur umum,
menanam, membersihkan taman, dan lain sebagainya.
Datangnya Jepang ke Indonesia pada masa itu berpenga-
ruh dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbagai
bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan para penga-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 37


rang. Jepang mengajukan berbagai persyaratan bagi para
pengarang Indonesia. Oleh sebab itu, hanya beberapa penyair
yang karyanya lolos dari sensor Jepang, di antaranya sajak-
sajak Maria Amin. Pada masa pendudukan Jepang ini, majalah
Poedjangga Baroe dilarang terbit karena dianggap ‘kebarat-
baratan’ (Rosidi, 1991:33).
Situasi perang dan penderitaan lahir-batin dijajah Jepang
telah mematangkan jiwa bangsa Indonesia. Penggunaan
Bahasa Indonesia mengalami pematangan dan genre sastra
yang ditulis pada masa ini adalah puisi, cerpen, dan sandi-
wara. Menurut Rosidi (1991:73), hal ini disebabkan oleh situasi
dan kondisi sosial serta keadaan perang yang menuntut
supaya orang bekerja cepat dan singkat. Dengan makin
intensifnya Bahasa Indonesia dipergunakan oleh seluruh
rakyat Indonesia, sastra Indonesia pun mengalami perkem-
bangan lebih intensif. Para pengarang dan seniman lainnya
dikumpulkan oleh Jepang di kantor Pusat Kebudayaan yang
dinamakan Keimin Bunka Shidosho (Rosidi, 1991:72). Mereka
diarahkan untuk membuat lagu, lukisan, slogan, sajak, sandi-
wara, bahkan film sesuai pesanan untuk menambah keper-
cayaan rakyat Indonesia terhadap tentara Dai Nippon. Tema
yang ditulis oleh para pengarang/penyair Indonesia bukanlah
hal yang pelik dan rumit, melainkan kenyataan sehari-hari
yang tampak dan langsung dirasakan oleh rakyat Indonesia.

4.1 Nursyamsu

Perempuan Indonesia yang tercatat sebagai pengarang/


penyair pada masa pendudukan Jepang diantaranya Nur-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


38
DAN PROSES KREATIFNYA
sjamsu (H.B. Jassin, 1969:183; Rosidi, 1991:78). Nursjamsu
Nasution dilahirkan pada tanggal 6 Oktober 1921 di Lintau,
Sumatra Barat. Pendidikan Nursjamsu adalah HIS, Mulo,
kemudian PAMS. Ia menulis pusi pada zaman Jepang dan
dikenal sebagai pengarang buku cerita anak-anak dan remaja.
Nursjamsu menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta
1973 dan mempunyai pengalaman mengajar di Sekolah Rakyat
(Heraty, 1979:227).
Tiga sajak dan tiga cerita pendek Nursjamsu dimuat dalam
buku Kesusastraan Indonesia di Masa Djepang (H.B. Jassin, 1969).
Satu cerita pendeknya berjudul “Terawang” dimuat dalam
buku Gema Tanah Air Prosa dan Puisi 1 (H.B. Jassin, 1969). Sajak-
sajak Nursjamsu juga dimuat dalam Seserpih Pinang Sepucuk
Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979), Tonggak 1 (ed. Linus Suryadi,
1987), dan Antologi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun
Rampan, 1997). Meskipun sajak-sajak Nursjamsu ditulis pada
masa Jepang, kumpulan puisinya diterbitkan PT. Harapan
pada tahun 1980 berjudul Bunyi Genta dari Jauh. Berikut ini
sajak Nursjamsu (1987:291) berjudul “Tinggi Hati” dan “Sunyi
I”.

TINGGI HATI
Aku berdiri di luar dalam hujan menitik
Dia duduk di dalam, rindu memandang ke luar
Aku tahu ia sunyi
Dia tahu aku sepi
Aku tahu dia menunggu aku mengetuk pintu
Meminta masuk
Dia tahu aku menunggu dia membuka pintu
Memanggil masuk
Dalam remukan sunyi

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 39


Kami berdua menanti
O, jiwa sombong enggan mengalah
Hancurlah kedua dalam perjuangan pentang menyerah

SUNYI I
Engkau suka akan sunyi?
Ah, niscaya belum pernah kau mengalami
Sunyi sempit mengurung
Sepi berat mengimpit
Dan belum pernah kau merasa
Nafsu merobek menguakkan tabir
Hendak lari melepaskan diri
Tapi sia-sia perbuatanmu semua
Karena berlapis-lapis tabir mengepung
Lingkaran hitam tiada bertembus
Aku benci akan sunyi!

Sajak ‘Tinggi Hati’ secara implisit mengungkapkan ke-


inginan seorang perempuan untuk dapat berjumpa dengan
seseorang. Akan tetapi, keinginan itu tidak terwujud karena
rasa sombong diantara keduanya. Sajak ini dari segi bentuk
lebih ringkas dan padat dibandingkan sajak-sajak yang ditulis
penyair sebelumnya. Bahasanya pun tidak banyak mengguna-
kan kiasan atau majas yang berlebihan memuja cinta. Masalah
yang diangkat ke permukaan pun sederhana saja yaitu cinta,
kesombongan, dan harga diri. Akan tetapi, sajak ini ditulis
oleh penyair Indonesia yang sedang dijajah dan mengalami
penderitaan lahir batin akibat perlakuan Jepang terhadap
rakyat Indonesia sehingga sajak ini secara implisit meng-
harapkan tidak ada kesombongan karena akan mengakibat-
kan hancurnya sebuah perjuangan, seperti tampak pada dua
baris inti sajak berikut, ‘O, jiwa sombong enggan mengalah/
Hancurlah kedua dalam perjuangan pentang menyerah.’ Baris

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


40
DAN PROSES KREATIFNYA
inilah yang merupakan pesan penyair untuk menggugah
semangat juang rakyat Indonesia. Meskipun hanya dimun-
culkan pada baris terakhir, namun inilah baris inti sajak yang
sengaja ditulis dalam situasi penjajahan Jepang.
Pada zaman Jepang ini, penyair tidak memiliki kebebasan
menciptakan puisi. Mereka sudah diarahkan agar menulis hal-
hal sederhana yang dialami dalam kehidupan sehari-hari saja.
Tulisan mereka diarahkan agar pembaca (rakyat Indonesia)
mempercayai niat baik tentara Jepang. Akan tetapi, penyair
adalah bagian dari rakyat Indonesia yang memiliki semangat
nasionalisme untuk kemerdekaan bangsanya sehingga simbol
ajakan untuk semangat berjuang ditampilkan secara implisit.
Sajak ‘Sunyi’ merupakan simbol keterikatan perempuan
pada masa itu, sebagaimana dikemukakan dalam baris, ‘sunyi
sempit mengurung/ sepi berat mengimpit’. Perempuan tidak
bisa melepaskan diri dari kondisi itu, /nafsu merobek meng-
uakkan tabir/ hendak lari melepaskan diri/ tapi sia-sia per-
buatanmu semua’. Usaha perempuan untuk lepas dari kondisi
yang membelenggunya tampak sia-sia, ‘karena berlapis-la-
pis tabir mengepung/ lingkaran hitam tiada bertembus’. Sajak
ini pun mengangkat masalah biasa yaitu rasa sunyi yang
dialami oleh seorang perempuan tetapi dibalik kata-kata
sederhana terdapat pesan yang disampaikan penyair pada
bagian akhir saja ini yang perlu ditafsirkan oleh pembaca
sebagai bentuk ajakan melawan kolonialisme. Perempuan
benci pada sunyi dapat dimaknai sebagai perlawanan pada
situasi yang tidak menyenangkan dan tidak diinginkan.
Hanya sayang sekali, perempuan adalah makhluk yang

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 41


dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang besar dan
tidak memiliki keberanian serta tidak memiliki kekuatan fisik
dan mental sehingga ‘jeritan’ perempuan itu dianggap hanya
angin lalu. Stereotif bahwa perempuan itu lemah dan kurang
akal memang sudah sejak lama ada sehingga inilah yang meng-
hambat kemajuan bagi perempuan Indonesia.
Itulah fenomena kehidupan kaum perempuan pada masa
pendudukan Jepang yang dipresentasikan oleh Nursjamsu
melalui sajak ‘Sunyi’. Yang tampak ke permukaan adalah
gambaran sunyi yang diderita seorang perempuan, tetapi
secara implisit menyampaikan pesan bahwa kaum perempuan
itu siap ikut berjuang melawan penjajah. Hanya saja, lingkung-
an seolah tidak memberi kesempatan dan kepercayaan untuk
ikut turun ke medan perang. Perempuan tidak dipercaya dan
dipinggirkan serta dianggap tidak mampu angkat senjata.
Nursjamsu (1997:10) juga menulis sajak berjudul ‘Umur’
yang terdiri atas satu bait berikut ini.

UMUR
Tiap fajar menyambutku pagi
Bertambah umurku sehari
Tiap senja lari dari bumi
Berakhirlah umurku hari ini?

Sajak ‘Umur’ yang ditulis Nursjamsu menyadarkan pem-


baca tentang umur manusia. Sebagai penyair, ia mengajak
untuk berkontemplasi tentang awal dan akhir kehidupan
manusia, sebagaimana tampak dalam baris, ‘tiap senja lari
dari bumi/ berakhirlah umurku hari ini?’. Sajak singkat ini
sederhana bentuk dan pesannya karena berkaitan dengan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


42
DAN PROSES KREATIFNYA
umur manusia yang hidup di dunia. Akan tetapi, sajak ini
ditulis pada masa penjajahan Jepang yang saat itu kaum laki-
laki dipaksa bekerja rodi dan kaum perempuan dijadikan
yugan ianfu sehingga sajak ini juga dapat diinterpretasikan
sebagai bentuk rasa takut kaum perempuan Indonesia pada
masa itu. Jiwa mereka merasa terancam karena posisinya
sebagai perempuan pribumi yang terjajah dan banyak terjadi
pelecehan, perkosaan, dan pembunuhan sehingga setiap hari
muncul pertanyaan, ‘berakhirkah umurku hari ini?’.
Sajak yang singkat ini tampak berbeda dengan sajak lain
yang ditulis Nursjamsu. Sajak ini tidak mengangkat masalah
cinta atau rasa sunyi seorang perempuan tetapi masalah hidup
manusia. Usia yang menjadi rahasia hidup dan hanya Tuhan
yang tahu. Masalah sederhana ini mengajak pembaca untuk
merenung sebentar saja tentang waktu yang dimiliki manusia
hidup di dunia.
Sajak-sajak Nursjamsu juga dianggap mengharukan
karena kejujurannya. Akan tetapi, justru kejujuran itulah yang
membuat sajaknya menjadi indah, seperti pernyataan H.B.
Jassin berikut.
Sajak-sajak Nursjamsu bersifat keseorangan, mengharu-
kan karena kedjudjurannya jang putih bersih. Dan di sinilah
kedjudjuran menjadi keindahan, kejujuran mengakui
kelemahan diri sendiri, malahan hasrat perempuan jang
sedalam-dalamnja dengan kebesaran hati dan jiwa tiada
segan-segan ia menjanjikan dengan lagu jang seseni-
seninja, dengan tiada mengingatkan adalah orang jang
mendengarkannja dan tiada peduli apakah orang akan
menertawakannja. Di sinilah dengan sendirinja keindahan,
keindahan perasaan, dan keindahan pikiran, jang meng-
alir dengan sendirinja indah pula. Kelemahan dan keke-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 43


rasan bersatu padu dalam hati keperempuanan, berajun2
di antara ia dan tidak, pada suatu saat tiba2 bertindak
jang mentjengangkan orang jang tidak mengerti hati
perempuan (H.B. Jassin, 1969:20)
Ini Nursjamsu dengan individu. Tapi diapun guru jang
mengadjar dan menambah pengetahuan masjarakat. Dan
mau bekerdja sebagai perempuan untuk masjarakat.
Sebagai perempuan dia tidak mau ketinggalan dalam
segala usaha untuk memadjukan bangsa (H.B. Jassin,
1969:21).

Dua pernyataan H.B. Jassin di atas menunjukkan bahwa


Nursjamsu adalah perempuan yang aktif dalam berbagai
kegiatan masyarakat. Sebagai guru, Nursjamsu mengabdi
kepada masyarakat dengan menyumbangkan ilmunya demi
kemajuan bangsa. Kejujuran yang diangkat dalam sajak-
sajaknya serta kesadaran tentang umur manusia di dunia
menunjukkan kedewasaan spiritualnya, baik sebagai perem-
puan maupun sebagai penyair.
Sebagai penyair, Nurjamsu mengekspresikan perasaan
dan keinginannya kaum perempuan bebas dari rasa sunyi
yang membelenggunya. Keinginan bebas dari belenggu
menunjukkan kesadarannya sebagai perempuan yang ‘ter-
kungkung’ di masyarakat. Terbelenggu tidak dapat melaku-
kan apa-apa itu dianggap sangat menyiksa batin seorang
perempuan. Sebagai penyair, ia merepresentasikan berbagai
kondisi dan situasi sosial yang dialami kaum perempuan pada
masa itu.
Sebagai perempuan, Nursjamsu memiliki kesadaran
tentang ‘posisi’ kaum perempuan sebagai kaum marginal.
Oleh sebab itu, ia memotret fenomena yang terjadi khususnya

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


44
DAN PROSES KREATIFNYA
kehidupan kaum perempuan Indonesia pada masa penjajahan
Jepang yang menurutnya ‘tidak berdaya’. Kemampuan
perempuan diragukan, keberanian perempuan dipatahkan,
karena stereotif terhadap perempuan sebagai makhluk lemah
itu justru dikuatkan oleh adat dan tradisi patriarkhi.
Sebagai perempuan, Nursyamsu menyadari bahwa usia
seseorang tidak ada yang tahu kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
Kegelisahan kaum perempuan pada masa Jepang disebabkan
oleh perilaku tentara Jepang yang memaksa suami atau anak-
anak mereka kerja paksa membangun sarana prasarana.
Nusyamsu menyadari bahwa kaum perempuan adalah kaum
yang tidak berdaya menghadapi penjajah di negerinya. Pada
saat itu, kaum perempuan pada umumnya tidak berpendi-
dikan dan sudah terbiasa menerima keadaan apa adanya.
Hanya melalui sajak-sajaknya, Nursyamsu berhasil merepre-
sentasikan kehidupan penderitaan perempuan Indonesia
pada masa penjajahan Jepang. Pada masa itu, tidak mudah
karya sastra baik puisi maupun cerpen yang lolos sensor
Jepang untuk dimuat di suatu majalah. Oleh karena itu, tema
yang sederhana tetapi penuh simbolis ditulis Nursyamsu
untuk dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada
pembaca.

4.2 Maria Amin

Maria Amin dilahirkan pada tahun 1921 di Bengkulu,


Sumatra. Ia berpendidikan SMA kemudian bekerja pada
majalah Poejangga Baroe dan bekerja pada bidang pendidikan.
Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Poejangga baroe, Pantja

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 45


Raya, Pembangoenan, dan antologi antara lain: Seserpih Pinang
Sepucuk Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979), Tonggak 1 (ed. Linus
Suryadi, 1987), dan Gema Tanah Air Prosa dan Puisi I (ed. H.B.
Jassin, 1969). Ia mulai menulis puisi dan cerita pendek pada
tahun 1940-an dan kemudian berhenti menulis padahal
beberapa sajaknya lolos sensor Jepang (Rampan, 1997: xiii).
Sajak-sajak Maria Amin (1987:273) berjudul ‘Kapal Udara’
melukiskan simbolisme dan perjuangan pada waktu itu.

KAPAL UDARA
Gegar gentar suara mesin
Raja udara menguasai angkasa
Menderu gemuruh berpusing miring
Bagai burung mengintai mangsa
Raksasa udara melaju jauh
Berbalik pula puluh menyerbu
Terdahulu Saturday puluhan menderu
Mata bersinar
Semangat berkobar
Kapan zamanku menghadapi pula
Raksasa dunia kepunyaan kita?

Sajak ‘Kapal Udara’ ini terdiri atas 3 bait. Maria Amin


menggambarkan situasi Indonesia pada saat itu, yaitu
serangan kapal udara pada saat pendudukan Jepang, seperti
diekspresikan dalam baris sajak, ‘gegar gentar suara mesin/
raja udara menguasai angkasa/ menderu gemuruh berpusing
miring/ bagai burung mengintai mangsa’. Sebagai perempuan
pribumi yang terjajah, Maria Amin mengobarkan semangat
perjuangannya, seperti tampak dalam baris sajak, ‘mata
bersinar/ semangat berkobar/ kapan zamanku menghadapi

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


46
DAN PROSES KREATIFNYA
pula/ raksasa dunia kepunyaan kita’. Tampak semangat
penyair yang menginginkan negaranya memiliki pasukan
udara yang hebat sebagaimana pasukan udara Jepang mem-
pertontonkannya dihadapan rakyat Indonesia.
Maria Amin, tidak hanya menulis puisi tetapi juga menulis
cerita pendek. Karangannya bersifat simbolik (H.B. Jassin,
1969:31). Beberapa sajaknya lolos sensor Jepang karena meng-
gunakan simbol. Maria Amin menggunakan sindiran-sindiran
yang diselipkan dengan halus dalam karya-karyanya, baik
dalam puisi maupun cerita pendek, meskipun kadang-kadang
sindirannya jauh dari apa yang dimaksudkannya. Menurut
H.B. Jassin, Maria Amin merupakan pengarang simbolik ‘yang
halus dan indah’, seperti tampak pada kutipan berikut.
Simbolik jang halus dan indah terdapat pada beberapa
karangan Maria Amin, jang beberapa diantaranja bisa lolos
dari sensur Djepang dan dimuat dalam Pandji Pustaka.
Sindiran2 diselipkannja dengan halus dalam perbandingan
simbolik, jang kadang2 djauh dari pendjelmaan hidup
dalam masjarakat jang disindirnja. Dalam ‘akwarium’,
misalnja dia melihat penghidupan pelbagai ragam ikan,
dalamnja dia melihat persamaan dengan masjarakat In-
donesia, jang ketjil dan lemah djadi mangsa jang besar
dan ganas (H.B. Jassin, 1969:19).

Pada masa pendudukan Jepang, semua karya sastra yang


akan dimuat di majalah atau koran harus lolos sensor terlebih
dahulu. Meskipun sajak-sajak Maria Amin lolos sensor Jepang
dan dimuat di majalah Pandji Pustaka, namun cerita pendeknya
tidak lolos bahkan namanya termasuk dalam daftar orang-
orang yang dicurigai.
Karya Maria Amin berjudul ‘T indjaulah Dunia Sana’,
‘Dengar Keluhan Pohon Mangga’ dan ‘Penuh Rahasia’

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 47


adalah beberapa karangannja jang tidak lolos sensur
Djepang dan menjadikan dia masuk lis hitam orang2
ditjurigai (H.B. Jassin, 1969:19).

Karya Maria Amin yang tidak lolos sensor Jepang adalah


cerita pendek berjudul “Tindjaulah Dunia Sana”, “Dengarlah
Keluhan Pohon Mangga”, dan “Penuh Rahasia”. Ketiga cerpen
tersebut tidak lolos sensor Jepang dan Maria Amin termasuk
daftar orang-orang yang dicurigai. Akan tetapi, ketiga cerita
pendek tersebut dimuat dalam buku Kesusastraan Indonesia di
Masa Djepang (H.B. Jassin, 1969:134-138). Maria Amin, nama-
nya dimasukkan ke dalam daftar hitam sebagai orang-orang
yang dicurigai pemerintah Jepang karena tulisan-tulisannya.
Meskipun tiga cerpennya tidak dapat dimuat di majalah pada
masa itu, namun ia tidak putus asa untuk tetap berkarya dan
mengobarkan semangat perjuangan bagi rakyatnya melalui
puisi.
Nursjamsu dan Maria Amin sebagai perempuan penyair
pada masa itu berusaha menciptakan sajak-sajak yang
mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Kaum perempuan
menginginkan kebebasan dan juga ingin berjuang melawan
penjajah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Mereka
tidak ingin terbelenggu oleh apapun yang menghalanginya.
Akan tetapi, Jepang membatasi gerak gerik penyair kala itu
sehingga Nurjamsu dan Maria Amin menulis sajak dengan
tema sederhana tetapi penuh dengan simbol perjuangan.
Tema dalam sajak-sajak Nursjamsu dan Maria Amin pada
masa pendudukan Jepang adalah perjuangan, romantisme,
simbolisme dan religius. Sajak-sajak Nursjamsu awalnya
merupakan sajak-sajak individual tetapi seiring dengan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


48
DAN PROSES KREATIFNYA
bertambahnya usia penyair, sajak-sajaknya bertema religius.
Perempuan penyair sebagai anggota masyarakat pada saat
itu (pendudukan Jepang) berada dalam situasi sosial dan
politik yang ‘mencekam’. Bagaimana tidak, laki-laki dewasa
oleh tentara Jepang dipaksa untuk bekerja. Perempuan muda
ditawari bekerja dan dijadikan ‘pemuas nafsu tentara Jepang’.
Hal ini membuat kaum perempuan, baik sebagai ibu maupun
istri merasa takut kehilangan anggota keluarganya. Sedang-
kan, Maria Amin dikenal sebagai perempuan penyair yang
simbolik, halus, dan indah.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 49


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
50
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 5
PEREMPUAN PENYAIR
TAHUN 1945-1965

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17


Agustus 1945, organisasi Fujinkai dibubarkan (Soewondo,
1984:205). Kekalahan Jepang oleh Sekutu memberi kesem-
patan Bangsa Indonesia untuk menyatakan diri sebagai negara
yang berdaulat melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945. Kemerdekaan itu memberikan kesempatan lebih luas
bagi kaum perempuan untuk lebih berkiprah dan maju
membela negara sekaligus mengisi kemerdekaan secara nyata.
Meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerde-
kaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, namun aksi militer
Belanda yang pertama terjadi tanggal 21 Juli 1947 dan aksi
militer Belanda yang kedua terjadi tanggal 18 Desember 1948.
Baru kemudian berlangsung penyerahan kedaulatan kepada
bangsa Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949 (H.B. Jassin,
1969:14). Pada saat Belanda ingin kembali ke Indonesia dengan
membonceng sekutu itulah kaum perempuan Indonesia ikut
bertempur mempertahankan kemerdekaannya. Artinya, revo-
lusi bangsa Indonesia melawan Jepang, Sekutu, dan Belanda

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 51


berlangsung dari bulan Agustus 1945 sampai bulan Desember
1949.
Perempuan Indonesia tidak mau ketinggalan, Kongres
Wanita Indonesia (Kowani) mulai aktif melakukan kegiatan
membangun masyarakat di segala bidang sosial, ekonomi,
politik serta melanjutkan hubungan dengan organisasi wanita
internasional serta lembaga lainnya (Nugroho, 2008:96). Di
samping menentukan urgensi program dalam bidang sosial,
pendidikan, dan ekonomi, Kowani berkehendak untuk bekerja
dalam bidang pembangunan dengan mendirikan badan-
badan keahlian sosial, soal buruh, pendidikan, kesehatan,
politik, ekonomi, hukum Islam (adat), kebudayaan, dan
perhubungan luar negeri (Soewondo, 1984:206).
Organisasi-organisasi perempuan umumnya bertujuan
membantu perjuangan. Mereka ikut berjuang di medan pepe-
rangan, membantu Palang Merah Indonesia, mengurus dapur
umum, mengirimkan makanan ke medan peperangan, mem-
beri bantuan kepada para pengungsi, dan sebagainya. Organi-
sasi yang terkenal pada masa itu adalah ‘Perwani” (Persatuan
Wanita Negara Indonesia) dan ‘Wani’ (Wanita Negara Indo-
nesia) (Soewondo, 1984:206). Adanya organisasi perempuan
yang bertujuan membantu perjuangan itu memberikan
pengalaman yang berharga bagi kehidupan perempuan In-
donesia pada umumnya.
Penderitaan dan pengalaman penyair sebagai rakyat In-
donesia pada masa pendudukan Jepang dan masa revolusi
membuat mereka melihat segala sesuatu lebih realistis dengan
ancaman sinisme dan skeptisisme, tidak dilihat dengan kaca

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


52
DAN PROSES KREATIFNYA
mata romatis seperti pada tahun-tahun sebelumnya (H.B.
Jassin, 1969:7). Chairil Anwar muncul sebagai penyair yang
membawa pembaharuan. Sajak-sajak Chairil menggunakan
Bahasa Indonesia yang hidup dan berjiwa, maksudnya bahasa
percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Demi-
kian pula dalam bidang prosa, Idrus dianggap memper-
kenalkan gaya kepengarangan yang baru (Rosidi, 1991:84).
Oleh sebab itu, Rosihan Anwar menyebutnya Angkatan ’45,
ada juga yang menyebutnya sebagai angkatan sesudah perang.
Hal ini diperkuat dengan tulisan H.B. Jassin berupa esai (1954)
yang mengatakan bahwa angkatan ini memiliki perbedaan
gaya dan pandangan dengan penyair sebelumnya. Oleh sebab
itu, pada bab ini dibahas perempuan penyair setelah Indone-
sia memproklamasikan kemerdekaannya tahun 1945 sampai
tahun 1965.

5.1 Sabarjati

Penyair Sabarjati tidak diketahui tanggal kelahirannya


tetapi antara tahun 1946-1948. Ia merupakan perempuan pa-
ling produktif dan menonjol dalam menulis puisi (Rampan,
1997:xiv). Sajak-sajak Sabarjati yang bertema perjuangan
dimuat dalam Gelanggang Pemuda dan harian Penghela Rakyat.
Sajak-sajak lainnya dimuat di Revolusioner, Revolusi Pemuda,
dan Api Pelajar. Sajak-sajak Sabarjati tersebar di berbagai media
masa tetapi tidak diterbitkan dalam buku sehingga karyanya
tidak terdokumentasikan dengan baik. Satu-satunya sajak
Sabarjati (Heraty, 1979:58) berjudul “Jangan” dimuat dalam
buku antologi Seserpih Pinang Sepucuk Sirih berikut ini.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 53


JANGAN
Jangan…
Jangan aku kauikat
Jangan kautawan secara penjahat
Jangan kaukunci
Dalam bilik berpagar besi
Aku bukan pencuri
Bukan pembunuh bersifat keji
Tapi,
Aku membela tanahku sayang
Untuk kebenaran aku berjuang
Biar kuturut jerit di hati
Biar bergelut di lapang bakti
Biar peluru mengena kepala
Biar bayonet menembus dada
Aku ingin mati secara perwira
Aku ingin gugur sebagai bunga
Tapi…
Jangan ku mati dalam penjara

Sajak berjudul ‘Jangan’ ini terdiri atas 3 bait. Melalui sajak


‘Jangan’, Sabarjati sebagai penyair telah menyuarakan jerit
hati perempuan pada masa itu, seperti tampak dalam baris,
‘jangan aku kauikat/ jangan kautawan secara penjahat/ jangan
kaukunci/ dalam bilik berpagar besi’. Keinginan perempuan
mendapatkan kebebasan untuk ikut berjuang membela tanah
air diekspresikan dalam baris-baris sajak berikut, ‘aku
membela tanahku sayang/ untuk kebenaran aku berjuang’.
Sebagai penyair, Sabarjati merepresentasikan keberanian
kaum perempuan pada masa itu melalui baris-baris sajak, “Aku
membela tanahku sayang/ Untuk kebenaran aku berjuang/
Biar kuturut/ jerit di hati/ Biar bergelut di lapang bakti/
Biar peluru mengena kepala/ Biar bayonet menembus dada.”

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


54
DAN PROSES KREATIFNYA
Kata-kata dalam sajak ini ekspresif dan langsung. Bahkan
niat mulia untuk kemerdekaan tanah airnya tampak dalam
penutup sajak ini, “Aku ingin mati secara perwira/ Aku ingin
gugur sebagai bunga/ Tapi…/ Jangan ku mati dalam penjara.”
Sebagai perempuan, Sabarjati menyadari dan menunjuk-
kan keinginan kaum perempuan Indonesia pada masa itu untuk
ikut membela tanah air dan berjuang meraih kebebasan
bangsanya. Keberanian kaum perempuan pada masa itu sudah
memuncak. Akan tetapi, situasi dan kondisi masyarakat pada
masa itu menempatkan perempuan pada posisi yang ‘aman’,
yaitu di rumah. Perempuan sudah mulai menunjukkan
keberanian tekad yang bulat untuk berjuang membela tanah
airnya tetapi perempuan belum atau kurang diberi keper-
cayaan untuk turun langsung ke medan peperangan.
Hal ini menandai fenomena di masyarakat bahwa perem-
puan Indonesia pada masa itu dibatasi ruang geraknya
padahal mereka memiliki semangat yang tinggi untuk
berjuang membela tanah airnya dan beraktivitas di luar
rumah. Stereotif bahwa perempuan itu makhluk lemah rupa-
nya masih begitu kuat tertanam dalam benak masyarakat
sehingga perempuan dianggap tidak pantas atau tidak perlu
terlibat dalam peperangan yang membutuhkan kekuatan fisik
dan mental.
Sabarjati menunjukkan tekad dan kesadaran kaum
perempuan dalam sajak-sajaknya. Hal ini mengekspresikan
kesadaran Sabarjati pentingnya kesetaraan perempuan dengan
laki-laki. Perempuan tidak semuanya lemah dan tidak ber-
daya. Akan tetapi ada sebagian kaum perempuan yang

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 55


memiliki keberanian yang sama dengan laki-laki sehingga
sudah saatnya perempuan diberi kepercayaan. Implisit tampak
bahwa perempuan tidak hanya mampu menguasai wilayah
domestik tetapi juga siap berperan di berbagai aktivitas wila-
yah publik.

5.2 S. Rukiah

S. Rukiah dilahirkan pada tanggal 25 April 1925 di Pur-


wakarta, Jawa Barat. Ia menjadi guru putri di Purwakarta,
kemudian menjadi sekretaris Pujangga Baru. Ia belajar Bahasa
Belanda secara otodidak. Karya S. Rukiah berupa buku kum-
pulan puisi dan cerpen berjudul Tandus dan dua novelnya
berjudul Kejatuhan dan Hati dan Istri Prajurit. Selain dalam
Tandus, sajak-sajak S. Rukiah (Heraty, 1979:150) dimuat dalam
antologi Seserpih Pinang Sepucuk Sirih. Salah satu sajaknya
berjudul “Tak Sanggup” berikut ini.

TAK SANGGUP
Kau menangis hati kecilku?
Ah
Tidak dengan ratapanmu
Tidak juga dengan keluhanmu
Sia-sia
Kaucucurkan air mata
Ingin kebebasan?
Pun juga keadilan?
Mari, mari tinggalkan tempat ini
Tiada lagi waktu lebih
Untuk mengeluh dan bersedih
Tak sanggup katamu?
Karena gentar nyelam derita?

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


56
DAN PROSES KREATIFNYA
Hatiku
Selama dunia masih bernoda
Takkan leluasa
Manusia ngejar kebebasan dan keadilan!

Sajak berjudul ‘Tak Sanggup” ini terdiri atas 5 bait. Sajak


ini menawarkan kesadaran seseorang untuk bersemangat
demi meraih keadilan dan kebebasan. Kondisi masyarakat
Indonesia pada masa itu baru saja memproklamirkan kemer-
dekaannya, tetapi kebebasan dan keadilan belum dirasakan
oleh seluruh masyarakat, sebagaimana tampak dalam baris
sajak, ‘ingin kebebasan?/ pun juga keadilan’. Kalau ingin
kebebasan dan keadilan, kita harus berjuang karena tidak
cukup dengan ‘mencucurkan air mata’. S. Rukiah merepre-
sentasikan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa itu se-
bagai bentuk ekspresi penyair.
Sebagai penyair, S. Rukiah mengekspresikan perasaan
dan pikiran kaum perempuan untuk meraih kebebasan
negerinya. S. Rukiah merupakan perempuan pertama yang
menerbitkan buku kumpulan puisi dan cerpen berjudul Tandus
pada tahun 1950 oleh penerbit Balai Pustaka. Kumpulan puisi
Tandus ini terdiri atas lima puluh lima sajak dan telah
mengalami tiga kali cetak, yaitu tahun 1950, 1958, dan tahun
1964. S. Rukiah mendapat hadiah Sastra BKMN pada tahun
1952, sebagaimana ditulis S. Tjakl berikut.
S. Rukiah, penulis perempuan jang mempunjai peranan
baik dalam dunia kesusasteraan Indonesia. Ingin kami
mengingatkannja dengan membitjarakan bukunja jang
merupakan satu-satunja novelta jang timbul sesudah
perang jang ditulis oleh penulis perempuan. Sampai
sekarang ini sebetulnja belum banjak perempuan jang

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 57


berketjimpung dalam kesusasteraan jang berarti. Baik
dalam waktu sebelum perang maupun sesudahnja (S.
Tjakl, 1961).
S. Rukiah telah banjak sumbangannja dalam sastra. Tandus
jang diterbitkan Balai Pustaka di tahun 1950 adalah meru-
pakan kumpulan tjerpen dan sadjak-sadjaknya. Kita ma-
klumi djuga bahwa tidak semua karja penulis ini bagus.
Tapi terkenalnja penulis tidak dari kelemahan jang
dimilikinja, melainkan dari keistimewaannja atau dari
keanehannja. Dalam hal ini kita tak pula akan menjem-
bunjikan kelemahan-kelemahannja, terutama jang ter-
dapat dalam sadjaknya (S.Tjakl, 1961).

Meskipun sajak-sajak S. Rukiah dalam kumpulan Tandus


dianggap memiliki banyak kelemahan, masyarakat memberi
penghargaan kepada S. Rukiah sebagai perempuan yang me-
nerbitkan buku kumpulan puisi untuk pertama kalinya
sesudah perang. Usaha-usaha S. Rukiah untuk menulis,
mengumpulkan, dan menerbitkan buku kumpulan puisi meru-
pakan bentuk kepeduliannya sebagai perempuan penyair. S.
Rukiah sudah menyadari bahwa mendokumentasikan puisi-
puisinya ke dalam satu buku dapat memberi kontribusi yang
bermanfaat bagi pembaca. Sebagai sekretaris redaksi majalah
Poejangga Baroe, S. Rukiah memiliki keterampilan menulis yang
masih jarang dimiliki oleh perempuan pada masa itu. Ia me-
nulis puisi dan cerpen yang kemudian berhasil diterbitkan.
Sebagai penyair, S Rukiyah mengangkat tema perjuangan,
seperti tampak dalam sajak ‘Pahlawan’ yang diekspresikan
dalam baris sajak, ‘di depan sekali kau berdiri/ menentang
maut/ pedang terhunus menikam api/ tiada gentar sehembus
nafas/ walau musuh/ seribu kali tertawa’. Sajak ini meng-
gambarkan rasa kagum seseorang terhadap keberanian

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


58
DAN PROSES KREATIFNYA
pahlawannya. S. Rukiah lebih berani dan terbuka meng-
ekspresikan kesadaran dan semangat nasionalismenya
meskipun sajaknya banyak dinilai masih terpengaruh sajak
Chairil Anwar.
Sebagai perempuan, S. Rukiyah memiliki kesadaran
bahwa pada masa itu, perempuan Indonesia ingin merdeka
seutuhnya. Kemiskinan, kebodohan, dan kegelisahan sudah
dirasakan oleh kaum perempuan selama dijajah, baik oleh
Belanda maupun oleh Jepang. Oleh karena itu, ketika Indo-
nesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, S. Rukiyah
dan kaum perempuan pada umumnya tetap semangat untuk
mempertahankan negaranya dari penjajahan.

5.3 Walujati

Walujati (Louise Walujati Hatmoharsoio) dilahirkan pada


tanggal 5 Desember 1924 di Sukabumi, Jawa Barat. Pendidikan
Walujati adalah E.L.S. –Christelijke Mulo Sukabumi – H.B.S.
Bogor. Di masa Jepang, Walujati bekerja sebagai guru sekolah
rakyat. Sesudah proklamasi kemerdekaan, ia bekerja di
lapangan sosial (H.B. Jassin, 1969:214). Walujati menulis ro-
man berjudul Pujani (1951). Karya-karya Walujati dimuat di
Mimbar Indonesia, buku Gema Tanah Air Prosa dan Puisi I (1969)
dan antologi Tonggak 1 (Suryadi, 1987). Sajaknya berjudul
‘Berpisah’ mendapat pujian dari Chairil Anwar sebagai sajak
romantik yang ‘menjadi’.
Walujati mulai menulis sajak pada masa-masa pertama
revolusi. Sajaknya berjudul “Berpisah” mendapat pujian dari
Chairil Anwar sebagai sajak romantik yang ‘menjadi’. Sejak

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 59


itu ia banyak menulis sajak (Rosidi, 1991: 114).
Walujati mulai menulis sajak pada masa-masa revolusi.
Sajak-sajak Walujati dianggap lebih maju dari pada sajak-sajak
karya penyair seangkatannya khususnya dilihat dari tema
dan bentuk (Rampan, 1997:xiii). Sajak Walujati berjudul
“Nanti, Nantikanlah” dan ‘Juita’ dimuat dalam antologi
Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (Heraty, 1979:128, 176) berikut
ini.

NANTI, NANTIKANLAH
Rumput kering kemuning
Terhampar luas
Gemetar tambah hawa panas
Atas padang sunji
Ah, rumput, akarmu djangan turut mengering;
Djangan mati kaku ditanah terbaring
Nanti, nantikanlah
Dengan sabar dan tabah
Sampai hudjan turun membasahi bumi.

JUITA
Kepercayaanku padamu, Juita, sebagai pinggan
Perak, indah berukiran bunga berserak …
Hatiku yang jatuh, tiada berkuasa, karena dirimu
Juita, sebagai mawar putih sekuntum mewangi harum
Terletak di pinggan perak…
Dan Kasih mesraku padamu, Juita, sebagai selubung
Tipis, merah menyala, penutup mawarku, Permata…!
Tertawa engkau dan bungaku pelahan kauangkat
Ke atas bahu…
Jari halus gemulai, berkuku panjang permain, permainkan
Selubung sutera dewangga…
Ah! Alangkah indah jarimu terbayang di bawah merah…!
Dan pinggan perakku diam terletak di ribaanmu.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


60
DAN PROSES KREATIFNYA
Tetapi…
Kiranya banyak pula yang datang menghampirimu,
Permata…
Terserak puspa aneka warna di sekelilingmu, menanti
Nanti belalainmu, Juita!
Dan tiada kautunduk kepala, seraya menekan bungaku
Ke atas dada,
Tiada kau pergi, menghampiriku ini, lari menjauhi
Bunga banyak, indah terserak…
Ah…sayang, kuntumku kaubuang dan cepat menari
Jarimu mencari puspa menyala merah di timbunan wangi
Mengelilingi badanmu indah…
Jatuh pingganku halus berukir:
Tiada kau insyaf, tiada kaupikir…
Selubungku merah ta’lagi dibelai cintamu merekah…
Kiranya ‘lah rusak dia, dicabik-cabik jarimu halus,
Bergerak cantik…
Aduhai Syiwa, Dewa Pengrusak bumi tegak
Kau pun kiranya bertakhta jaya di kuku jari, gemulai
Menari…

Sajak ‘Nanti, Nantikanlah’ hanya terdiri atas 1 bait. Sajak


ini melukiskan sesuatu yang harus ditunggu dengan penuh
kesabaran, seperti rumput kering menanti datangnya hujan.
Sebagai penyair, Walujati menggunakan rumput kering se-
bagai simbol untuk menggambarkan kehidupan perempuan
pada masa itu. Semangat untuk tetap hidup penuh optimis
diekspresikan Walujati dalam baris sajak, ‘rumput, akarmu
jangan turut mengering/ jangan mati kaku di tanah terbaring’.
Hanya kesabaran dan ketabahan yang bisa dilakukan oleh
kaum perempuan pada saat itu, sebagaimana rumput yang
harus sabar menanti turunnya hujan, ‘nanti, nantikanlah/
dengan sabar dan tabah/ sampai hujan turun membasahi
bumi’.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 61


Sajak ‘Juita’ terdiri atas 3 bait. Sajak ini merupakan sajak
lirik yang romantik karena menggambarkan seorang kekasih
yang sangat dipuja tetapi sekaligus melukai hati karena cinta
kekasih tidak hanya untuk dirinya saja. Kehidupan manusia
itu tidak lepas dari masalah cinta. Pada sajak ‘Juita’ keke-
cewaan seseorang kepada kekasihnya tampak pada baris, ‘ah!
Alangkah indah jarimu terbayang di bawah merah!/ dan
pinggan perakku diam terletak di ribaanmu/ tetapi/ kiranya
banyak pula yang datang menghampirimu, permata/ terserak
puspa aneka warna di sekelilingmu, menanti-nanti belaianmu,
Juita!’. /Ah…sayang, kuntumku kaubuang dan cepat menari/
Jarimu mencari puspa menyala merah di timbunan wangi/
Mengelilingi badanmu indah…/ Jatuh pingganku halus berukir:/
Tiada kau insyaf, tiada kaupikir…/ Selubungku merah ta’lagi
dibelai cintamu merekah…/ Kiranya ‘lah rusak dia, dicabik-
cabik jarimu halus’. Sosok perempuan dalam sajak ini digam-
barkan sebagai perempuan yang tidak hanya memiliki satu
kekasih saja.
Sebagai perempuan, Walujati menampilkan sisi lain dari
kaum perempuan yang memanfaatkan kecantikan untuk
kepentingan negatif. Perempuan dengan berbagai latar
belakang kehidupannya memiliki cara pandang yang berbeda
dalam menghadapi masalah cinta dan kesetiaan terhadap
pasangan. Sebagai penyair, Walujati ‘memotret’ sisi lain dari
kehidupan cinta perempuan pada masa itu; perempuan yang
memiliki keberanian menduakan kekasih dengan laki-laki lain.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pada masa itu, kaum
perempuan sudah melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


62
DAN PROSES KREATIFNYA
dilakukan oleh perempuan Indonesia pada umumnya yaitu
menduakan cintanya untuk laki-laki lain.
Sosok perempuan yang digambarkan dalam sajak ‘Juita’
ini sangat bertentangan dengan sosok perempuan yang di-
gambarkan penyair tahun 1920. Perempuan ini sudah
menunjukkan keberaniannya untuk memberikan pilihan ter-
hadap lelaki yang disukainya. Kesetiaan bukan lagi masalah
utama, tetapi kecocokan pasangan mulai menjadi perhatian
penyair. Rupanya tema sajak Walujati mulai bergeser dan
menjadi catatan penting tentang perubahan pandang perem-
puan terhadap cinta. Cinta pada sajak ini bukan segalanya
bagi kehidupan perempuan, bahkan perempuan dapat mem-
buat patah hati seorang kekasih.

5.4 Siti Nuraini

Siti Nuraini dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1931 di Padang,


Sumatera Barat. Pendidikan Siti Nuraini adalah E.L.S. Padang
Panjang, SMP, SMA, dan Fakultas Hukum Universitas Indo-
nesia di Jakarta. Ia anggota redaksi majalah Gelanggang dan
Siasat Jakarta. Siti Nuraini menikah dengan Asrul Sani. Ia
juga banyak menterjemahkan karya-karya sastra asing ke
dalam Bahasa Indonesia. Sajak-sajak Siti dimuat di Mimbar
Indonesia, Zenith, Gelanggang, dan Siasat dan dimuat dalam
buku antologi antara lain: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed.
Toeti Heraty, 1979:228), Tonggak 2 (ed. Linus Suryadi, 1987),
Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan,
1997), dan Horison Sastra: Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002).
Lima sajak dan satu cerita pendek Siti Nuraini dimuat dalam

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 63


buku Gema Tanah Air Prosa dan Puisi 2 (H.B. Jassin, 1969).
Siti Nuraini, istri Asrul Sani ini aktif menulis puisi tahun
1950-1960-an. Sajak-sajak Siti dimuat di majalah Mimbar Indo-
nesia, tetapi tidak diterbitkan menjadi buku sehingga namanya
tidak begitu dikenal sebagaimana S. Rukiah yang berhasil
menerbitkan kumpulan puisi berjudul Tandus. Sajak “Surat
Kasih” karya Siti Nuraini (Heraty, 1979:92) dimuat dalam an-
tologi Seserpih Pinang Sepucuk Sirih berikut ini.

SURAT KASIH
Cerah berubah mendung, mengungsi permainan warna,
Seruan, gerak dayung; gelegar guruh menjadi hujan.
Pohon naungan, kereta dorong, mencari anak dan rusa
Di atap sekitar Lembang monotoni air kepanjangan.
Pengap dipagut kabut: tadi berumah di pedalaman laut,
Kini dipijak ujung benua, nyaris menjejak bulan,
Keluwesan pemindahan jantung, penggantian cornea
Juga denyutan urat nadi bersesuaian, makin senada,
Bayangan sekekar jangkar; kejauhan bukan jarak
Kebalauan pangkal kendara, kegelisahan langkah
Menyerupai gelagap kita setiap berpisah,
Berapa stasiun bawah tanah, berapa pelabuhan udara,
Penampung saling ucapan yang terasa mutlak,
Keluasan dalam telapak, kelanggengan bila bersama.

Sajak ‘Surat Kasih’ karya Siti Nuraini hanya terdiri atas


dua bait dengan bentuk prosa lirik. Siti Nuraini tidak hanya
menulis puisi tetapi juga menulis cerpen, esai, dan mener-
jemahkan sastra asing. Kemampuan Siti Nuraini dalam bidang
sastra tidak diragukan lagi karena ia juga memiliki pekerjaan
menerjemahkan sastra asing. Dengan keahliannya itu, Siti
Nuraini telah menunjukkan diri sebagai perempuan yang

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


64
DAN PROSES KREATIFNYA
memiliki wawasan yang luas, seperti dinyatakan Rosidi
berikut ini.
St. Nuraini menulis sajak, cerpen, esai dan terutama mener-
jemahkan hasil sastra asing. Ia beberapa lamanya bekerja
sebagai sekretaris redaksi Gelanggang/Siasat. Dalam sajak-
sajaknya terasa sekali keperempuanannya (Rosidi, 1991:
115).

SAJAK BUAT ANAK YANG TAKKAN LAHIR


Rahim yang tak hendak lagi menampung
Dada yang tak hendak lagi menumpah
Anak yang tidak akan lagi bernaung
Bermukim, beralun di buaian tubuhku
Karena darahku dingin, darahku beku
Musim gugur menyambut dua puluh tiga tahun
Kakakmu bermain di jendela terbuka
Tangan alit menampung salju
Merintik masuk, satu-satu
Ibumu tertegun memagang kaca
Itu engkaukah menangis tersedu-sedu?
Dan rambut ia jalin, satu-satu.
Karena darahnya dingin, darahnya beku
Musim gugur menyambut dua puluh tiga tahun
Tubuh bujang, jambangan coklat
Matanya lilin di tari piring
Jari menyusuri putih mukaku
Darah tergenang, jangat daging
Tidak menyambut, di luar angin menempias pintu

Sajak Siti Nuraini berjudul “Sajak Buat Anak yang Takkan


Lahir” terdiri atas 4 bait. Sajak ini menggambarkan kesedihan
hati seorang perempuan karena anaknya telah tiada. Melalui
sajak ini, Siti Nuraini sebagai penyair melukiskan kesedihan
dan penderitaan seorang perempuan karena keguguran atau
anak meninggal, ‘Rahim yang tak hendak lagi menampung/

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 65


Dada yang tak hendak lagi menumpah/ Anak yang tidak
akan lagi bernaung/ Bermukim, beralun di buaian tubuhku/
Karena darahku dingin, darahku beku/ Musim gugur me-
nyambut dua puluh tiga tahun”. Ingatan seorang ibu terhadap
peristiwa keguguran yang menimpanya tidak dapat dilupa-
kan meskipun sudah 23 tahun yang lalu.
Sebagai perempuan, Siti Nuraini dapat merasakan pen-
deritaan dan kesedihan yang diderita oleh kaum perempuan
ketika kehilangan bayi dalam kandungan. Seorang ibu akan
selalu mengingat anak-anaknya meskipun salah satu anaknya
telah tiada. Rasa cinta dan kasih sayang seorang ibu yang
diekspresikan dalam sajak di atas menunjukkan fitrahnya
sebagai manusia yang cenderung mencintai anak-anak. Inilah
salah satu sifat feminim perempuan sebagai makhluk yang
penuh dengan emosi, kelembutan, dan kasih sayang,

5.6 Sri Kusdyantinah

Sri Kusdyantinah (Dian) Bambang Supeno dilahirkan pada


tanggal 27 Juni 1931 di Madiun, Jawa Timur. Pendidikan Sri
dimulai dari Eerste Europesche Lagere School sampai kuliah di
Universitas Nasional bidang Sastra Inggris dan Filsafat. Sri
juga belajar di Sekolah Tinggi Penerjemah. Mulai tahun 1956,
Sri menulis puisi, cerpen, menerjemahkan puisi dan buku
untuk penerbit Pustaka Jaya dan Tira Pustaka. Berikut ini
sajak Sri Kusdyantinah (Heraty, 1979:64, 146) yang berjudul
“Pancaroba’ dan “Lebur dalam Bakti”.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


66
DAN PROSES KREATIFNYA
PANCAROBA
Surutlah engkau yang mesti surut
Di geletar kepudaran fatamorgana
Tinggallah engkau yang mesti tinggal
Di dirimu kebakaran metamorphosa
Pengap-gersang udara peninggalan musim-musim lalu
Menyesak-desak gerah kelahiran membusung tiba
Di gigir barat permukiman senja windu
Gemuruh sangkakala pertandaan akhir musim
Datanglah membadai, mengganas, merusakkan
Merenggut-larutkan unsur-unsur berlawanan
Pagi melewati malam diguncang taufan angkara Sjiwa
Kehidupan melangkahi kematian bagi tunas membelia.
Di tengah timbunan daun-daun gugur, pernah hijau
Menjulang pohon hidup, segar menyempurna
Di kehangatan Kasih yang senantiasa mengganti,
Dalam cahaya Semesta, bersinar abadi.

LEBUR DALAM BAKTI


Adakah manusia yang lebih indah dari dia yang menyinta
Bermandi cahaya, leburkan diri dalam juang dan bhakti?
Pemimpin besar, rakyat kecil, pria dan wanita
Si miskin, si kaya, berusia ranum, maupun remaja:
Juang dan bhakti membebaskan diri,
Dari ruang terbatas segala kemampuan,
Dari jurang pemisah segala perbedaan,
Kekerdilan kurungan dari keakuan.
Cinta tanah air, bhakti Tuhan, kasih umat sesama
Perahan jerih, airmata, darah, maupun nyawa
Daya berbhakti mengsenyawakan diri
Dengan sumber kebebasan kasih Semesta
Mengangkat derita menjadi bahagia
Merobah kesempitan menjadi jaya
Menyumat nurcahya di setiap dada
Mengagung-indahkan nilai manusia

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 67


Sajak “Pancaroba” terdiri atas 4 bait. Sajak ini menggam-
barkan berbagai peristiwa alam yang terjadi dalam kehidupan
manusia di bumi, seperti ditulis dalam baris, ‘pagi melewati
malam diguncang taufan angkara Sjiwa/ kehidupan melang-
kahi kematian bagi tunas membelia’. Akan tetapi, di tengah
manusia mengalami berbagai pancaroba, selalu muncul harap-
an hidup yang abadi, seperti diibaratkan oleh penyair dalam
baris, ‘di tengah timbunan daun-daun gugur, pernah hijau/
menjulang pohon hidup, segar menyempurna/ dalam cahaya
semesta, bersinar abadi’. Baris-baris sajak ini secara implisit
mengangkat semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk
meraih kemerdekaan yang sesungguhnya.
Pada sajak “Lebur dalam Bakti” digambarkan pemimpin
dan rakyat, baik tua maupun muda semua berbaur dalam
tujuan yang sama, yaitu berjuang dan berbakti demi bumi
pertiwi, sebagaimana tampak pada baris-baris sajak berikut,
‘Adakah manusia yang lebih indah dari dia yang menyinta/
Bermandi cahaya, leburkan diri dalam juang dan bhakti?/
Pemimpin besar, rakyat kecil, pria dan wanita/ Si miskin, si
kaya, berusia ranum, maupun remaja: /Juang dan bhakti mem-
bebaskan diri,/ Dari ruang terbatas segala kemampuan,/ Dari
jurang pemisah segala perbedaan,/ Kekerdilan kurungan dari
keakuan’. Tujuannya satu yaitu, ‘Mengangkat derita menjadi
bahagia/ Merobah kesempitan menjadi jaya/ Menyumat
nurcahya di setiap dada/ Mengagung-indahkan nilai manusia’.
Sri Kusdyantinah sebagai perempuan yang hidup pada
masa-masa revolusi ikut merasakan penderitaan rakyat In-
donesia. Meskipun telah merdeka, kehidupan rakyat Indo-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


68
DAN PROSES KREATIFNYA
nesia berada dalam kemiskinan dan mengalami penderitaan.
Oleh sebab itu, ia mengobarkan semangat perjuangan bangsa-
nya melalui puisi. Ia sadar bahwa semangat perjuangan harus
tetap menyala dalam dada setiap rakyat Indonesia untuk dapat
mewujudkan cita-cita seluruh bangsa Indonesia. Kesadaran
untuk berjuang memperoleh kebebasan dan keadilan bagi
bangsa dan Negara menunjukkan bahwa perempuan pada
masa itu sudah tertarik dan memasuki wilayah politik. Kesa-
daran untuk mengisi kemerdekaan dengan pengabdian setiap
masyarakat termasuk perempuan demi kemajuan negeri.
Kesadaran perempuan untuk ikut mengabdi pada ibu pertiwi
telah membangkitkan semangat kaum perempuan untuk ber-
sama berjuang membangun negeri ini dari keterpurukan
menjadi lebih baik.

5.7 Samiati Alisjahbana

Samiati Amahorseja-Alisjahbana, lahir pada tanggal 15


Maret 1930 di Jakarta. Samiati kuliah tiga tahun di Fakultas
Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Samiati juga kuliah
di School of Oriental and African Studies di London University
dan satu tahun kuliah di Cornell University New York State ke-
mudian bekerja di Departemen Luar Negeri dan meninggal
bulan Agustus 1966. Sajak-Sajak Samiati dimuat dalam buku
antologi antara lain: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed. Toeti
Heraty, 1979), Tonggak 2 (ed. Linus Suryadi, 1987), dan
Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun
Rampan, 1997).
Sejumlah sajak Samiati dimuat di majalah Mimbar Indone-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 69


sia, Gelanggang, Pudjangga Baru dan dijadikan contoh di dalam
buku-buku pelajaran siswa SMP/SMA sejak tahun 1950-an
sampai tahun 1970-an. Akan tetapi, sajak-sajak Samiati baru
diterbitkan menjadi antologi pada tahun 1993 berjudul Harapan
dan Sangka. Berikut ini sajak-sajak Samiati (Heraty, 1979:156,
158) berjudul “Hanya Mencoba” dan “Air Tenang”.

HANYA MENCOBA
Tong besar, kosong
Tertegak di bawah pohon rimbun,
Melihat ke dalam….
Tampak muka di cermin air
Sedikit di dasar tong lama berkarat
Pinggir kasar terpegang, dingin kelu.
Tong besi!
Ini tong kosong
Berteriak ke dalam
Suara tiba ke dasar hitam
Dipukul kembali ke hawa luar
Tak nyata, jauh … menghilang.
Sekali lagi…
Batu kecil dijatuhkan ke dalam
Suara nyaring mendengking
Tertumbuk telinga
Ini lain dari lain!
Tong Kosong!

AIR TENANG
Tenang, hanya kerut-kerut kecil
Terapung daun terjatuh
Mengikuti air didorong angin
Hinggap perlahan capung
Atas daun pergi lambat
Nakhoda capung di kapal daun
Tenang pergi, terus lalu …
Seakan jiwa tenang pula

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


70
DAN PROSES KREATIFNYA
Lemah menyerah pada keadaan ini
Tak gerak mengganggu, menerjang kesunyian
Seolah puas, puas dengan ini saja.
Dan semua tetap begini
Hanya dasar lumpur tiada kentara makin mendalam.

Sajak ‘Hanya Mencoba’ terdiri atas 2 bait dan sajak ‘Air


Tenang’ pun terdiri atas 2 bait. Kedua sajak ini merupakan
sajak dengan tema yang sederhana dan berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari. Samiati mengungkapkan peristiwa-
peristiwa yang sederhana dan simbolik, seperti masalah tong
kosong dan air tenang, ‘Tong besar, kosong/ Tertegak di
bawah pohon rimbun/ Melihat ke dalam…./ Tampak muka
di cermin air/ Sedikit di dasar tong lama berkarat/ Pinggir
kasar terpegang, dingin kelu/ Tong besi!’.
Sebagai penyair, Samiati mengangkat tema-tema yang
sederhana tetapi penuh dengan symbol. Sajak ‘Air Tenang’
menggambarkan air yang tenang, ‘Tenang, hanya kerut-kerut
kecil/ Terapung daun terjatuh/ Mengikuti air didorong an-
gina/ Hinggap perlahan capung/ Atas daun pergi lambat/
Nakhoda capung di kapal daun/ Tenang pergi, terus lalu …/
Seakan jiwa tenang pula/ Lemah menyerah pada keadaan
ini/ Tak gerak mengganggu, menerjang kesunyian/ Seolah
puas, puas dengan ini saja/ Dan semua tetap begini’. Baris-
baris sajak itu ditutup dengan baris terakhir yang penuh mak-
na simbolik, ‘Hanya dasar lumpur tiada kentara makin men-
dalam’.
Sebagai perempuan, Samiati memiliki kesadaran untuk
menyampaikan hal-hal yang sederhana tetapi penting dalam
kehidupan manusia. Hidup perlu perjuangan, tidak hanya

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 71


banyak bicara. Jangan puas dengan apa yang sudah diperoleh
tetapi harus terus berupaya agar menjadi lebih baik. Sajak-
sajak Samiati dijadikan materi dalam buku-buku pelajaran
untuk SMP dan SMA pada tahun 1950-1970-an. Hal ini menun-
jukkan bahwa sajak-sajak Samiati mengandung amanat yang
bermanfaat untuk generasi muda.

5.8 Poppy Donggo Hutagalung

Poppy Donggo Hutagalung dilahirkan pada tanggal 10


Oktober 1940 di Jakarta. Pendidikan Poppy adalah Sarjana
Muda lulusan Sekolah Tinggi Publisistik (Biodata Sastrawan).
Ia bekerja sebagai redaksi harian Sinar Harapan. Sajak Poppy
berjudul “Pada Suatu Bulan yang Cerah” dan sajak “Kereta
Tua” mendapat hadiah ketiga dari majalah Sastra pada tahun
1962. Sajak-sajak Poppy diterbitkan dalam buku Hari-Hari yang
Cerah (1970), antologi: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed. Toeti
Heraty, 1979), Tonggak 3 (ed. Linus Suryadi, 1987), Antologi
Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997),
dan Selendang Pelangi (ed. Toeti Heraty, 2006). Poppy juga
menulis cerita anak-anak dan pengasuh ‘Ruang Anak’ dan
‘Ruang Remaja’ pada surat kabar harian Sinar Harapan.
Poppy menikah dengan Ahmad Djafar Donggo (AD.
Donggo) seorang wartawan El Bahar pada tanggal 29 De-
sember 1967 di gereja GKPI Grogol Jakarta. Tiga sajak Poppy
dimuat dalam buku Pilihan Pusi Baru Malaysia-Indonesia (1980).
Sebagai redaksi harian Sinar Harapan, Poppy dituntut untuk
bekerja sungguh-sungguh. Hal ini menguntungkan Poppy
sebagai perempuan penyair karena dapat bekerja sekaligus

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


72
DAN PROSES KREATIFNYA
terus produktif menulis sastra. Oleh karena itu, dikatakan
Suryadi (1987) bahwa Poppy termasuk salah satu perempuan
penyair Indonesia yang produktif.
Berikut ini sajak Poppy Donggo Hutagalung (1970:13)
berjudul “Ciliwung Pagi”.

CILIWUNG PAGI
Lincah tangan, lincah mata menyapa
Ciliwungku coklat
Padat mengancam duka
Adakah padamu rahasia terbenam
Dari beribu kesetiaan yang diserahkan
Beribu cinta, cemas dan kerinduan pada alirmu yang damai
Ciliwungku coklat
Tiap kita bersapa
Adakah tanya pada wajahmu yang kelam
Di sini, sekali waktu akan lepas menatapmu
Karena pencuci-pencuci telah mendapati tempatnya yang
wajar
Karena pemandi-pemandi telah mendapat tempat yang
pada tempatnya
Di sini, akan tiada laki-laki jongkok menghadapkan
punggungnya
Pada pemakai jalan di sini
Karena semua telah mendapati kewajarannya
Sepasang tangan berkaitan
Ria menuruni tangga kali
Ibu muda dan bocah perempuan belum tahu apa
Berenang bagai duyung di kerajaannya
Adakah kesangsian pada harapnya yang sederhana
Beribu kemerlap sedan di kiri kanannya
Bukanlah mimpinya saat ini
Mimpinya adalah tetes-tetes air bagai embun
Bagai kaca
Bagai air yang direguk hari-hari penuh nikmat
Menyegarkan tubuhnya yang sarat kerja

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 73


Sajak ‘Ciliwung Pagi’ ini hanya terdiri atas 1 bait. Sajak
ini mengangkat tema lingkungan alam. Sebagai penyair,
kekhawatiran dan kepedulian Poppy diekspresikan dalam
baris sajak, ‘Ciliwungku coklat/ padat mengancam duka/
adakah padamu rahasia terbenam/ Ciliwungku coklat/ Tiap
kita bersapa/ Adakah tanya pada wajahmu yang kelam/ Di
sini, sekali waktu akan lepas menatapmu/ Karena pencuci-
pencuci telah mendapati tempatnya yang wajar/ Karena
pemandi-pemandi telah mendapat tempat yang pada tem-
patnya/ Di sini, akan tiada laki-laki jongkok menghadapkan
punggungnya/ Pada pemakai jalan di sini/ Karena semua
telah mendapati kewajarannya’. Air sungai yang coklat me-
nandai kotornya sungai yang membahayakan kesehatan ma-
nusia, terutama orang-orang yang berada di sekitarnya.
Sebagai perempuan, Poppy sudah memiliki kesadaran
peduli pada lingkungan dan kelestarian alam. Sungai yang
tercemar, tidak saja menimbulkan penyakit bagi orang-orang
yang memanfatkannya, tetapi juga membahayakan kesehatan
manusia pada umumnya. Poppy menunjukkan perhatiannya
pada masalah-masalah sosial. Keprihatinannya pada masya-
rakat yang hidup di tengah kotornya Ciliwung menunjuk-
kan kepeduliannya sebagai masyarakat yang cinta kebersihan
dan kesehatan. Masalah sampah dan kesadaran masyarakat
yang rendah menjadikan sungai tercemar sehingga menjadi
sumber penyakit bagi masyarakat sekitarnya.
Sebagai seorang kristiani, Poppy (1970:55) juga menulis
sajak yang mengangkat tema kepercayaan Kristen berjudul
“Kepercayaan” berikut ini.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


74
DAN PROSES KREATIFNYA
KEPERCAYAAN
Semua terlindung dari wajah-Nya
Kudengar suara-Nya
Seperti sadar dari segala yang terwajibkan
Kau panggil pulang aku
Tapi dalam benarku Kaulah yang kucari
Di tempat ini kutemui kedamaian
Siapa mengatakan tempat ini tertutup
Karena dirimulah kuperoleh dia
Dengarkan ia berkata:
Aku inilah pintu
Kujengukkan kepala ke dalamnya
Terasa belum kuasa aku bicara
Tapi dengarlah ia berkata:
Aku inilah hidup
Menggigil tubuhku dan lemah
Sesungguhnyalah Kau yang bicara
Atau ini hanya mimpi?
SuaraMu menggema teduh
Mengiringku dengan kasih penuh
Dalam hatiku tiada lagi suatu kata
Di tempat ini kutemui kedamaian
Di silang ini kusangkutkan kepercayaan

Sajak ‘Kepercayaan’ ini terdiri atas 5 bait. Sajak ini melu-


kiskan seseorang yang telah menemukan kedamaian dan se-
suatu yang dicari dalam kehidupannya, seperti tampak dalam
baris sajak, ‘Kau panggil pulang aku/ tapi dalam benakku
Kaulah yang kucari/ di tempat ini kutemui kedamaian’.
Sebagai penyair yang beragama Kristiani, Poppy mengeks-
presikan religiusitasnya pada baris-baris sajak berikut,
‘SuaraMu menggema teduh/ Mengiringku dengan kasih
penuh/ Dalam hatiku tiada lagi suatu kata/ Di tempat ini
kutemui kedamaian/ Di silang ini kusangkutkan

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 75


kepercayaan’.
Sebagai perempuan, Poppy menyadari pentingnya keper-
cayaan dan keyakinan kepada Tuhan yang Maha Esa. Pencipta
alam semesta yang memberi kehidupan dan kedamaian bagi
manusia sebagai makhluknya. Kayakinan dan kepercayaan
akan memberi kedamaian dalam setiap langkah hidup manusia.

5.9 Lastri Fardani Sukarton

Lastri Fardani Sukarton dilahirkan pada tanggal 3 De-


sember 1942 di Yogyakarta. Pendidikan Lastri sejak SD sampai
SMA diselesaikan di Yogyakarta. Hanya setahun kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada karena tahun 1961,
Lastri diterima bekerja menjadi pramugari di ‘Garuda Indo-
nesia Airways’ (GIA). Tahun 1964, Lastri menikah dengan
Soekarton Marmosoedjono, yang kemudian menjadi Jaksa
Agung R.I. Sajak-sajak Lastri dimuat di majalah Kawanku dan
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Kumpulan puisi Lastri berjudul
Gunung Biru di Atas Dusunku diterbitkan tahun 1988. Novel-
nya yang telah terbit menjadi buku berjudul Kisi-Kisi Hati,
Letup-Letup Cinta, Di Batas Kebencian, Perempuan-Perempuan di
Sekitar Anakku, dan Bagian Dukamu itu, Sayangku (Biodata
Lastri Fardani, 1988). Sajak-sajak Lastri dimuat dalam bebe-
rapa antologi antara lain: Antologi Puisi Wanita Penyair Indo-
nesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997) dan Horison Sastra:
Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002).
Lastri Fardani dilahirkan dan dibesarkan di sebuah desa
yang terletak di kabupaten Bantul, Yogyakarta. Oleh sebab
itu, beberapa puisi Lastri terinspirasi oleh alam pedesaan di

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


76
DAN PROSES KREATIFNYA
wilayah Yogyakarta, seperti tampak pada sajak berjudul
“Andong Tua” dan “Gunung Biru di Atas Dusunku” yang
dimuat dalam kumpulan puisi tunggal berjudul Gunung Biru
di Atas Dusunku (1988:9, 34) berikut ini.

GUNUNG BIRU DI ATAS DUSUNKU


Tolehlah ke belakang
Wajahmu yang penuh semangat
Bila kau akan meninggalkan desa ini
Anakku
Sebuah bukit
Tengkurap di kaki langit
Lalu tapakilah
Sawah-sawah
Yang ranum padinya
Ketika kau akan mengejar kereta
Menuju ke kota
Di sana kau menutut ilmu
Di sana kau mencari jodo
Pulang membawa sarjana
Sangat bahagia

ANDONG TUA
Andong tua merayap jalannya
Sarat penumpangnya
Oleh simbok-simbok tua yang lelah
Kuda, kusir, dan penumpang
Sama-sama tak pernah kenyang
Buatku
Bau tlepongnya yang kecut
Adalah ciri khas kotaku
Di mana aku mengukir rindu

Sajak “Andong Tua” hanya terdiri atas 1 bait. Sajak ini


melukiskan suasana desa yang masih menggunakan andong

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 77


sebagai alat transportasi oleh ibu-ibu di desa. Andong dengan
bau kotorannya yang khas justru sering mendatangkan kerin-
duan bagi orang-orang desa yang pergi ke kota, seperti ter-
tulis dalam baris sajak, ‘Andong tua merayap jalannya/ Sarat
penumpangnya/ Oleh simbok-simbok tua yang lelah/ Kuda,
kusir, dan penumpang/ Sama-sama tak pernah kenyang/
‘buatku/ bau tlepongnya yang kecut/ adalah ciri khas kotaku/
di mana aku mengukir rindu’. Melalui sajak ini, Lastri meng-
ungkapkan bahwa pada masa itu, andong masih menjadi alat
transportasi di desa. Desa yang alami dan belum banyak
tersentuh budaya modern sehingga andong masih dibutuhkan
oleh masyarakat.
Sajak “Gunung Biru di Atas Dusunku” terdiri atas 3 bait.
Sajak ini mengungkap keindahan alam pedesaan sehingga
siapapun yang akan meninggalkannya, akan selalu terkenang.
‘Bila kau akan meninggalkan desa ini/ Anakku/ Sebuah
bukit/ Tengkurap di kaki langit/ Lalu tapakilah/ Sawah-
sawah/ Yang ranum padinya/ Ketika kau akan mengejar
kereta/ Menuju ke kota’. Apalagi jika kepergiaan seseorang
itu untuk belajar mencari ilmu ke kota. Harapannya mendapat-
kan jodoh seorang sarjana, seperti tampak dalam baris sajak,
‘di sana kau menuntut ilmu/ di sana kau mencari jodo/ pulang
membawa sarjana/ sangat bahagia’. Melalui sajak di atas,
Lastri mengekspresikan perasaan seorang ibu yang akan
ditinggalkan oleh anaknya bersekolah ke kota. Harapan se-
orang ibu terhadap anaknya adalah berhasil menuntut ilmu
sekaligus memperoleh jodoh.
Sebagai perempuan, Lastri sudah menyadari pentingnya

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


78
DAN PROSES KREATIFNYA
pendidikan dan perkawinan bagi kehidupan perempuan.
Jodoh bagi perempuan di Indonesia masih dianggap penting
karena perempuan yang belum atau tidak menikah masih
dianggap masyarakat sebagai ‘perempuan telat jodoh’, ‘pe-
rawan tua’, atau ‘perempuan tidak laku’. Oleh karena itu,
anak perempuan yang bersekolah hendaknya tidak melupa-
kan mencari jodoh saat bersekolah agar mendapat pasangan
yang tepat sebagai pendamping hidupnya.
Sebagai penyair, Lastri mengekspresikan perasaan se-
orang ibu yang mengharapkan anaknya berhasil dalam dua
aspek kehidupan, yaitu pendidikan dan perkawinan atau
pekerjaan dan rumah tangga. Kesadaran Lastri terhadap
pendidikan bagi anak perempuan merupakan kesadaran me-
nuju kehidupan kaum perempuan berkemajuan. Pendidikan
adalah hak yang sudah pantas diperoleh oleh kaum perempuan
sebagaimana anak laki-laki. Kesadaran untuk memperoleh
hak pendidikan bagi perempuan ini menunjukkan upaya
memperoleh persamaan kedudukan yang setara dengan kaum
laki-laki. Sajak ini menjadi catatan penting karena tampak
adanya kesadaran perempuan penyair tentang pendidikan
dan perkawinan yang direpresentasikan secara sederhana.
Tema dalam sajak-sajak yang ditulis oleh penyair setelah
kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1965 bervariasi
meskipun masih didominasi tema perjuangan. Sajak-sajak S.
Rukiah masih didominasi sajak-sajak bertema perjuangan.
Poppy Donggo Hutagalung menulis sajak bertema sosial dan
religius dengan bentuk yang masih konvensional. Lastri
Fardani mengangkat pentingnya pendidikan dan indahnya

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 79


panorama alam di pedesaan serta keramahan warganya.
Keberagaman tema yang ditulis oleh para penyair setelah
perang kemerdekaan tahun 1945-1965 tentu saja berkaitan
erat dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang terjadi
pada masa itu. Berbagai aktivitas sosial yang terjadi di
masyarakat pada waktu itu, diekspresikan oleh perempuan
penyair dan dituangkan ke dalam bentuk puisi. Mereka sudah
mulai menunjukkan kesadarannya dengan penuh keberanian.
Sebagai perempuan, mereka menunjukkan keberaniannya
untuk ikut berjuang melawan penjajah dan membebaskan
negeri yang dicintainya. Sebagai ibu, perempuan penyair
mulai menampakkan kesadarannya terhadap dunia pendi-
dikan sehingga memberi kesempatan kepada anak-anaknya
untuk menuntut ilmu. Sebagai istri berusaha menciptakan
keluarga yang harmonis. Sebagai ibu juga mereka tidak melu-
pakan tugasnya menanamkan nilai-nilai moral, religius, dan
nilai-nilai feminitas terhadap anak-anaknya serta ikut peduli
terhadap lingkungan alam.
Rupanya, kesadaran perempuan penyair terhadap kebe-
basan, keadilan, kemakmuran negerinya, dan pentingnya
pendidikan terpengaruh oleh cara mereka berpikir dan me-
mandang persoalan. Mindset ini tidak muncul secara tiba-tiba.
Perempuan penyair, baik sebagai ibu maupun sebagai istri
sudah mulai terlibat dalam berbagai aspek kehidupan, tidak
hanya berkutat pada masalah domestik tetapi sudah mulai
memasuki ke ruang-ruang publik. Mereka memiliki kesadaran
untuk hidup lebih baik dari sebelumnya. Peristiwa politik
yang dialami oleh bangsa Indonesia berperan dalam mem-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


80
DAN PROSES KREATIFNYA
bentuk kepribadian perempuan Indonesia yang lebih kuat
dibandingkan sebelumnya. Oleh karena itu, perempuan
penyair berjuang untuk memperoleh kebebasan, keadilan, dan
pendidikan serta kesetaraan gender.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 81


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
82
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 6
PEREMPUAN PENYAIR
TAHUN 1965-1980

Bulan Mei tahun 1961, H.B. Jassin bersama beberapa


penyelenggara majalah Kisah (yang sudah tidak terbit), seperti
D.S. Moeljanto, M. Balfas menerbitkan majalah Sastra yang
lebih mengutamakan pemuatan cerpen. Isma Sawitri merupa-
kan salah satu penyair yang mendapat keleluasaan menulis
dalam majalah Sastra tersebut. Pengarang cerpen pada masa
itu adalah B. Soelarto, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satya-
graha Hoerip Soeprobo, Kamal Hamzah, Ras Siregar, Gerson
Poyk, B. Jass, sedangkan penyairnya selain Isma Sawitri
adalah Goenawan Mohamad, M. Saribi afn, Poppy Huta-
galung, Budiman S. Hartojo, Arifin C. Noer, Sapardi Djoko
Damono, dan lain-lain (Rosidi, 1991:166-167).
Pada masa itu, masyarakat dipaksa untuk menerima slo-
gan ‘politik sebagai penglima’. Pada tanggal 17 Agustus 1963
diumumkan Manifes Kebudayaan yang disusun dan ditanda-
tangani oleh H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito,
Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin.
Manifes ini mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 83


air dan dianggap sebagai juru selamat dari teror Lekra. Oleh
sebab itu, majalah Sastra dikuasai oleh pada pendukung
Manifes Kebudayaan (Rosidi, 1991:167). Kondisi seperti itu
memberi peluang penyair seperti Isma Sawitri dan penyair
lainnya menulis untuk mengisi majalah Sastra. Akan tetapi,
hal itu tidak berlangsung lama karena majalah Sastra dan
majalah Indonesia dilarang terbit. Para pengarang merasakan
tekanan mental sehingga para pengarang penandatangan
Manifes Kebudayaan menulis dengan nama samaran. Itupun
tidak semua majalah atau surat kabar bersedia memuatnya
karena takut oleh orang-orang Lekra.
Situasi politik pada masa itu memberikan ciri kepada
karya para pengarang dan penyairnya. Pengarang Lekra
menulis puisi, cerpen, dan esai tentang kemenangan perjuang-
annya. Timbul perlawanan dari para pengarang yang ingin
membela martabat manusia dan membela kemerdekaan yang
dianggap telah diinjak-injak dengan menulis puisi, cerpen,
esai yang memuat protes sosial dan protes terhadap peng-
injak-injak martabat manusia (Rosidi, 1991:169).
Para pengarang yang tampil pada masa itu adalah Taufik
Ismail, Mansur Samin, Slamet Sukirnanto, Bur Rasuanto, dan
lain-lain. Karya-karya mereka ditulis di tengah demonstrasi
mahasiswa dan pelajar pada tahun 1966, seperti misalnya
kumpulan sajak berjudul Tirani dan Benteng (Taufik Ismail),
Perlawanan (Bur Rasuanto), Pembebasan (Abdul Wahid Situ-
meang), Ribeli (Aldian Arifin dkk) (Rosidi, 1991:174). Kemu-
dian H.B. Jassin menyatakan lahirnya nama ‘Angkatan ’66’,
diperkuat pandangan Rachmat Djoko Pradopo dalam Horison

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


84
DAN PROSES KREATIFNYA
(1967) yang menyimpulkan bahwa ‘Angkatan ’66’ sastra In-
donesia baru suatu kemungkinan, sedangkan Satyagraha
Hoerip dan Arip Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan
Manifes’ (Kebudayaan). Untuk membedakan diri dari penga-
rang Lekra yang atheistis, sastrawan Indonesia kembali ber-
paling kepada agamanya sebagai sumber isnpirasi dan pe-
gangannya. Hal ini terjadi, tidak saja pada penyair yang
beragama Islam, seperti Taufik Ismail, tetapi juga penyair yang
memeluk agama Nasrani, seperti Darmanto Jatman (Rosidi,
1977:12).
Peristiwa G30S PKI tanggal 30 September 1965 di Indo-
nesia dianggap sebagai puncak keguncangan ekonomi dan
pertentangan politik pada masa pemerintahan presiden
Soekarno. Rakyat menginginkan pembubaran PKI. Melalui
kegiatan Musyawarah Kerja Sekretariat Bersama (Sekber)
Golkar pada Desember 1965 berhasil disusun program
konsolidasi organisasi dan program perjuangan bagi tegaknya
Orde Baru. Saat itulah kemudian dianggap sebagai tonggak
lahirnya Orde Baru (Nugroho, 2008:96-97).

6.1 Isma Sawitri

Isma Sawitri lahir pada tanggal 21 November 1940 di


Langsa, Aceh. Ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas In-
donesia tahun 1958-1959, dan masuk kuliah di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia tahun 1960 (tidak selesai). Isma mulai
aktif menulis pada akhir tahun 1950. Sajak-sajak Isma dimuat
di berbagai majalah, seperti Konfrontasi, Budaya, Siasat, dan
Horison. Isma bekerja sebagai wartawati majalah Femina.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 85


Sajak-sajak Isma dimuat dalam buku antologi: Seserpih Pinang
Sepucuk Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979), Tonggak 2 (ed. Linus
Suryadi, 1987), Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed.
Korrie Layun Rampan, 1997), Horison Sastra: Kitab Puisi (ed.
Taufik Ismail, 2002), dan Selendang Pelangi (ed. Toeti Heraty,
2006).
Dua sajak Isma (1987:435) berjudul “Pantai Utara’ dan
“Dari Purwokerto” dimuat dalam antologi Tonggak 2 dan sajak
berjudul “Dari Purwokerto” dimuat dalam antologi Seserpih
Pinang Sepucuk Sirih (Heraty, 1979:190) berikut ini.

PANTAI UTARA
Luruskan pandang ke daratan tandus, ke petak-petak
garam
Ke laut, layar putih-putih, perahu-perahu bebas
0, Laut Jawa di belakang desa-desa sengsara
Laut Jawa di belakang kejatuhan dan kebangkutan
suatu bangsa
Laut adalah kita, perahu-perahu berkuasa
Dari arafuru, selat sunda, selat malaka
Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya
Sebelum Sultan Agung monopoli kapal dagang
bersenjata
Laut adalah kita, sebelum cengkeh dan pala
Laut adalah kita, sesudah minyak dan baja
Perahu-perahu begitu manis, kapal-kapal lebih perkasa
Luruskan pandang ke laut, laut yang merdeka.

DARI PURWOKERTO
Selamat tidur, si bocah memberi salam
Kereta baru berangkat jam 10 malam
Selamat tidur gerbong-gerbong tua
Selamat tidur gunung Slamet

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


86
DAN PROSES KREATIFNYA
Bulan menunggu di luar jendela
Teringat mereka bersidang di kota
Bekas guru, wartawan, pengusaha, kawan-kawan lama
Semua telah memilih jalannya
Selamat bekerja, para pemikir dan pelaksana
Selamat bekerja untuk 1001 gagasan
Yang harus dibentuk dalam kenyataan
Selamat bekerja untuk semua kereta
Yang harus jalan pada waktunya
Selamat berjuang untuk setiap keyakinan
Dan kejujuran
Yang harus ada
Dan harus tetap ada

Sajak “Pantai Utara’ terdiri atas 3 bait. Sajak ini meng-


gambarkan kekayaan laut dan keperkasaan nenek moyang
bangsa Indonesia. Sajak “Dari Purwokerto” pun terdiri atas
3 bait. Sajak ini mengisahkan seseorang dalam perjalanan
kereta api pada malam hari. Dua sajak ini memberi gambaran
bahwa penyair Isma Sawitri telah mengadakan perjalanan ke
berbagai tempat di Indonesia. Hal ini terkait dengan pekerja-
annya sebagai wartawati. Isma Sawitri juga dikenal sebagai
pencatat dan perekam yang baik atas pengalaman-penga-
lamannya, seperti dinyatakan Rampan berikut ini.
Isma Sawitri adalah pencatat dan perekam yang baik. Ia
teliti dan mampu mengangkat pengalaman ketubuhan
menjadi pengalaman kerohanian sehingga muncul
transendensi ke sublimasi sajak (Rampan, 1997:154).

Perjalanan Isma Sawitri sebagai wartawati ke berbagai


tempat di Indonesia pada tahun 1960-an yang diekspresikan
dalam sajak-sajaknya menunjukkan situasi dan kondisi masya-
rakat pada masa itu sudah lebih baik dibandingkan situasi

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 87


sosial sebelumnya. Isma menunjukkan potensinya sebagai
wartawan dan penyair sehingga dapat mengekspresikan
pengalaman-pengalamannya ke dalam puisi. Keyakinan dan
kejujuran itu sangat penting. Hal ini tampak dalam baris-baris
sajak Isma berikut, ‘Selamat bekerja, para pemikir dan
pelaksana/ Selamat bekerja untuk 1001 gagasan/ Yang harus
dibentuk dalam kenyataan/ Selamat bekerja untuk semua
kereta/ Yang harus jalan pada waktunya/ Selamat berjuang
untuk setiap keyakinan/ Dan kejujuran/ Yang harus ada/
Dan harus tetap ada’. Sebagai penyair, Isma memiliki kesa-
daran untuk mengekspresikan berbagai pengalaman yang
telah dialami dan dilihatnya. Sumber daya alam yang dimiliki
Indonesia sudah selayaknya disadari oleh masyarakat sebagai
potensi yang dapat memakmurkan negeri ini. Akan tetapi,
Isma melihat di mana-mana masih ditemukan desa-desa yang
miskin dan sengsara, seperti tampak pada bait sajak berikut,
‘Luruskan pandang ke daratan tandus, ke petak-petak garam/
Ke laut, layar putih-putih, perahu-perahu bebas/ 0, Laut Jawa
di belakang desa-desa sengsara/ Laut Jawa di belakang
kejatuhan dan kebangkutan/ suatu bangsa’. Isma menyadari
bagaimana nenek moyang kita tercatat dalam sejarah penuh
keberanian di lautan dan sukses berdagang, seperti digam-
barkan pada bait sajak berikut, ‘Laut adalah kita, perahu-
perahu berkuasa/ Dari arafuru, selat sunda, selat malaka/
Demikian sejarah bangsa dalam masa jaya/ Sebelum Sultan
Agung monopoli kapal dagang/ bersenjata/ Laut adalah kita,
sebelum cengkeh dan pala/ Laut adalah kita, sesudah minyak
dan baja’.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


88
DAN PROSES KREATIFNYA
Sebagai perempuan, Isma memiliki kesadaran pada po-
tensi alam Indonesia berupa laut yang menjadi sumber
kekayaan negeri ini. Kesadaran bahwa Indonesia memiliki
sumber daya alam yang harus diolah oleh manusia untuk
kemakmuran bangsa dan rakyatnya. Tidak hanya itu, kesa-
daran bahwa kejujuran itu juga sangat penting dalam kehi-
dupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus bekerja keras
mengolah sumber daya alam ini. Semangat untuk membangun
negeri ini harus dimulai dari kejujuran manusia menjalani
kehidupan.

6.2 Dwiati Mardjono

Dwiarti Mardjono dilahirkan pada tanggal 10 Agustus


1935 di Cilacap, Jawa Tengah. Ia sarjana muda lulusan Fakultas
Pedagogik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan sarjana
Sekolah Tinggi Administrasi –Lembaga Administrasi Negara,
Jakarta lulusan tahun 1979. Dwiarti pernah menjadi staf
perpustakaan Fakultas Pedagogik UGM (1950-1960), Kepala
Bagian Perpustakaan IKIP Surabaya (1963-1969), staf perpus-
takaan IKIP Malang (1969-1972), Kepala Bagian Perpustakaan
Sekretariat Kabinet RI (1972-1975), Kepala Bagian Arsip &
Dokumentasi Sekretariat Menteri/Sekteraris Negara (1975-
1985), dan Kepala Unit Dokumentasi & Perpustakaan Sekre-
tariat Negara (1985) (Suryadi, 1978).
Dwiarti produktif menulis puisi pada tahun 1960-an dan
karya-karyanya telah dimuat majalah Sastra. Sajak-sajak Dwiarti
yang lain dimuat dalam buku antologi: Seserpih Pinang Sepucuk
Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979), Tonggak 2 (1987), dan Antologi

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 89


Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan,
1997). Berikut ini sajak Dwiarti (1987:158, 165) berjudul “Tanah
Kesayangan” dan “Daun Gugur”.

TANAH KESAYANGAN
Tanah yang manis
Adalah peneguh segala kehidupan
Tempat tumbuhnya harapan
Tumbuhnya perjuangan
Nafasnya selalu kebenaran
Di kala mimpi di kala jaga
Lagunya kedamaian
Yang bersemayam di sudut hati
Mengalirkan air suci
Ialah kesakitan yang tiada terkalahkan
Tanah yang manis
Bumi yang mengandungkan dan melahirkan
Pahlawan-pahlawan paling sakti
Menumbuhkannya dalam lagu-lagu
Semangat kemerdekaan
Dan membesarkannya penuh keyakinan
Demi peradaban
Sesudah perjalanan panjang
Halim, kaitak, san fransisco dan dulles
Sesudah tiada jawab pasti yang menenangkan
Nanar kutatap awan kelabu dari balik jendela kaca
Tersungkur pandang pada gedung-gedung
Berdinding bata begitu beku
Ah, semuanya tiada mampu melunakkan gelisahku
Gerimis semakin padat membeku
Deras pada akhirnya
Dinginnya menyusup sampai ke ruas tulang
Terasa kaku sekujur tubuh
Mulut bagaikan terkunci
Sejenak bertalu tanya tiada jawab
Surabaya, 1964

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


90
DAN PROSES KREATIFNYA
DAUN GUGUR
-kepada suami tercinta
Bergantian sesal dan pasrah
Hampir kami tiada menyadari
Adalah karna dungu kami
Membiarkannya merayapi
Saat-saat istirah kami
Konon hikmah bagi sepasang manusia
Menerima pahala dan nikmat
Yang tiba di haribaan pagihari
Hakekat cita dan cinta
Bahagianya kehidupan
Buah hati kami
Buah cinta kami
Tetapi, ah, keberangkatan itu terlampau segera
Dan memang tiada akan pernah kita mengerti semua
Segalanya telah berlalu
Segalanya telah berlaku
Kadang masih menyisip ketakutan
Bayangan tanah kering
Atau gurun yang berpasir semata
Tiadalah daya kami
Sampai akhirnya datang kedamaian
Yang membelai dan memanjakan
Kami terima segalanya
Karna kerelaan adalah paling mulia
Dan lembaran kami kini
Catatan harapan-harapan
Surabaya, 1961

Sajak “Tanah Kesayangan” terdiri atas 5 bait. Sajak ini


menggambarkan tanah kelahiran yang sangat dicintai dan
akan dipertahankan dengan semangat yang tinggi untuk
mendapatkan kemerdekaan. Kekagumannya terhadap tanah
air telah melahirkan pahlawan-pahlawan bangsa menumbuh-
kan semangat untuk mengisi kemerdekaan. Sebagai penyair,

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 91


Dwiarti pada masa itu menyadari kecintaannya kepada tanah
air yang telah diperjuangkan dan dipertahankan oleh para
pahlawan bangsanya, seperti ditulis dalam baris, ‘Tanah yang
manis/ Adalah peneguh segala kehidupan/ Tempat tumbuh-
nya harapan/ Tumbuhnya perjuangan/ Tanah yang manis/
Bumi yang mengandungkan dan melahirkan/ Pahlawan-
pahlawan paling sakti/ Menumbuhkannya dalam lagu-lagu/
Semangat kemerdekaan/ Dan membesarkannya penuh keya-
kinan/ Demi peradaban’.
Sajak ‘Daun Gugur’ terdiri atas 3 bait dan ditujukan untuk
‘suami tercinta’. Sajak ini menggambarkan kehidupan rumah
tangga yang penuh suka duka. Penyesalan seorang istri yang
datang terlambat setelah suaminya pergi, seperti dilukiskan
dalam baris sajak, ‘bergantian sesal dan pasrah/ hampir kami
tiada menyadari/ adalah karna dungu kami/ membiarkannya
merayapi/ saat-saat istirah kami’. Menurut Dwiarti, kehar-
monisan rumah tangga harus dibangun oleh kedua belah
pihak, suami dan istri. Apabila suami pergi meninggalkan
rumah, istrilah yang menanggung derita. ‘Sampai akhirnya
datang kedamaian/ Yang membelai dan memanjakan/ Kami
terima segalanya/ Karna kerelaan adalah paling mulia/ Dan
lembaran kami kini/ Catatan harapan-harapan’. Masalah
perempuan di dalam rumah tangga memang beragam dan
selalu menarik untuk diekspresikan oleh seorang penyair
apalagi penyairnya seorang perempuan yang lebih menge-
tahui persoalan-persoalan suami istri di dalam rumah.
Sebagai perempuan, Dwiarti sudah memiliki kesadaran
hubungan mitra antara suami istri dalam mengelola rumah

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


92
DAN PROSES KREATIFNYA
tangga, sebagaimana secara tidak langsung diekspresikan di
dalam sajak. Pembagian tugas antara suami dan istri harus
disepakati untuk mencapai keluarga yang harmonis. Komu-
nikasi yang tidak terjalin dengan baik antara suami istri dapat
menimbulkan kesalahpahaman yang diakhiri dengan keke-
cewaan dan penderitaan yang dialami oleh salah satu pihak.
Dwiarti memiliki harapan kaumnya memiliki kesejajaran
dengan laki-laki. Sebagaimana kesejajaran peran antara suami
dan istri dalam membangun rumah tangga. Kesadaran ini
sangat penting untuk mendudukkan kaum perempuan
sebagai mitra keberhasilan membangun biduk rumah tangga
dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Kesadaran
adanya kesetaraan dalam rumah tangga antarsuami istri akan
melahirkan kebahagiaan. Dengan demikian, diharapkan tidak
akan terjadi lagi kekerasan dan ketidakadilan bagi perem-
puan. Perempuan tidak dimarginalkan, perempuan tidak men-
jadi subordinat, perempuan menjadi mitra bagi laki-laki. Pe-
rempuan dan laki-laki saling melengkapi atau merupakan
hubungan yang komplementer.

6.3 Susy Aminah Aziz

Susy Aminah Aziz dilahirkan pada tanggal 24 Novem-


ber 1937 di Jakarta. Nama lengkapnya Siti Aminah binti Haji
Abdul Aziz bin Haji Endung Mugnie. Susy merupakan anak
kedelapan dari sembilan bersaudara. Lulus SMA tahun 1957,
Susy bekerja sebagai wartawan lepas di berbagai surat kabar:
Suluh Minggu, National Press, Suara Islam, dan mengasuk rubrik
perempuan di harian Pelita tahun 1979. Tulisan Susy dimuat

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 93


di berbagai media antara lain: Berita Minggu, Bintang Timur,
Abadi, Duta Masyarakat, Majalah Pembina, Nasonal Press, Peristiwa,
Mimbar Indonesia, Suara Islam, Duta Revolusi, Harian Nusantara,
Sinar Harapan, dan Pelita (Catatan Biografi Sastrawan-sastra-
wati Indonesia).
Susy Aminah Aziz telah menerbitkan tiga buku kumpulan
puisi tunggal, masing-masing berjudul Seraut Wajahku (1961),
Tetesan Embun (1977), Wajah Penuh (1980), dan antologi Tonggak
2 (ed. Linus Suryadi, 1987). Ia pernah mendapat hadiah dari
Lembar Sastra ‘Tunas Mekar’ RRI tahun 1950 dan Lembar
Sastra ‘Kuncup Mawar’ dari Berita Minggu. Susy aktif di bidang
sosial pendidikan sebagai tenaga sukarela yang mengelola
sekolah bagi anak-anak tak mampu di bawah yayasan Kemu-
ning Pusat Studi Islam Kawula Muda Al-Arniyajah. Susy juga
menjadi pengurus sanggar Griya Wartawan DKI Jakarta
(Suryadi, 1987:278).
Berikut ini sajak-sajak Susy (1977:17, 20) yang berjudul
“Kehidupan di Kota” dan “Catatan Terakhir”.

KEHIDUPAN DI KOTA
Seperti seorang enggan bersalaman
Karena hidup didera kesibukan
Kebisingan dan kehidupan di kota
Yang jemu hormat dan sungkan
Sebab hati dalam keakuan
Diriku, kekasih!
Seperti juga waktu lalu
Dalam kalbu rindu bertemu
Aku terus berjalan
Penuh salam kemesraan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


94
DAN PROSES KREATIFNYA
bagiNya
jiwa-jiwa yang damai
atas hati yang permai
CintaMu, Kekasih!
Tiada kunjung hilang

CATATAN TERAKHIR
Dalam kamarku kini
Yang menghimpit waktu dan benakku
Hati dan jiwaku teramat lelah
Lelah…lelah sekali
Wajah ini tidak segairah
Kalau aku remaja mula dewasa
Telah lewat cepat dan cepat
Aku membuat sajak rasanya lambat
Tiada kata yang tepat
Kuraba dahiku
Panas terasa tempurung otak
Kemerucut ciut
Garis mata dan pipi
Umur tua melanda diri
Kerja tiba di penantian usia
Belum terselesaikan jua
Akan keringkah ilham di dada?
Atau, barangkali
Umurku tinggal sejengkal jari
Memburu memakan waktuku kini
Kalau demikian, sayang
Baiklah …kawan!
Hanya ini peninggalan
Mungkin terlupakan
Mungkin terkenang
Entah, di mana
Akhir peristirahatan

Sajak “Catatan Terakhir” menggambarkan seseorang yang


mulai menyadari usia yang terus merambat tua dan berku-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 95


rangnya segala kemampuan yang dimiliki manusia. Pesan
yang disampaikan Susy melalui sajak ini adalah keterbatasan
hidup manusia di muka bumi. Kesadaran penyair sebagai
makhluk Allah tampak dalam sajak ini. Sebagai penyair, Susy
menyadarkan pembaca untuk mengingat kematian yang pasti
akan menimpa manusia melalui baris sajak, ‘umur tinggal
sejengkal jari/ memburu memakan waktuku kini’.
Sajak “Kehidupan di Kota” menggambarkan kehidupan
di kota yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Melalui
sajak, penyair yang wartawati ini memberi gambaran kehi-
dupan di kota yang individualis. Kehidupan di kota besar
yang seolah tidak saling mengenal antara tetangga. Semua
orang di kota sibuk dengan pekerjaan dan keperluannya
masing-masing. Apa yang ditulis oleh Susy Aminah Aziz dalam
sajak ‘Kehidupan di Kota’ merupakan representasi dari kehi-
dupan manusia pada masa itu yang tampak dalam baris sajak,
‘seperti seorang enggan bersalaman/ karena hidup didera
kesibukan/ kebisingan dan kehidupan di kota/ yang jemu
hormat dan sungkan/ sebab hati dalam keakuan’.
Sebagai perempuan, Susy mengamati kehidupan sosial
yang terjadi di sekitarnya. Perhatiannya tidak terpaku pada
masalah-masalah domestik saja tetapi pada perubahan sosial
yang terjadi di masyarakat. Dalam sajak di atas, secara tersirat
tampak kekhawatiran Susy sebagai anggota masyarakat In-
donesia yang selama ini dikenal keramahannya. Kehidupan
yang individualis mulai menjadi bagian hidup rakyat Indo-
nesia yang mencari nafkah di kota terutama kota-kota besar.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


96
DAN PROSES KREATIFNYA
6.4 Bisby Soenharjo

Bisby Soenharjo (lengkapnya Bisby Siti Asia Soenharjo)


dilahirkan pada tanggal 22 November 1928 di Jakarta. Bisby
adalah putri tokoh nasional Haji Agus Salim yang memperoleh
pendidikan di rumah. Tahun 1964-1965, Bisby mulai menulis
puisi dan artikel dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris,
di antaranya untuk radio Australia. Sajak-sajak Bisby yang
ditulis dalam bahasa Inggris telah dimuat pada majalah Sastra
yang diterbitkan Fairleigh Dickinson University di Ruherford,
New Jersey (1967-1968) dan pada majalah Australia Hemisphere
(1967). Sajak Bisby yang lain dimuat dalam majalah
Gelanggang, Harian kami, Horison (Suryadi, 1987:176) Seserpih
Pinang Sepucuk Sirih (ed. Toeti Heraty, 1979), dan Tonggak 1
(ed. Linus Suryadi, 1987). Berikut ini sajak Bisby (1979:52)
yang berjudul “Danau Beku” dan “Kuda Beban”.

DANAU BEKU
Aku berpijak di atas hatiku – yang beku
Kau tahu, ini kali suatu danau
Yang beku, licin, dan keras
Dengan arus kecil di tengah, mengalir deras
Airnya – darahku
Darah yang cair pasti tercampur air
Air atau air matakah?
Sepanjang arus anak-anak bermain dan tertawa
Kemudian si buyung kecil jatuh ke dalamnya
Satu kaki tak dapat keluar lagi
Tersangkut pada dasar karton arus tadi
Ramai-ramai anak-anak menariknya ke luar
Dan menyelamatkannya: jadilah ia pahlawan sehari
Maka mereka semua pergi – masih terdengar
Suara menggema –sesudah sekian lama

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 97


Mereka tak tampak olehku lagi
1964

KUDA BEBAN
Ambillah cambuk deralah jantung
Yang telah tertidur seperti kuda beban
Yang tua menempuh jalan berkepanjangan
Terus melangkah ta’ada henti
(kaki bergegas maju meski pelahan)
Panggil namanya –belai sebentar-
Jantung yang lelap, tetapi peka kebohongan
Hanya terlalu penat untuk menghalau berat
Kantuk dari pelupuk mata, terkatup rapat
Oleh detak pembuluh darah yang lambat
O, bangunkan jantung, gerakkan supaya
Seperti kuda sembrani –ia terbang segera!

Sajak “Danau Beku” terdiri atas 1 bait yang cukup panjang.


Sajak ini melukiskan perasaan seseorang yang telah “beku”
karena kehilangan seorang anak yang dicintainya. ‘Aku
berpijak di atas hatiku – yang beku/ Kau tahu, ini kali suatu
danau/ Yang beku, licin, dan keras/ Dengan arus kecil di
tengah, mengalir deras/ Airnya – darahku/ Darah yang cair
pasti tercampur air/ Air atau air matakah?”. Peristiwa tragis
itu diungkap dalam baris sajak, ‘kemudian si buyung kecil
jatuh ke dalamnya/ satu kaki tak dapat keluar lagi/ tersangkut
pada dasar karton arus tadi/ ramai-ramai anak-anak menarik-
nya ke luar’. Melalui sajak ini, penyair mengungkapkan
kesedihan hati seorang ibu mengingat kecelakaan yang telah
menimpa anaknya di masa lalu.
Sebagai perempuan, Bisby memiliki keahlian dalam
penguasaan bahasa Inggris. Ia menulis artikel untuk radio

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


98
DAN PROSES KREATIFNYA
Australia dan menulis sajak di berbagai media meskipun tidak
diterbitkan dalam satu buku. Dua sajak Bisby mengangkat
masalah kehidupan manusia. Sajaknya umum mengangkat
kesedihan seorang ibu yang kehilangan anak yang dicintai-
nya. Sebuah kecelakaan apalagi sampai merenggut nyawa
seorang anak adalah peristiwa yang sangat menyedihkan bagi
seorang ibu. Peristiwa seperti ini cukup banyak dialami oleh
seorang ibu dalam kehidupan suatu masyarakat.
Sajak ‘Kuda Beban’ terdiri atas 1 bait. Sajak ini menggam-
barkan manusia yang lelah karena beban hidup yang diderita-
nya. Sebagai penyair, Bisby merepresentasikan kondisi
masyarakat Indonesia yang lelah oleh kondisi politik pada
masa itu dengan simbol ‘kuda yang penuh beban’. Bisby
memberikan semangat kepada mereka untuk terus melang-
kah, seperti tampak pada baris-baris sajak berikut, ‘Ambillah
cambuk deralah jantung/ Yang telah tertidur seperti kuda
beban/ Yang tua menempuh jalan berkepanjangan/ Terus
melangkah ta’ada henti/ (kaki bergegas maju meski pelahan)/
Panggil namanya –belai sebentar-/ Jantung yang lelap, tetapi
peka kebohongan/ Hanya terlalu penat untuk menghalau
berat/ Kantuk dari pelupuk mata, terkatup rapat/ Oleh detak
pembuluh darah yang lambat’. Ajakan untuk tetap semangat
tampak pada baris terakhir sajak ini, ‘O, bangunkan jantung,
gerakkan supaya/ Seperti kuda sembrani –ia terbang segera!’.
Sebagai perempuan, Bisby memiliki kepekaan terhadap
kondisi masyarakat Indonesia yang ‘lelah’ berjuang dan ‘lelah’
menghadapi kehidupan politik yang dialami pada masa itu.
Bisby juga memiliki kesadaran bahwa Indonesia membu-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 99


tuhkan semangat rakyat Indonesia untuk membangun negeri
ini. Sebagai perempuan yang memiliki potensi di dunia
jurnalistik, Bisby mengirimkan tulisannya ke berbagai me-
dia, seperti majalah dan radio.

6.5 Penyair Toeti Heraty

Toeti Heraty dilahirkan pada bulan November 1933 di


Bandung, Jawa Barat. Dengan latar belakang keluarga eksakta
–ayah di bidang teknik dan suami di bidang biologi– Toeti
sampai pula pada penyalurannya di bidang sastra. Toeti mulai
menulis dalam majalah mahasiswa, kemudian tahun 1966
menulis esai dan puisi. Sajak-sajak Toeti dimuat dalam buku
antologi, antara lain: Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed. Toeti
Heraty, 1979:228), Tonggak 2 (ed. Linus Suryadi, 1987), Antologi
Puisi Wanita Penyair Indonesia (Ed. Korrie Layun Rampan,
1997), Horison Sastra: Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002), dan
Selendang Pelangi (ed. Toeti Heraty, 2006).
Kesan pertama terhadap Toeti Heraty adalah perempuan
yang ‘arogan’ tetapi ternyata tidak demikian, seperti diung-
kapkan seorang wartawan Sinar Harapan yang mewawancarai-
nya berikut ini.
Kesan pertama apabila kita bertemu dengan penyair ini
akan menduga bahwa perempuan yang kita hadapi
seorang yang ‘arogan’ dan lebih mengutamakan hal-hal
yang bersifat ilmiah. Tapi nyatanya tidak demikian. Walau
pada masa kanaknya sedikit mengalami kesulitan dalam
bergaul dengan lingkungannya, namun Toeti Heraty
sekarang seorang ibu yang matang, dan bahkan menarik
(SMP, Sinar Harapan, 11 April 1982).

Toeti merupakan perempuan Indonesia pertama yang

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


100
DAN PROSES KREATIFNYA
meraih gelar doktor filsafat. Ia menulis esai dan puisi.
Karyanya banyak dimuat di majalah Horison, Sastra, dan Budaya
Jaya. Kumpulan puisi Toeti Heraty yang sudah diterbitkan
berjudul Sajak-Sajak 33 (1973) dan Mimpi dan Pretensi (1982).
Salah satu sajak Toeti (2006:91) berjudul “Lukisan Wanita
1938” dimuat dalam antologi Selendang Pelangi dan sajak
‘Wanita’ dalam Mimpi dan Pretensi (1982:27) berikut ini.

LUKISAN WANITA 1938


Lukisan dengan lengkap citarasa
Giwang, gelang, untaian kuning hijau
Selendang, menyembunyikan kehamilan
Kehamilan maut yang nanti menjemput
Luput diredam
Kehamilan hidup yang nanti merenggut
Goresan dendam
Gejolak dan kemelut keprihatinan
Gagal direkam
Pada sapuan dan garis wajah yang
Menyerah, pada alur sejarah
Lukisan dengan sapuan akhir
Yang cemerlang, kelengkapan wajah
Diperoleh dalam bingkai kenangan
1989

WANITA
Hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
Berjalan lambat karena kainnya yang berwiru
Meninggalkan rumah depan menuju jalan
Terlentang antara pohon palma berderetan
Jari hati-hati memegang wiru kataku
Sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
Kenakan kerikil menggoyang tumit selop tinggi
Belum lagi angin melambaikan selendang warna-warni

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 101


menengok ke kiri ke kanan mereka berhenti gelisah
karena kain berwiru dan bertumit tinggi, rambut
terbelai angin dan panas matahri, -becak lalu—
mereka segera musyawarah suaranya tinggi
nada-nada tinggi tawar-menawar rupanya dimulai
entah mengapa kusak-kusuk terhenti, ternyata –
bung becak mengayunkan kakinya lagi dan mereka
asyik dan riang akhirnya tidak tampak olehku lagi
meninggalkan halaman depan agaknya mencari rindang
deretan pohon sepanjang jalan, asyik dan riang
gerak, warna, irama rapi membawa kesungguhan
arisan pada minggu pagi ini —
wanita...
berapalah kemesraan sepanjang umur
tiada berlimpah tiada mencukupi
karena kau dengan tak acuh, tidak peduli
membawa pilu yang tak tersembuhkan dan
tak kau sadari, tak kau sadari

‘Dunia perempuan’ menjadi tema yang banyak diangkat


Toeti Heraty dalam sajak-sajaknya. Sebagai penyair, Toeti
tidak hanya melukiskan dunia perempuan dari luar, tetapi
juga dari dalam melalui perasaan-perasaan yang disampaikan
dalam berbagai metafor, seperti tampak pada sajak ‘Lukisan
Wanita 1938’ dan sajak ‘Wanita’, ‘Hari ini minggu pagi kulihat
tiga wanita tadi/ Berjalan lambat karena kainnya yang
berwiru/ Meninggalkan rumah depan menuju jalan/ Terlen-
tang antara pohon palma berderetan/ Jari hati-hati memegang
wiru kataku/ Sedangkan tangan lincah mengelus rambut
rapi/ Kenakan kerikil menggoyang tumit selop tinggi/ Belum
lagi angin melambaikan selendang warna-warni/ menengok
ke kiri ke kanan mereka berhenti gelisah/ karena kain berwiru
dan bertumit tinggi’.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


102
DAN PROSES KREATIFNYA
Sebagai perempuan, Toeti memiliki kepekaan perasaan
yang dialami oleh kaumnya. Kegiatan perempuan dalam
kesehariannya berhasil direpresentasikan Toeti dalam
karyanya. Kesadaran Toeti lainnya adalah menyuarakan posisi
kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk-
bentuk ketidakadilan berupa marginalisasi, subordinatif, dan
bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan menjadi
perhatiannya. Dalam pandangan Toeti, perempuan Indone-
sia masih dianggap ‘sebelah mata’ sehingga belum diakui dan
diperhitungkan kedudukannya di ruang-ruang publik. Di sisi
lain, Toeti juga menyadari bahwa kaum perempuan itu sendiri
sering menguatkan stereotif di masyarakat bahwa mereka
lemah dan kurang akalnya sehingga sulit untuk mendapatkan
kedudukan yang setara dengan laki-laki. Apalagi, kekuasaan
budaya patriarkhi di Indonesia masih sangat kuat.
Menurut Hermit (1982), Toeti Heraty adalah penyair
yang karyanya diperhitungkan dan diperbincangkan serta
dipercaya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, sebagai-
mana tampak dalam kutipan di bawah ini.
Meski ia baru mulai menulis sajak dan esai tahun 1970,
penyair kelahiran Bandung ini ternyata karya-karyanya
banyak diperhitungkan dan diperbincangkan, teristimewa
di kalangan penyair perempuan. Acungan jempol pun
banyak dilontarkan kepadanya, karena di samping seba-
gai kreator akademis ternyata dikenal sebagai kreator
dunia seni. Paling tidak kita bisa mengajuknya dari jabatan-
nya sehari-hari di dunia seni sebagai Ketua Dewan Kese-
nian Jakarta (Hermit, Pikiran Rakyat Bandung, 23 Novem-
ber 1982).

Sajak-sajak Toeti Heraty mendapat perhatian dari para


kritisi. Hary Aveling menterjemahkan sejumlah sajaknya. Sajak

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 103


Toeti yang lain juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda,
Jepang, dan Prancis (Rampan, 1997:43).
Sebagai penyair, Toeti Heraty merepresentasikan kehi-
dupan perempuan dan segala permasalahan yang menimpa
kaumnya ke dalam sajak. Pengetahuan dan wawasannya yang
luas tampak dari pilihan kata yang diekspresikan di dalam
sajak-sajaknya. Sebagai perempuan, Toeti berhasil menam-
pilkan sosok-sosok perempuan dari berbagai kelas sosial yang
diekspresikan melalui sajak-sajaknya. Ia telah memiliki kesa-
daran yang tinggi terhadap keberadaan kaum perempuan di
tanah air. Berbagai ketidakadilan terhadap perempuan dirasa-
kan oleh Toeti Heraty. Pandangan masyarakat terhadap
stereotif perempuan itu mengarahkan citra perempuan ke hal-
hal yang berbau domestik.

6.6 Rita Oetoro

Rita Oetoro atau Rita a Cascia Saraswati dilahirkan pada


tanggal 6 Desember 1943 di Purwokerto, Jawa Tengah. Rita
pernah kuliah di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Inggris Uni-
versitas Gadjah Mada tetapi tidak tamat. Rita juga pernah
menjadi redaksi majalah mingguan Kartini di Jakarta (Suryadi,
1989:175). Puisi-puisi Rita yang ditulis antara tahun 1948-1975
diterbitkan dalam antologi berjudul Dari Sebuah Album (1986),
Sangkakala (1993), antologi Dari Negeri Poci (1993), Tonggak 3
(ed. Linus Suryadi, 1987) dan Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997). Rita mulai menulis
puisi pada akhir tahun 1959 dengan nama samaran Eva Rita
Oey (Oetoro, 1994:3).

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


104
DAN PROSES KREATIFNYA
Sajak-sajak Rita Oetoro singkat-singkat, seperti tampak
pada sajak berjudul “Sactuary’, “Meditasi”, dan “Requiem”
(1987:257-258) berikut ini.

SACTUARY
(letters to two friends
Teilhard de chardin)
Dalam setiap ihwal – hanya
Ada satu jalan menuju Tuhan:
‘Tetap setia dan jujur – kepada
Diri sendiri – kepada
Apa yang kau rasa
Paling luhur dalam budimu’
Dan jalan akan lapang
Terbentang di depanmu

MEDITASI
Pada akhirnya
Kita pun pasrah – karena
Tidak bisa mengusir
Bayang-bayang kita sendiri

REQUIEM
Dari tiada – kembali
Kepada ketiadaan
Dari ada – menjelma
Ke dalam keabadian
Bila akhir tiba
Relakan jasadku – bagi:
Ilmu kedokteran dan
Lembaga kemanusiaan

Sajak-sajak Rita hanya terdiri atas 1 atau 2 bait. Sajaknya


singkat tetapi bermakna dalam. Sajak-sajak di atas menunjuk-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 105


kan bahwa penyair memiliki referensi yang cukup. Bagi kaum
intelektual yang menguasai sejumlah bahasa asing, sajak-sajak
Rita tidak mengalami hambatan komunikasi. Akan tetapi, bagi
pembaca yang tidak memahami bahasa asing, sajak Rita
menghasilkan diskomunikasi.
Sebagai penyair, Rita menunjukkan perhatiannya ter-
hadap kemanusiaan dan ilmu kedokteran. Kematian tampak-
nya bukan sesuatu yang harus dihindari sebagaimana dieks-
presikan dalam baris-baris sajak berikut, ‘dari tiada –kembali/
kepada ketiadaan/ dari ada-menjelma/ ke dalam keabadian’.
Isi sajak tersebut berkaitan dengan kesadaran seorang manusia
untuk mendonorkan organ tubuhnya bagi orang lain yang
membutuhkan. ‘Bila akhir tiba/ Relakan jasadku – bagi:/ Ilmu
kedokteran dan/ Lembaga kemanusiaan’.
Sebagai perempuan, Rita menekankan pentingnya kese-
tiaan dan kejujuran pada diri sendiri untuk menuju kehidupan
yang benar di jalan Tuhan. Rita percaya bahwa dengan kese-
tiaan dan kejujuran, manusia dimudahkan jalan hidupnya.
Sebagai manusia biasa, Rita percaya bahwa manusia akan
kembali kepada penciptanya. Kesadaran bahwa manusia itu
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh
karena itu, manusia akan kembali kepadaNya.

6.7 Rayani Sriwidodo

Rayani Sriwidodo dilahirkan bulan November 1946. Ia


banyak menulis cerita anak-anak dan menerjemahkan karya
sastra dunia. Ia juga pernah diundang untuk mengikuti Inter-
national Writing Program di Iowa City, USA, 1979. Sajak-sajak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


106
DAN PROSES KREATIFNYA
Rayani diterbitkan dalam antologi Pada Sebuah Lorong (bersama
T. Mulya Lubis, 1970), Pokok Murbai (1977), Percakapan Rumput
(1983), dan Percakapan Hawa dan Maria (1988). Sejumlah sajak
Rayani juga dimuat dalam buku Laut Biru Langit Biru (1977)
(Rampan, 1979:299), antologi Tonggak 3 (ed. Linus Suryadi,
1987), Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun
Rampan, 1997), Horison Sastra: Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail,
2002), dan Selendang pelangi (ed. Toeti Heraty, 2006).
Sajak Rayani Sriwidodo (2002:313) berjudul “Senja itu
Aku Berpaling ke Halaman” mendapat hadiah sastra dari
majalah Horison tahun 1969 (Rampan, 1997:302).

SENJA ITU AKU BERPALING KE HALAMAN


Senja itu
Aku berpaling ke halaman
Sajak seluruh siang
Aku dipintal
Jemari kehidupan
Menyambut malam
Di situ
Tengadah garis tengah jalanan dan rumah istirah
Samar tunas bunga, akar tua yang membungkah
Ketika angin gemetar di pucuk asam
Diam-diam
Terasa nafas waktu terhirup semakin dalam

Sajak ‘Senja itu Aku Berpaling ke Halaman” terdiri atas


2 bait. Sajak di atas melukiskan suasana pada senja hari yang
penuh simbolik, seperti tampak pada baris pertama, ‘senja
itu/ aku berpaling ke halaman/ aku dipintal/ jemari kehi-
dupan/ menyambut malam’. Sajak-sajak Rayani pada dasarnya

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 107


masih terikat pada pola-pola yang konvensional, seperti
tampak dalam sajak berjudul “Pokok Murbei” (1969, tanpa
halaman) berikut ini.

POKOK MURBEI
Pokok murbei terangguk-angguk di halaman
Sesosok kelam di bidang datar berada
Menyilang bayang murbei ke semak-semak pisang
Hanya gema
Ketika peluit kereta
Memantulkan gulita
Di tembok-tembok kota
Saatnyakah percakapan diam
Bersama Adam mengenang taman
Mereguk seseteguk anggur andaikan
Ada gema
Kini sayupnya
Dengung serangga
Sisa sindirnya

Sajak ‘Pokok Murbei’ terdiri atas 4 bait. Sajak ini


menggambarkan pokok murbei yang berada di halaman
sebagai simbol. ‘Pokok murbei terangguk-angguk di
halaman/ Sesosok kelam di bidang datar berada/ Menyilang
bayang murbei ke semak-semak pisang/ Hanya gema/ Ketika
peluit kereta/ Memantulkan gulita/ Di tembok-tembok kota’.
Sebagai penyair, Rayani mengekspresikan perasaannya
menghadapi suasana berlatar peristiwa kerusuhan yang
terjadi di Jakarta. Peristiwa kerusuhan itu diekspresikan
Rayani (2006:88) sebagai penyair ke dalam sajak berjudul
‘Jakarta, Menjelang 21 Mei 1998’ berikut ini.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


108
DAN PROSES KREATIFNYA
JAKARTA, MENJELANG 21 MEI 1998
bahwa perempuan objek seks
telah dipertontonkan di puncak kerusuhan
tiga belas Mei itu
seorang ibu yang tadi pagi membuka pintu tokonya
tanpa curiga, menyambut fajar paling awal
sebagaimana telah diajarkan leluhur
pada tanggal yang terbukti memang sial itu
telah dicabik-cabik harga dirinya
di hadapan suami dan putra-putrinya
akan tetapi, bahwa perempuan masih objek seks
telah ia protes seketika:
dengan setenggak racun serangga
maka kuhaturkan sajak ini untuk mengenang
pahlawan yang mempertaruhkan segalanya dalam diam

Sajak ‘Jakarta, Menjelang 21 Mei’ terdiri atas 4 bait. Sajak


ini menggambarkan perkosaan terhadap kaum perempuan
dalam peristiwa kerusuhan bulan Mei di Jakarta secara
gamblang. ‘bahwa perempuan objek seks/ telah dipertonton-
kan di puncak kerusuhan/ tiga belas Mei itu’. Perempuan
dalam sajak ini menandai perempuan sebagai korban objek
seks dan perkosaan. Bahkan, perkosaan terhadap perempuan
itu terjadi di hadapan keluarga, seperti suami dan anak-
anaknya.
Sebagai penyair, Rayani menggambarkan peristiwa keru-
suhan itu dengan sangat transparan, ’seorang ibu yang tadi
pagi membuka pintu tokonya/ tanpa curiga, menyambut fajar
paling awal/ sebagaimana telah diajarkan leluhur/ pada
tanggal yang terbukti memang sial itu/ telah dicabik-cabik
harga dirinya/ di hadapan suami dan putra-putrinya’. Sung-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 109


guh sangat memilukan peristiwa tragis ini dilihat langsung
oleh keluarga korban. Akibatnya, perempuan itu memutus-
kan untuk minum racun karena tidak tahan dengan pende-
ritaan lahir dan batinnya.
Sebagai perempuan, Rayani memiliki kesadaran bahwa
kekerasan (termasuk perkosaan) terhadap kaum perempuan
terjadi karena mereka berada pada posisi yang lemah. Pemer-
kosa adalah kekuatan yang menunjukkan identitas sebagai
penguasa dan perempuan serta anak-anaklah yang menjadi
korbannya. Perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan
yang dialami oleh perempuan. Hal ini menunjukkan masih
terjadinya bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap perempuan.
Peristiwa itu menjadi catatan sejarah yang tidak boleh dilupa-
kan dan akan tetap dikenang oleh kaum perempuan, ‘Maka
kuhaturkan sajak ini untuk mengenang/ pahlawan yang
mempertaruhkan segalanya dalam diam’. Opresi dan kekeras-
an terhadap kaum perempuan masih terus terjadi terutama
perkosaan dan pelecehan seksual di masyarakat.

6.8 Upita Agustine

Upita Agustine dilahirkan pada tanggal 31 Agutus 1947


di Pagaruyung. Upita Agustine adalah nama samaran Puti
Reno Raudhatuljanah Thaib, generasi akhir Kerajaan
Pagaruyung. Ia mulai menulis puisi tahun 1966 di koran lokal
Padang. Ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pertanian
Universitas Andalas, Padang kemudian mengajar di alma-
maternya, di Ruang Pendidikan INS Kayutanam, dan berga-
bung dengan kelompok seni-sastra-teater yang aktif di

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


110
DAN PROSES KREATIFNYA
Sumatera Barat (Rampan, 1997:326; Biografi Sastrawan-
Sastrawati, 1 Januari 1980). Sejumlah puisi Upita dimuat di
majalah Horison dan buku kumpulan puisinya berjudul
Bianglala (1975), Dua Warna (bersama Hamid Jabbar, 1974),
antologi Sunting (bersama Yvonne de Fretes, 1995), Tonggak
3 (ed. Linus Suryadi, 1987), Antologi Puisi Wanita Penyair In-
donesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997), dan Horison Sastra:
Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002).
Sajak Upita Agustine berjudul “Pada Malam dari Seribu
Bulan” dan “Ingin Kutanyakan” dimuat dalam buku antologi
Sunting (1995:1, 12) berikut ini.

PADA MALAM SERIBU BULAN


Muara dari seribu malam
bintang-bintang merendah
Gunung-gunung meninggi
bergetar di bibir langit
Dan ketika itu langit membuka tabirnya
Bersemu merah, bergairah penuh kemudaan
Angin pun bertiup perlahan-lahan
Pada gunung-gunung
Pada daun-daunan
Pada alam
Semesta jadi tenang, berhenti seketika
Para malaikat turun ke bumi menaburkan
Wangi wangian sorga
Dan harapan terulur pada lengan manusia
Yang rikuh
Pada malam dari seribu bulan, malam seribu makna

INGIN KUTANYAKAN
Pernahkah kau merasa
Segala yang diperbuat tak berarti

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 111


Dan kau ingin menghancurkan untuk meniadakannya
Pernahkah kau merasa
Sesal yang paling dalam di relung hatimu
Pernahkah kau begitu takut untuk mati
Dan begitu berani untuk hidup
Pernahkah kau mencoba lari pada sesuatu
Mancari yang kau rasakan hilang dari dirimu
Pernahkah kau merasa
Begitu pasti dengan hari-harimu
Pernahkah kau bayangkan dunia seabad lagi
Dan kau masih sempat hadir
Dan kau merasa asing dengan dirimu
Pernahkah kau merasa
Lengang dari tanya dan jawab
Pernahkah kau menjadi teman untuk dirimu
Terakhir
Ingin kutanyakan
Pernahkah semua itu kau pertanyakan

Sajak ‘Pada Malam Seribu Bulan’ terdiri atas 2 bait. Sajak


ini menggambarkan suasana pada malam seribu bulan, ‘Muara
dari seribu malam/ bintang-bintang merendah/ Gunung-
gunung meninggi/ bergetar di bibir langit/ Dan ketika itu
langit membuka tabirnya/ Bersemu merah, bergairah penuh
kemudaan/ Angin pun bertiup perlahan-lahan/ Pada gunung-
gunung/ Pada daun-daunan/ Pada alam’. Suasana malam
seribu bulan itu merupakan malam seribu makna bagi umat
Islam, ‘Semesta jadi tenang, berhenti seketika/ Para malaikat
turun ke bumi menaburkan/ Wangi wangian sorga/ Dan
harapan terulur pada lengan manusia/ Yang rikuh/ Pada
malam dari seribu bulan, malam seribu makna’.
Sajak ‘Ingin Kutanyakan’ terdiri atas 1 bait yang panjang.
Sajak ini mengajak pembaca untuk berkontemplasi, ‘Pernahkah
kau merasa/ Segala yang diperbuat tak berarti/ Dan kau ingin

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


112
DAN PROSES KREATIFNYA
menghancurkan untuk meniadakannya/ Pernahkah kau
merasa/ Sesal yang paling dalam di relung hatimu/ Pernahkah
kau begitu takut untuk mati/ Dan begitu berani untuk hidup/
Pernahkah kau mencoba lari pada sesuatu/ Mencari yang kau
rasakan hilang dari dirimu/ Pernahkah kau merasa/ Begitu
pasti dengan hari-harimu’.
Melalui sajak ‘Ingin Kutanyakan’, Upita melukiskan
berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Ber-
bagai pertanyaan dilontarkan sebagai bentuk protes terhadap
keadaan yang menimpanya. Akan tetapi, semua itu adalah
ajakan kepada pembaca untuk berintrospeksi tentang diri kita
masing-masing, seperti tampak pada baris sajak berikut, ‘per-
nahkah kau merasa/ segala yang diperbuat tak berarti/ dan
kau ingin menghancurkan untuk meniadakannya/ pernahkah
kau begitu takut untuk mati/ dan begitu berani untuk hidup’.
Sebagai penyair, Upita berusaha menyampaikan pesan
melalui sajak-sajaknya, baik pada sajak ‘Ingin Kutanyakan’
maupun dalam sajak ‘Pada malam Seribu Bulan’. Melalui sajak
ini, Upita mengingatkan manusia khususnya muslim untuk
memahami malam yang penuh berkah yaitu malam seribu
bulan yang datang setiap bulan ramadhan. Upita mengeks-
presikan ‘malam seribu bulan’ itu ke dalam baris-baris sajak
berikut, ‘semesta jadi tenang, berhenti seketika/ pada malai-
kat turun ke mubi menaburkan/ wangi-wangian sorga/ dan
harapan terulur pada lengan manusia/ yang rikuh/ pada
malam dari seribu bulan, malam seribu makna’.
Upita aktif bermain drama, pandai berdeklamasi, dan
menari sehingga cepat dikenal oleh masyarakat. Padahal

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 113


kegiatan-kegiatan tersebut pada masa itu dianggap ‘tabu’ bagi
masyarakat tradisional Minangkabau apalagi perempuan dari
lingkungan istana. Oleh karena itu, Upita juga dipandang
sebagai orang yang berani melakukan pendobrakan.
Kemunculan Upita di atas panggung begitu cepat dikenal
masyarakat, sebab selain jago deklamasi, main drama, juga
pandai menari. Hampir pada setiap peristiwa kesenian,
baik di sekolah, kampung, maupun di tempat terbuka
sekalipun. Ia selalu tampil memperagakan kebolehannya
(P.Hend, Berita Buana, 29 Juli 1976).
Hadirnya Upita Agustine dalam dunia keseniaan, dipan-
dang orang sebagai suatu ‘keberanian’. Dalam masyarakat
tradisional di Minangkau kegiatan kesenian (kecuali
sastera), untuk terjun agak ‘sungkan’ untuk kalangan
orang-orang terpandang. Dan sama sekali ‘tabu’ bagi
perempuan. Tetapi Upita Agustine justru seorang perem-
puan dari istana Pagaruyung dengan berani ‘mendo-
braknya’ (HW, Berita Buana, 20 Juli 1982).
Sebagai perempuan, Upita lahir dari kalangan terpandang
di Minangkabau. Upita telah menunjukkan keberaniannya
aktif dalam kegiatan kesusastraan padahal kegiatan seperti
itu ditentang oleh keluarganya. Upita telah memiliki kesa-
daran bahwa perempuan pun dapat beraktivitas di wilayah
publik. Meskipun pada saat itu dianggap tabu dan tidak
pantas bagi perempuan dari kalangan terpandang, Upita tetap
beraktivitas di bidang sosial. Upita memiliki kesadaran untuk
merepresentasikan berbagai peristiwa yang dialami kaum
perempuan pada masanya. Sebagai perempuan anak bang-
sawan, Upita menyadari bahwa ia memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan kebebasan beraktivitas sebagai makhluk
sosial. Kesadaran Upita ini menunjukkan tekad perempuan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


114
DAN PROSES KREATIFNYA
yang ingin hak dan kedudukannya setara dengan kaum laki-
laki.

6.9 Diah Hadaning

Diah Hadaning dilahirkan pada tanggal 4 Mei 1940 di


Jepara, Jawa tengah. Nama aslinya adalah Sinaryu Indiyah
Hadaning dengan nama samaran Diha (Biografi Sastrawan-
Sastrawati Indonesia). Diah lulusan SPSA tahun 1960 di
Semarang dan pernah bekerja di Kantor Perwakilan Depar-
temen Sosial Semarang serta mengajar di Sekolah Tuna Netra
Semarang (Suryadi, 1987:416).
Diah merupakan perempuan penyair paling produktif
dibandingkan penyair lainnya. Kumpulan puisi Diah yang
berjudul Surat dari Kota mendapat penghargaan Puisi Putra
pada lomba penulisan puisi oleh Gapena di Malaysia pada
tahun 1980. Sajak-sajak Diah sudah diterbitkan dalam buku
kumpulan puisi tunggal dan antologi seperti: Ballada Sebuah
Nusa (1979), Kabut Abadi (1979 bersama I Gusti Bawa Samar
Gantang), Jalur-jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (1982 bersama
Puti Arya Tirtawirya), Kristal-Kristal (1982 bersama Dinullah
Rayes), Nyanyian Granit-Granit (1983), Balada Sarinah (1985),
Sang Matahari (1986), Nyanyian Waktu (1987), Balada Anak
Manusia (1989), Di Antara Langkah-langkah: Sajak-sajak Perjalanan
(1993), Nuansa Hijau (1995), Nyanyian Hening Senjakala (1996),
Tonggak 2 (ed. Linus Suryadi, 1987), dan Antologi Puisi Wanita
Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997).
Berikut ini sajak Diah Hadaning (1985:6) berjudul “Balada
Sarinah” dan “Dia Adalah Melati itu” (1987:417) yang

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 115


mengangkat masalah perempuan.

BALADA SARINAH
Wanitaku
Bunga sepatu merah jambu
selaksa gairah diperamnya
Selaksa tabir dikuaknya
Bukit-bukit diguncangnya
Wanitaku
Gemintang pun disuntingnya
Nafas angin
Setiap teluk nusantara
1982

DIA ADALAH MELATI ITU


Ia adalah melati itu
Yang slalu gelisah oleh sentuhan angin
Ia adalah kandil gemerlap puri itu
Yang sinarnya menyeruak menembus kampung
Ia adalah anak kesayangan Bupati itu
Yang wajahnya perawan rakyat
Ia yang teringsut langkah
Dalam kain berwiru indah
Ia yang tersekap dan terjerat
Tapi gema panggilnya menembus tujuh lautan
Ia yang terkungkung dalam murung
Nuraninya menjelajah busur langit
Ia adalah melati itu
Putih
Putih
Putih
Ia terlalu putih untuk penghias tilam
Sang Bupati Rembang penyunting kembang
Ia terlalu putih untuk bayang-bayang kelambu
Maka ia tepiskan makna seorang raden ayu
Ia terlalu putih untuk penyalam cermin
Karena ia camar laut Jepara pengembara sejati
1982

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


116
DAN PROSES KREATIFNYA
Sajak-sajak Diah Hadaning, seperti “Balada Sarinah” dan
“Dia adalah Melati itu” diekspresikan dengan bahasa yang
sederhana sehingga mudah dipahami maknanya. Pada sajak
“Balada Sarinah”, Diah memanfaatkan tipografi untuk mem-
berikan makna tertentu dan efek estetik. Sajak ini menggam-
barkan kehidupan perempuan bernama Sarinah. Sajak ‘Dia
adalah Melati itu’ melukiskan Kartini sebagai pejuang eman-
sipasi di Indonesia. Kekaguman Diah sebagai penyair ter-
hadap sosok Kartini diekspresikan dalam baris-baris sajak
berikut, ‘Ia adalah anak kesayangan Bupati itu/ Yang wajah-
nya perawan rakyat/ Ia yang teringsut langkah/ Dalam kain
berwiru indah/ Ia yang tersekap dan terjerat/ Tapi gema
panggilnya menembus tujuh lautan/ Ia yang terkungkung
dalam murung/ Nuraninya menjelajah busur langit/ Ia adalah
melati itu/ Ia terlalu putih untuk penyalam cermin/ Karena
ia camar laut Jepara pengembara sejati’. Gambaran Kartini
bagi Dyah sebagai penyair adalah sosok, ‘yang tersekap dan
terjerat/ tapi gema panggilnya menembus tujuh lautan/ ia
yang terkungkung dalam murung/ nuraninya menjelajah
busur langit’.
Sebagai perempuan, Diah memahami apa yang dirasakan
dan dialami oleh Kartini pada masa itu. Kartini adalah sosok
perempuan yang terkungkung baik oleh adat dan tradisi.
Padahal, Kartini memiliki semangat yang tinggi untuk mema-
jukan kaumnya. Kemajuan perempuan Indonesia diawali dari
perjuangan Kartini. Meskipun dalam situasi dan posisi yang
lemah, Kartini terus berupaya untuk membebaskan kaum
perempuan dari tradisi yang membelenggunya. Diah ingin

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 117


agar perempuan Indonesia menghargai perjuangan Kartini
dan tidak menyia-nyiakan pengorbanannya. Upaya Kartini
memajukan pendidikan bagi perempuan adalah buah
perjuangan yang harus dipertahankan agar kaum perempuan
di Indonesia tidak tertinggal oleh kaum perempuan dari
Negara maju.

6.10 Yvonne de Fretes

Yvonne de Fretes dilahirkan pada tanggal 10 Oktober


1947 di Singaraja, Bali. Ia tinggal di sejumlah kota karena
mengikuti tugas suaminya sebagai Jaksa Tinggi. Pengalaman
Yvonne tinggal di berbagai kota mempengaruhi puisi yang
diciptakannya. Sajak-sajak Yvonne dimuat dalam buku
antologi Sunting (bersama Upita Agustine, 1995) dan Antologi
Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan,
1997).
Sajak-sajak Yvonne (1995: 33, 37, 64) berjudul “Sebuah
Perjalanan di Negeri Leluhur” dan “Perjalanan Hari” dimuat
dalam antologi Sunting berikut ini.

SEBUAH PERJALANAN DI NEGERI LELUHUR


Sebuah perjalanan jauh
Tanpa tau di mana kan berlabuh
Di antara dinginnya malam membeku
Sementara beberapa pesan datuk
Dipegang teguh

Disinilah kita mengangguk


Sambil menatap sehelai daun yang lenyap diterpa angin
yang

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


118
DAN PROSES KREATIFNYA
Berhembus dari Sirimau
Disinilah kita tetap melakukan perjalanan
Siang dan malam ke seribu pulau
Sesekali topan mengancam
Tetaplah tenang, riang
Sebab cahaya mentari dan bulan
Di atas nyiur, sagu dan pala
Terus berikan kehidupan
Bagi kita
Yang punya segumpal pengertian
Atas anugerah dan cinta yang selalu kita dendangkan
lewat lagu
Perjalanan memang jauh, orang negeri
Di tanah lembut ini
Sebrangi cantiknya teluk dan laut yang banyak menyimpan
Cerita perkasa
Dan di pasir sajak penyair pantai seputih salju
Kembali kita mengangguk
Dan berlabuh
Kucium lehermu dengan gairah
Ini memang milik kita
Bila tahu mempermainkan matahari
Asalnya cinta
Yang dipasrahkan dalam-dalam

PERJALANAN HARI
Pagi
Yang berbisik lewat surya
Bisa jadi, lewat sajak
Menyapa
Dengan syukur
Jendela yang berderit
Menyandarkan seulas senyum
Masih banyak lagi pagi
Dipungut dari tabirNya
Terima kasih, Tuhan
Senja

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 119


Bagai pualam jingga
Bercerita tentang
Sibuknya suatu perjalanan
Dan sunyi yang bakal meniti
Perpisahan memang selalu menyayat
Padahal
Terjadi, dan
Terjadi lagi
Bagai mengurut halaman sebuah buku
Mengherankan, katanya bergegas sebelum lenyap
Malam
Dipagut kelam,
Jangkrik tak lagi bersuara
Gumpalan mega hitam siap menelan
Bulan yang mendaki
Mencumbunya
Dan lenyaplah ke dalam gairahnya
Kukatup kedua tanganku
Cuma Engkau ya Bapa
Kawanku kudus
Yang tinggal sertaku

Sajak-sajak Yvonne adalah sajak-sajak perjalanan, baik


perjalanan sesungguhnya maupun perjalanan rohani. Penga-
laman-pengalaman perjalanan yang diungkapkan dalam lirik
romantik yang terpola dalam nuansa prosa sehingga membuat
sajak-sajak Yvonne tidak implisit, seperti tampak pada sajak
‘Sebuah Perjalanan di Negeri Leluhur’. ‘Sebuah perjalanan
jauh/ Tanpa tau di mana kan berlabuh/ Di antara dinginnya
malam membeku/ Sementara beberapa pesan datuk/ Dipe-
gang teguh/ Perjalanan memang jauh, orang negeri/ Di tanah
lembut ini/ Sebrangi cantiknya teluk dan laut yang banyak
menyimpan/ Cerita perkasa’.
Sajak-sajak perjalanan Yvonne de Fretes ini tidak lepas

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


120
DAN PROSES KREATIFNYA
dari perjalanannya mengikuti tugas suami sebagai Jaksa Tinggi
di sejumlah kota di Indonesia, seperti dinyatakan Rampan
berikut.
Pengalamannya tinggal di sejumlah kota di Indonesia –
karena mengikuti tugas suaminya sebagai Jaksa Tinggi –
memperlihatkan pengaruhnya secara kreatif di dalam
sajak-sajaknya. Meskipun tidak mengejutkan secara literer,
kehadiran penyair ini memberi nuansa lain dari dunia
persajakan yang ditulis oleh perempuan penyair Indone-
sia (Rampan, 1997:359).

Melalui sajak-sajak perjalanannya, Yvonne tidak lupa


mengucap rasa syukurnya kepada Tuhan, seperti tampak pada
baris, ‘pagi/ yang berbisik lewat surya/ bisa jadi, lewat sajak/
menyapa/ dengan syukur/ masih banyak lagi pagi/ dipungut
dari tabirNya/ terima kasih, Tuhan’.
Sebagai penyair, Yvonne sadar bahwa kebesaran Tuhan
yang ditemuinya dalam setiap perjalanan adalah anugerah
yang harus disyukuri oleh manusia. Melalui sajak-sajak
perjalanannya, Yvonne menyampaikan pesan kepada pembaca
agar selalu ingat dan bersyukur kepada Tuhan di manapun
kita berada. Berbagai pengalaman yang dialaminya selama
di perjalanan menjadi inspirasi dalam sajak-sajaknya.
Sebagai perempuan, Yvonne menununjukkan diri sebagai
istri yang setia mendampingi suami bertugas. Ia selalu ber-
syukur atas apa yang telah dialaminya dan membuat hidup-
nya bahagia. Akan tetapi, Yvonne tidak melupakan potensinya
menulis sehingga ia berhasil menulis puisi dan memiliki buku
kumpulan puisi Sunting (1995) yang diterbitkan bersama sajak-
sajak Upita Agustine.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 121


6.11 Agnes Sri Hartini

Agnes Sri Hartini dilahirkan pada tahun 1950 di Solo,


Jawa tengah. Ia menyelesaikan SD sampai SLTA di kota kela-
hirannya kemudian kuliah di IKIP Negeri Solo, tetapi tidak
tamat. Ia pernah bekerja di Kantor Pusat Kesenian Jawa tengah
di Baluwarti, Solo (Suryadi, 1987:69). Agnes pernah memenang-
kan hadiah sayembara sajak BBC –London dengan sajaknya
berjudul “Sajak di Sembarang Kampung”. Sajak-sajak Agnes
dimuat dalam buku antologi Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (ed.
Toeti Heraty, 1979) dan Tonggak 4 (ed. Linus Suryadi, 1987).
Salah satu sajak Agnes Sri Hartini (1979:120) berjudul “Selamat
Jalan Anakku” berikut ini.

SELAMAT JALAN ANAKKU


Selamat jalan anakku, baru kini kuucapkan
Setelah kau berjalan sangat jauh
Setelah kau berada di tempat sangat teduh
Terima kasih Tuhan,
Kau asuh kembali anak-anakmu yang terbaik
Aku pun mampu
Memberikan anakku
Seperti Kau juga
Memberikan anak lelakimu satu-satunya
Untuk kami semua
Selamat jalan anakku
Semoga kerinduan yang kausisakan
Menjadi bekal kita bersama
Untuk saling mengenal kembali
1976

Sajak ‘Selamat Tinggal Anakku’ terdiri atas 4 bait. Sajak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


122
DAN PROSES KREATIFNYA
ini menggambarkan keikhlasan seorang ibu menerima kema-
tian anaknya. ‘Selamat jalan anakku, baru kini kuucapkan/
Setelah kau berjalan sangat jauh/ Setelah kau berada di
tempat sangat teduh/ Terima kasih Tuhan,/ Kau asuh kembali
anak-anakmu yang terbaik’. Kepercayaannya kepada Tuhan
Sang Pencipta membuat hati seorang ibu tenang dan damai.
Ia percaya suatu saat akan dipertemukan kembali, ‘Selamat
jalan anakku/ Semoga kerinduan yang kausisakan/ Menjadi
bekal kita bersama/ Untuk saling mengenal kembali’.
Pada sajak lain, dengan bahasa yang sederhana, Agnes
melukiskan situasi yang begitu kompleks tentang kampung
yang kumuh di suatu kota metropolitan, seperti tampak “Sajak
di Sembarang Kampung” (1997:361) berikut ini.

SAJAK DI SEMBARANG KAMPUNG


Di sebuah kampung kota metropolitan
Tak diperlukan sajak, karena anak-anak
Bagai ayam. Dilepas waktu dini
Dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
Setelah sepanjang siang mengais dan melengking
Di sebuah kampung itu, tak ada batas-batas
Ruang tidur ialah tempat makan dan marah
Kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
Disumbangkan beramai-ramai
Desas-desus berlalu-lalang dengan deras
-kau tak mengenal lagi
Apakah yang terbanting itu boneka atau bayi
Tak ada ejek-mengejek, tetapi semua merasa
Tersindir
Tak ada pekerjaan, tetapi semua kelelahan, pusing
Bahkan hampir pingsan, katanya karena penyakit
Jantung

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 123


Perut selalu lapar, meskipun hutang makin
Menggunung

Sajak berjudul “Sajak di Sembarang Kampung” terdiri


atas 3 bait. Sajak ini menggambarkan kehidupan masyarakat
yang miskin di kota metropolitan. Kemiskinan itu diekspre-
sikan penyair melalui baris sajak, ‘Di sebuah kampung kota
metropolitan/ Tak diperlukan sajak, karena anak-anak/ Bagai
ayam. Dilepas waktu dini/ Dan baru larut malam nanti dipaksa
tidur dengan tangis/ Setelah sepanjang siang mengais dan
melengking’. Untuk melukiskan betapa sempit dan kumuh-
nya tempat tinggal mereka, Agnes melukiskannya sebagai
berikut, ‘ruang tidur ialah tempat makan dan marah/ kamar
mandi milik bersama, dan bau pesing/ desas-desus berlalu-
lalang dengan deras’. Masalah sosial khususnya kemiskinan
menjadi perhatian penyair.
Sebagai penyair, bentuk kepeduliaan terhadap lingkung-
an sosial itu diekspresikan Agnes melalui sajak. Agnes
mengingatkan pembaca bahwa masih ada saudara-saudara
kita yang hidup tidak layak di tempat kumuh di kota metro-
politan. Melalui sajak ini, secara implisit Agnes menyampaikan
pesan bahwa perlu ada perhatian dan kepeduliaan sosial, baik
dari pemerintah maupun masyarakat sekitarnya khususnya
kepada anak-anak yang hidup di lingkungan tersebut.
Sebagai perempuan, Agnes memiliki kesadaran penting-
nya lingkungan bagi kehidupan manusia di manapun berada.
Kebersihan lingkungan akan memberi dampak positif bagi
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sebaliknya, lingkungan
yang kotor menjadikan masyarakat di sekitarnya tidak sehat.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


124
DAN PROSES KREATIFNYA
Kehidupan kumuh yang ada di berbagai pinggiran sesung-
guhnya tidak layak dihuni. Agnes menunjukkan kepedulian-
nya terhadap kehidupan manusia yang tidak layak di ling-
kungan kumuh. Ia juga merasa prihatin dengan lingkungan
yang mulai tercemar karena kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap kebersihan dan kesehatan.

6.12 Dewi Motik

Dewi Motik Pramono, nama aslinya Cri Puspa Dewi Motik,


dilahirkan pada tanggal 10 Mei 1949 di Jakarta. Pendidikan
Dewi adalah sarjana dari IKIP Rawamangun, Jakarta dan
sarjana seni rupa dari Florida International University, Miami,
USA. Tahun 1975, Dewi menikah dengan Pramono. Dewi
Motik dikenal sebagai seorang aktivis perempuan, tokoh
Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), pengarang, dan
juga pelukis. Delapan puluh lukisan Dewi pernah dipamerkan
di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada tanggal
9-14 Mei 1994 (Suara Karya, 22 Mei 1994). Dewi menulis puisi
dan telah menerbitkan buku kumpulan puisi tunggalnya
berjudul Cintaku, Tuhanku (1987).
Dalam sambutan kumpulan puisi Dewi Motik, H.B. Jassin
(1987: vii) menyatakan bahwa sajak-sajak Dewi Motik terlahir
dari pengalaman lingkungan keluarga, pekerjaan, dan se-
mesta. Sajak-sajaknya diungkapkan dengan bahasa yang jelas
dan terang dengan gaya yang tidak dicari-cari. Sebagai ma-
khluk Tuhan, Dewi sadar bahwa semua manusia akan kembali
ke pangkuan-Nya, seperti tampak dalam sajak berjudul “Awal-
Akhir” dan “Maut” yang dimuat dalam Cintaku, Tuhanku

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 125


(1987:11, 87) berikut ini.

AWAL-AKHIR
Awal kehidupan makhluk di dunia
Akhir kehidupan makhluk di dunia
Adalah yang menjalin segala
Kisah kasih sepanjang masa
Manusia, sadarlah engkau
Bila engkau telah mengawali suatu masa
Suatu waktu engkau akan mengakhiri masa tersebut.
Bila engkau mengawali suatu masa kesedihan
Suatu waktu kesedihan itu akan berakhir
Tetapi
Bila engkau mengawali suatu masa kebahagiaan
Suatu waktu kebahagiaan itu akan berlalu, berakhir
Tetapi
Bila engkau sadar setiap awal selalu ada akhir,
Itu adalah suatu awal yang
Indah,
Mudah-mudahan akan diakhiri dengan
Suatu akhir yang
Indah, pula.

MAUT
Sebagian umat ngeri menghadapimu,
Sebagian umat takut berjumpa denganmu,
Sebagian umat berusaha menghindarimu,
Di setiap sudut, siap, mengintip kereta-keretamu,
Celah, celah besar-kecil dapat dimasuki olehmu,
Tak seorang umat yang mempu menghalangimu.
Aku tidak, aku tidak …
Aku tak gentar terhadapmu.
Kusongsong engkau dengan senyum yang semanis-manis-
nya,
Kujelang engkau dengan tangan terbuka selebar-lebar-
nya.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


126
DAN PROSES KREATIFNYA
Aku yakin, aku yakin …
Aku yakin seyakin-yakinnya.
Hidup adalah pada maut bermuaranya,
Hidup adalah pada maut pelepasannya,
Aku sadar bila hidup dan maut
Selalu berdampingan
Itulah makna maut yang sejati

Selain sajak-sajak bertema keagamaan, Dewi Motik


(1987:41) juga menggugah hati nurani wakil rakyat, seperti
tampak dalam sajak berjudul “Rakyat Kecil” berikut.

RAKYAT KECIL
Kau, rakyat kecil
Selalu menjadi buah bibir bagi pengejar kekuasaan
Kau, rakyat kecil
Selalu menjadi hiasan, pemanis bagi pengejar kekuasaan
Kau rakyat kecil
Selalu menjadi tumpuan janji bagi pengejar kekuasaan
Tetapi
Bila kekuasaan telah tercapai di tangannya
Kau, rakyat kecil
Dilupakan mereka
Lupa janji
Lupa ikatan

Dewi Motik lebih dikenal masyarakat Indonesia sebagai


pengusaha dan aktivis perempuan padahal ia juga melukis,
menulis puisi, dan mengarang buku. Lukisan-lukisan Dewi
pun pernah dipamerkan di TIM. Tiga buku karangan Dewi
masing-masing berjudul Yang Sopan dan Santun, Tata Krama
Berbusana dan Bergaul, dan Perempuan Indonesia Pemimpin Masa
Depan (B.9, Suara Pembaruan, 4 Agustus 1991). Dalam sajak

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 127


‘Awal dan Akhir’, Dewi menyampaikan pesan sebagaimana
diekspresikan dalam baris-baris sajak berikut, ‘awal kehi-
dupan makhluk di dunia/ akhir kehidupan makhluk di dunia/
adalah yang menjalin segala/ kisah kasih sepanjang masa/
manusia, sadarlah engkau’.
Dalam sajak ‘Maut’, Dewi mengekspresikan keberanian
seorang manusia menghadapi maut. Jika sebagian besar
manusia takut pada kematian, tidak demikian halnya dengan
perempuan dalam sajak ini, ‘kusongsong engkau dengan
senyum yang semanis-manisnya/ kujelang engkau dengan
tangan terbuka selebar-lebarnya’. Pesan yang terkandung
dalam sajak ini agar manusia tidak perlu takut pada kematian
karena, ‘hidup adalah pada maut bermuaranya/ hidup adalah
maut pelepasannya’. Dalam sajak ‘Rakyat Kecil’, perhatian
penyair beralih ke masyarakat kelas bawah yang menjadi
korban dan dinyatakan dalam baris sajak, ‘kau rakyat kecil,
selalu menjadi hiasan, pemanis bagi pengejar kekuasaan/ kau
rakyat kecil/ selalu menjadi tumpuan janji bagi pengejar
kekuasaan/ Tetapi/ Bila kekuasaan telah tercapai di tangan-
nya/ Kau, rakyat kecil/ Dilupakan mereka/ Lupa janji/ Lupa
ikatan’.
Sebagai penyair, Dewi memiliki kepekaan terhadap nasib
yang terjadi pada rakyat kecil dan mengekspresikannya ke
dalam sajak. Pengalaman hidupnya di dunia politik dan
pengusaha membuat Dewi lebih peka melihat berbagai
persoalan manusia di masyarakat. Oleh sebab itu, sajak-
sajaknya mengangkat berbagai intrik politik yang melibatkan
rakyat Indonesia. Sajaknya berupa sindiran bagi penguasa

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


128
DAN PROSES KREATIFNYA
yang ngobral janji tetapi tidak ditepati setelah berhasil menjadi
penguasa.
Sebagai perempuan, Dewi memiliki kesadaran politik.
Ia sudah mampu melihat adanya janji manis politik yang
diberikan oleh para calon penguasa pada masa itu. Rakyat
hanya menjadi korban dari ambisi kekuasaan para politikus.
Dewi yang aktif di dunia politik dan pengusaha mampu
melihat berbagai intrik politik di negerinya. Di sisi lain, Dewi
juga memiliki kesadaran religius yang telah dituangkan ke
dalam sajak-sajaknya.

6.13 Ar. Kemalawati

Ar. Kemalawati atau D. Kemalawati, nama lengkapnya


Arba’yah Daikana dilahirkan di kota Aceh, 2 April 1965.
Kemalawati menyelesaikan pendidikannya di FKIP Univer-
sitas Syiah Kuala Aceh dan mengabdi sebagai guru di salah
satu SMK di Meulaboh dan Banda Aceh. Sejak Januari 2017,
Kemalawati tercatat sebagai pegawai disbudpar Aceh di
bidang Bahasa dan Seni. Buku kumpulan puisinya yang sudah
terbit berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan (2006), Hujan Setelah
Bara (2012), Bayang Ibu (2016). Kemalawati juga menyunting
buku kumpulan puisi berjudul Ziara Ombak, Tuah Tara, Jejak
Langkah, dan Pasir Karam, antologi puisi penyair Nusantara
Meulaboh (2016). (Berbagi Zikir, 2017)
Kemalawati sering melawat ke negara tetangga seperti
Singapura dan Malaysia mencari bahan tulisan sejarah dan
sering diundang sebagai pembicara tentang sastra atau sejarah
Melayu. Sajak-sajak karya Kemalawati dan Diah Hadaning

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 129


sudah dimuat dalam antologi bertaraf internasional, seperti
ditulis Wirawan Sudewa dalam Prioritas, berikut ini.
Baik Diah Hadaning maupun Ar. Kemalawati, penyair
perempuan Indonesia masa kini yang dapat kita
ketengahkan sebagai wakil penyair perempuan tanah air
yang telah mulai menggapai tangga untuk dapat tampil
di peringkat Nusantara bahkan internasional. Bukan
sekedar ‘julukan’ atau pujian yang dapat diungkapkan.
Namun berbagai hasil cipta khususnya puisi dari keduanya
telah menghiasi antologi puisi bertaraf internasional yang
berturut-turut diterbitkan antara tahun 1983 hingga 1988
(Wirawan Sudewa, Prioritas, 25 Januari 1987).

Sajak-sajak Kemalawati dan Diah Hadaning dimuat


dalam antologi ASEAN (Yayasan Sanggar Semu Bali, April
1983) kemudian diterjemahkan dan diterbitkan melalui kolom
puisi pada majalah Book World (terbitan Bangkok) dan Ru
Sembilan (terbitan Prince of Songkla University, Pattani Thai-
land). Sajak-sajak Kemalawati yang lain diterbitkan dalam
kumpulan puisi tunggal berjudul Surat dari Negeri Tak Bertuan
(2006). Buku ini ditulis dalam dua bahasa: bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris dan memuat delapan puluh lima sajak.
Berikut ini sajak karya Kemalawati (2006:2, 4) berjudul “Di-
hempas Badai” dan “Ombak’.

DIHEMPAS BADAI
Seperti biduk rapuh bermain di samudera
Alangkah hebatnya petualangan ini
Seperti layang-layang di tengah padang
Inilah tangan mengulur
Harap terbang tinggi
Seperti kelana di hutan belantara
Ikut arah angin kembara

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


130
DAN PROSES KREATIFNYA
Seperti lilin di tengah gubuk
Maka badai adalah satu-satunya
Nyanyian perkasa
(seharusnya)
Meulaboh, Mei 1990

OMBAK
Seandainya kau pergi jauh
Tak kembali
Akan kulayari kekecewaanku
Agar siapapun kan merasakan
Berbagai makna di kakiku
Yang terus telanjang
1987

Dalam kata pengantar antologi Surat dari Negeri Tak


Bertuan, Helmi Hass (direktur eksekutif dari penerbit Lapena)
menganggap bahwa sajak-sajak Kemalawati pantas diterbit-
kan karena selain produktif, ia konsisten dan kontinyu ber-
karya, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya
(2006:iii). Delapan puluh lima sajaknya yang termuat dalam
antologi Surat dari Negeri Tak Bertuan ini mengangkat tema
yang beragam. Melalui sajak ‘Dihempas Badai’, penyair melu-
kiskan petualangannya, ‘Seperti biduk rapuh bermain di
samudera/ Alangkah hebatnya petualangan ini/ Seperti layang-
layang di tengah padang/ Inilah tangan mengulur/ Harap
terbang tinggi/ seperti kelana di hutan belantara/ ikut arah
angin kembara/ seperti lilin di tengah gubuk/ Maka badai
adalah satu-satunya/ Nyanyian perkasa’.
Sajak ‘Ombak’ hanya terdiri atas 1 bait. Sajak lirik ini
menggambarkan kekecewaan seseorang yang ditinggal pergi,
‘Seandainya kau pergi jauh/ Tak kembali/ Akan kulayari

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 131


kekecewaanku/ Agar siapapun kan merasakan/ Berbagai
makna di kakiku/ Yang terus telanjang’. Sebagai penyair,
Kemalawati mengekspresikan petualangan dan berbagai
peristiwa alam, baik pada saat alam bersahabat dengan
manusia maupun pada saat alam memporakporandakan
kehidupan manusia. Melalui kata-kata yang dipilihnya, ia ber-
usaha menggambarkan fenomena alam yang menarik dan
tidak membosankan untuk dinikmati. Kesadarannya terhadap
berbagai fenomena alam menjadi inspirasi sajak-sajaknya.
Sebagai perempuan, Kemalawati tertarik pada kehidupan
alam terutama pantai dan laut. Berbagai peristiwa di alam
menarik perhatiannya. Hal ini terkait dengan keberadaannya
sebagai makhluk di muka bumi. Keindahan alam dan bencana
alam yang terjadi di mana pun di dunia ini sudah diatur oleh
Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, ia berusaha melihat ber-
bagai fenomena alam dan hubungannya dengan kehidupan
manusia. Kemalawati suka berpetualang menikmati keindah-
an alam.
Selain nama-nama perempuan penyair yang telah dibahas
di depan, dalam catatan Rampan (1997:xvii) pada tahun 1970-
an muncul penyair dari Jawa Timur, khususnya Banyuwangi,
yaitu Aini Fitri Imam dan Azmi Sawitri, sedangkan dari
Yogyakarta muncul nama-nama Arie Arna Putri (15 Novem-
ber 1965), Connie Rinto Widihapsarie (21 Jaunari 1959), Cindy
Kunto Widyastuti (13 Mei 1957), Elia Guspita (20 Januari 1959),
Latifah Kustiwati, Pratiwi AS (23 Juli 1959), Prih Utami, Rinno
Arna Putrie (16 Februari 1962), Suwastinah, Ariyadi, dan Yulie
Wied (28 Juli 1956). Akan tetapi, kehadiran mereka dalam

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


132
DAN PROSES KREATIFNYA
dunia sastra hanya selintas sehingga karya-karyanya tidak
terdokumentasikan dan tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
Masalah yang diekspresikan perempuan penyair pada
tahun 1965 sampai tahun 1980-an bervariasi tetapi lebih
didominasi masalah-masalah sosial. Kesadaran mereka seba-
gai perempuan tidak terbatas pada keinginan untuk menda-
patkan kebebasan dan keadilan sebagai individu sebagaimana
tampak pada penyair tahun 1945-1965, tetapi mereka mulai
memasuki masalah-masalah sosial dan politik.
Perempuan penyair mulai berani menyuarakan hati
nuraninya sebagai wakil rakyat yang tertindas, sebagai makhluk
sosial dan makhluk religius. Masalah kematian diangkat dalam
sajak bukan sebagai sesuatu yang menakutkan tetapi sebagai
sesuatu yang harus dihadapi dengan senyuman. Hal ini
menunjukkan potensi religius yang dimiliki oleh penyair tidak
diragukan lagi. Sikap atau tone penyair dalam sajak bertema
kematian menggambarkan rasa percaya diri yang tinggi
sebagai manusia. Kesadarannya sebagai makhluk Tuhan
tampak diekspresikan baik oleh perempuan penyair muslin
maupun nonmuslim.
Keberanian perempuan penyair mengekspresikan
perasaan, pikiran, harapan, dan cita-citanya mulai mewarnai
sajak-sajak ciptaannya. Kesadaran perempuan untuk memper-
oleh hak pendidikan dan hak berpolitik mulai ditampilkan.
Menurut mereka, perempuan sesungguhnya memiliki potensi
yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, sudah seharus-
nya kaum perempuan diberi kesempatan memperoleh dunia
pendidikan. Kesadaran bahwa pendidikanlah yang dapat

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 133


membuka cakrawala pengetahuan dan kemajuan berpikir bagi
kaumnya.
Stereotif bahwa perempuan itu lemah masih tetap
mewarnai sajak perempuan penyair. Beberapa sajak me-
nampilkan ketidakberdayaan kaum perempuan menghadapi
situasi dan kondisi yang membelenggu membuat kakinya
tidak dapat melangkah bebas. Berbagai kekerasan berupa
perkosaan masih dialami oleh perempuan sebagai bukti
ketidakberdayaan perempuan sebagai liyan terhadap laki-laki
sang Diri sebagai penguasa. Akan tetapi, di satu sisi perempuan
tetaplah makhluk yang lembut, halus, penuh kasih sayang,
menjaga, merawat, mendidik, dan melayani keluarganya
dengan sepenuh hati.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


134
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 7
PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
TAHUN 1980-2000

Dalam catatan Rampan (1997: xviii), pada tahun 1980-an awal,


muncul nama-nama seperti: Yulia Af (Ngawi, 9 Juli 1955),
Sitoresmi (1950), dan Ratna Indraswati Ibrahim (1949), Iriani
R. Tandi (1960), Rina Ratih Sri Sudaryani (Tasikmalaya, 2 April
1964), Susi Andrian Aga Putra (1966), Choen Supriyatmi
(1969), Fitri Nuraeni (1970), Dick Asido, Endang Werdiningsih
(1957), Erlina (Denpasar, 18 Oktober 1961), Herien Trisnowati
(Malang, 3 Mei 1959), Irma Widyani, Murni Aryanti Pakpahan
(Sibolga, 24 Februari 1964), Nindy I. Soepardi (Banyuwangi,
25 Juni 1959), Titiek Danumiharja (Madura, 6 Juni 1954), Wita
Yudharwita (Jakarta, 27 Agustus 1956), Wiwiek AS (Purworejo,
19 Mei 1960). Perempuan-perempuan tersebut di atas, dikenal
sebagai penyair di daerahnya masing-masing. Akan tetapi,
kehadiran mereka insidental karena kemudian karya-karya
mereka tidak muncul lagi.
Penyair perempuan yang menonjol pada tahun 1980-an
ialah Tuti Gintini, Wita Yudharwita, Endang Werdiningsih,
Yetty Mustika, Erlina, Herien, Sofia Trisni, Wiwiek AS, Yuyun

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 135


Hendriawaty, Dhenok Kristianti, Nana Ernawati, dan Ida
Galuh Pethak (Rampan, 1997:xviii). Dalam buku Tugu: Antologi
Puisi 32 Penyair Yogya (ed. Suryadi, 1986) dari tiga puluh dua
penyair hanya ada tiga perempuan, yaitu Dhenok Kristianti,
Ida Ayu Galuh Pethak, dan Nana Ernawati. Nama Tuti Gintini
muncul bersamaan dengan Diah Hadaning dan Poppy Donggo
Hutagalung, tetapi sajak-sajak Tuti Guntini sulit ditemukan.
Kehadiran perempuan penyair yang disebutkan di atas
bertahan sampai tahun 1990-an. Tahun 1998, lengsernya
presiden Soeharto menjadi awal lahirnya masa reformasi di
Indonesia setelah tiga puluh dua tahun beliau berkuasa. Rakyat
Indonesia mengharapkan tumbuhnya proses demokrasi yang
menjadi ‘atmosfer’ dalam perkembangan organisasi apapun
di Indonesia. Setelah peristiwa reformasi ada kebijakan ten-
tang desentralisasi melalui implementasi otonomi daerah
melalui pemberlakuan Undang-Undang (UU) No.22 tahun
1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sejak
Januari 2001 (Nugroho, 2008:102).
Berbagai peristiwa menjelang dan sesudah reformasi di
Indonesia tahun 1998 diekspresikan oleh beberapa penyair,
di antaranya Ida Ayu Galuh Pethak, Azwina Aziz Miraza,
Abidah El Khalieqi, Dianing Widya Yudhistira, Dorothea Rosa
Herliany, Medy Loekito, Oka Rusmini, dan Ulfatin Ch.

7.1 Dhenok Kristianti

Dhenok Kristianti dilahirkan pada tanggal 25 Januari 1961


di Yogyakarta. Dhenok adalah sarjana lulusan IKIP Sanata

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


136
DAN PROSES KREATIFNYA
Dharma Yogyakarta (1987). Sajak-sajak Dhenok diterbitkan
dalam antologi Kartini (1981), Penyair Yogya Tiga Generasi (1981),
Prasasti (1984), Tugu; Antologi Puisi 32 Penyair Yogya (ed. Linus
Suryadi, 1986), Tonggak 4 (ed. Linus Suryadi, 1987), dan Anto-
logi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan,
1997). Ia bekerja di Kantor Berita Antara cabang Yogyakarta
dan mengasuh Alam Pelajar serta Universitaria RRI Nusantara
II Stasiun Yogyakarta (Suryadi, 1986:173).
Umumnya sajak-sajak Dhenok merupakan pemaparan
situasi rohani yang diangkat dari pengalaman agama tertentu.
Penyair ini memiliki referensi yang dalam tentang cerita-cerita
Alkitab, sebagaimana terungkap dalam sajaknya berjudul
“Logika” (1987:175), berikut ini.

LOGIKA
Satu tambah satu tambah satu
Selalu sama dengan tiga
Berapa manusia:
Satu roh tambah satu jiwa tambah satu tubuh?
Kebenaran satu
Cara beribu
Dan masih juga ragu
Berapa jumlah-Nya
Dalam begitu banyak cara?
1984

Sajak ‘Logika’ terdiri atas 2 bait. Sajak ini menimbulkan


tafsiran yang sulit khususnya bagi pembaca yang berada di
luar iman penyair. Baris-baris sajak berupa pertanyaan yang
menunjukkan keraguan, sebagaimana diekspresikan dalam
baris-baris sajak ‘Logika’ berikut, ‘satu tambah satu tambah

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 137


satu/ selalu sama dengan tiga/ berapa manusia: satu roh
tambah satu jiwa tambah satu tubuh?/ Kebenaran satu/ Cara
beribu/ Dan masih juga ragu/ Berapa jumlah-Nya/ Dalam
begitu banyak cara?’.
Sajak-sajak Dhenok Kristianti yang lain (1987:359) dimuat
dalam Tonggak 4, salah satunya berjudul “Doa Seorang Penge-
mis Kecil” berikut ini.

DOA SEORANG PENGEMIS KECIL


Tuhan
Pada tanganku Kau alirkan kekuatan
Agar sepanjang hari kumampu
Ulurkan tempurung
Jaga mataku dari keinginan melek
Sebab harus pura-pura buta
Tuhan
Sering jika aku lelah,
Berharap-harap;
Kau kirim roti manna
Dari sorga
Seperti zaman Nabi Musa
Yogyakarta, September 1983

Sajak “Doa Seorang Pengemis Kecil” terdiri atas 3 bait.


Sajak ini menggambarkan kehidupan seorang pengemis kecil
yang harus berpura-pura buta.
Sebagai penyair, Dhenok mengekspresikan perasaan dan
keyakinan yang dianutnya melalui sajak. Meskipun sajak itu
masih melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat-
nya harus mempertemukan keyakinan dan logika sebagai-
mana diekspresikan penyair dalam baris-baris sajak berikut,

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


138
DAN PROSES KREATIFNYA
‘Tuhan/ pada tanganku Kau alirkan kekuatan/ agar sepanjang
hari kumampu/ ulurkan tempurung/ jaga mataku dari ke-
inginan melek/ sebab barus pura-pura buta’.
Sebagai perempuan, masalah agama dan keyakinan meru-
pakan hal yang penting bagi Dhenok. Perhatiannya pada hal-
hal yang berbau agama menunjukkan pribadi penyair yang
berusaha menemukan pemahaman terhadap keyakinannya.
Dhenok juga menunjukkan keprihatinannya terhadap anak-
anak yang menjadi pengemis di berbagai tempat. Ini meru-
pakan bentuk kepedulian Dhenok terhadap masalah sosial.

7.2 Nana Ernawati

Nana Ernawati dilahirkan pada tanggal 28 Oktober 1961


di Yogyakarta. Ia berasal dari keluarga polisi. Sejak SD sampai
STM Pembangunan, Nana sekolah di Yogyakarta dan lulus
tahun 1981 kemudian kuliah di Jurusan Teknik Kimia Uni-
versitas Pembangunan Nasional (UPN) Yogyakarta. Nana
menulis puisi dan telah diterbitkan dalam antologi berjudul
Kartini (1981), Tugu (ed. Linus Suryadi, 1986), Tonggak 4 (ed.
Linus Suryadi, 1987), dan Antologi Puisi Wanita Penyair Indo-
nesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997). Sebagai penyair, Nana
pernah mendapat hadiah juara penulisan puisi yang diseleng-
garakan oleh koran Berita Nasional (Suryadi, 1986:318).
Puisi-puisi dan cerpen Nana Ernawati dimuat di berbagai
surat kabar dan majalah seperti Kedaulatan Rakyat, Berita
Nasional, Sinar Harapan, dan majalah HAI. Puisinya dimuat
dalam buku antologi Penyair Yogya 3 Generasi (1981), Pawestren
(2013), Parangtritis, 55 Penyair Membaca Bantul (2014), Puan-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 139


Puan (2014), Perempuan Langit I (2014), Perempuan Langit 2
(2015). Bersama Dhenok Kristianti menerbitkan kumpulan
puisi berjudul Di Batas Cakrawala (2011) dan Berkata-kata (2012).
Selain sebagai penyair, Nana Ernawati adalah pendiri dan
ketua “Lembaga Seni Reboeng” (dulu ELF). Lembaga ini
kegiatannya mengadakan berbagai aktivitas di bidang sastra.
Bagi Nana, menulis puisi dan bergiat menghidupkan Lembaga
Seni Reboeng adalah nikmat yang harus disyukuri. Dengan
kegiatan itu, Nana dapat mengekspresikan diri sekaligus
melakukan upaya kecil untuk ikut serta memajukan dunia
sastra di Indonesia (Berbagi Zikir, 2017).
Sajak Nana Ernawati (1987:325, 326) berjudul “Ketika
Berpapasan” dan “Ketika Sendiri’ dimuat dalam antologi Tugu
berikut ini.

KETIKA BERPAPASAN
Ketika berpapasan
Di jalanan beraspal
Kami tak saling mengenal
Kami tak saling menyapa
Ketika berpapasan
Mata kami saling curiga
Mata kami saling bertanya-tanya
Kamu atau saya?
Sekarang bumi makin padat, kental
Semua jalan sudah beraspal
Kami lebih tak saling mengenal
Lebih tak saling menyapa
Mata kami sudah nyalang
Mencari mangsa, saling mengorbankan
Kamu, bukan saya!
1984

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


140
DAN PROSES KREATIFNYA
KETIKA SENDIRI
Ingin lepas saja, jadi kuda
Lari ke sabana, ke padang perburuan
Tinggalkan kemurungan
Berpacu terus ke putaran waktu
Bertaruh terus di perjudian nasib
Lepaskan diri
Dari jeruji sel yang menyekap siang
Malam dan hari yang tidak punya kawan
1984

Sajak ‘Ketika Berpapasan’ terdiri atas 3 bait. Sajak ini


menggambarkan hubungan manusia yang kurang harmonis.
“Ketika berpapasan/ Mata kami saling curiga/ Mata kami
saling bertanya-tanya/ Kamu atau saya?”. Kehidupan di kota
besar memang sebagian besar masyarakatnya sudah tidak
saling mengenal bahkan saling curiga. Semakin padat pendu-
duk dunia, semakin banyak kebutuhan hidup sehingga sema-
kin banyak korban keserakahan. “Sekarang bumi makin pa-
dat, kental/ Semua jalan sudah beraspal/ Kami lebih tak saling
mengenal/ Lebih tak saling menyapa/ Mata kami sudah
nyalang/ Mencari mangsa, saling mengorbankan”.
Sajak “Ketika Sendiri’ terdiri atas 1 bait. Sajak ini meng-
ekspresikan keinginan seseorang untuk melepaskan diri dari
kesendirian dan kemurungan, sebagaimana ditulis dalam baris-
baris sajak berikut, ‘ingin lepas saja, jadi kuda/ lari ke sabana,
ke padang perburuan/ tinggalkan kemurungan/lepaskan
diri/ dari jeruji sel yang menyekap siang/ malam dan hari
yang tidak punya kawan’.
Sebagai penyair, Nana dapat merasakan apabila jiwa dan
raga terkungkung ‘siang malam’ itu sangat tidak nyaman.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 141


Oleh sebab itu, pesan yang disampaikan dalam sajaknya
adalah manusia harus terus berusaha untuk mendapatkan
kebebasannya. Di sisi lain, Nana juga mengingatkan pen-
tingnya berhati-hati dan waspada agar tidak menjadi korban
di tengah kehidupan yang semakin padat terutama di kota-
kota besar.
Sebagai perempuan, Nana memiliki kesadaran bahwa
kebebasan itu adalah hak bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Kebebasan itu merupakan titik awal
perjuangan untuk meraih harapan. Sudah saatnya perempuan
tidak terbelenggu tradisi yang merugikan karena sesung-
guhnya perempuan itu memiliki potensi yang harus dikem-
bangkan dengan jalan mengaktualisasikan dirinya, baik di
wilayah domestik maupun wilayah publik. Kesadaran bahwa
hidup dalam kesendirian, kemurungan, keterbatasan itu tidak
membuat bahagia karena jiwa yang terbelenggu. Keinginan-
nya sebagai perempuan adalah kebebasan dalam membangun
kebersamaan, kehangatan, dan persahabatan.

7.3 Ida Ayu Galuh Pethak

Ida Ayu Galuh Pethak dilahirkan pada tanggal 23


Desember 1962 di Yogyakarta. Lulus SPG Negeri jetis tahun
1981, Ida kuliah di Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa
Yogyakarta. Dengan beberapa temannya, Ida mendirikan
sanggar ‘Solidaritas Penyair Yogya’. Kumpulan puisi Ida yang
sudah terbit berjudul Sandiwara dan Kesaksian (1985) dan
antologi: Kerinduan (1982), Penyair Renas (1983), Pagar-Pagar
(1984), Prasasti (1984), Tugu (ed. Linus Suryadi, 1986), Tonggak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


142
DAN PROSES KREATIFNYA
4 (ed. Linus Suryadi, 1987), dan Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997).
Sajak Ida Galuh Petak (1987: 398, 401, 403) yang berjudul
“Untuk Kekasih”, “Bola”, dan “Bunga Kantil” dimuat dalam
antologi Tonggak 4 berikut ini.

UNTUK KEKASIH
Sudah kusediakan puisi
Tiga bait
Tiap bait tiga baris
Sudah kusediakan dupa
Kesucian diri
Permandian abad ini
Apa belum cukup?
Katakanlah lagi
Kepuasan tak bakal dicapai
1983

BOLA
Aku tertawa terpingkal-pingkal
Ketika kubaca selembar koran
Kaumku sedang bermain bola
Padahal aku benci bola
Kerna bola selalu menggelinding
Dari satu kaki laki-laki ke satu kaki laki-laki lain
Aku benci cola
Kerna ia slalu disodok di meja bilyard
Aku benci bola
Kerna bola slalu menggelinding ke mana saja
Aku juga membenci kamu
Karena kamu punya bola
Apa lagi kutahu
Bolamu suka ke mana-mana
1983

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 143


BUNGA KANTIL
Papa membawa bunga
Baunya harum merangsang dada
Kuhayati tumbuhlah birahi
Dia bawa ajimat trisna
Papa membawa dupa
Baunya sedap tumbuhkan nikmat
Dia bawa pelenyap duka
Meletakkan aku di lantaiNya.
1986

Sajak ‘Untuk Kekasih’ terdiri atas 3 bait. Dupa dan kem-


bang setaman yang biasa digunakan untuk ‘upacara ritual’,
digunakan sebagai media untuk mengungkapkan kesucian diri
sebagaimana tampak dalam baris-baris sajak “Untuk Kekasih”
berikut, ‘sudah kusediakan dupa/ kesucian diri/ pemandian
abad ini’. Dalam sajak ‘Bunga kantil’, dupa dan bunga setaman
sebagai ‘pelenyap duka yang mendekatkan seseorang ke-
pada-Nya’.
Sajak “Bola” terdiri atas 3 bait. Sajak ini menunjukkan
humor anak-anak yang meningkat remaja. Dalam sajak ini
terefleksi persepsi masyarakat terhadap perempuan yang suka
olah raga sepakbola, sebagaimana diekspresikan Ida dalam
baris-baris sajak berikut, ‘aku tertawa terpingkal-pingkal/
ketika kubaca selembar Koran/ kaumku sedang bermain
bola/ padahal aku benci bola/ Kerna bola selalu mengge-
linding/ Dari satu kaki laki-laki ke satu kaki laki-laki lain/
Aku benci bola/ Kerna ia slalu disodok di meja bilyard/ Aku
benci bola/ Kerna bola slalu menggelinding ke mana saja/
Aku juga membenci kamu/ Karena kamu punya bola/ Apa
lagi kutahu/ Bolamu suka ke mana-mana’.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


144
DAN PROSES KREATIFNYA
Sebagai penyair, Ida mengekspresikannya dalam baris-
baris sajak ‘Untuk Kekasih’, misalnya dalam baris, ‘sudah
kusediakan dupa/ kesucian diri/ pemandian abad ini/ apa
belum cukup?/ katakanlah lagi’. Tampak jelas bahwa kebe-
ranian telah mempengaruhi pikiran penyair dan merupakan
representasi dari kehidupan perempuan yang terjadi pada
masa itu. Meskipun sudah semua disiapkan dan dilayani na-
mun manusia tidak akan merasa puas.
Sebagai perempuan yang lahir dan besar dalam adat
tradisi yang kuat, Ida menyadari bahwa perempuan memang
diperlakukan berbeda dengan kaum laki-laki, apalagi perem-
puan Bali. Mereka lebih banyak dituntut untuk bekerja keras
melayani suami dan sekaligus sebagai tulang punggung
keluarga. Kehidupan perempuan Bali sangat dekat dengan
upacara ritual dalam kehidupan sehari-harinya. Ida memiliki
kesadaran bahwa perempuan Bali memiliki tanggung jawab
yang sangat besar, tidak hanya dalam kegiatan-kegiatan ri-
tualnya tetapi juga dalam pelayanan terhadap suami dan tang-
gung jawab mencari nafkah. Kasta di Bali juga mempenga-
ruhi kedudukan perempuan.

7.4 Azwina Aziz Miraza

Azwina Aziz Miraza dilahirkan pada tanggal 13 Juli 1960


di Jakarta. Azwina pernah kuliah di Akademi Komputer.
Setelah menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Tango Kota
Air (1985, bersama Hendy Ch. Bangun), sajak-sajak Azwina
diterbitkan dalam Peserta Duka Malam Menagih Janji (1995),
Rumah Biru Liar Melirik (1996), dan Antologi Puisi Wanita Penyair

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 145


Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997). Berikut ini, sajak-
sajak Azwina (1997:406) berjudul “Balada Pertemuan”
“Swastanisasi”, dan “Sekali Waktu, Enak Juga”.

BALADA PERTEMUAN
Kita bertemu pada suatu ruang kosong
Mungkin sebuah bangsal
atau sebuah kamar pelacur
aneh,
pertemuan kita dibarengi image kuno
merambat perlahan bersama waktu
menggulir di kaki
mungkin saat ini kita seperti bayi
dininabobokan nyanyian
atau dongeng si kancil
gembira, cemas, takut, malu
jadi satu
ketika perasaan mencuat setinggi langit
Lalu,
Suasana malam mengisahkan kepada kita
Tentang lonte, ulama, imam, ataupun pejabat
Dalam sebuah drama Rendra
Hanya itukah?
Pernah kau tahu
Tentang malaikat yang menggaruk pantatnya
Ketika duduk di kursi rotan
Atau nabi yang selalu membetulkan
Letak kaca matanya,
Ketika bersastra
Oh,
Kita bertemu pada suatu ruang kosong
Mungkin kamar pelacur
Atau kamar penyakit kusta
Pertemuan kita dibarengi ilusi kuno

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


146
DAN PROSES KREATIFNYA
SEKALI WAKTU, ENAK JUGA
Sekali waktu, enak juga jadi janda
Peduli amat dicemooh orang.
Jangan coba mengerti arti aturan,
Mereka Cuma punya pesan,
Yang using dalam bentuk iklan.
“Tak enak pilihanmu,
Biat matang pikirkan.”
Sekali waktu di waktu yang lain
Enak juga jadi pelacur,
Bagi seorang kekasih saja
Lantas hanyut main dokter-dokteran.
“Apa sih arti aturan?”
Jalan buntu bila ke luar,
Dan neraka membungkus dengan kesumat.
Aku urung karena iman.
Berkali-kali aku melamun saja.
Sekali waktu, enak juga!

Sajak Azwina mengangkat persoalan sehari-hari yang


dikaitkan pula dengan tokoh-tokoh dalam dunia agama,
birokrasi, prostitusi, kesenian, dan sebagainya. Sajak “Balada
Pertemuan” terdiri atas 4 bait. Sajak ini menggambarkan
sebuah pertemuan, ‘Kita bertemu pada suatu ruang kosong/
Mungkin sebuah bangsal/ atau sebuah kamar pelacur/ aneh/
pertemuan kita dibarengi image kuno/ merambat perlahan
bersama waktu’. Pilihan katanya cukup berani, ‘Lalu/ Suasana
malam mengisahkan kepada kita/ Tentang lonte, ulama,
imam, ataupun pejabat/ Dalam sebuah drama Rendra’.
Sajak “Sekali Waktu, Enak Juga” terdiri atas 3 bait. Sajak
ini memberikan argumentasi dalam pertanyaan-pertanyaan
yang anekdotis. ‘Sekali waktu, enak juga jadi janda/ Peduli
amat dicemooh orang/ Jangan coba mengerti arti aturan/

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 147


Mereka Cuma punya pesan/ Yang using dalam bentuk iklan/
Sekali waktu di waktu yang lain/ Enak juga jadi pelacur/ Bagi
seorang kekasih saja/ Lantas hanyut main dokter-dokteran/
“Apa sih arti aturan?”/ Jalan buntu bila ke luar/ Dan neraka
membungkus dengan kesumat/ Aku urung karena iman’.
Baris terakhir sajak ini merupakan luapan ekspresi Azwina
sebagai penyair.
Sebagai penyair, Azwina mengekspresikan perasaan
perempuan yang lebih bebas dibandingkan perempuan
penyair lainnya. Dalam sajaknya, ia menyampaikan pesan
bahwa ‘menjadi janda’ bukan keinginan perempuan, seperti
ditulis dalam baris sajak, ‘sekali waktu, enak juga jadi janda/
peduli amat dicemooh orang’. Oleh sebab itu, status janda
yang melekat pada perempuan tidak seharusnya menghalangi
aktivitas kaum perempuan di ruang publik. Azwina memiliki
keberanian memilih kata-kata kasar, tabu, atau kata lainnya
yang selama ini dihindari oleh perempuan penyair.
Sebagai perempuan, Azwina memiliki keberanian meng-
ekspresikan segala peristiwa yang tidak berkenan di hatinya.
Misalnya, status janda yang selama ini mendapat stigma
negatif dari masyarakat tidak demikian halnya dalam pan-
dangan dirinya. Persoalan yang menarik bagi Azwina, tidak
hanya masalah manusia sebagai individu tetapi juga masalah
manusia sebagai makhluk sosial. Azwina memiliki kesadaran
tentang keberadaan pelacur yang selama ini mendapat stereo-
tif yang negative tanpa mau memahami apa yang melatar-
belakanginya. Demikian pula status janda yang mendapat
stigma negatif padahal posisi janda tidak diharapkan oleh

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


148
DAN PROSES KREATIFNYA
seorang perempuan. Pelacur dan janda seringkali menjadi
sosok yang dimarginalkan di masyarakat.

7.5 Abidah El Khalieqy

Abidah El Khalieqy (Ida Bani Kadir) dilahirkan pada


tanggal 1 Maret 1965 di Jombang, Jawa Timur. Ia lulusan
Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Puisi dan
cerpen Abidah dimuat dalam buku antologi Sangkakala (1988),
Upacara Penyair (1989), Kafilah Angin (1990), Hijrah (1990), Kadar
(1991), Sembilu (1991), Ambang (1992), Pagelaran (1993), Guru
Tarno (1994), Oase (1996), Negeri Bayang-Bayang (1996), Begini-
Begini dan Begitu (1997), dan Angkatan 2000 (2000). Sejumlah
puisi dan cerita pendek Abidah diterbitkan dalam satu buku
berjudul Ibuku Laut Berkobar (1997), Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997), Angkatan 2000
dalam Sastra Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 2000), dan
Horison Sastra: Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002). Adapun
novel karya Abidah berjudul Menari di Atas Gunting (2001),
Perempuan Berkalung Sorban (2001), Atas Singgasana (2002), Geni
Jora (2004, 2009), Mahabbah Rindu (2007), Nirzona (2008), Mikraj
Odyssey (2009), Menebus Impian (2010), dan Duwa Nirzona
(2010).
Tahun 1994, Abidah diundang Dewan Kesenian Jakarta
untuk membacakan puisinya di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Tahun 1995, ia mewakili Indonesia dalam Asean Writer’s
Comference/Work Shop Poetry di Manila, Philipina. Sejumlah sajak
Abidah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penyair
Australia, Geoff Fox, dan dibacakan di Brisbane (Queesland, 16

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 149


dan 25 Oktober 1997) (Biografi, 1997).
Abidah tidak hanya dikenal sebagai penyair tetapi juga
novelis. Ia memperoleh penghargaan seni dari pemerintah
propinsi DIY (1998), pemenang Lomba Penulisan Novel
Dewan Kesenian Jakarta (2003), dinobatkan sebagai tokoh
’10 Anak Zaman Menerobos Batas’ oleh majalah As-Syir’ah
(2004), memperoleh IKAPI dan Balai Bahasa Award (2008),
memperoleh Adab Award dari Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga (2009), dan dinobatkan sebagai ’10 Muslimah Kreatif’
oleh majalah Noor (2010). Berikut ini sajak-sajak Abidah
(1997:16, 36) yang dimuat dalam Ibuku Laut Berkobar berjudul
“Sorga” dan “Orang Cahaya’.

SORGA
Akulah sorga
Mangsa idaman pemburu
Berlumuran darah
Yang membidikku dengan senapan
Akan kehilangan peluru
Yang bersarang di dadaku
Akulah sorga
Peluru yang menghujam
Menggeliatkan jantung kehidupan

ORANG CAHAYA
Orang mengapung menantang matahari
Di atas laut tak ada penyelam
Orang membuih mencari matahari
Dalam dirinya kegelapan mengelam
Orang makan tanpa pertarungan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


150
DAN PROSES KREATIFNYA
Hidup matahari menyusu cahaya
Bara matahari berapi cahaya
Alir matahari bersumber cahaya
Menantang matahari tanpa kekalahan
Menyalami matahari tanpa kemenangan
Merenangi matahari sampai perbatasan
Cahaya menjelma dalam pertarungan
Pejalan mengejar cahaya
Pendaki memburu cahaya
Penyelam menguak cahaya
Para pemburu cahaya
Mereka diburu cahaya
Pendengarannya bersinar
Penglihatannya bersinar
Kalbunya bersinar
Orang bersinar mandi cahaya
Orang cahaya lahir
Dari rahim pertarungan

Abidah memiliki kelebihan mengolah kata-kata menjadi


menarik dan efonis, seperti tampak pada sajak “Sorga”: “Aku-
lah sorga/ Mangsa idaman pemburu/ Berlumuran darah/
Yang membidikku dengan senapan/ Akan kehilangan peluru/
Yang bersarang di dadaku.’ Sebagai perempuan, Abidah
berusaha membuka kesadaran baru bagi pembaca, khususnya
bagi kaum perempuan tentang hakikat hidup manusia di dunia.
Abidah memiliki pengetahuan yang luas tentang agama
karena ia merupakan alumni dari perguruan tinggi Islam dan
pernah tinggal di pondok pesantren.
Sebagai penyair, kecerdasan Abidah tampak dalam
mengekspresikan pikiran dan tanggapan pribadinya ke dalam
sajak ‘Sorga’ yang bernuansa religius, seperti dalam baris sajak,
‘akulah sorga/ mangsa idaman pemburu/ berlumuran darah’.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 151


Demikian pula dalam sajak ‘Orang Cahaya’, Abidah berusaha
menggambarkan cahaya sebagai sesuatu yang diburu manusia,
seperti diekspresikan dalam baris sajak, ‘pejalan mengejar
cahaya/ pendaki memburu cahaya/ penyelam menguak cahaya/
para pemburu cahaya/ mereka diburu cahaya/ pendengar-
annya bersinar, penglihatannya bersinar, kalbunya bersinar’.
Sebagai perempuan, Abidah memiliki kecerdasan dan
kepribadian yang kuat dan religius. Ia memiliki kemampuan
mengamati dan menggambarkan berbagai fenomena alam
berupa peristiwa sosial, budaya, dan politik ke dalam karya-
karyanya. Ketekunannya menulis dan fokus dalam dunia
sastra menjadikan dirinya berhasil melahirkan novel-novel
yang popular dan mendapatkan berbagai penghargaan.
Novel-novelnya sudah banyak yang difilmkan dan mendapat
apresiasi dari penonton.

7.6 Dianing Widya Yudhistira

Dianing Widya Yudhistira dilahirkan pada tanggal 6 April


1974 di Batang, Jawa tengah. Tulisan Dianing berupa puisi
dan cerpen dipublikasikan sejak tahun 1992, di antaranya
dimuat di majalah dan surat kabar harian: Republika, Bahari,
Krida, Krida Wiyata, Dharma, Wawasan, Cempaka, Suara Republika,
Merdeka, Swadesi, Bahasa (Brunei Darussalam), Nova, dan Horison.
Sajak-sajak Dianing telah dimuat di beberapa antologi Forum
Penyair Jawa Tengah (1993), Dari Negeri Poci 2 (1994), Sajak-
Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Dari Negeri
Poci 3 (1996), Mimbar Penyair Abad 21 (1996) Kepodang 4 (1996),
Antologi Puisi Indonesia 1997 (1997), dan Kembang Mayang (2000)

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


152
DAN PROSES KREATIFNYA
(Rampan, 2001:224).
Sajak Dianing (2001:225, 226) yang berjudul “Ibu”, sajak
“Untuk Suamiku”, dan sajak “Rumah” dimuat dalam antologi
Angkatan 2000 berikut ini.

IBU
Aku buka album keluarga
Potretmu mengawali lembarnya
Aku tertegun walau akhirnya aku tersenyum
Ibu
Dengan apa aku puji akan kepengkuhanmu
Kau lembut, laksana salju. Putih tak bercela
Ibu
Dengan apa aku berterimakasih
Titik keringatmu adalah seperangkat ketulusanmu
Aku buka album keluarga
Potretmu mengawali lembarnya
Ketika kututup kembali
Air mata menitik
Surga masih ada di telapak kakimu

UNTUK SUAMIKU
Aku cari kau di rak buku-buku yang kian tua
Hanya sebuah debu mengoyak namamu
Semakin lelah aku mencari
Ke lorong-lorong lengkung alis matamu
Semakin lelah aku mencari
Hingga ke parit kecil serta gang-gang
Pada cuacamu ada tsunami menggoyang
Kau terhempas
Di karang ini pernah kau singgah bersamaku
Beabad-abad lamanya
Aku cari kau di rak-rak buku yang kian tua
Hingga ke ketiak zaman dan kelangkang masa
Suamiku
Ingin kugenggan kembali hakikimu

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 153


RUMAH
Sementara ubun-ubun kota aku telanjangi
Hingga lorong-lorong itu buntu
Wajah ibu kian menjelma
Walau bunyi-bunyi tlah aku cipta
Mesin ketik
Gendhing-gendhing, angklung hingga guitar
Tiada alhasil
Karena rindu itu kian terpintal
Aku ingat ibu
Ingat gemuruh ombak di laut
Yang sarat makna
Rumah
Betapa kau kukuh
Melumatkan segala keangkuhan

Sajak “Ibu” terdiri atas 2 bait. Sajak ini menggambarkan


sosok ibu yang dicintai dan dipuja oleh seorang anak karena
perannya tak tergantikan oleh siapapun dalam sebuah
keluarga. ‘Aku buka album keluarga/ Potretmu mengawali
lembarnya/ Aku tertegun walau akhirnya aku tersenyum/
Ibu/ Dengan apa aku puji akan kepengkuhanmu/ Kau lembut,
laksana salju. Putih tak bercela/ Ibu/ Dengan apa aku ber-
terima kasih/ Titik keringatmu adalah seperangkat ketu-
lusanmu.’ Sebagai penyair, Dianing tetap percaya bahwa surge
ada di telapak kaki ibu, ‘Aku buka album keluarga/ Potretmu
mengawali lembarnya/ Ketika kututup kembali/ Air mata
menitik/ Surga masih ada di telapak kakimu’.
Sajak “Untuk Suamiku” terdiri atas 2 bait. Sajak ini
merupakan pencarian seorang istri terhadap keberadaan
hakiki seorang suami, ‘Aku cari kau di rak buku-buku yang
kian tua/ Hanya sebuah debu mengoyak namamu/ Semakin

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


154
DAN PROSES KREATIFNYA
lelah aku mencari/ Ke lorong-lorong lengkung alis matamu/
Semakin lelah aku mencari/ Hingga ke parit kecil serta gang-
gang’. Sebagai penyair, Dianing yakin bahwa keberadaan
suami sangat penting bagi seorang istri, ‘Suamiku/ Ingin
kugenggan kembali hakikimu’.
Sajak “Rumah” terdiri atas 4 bait. Sajak ini menggam-
barkan betapa kuatnya rumah berpengaruh dalam kehidupan
seseorang. Sosok ibu menjadi pelengkap kerinduan seseorang
untuk selalu ingat rumah, ‘Walau bunyi-bunyi tlah aku cipta/
Mesin ketik/ Gendhing-gendhing, angklung hingga guitar/
Tiada alhasil/ Karena rindu itu kian terpintal/ Aku ingat ibu/
Ingat gemuruh ombak di laut/ Yang sarat makna/ Rumah/
Betapa kau kukuh/ Melumatkan segala keangkuhan’.
Sebagai penyair, Dianing mengekspresikan sosok ibu dan
suami sebagai orang penting dalam kehidupan seorang
perempuan. Dianing mengekspresikan rasa cinta dan sayang
seorang anak kepada ibunya yang telah tiada. Demikian pula
dalam sajak ‘Untuk Suamiku’, Dianing menyampaikan pesan
bahwa laki-laki sebagai suami berperan penting dalam ke-
hidupan perempuan sebagai istri hakiki.
Sebagai perempuan, Dianing menyadari bahwa sosok ibu,
suami, anak, dan perkawinan itu sangat penting. Ibu tetaplah
sosok yang harus dihormati karena ibulah yang telah mem-
besarkan dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang. Suami menempati posisi penting bagi perempuan
dalam sebuah perkawinan. Seorang perempuan mendamba-
kan kebahagiaan dalam perkawinannya. Rumah adalah tem-
pat manusia menemukan keteduhan dan kedalamain dalam

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 155


hidupnya.

7.7 Dorothea Rosa Herliany

Dorothea Rosa Herliany dilahirkan pada tanggal 20


Oktober 1963 di Magelang, Jawa Tengah. Lulus dari SMAK
Stella Duce Yogyakarta, Dorothea kuliah di IKIP Sanata Dharma
Yogyakarta dan lulus tahun 1987. Ia menulis geguritan (puisi
bahasa Jawa) dan dimuat di Djaka Lodang, Penjebar Semangat,
dan Mekar Sari. Sajak-sajak Dorothea dimuat di berbagai surat
kabar dan majalah: Sinar Harapan, Suara karya, Suara Pembaruan,
Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Mutiara, Hai,
Bali Post, Harian terbit, Gadis, Gatra, Eksponen, Berita Buana,
Pelita, dan lain-lain. Sebagai penyair, Dorothea telah menjuarai
berbagai lomba penulisan puisi yang diselenggarakan kam-
pusnya (Biografi Sastrawan Indonesia, 13 Oktober 1987).
Sajak-sajak Dorothea diterbitkan dalam buku kumpulan
puisi tunggal maupun antologi sebagai berikut: Nyanyian
Gaduh (1987), Nikah Ilalang (1989), Matahari yang Mengalir (1990),
Kepompong Sunyi (1993), Nyanyian Rebana (1993), Pagelaran
(1993), Guru Tarno (1993), Cerita dari Hutan Bakau (1994), Dari
Negeri Poci 2 (1994), Vibrasi Tiga Penyair (1994), Blencong (1995),
Ketika Kata Ketika Warna (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999),
Perempuan yang Menunggu (2000), Puisi Wanita Penyair Indo-
nesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997), Horison Sastra: Kitab
Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002), Angkatan 2000 dalam Sastra In-
donesia (ed. Korrie Layun Rampan, 2000), dan Selendang Pelangi
(ed. Toeti Heraty, 2006).
Berikut ini salah satu sajak Dorothea (1987:36) dalam

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


156
DAN PROSES KREATIFNYA
kumpulan puisi tunggal Nyanyian Gaduh berjudul “Di dalam
Bus Kota”.

DI DALAM BUS KOTA


Aku sudah letih menghitung jarak
Menghitung detak jantung dalam permainan
Waktu
(angin menyusup lewat kaca, menyapa
Diamku)
Aku sudah letih menunggu batas itu
Bus telah berpacu
Tapi tak sampai-sampai

Sajak Dorothea (1987:1) yang berjudul “Yang Kugenggam”


mengekspresikan luapan batin seseorang tentang sesuatu yang
sedang dijalaninya, seperti tampak berikut ini.

YANG KUGENGGAM
Yang kugenggam ini mungkin
Bayang-bayangku sendiri
Menggeliat waktu kuberi nafas
Dan menatap
Waktu kutetesi darah luka

Ketika ia bangkit
Cepat-cepat kutikam dengan tombak
Tidur abadinya akan lebih
Sempurna
Menyimpan luka dunia

Sebagai penyair, Dorothea mengekspresikan kegelisahan


seseorang terhadap waktu. Ia merasa letih karena seolah
usahanya selama ini sia-sia, diibaratkan orang yang telah

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 157


melakukan perjalanan jauh tapi tak sampai-sampai ke tempat
tujuan, seperti tampak dalam baris sajak, ‘aku sudah letih
menghitung jarak/ menghitung detak jantung dalam permain-
an/ waktu/ aku sudah letih menunggu batas itu/ bus telah
berpacu/ tapi tak sampai-sampai’. Demikian pula dalam sajak
‘Kugenggam’ tampak adanya ketidakyakinan terhadap diri,
seperti tampak pada baris, ‘Yang kugenggam ini mungkin/
bayang-bayangku sendiri/ menggeliat waktu kuberi nafas/
dan menatap/ waktu kutetesi darah luka’.
Sebagai perempuan, Dorothea menyadari bahwa kegeli-
sahan dan ketidakyakinan terhadap sesuatu sering menjadi
penghalang untuk maju bagi kaum perempuan pada umum-
nya. Akan tetapi, Dorothea memiliki kesadaran untuk selalu
berintropeksi tentang waktu, hidup dan tujuan hidup manusia.

7.8 Medy Loekito

Medy Loekito dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1962. Ia


mulai menulis puisi tahun 1978 dan dipublikasikan di media
seperti: Singgalang, Suara Karya, Republika, Puisi, Kompas, dan
Horison. Ia merupakan anggota dan pengurus Komunitas
Sastra Indonesia (KSI) dan pendiri Organisasi Pembina Seni
(OPS). Sejumlah sajak Medy dimuat dalam antologi Festifal
Puisi XIV (1994), Trotoar (1996), Jakarta, Jangan Lagi (1997), In
Solitude (1993), dan Jakarta, Senja hari (1998) (Ismail, 2001).
Sajak-sajak Medy juga dimuat dalam buku Antologi Puisi
Wanita penyair Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997),
Horison Sastra: Kitab Puisi (ed. Taufik Ismail, 2002), Selendang
Pelangi: Antologi Puisi 17 Perempuan Penyair Indonesia (Ed. Toeti

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


158
DAN PROSES KREATIFNYA
Heraty, 2006), dan Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (ed.
Korrie Layun Rampan, 2000).
Berikut ini sajak-sajak Medy Loekito (2001:413, 414)
berjudul “Ibu” dan “Surat Cinta”.

IBU
Setiap pagi kau tuang cinta-cinta ke dalam cangkir
Terbaca dengan mudahnya pada asap dan bening teh
Lalu dengan cinta mengalir dalam tubuh
Kami mulai perlawatan
Kumpulkan luka-luka dan khabar derita
Sementara hatimu tak pernah ragu tak pernah pura-pura
Pada keluh kesah kesedihan hati
Petang hari setelah perlawatan
Kau sisir luka-luka dari baju kami
Lalu lelaplah mata dalam tidur
Sementara kau rajut jalinan cinta
Untuk kau tuang esok
Ke dalam cangkir-cangkir kami
1996

SURAT CINTA
Akan kutanam pokok-pokok melati
Di hatiku
Dan kuantar bunga-bunganya
Kepada hatimu
1997

Berikut ini sajak-sajak Medy (2006:170, 172, 169, 178)


berjudul “Sendiri di Sudut Petang”, dan “Doa”, ‘Di Penghu-
jung Musim Hujan’, dan ‘Puisi’.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 159


SENDIRI DI SUDUT PETANG
Ketika sepi datang
Kutanya hati
Siapa membunuh angin
Dan memenjarakan derunya
1995

DOA
Bukit-bukit di hatiku
Ditumbuhi semak-semak berduri
Tak lagi bertunas
Tak lagi berbunga
Tuhan, ulurkan tangan-Mu.
1997

DI PENGHUJUNG MUSIM HUJAN


Lewat awan hitam yang menggantung dibalik jendela
Kulihat petir menerkam rumput yang basah
1988

PUISI
Memerangkap rembulan
Dalam sangkar
Memenjara sepi
Hingga renta
2005

Sajak-sajak Medy hanya 1 terdiri atas bait. Sebagai penyair,


Medy memanfaatkan bahasa yang singkat dan padat untuk
menyampaikan pesan-pesan yang ingin disampaikan melalui
sajak-sajaknya. Masalah kesepian diekspresikan melalui baris
sajak, ‘ketika sepi datang/kutanya hati/ siapa membunuh
angin/ dan memenjarakan debunya’. Begitu pula dalam sajak
‘Puisi’, Medy menggambarkan seseorang yang kesepian,

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


160
DAN PROSES KREATIFNYA
seperti diekspresikan dalam baris sajak, ‘memerangkap rem-
bulan/ dalam sangkar/ memenjara sepi/ hingga renta’.
Medy merasakan penderitaan seseorang yang hidupnya
dalam kesepian. Hanya doa kepada Tuhan yang sudah
selayaknya menjadi pegangan, seperti disampaikan dalam
sajak ‘Doa’, ‘bukit-bukit di hatiku/ ditumbuhi semak-semak
berduri/ tak lagi bertunas/ tak lagi berbunga/ Tuhan, ulurkan
tangan-Mu’.
Sebagai perempuan, Medy telah memiliki kesadaran dan
keyakinan terhadap Tuhan atas segala sesuatu yang menimpa
manusia. Oleh sebab itu, manusia hendaknya selalu memohon
pertolongan hanya kepada Tuhan. Medy juga memiliki kesa-
daran pentingnya seorang ibu dalam kehidupan manusia.
Sosok ibu yang selalu penuh cinta kasih sepanjang masa bagi
keluarganya.

7.9 Oka Rusmini

Oka Rusmini (Ida Ayu Oka Rusmini) dilahirkan pada


tanggal 11 Juli 1967 di Jakarta. Ia lulusan Fakultas Sastra Uni-
versitas Udayana, Bali dan bekerja sebagai wartawati Bali
Post. Tulisan Oka berbentuk puisi, cerita pendek, novel, lakon,
dan cerita anak-anak yang dipublikasikan di berbagai media
seperti: Femina, Republika, Kompas, Media Indonesia, Horison,
Kalam, Bali Post, dan lain-lain. Cerpen Oka berjudul “Putu
Menolong Tuhan” meraih hadiah cerpen terbaik dalam sayem-
bara majalah Femina tahun 1994 dan diantologikan dalam
Kembang Mayang (2000).
Sajak-sajak Oka telah diterbitkan dalam buku, baik

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 161


kumpulan puisi tunggal maupun antologi sebagai berikut:
Ambang (1982), Doa Bali Tercinta (1983), Rindu Anak Mendulang
Kasih (1987), Teh Ginseng (1993), Mimbar Penyair Abad 21 (1996),
Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie Layun
Rampan, 1997), Monolog Pohon (1997), dan Angkatan 2000 (ed.
Korrie Layun Rampan, 2000). Selain menulis puisi, Oka
Rusmini pun menulis novel berjudul Tarian Bumi (2000).
Berikut ini sajak-sajak Oka Rusmini berjudul “Menjadi
Ibu” (2001: 532) dan sajak “Perjalanan Para Lelaki”.

MENJADI IBU
Aku meloncat-loncat. Melubangi tanah. Memisahkan air.
Kubayangkan boneka-boneka kecil meloncat dari perut-
nya
“Aku yang jadi ibu. duduklah. Aku akan mengeram seperti
ayam.
Perutku akan meletus”
(semua mata menatapku. Mereka berpegangan erat
Sesekali membetulkan mahkota daun di atas kepala)
Aku tak lagi meloncat. Sebuah jalan menawarkan hidup-
nya untukku.
“Jadilah kau perempuan. Membesarkan langit dan menyu-
burkan bumi”
(Kali ini aku yang menatap suara itu.
Suara yang menuntut hak)
Aku mulai mempelajari aroma
Dipecahkan serat tubuhku, aku harus menumbuhkan
ladang
Seorang pedagang akan menanamkan benihnya. Lengkap
dengan Cangkul tajam.
Dia akan lukai tubuh
Dia alirkan darah dari dua kakiku
Darah yang menunjukkan wujud laki-lakinya.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


162
DAN PROSES KREATIFNYA
Lubang yang memberi jalan untuk manusia
Apa yang kudapat?
Luka
Rasa sakit
Keabadian

PERJALANAN PARA LELAKI


Inilah perjalanan lelaki
Mempelajari gerak tanah dan langit
Mempertahankan kekuasaan peradaban
Dipinangnya setiap perempuan yang ditemuinya
Matanya, membunuh warna bunga
Para perempuan hanya duduk dekat perapian
Menyembunyikan huruf-huruf yang mengajari rahasianya
Para perempuan
Dengan kesuburan bumi
Mempersiapkan kerajaan
Bagi anak lanang yang dikandungnya
Kelak, bila nyawa miliknya jadi tumbal
Diserahkan dengan senyum
Jadilah sejarah anak lanangku
Kukandung kau dari darah dan daging lelaki
Meninggalkan benih
Karena peradaban manusia berada di telapak kakinya

Sebagai penyair, Oka melukiskan perempuan Bali yang


terbiasa hidup dalam dominasi laki-laki, seperti dalam sajak
‘Perjalanan Para lelaki’ yang diekspresikan melalui baris-baris,
‘Inilah perjalanan lelaki/ mempertahankan kekuasaan pera-
daban/ dipinangnya setiap perempuan yang ditemuinya’.
Dalam sajak ‘Menjadi Ibu’, Oka melukiskan kehidupan perem-
puan yang menderita sebagai berikut, “Jadilah kau perem-
puan. Membesarkan langit dan menyuburkan bumi/ (Kali
ini aku yang menatap suara itu/ Suara yang menuntut hak)/

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 163


dipecahkan serat tubuhku, aku harus menumbuhkan ladang/
seorang pedagang akan menanamkan benihnya. Lengkap
dengan/ cangkul tajam/ dia akan lukai tubuhku’. Simbol-
simbol yang digunakan Oka dalam baris sajak di atas mewakili
suara hatinya sebagai kaum perempuan Bali yang mau tidak
mau harus siap menjadi seorang ibu.
Sebagai perempuan yang hidup dalam adat Bali yang
sangat kuat, Oka merasakan beban dan penderitaan yang
dialami oleh kaumnya. Dominasi laki-laki atas perempuan
tampak jelas dilukiskan Oka dalam sajak-sajaknya. Sebagai
penyair, Oka mengekspresikan ‘rasa sakit yang abadi’ dan
ketidakberdayaan perempuan menghadapi adat istiadat
dalam kehidupan masyarakat itu. Melalui sajak-sajaknya,
secara implisit Oka berjuang melawan dominasi laki-laki demi
kebebasan kaum perempuan yang selama ini mengalami
berbagai bentuk ketidakadilan.

7.10 Ulfatin Ch.

Ulfatin Ch. dilahirkan pada tanggal 31 Oktober 1966 di


Pati, Jawa Tengah. Ia lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
yang aktif dalam Studi Apresiasi Sastra dan Teater Eska
semasa kuliah di kampusnya. Puisi dan cerpen karya Ulfatin
dimuat di berbagai media seperti: Horison, Media Indonesia,
Kedaulatan Rakyat, Berita Buana, Suara Pembaruan, Swadesi,
Republika, Suara Karya, Suara Merdeka, dan Pikiran Rakyat. Sajak-
sajak Ulfatin dimuat dalam Malam Percakapan (1991), Selembar
Daun Jati (1996), Kafilah Angin (1990), Risang Pawestri (1991),
Kadar (1991), Sembilu (1991), Aku Kini (1991), Alif Lam Mim

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


164
DAN PROSES KREATIFNYA
(1992), Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (ed. Korrie
Layun Rampan, 1997) Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (ed.
Korrie Layun Rampan, 2000), dan Horison Sastra: Kitab Puisi
(ed. Taufik Ismail, 2002).
Sajak Ulfatin Ch yang berjudul “Rumah Masih yang Dulu”
mendapat penghargaan Sih Award 2001 Yayasan Puisi Indo-
nesia, sajak “Rumah Bambu” mendapat penghargaan dari
Dekan Fakultas Sastra UGM (1989), sajak “Yang Pergi dan
Kembali” neminasi KSI (2012), sajak “Catatan Tugu” mendapat
penghargaan dari sastrawan MPU di Jakarta (2013), Antologi
tunggalnya berjudul Konser Sunyi dibacakan di taman Budaya
Surakarta (1993), Selembar Daun Jati (1996), Nyanyian Alamanda
(2001), sajak “Kata Hujan” (2013) mendapat penghargaan dari
Balai Bahasa Yogyakarta (2015). (Barbagi Zikir, 2017).
Berikut ini sajak Ulfatin (2001:719) berjudul “Perjalanan
Mawar”.

PERJALANAN MAWAR
1
Langkah pagi yang kita bangun, isa
Berganti malam pekat tak berkesudahan
Seperti taburan jelaga
Menutup pandangan kita
Ataukah kita bertatapan
Tak ada
2.
Mungkin juga tangismu
Yang melelahkan mawar itu mewangi
Hingga kebimbangan menuntas
Pada jarak penyeberangan diri

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 165


3.
Bahkan tak mampu kita
Mengulang kembali langkah malam
Di jalan Adisucipto
Mendengar klening musik jatilan
Malioboro
Atau diskusi di rumah saja
Menahan pedihnya asap knalpot
Dan pabrik yang selalu menyapa
Hingga bunga gugur. Mawar pun
Tumbang

Sajak-sajak Ulfatin lainnya (2001: 469, 470) berjudul


“Sebelum Matahari” dan “Aku Kota Sunyi” berikut ini.

SEBELUM MATAHARI
Jauh sebelum matahari
Aku telah melihat mata angin
Sendiri. Rumah belantara
Bagai mengusung seribu
Laba-laba menggantung.
Aku sendiri, anak-anak bermain
Berlari mengejar angin
Mencari bayangan
Sendiri
Jauh sebelum matahari
Tak ada peluit atau tanda
Yang dimeja cuma angin
Tanpa kopi.
Tapi aku telah menyiapkan
Sarapan pagi

AKU KOTA SUNYI


Karena dilahirkan sebagai perempuan
Aku memilih sendiri
Dan mencangkul kota sunyi para nabi,

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


166
DAN PROSES KREATIFNYA
Rumah tanpa pintu
Yang bermulut malam
Menyeruak bagai batu bata
Yang hilang laburnya.
Namun, kini aku tak sendiri
Anak-anak yang lahir dari bumi
Mengibas mantera
Membuka beton dan dinding kelam
Hingga tampak mutiara
Yang menjunjung martabat
Ke langit cahaya paling tinggi.
Karena dilahirkan sebagai perempuan
Aku kota sunyi
Yang dibalut rantai purba
Dan kini tak Nampak lagi

Sajak-sajak Ulfatin menimbulkan banyak tafsir (polyinter-


pretable). Sajak Ulfatin mengandung nuansa alam, nuansa
religius, dan memunculkan rasa optimisme seorang perem-
puan, seperti diekspresikan dalam baris sajak, “Karena di-
lahirkan sebagai perempuan/ Aku memilih sendiri/ Dan
mencangkul kota sunyi para nabi/ Rumah tanpa pintu/ Yang
bermulut malam/ Menyeruak bagai batu bata/ Yang hilang
laburnya”.
Sebagai penyair, Optimisme perempuan tampak pada
larik berikutnya, “Namun, kini aku tak sendiri/ Anak-anak
yang lahir dari bumi/ Mengibas mantera/ Membuka beton
dan dinding kelam/ Hingga tampak mutiara/ Yang menjun-
jung martabat/ Ke langit cahaya paling tinggi”. Demikian
pula rasa optimisme pada sajak lain, Ulfatin mengekspresikan
keberadaan perempuan sebagai ibu pada larik-larik berikut,
‘jauh sebelum matahari/ tak ada peluit atau tanda/ yang di-
meja cuma angin/ tanpa kopi/ tapi aku telah menyiapkan/

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 167


sarapan pagi’. Sebagai penyair, Ulfatin memiliki kesadaran
berekspresi merepresentasikan keberadaan perempuan yang
selama ini dianggap memiliki keterbatasan. Melalui kata-kata
yang penuh simbol, Ulfatin menciptakan sajak-sajak yang
melahirkan rasa optimisme seorang perempuan.
Sebagai perempuan, Ulfatin sadar keberadaan dirinya
sebagai perempuan yang lahir di tengah kekuasaan masya-
rakat patriarkhi. Akan tetapi, rasa optimisnya melahirkan sisi
positif dalam dirinya sehingga keberadaan sebagai perem-
puan bukanlah dianggap sebagai kekurangan. Di sisi lain,
Ulfatin mengalami berbagai pengalaman khususnya sebagai
ibu dihadapkan pada permasalahan ekonomi keluarga. Rasa
optimis dalam dirinya begitu kuat sehingga apapun yang
terjadi sebagai seorang ibu akan ditemukan solusinya.

7.11 Endang Susanti Rustamaji

Endang Susanti Rustamaji dilahirkan pada tanggal 24


April 1970 di Yogyakarta. Ia alumni IKIP Negeri Yogyakarta
yang mulai menulis cerpen, puisi, artikel, reportase, wawan-
cara, dan terjemahan pada tahun 1983. Puisi dan tulisan-tulisan
Endang dimuat Kedaulatan Rakyat, Republika, Minggu Pagi, dan
Media Indonesia. Sajak-sajak Endang dimuat dalam antologi
Risang Pawestri (1990), Malam Percakapan, Titian Alif, Ambang
(1992), Terminal (1990), Aku Ini (1991), Catatan Tanah Merah
(1993), Lirik-lirik Kemenangan (1994), dan Fasisme (1996).
Sebagai penyair, Endang menjuarai lomba cipta puisi Maha-
siswa Tingkat Nasional di forum Peksiminas I (Rampan,
2000:254).

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


168
DAN PROSES KREATIFNYA
Enam sajak Endang (2000:255) dimuat dalam Sastra
Angkatan 2000, dua di antaranya sajak berjudul “Nyanyian
Kartun” dan “Kanvas Sunyi” berikut.

NYANYIAN KARTUN
Kita berumah di negeri dongeng. Ruhmu bangkit
Dari Geliat Waktu. Lewat Bahasa Kabut dan
Bunga bunga, aku mengenalmu. Saat Peri-Peri
Mungil melagukan Elegi: Cinta Yang Mati. Lalu
Kita meniti Pelangi. Sesekali tergelincir dan
Bangun lagi.
TAK PERLU Sayap Kupu-Kupu! Ruhmu terbang di
Awang-Awang. Benih Benih Sejarah kautaburkan:
Jadi Angka, Warna Warna serta Gugus Cahaya
Meski Peri-Peri telah pergi, membalik Malam
Menjadi pagi. Kita berdiri. Belajar menyapa
Embun dan Matahari
Di SELA Gumpalam Mega, Musim Musim menua. Engkau
Sering menjadi Bola Salju. Menggelinding
Sesekali melintasiku. Menyisakan Kenang
BERWAKTU-WAKTU kucatat Kemenangan dan Dongeng
Pucat, kekalahanmu. Bahkan Suatu Hari: Getar
Angin terbalut Requiem, kematianmu. Tapi aku
Tak punya Airmata. Malam hari kuubah ia Api
Bagi Lilin dan Kepekatan. Kini kujadikan
Bumi. Yang kugali, kutanami Puisi.

KANVAS SUNYI
UNTUKKU, kaukirimkan Lembaran Hari Hari
Bergambar sunyi. Garis Garis. Warna Warna
Tanpa Napas dan Tegursapa. Gambar Mawar
Tak sempurna
Yang kini memfosil pada Kanvasnya
UNTUKKU, Keruncingan Duri Duri di setiap
Jengkal Bumi. Tunas Tunas Baru yang warna

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 169


Daunnya tak kukenali. Putih Putik Muda yang
Wanginya tak tersapa. Bagaimana merawatnya?
Barangkali hanya dengan Keyakinan. Sang Pencipta
Tak akan meninggalkan. Tak akan membiarkan

Sajak ‘Nyanyian Kartun’ terdiri atas 4 bait. Sajak ini


menggambarkan rasa kehilangan seseorang yang menjadi
semangat bagi hidup yang baru sehingga diperoleh ‘keme-
nangan’, seperti ditulis dalam baris sajak, ‘BERWAKTU-
WAKTU kucatat Kemenangan dan Dongeng/ Pucat, keka-
lahanmu. Bahkan Suatu hari: Getar/ Angin terbalut Requiem,
kematianmu. Tapi aku/ tak punya Airmata. Malam hari ku-
ubah ia Api/ Bagi lilin dan Kepekatan’.
Sajak ‘Kanvas Sunyi’ terdiri atas 2 bait. Sajak ini meng-
ekspresikan keyakinan seseorang pada Sang Pencipta, seba-
gaimana tampak pada baris sajak, ‘UNTUKKU, Keruncingan
Duri Duri di setiap/ Jengkal Bumi. Tunas Tunas Baru yang
warna/ Daunnya tak kukenali. Putih Putik Muda yang/
Wanginya tak tersapa. Bagaimana merawatnya?/ Barangkali
hanya dengan Keyakinan. Sang Pencipta/ Tak akan mening-
galkan/ Tak akan membiarkan’.
Sebagai penyair, Endang menggambarkan seseorang
yang menerima kekecewaan dengan keyakinan dan keper-
cayaannya kepada sang pencipta. Melalui dua sajak di atas,
Endang sebagai penyair menyampaikan pesan bahwa setiap
peristiwa harus dihadapi dengan optimis dan keyakinan ada-
nya, ‘Sang pencipta yang tak akan meninggalkan/ tak akan
membiarkan’ makhluknya. Optimis dan yakin terhadap se-
suatu merupakan dua hal penting yang dapat dijadikan moti-

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


170
DAN PROSES KREATIFNYA
vasi bagi kaum perempuan untuk mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Sebagai perempuan, Endang menyadari fenomena yang
terjadi di masyarakat khususnya yang menimpa kaum perem-
puan. Pengalaman perempuan itu berupa rasa kehilangan atau
kekecewaan terhadap seseorang yang dicintainya. Kecewa
adalah perasaan yang sering dialami oleh perempuan di mana-
pun karena tidak semua apa yang diinginkannya tercapai.
Perasaan kecewa itu ternyata bisa berubah menjadi optimis.

7.12 Nenden Lilis

Nenden Lilis dilahirkan pada tanggal 26 September 1971


di Malangbong, Jawa Barat. Ia lulusan IKIP Bandung. Tulisan
Nenden yang berupa puisi, cerpen, dan resensi tersebar di
berbagai media seperti: Kompas, Ulumul Quran, Republika,
Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Bandung Pos, Mitra Desa, Hai,
Isola Pos, dan lain-lain. Sajak-sajak Nenden telah diterbitkan
dalam antologi: Malam 1000 bulan (1995), Mimbar Penyair Abad
21 (1996), Angkatan 2000 (2000), dan kumpulan puisi tunggal
berjudul Negeri Sihir (1999).
Kumpulan cerpen Nenden Lilis berjudul Ruang Belakang
mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa (2005). Cerpennya
diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Jerman, Belanda,
dan Mandarin. Kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan
berjudul Negeri Sihir. Menjadi pembicara pada workshop cerpen
Majelis Sastra Asia Tenggara, Festival de Winternachten di Den
Haag Belanda, pembacaan puisi dan diskusi di KBRI dan
INALCO Paris Perancis, Festival Puisi Internasional di Teater

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 171


Utan Kayu Jakarta, Festival Puisi Internasional Indonesia,
diskusi dan pembacaan puisi di Yayasan Kesenian Perak Ipoh
Malaysia. Nenden saat ini tercatat sebagai dosen di UPI
Bandung (Berbagi Zikir, 2017).
Berikut ini sajak-sajak Nenden Lilis (2001:182, 513, 515)
yang berjudul “Senja di Beranda”, dan “Suara Langkah di
Luar Kamarku”.

SENJA DI BERANDA
Senja menunggu kita di beranda
Dengan wajah kuning dan sebuah senyum simpul
Diajaknya kita duduk-duduk bersama
Lalu kita nikmati istirahat itu
Sambil menghirup secangkir teh
Dan berbincang-bincang tentang sebuah taman
Yang tak terjangkau meski di hadapan kita
Sementara di sepanjang jalan lampu-lampu
Mulai berkedip
Sesaat kita tergagap ketika senja bertanya
Tentang hari, tapi dalam mata kita berputar juga
Peristiwa-peristiwa: pagi jernih seperti kanak-kanak,
Siang meletihkan, dan sore …
Sore adalah senja yang menyorotkan
Sinar kuningnya ke wajah kita
Tangannya sebentar lagi memoles langit dengan jelaga
Mulutnya berbisik di telinga kita,
“Apa acaramu malam ini, di manakah
Kau akan bermalam?”

SUARA LANGKAH DI LUAR KAMARKU


Siapakah yang berjalan-jalan di luar kamarku
Setiap malam
Seakan ia selalu terjaga dan menjagaku
Langkahnya halus, muncul tenggelam

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


172
DAN PROSES KREATIFNYA
Bagai dibawa angin
Namun meninggalkan jejak yang dalam di hatiku
Aku sering ingin menengoknya ke luar
Membuka pintu, dan membiarkan hatiku menemuinya
(sesungguhnya aku sangat malu
Telah lama aku tak mengundangnya masuk).

AKU INGIN MELUKISMU


Aku ingin melukis wajahmu yang temaram
Dengan kuasku yang menggeletar rindu
Di kanvas langit yang memerah
Akan kubingkai dengan mega senja
Dan kugantungkan di dinding redup bumi
Aku ingin melukis wajahmu yang memijar
Dengan kuasku yang menggelepar rindu
Di kanvas bumi yang berembun
Akan kubingkai dengan bias pagi
Dan kupampangkan di bentangan biru langit
Aku ingin melukismu
Di kanvas hatiku!

Sajak ‘Senja di Beranda’ ini terdiri atas 2 bait. Sajak ini


menggunakan personifikasi untuk melukiskan keindahan
alam yang melatari aktivitas manusia, seperti dalam baris sajak
berikut, ‘senja menunggu kita di beranda/ dengan wajah kuning
dan sebuah senyum simpul/ diajaknya kita duduk-duduk
bersama/ lalu kita nikmati istirahat itu/ sambil minum
secangkir teh’. Sajak ‘Suara Langkah di Luar Kamarku’ terdiri
atas 1 bait. Sajak ini menampilkan pribadi seorang perempuan
yang ‘pemalu’, seperti diekspresikan dalam baris sajak,
‘siapakah yang berjalan-jalan di luar kamarku/ setiap malam/
aku sering ingin menengoknya ke luar/ membuka pintu, dan
membiarkan hatiku menemuinya/ (sesungguhnya aku sangat

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 173


malu/ telah lama aku tak mengundangnya masuk)’.
Sajak ‘Aku Ingin Melukismu’ terdiri atas 3 bait. Sajak ini
menampilkan pribadi yang diam-diam merindukan seseorang
tetapi tidak memiliki keberanian untuk menemuinya. ‘Aku
ingin melukis wajahmu yang temaram/ Dengan kuasku yang
menggeletar rindu/ Di kanvas langit yang memerah/ Akan
kubingkai dengan mega senja/ Dan kugantungkan di dinding
redup bumi/ Aku ingin melukis wajahmu yang memijar/
Dengan kuasku yang menggelepar rindu/ Di kanvas bumi
yang berembun/ Akan kubingkai dengan bias pagi/ Dan
kupampangkan di bentangan biru langit.’
Sebagai penyair, Nenden mengekspresikan kehidupan
seseorang secara sederhana. Bahasa yang digunakan seder-
hana, mudah dipahami, meski ada beberapa yang mengan-
dung simbol. Nenden memiliki kepekaan yang dalam terha-
dap perasaan perempuan yang diekspresikan dalam sajak-
sajaknya.
Sebagai perempuan timur, Nenden sadar bahwa nilai
kepantasan dan ketidakpantasan masih kuat ditanamkan
dalam masyarakat patriarki. Ibu adalah sosok yang menso-
sialisasikan nilai-nilai feminitas itu kepada anak perem-
puannya sehingga mereka tahu mana yang pantas dan mana
yang tidak pantas dilakukan oleh seorang anak perempuan.
Oleh karena itu, wajarlah jika dalam perkembangan hidupnya
kemudian, perempuan harus mempertimbangkan segala sikap
dan tindakannya di lingkungan masyarakat. Nenden memiliki
kesadaran bahwa nilai-nilai feminitas itu penting dalam
kehidupan seorang perempuan.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


174
DAN PROSES KREATIFNYA
7.13 Omi Intan Naomi

Omi Intan Naomi dilahirkan pada tanggal 26 Oktober


1970 di Denpasar, Bali. Ia putri sastrawan Darmanto Jatman.
Omi menulis puisi, esai, dan fiksi. Sajak-sajak Omi diterbitkan
dalam antologi berjudul Aku Ingin (bersama Rina Ratih Sri
Sudaryani dan Ariani AS dan dibacakan di Taman Budaya
Yogyakarta dalam kegiatan baca puisi ‘Tiga Penyair dari Tiga
Kota’ tahun 1986), Sajak-Sajak Omi (1986), Memori (1987), Puisi
Cinta (1987), Penyair Muda Indonesia (1987), Sajak Sebelum Tidur
(1988), Tiga Penyair Bulaksumur (1990), Risang Pawestri (1990),
Malam Kadar Puisi (1991), Sembilu (1991), Kicau Kepodang (1993),
Antologi Puisi Jawa tengah (1994), Antologi Puisi Wanita Penyair
Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1997) dan Angkatan 2000
dalam Sastra Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 2000).
Berikut ini sajak-sajak Omi (2001:548, 553, 555) yang
berjudul “Ken Arok’ dan “Legenda”.

KEN AROK
Saat tertikam keris anusapati
Berkata ia, revolusi takkan mati
Akan tumbuh bagai duit di jalan tol
Ken arok-ken arok baru yang bahkan
Lebih dahsyat mengukir dalam-dalam namanya
Di peradaban
Ia akan bunuh setiap tunggul ametung
Dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang
Merauh negeri dan isinya habis-habis
Lalu mulai bermimpi tentang
Kerajaan miliknya.
Ia kagumi dirinya sendiri betapa kuatnya
Tangan-tangannya

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 175


Yang telah mencekik Kediri
Menjual kelahirannya dan meninggikan
Singasari
Dan anak-anak haram yang akan mendepani pasukan
Menyeru perang dan lapar wewenang
Akan mengawini kegelapan, dan
Dalam kuasanya ia tertikam.

LEGENDA
Joko tarub tak menemukan gaun para dewi
Dari balik kaca ray-ban ia bahkan
Tak bisa lihat pelangi
Sedang dari atas baby-benz sangkuriang jatuh cinta
Pada meriem belina
Dan raja-raja mencari nyai suzanna
Zaman telah lalu
Tapi kini dan lampau hanya waktu.

Sajak ‘Ken Arok’ hanya terdiri atas 1 bait. Sajak ini meng-
ambil judul dari cerita Ken Arok Dedes. Sebagai penyair yang
dibesarkan setelah masa reformasi di Indonesia, Omi adalah
perempuan yang cerdas dan kreatif. Sajak Omi lebih menggu-
nakan Bahasa yang ‘lincah’, sebagaimana tampak pada baris
sajak, ‘Saat tertikam keris anusapati/ Berkata ia, revolusi tak-
kan mati/ Akan tumbuh bagai duit di jalan tol/ Ken arok-
ken arok baru yang bahkan/ Lebih dahsyat mengukir dalam-
dalam namanya/ Di peradaban/ Ia akan bunuh setiap tunggul
ametung/ Dan akan seret setiap ken dedes ke ranjang/ Me-
rauh negeri dan isinya habis-habis/ Lalu mulai bermimpi
tentang/ Kerajaan miliknya/ Ia kagumi dirinya sendiri betapa
kuatnya/ Tangan-tangannya/ Yang telah mencekik Kediri/
Menjual kelahirannya dan meninggikan/ Singasari.’

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


176
DAN PROSES KREATIFNYA
Sajak berjudul ‘Legenda’ terdiri atas 2 bait. Sajak ini
terinspirasi oleh legenda Joko Tarub, sebagaimana diekspresi-
kan dalam baris sajak, ‘Joko tarub tak menemukan gaun para
dewi/ dari balik kaca ray-ban ia bahkan/ tak bisa lihat pelangi/
sedang dari atas baby-bens sangkuriang jatuh cinta/ pada
meriem belina/ dan raja-raja mencari nyai suzanna’.
Sebagai penyair, Omi membandingkan tokoh dari dunia
yang berbeda, Joko Tarub dan Sangkuriang adalah tokoh-
tokoh dalam legenda, sedangkan Meriem Belina dan Suzanna
adalah artis cantik yang terkenal pada tahun 1980-an di In-
donesia. Demikian pula Ken Arok Dedes menjadi inspirasi
Omi dalam sajak-sajaknya. Sebagai penyair muda yang sudah
menikmati majunya teknologi, Omi banyak terinspirasi
sejarah dan legenda. Omi mencoba ‘mengawinkan’ legenda
ke dalam bentuk sajak dengan sesuatu yang lebih modern.
Sebagai perempuan, Omi dilahirkan dan dibesarkan
dalam keluarga moderat yang membentuk pribadinya men-
jadi seorang perempuan cerdas. Sebagai perempuan muda
yang cerdas, Omi memiliki kesadara bahwa ilmu pengetahuan
dan sejarah itu dua hal yang dapat menginspirasi karya-
karyanya. Berbagai peristiwa masa lalu dalam sejarah dan
hal-hal yang berbau modern menarik perhatiannya.
Perempuan penyair tahun 1980-2000 menulis sajak dengan
tema yang bervariasi. Mereka menunjukkan kesadarannya
melalui berbagai peran yang dilakukannya, baik di wilayah
publik maupun domestik. Penyair merepresentasikan kaum
perempuan Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan.
Menyoroti kehidupan perempuan sebagai ibu, istri, dan ang-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 177


gota masyarakat. Perjuangan sosok ibu dan istri dalam
dominasi keluarga patriarkhis mulai diangkat penyair sebagai
tema dalam sajak-sajaknya.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


178
DAN PROSES KREATIFNYA
BAB 8
POTENSI DAN DUKUNGAN
KELUARGA TERHADAP
PROSES KREATIF PEREMPUAN
PENYAIR INDONESIA

S. Rukiah menerbitkan buku kumpulan puisi Tandus pada


tahun 1952. Sejak tahun 1952 itu sampai tahun 2000, Eneste
(2001) mencatat ada 68 judul buku yang ditulis oleh perempuan
penyair di Indonesia dari 810 judul buku yang telah diterbit-
kan. Berdasarkan data berupa catatan pribadi, tulisan, dan
pengakuan para penyair diketahui bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas perempuan penyair di Indone-
sia itu adalah potensi diri dan lingkungan keluarga serta
masyarakat. Di samping itu, dibicarakan perkembangan pro-
duktivitas perempuan penyair sejak tahun 1920-2000 baik dalam
hal kualitas maupun kuantitas. Berikut ini akan dibahas
bagaimana potensi diri dan lingkungan, baik keluarga mau-
pun masyarakat serta proses kreatifnya.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 179


8.1 Potensi Diri Perempuan Penyair

Seorang ahli filsafat pendidikan, O’neil (2001:79) menya-


takan bahwa potensi adalah kemampuan-kemampuan (kapa-
sitas-kapasitas) yang ada dalam diri, tetapi belum digali dan
dimunculkan ke permukaan. Menurut Chaplin (1997:377)
potensi adalah daya, tenaga, kekuatan, kemampuan, dan we-
wenang yang mempunyai kemungkinan untuk dikembang-
kan, khususnya talent atau bakat pembawaan dan inteligensi.
Dari pendapat di atas, pengertian potensi mengacu pada ke-
mampuan seseorang yang berkaitan dengan talent/bakat
pembawaan dan inteligensi. Talent/bakat pembawaan adalah
satu bentuk kemampuan khusus, sedangkan inteligensi adalah
(1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap
situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan mema-
hami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali (Chaplin,
1997:271, 501).
Potensi diri diaktualisasikan ke dalam bentuk pemilihan
pekerjaan yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuan
yang dimilikinya. Karier atau pekerjaan menjadi salah satu
pilihan hidup bagi perempuan, baik di kota maupun di desa.
Perempuan yang bekerja tentu memiliki beberapa alasan, di
samping untuk menunjukkan kemampuan dan eksistensinya,
bekerja juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan
keluarganya. Apabila dilihat dari biodatanya, perempuan
penyair di Indonesia itu rata-rata berasal dari keluarga ber-
pendidikan sehingga sebagian besar dari mereka memilih be-
kerja dan mengembangkan karier.
Selasih, Hamidah, Nursjamsu, dan S. Rukiah adalah

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


180
DAN PROSES KREATIFNYA
penyair/pengarang yang memiliki profesi sebagai guru dan
tetap berkarya meskipun sudah menikah. Demikian pula
dengan Poppy Donggo Hutagalung, setelah menikah, ia tetap
bekerja sebagai pengasuh ‘Ruang Anak’ dan Ruang Remaja’
pada Sinar Harapan, seperti dinyatakan Poppy berikut ini.
Selama saya bekerja di Sinar Harapan, saya banyak menga-
rang cerita anak dan sajak. Dan saya mendapat tugas
ekstra: membuat sajak atau cerita untuk tiap anggota
redaksi yang akan melangsungkan pernikahannya. Saya
pun diberi tugas membuat sajak dalam rangka menyambut
hari-hari besar. Harus saya akui, bahwa saya tak mampu
membuat sajak yang berat dan penuh renungan dalam.
Saya hanya mampu membuat sajak yang ringan, yang
umumnya hanya enak dibaca serta gamblang, yang untuk
mengetahui apa yang terkandung di dalamnya pemba-
canya tak perlu memeras keringat (Proses Kreatif II,
1984:155).

Pekerjaannya sebagai pengasuh ‘Ruang Anak” dan ‘Ruang


Remaja” tentu saja menuntut Poppy kreatif mengarang cerita
anak dan menulis puisi. Di samping itu, Poppy juga mem-
punyai tugas membuat puisi khusus untuk anggota redaksi
lain yang akan menikah atau dalam rangka memperingati
hari-hari besar. Hal itulah yang membuat Poppy produktif
menulis puisi.
Dalam kehidupan berumah tangga, ada ‘kecemburuan”
poppy terhadap suaminya (Donggo) yang menurutnya ‘lebih
santai’ dalam menjalani kehidupan sebagai kepala keluarga,
sebagaimana pengakuannya berikut ini.
Harus saya akui, bahwa kesibukan rumah tangga sangat
mempengaruhi saya. Berbeda dengan Donggo (suaminya)
yang tiap bangun tidur bisa duduk sambil membaca koran
atau mendengarkan siaran radio setelah itu mandi, sarapan

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 181


dengan santai, dan mengarang bila dia sedang in de mood,
maka saya harus menyiapkan semua keperluan anak-anak
yang akan sekolah: pakaian mereka, sarapan mereka,
minuman dan roti yang akan mereka bawa lalu menyusun
menu untuk hari itu, membereskan kamar, baru terakhir
mengurus diri saya sendiri, dan ….ke kantor (Hutagalung,
Catatan Pribadi, 18 Mei 1983).

Menurut Poppy, ia baru berangkat ke kantor setelah


mengerjakan tugas-tugasnya. Sebagai ibu, dialah yang me-
nyiapkan pakaian, sarapan, minuman dan roti untuk bekal
sekolah anak-anak, menyusun menu untuk makan setiap hari,
dan membereskan kamar. Sangat berbeda dengan suaminya
(Donggo) yang setiap bangun tidur bisa duduk membaca
koran, mendengarkan radio, mandi, sarapan dengan santai,
dan mengarang. Meskipun demikian, Poppy telah menunjuk-
kan kemampuannya mengurus rumah tangga dan merawat
anak-anak serta tetap produktif menulis.
Seperti halnya Poppy, Lastri Fardani Sukarton mampu
membagi waktu antara pekerjaan sebagai wartawati di sebuah
majalah wanita di Jakarta dengan tugasnya sebagai istri Jaksa
Agung dan ibu bagi anak-anaknya. Lastri mengerjakan tugas-
tugasnya, baik tugasnya sebagai wartawati maupun tugasnya
sebagai ibu rumah tangga sesuai kemampuannya, seperti
pengakuannya dalam sebuah wawancara berikut ini.
Saya tidak pakai target yang kaku. Saya bekerja, berkarya
semampu saya. Kalau hari ini tak bisa tuntas, besokpun
tak mengapa. Menggelinding saja. Itu merupakan kunci
bagi saya. Jangan ngoyo dalam hidup ini. Tempat bukan
menjadi masalah dalam berkarya, yang penting keinginan
dan semangat kerja, katanya (Soentoro, Femina, 1988).

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


182
DAN PROSES KREATIFNYA
Lastri Fardani mengerjakan segala sesuatu sesuai ke-
mampuannya. Ia tidak memiliki target tetapi ia memiliki
semangat yang tinggi untuk terus berkarya. Lastri tidak
merasa terikat oleh waktu karena ia bisa berkarya di mana-
pun. Yang penting bagi Latri adalah keinginan dan semangat
bekerja.
Selain Poppy Donggo Hutagalung dan Lastri Fardani
Sukarton, perempuan penyair lain yang tetap bekerja dan
produktif menulis puisi adalah Toeti Heraty. Berikut karier
Toeti Heraty sejak tahun 1950-an sampai akhir tahun 1970-
an.
Karier Toeti Heraty dimulai menjadi asisten di bagian Botani
UI serta menjadi karyawati Apotik “Tunggal” Jakarta
(1952-1955). Kemudian dari tahun 1958-1962 menjadi
asisten di lembaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung.
Pernah juga menjabat sebagai dosen pada Fakultas Psiko-
logi Unpad di Bandung pada tahun 1962-1966. Tahun
1966-1971, ia bekerja di bidang Hukum Patent kegiatan di
Taman Ismail Marzuki sebagai anggota DKJ. Pernah
menjadi pengurus Yayasan Kesehatan Jiwa Santikara dan
dosen luar biasa Fakultas Psikologi UI tahun 1967-1969.
Tahun 1972-1974 mendapat tugas belajar di Leiden Belanda.
Sejak lulus doktor tahun 1979 sampai sekarang, ia menjadi
staf dosen tetap pada jurusan Filsafat Sastra Universitas
Indonesia (Salam, Berita Buana, 20 Januari 1979).

Toeti Heraty juga dipercaya teman-teman sastrawan


menjadi pimpinan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), padahal
beberapa kali kepengurusan sebelumnya pimpinan DKJ
dipegang oleh laki-laki, seperti diberitakan wartawan berikut
ini.
Seperti biasanya pucuk pimpinannya masih dipegang
sastrawan. Sejak beberapa tahun ini dalam dua kali

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 183


kepengurusan kepemimpinan itu dipegang penyair
(sastrawan yang bergerak di karya seni yang bernama
puisi). Pengurus lama dipimpin oleh penyair Asrul Sani
(penyair dari Angkatan 45) dan Ajip Rosidi. Pada
kepengurusan sekarang, masih dari kalangan sastrawan
(penyair). Cuma, pemegang pucuk kendalinya tidak lagi
semata-mata lelaki, karena pemegang kendali eksekutif
sehari-hari kini dipegang seorang perempuan. Penyair itu
adalah Toeti Heraty Noerhadi (Tem/HW, Berita Minggu, 5
Juni 1983).

Terpilihnya Toeti menjadi pimpinan DKJ menunjukkan


kemampuannya sebagai seorang perempuan yang pantas
menjadi seorang pemimpin. Kepercayaan sastrawan pada
masa itu memilih Toeti menjadi bukti bahwa perempuan
pantas dipercaya dan diberi tanggung jawab. Toeti juga
membuktikan sebagai perempuan yang bisa mengembangkan
diri dan berfungsi di masyarakat, seperti pengakuannya dalam
sebuah wawancara berikut ini.
Yang diperjuangkan oleh para perempuan sebelum kita
dan juga oleh kaum feminis sebetulnya adalah pilihan yang
lebih luas bagi perempuan. Di samping tugas-tugas rumah
tangga, kita juga bisa mengembangkan diri sehingga
menjadi anggota masyarakat yang berfungsi. Ini yang
dikatakan peran ganda. Tapi segi negatifnya, jangan-
jangan kita malahan mendapat beban ganda. Ini jika para
suami tidak berubah sikap. Nah, di sini kita harus jeli,
jangan sampai terjebak dalam dilemma. Ini salah, itu salah.
Menurut logika, dilemma bisa diatasi. Dari dua hal yang
serba salah tentu tersirat hal yang positif. Nah, kita harus
jeli mencari yang positifnya. Dan dari yang positif itulah
kita melakukan pilihan (Heraty, Femina, 7 April 1988).

Menurut Toeti, perempuan harus jeli melakukan pilihan


hidup. Peran ganda menurut Toeti adalah berperan sebagai
ibu rumah tangga dan mengembangkan diri di masyarakat.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


184
DAN PROSES KREATIFNYA
Tentu saja, peran suami sangat diperlukan. Perempuan harus
jeli mencari yang positif untuk melakukan pilihan yang cocok
bagi dirinya karena setiap pilihan ada konsekwensinya,
seperti pernyataannya berikut ini.
Saya tidak mengatakan bahwa semua perempuan harus
menjadi perempuan karier. Saya hanya ingin agar
perempuan dihadapkan pada beberapa pilihan sehingga
mereka dapat memilih jalan hidup yang paling cocok bagi
dirinya. Jadi, janganlah dikecam bila ada yang memilih
hidup single (lajang). Jangan pula dikecam bila ada yang
memilih hendak mencurahkan seluruh perhatian kepada
karier. Sebaliknya, jika mereka memilih diam di rumah
sebagai ibu rumah tangga, jangan pula dilarang. Setiap
pilihan ada konsekwensinya (Heraty, Sarinah, 25 Novem-
ber 1985).

Menurut pandangan Toeti Heraty, peran ganda perem-


puan adalah melaksanakan tugas-tugas rumah tangga dan
mengembangkan diri sehingga menjadi anggota masyarakat
yang berfungsi. Toeti tidak memaksa perempuan harus men-
jadi perempuan karier tetapi mengharapkan perempuan dapat
memilih jalan hidup yang cocok bagi dirinya. Apapun pilihan-
nya, baik memutuskan menjadi perempuan karier maupun
menjadi ibu rumah tangga, hendaknya dihargai karena setiap
pilihan ada konsekwensinya. Toeti Heraty memilih menjadi
perempuan karier dan aktif di bidang sastra serta tetap pro-
duktif menulis puisi.
Potensi diri yang diaktualisasikan secara maksimal oleh
seorang penyair dapat melahirkan kreativitas. Dengan krea-
tivitas, penyair dapat terus berkarya mengembangkan ber-
bagai idenya. Menurut Heraty, sikap santai manusia Indone-
sia sebenarnya sangat menunjang daya kreatif, seperti diung-

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 185


kapkan dalam kutipan berikut.
Sikap santai dekat dengan sikap bermain, yang bebas dari
segala macam aturan, tak terarah pada tugas tertentu.
Mereka yang masih dalam keadaan berkecukupan memiliki
peluang santai ini. Tetapi intensitas dan kepekaannya tidak
terhimpun karena terlalu melebur dalam lingkungan
manusiawi. Sebagai pribadi utuh, mereka kurang siap,
kurang memupuk ruang batin terbuka vertikal sebagai
manusia religius, terbuka horizontal sebagai manusia
sosial. Mereka lebih suka hidup aman, tenteram, ketera-
turan, kehangatan. Akhirnya, tidak kreatif (Waspada, 12
November 1980)

Kutipan di atas merupakan pengamatan Toeti Heraty


terhadap manusia Indonesia (termasuk penyair) dalam
berkreativitas. Menurut Toeti, sesungguhnya masyarakat
lapisan atas punya peluang berkreativitas, namun mereka
(perempuan) takut kehilangan rasa tenteram, hangat, aman,
dan sebagainya. Alasan inilah yang menimpa sebagian besar
perempuan penyair Indonesia yang tidak lagi produktif
karena berhentinya kreativitas. Oleh karena itu, Toeti Heraty
menyadarkan perempuan Indonesia agar tidak terbelenggu
oleh kodrat, seperti tampak pada pernyataannya berikut ini.
Jangan terbelenggu oleh istilah kodrat. Perempuan Indo-
nesia modern harus punya pendidikan dan rasa tanggung
jawab terhadap lingkungan. Ia harus berperan dalam
masyarakat. Sebaliknya, suami juga harus pegang andil
dalam mengasuh anak. Kalau tidak, dunia yang diketahui
si anak, hanya sebatas peran ibunya (Sarinah, 25 Novem-
ber 1985).

Kreativitas dibutuhkan bagi seorang perempuan penyair.


Oleh sebab itu, perempuan sebaiknya berpendidikan dan me-
miliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Demikian

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


186
DAN PROSES KREATIFNYA
pula halnya dengan suami, peran suami sangat dibutuhkan
dalam mengasuh anak. Perempuan penyair yang telah berke-
luarga dan ‘terperangkap’ dalam hidup yang nyaman dan
tenteram serta berada dalam kehangatan menjadi ‘terlena’
dan tidak kreatif lagi, baik dalam hal menulis puisi maupun
menemukan sesuatu yang baru dalam proses penciptaan
sebagai bukti kreativitasnya.
Penyair yang produktif adalah penyair yang terus
menerus menghasilkan karya. Produktivitas seorang penyair
menunjukkan kesetiaan pada bidang yang digelutinya. Ada
juga penyair yang setia menulis dalam kurun waktu yang
lama tetapi karya-karyanya tidak diterbitkan, seperti Nursjamsu.
Sejak remaja pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an
sampai menjelang tua, Nursjamsu setia menulis puisi. Oleh
karena itu, nama Nursjamsu pantas diabadikan meskipun kum-
pulan puisi tunggalnya diterbitkan pada tahun 1983, seperti
dinyatakan Rampan berikut ini.
Nursjamsu termasuk perempuan penyair yang cukup
produktif dan yang paling lama dan setia menyair. Setelah
usianya makin menua, kesadaran akan kefanaan, kemati-
an, dan usia membuat sajak-sajaknya menyiratkan arti
pertobatan dan dosa harga umur manusia, dan berbagai
hal yang berhubungan dengan kehidupan dan kematian
(Rampan, 1997:10).

Nursjamsu memang bukanlah penyair tokoh, sajak-sajak-


nya biasa-biasa saja, tetapi kehadirannya yang penuh kese-
tiaan sejak tahun 1940-an pantas membuat namanya diaba-
dikan (Rampan, 1997:11).

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 187


Penyair yang setia dan produktif menulis puisi setelah
perang kemerdekaan tahun 1945 ada delapan orang, yaitu
Toeti Heraty, Susy Aminah Aziz, Diah Hadaning, Isma Sawitri,
Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Rita Oetoro,
dan Dorothea Rosa Herliany, sebagaimana pernyataan Rampan
berikut.
Sejak kelahiran puisi Indonesia modern, hanya tercatat
63 perempuan penyair Indonesia dan hanya beberapa
penyair saja yang produktif dan setia pada dunia ke-
penyairan, seperti Toeti Heraty, Susy Aminah Aziz, Diah
Hadaning, Isma Sawitri, Poppy Donggo Hutagalung, dan
Rayani Sriwidodo. Selebihnya hanya muncul secara spo-
radis dan kemudian tenggelam. Bahkan penyair yang
potensial seperti Siti Nuraini, Upita Agustine, Sri Hartini
tidak lagi menunjukkan karya kreatif yang baru. Dorothea
Rosa Herliany merupakan penyair yang sangat mengejut-
kan karena produktivitasnya yang luar biasa (Rampan,
1997:433).

Susy Aminah Aziz telah menerbitkan tiga buku kumpulan


puisi. Menurut Rampan, menulis dan menerbitkan puisi men-
jadi tiga buku bukanlah pekerjaan yang dapat diselesaikan
dalam waktu singkat. Oleh sebab itu, Susy Aminah Aziz dinilai
setia dan memiliki dedikasi yang tinggi dalam dunia ke-
penyairan. Perhatikan kutipan berikut.
Susy Aminah Aziz bukan penyair tokoh. Ia bersajak dengan
cara yang sederhana, dengan tema yang umum dan di-
nyatakan dalam bentuk konvensional. Kehadirannya perlu
dicatat karena dedikasinya pada dunia kepenyairan.
Dengan tiga kumpulan sajak, rasanya bukan suatu peker-
jaan yang bisa diselesaikan dalam jangka pendek. Kese-
tiaan dan dedikasi itu melukiskan namanya sendiri dalam
sejarah sastra Indonesia. Ia tetap dikenang walaupun apa
yang dihasilkannya tidaklah membawa perubahan apa-
apa di dalam dunia puisi kita (Rampan, 1997:91).

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


188
DAN PROSES KREATIFNYA
Diah Hadaning, penyair ini setia menulis puisi dan
produktif menerbitkan karya-karyanya menjadi buku.
Bahkan, Diah merupakan penyair yang paling produktif
apabila dibandingkan rekan-rekan seangkatannya, sebagai-
mana dinyatakan Rampan dalam kutipan berikut.
Diah pantas dihargai, paling tidak karena kesetiaan dan
produktivitasnya yang telah membuat ia lebih menonjol
jika dibandingkan rekan-rekan seangkatannya. Persepsi
sosialnya menarik untuk dianalisis. Sikap keagamaan dan
dunia kewanitaan yang dibelanya membuat puisinya lebih
berkesan. Sosok kepribadian kepenyairannya lebih
muncul karena pembelaannya terhadap harkat dan
hakikat kaum perempuan (Rampan, 1997:107).
Penyair ini (Diah) memang bukan penyair yang membawa
kejutan literer, tidak mengadakan pembaruan tetapi
produktivitasnya sangat mengagumkan. Sajak-sajak awal-
nya yang lugas dan sangat sahaja mencerminkan sikapnya
dalam menerima hidup ini. Dalam perkembangan selan-
jutnya, tampak ia makin maju dan sajak-sajaknya terasa
lebih matang. Mungkin jika ia lebih selektif, ia akan bisa
menghasilkan sajak-sajak yang berbobot. Tampaknya hingga
kini, Diah lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas
(Rampan, 1997:107)
Diah Hadaning, sampai saat ini dapatlah digolongkan
penyair produktif. Diah bukan saja menulis sajak alam
sekitar dan alam semesta. Tetapi ia juga menulis sajak
tentang kodrati perempuan, sosial, religi dan cinta kasih
sayang (Tirtasujana, Wawasan, 22 Februari 1998).

Proses kreatif Diah Hadaning tampak sejak ia menulis


puisi dan dikenal sebagai penyair. Diah termasuk penyair
yang mendapat perhatian dari para pengamat sastra, baik
dalam hal proses kreatif maupun sosok kepribadiannya. Diah
merupakan penyair yang produktif dengan beragam tema

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 189


yang diangkat ke dalam sajak-sajaknya.
Selain Diah Hadaning, Dorothea Rosa Herliany pun
termasuk penyair yang produktif sejak tahun 1980-an, seba-
gaimana dinyatakan Linus Suryadi berikut ini.
Kalau ada penyair perempuan Indonesia modern yang
produktif di zaman kita –tahun 1980-an –bukalah jari
tangan kiri. Kita dapat berhitung: Toeti Heraty, Isma
Sawitri, Rayani Sriwidodo, dan Rita Oetoro. Selebihnya,
satu dua nama timbul dan tenggelam, tergantung pada
ruang gerak yang tersedia sebagai perempuan rumah
tangga (Suryadi, 1989:96).

Memang Linus Suryadi mengamati perempuan penyair


sampai tahun 1980-an, tetapi awal tahun 1980-an sampai tahun
2000, penyair Dorothea Rosa Herlianylah perempuan yang
produktif, seperti dikemukakan Rampan berikut.
Dorothea Rosa Herliany merupakan penyair yang sangat
mengejutkan karena produktivitasnya yang luar biasa.
Hampir semua media massa yang memiliki ruang puisi
memuat karya puisinya. Cerita pendek, esai, dan laporan
budaya yang ditulisnya cukup menunjukkan bahwa ia
memiliki kemampuan lain di luar dunia puisi. Wawasannya
yang cukup luas dan visi kepenyairannya yang mantap
mengukuhkan dirinya sebagai penyair yang mempunyai
masa depan yang cerah (Rampan, 1997:433).

Sajak-sajak Dorothea tidak hanya dimuat di media lokal


saja, tetapi hampir semua media masa yang memiliki ‘Ruang
Puisi’ memuat sajak-sajaknya. Bahkan, Dorothea tidak hanya
menulis puisi, tetapi ia juga menulis cerita pendek, esai, dan
laporan budaya.
Produktivitas penyair menunjukkan kesetiaan mereka
terhadap dunia sastra. Kesetiaan adalah keteguhan hati, ke-
taatan, atau kepatuhan seseorang terhadap sesuatu. Tidak

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


190
DAN PROSES KREATIFNYA
semua penyair setia pada dunia kepenyairan. Hanya ada
beberapa nama penyair yang setia menulis puisi karena ada
juga yang menulis puisi tetapi lebih banyak menulis prosa.
Penyair yang setia menulis puisi, salah satunya adalah Poppy
Donggo Hutagalung. Menurut Poppy, seseorang tidak setia
pada dunia kepenyairan karena menulis puisi tidak bisa
diandalkan untuk menggantungkan hidup, seperti penga-
kuannya berikut ini.
Kami akan mati kering bila menggantungkan hidup dari
penghasilan mengarang/menyair. Berpikir seperti itu saja
rasanya saya tak berani. Untuk sebuah buku dongeng
tipis yang proses sampai terbitnya memakan waktu sekitar
satu tahun, saya mendapat honorarium sekitar Rp
90.000,00 dari penerbit Gramedia yang pembayarannya
dicicil pula sebanyak dua kali setahun, dan tergantung
dari laku tidaknya buku tersebut. (Ada memang pilihan
lain: dibayar sekaligus, tapi jumlahnya jauh di bawah
pembayaran cicilan) (Hutagalung, Catatan pribadi, 18 mei
1983).

Berdasarkan pengalamannya, Poppy Donggo Huta-


galung menjelaskan bahwa mengarang/menyair (menulis
puisi) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebuah
buku dongeng yang tipis saja, dari proses sampai terbit
menjadi buku perlu waktu satu tahun dengan honor Rp
90.000,00 yang dibayar dengan cicilan dua kali setahun.
Demikian pula dengan honorarium satu cerita anak yang
dihargai Rp 15.000,00, sebagaimana pengakuan Poppy berikut.
Mengarang cerita anak-anak, satu cerita dihargai paling
tinggi Rp 15.000,00. Empat cerita Rp 60.000,00. Mungkin
saya dapat mengarang empat cerita sebulan, tapi kebu-
tuhan hidup saya sekeluarga tentulah lebih banyak dari
itu. Penghasilan dari novel-novel Donggo? Menunggu

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 191


khabar dapat tidaknya diterbitkan saja dibutuhkan waktu
sekitar dua-tiga tahun, belum lagi penantian selama itu
buku tersebut dicetak (Hutagalung, Catatan pribadi, 18
mei 1983).

Begitu juga dengan Novel, Poppy mengatakan tidak bisa


mengandalkan hidup dari sebuah novel karena perlu waktu
lebih lama. Untuk mendapat kabar dari penerbit, apakah
novel tersebut dapat atau tidak dapat diterbitkan saja perlu
dua atau tiga tahun. Belum lagi menunggu proses selama buku
itu dicetak sehingga mengarang tidak mungkin untuk meng-
gantungkan hidup apalagi dari menyair, seperti dijelaskan
Poppy berikut ini.
Jadi, bagi saya memang tak ada kemungkinan untuk
menggantungkan hidup dari mengarang, apalagi dari
menyair. Walaupun demikian, dunia kepengarangan tetap
menarik dan akan selalu menarik hati saya, sekalipun
nantinya saya tidak mampu lagi mengarang (Hutagalung,
Catatan pribadi, 18 mei 1983).
Sesungguhnya saya ingin sekali menjadi penyair dan
menjadi pengarang cerita anak yang berbobot. Saya ingin
dapat mengarang buku cerita anak-anak semacam “Rumah
Kecil di Padang Rumput’nya Laura Ingalls Wilder, atau
mengarang sajak semacam ‘Priangan si Jelita”nya Rama-
dhan K.H. Tapi alangkah sukar itu terlaksana. Salah satu
sebabnya saya harus membantu Donggo turut mencari
makan bagi kami sekeluarga. (Hutagalung, Catatan
pribadi, 18 mei 1983).

Itulah sebabnya, Poppy Donggo Hutagalung tidak meng-


gantungkan hidupnya dari menulis puisi saja. Ia bekerja se-
bagai pengasuh ‘Ruang Anak” dan “Ruang Remaja” di Sinar
Harapan untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan
hidup rumah tangganya. Sebagai karyawan yang bekerja di

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


192
DAN PROSES KREATIFNYA
dunia jurnalistik, Poppy mendapatkan keduanya. Honorarium
sebagai pegawai dan tentu saja bisa terus aktif mengarang
cerita anak dan menulis puisi untuk ‘Ruang Anak’ dan ‘Ruang
Remaja’ yang menjadi tanggung jawabnya.
Penyair Indonesia yang paling setia menulis puisi adalah
Diah Hadaning. Ia terus menulis puisi sejak tahun 1970-an
sampai tahun 1990-an dan menerbitkannya sehingga dikenal
sebagai penyair yang produktif. Kegiatan Diah, selain masih
tetap menulis puisi ialah mengasuh ‘Warung Sastra DIHA’ di
Mingguan Swadesi. Alasan Diah tetap setia menulis puisi adalah
untuk menjalin komunikasi dengan sesama manusia, seperti
diungkapkannya berikut ini.
Baginya, menulis puisi selain mengekspresikan dan
memberi aktualisasi diri juga untuk menjalin komunikasi
dengan sesama manusia lewat media sastra (Biodata,
1993: i).

Diah Hadaning merupakan perempuan penyair yang


paling produktif. Ia telah menerbitkan lima belas buku
kumpulan puisi. Produktivitas perempuan penyair seperti
Diah Hadaning terjadi karena kedisiplinannya sebagai penulis.
Ia mempunyai jadwal yang rutin untuk mengetik setiap hari,
seperti pengakuannya dalam sebuah wawancara berikut ini.
Saya punya jadwal yang rutin untuk mengetik. Setiap hari
pasti saya mengetik. Jadi, jangan heran kalau saya pro-
duktif. Lagi pula saya memulai menulis ketika menjelang
usia 30-an, beda dengan anak-anak muda yang bisa me-
nulis ketika ia masih SMA. Mungkin inilah masa subur saya
(Hgp, Suara Pembaruan, 5 Agustus 1986).
Seorang pengarang dalam kehidupan kemasyarakatan
tidak berdiam dalam kamar kaca dunia kepengarangan-
nya. Ia menyandang berbagai tanggung jawab. Demikian

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 193


juga dengan karyanya, menyandang fungsi. Dalam
perkembangan zaman dari kurun ke batas kurun yang
berikutnya, semakin diakui oleh manusia dan dirasakan
pula, bahwa sastra semakin luwes dan luas makna
kehadirannya (Hadaning, Swadesi, 7 Juli 1985).

Menurut Diah Hadaning, di samping memiliki kedisi-


plinan, seorang penyair juga seharusnya memiliki tanggung
jawab di masyarakat. Oleh karena itu, karya-karyanya harus
mengandung fungsi atau bermanfaat bagi pembaca. Dalam
pandangan Diah Hadaning, sebagian perempuan penyair di
Indonesia belum memiliki identitas tetapi kemudian ‘meng-
hilang’ sebelum namanya dikenal masyarakat atau karya-
karyanya dibicarakan oleh pengamat sastra.
Banyak penulis/pengarang/penyair yang belum memiliki
identitas, mengalami tahap ini: sekedar hadir atau sekedar
nampang. Kemudian dalam periode waktu selanjutnya,
tak pernah lagi muncul namanya, bahkan masyarakat
belum sempat menandainya dan memperbincangkannya.
Mengapa berhenti dan hilang dari ‘peredaran’? mungkin
karena kurang tabah, kurang sabar, kurang ulet, kurang
tahan uji, cepat putus semangat, kurang mendapat per-
hatian, kurang mendapat kesempatan, merasa tidak
mampu bersaing, dan lain-lain (Hadaning, Swadesi, 30 Juni
1985).

Melalui kutipan di atas, Diah Hadaning berpendapat


bahwa ‘berhenti dan hilangnya’ perempuan penyair karena
kurang tabah, kurang sabar, kurang ulet dan kurang tahan
uji. Mereka juga cepat putus semangat, kurang mendapat
perhatian, kurang mendapat kesempatan, dan merasa tidak
mampu bersaing.
Perempuan penyair yang telah dibicarakan di atas meru-
pakan sekelompok perempuan yang telah menunjukkan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


194
DAN PROSES KREATIFNYA
potensinya dalam hal mencipta karya (puisi). Tumbuhnya
kesadaran akan potensi dalam diri melahirkan kekuatan untuk
berani mengekspresikan pikiran dan perasaannya sebagai
perempuan. Ketajaman pikiran dan kepekaan perasaan yang
dimilikinya sebagai penyair memudahkan mereka untuk
‘memotret’ berbagai peristiwa yang terjadi, baik secara lang-
sung dilihatnya maupun didengarnya melalui orang lain.
Keinginan, harapan, dan potensi yang dimiliki perempuan
sebagai penyair seharusnya berkembang sebagai fitrah
manusia. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat dicapai secara
optimal karena terbentur dengan kenyataan yang ada seperti
nilai-nilai budaya dan lingkungan sosial yang dapat menim-
bulkan ketidakadilan terhadap perempuan. Stereotif terhadap
perempuan masih sangat kental pada masa ini.

8.1 Dukungan Keluarga dan Masyarakat

Selain potensi diri, faktor lain yang mempengaruhi pro-


duktivitas perempuan penyair adalah keluarga, pendidikan,
dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut memberi pengaruh,
baik positif maupun negatif terhadap produktivitas mereka,
sebagaimana pengakuan Nursjamsu, Sri Kusdyantinah, Poppy
Donggo Hutagalung, Lastri Fardani, Toeti Heraty, Upita
Agustine, Dewi Motik, Siti Nuraini, dan Isma Sawitri berikut
ini.
Nursjamsu mengaku bahwa menulis puisi adalah dorong-
an dari dalam diri sendiri dan unsur yang paling kuat mem-
pengaruhinya adalah lingkungan, seperti pengakuan Nur-
sjamsu dalam sebuah wawancara berikut ini.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 195


Dalam bidang tulis menulis, bagi saya tak ada soal pilih
memilih. Saya bergerak di bidang ini karena dorongan dari
dalam. Unsur yang mempengaruhi dalam bidang ini, dan
unsur yang paling kuat adalah lingkungan (Hutagalung,
Sinar Harapan, 2 April 1982).

Nursjamsu menggemari sajak-sajak Inggris dan Belanda


sejak duduk di SMP (MULO). Pergaulannya dengan Moh.
Yamin dan Chairil Anwar memberi pengaruh yang kuat dalam
sajak-sajak yang ditulisnya.
Poppy Donggo Hutagalung dilahirkan dalam keluarga
besar yang harmonis, terutama sosok ayahnya yang guru,
disiplin tetapi humoris. Poppy sepuluh bersaudara, lima laki-
laki dan lima perempuan. Ayahnya tidak membeda-bedakan
cinta dan kasih sayang untuk semua anak-anaknya.
Papa seorang guru, sebagai guru, ia sangat disiplin, tapi
juga penuh humor. Di tengah keluarga ini pulalah yang
tampak penuh disiplin, tapi juga penuh cinta kasih. Cinta-
nya kadang-kadang mengherankan saya. Kami sepuluh
bersaudara, lima laki-laki dan lima perempuan. Tak satu
pun di antara kami yang dibedakan. Cintanya dibagi rata,
tak ada yang kurang, tak ada yang lebih (Hutagalung,
Mutiara, 9 Juli 1980).

Poppy juga mengaku bahwa ayahnyalah, orang yang


petama mendorong mencintai dunia tulis menulis, seperti
pengakuannya berikut ini.
Papa sangat suka membuat kejutan bagi kami. Seperti
papa, saya juga senang mengarang. Saya sering menulis
puisi dan ceritera hingga jauh malam. Dan suatu siang,
saya dapati sebuah lampu duduk yang bagus di meja tulis!
Lampu itu untuk saya (Hutagalung, Mutiara, 9 Juli 1980).
Bacaan saya bertambah lagi ketika suatu hari bapak
berlanggganan majalah Mimbar Indonesia. Di situlah untuk
pertama kalinya beliau menganjurkan saya untuk

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


196
DAN PROSES KREATIFNYA
mengirimkan naskah saya. Saya makin rajin berlatih setelah
sajak-sajak saya mendapat sambutan yang baik dari
pecinta ruang itu. Sambutan itu antara lain berupa pem-
bicaraan sajak dan surat-surat yang saya terima
(Hutagalung, Catatan Pribadi, 18 Mei 1983).

Dari pengakuan Poppy di atas, tampak bahwa lingkungan


keluarga, terutama sosok ayah, telah mempengaruhinya
mencintai dunia kesusastraan. Tidak hanya lingkungan
keluarga, tetapi ternyata lingkungan tempat tinggal juga
berpengaruh terhadap produktivitas penyair. Berikut ini
adalah pengakuan Poppy.
Selama berumah tangga, beberapa kali saya pindah
rumah. Rupanya suasana rumah juga mempengaruhi saya.
Ketika tinggal bersama orang tua saya di Grogol, dalam
keadaan ‘gembul’ (hamil), saya bisa mengarang; begitu
juga ketika saya pindah ke daerah seberang rumah orang
tua saya. Tapi ketika saya pindah lagi ke seberang lainnya-
masih di Grogol-saya sama sekali tak bisa dan tak mau
membuat apa-apa. Mungkin ini disebabkan bisingnya
jalan depan rumah kontrakan kami itu, atau bau got yang
sering kali menyengat hidung (Hutagalung, Proses Kreatif
II, 1984:158).

Pengakuan Poppy, ia bisa terus mengarang meskipun


berpindah-pindah rumah dan dalam keadaan hamil. Akan
tetapi, ia tidak bisa menulis dan tidak mau berbuat apa-apa
ketika tinggal di lingkungan yang bising karena dekat jalan
besar dan got-got depan rumah kontrakan yang mengeluar-
kan bau menyengat.
Poppy Donggo Hutagalung mengaku kalau dirinya sama
sekali tidak produktif dengan alasan yang dikemukakannya
sebagai berikut.
Sesungguhnya saya ingin sekali menjadi penyair dan

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 197


menjadi pengarang cerita anak yang berbobot. Saya ingin
dapat mengarang buku cerita anak-anak semacam “Rumah
Kecil di Padang Rumput’nya Laura Ingalls Wilder, atau
mengarang sajak semacam ‘Priangan si Jelita”nya Ra-
madhan K.H. Tapi alangkah sukar itu terlaksana (Huta-
galung, Catatan Pribadi, 18 Mei 1983).

Ayah merupakan orang terpenting dalam perjalanan


karier Poppy sebagai wartawati dan penyair, sedangkan bagi
Lastri Fardani Sukarton, peran ibu “si mbok” lah yang penting
dalam proses kreatifnya sebagai penyair, seperti penga-
kuannya dalam sebuah wawancara berikut ini.
Ibu saya memang orang sederhana, tapi telah menanam-
kan pribadi yang kuat dalam diri saya. Setelah saya pindah
ke Yogya, di rumah Simbok di Bantul nggak ada lagi yang
membantu membersihkan lumut-lumut di kamar mandi.
Simbok sudah tua, jadi nggak bisa membersihkan sendiri.
Waktu itu kata pak Lik, simbok mau ngangsu mengambil
air. Dia kepleset, terus pingsan. Saya sedih sekali. Saya
cepeti-cepet pulang ke Bantul. Saya lihat simbok tiduran
di amben. Saya kira simbok mati. Saya nggak mau ditinggal.
Saya cium-cium kakinya sambil nangis. Saya bekti banget
sama simbok (Uki Bayu Sedjati, Amanah, 1983).

Lastri Fardani Sukarton sangat dekat dan mencintai ibu-


nya. Hubungan yang sangat dekat itu membuat Lastri takut
kehilangan ibunya. Kesederhanaan yang dimiliki ibunya juga
sangat mempengaruhi kepribadian Lastri. Rasa sayang kepada
simbok ditulis Lastri dalam kumpulan puisi Gunung Biru di
Atas Dusunku (1988).
Lain lagi dengan Toeti Heraty, ia mengaku bahwa ling-
kungan sekolah yang membuatnya ‘intim’ dengan buku, se-
perti tampak pada kutipan berikut.
Toeti Heraty mengaku lingkungan sekolah yang umumnya

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


198
DAN PROSES KREATIFNYA
terdiri dari anak-anak Belanda tidak bisa membuatnya
bebas bergaul dengan mereka. Demikian pula dengan
teman-temannya pribumi. Oleh sebab itu, ia mencari sa-
habat yang dapat dijadikannya intim, yaitu buku
(Hutagalung, Sinar Harapan, 2 April 1982).

Selain lingkungan sekolah, keluarga juga mempengaruhi


proses kreatif Toeti Heraty karena ayahnya, seorang insinyur
sipil menginginkan anak-anaknya menjadi orang yang bertitel
dalam bidang eksakta. Toeti berhasil menyelesaikan pendi-
dikan formalnya sampai ke jenjang S3. Toeti juga tetap berhasil
menyalurkan bakatnya sebagai perempuan penyair yang
diperhitungkan di negeri ini.
Dewi Motik merasakan pentingnya peran suami dalam
menunjang aktivitasnya sebagai pengusaha. Dukungan dan
pengertian suami membuat Dewi merasa bisa membagi waktu
antara pekerjaan dan keluarga, seperti pernyataan Dewi Motik
berikut.
Semua ini karena Allah, saya sendiri sangat bersyukur bisa
dikaruniai kemampuan untuk membagi waktu antara
pekerjaan dan keluarga. Tentu saja peran suami tak sedikit
dalam hal ini. Tanpa dukungan dan pengertian suami
belum tentu saya menjadi seperti ini (Mardianah Noerdjali,
Mingguan Bisnis Indonesia, 31 Maret 1991).
Kehidupan keluarga yang harmonis memberi dampak
positif bagi Dewi Motik sebagai perempuan yang bekerja.
Peran suami sebagai orang terdekat dalam keluarga menjadi
pendamping dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.
Isma Sawitri pun mengaku jika keluarga terutama ayah adalah
orang yang berperan memberi motivasi dan kecintaannya
pada kesusastraan, seperti pengakuannya berikut ini.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 199


Saya senang membaca buku dan surat kabar terutama,
sejak saya bisa membaca. Buku2 beraneka selalu tersedia,
terimakasih pada almarhum bapak saya. Lewat buku dan
suratkabar, saya merasa akrab dengan banyak hal (P-1,
Sinar Harapan, 2 April 1982).

Sebaliknya, ketidakharmonisan keluarga atau perceraian


menjadi salah satu faktor perempuan tidak produktif. Hal
ini terjadi dalam kehidupan penyair Siti Nuraini. Setelah
berpisah dengan suaminya, ia pergi meninggalkan Indonesia
dan menetap di luar negeri, seperti tampak pada kutipan
berikut.
Setelah aktif dalam tahun 1950-60-an dalam gerak sastra
Indonesia, nama Siti Nuraini menghilang begitu saja.
Setelah berpisah dari Asrul Sani (suaminya), ia bermukin
di Eropa dan kini menetap di Amerika Serikat (Rampan,
1997:28).

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas perem-


puan penyair di Indonesia adalah potensi diri dan lingkungan
keluarga serta masyarakat. Pekerjaan yang memotivasi
perempuan penyair tetap produktif menulis puisi, salah satu-
nya adalah menjadi wartawati. Perempuan penyair yang
mengembangkan kariernya di bidang jurnalistik ini adalah
Poppy Donggo Hutagalung, dan Lastri Fardani Sukarton.
Toeti Heraty sebagai dosen di Perguruan Tinggi memberi
peluang untuk tetap produktif, meskipun tidak semua meng-
ajar bidang sastra. Beberapa tahun, Lastri Fardani ‘berhenti’
menulis ketika mereka hamil dan melahirkan. Akan tetapi,
beberapa tahun kemudian mereka kembali bekerja sebagai
wartawati karena menurut mereka, tidak ada alasan yang
tepat untuk menghentikan karier. Hal ini menunjukkan

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


200
DAN PROSES KREATIFNYA
potensi dalam diri penyair yang menuntut untuk diaktuali-
sasikan.
Lingkungan keluarga dan masyarakat merupakan faktor
yang mempengaruhi proses kreatif, produktivitas, dan
perjalanan mereka menjadi seorang penyair. Keluarga yang
harmonis dan sosok ayah sangat berpengaruh dalam mena-
namkan kecintaan Poppy Donggo Hutagalung terhadap dunia
sastra. Sosok ibu berperan dalam kehidupan Lastri Fardani
Sukaton. Kesederhanaan sosok ibu mempengaruhi kepri-
badian Lastri sehingga sajak-sajaknya banyak mengangkat
tema keluarga. Setelah berkeluarga, peran suami juga mem-
pengaruhi produktivitas istri, seperti Dewi Motik yang
mengaku mendapat dukungan dan pengertian dari suaminya,
sedangkan Siti Nuraini justru ‘menghilang’ dan karya-karya-
nya tidak ditemukan lagi setelah bercerai dengan suaminya,
Asrul sani.
Menurut Toeti Heraty, perempuan penyair yang telah
berkeluarga sebagian besar merasa lebih suka hidup aman,
tenteram, berada dalam keteraturan dan kehangatan. Itulah
salah satu alasannya mengapa mereka tidak atau kurang kre-
atif lagi. Selain itu, kurangnya kesetiaan pada dunia menyair.
Alasannya sangat jelas, bahwa berdasarkan pengalaman
Poppy Donggo Hutagalung honorarium mengarang/menyair
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Diah Hadaning, beberapa alasan kurang produk-
tifnya perempuan penyair adalah sebagai berikut: kurang
tabah, kurang sabar, kurang ulet, kurang tahan uji, cepat putus
semangat, kurang mendapat perhatian, kurang mendapat

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 201


kesempatan, merasa tidak mampu bersaing, dan lain-lain.
Lingkungan keluarga, terutama suami atau ayah bagi
perempuan penyair adalah orang yang memberi dukungan
penuh lahirnya sosok perempuan penyair di Indonesia.
Konsep saling memahami dalam hubungan suami istri dan
berbagi peran dalam pekerjaan domestik menciptakan suasana
yang positif bagi penyair. Mereka dapat terus berkarya tanpa
meninggalkan tugas-tugas domestiknya. Hal ini menunjukkan
adanya kesetaraan hubungan dalam keluarga. Mereka me-
lihat suami sebagai partner yang bisa diandalkan untuk ber-
bagi peran mengatur urusan domestik, sehingga lahirlah
perempuan penyair yang dikenal sukses membina karier dan
rumah tangga.
Sebagian besar perempuan penyair dilahirkan dari
keluarga yang berpendidikan sehingga mereka memiliki
kesempatan untuk tampil dan berperan di ruang-ruang publik.
Adanya kesadaran dari keluarga, baik ayah maupun ibu
terhadap potensi yang dimiliki anak perempuannya menjadi
peluang mengasah keterampilannya menulis. Mereka juga
mendapat kesempatan untuk sering membaca, baik di rumah
maupun di sekolah karena berada pada lingkungan keluarga
yang mampu dan berpendidikan. Beberapa sosok ayah seba-
gai laki-laki menunjukkan kesadarannya dengan memberi
kesempatan membaca dan belajar untuk anak-anaknya, baik
perempuan maupun laki-laki. Hal ini telah menunjukkan ada-
nya kesadaran orang tua (laki-laki) terhadap adanya potensi
yang sama pada anak laki-laki atau anak perempuan. Begitu
juga peran suami yang memiliki kesadaran terhadap potensi

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


202
DAN PROSES KREATIFNYA
yang dimiliki istrinya sebagai penyair.
Kesadaran dan saling memahami ini merupakan akar
lahirnya kesadaran peran karena adanya keragaman biologis.
Suami sebagai laki-laki memahami potensi istri, begitu pula
istri dapat mengembangkan keterampilannya tanpa melupa-
kan tugas-tugas domestik yang menjadi tanggung jawabnya.
Keragaman biologis antara laki-laki dan perempuan, khu-
susnya suami dan istri dalam keluarga itu saling melengkapi
untuk satu tujuan yaitu keharmonisan keluarga.
Perempuan penyair yang tetap aktif menulis rupanya
menyadari adanya keragaman biologis ini. Bagaimanapun,
keragaman biologis ini adalah suatu kenyataan di mana
perbedaan biologis mengimplikasikan perbedaan fungsi untuk
saling melengkapi. Hal ini tampak jelas dalam kehidupan
Poppy Donggo Hutagalung dan Lastri Fardani Sukarton dan
penyair lainnya yang bekerja di luar rumah tetapi tetap me-
lakukan pekerjaan-pekerjaan domestik karena menyadari
tanggung jawabnya sebagai ibu dan istri. Dari uraian di atas
terungkap bahwa potensi diri atau kemampuan yang dimiliki
penyair dan faktor-faktor seperti pendidikan, keluarga,
lingkungan tempat tinggal mempengaruhi perempuan penyair
dalam berkarya.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 203


PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA
204
DAN PROSES KREATIFNYA
DAFTAR PUSTAKA

Agustine, Upita. 1986. Terlupa dari Mimpi. Padang: Yayasan


Studi Kreativitas.
Agustine, Upita dan Yvonne de Fretes. 1995. Sunting: Kum-
pulan Sajak Berdua. Jakarta: Puisi Indonesia.
Ahmad, Shahnon. 1978. Penglibatan dalam Puisi. Kuala
Lumpur: Utusan Publications & Distributors SDN. BHD.
Ali, Lia Fitri. 1985. “Doktor Teoti Heraty Noerhadi: Biarkan
Wanita Memilih”. Sarinah, 25 November 1985.
Altenbernd, Lynn dan Lislie L. Lewis, 1970. A Handbook for
the Study of Poetry. London: Collier-MacMillan Ltd.
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Aziz, Susi Aminah. 1961. Seraut Wajahku. Jakarta: Kemuning.
______. 1977. Tetesan Embun. Jakarta: Kemuning.
B 9. 1991. “Dewi Motik Sebagai Pengarang Wanita”. Suara
Pembaruan, 4 Agustus 1991.
de Beauvoir, Simone. 2003. Second Sex: Fakta dan Mitos.
Surabaya: Pustaka Promothea.
______. 2003. Second Sex: Kehidupan Perempuan. Surabaya:
Pustaka Promothea.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 205


Belan, Virga. 1962. “Kesusastraan Minus Sastrawati–Suatu
Gejala Tragik”. Seni dan Kebudayaan Nomor 4, April 1962.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Introductions to
Qualitative Research Methods, A Phenomenological Approach
to the Social Sciences. New York: John Wiley & Sons.
Chaplin, James P.1997. Kamus Lengkap Psikologi (terjemahan
Kartini Kartono). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. “Hakikat Penelitian Sastra”.
Gatra, 20 Juni. 1991.
______. 2003. “Penelitian Sastra dari Sisi Pembaca: Suatu
Pembicaraan Metodologi” dalam Metode Penelitian Sastra.
(ed. Jabrohim). Yogyakarta: Hanindita.
Culler, Jonathan. 1975. Structuralist Poetics, Structuralism, Lin-
guistics and The Study of Literature. London: Roeutledge
ang Kagen Paul.
El Khalieqy, Abidah. 1998. Ibuku Laut Berkobar. Yogyakarta:
Tituan Ilahi Press.
Eneste, Pamusuk. 2001. Bibliografi Sastra Indonesia. Magelang:
Indonesiatera.
Ernawati, Nana. 2017. Berbagi Zikir (Kurator: Ahmadun Yosi
Herfanda, Ulfatin Ch). Jakarta: Lembaga Seni & Sastra
REBOENG.
Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam
Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunawan, Ryadi. 1993. “Dimensi-dimensi Perjuangan Kaum
Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sejarah” dalam

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


206
DAN PROSES KREATIFNYA
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Ti-
ara Wacana.
HGP. 1986. “Diah Hadaning, Penyair Wanita Kita”. Suara
Pembaharuan, 5 agustus 1986.
Hadaning, Diah. 1985. “Perjuangan Sebuah Eksistensi”.
Swadesi, 30 Juni 1985.
______. 1985. “Sikap Pengarang terhadap Karyanya”. Swadesi,
7 Juli 1985.
______. 1985. Balada Sarinah. Jakarta: Sastra Kita.
______. 1986. Sang Matahari. Jakarta: Sastra Kita.
______. 1987. Nyanyian Waktu. Jakarta: Sastra Kita.
______. 1989. Balada Anak Manusia. Jakarta: Harjuna Dwi-
tunggal.
______. 1993. Di Antara Langkah-Langkah: Sajak-Sajak Perjalanan.
Jakarta: Swadesi.
Hadaning, Dian & Rita Oetoro. 1995. Nyanyian Hening
Senjakala. Jakarta: Pustaka Sastra.
HW. 1982. “Upita Agustine: dari Pagarruyung Menjadi
Insinyur dan Seniwati”. Berita Minggu, 20 Juni 1982.
Hafidz, Wardah. 1993. “Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang,
dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa”.
Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia (ed. Fauzie Ridjal
dkk). Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
Hawthorn, Jeremy. 1994. A Concise Glossary of Contemporary
Literary Theory. London: Edwar Arnold.
Hearty, Free. 1989. “Ir. Raudha Thaib, Penyair Yang Terlupa
dari Mimpi dalam Bincang-Bincangnya”. Haluan, 25 Sep-
tember 1989.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 207


Hend. P. 1976. “Kancil Betina yang Gesit dan Pandai Ngatur
Waktu”. Berita Buana, 29 Juli 1976.
Heraty, Toeti. 1973. Sajak-Sajak 33. Jakarta: DKJ.
______. 1979. Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (A Taste of Betel and
Lime). Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
______. 1982. Mimpi dan Pretensi. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 1995. Nostalgi = Transendensi. Jakarta: Grasindo.
______. (editor). 2006. Selendang Pelangi: Antologi Puisi 17
Perempuan Penyair Indonesia. Magelang: Indonesiatera.
Herliany, Dorothea Rosa. 1987. Nyanyian Gaduh. Yogyakarta:
Pustaka Nusatama.
______. 1990. Matahari yang Mengalir. Ende: Nusa Indah.
______. 1993. Kepompong Sunyi. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 1995. Nikah Ilalang. Yogyakarta: Pustaka Nusatama.
______. 1999. Mimpi Gugur Daun Zaitun. Jakarta: Grasindo.
Hermit, Herman. 1982. “Kental dengan Renungan Falsafi”.
Pikiran Rakyat Bandung, 23 November 1982.
Humm, Maggie. 1986. Feminist Criticism. Brighton, Sussex:
The Hervester Press Publishing Group.
______. 2002. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru.
Hutagalung, Poppy. 1970. Hari-Hari yang Cerah. Jakarta: Badan
Penerbit Kristen.
______. 1980. “Mencoba Meniru Ayah”. Mutiara, 22 Juli 1980.
______. 1982. “Penyair Wanita Makin Langka”. Sinar Harapan,
2 April 1982.
______. 1984. Proses Kreatif II (ed. Pamusuk Eneste). Jakarta:
Gramedia.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


208
DAN PROSES KREATIFNYA
______. 1986. Perjalanan Berdua. Jakarta: Grasindo.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading. A Theory of Aesthetic
Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Ismail, Taufik. 2002. Horisan Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi.
Jakarta: Horison dan Kaki Langit bekerja sama dengan
The Fond Foundation.
Jassin, H.B. 1946. Kesusastraan Indonesia dimasa Djepang.
Djakarta: Balai Pustaka.
______. 1969. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi I. Djakarta: Balai
Pustaka.
______. 1969. Gema Tanah Air: Prosa dan Puisi 2. Djakarta: Balai
Pustaka.
Juliasih. 2009. Potensi Perempuan Amerika: Tinjauan Feminisme.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Junus, Umar. 1981. Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu
Modern. Jakarta: Bharatara Karya Aksara.
Kartono, Kartini. 1981. Psikologi Wanita: Wanita sebagai Ibu dan
Nenek. Bandung: Alumni.
Kemalawati, D. 2006. Sajak dari Negeri Tak Bertuan. Aceh:
Lapena.
Loekito, Medy. 1993. In Solitude: Antologi Puisi. Bandung:
Angkasa.
______. 1998. Jakarta, Senja Hari. Bandung: Angkasa.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia: Menyingkap kaitan
Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang
Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan.
Miraza, Azwina Aziz. 1995. Pesta Duka Malam Menagih Janji.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 209


Jakarta: Ina Mentari Anugrah Promindo.
Moeliono, Anton M dkk. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Motik, Dewi. 1987. Cintaku Tuhanku. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya
di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 2008. Gender dan Administrasi Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nurdjali, Mardinah. 1991. “Dewi Motik: Mensyukuri karunia
Allah”. Mingguan Bisnis Indonesia, 31 Maret 1991.
Nurjamsu. 1982. “Penyair Wanita Makin Langka”. Sinar
Harapan, 2 April 1982.
Oetoro, Rita.1986. Dari Sebuah Album. Jakarta: Balai Pustaka.
______. 1993. Sangkakala. Jakarta: Balai Pustaka.
______. dan Piek Ardijanto. 1994. ‘kawindra-kawindra!’. Jakarta:
Pustaka Sastra.
______. 1998. Nyanyian Malam. Jakarta: Pustaka Sastra.
O’Neil, William F. 2001. Ideologi-Ideologi Pendidikan (terjemahan
Omi Intan Naomi) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P-1. 1982. “Sejak Usia 16 Tahun”. Sinar Harapan, 2 April 1982.
Parikesit, Soeparwan . 1991. “Cinta dan Pilihan Awal Isma”.
Pelita, 10 Februari 1991.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______. 1997. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Prayoga. 1962. Tempo. Edisi April 1962.
Preminger, Alex dkk. 1974. Princetown Encyclopedia of Poetry

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


210
DAN PROSES KREATIFNYA
and Poetics. Princetown: Princetown University Press.
Pusat Kajian Wanita dan Gender Universitas Indonesia. 2005.
Hak Azasi Perempuan: Instrumen Hukum untuk Mewujudkan
Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ratih, Rina. 2016. Teori dan Aplikasi Teori Semiotik Micahel
Rifaterre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rampan, Korrie Layun. 1984. Kesusastraan Tanpa Kehadiran
Sastra. Jakarta: Yayasan Arus.
______. 1997. Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
______. 2000. Angkatan 2000: Dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Riffaterre, Michael. 1979. Semiotic of Poetry. Bloomington: In-
diana University Press.
Rosidi, Ajip. 1977. Laut Biru Langit Biru. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya.
Rosidi, Ajip. 1991. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung:
Binacipta.
Rustam, Betty Mauli Rosa. 2011. ‘Potensi Perempuan Mesir
pasca-Revolusi 1952: Kajian Sosiologi Sastra dan
Strukturalisme Genetik dan Feminis terhadap Novel-
Novel Nadjib Al-Kilany’, Disertasi, UGM, 2011.
Rusmini, Oka. 1997. Monolog Pohon. Denpassar: Griya Budaya.
Ruthven, K.K. 1984. Feminist Literary Studies an Introduction.
Cambridge University Press, Cambridge, New York, Port
Chester, Melbourne, Sidney.
SMP. 1982. “Tuty Herati Noerhadi: Ketua Dewan Kesenian
Baru yang Punya Kesibukan Ganda”. Sinar Harapan, 11

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 211


April. 1982.
S. Rukiah.1952. Tandus. Jakarta: Balai Pustaka.
Salam, Solichin. 1979. “Teoti Heraty Wanita Indonesia Pertama
Meraik Gelar Doktor Filsafat” dalam Berita Buana, 20
Januari 1979.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja
dan Perubahan Sosial; Sebuah Pengatar Studi Perempuan.
Jakarta: Anem Kosong Anem.
Saraswati. 1993. “Sangkala: Sebuah Potret” dalam Harian
Terbit, 9 Mei 1993.
Sastriyani, Siti Hariti. 2011. “Eksistensi Perempuan dalam Puisi
‘Femme Realite’ dan ‘Ombre’ Karya Aicha Bassry serta
Terjemahannya: Tinjauan Kritik Feminis” dalam Jejak
Sastra & Budaya (ed. Aprinus dkk). Yogyakarta: Elmatera.
Sayuti, Suminto A. 2000. Semerbak Sajak. Yogyakarta: Gama
Media.
______. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Me-
dia.
Sedjati, Uki Bayu. 1983. “Hari-Hari Simbok, Aku dan Langgar
di Desaku” dalam Amanah, 1983.
Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticism. New York:
Pantheon Books.
Sriwidodo, Sri dan T. Mulya Lubis. 1970. Pada Sebuah Lorong.
Medan: Penerbit ‘Sendiri’.
______. 1977. Pokok Murbei. Jakarta: Puisi Indonesia.
______. 1983. Percakapan Rumput. Jakarta: Puisi Indonesia.
______. 1985. Burung-Burung Bertingkah Paling Aneh. Penerbit:
ISTI.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


212
DAN PROSES KREATIFNYA
______. 1988. Percakapan Hawa dan Maria. Jakarta: Pustaka karya
Grafikatama.
Soenarjati. 1995. Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair
Lewis dan Gerakan Wanita Amerika. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Soentoro, Isye. 1988. ‘Lastri Fardai Sukarton: Meski Sibuk,
Menulis Terus…”. Femina, januari 1988.
Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia dalam
Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sudewa, Wirawan. 1987. “Penyair Wanita Indonesia Bertaraf
“Antarbangsa”. Prioritas, Januari 1987.
Suhendi, Didi. 2010. “Perempuan dalam Novel-Novel Indo-
nesia 1920-2000: Kajian Kritik Sastra Feminis Islam”,
Disertasi UGM, 2010.
Sulastin (penerjemah). 1979. Surat-Surat Kartini: Renungan
Tentang dan untuk Bangsanya (terjemahan Door Duisternis
Tot Licht). Bandung: Harapan Offset.
Sukarton, Lastri Fardani. 1988. Gunung Biru di Atas Dusunku.
Jakarta: Balai Pustaka.
Suryadi, Linus. 1986. Tugu: Antologi Puisi 32 Penyair
Yogya.Yogyakarta: Dewan Kesenian Yogyakarta, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
______. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern I. Jakarta:
Gramedia.
______. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 2. Jakarta:
Gramedia.
______. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 3. Jakarta:
Gramedia.

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 213


______. 1987. Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 4. Jakarta:
Gramedia.
______. 1989. Dibalik Sejumlah Nama. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Susiana. 1994. “Tiba-Tiba Dewi Motik Pun Jadi Pelukis”. Suara
Karya, 22 Mei 1994.
Tjakl, S. 1961. “S Rukiah: Kedjatuhan dan Hati”. Djakarta Raya,
26 April 1961.
Teeuw, A. 1979. Sastra Baru Indonesia. Ende: Nusa Indah.
______. 1980. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tirtasujana, Sumanang. 1998. “Selintas Tatap Sajak-Sajak Diah
Hadaning” Cerminan Estetika dan Jagat Gender”.
Wawasan, 22 Februari 1998.
Tong, Rosemarie Putnam. 2006. Feminist Thought. Yogyakarta
& Bandung: Jalasutra.
Truong, Thanh-Dam. 1992. Seks, Uang, dan Kekuasaan: Pariwisata
dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3S.
Ulfatin Ch. 1996. Selembar Daun Jati. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Waluyo, Srikandi. 1988. “Tidak Ada Istilah “Kodrat Wanita”
bagi Toeti Heraty”. Femina, 7 April 1988.
Yudiono. 2004. Peta Sejarah Sastra Indonesia. Semarang: Fasindo.

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


214
DAN PROSES KREATIFNYA
DAFTAR INDEKS

A. Teeuw, 1 Balai Pustaka, 57


adat, 117 baris sajak, 19, 128, 137, 151
adat istiadat, 19, 21 Barisan Srikandi, 37
Ajip Rosidi, 1 belajar, 202
aktivis perempuan, 125 berpolitik, 133
ambiguitas, 14 bidang sastra, 100, 185
Anak perempuan bidang sosial, 114
bangsawan, 15 birokrasi, 147
anekdotis, 147 budaya, 2
anggota masyarakat, 12, 25 budaya patriarkhi, 103
antologi, 70, 104, 122, 131, 137, buku referensi, 25
153
C
antologi puisi, 25
apresiasi, 152 cerpen, 45, 64, 152
aspek kehidupan, 20, 80, 177 creating of meaning, 14

B D

bait, 88, 105 daya kreatif, 185


bait sajak, 88 derajat kaum perempuan, 23

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 215


diskomunikasi, 106 fokus, 152
displacing of meaning, 14
G
distorting of meaning, 14
domestik, 177 generasi muda, 72
dominasi keluarga Gynokritik, 2
patriarkhis, 178
H
Door Duisternis Tot Licht, 16
H.B. Jassin, 1, 43
drama, 113
hak asasi perempuan, 3
dunia agama, 147
Hamidah, 27
dunia kepenyairan, 191
harapan, 133
dunia pendidikan, 133
Herman J. Waluyo, 1
dunia politik, 128
homologue, 14
E hukum, 19
efek estetik, 117
I
eksistensi, 180
ibu rumah tangga, 182
ekspresi, 174
ideologi transformasi
ekspresi tidak langsung, 14
sosial, 3
enjambement, 14
implisit, 124
esai, 64
individu, 12
F inspirasi, 121
feminim perempuan, 66 inspirasi sajak, 132
Feminisme, 3 inteligensi, 180
fenomena, 44, 171 intrik politik, 128, 129
fenomena alam, 132 istri hakiki, 155
fenomena kehidupan, 13
K
filsafat pendidikan, 180
Kartini, 20

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


216
DAN PROSES KREATIFNYA
karya sastra, 2, 3, 7, 8 kontradiksi, 14
karya sastra asing, 63 konvensional, 79
kaum marginal, 44 Korrie Layun Rampan, 1
kaum perempuan, 11, 19, 21, kreativitas, 185
59 kreativitas perempuan, 3
kebutuhan hidup, 191 Kritik sastra feminis, 2
kegelisahan, 15
L
kegiatan perempuan, 9
kehidupan masyarakat laki-laki penyair, 11
Indonesia, 37 lingkungan masyarakat, 174
kehidupan perempuan, 33 lingkup keluarga, 15
kejujuran, 89
M
Kesadaran, 106
majalah Poedjangga Baroe, 34
kesadaran politik, 129
majalah Timboel, 28
kesadaran religius, 129
makhluk sosial, 114
kesenian, 147
makna puisi, 14
kesusastraan, 114
Maria Amin, 48
kesusastraan Indonesia, 25
masalah sosial, 133
ketidakadilan, 3, 15
masyarakat, 7, 12, 74, 80, 96,
kodrat perempuan, 2
124, 128
komplementer, 93
masyarakat patriarki, 3
komunikasi, 106
medan peperangan, 55
kondisi perempuan Indone-
menyampaikan pikiran, 26
sia, 19
metafora, 14
Kongres Wanita Indonesia,
metonimi, 14
52
Mimbar Indonesia, 64
konsolidasi, 85
mindset, 20, 80
kontemplasi, 112

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 217


motivasi, 199 penyair romantik, 5
musikal, 5 penyair tokoh, 187
perasaan, 26, 133
N
perempuan, 134, 174
nafsu romantik, 9 perempuan bumi putra, 23
nilai feminitas, 80, 174 perempuan cerdas, 177
nilai moral, 80 perempuan Indonesia, 22, 81
nonsense, 14 perempuan penyair, 1, 7, 9,
novel, 28, 152 11, 13, 25, 72, 81, 115, 177,
Nursyamsu, 38 180, 183, 203
perintis emansipasi kaum
O
perempuan, 16
optimis, 171
peristiwa, 170
Orde Baru, 26
peristiwa sosial, budaya, dan
Orde Lama, 26
politik, 152
organisasi perempuan, 52
peristiwa sosial politik, 25
P perjuangan, 48, 142
perjuangan perempuan, 23
patriarki, 174
personifikasi, 14
pembicara, 171
pikiran, 133
pembuat puisi, 2
politik, 2
pendidikan, 23
potensi diri, 179
penelitian terhadap
potensi perempuan, 3
perempuan, 3
potensi
Pengarang cerpen, 83
perempuan penyair, 1
pengarang simbolik, 47
produktif, 182
penyair, 1, 25, 109, 115, 124,
produktivitas perempuan
137, 149, 167
penyair, 179, 193
penyair Indonesia, 38

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


218
DAN PROSES KREATIFNYA
proses kreatif, 1, 26, 189 sajak emosional, 35
proses kreatifnya, 179 sarana komunikasi penyair,
prostitusi, 147 13
puisi, 13, 26, 28, 46, 104, 152, sastra asing, 64
181 sastra feminis, 3
Puisi dan perempuan penyair, sastra Indonesia, 1, 25
2 Selasih, 26
semangat bekerja, 183
R
semangat kebangsaan, 18
Raden Ajeng Kartini, 15 semangat perjuangan, 15
reading as women, 4 simbol, 174
realitas sosial, 13 simbolisme, 46, 48
referensi sastra, 1 sinekdoki, 14
religius, 48, 80, 151 sinisme, 52
representasi perempuan sistem patriarkat, 13
Indonesia, 35 Siti Nuraini, 63
resensi, 171 Situasi politik, 27
Roestam Effendi, 27 situasi sosial, 44
romantik idealis, 35 skeptisisme, 52
romantisme, 48 sosial, 2, 104
ruang publik, 103 Stereotif, 134
ruang teks, 14 studi sastra, 2

S T
S. Rukiah, 56 talent, 180
Sabarjati, 53 tanggung jawab, 145
sajak, 14, 35, 39, 55, 57, 64, 70, teks sastra, 2
72, 108, 121, 174, 187 tema, 178

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 219


teori feminis, 2, 4
Toeti Heraty, 1
tradisi, 117

Umar Junus, 1

Walujati, 59
wartawan, 183
wartawati, 182
wilayah publik, 177
women reader, 4
workshop, 171

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


220
DAN PROSES KREATIFNYA
BIODATA PENULIS

RINA RATIH lahir di Tasikmalaya, Jawa


Barat tanggal 2 April. Rina Ratih, alumni
SMA Negeri I Ciamis ini masuk jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Muham-
madiyah (sekarang UAD) Yogyakarta pada
tahun 1982. Tahun 1984, pernah kuliah di
jurusan Seni Rupa IKIP Negeri Yogyakarta. Tahun 1985
terpilih sebagai mahasiswa teladan IKIP Muhammadiyah dan
Kopertis wilayah V DIY. Tahun 1987 langsung diangkat men-
jadi staf pengajar di Universitas Ahmad Dahlan sampai
sekarang. Tahun 2000 melanjutkan S2 Ilmu Sastra di Pasca-
sarjana UGM dan lulus tahun 2003 dengan predikat cumlaude
dan lulusan terbaik dengan indeks prestasi 4,0. Pada tahun
2003, ia juga menjadi dosen teladan di Universitas Ahmad
Dahlan dan kopertis wilayah V DIY. Tahun 2007 masuk S3
Pascasarjana UGM dan lulus ujian tertutup pada Juli 2012.
Istri dari Tirto Suwondo (Balai Bahasa Yogyakarta) dan
ibu dari Poetry, Andrian, dan Nasrilia ini menulis puisi,
cerpen, cerita anak, dan cerita rakyat. Puisi-puisinya terbit
dalam antologi Kreativitas (1984), Musim Semi (1984), Aku Angin

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 221


(1986), Risang Pawestri (1990), Melodia Rumah Cinta (1994),
Pawestren (antologi puisi. Nana Toyota Foundation 2014) dan
Parangtritis (antologi puisi. Buku Litera 2014). Cerita anak yang
sudah diterbitkan: Sapu Tangan Bersulam Emas (1998), Siasat
Putri Indun Suri (2000), Syah Keubandi dan Putri Berjambul Emas
(2000), Sepasang Naga di Telaga Sarangan (2006), Dewi Anggraeni
(2007). Antologi Cerpen Perempuan Bermulut Api (2010),
Perempuan Bercahaya (2011), Sang Pembangkang (2011), Putri
Emas dan Burung Ajaib (2013), dan Putri Cantik dari Pulau Bintan
(2014), dan Lebah Lebay di Taman Larangan (2015).
Karya Ilmiah yang telah ditulisnya adalah “Ras dan
Percintaan pada Masa Kolonialisme dalam Salah Asuhan Karya
Abdul Muis” (Proseding Bahasa dan Sastra dalam Transformasi
Budaya 2001, Yogyakarta: Gama Media; “Cerita Rakyat
sebagai Sarana Pembinaan Moral” (jurnal DIDAKTIKA Vol-
ume 1 Nomor 2 Agustus 2001; “Makna Sajak-Sajak “Tembang”
Karya D. Zawawi Imron dalam Kajian Semiotik” (Jurnal
Pascasarjana UGM SOSIOHUMAHIKA, Jilid B Edisi Septem-
ber 2003); “Kado Istimewa” Karya Jujur Pranoto: Kajian Se-
miotik Roland Barthes (Jurnal Pengkajian dan Penelitian Sastra
Asia Tenggara PANGSURA Edisi Juni-Desember 2004);
“Hikayat Raja-Raja Pasai dalam Kajian Semiotik” (Jurnal
BAHASTRA Edisi Oktober 2005); Cerpen ‘Kepala’ Karya Putu
Wijaya dalam Kajian Hermeneutik (2007); Makna Sajak-Sajak
Simphony Karya Subagyo Sastrowardoyo dalam Kajian Se-
miotik (2007); “Siti Nurbaya dalam Pandangan Dekonstruksi
Paul De Man” (Jurnal Semiotika, Edisi 9 (2) Juli-Desember
2008); Sajak ‘Tembang Rohani’ karya Zawawi Imron: Kajian

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


222
DAN PROSES KREATIFNYA
semiotik Riffaterre (dalam jurnal Kajian Linguistik dan Sastra
UMS Juni 2013); ”Menulis ulang cerita rakyat: kegiatan kreatif
dan imajinatif.” (Proseding seminar nasional sastra anak di
Universitas Trunojoyo Madura. Mei 2014); “Pendidikan, Cinta
dan Perkawinan Perempuan dalam Puisi Indonesia” (Proseding
Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Indonesia. UAD
Oktober 2014); “Mengembangkan cerita rakyat Membutuhkan
Keahlian Berimajinasi.” (Kuliah Umum di FS univ Sanatha
Dharma. November 2014), dan “Perempuan dalam Belenggu
Sejarah” (Seminar Unsil).
Penelitian-penelitiannya adalah “Cerita Rakyat Telaga
Sarangan Analisis Struktural Vladimir Propp’’ (Kopertis, 2001);
“Hubungan Intertekstual Sajak-Sajak “Tembang” dengan
Ayat-Ayat Suci Al-Quran” (UAD, 2003); “Kajian Feminis Pasir
Berbisik dan Alternatif Pengajarannya di SMA Sesuai Kuri-
kulum Berbasis Kompetensi 2004’ (Kopertis, 2004); “Film Pasir
Ber-bisik dalam Kajian Feminis dan Psikologis’ (UAD, 2004);
“Model Pengajaran Sastra sesuai Kurikulum Berbasis Kom-
petensi 2004 pada Beberapa SMA di Kota Yogyakarta’ (Man-
diri, 2005); “Cerita Rakyat ‘Kerajaan Majapahit-Kerajaan Wengker’:
Gambaran Politik Kekuasaan’ (Mandiri, 2006)’ “Pembelajaran
Menulis Puisi dengan Strategi Gembira di SMP Negeri 2
Dlingo, Bantul, Yogyakarta, Tahun Ajaran 2006/2007’ (UAD,
2007); ‘Peningkatan Pembelajaran Penulisan Puisi dengan
Media Gambar di SMP Muhammadiyah Mlati, Sleman, Yogya-
karta Tahun Ajaran 2008/2009’ (UAD, 2009), Perempuan Pe-
nyair Indonesia Th 1900 - 2005 (Elmatera Publishing, 2010),
Citra Perempuan Indonesia di Tengah Kekuasaan Patriarkhi

Dr. Rina Ratih, M.Hum. 223


(Elmatera, 2011), dan Penterjemah Bahasa Indonesia ke Bahasa
Daerah Dilengkapi dengan Pensintesa Kalimat Ambigu (Dikti,
2013), Pengembangan Pemeriksaan Kalimat Ambigu dalam
Aplikasi Terjemah dengan Perubahan Pola Kata untuk Bahasa
Indonesia ke Bahasa Daerah (hibah Dikti 2014), dan Teori
dan Aplikasi Semiotik Michael Riffaterre (Buku Ajar 2015).
“Keberadaan Suami dalam Membangun Kehidupan Ber-
sama: Kajian Ekspresi Puitik atas Sajak Dianing Widya
Yudhistira dan Imam Budi Santosa” (UNES, 2016), “Ekspresi
Kesadaran Perempuan terhadap Kebodohan yang Membe-
lenggu Kaumnya” (Un Trunojoyo, 2016), “Symbolism of Three
Political Powers in Arok-Dedes by Pramudya Ananta Toer”
(ITSC, Bali 2017), “Do Teachers of Lecturers need to write
Childres’s Literature?” (Padang, 2018), “Dinamika Kebe-
radaan Perempuan dalam Sastra Indonesia: Kajian Feminis
Eksistensialisme Simone de Beauvoir” (UM Purworejo, 2018),
“Islam Modernis dalam Struktur Sosial Masa Pemerintahan
Pascakolonial: Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui
Karya Sastra” (Hibah Dikti, tahun 2017 dan tahun 2018).
Buku yang sudah terbit; Ngelmu Iku Kelakike Kanthi Laku:
Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (BBY, 2016), Belalang Sembah
dan Putri Lala yang Malas (Buana Grafika, 2017), Refleksi (edi-
tor, 2017), Berbagi Zikir: Puisi Religi Muslimah (Lembaga Seni
& Sastra REBOENG, 2017), Being Awesome Plembang (editor,
2017), Surti, Mawar, dan Kupu-Kupu (Buana Grafika, 2018),
Mider Ing Rat: Proses Kreatif Cerpenis Yogyakarta (BBY, 2018).

PUISI PEREMPUAN PENYAIR INDONESIA


224
DAN PROSES KREATIFNYA

Anda mungkin juga menyukai