Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PENELITIAN

“PERANAN WANITA PADA MASA REVOLUSI”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK II :

1. Lia
2. Monica
3. Jodi Saputra
4. Liana

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS TERBUKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkat dan
karunia-Nya sehingga proposal penelitian ini yang berjudl “ Peran Wanita Pada Masa
Revolusi “ dapat diselesaikan dengan baik dan lancar tanpa ada halangan suatu apapun.

Tujuan penyusunan proposal saya adalah dalam rangka memenuhi tugas pada makul Metode
Penelitian Sosial.

Atas terselesaikannya proposal penelitian ini, saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Akhmad Nizarwan, S.ST., MPS.SP selaku dosen matakuliah metode penelitian sosial.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik materi maupun non materi.
3. Teman–teman serta semua pihak yang telah membantu.

Saya menyadari bahwa dalam pembuatan proposal usaha ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu saya menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan dalam
proposal ini. Semoga proposal penelitian ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.Terimakasih.

Pangkalpinang, Juni 2021


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .......................................................................................................ii

DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................................ 2

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka...................................................................................................... 3

2.2 Kajian Teori......................................................................................................... 3

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode dan Desain Penelitian.................................................................................... 7


3.2 Populasi Dan Sampel Penelitian................................................................................ 9
3.3 Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data........................................................... 9
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Menurut Syahfitri Anita dalam artikelnya berjudul “Gerakan Perempuan: Kajian


Teoritis”, wacana gerakan perempuan di Indonesia yang dihadirkan pada awalnya
merupakan suatu usaha untuk mengangkat posisi derajat perempuan. Dapat dikatakan
demikian, karena berangkat dari asumsi bahwa peran perempuan dalam kehidupan
masyarakat atau ranah kebijakan publik di berbagai belahan dunia dari waktu ke waktu
terus berkembang, khususnya di Indonesia. Perkembangan ini tentunya mengarah kepada
terciptanya ruang yang memberikan kesetaraan bagi perempuan baik secara individual
maupun perempuan sebagai komponen masyarakat.

Dalam perkembangannya perjuangan kemerdekaan Indonesia disebutkan beberapa


nama perempuan yang disebutkan sebagai tokoh-tokoh perempuan yang ikut berjuang
bersama rakyat dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan
kolonial. Sosok R.A Kartini umumnya disebut-sebut sebagai tokoh perempuan pada
zamannya, dan yang paling terkenal. Perempuan ini dinilai sebagai salah satu perintis
kemerdekaan Indonesia, karena pemikirannya dalam melawan kolonialisme Belanda yang
dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Selama hidupnya, Kartini dikenal
sebagai seorang tokoh yang berjuang memajukan kaum perempuan.Pemikiran Kartini
banyak mengilhami gerakan perjuangan perempuan sesudahnya. Kartini mempunyai cita-
cita untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan kemiskinan. Kartini
melihat pendidikan perempuan adalah jalan untuk pembebasan itu. Namun menurut
Kartini, titik tolak kemerdekaan perempuan bukanlah dengan melihat perempuan sebagai
sosok mandiri yang terpisah dari lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang terkait
dengan kemajuan masyarakatnya. Kartini menulis: ''Kecerdasan pikiran penduduk
bumiputera tidak akan maju pesat bila perempuan ketinggalan dalam usaha itu, yaitu
perempuan jadi pembawa peradaban”.

Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua organisasi


perempuan dilarang kecuali Fujinkai. Organisasi bentukan Jepang ini beranggotakan istri
pegawai negeri dan memiliki kemiripan dengan Dharma Wanita (organisasi-organisasi
istri para pejabat sipil). Kegiatan yang dilakukan oleh Fujinkai yaitu kegiatan sosial salah
satunya dibidang pemberantasan buta huruf.

Keikutsertaan kaum perempuan Indonesia di sektor publik telah berlangsung


lama sejak zaman pra kolonial yang antara lain ditandai oleh tampilnya beberapa tokoh
perempuan sebagai penguasa kerajaan baik di Jawa maupun luar Jawa. Demikian juga
pada masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, kaum perempuan Indonesia
secara langsung dan tidak langsung ikut berperan aktif di medan peperangan. Perempuan
pada masa kolonial tidak mendapatkan kedudukan yang berarti khususnya di wilayah
Jawa karena pada dasarnya sistem hirarki Jawa mengatur perempuan sebagai kelas di
bawah laki-laki sehingga peranan perempuan di luar rumah sangat kecil, sehingga
gerakan-gerakan yang berkembang di Indonesia hanya didominasi oleh kaum Adam.
Namun pada masa akhir kekuasaan Belanda pergerakan perempuan mengalami tahap
kematangan yakni tumbuhnya kesadaran bahwa mereka merupakan individu yang
memiliki kesamaan dengan kaum pria untuk memperoleh hak dan kewajiban. Jika
dicermati sejarah gerakan kaum perempuan dapat dikemukakan bahwa pada mulanya
lebih tertuju pada bidang pendidikan. Hal ini tampaknya didasari oleh kesadaran bahwa
pendidikan dapat membawa pengaruh yang besar pada perubahan dan kemajuan.
Beberapa contoh organisasi yang bergerak dibidang pendidikan antara lain, Organisasi
Putri Mardika (tahun 1912 di Jakarta), Putri Budi Sejati (Surabaya), Keutamaan Istri
(Jawa Barat), Sarekat Kaum Ibu Sumatera (Bukit Tinggi) dan PIKAT (Minahasa).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini berupaya mengkaji


permasalahan yang timbul dalam masyarakat mengenai peranan dan kontribusi
perempuan pada masanya khususnya masa revolusi di kotaPangkalpinang. Rumusan
masalah berikut ini.

1. Bagaimana latar belakang peranan perempuan pada masa evolusi?

2. Bagaimana Kontribusi perempuan terhadap pendidikan pada masa revolusi di kota


Pangkalpinang?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai penelitian ini yaitu Memaparkan awal
terbentuknya peranan perempuan beserta kontribusinya serta ingin mengetahui kontribusi
perempuan terhadap pendidikan pada masa revolusi khususnya di kota
Pangkalpinang.Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai
proses terbentuknya dan latar belakang mengenai peranan perempuan pada masa revolusi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Dalam teori sosial Parson, peran didefenisikan sebagai harapan-harapan yang
diorganisasi terkait dengan konteks interaksi tertentu yang membentuk orientasi
motivasional individu terhadap yang lain. Secara sederhana makna peran dapat
dikemukakan seperti berikut (Aida Vitalaya,2010:80-81) :

1. Peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola dan berada di sekitar hak
dan kewajiban tertentu.
2. Peran berhubungan dengan status seseorang pada kelompok tertentu atau situasi sosial
tertentu yang dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain terhadap perilaku yang
seharusnya ditampilkan oleh orang yang bersangkutan.
3. Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra (image) yang ingin dikembangkan
oleh seseorang. Dengan demikian, peran adalah keseluruhan pola budaya yang
dihubungkan dengan status individu yang bersangkutan.

2.2 Kajian Teori


Analisis peran perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam
berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif
langsung (publik), yaitu sebagai berikut
1. Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus
rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya
100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan
lelaki di luar rumah.
2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian
tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi mempertahankan keharmonisan dan
urusan rumahtangga tetap tanggungjawab perempuan.
3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan
peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu
ketegaran atau sebaliknya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan
menimbulkan konflik terbuka atau terpendam.
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar.
Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari
konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi
adalah masing-masing akan saling berargumentasi untuk mencari pembenaran atau
menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga.
5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam
kesendirian.

Sesungguhnya aktivis perempuan dalam garis ideologi Marxis itu berusaha untuk
memperjalinkan aspek masalah perempuan dan revolusi nasional Indonesia serta aspek
masalah perempuan dan revolusi sosialis. Sukarno sendiri –terlepas dari ambiguitasnya
terhadap emansipasi perempuan dan poligami— telah mewacanakan dalam Sarinah tentang
tahapan tertinggi gerakan perempuan pasca-revolusi nasional, yaitu mematangkan revolusi
sosial (1963). Umi Sardjono[1], Ketua Gerwani pun mengatakan bahwa setelah revolusi
nasional, imperialisme masih bercokol di Indonesia dan masalah perempuan masih belum
teremansipasi dari paham lama (poligami dan perkawinan muda), dan juga sebagai tenaga
kerja masih tereksploitasi. Itu artinya Revolusi Indonesia bagi perempuan sesungguhnya
belum selesai.

Selain itu ada banyak perempuan yang tidak berjuang di garis massa, melainkan
khusus pada isu perempuan secara parlementer seperti Maria Ulfah (sarjana hukum
perempuan pertama yang lulus dari Universitas Leiden, Belanda) menjadi pengajar di
Perguruan Rakyat yang dicap Belanda “Sekolah Merah” dan memperjuangkan reformasi
aturan akad nikah dan cerai bagi perempuan (Rasid 1982). Begitu pula Sujatin Kartowijono,
penggagas Kongres Perempuan I dan pendiri Perwari mengatakan telah berjuang sejak di
Jong Java pada 1922. Ia berupaya untuk mematahkan tatakrama menyembah Sultan Yogya
sebagai protes ketidakadilan kraton terhadap perempuan. Hingga Indonesia merdeka, Sujatin
tetap setia di jalur organisasi perempuan dan memperjuangkan hak perempuan dalam
perkawinan (dalam Lasmidjah Hadi 1982). Menurut Nani Soewondo yang mengikuti
kongres-kongres perempuan sejak 1928 sampai Indonesia merdeka, bahwa apa yang
diharapkan perempuan untuk bebas dari praktik perkawinan muda, hak cerai dari laki-laki
dan poligami belum mencapai hasil. Revolusi itu pun belum mampu mengubah masalah
perempuan dalam perkawinan. Perjuangan perempuan untuk memperoleh regulasi
perkawinan yang adil telah dimulai sejak melakukan protes terhadap pemerintah Belanda
pada 1935 hingga undang-undang itu baru disahkan pada 1974. Nani termasuk yang
menggerakkan demonstrasi menuntut undang-undang perkawinan pada 1953 dan melawan
Sukarno yang berpoligami. Tindakan poligami Sukarno —bapak Revolusi Indonesia—itu
menyakitkan gerakan perempuan yang merasa terkhianati oleh janji revolusi (Maria A.
Sardjono dalam Lasmidjah Hadi 1981).

Peristiwa demokrasi di Indonesia belakangan ini telah melahirkan dentuman sejarah


yang menghasilkan local genius (kearifan lokal), yang kita sebut Revolusi Perempuan.
Revolusi Perempuan adalah ketika perempuan turut aktif dan berhasil melakukan perubahan
mendasar dan menjadi suatu kekuatan laten yang beroposisi terhadap kekuasaan. Kekuatan
kaum perempuan ini tidak hanya menentukan gagal atau berhasilnya suatu pemerintahan,
tetapi juga salah atau benarnya pemerintahan tersebut. Sebelum Perang Dunia II, kita
mengenal Empat Kebebasan dari Roosevelt yang menjelaskan empat hak asasi manusia yang
paling mendasar dan ukuran keberhasilannya adalah pemenuhan hak-hak asasi perempuan.

Di Indonesia, kaum perempuan saat ini telah bergerak lebih maju dibandingkan pada
masa Roosevelt. Mereka telah mendorong isu-isu perempuan keluar dari pintu rumahnya,
dengan melakukan suatu tindakan kepedulian yang bersifat visioner untuk bangsa dan
rakyatnya. Kaum perempuan Indonesia tidak menginginkan bangsanya terpecah-belah oleh
konflik, adu domba dan ancaman bahaya yang berasal dari dalam dan dari luar negerinya.
Kaum perempuan Indonesia juga menuntut pemerintahnya harus mampu memakmurkan
rakyat saat ini juga, dengan memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan hak-hak asasi manusia.
Kaum perempuan Indonesia menuntut agar di luar pintu rumahnya, siapa pun harus bebas
berbicara, berserikat dan berkumpul tanpa kecemasan, tidak dipersekusi dan tidak diseret ke
peradilan pidana. Kaum perempuan Indonesia juga menuntut pemerintah tidak boleh tidak
harus mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan dan tidak
melanggar hukum. Kaum perempuan Indonesia menuntut pemerintah tidak boleh memata-
matai, mencurigai, mengurung dan memenjarakan pikiran manusia untuk kepentingan
kekuasaan.

Peran kaum perempuan revolusioner telah terbukti dalam melakukan mobilisasi


politik dan ide-ide perjuangan di Indonesia pasca Soeharto ketika mereka turut aktif
menggerakkan jutaan orang turun ke jalan secara damai, tertib, rapi dan bersih yang
menunjukkan praktik demokrasi yang berkualitas di era ini. Pertama kalinya dalam sejarah
Indonesia dan dunia, peran kaum perempuan sangat nyata memberikan watak revolusi yang
bermartabat, yaitu damai, tertib, rapi dan bersih. Mobilisasi jutaan massa yang memrotes
tingkah polah kekuasaan yang provokatif, pongah dan memecah belah negeri ini telah terjadi
beberapa kali dan kaum perempuan menjadi tulang punggung perjuangan ini.

Dengan demikian, revolusi ini kita namai Revolusi Perempuan atau Revolusi Putih,
yang ternyata warna putih ini juga menjadi warna favorit dan diperebutkan oleh tiga kubu
dalam politik Indonesia kontemporer: kubu oposisi, kubu petahana, dan Golongan Putih
(Golput).
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Dan Desain Penelitian

Pada dasarnya metode penelitian merupakan cara untuk menyimpulkan,


menyusun dan menganalisis data tentang masalah yang menjadi objek peneliti. Metode
Penelitian yang akan digunakan dalam penelitian “Peranana wanitaPada masa revolusi”,
adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode historis .Dalam metodologi
penelitian kualitatif (Moleong, 2012, hlm.6) menyatakan bahwa: Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara
holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Selanjutnya metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, yaitu metode yang dimasukan untuk pengukuran yang cermat terhadap
fenomena sosial tertentu.Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap sudah diteliti. Penelitian yang
bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya
hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini mungkin
sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin belum, tergantung dari sedikit-banyaknya
pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat diartikan bahwa pendekatan


kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang diuraikan dalam bentuk kata-kata
berdasarkan subjek penelitian tertentu. Penelitian deskriptif kualitatif pada umumnya
bertujuan untuk membuat deskripsi gambaran atau pelukisan secara sistematis, aktual dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang akan
diselidiki. Maka dari itu peneliti ini memilih pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif agar peneliti mendapatkan deskripsi gambaran atau pelukisan secara sistematis,
aktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang
akan diselidiki yaitu sejarah mengenai peranan perempuan pada masa revolusi di kota
Pangkalpinang.

a. Lokasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, maka subjek penelitian merupakan
pihak-pihak yang menjadi sasaran penelitian atau sumber yang dapat memberikan
informasi. Menurut Sugiyono (2013, hlm.50) menyatakan bahwa “dalam penelitian
kualitatif tidak menggunakan populasi dan sampel atau subyek dinamakan responden,
tetapi sebagai narasumber, atau informan, teman, dan guru dalam penelitian”. Subyek
dalam penelitian ini yaitu perempuan yang terlibat pada masa revolusi khususnya di
kota Pangkalpinang. sehingga perempuan mengetahui sejarah pada saat terjadi
bagaimana peranan perempuan pada masa revolusi.
b. Definisi Operasional
Definsi operasional merupakan unsur-unsur penelitian yang bertujuan untuk
memudahkan peneliti dalam mengukur variabel yang diteliti.
1. Peran
Menurut Gross, Mason, dan McEachen (dalam Berry, 2003, hlm. 105)
mendefinisikan peranan sebagai “seperangkat harapan-harapan yang dikenakan
pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu”. Maksud harapan-
harapan tersebut merupakan imbangan dari norma-norma sosial oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa peranan dalam suatu masyarakat ditentukan oleh norma-
norma yang ada pada masyarakat itu sendiri. Sedangkan peran yang dimaksud
dalam penelitian ini yaitu peranan perempuan khususnya dalam dunia pendidikan.
2. Perempuan pada masa revolusi
Perjuangan yang dilakukan oleh kaum wanita di Indonesia terjadi sejak masa
penjajahan Hindia Belanda. Pada abad ke-20 beberapa tokoh pejuang kaum
wanita mulai lahir, antara lain R.A Kartini dan Dewi Sartika. Tokoh seperti R.A
Kartini dan Dewi Sartika menjadi pelopor tokoh pejuang kaum wanita di berbagai
daerah. Perjuangan yang dilakukan oleh kaum wanita secara perorangan
mengawali pergerakan kaum wanita di Indonesia. Pergerakan tokoh wanita yang
melakukan pergerakan dilatar belakangi oleh keadaan kaum wanita yang sangat
memprihatinkan.Perjuangan yang dilakukan kaum wanita secara perorangan
membuatkaum wanita mulai sadar bahwa peningkatan derajat kaum wanita sangat
penting. Masyarakat Indonesia masih menganggap pendidikan kaum wanita tidak
penting, karena tugas kaum wanita hanya mengurusi rumah tangga. Pada
perkembangan selanjutnya perjuangan kaum wanita dilakukan melalui
perkumpulan kaum wanita. Pada tahun 1912 di Jakarta untuk pertama kalinya
didirikan sebuah perkumpulan wanita yang bernama Puteri
Merdika.1Perkumpulan wanita Puteri Merdika bergerak dalam peningkatan
derajat kaum wanita melalui bidang pendidikan dengan mendidik dan mengajar
pendidikan.

3.2.Populasi Dan Sampel Penelitian

A. Populasi Penelitian
Populasi adalah suatu kelompok yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan(Sugiyono, 2010 : 117). Populasi dalam penelitian ini
adalah perempuan yang berada pada ruang lingkup kota Pangkalpinang terutama
perempuan yang mengetahui sejarah pada masa revolusi dan para sejarawan yang
mengetahui informasi perempuan pada masa revolusi.
B. Sampel Penelitian
Sampel adalah sebagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan
populasi. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik
probability sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang
yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih sebagai anggota sampel.
Teknik probability sampling ini ada bermacam-macam yaitu simple random sampling,
proportionate stratified random sampling, disproportionate stratified random,
sampling area (cluster) sampling (Sugiyono, 2010: 120).

3.2 Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah


observasi, wawancarai. Semua teknik ini diharapkan dapat melengkapi dalam
memperoleh data yang diperlukan. Teknik observasi merupakan metode mengumpulkan
data dengan mengamati langsung di lapangan. Proses ini berlangsung dengan pengamatan
yang meliputi melihat, merekam, menghitung, mengukur, dan mencatat kejadian. Teknik
berikutnya yang dilakukan adalah teknik wawancara. Teknik ini merupakan teknik yang
paling penting dalam penyusun Proposal, karena sebagian besar sumber diperoleh melalui
wawancara.Wawancara ini bertujuan untuk memperoleh sumber lisan terutama sejarah
lisan, yang dilakukan dengan cara berkomunikasi dan berdiskusi dengan beberapa tokoh
yang terlibat atau mengetahui secara langsung maupun tidak langsung bagaimana
perkembanganya.Wawancara yang dilakukan adalah teknik wawancara gabungan yaitu
perpaduan antara wawancara terstruktur dengan wawancara tidak terstruktur. Wawancara
terstruktur atau berencana adalah wawancara yang terdiri dari suatu daftar pertanyaan
yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya. Semua responden yang diwawancarai
diberi pertanyaan yang sama dengan kata-kata dan tata urutan yang seragam. Sedangkan
wawancara yang tidak terstruktur adalah wawancara yang tidak mempunyai persiapan
sebelumnya dari suatu daftar pertanyaan dengan susunan kata-kata dan tata urut yang
harus dipatuhi peneliti.Wawancara ini dilakukan oleh orang-orang yang langsung
berhubungan dengan peristiwa atau objek penelitian, pelaku atau saksi dalam suatu
peristiwa kesejarahan yang akan diteliti dalam hal ini yaitu peranan wanita pada masa
revolusi. Penggunaan wawancara sebagai teknik untuk memperoleh data berdasarkan
pertimbangan bahwa periode yang menjadi bahan kajian dalam.Proposal ini masih
memungkinkan didapatkannya sumber lisan mengenai Peranan perempuan pada masa
revolusil. Selain itu, narasumber (pelaku dan saksi) mengalami, melihat dan merasakan
sendiri peristiwa di masa lampau yang menjadi objek kajian sehingga sumber yang
diperoleh akan menjadi objektif. Teknik wawancara yang digunakan erat kaitannya
dengan sejarah lisan (oral history).

Sejarah lisan (oral history), yaitu ingatan tangan pertama yang dituturkan secara
lisan oleh orang-orang yang di wawancara sejarawan (Sjamsuddin, 1996 : 78).Kebaikan
dari penggabungan antara wawancara terstruktur dan tidak terstruktur adalah agar tujuan
wawancara lebih terfokus. Selain itu agar data yang diperoleh lebih mudah di olah dan
yang terakhir narasumber lebih bebas mengungkapkan apa saja yang dia ketahui.Adapun
analisis data yang digunakan dalam penelitian yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang
terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

1. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan,
pengabstrakan dan transformasi data“kasar” yang munculdari catatan tertulis di
lapangan.Reduksi data ini dimulai sejak awalpengumpulan data sampai penyusunan
laporan.
2. Penyajian Data
Penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan
adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan
dengan cara menganalisis data hasil reduksi dalam bentuk naratif yang
memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Sajian data
selanjutnya kemudian ditafsirkan dan dievaluasi untuk merencanakan tindakan.

Anda mungkin juga menyukai