Anda di halaman 1dari 29

KAITAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN HUMANIORA TERHADAP PANCASILA

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah Kebangsaan : Pancasila

Dosen Pengampu : Haris Iriyanto, A.Md., S.Sos., M.Pd

Oleh

Matius Dave Rouw (2140050115)

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2021
DAFTAR ISI

JUDUL…………………………………………………………………………………………………………………..

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………..

KATA PENGHANTAR……………………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.……………………………………………………………………………………...

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………..

1.3 Tujuan Penulisan.…………………………………………………………………………………..

1.4 Manfaat Penulisan………………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Sosial Humaniora………………………………………………………….

2.1.1 Ciri khas ilmu-ilmu Sosial Humaniora …………………..…………………………….

2.2 Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial Humaniora ………………………………………………..

2.3. Perbedaan Ilmu sosial humaniora dengan ilmu Alam…………………………….

2.4 Kaitan ilmu sosial humaniora dengan Pancasila.…………………………………..

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………………………………..
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat, serta

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ilmiah ini tepat pada

waktunya. Semoga apa yang penulis sampaikan dapat dipergunakan sebagai salah satu

acuan. Adapun judul dari makalah ilmiah ini adalah “KAITAN ILMU PENGETAHUAN

SOSIAL DAN HUMANIORA TERHADAP PANCASILA”.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bpk. Haris Iriyanto, A.Md., S.Sos., M.Pd

selaku dosen pengampu Pancasila yang telah mempercayakan penulis untuk membuat

makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut

serta berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih diliputi kekurangan dan

kesalahan. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan segala bentuk kritik serta saran dari

berbagai pihak untuk mengoreksi kekurangan dan kesalahan yang membangun dari

pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 18 Oktober 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Pancasila merupakan dasar negara Indonesia dan

menjadi ideologi bangsa. Pancasila itu sendiri telah melekat dalam kebudayaan kita

karena para peletak dasar Pancasila itu sendiri telah memikirkan secara matang bahwa

Pancasila bukan sebagai dasar negara saja namun warisan nenek moyang yang harus

kita amalkan dan dijiwai secara terus menerus. Masyarakat juga harus ikut serta dalam

menjaga keaslian dan keberadaannya agar tidak tergerus oleh majunya globalisasi. Kita

sebagai generasi bangsa yang sepantasnya untuk mengamalkan dan mempraktekkan

dalam kehidupan sehari hari.

Kebutuhan akan ilmu pengetahuan dewasa ini menjadi sangat penting. Ilmu

pengetahuan yang pada mulanya hanya berkepentingan terhadap pengetahuan yang

sifatnya benar secara menyeluruh meliputi segala sesuatu yang telah ada, kini mulai

berkembang dengan sangat pesat. Adanya usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya secara kompleks berdasarkan kodrat manusia yang memang selalu ingin tahu

tentang segala sesuatu, pada akhirnya melahirkan ilmu-ilmu baru yang semakin lama

semakin plural. Pemahaman tentang pluralitas dari ilmu pengetahuan itu sendiri baik

dari segi jenis dan sifat, kemudian memunculkan cara-cara untuk menempuh ilmu

pengetahuan tersebut. Karena hampir semua jenis ilmu dan sifatnya ditentukan oleh

objek ilmu pengetahuan tersebut, maka cara-cara yang dapat ditempuh yaitu dengan

melihat objek formal dan objek materi.


Manusia adalah makhluk sosial. Tentunya, sebagai mahluk sosial, manusia selalu

dihadapkan pada berbagai masalah sosial. Masalah sosial pada hakikatnya merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena masalah sosial

telah terwujud sebagai hasil kebudayaan manusia itu sendiri, sebagai akibat dari

hubungan-hubungannya dengan sesama manusia lainnya.

Problem sosial pada setiap masyarakat berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Perbedaan tersebut tergantung pada tingkat perkembangan kebudayaan dan kondisi

lingkungan alamnya. Masalah-masalah tersebut dapat terwujud dalam masalah moral,

masalah politik, masalah agama dan masalah lainnya.

Dengan adanya permasalah-permasalahan tersebut timbullah teori-teori sosial,

yang pada akhirnya terbentuklah ilmu-ilmu sosial. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu

alam yang kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Hal

ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial adalah manusia sebagai makhluk

multidimensional.

1.1. Rumusan Masalah

a. Bagaimana pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora ?

b. Bagaimana cara kerja dari ilmu sosial humaniora ?

c. Bagaimana perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora ?

d. Bagaimana kaitan ilmu sosial humaniora dengan Pancasila?

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
a. Mengetahui pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora.

b. Mengetahui cara kerja dari ilmu sosial humaniora.

c. Mengetahui perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora.

d. Mengetahui kaitan ilmu social humaniora dengan Pancasila.

1.3. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah

a. Untuk mengetahui pengertian dan ciri khas dari ilmu sosial humaniora.

b. Untuk mengetahui cara kerja dari ilmu sosial humaniora.

c. Untuk mengetahui perbedaan antara ilmu alam dengan ilmu sosial humaniora.

d. Untuk mengetahui kaitan ilmus social humaniora dengan Pancasila.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ilmu Sosial Humaniora

Ilmu pengetahuan dalam dinamikanya dapat diklasifikasi menjadi beberapa

kategori. Menurut Taufik Abdullah (2006, hlm. 33-34), ilmu terbagi dalam dua kategori

besar yaitu ilmu eksakta dan noneksakta. Khusus ilmu noneksakta dipilah menjadi dua,

yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial. Ilmu yang berkaitan dengan filsafat, sastra, seni,

dan bahasa dikategorikan dalam ilmu humaniora, sedangkan di luar itu adalah ilmu

sosial. Pendapat serupa disampaikan Helius Syamsudin (2007, hlm. 272), bahwa

pengetahuan manusia (human knowledge) umumnya dapat diklasifikasikan atas tiga

kelompok besar, yaitu ilmu-ilmu alamiah (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social

sciences), dan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities). Ilmu alamiah mengkaji lingkungan

hidup manusia, ilmu sosial mengkaji manusia dalam hubungannya dengan manusia-

manusia lainnya, dan ilmu-ilmu kemanusiaan mengkaji manivestasi-manivestasi

(eksistensi) kejiwaan manusia.

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa ilmu-ilmu sosial adalah ilmu yang

mempelajari manusia dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Definisi

serupa disampaikan Taufik Abdullah (2006, hlm. 31), ilmu sosial adalah ilmu yang

mempelajari perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sedangkan Dadang Supardan

(2008, hlm. 34-35) menyampaikan ilmu sosial (social science) adalah ilmu yang

mempelajari perilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bersama. Jadi yang

dimaksud ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah kelompok disiplin ilmu yang

mempelajari aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya.


Obyek material dari studi ilmu-ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam

tindakan yang khas manusia, ia bersifat bebas dan tidak bersifat deterministik, ia

mengandung : pilihan, tanggung jawab, makna, pernyataan privat dan internal,

konvensi, motif dan sebagainya (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007, hlm. 4). Aktivitas

manusia tersebut termasuk berpikir, bersikap, dan berperilaku dalam menjalin

hubungan sosial diantara sesamanya dan bersifat kondisionalitas. Dengan kata lain

obyek tersebut sebagai gejala sosial. Gejala sosial memiliki karakteristik fisik namun

diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut,

sebab tidak hanya mencakup fisik tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, maupun

kombinasi berbagai aspek.

Menurut Wallerstein (dalam Dadang Supardan, 2008, hlm. 34) yang termasuk

disiplin ilmu sosial adalah sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu

politik, dan hukum. Sedangkan menurut Robert Brown dalam karyanya Explanation in

Social, ilmu-ilmu sosial meliputi : sosiologi, ekonomi, sejarah, demografi, ilmu politik,

dan psikologi (Taufik Abdullah, 2006, hlm. 33). Meskipun terdapat perbedaan pendapat

tentang apa yang disebut ilmu sosial, namun semuanya mengarah kepada pemahaman

yang sama, bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari perilaku dan aktivitas

sosial dalam kehidupan bersama. Ilmu sosial dalam perkembangannya kemudian lahir

berbagai spesialisasi disiplin ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu komunikasi, studi gender,

dan lain-lainnya.

Secara umum ilmu pengetahuan yang termasuk dalam kelompok disiplin ilmu-

ilmu sosial adalah

1. Sosiologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dalam

hubungan-hubungan antara orang-orang dalam masyarakat tersebut (interaksi


sosial, kelompok sosial, gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur sosial, proses

sosial maupun perubahan sosial) (Soerjono Soekanto, 2006, hlm. 17-21).

2. Antropologi adalah studi tentang manusia yang berusaha menyusun generalisasi

yang bermanfaat tentang umat manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh

pengertian ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia

(Koentjaraningrat, 1986, hlm. 1-2)

3. Ilmu Geografi adalah the science of places, concerned with qualities an potentialities

of countries (Vidal dela Blache dalam Dadang Supardan, 2008, hlm. 227). Dalam

pandangan ilmuwan geografi, secara sederhana geografi merupakan disiplin

akademik yang terutama berkaitan dengan penguraian dan pemahaman atas

perbedaan-perbedaan kewilayahan dalam distribusi lokasi di permukaan bumi,

fokusnya pada lingkungan, tata ruang, dan tempat.

4. Ilmu Sejarah adalah ilmu yang berusaha untuk mendapatkan pengertian tentang

segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang diucapkan, dipikirkan dan

dilaksanakan) oleh manusia di masa lampau yang bukti-buktinya masih dapat

ditelusuri/diketemukan masa sekarang. (Widja, 1988, hlm. 8)

5. Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi

kebutuhannya dalam mencapai kemakmuran yang diharapkan, dengan memilih

penggunaan sumber daya produksi yang sifatnya terbatas (Samuelson dan

Nordhaus, 1990, hlm. 5).

6. Psikologi adalah ilmu mengenai proses perilaku dan proses mental (Dadang

Supardan, 2008, hlm. 425).

7. Ilmu Politik adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah kekuasaan dalam

kehidupan bersama atau masyarakat. Masalah-masalah kekuasaan itu menyangkut


proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem yang ada dan melaksanakan apa yang

menjadi tujuan (Miriam Budihardjom, 1986, hlm. 8).

Ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) adalah ilmu-ilmu pengetahuan empiris

yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya: ciri-ciri khasnya, tingkah

lakunya baik perorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar, dan

banyak aspek lainnya (Verhaak dan Haryono, 1989, hlm. 66).

Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan seperti

masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada masyarakat. Ilmu-ilmu

kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara empiris dan objek itu dianggap

kongkret karena masalah kemanusiaan itu memiliki objek yang khusus yaitu manusia

atau masyarakat tertentu. Contoh ilmu-ilmu kemanusiaan adalah antropologi, ilmu

sastra, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.

Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya

berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull action). Di

dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang manghasilkan karya-

karya tertentu misalnya karya sastra seperti Romeo dan Juliet karya William

Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari Pendet, lukisan yang termashur yaitu

Monalisa karya Michelangelo. Untuk itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu

kemanusiaan dengan lebih mendalam haruslah digunakan metode yang tepat, agar

objektivitas dan kebenaran ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.

2.1.1. Ciri-ciri Khas Ilmu-ilmu Sosial Humaniora

Kendati dewasa ini kekhasan ilmu-ilmu sosial humaniora sudah makin

disadari, berdasarkan langkah-langkah pengamatan, penelitian serta percobaan


empiris, ilmu-ilmu sosial humaniora berusaha mengembangkan hipotesa,

hukum, dan teori ilmiah menurut irama yang mirip dengan irama ilmu alam.

Lalu, ciri khas ilmu-ilmu sosial humaniora sebenarnya di mana, dan mana

perbedaannya yang esensial dengan ilmu-ilmu alam?

A. Manusia sebagai Objek dan Subjek Ilmu

Kiranya yang paling menyolok sebagai ciri khas ilmu-ilmu sosial

humaniora ialah objek penyelidikannya, yaitu manusia, bukan sebagai benda

jasmani saja, melainkan manusia sebagai keseluruhan. Sementara itu, dalam

dua arti manusia merupakan subjek juga. Pertama, dalam arti bahwa secara

hakiki manusia melampaui status objek benda-benda di sekitarnya. Kedua,

dalam arti bahwa si penyelidik sebagai subjek berada pada taraf yang sama

dengan objeknya. Arti yang pertama agak berbau filsafat. Arti yang kedua

secara khas berasal dari suatu uraian empiris mengenai ilmu-ilmu sosial

humaniora, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya.

Ilmu-ilmu sosial humaniora memang dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu

empiris sehingga dalam hal ini dekat dengan ilmu-ilmu alam, namun karena

kekhasan objek penyelidikannya yang sekaligus menjadi subjek, ilmu-ilmu ini

juga berkedudukan agak dekat dengan filsafat. Maka, tidak mengherankan

bahwa cukup banyak ahli ilmu-ilmu sosial humaniora dewasa ini seringkali

dibicarakan dalam rangka filsafat, terutama kalau sampai pada tahap teori.

Kekhasan objek penyelidikan ini lebih nyata terlihat jika kita

mempertimbangkan dua unsur ruang dan waktu, yang dalam sejarah filsafat

Barat kita kenal lewat Immanuel Kant. Ruang dan waktu (spatio-temporal)

merupakan dua ciri dasariah dari jagad semesta material yang dihuni
manusia. Dalam ilmu-ilmu alam, dengan objeknya yang juga khas, ruang dan

waktu itu bisa diukur dengan jelas; memakai sistem statistik, satuan, dan lain

sebagainya.

Kedua unsur ini pun tampak nyata dalam diri manusia. Namun, dalam

rangka hidup manusia, ruang dan waktu sebagai “ukuran” semata-mata

tidaklah memadai dan tidaklah sesuai dengan pengalaman manusia itu

sendiri; oleh manusia ruang dihayati secara nyata dalam lingkungan

pergaulan atau masyarakat, sedangkan waktu dialami dan dipandang sebagai

sejarah yang jauh melampaui rangkaian peristiwa semata-mata.

Perbedaannya ialah bahwa dalam ruang yang “mati” semua tempat seakan-

akan sama saja kecuali dari segi ukuran ataupun penomoran misalnya,

sedangkan dalam lingkungan masyarakat yang sosial itu, semua data justru

hampir tak dapat dihitung atau diperangkakan. Yang satu berbeda dengan

yang lain. Demikian pula perbedaan dalam soal waktu. Dalam waktu yang

“mati” seakan-akan semua waktu sama saja, kecuali dari segi angka atau

penomoran misalnya. Sedangkan kita tahu dalam rangka sejarah setiap

peristiwa dan setiap saat mengandung keunikannya masing-masing.

Pengetahuan manusia pun ditandai oleh kedua unsur itu; segala pengamatan

dan pengalaman berlangsung di suatu tempat dan pada suatu saat. Ruang dan

waktu pada dasarnya bersifat univok, sedangkan sosialitas dan historitas

bersifat analog sedalam hidup manusia itu sendiri.

Perbedaan itu juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam

rangka ilmu-ilmu alam cara berpikirnya adalah univok, sedang dalam rangka

ilmu-ilmu sosial humaniora cara berpikirnya adalah analog; setiap


lingkungan masyarakat “sama” namun dalam “kesamaannya” itu juga

berbeda, demikian juga setiap peristiwa historis “sama” atau “mirip” satu

dengan lainnya, namun juga berbeda dan unik.

B. Titik Pangkal dan Kriterium Kebenaran

Karena ciri khas di atas, ilmu-ilmu sosial humaniora harus

menggunakan titik pangkal dan kriterium kebenaran yang berbeda dari ilmu-

ilmu lainnya. Titik pangkalnya berbeda dari ilmu-ilmu alam karena manusia

penyelidik tak lagi terdapat di luar objek yang diselidikinya, seperti halnya

kedudukan manusia terhadap objek ilmu-ilmu empiris lainnya, yakni di luar

objek itu (kendati pendapat ini pun dewasa ini sudah mulai diragukan). Kalau

dalam ilmu-ilmu lainnya mungkin masih dapat dicita-citakan suatu titik

pangkal “pengamatan murni” tanpa prasangka, hal ini dengan segera

mustahil dalam ilmu-ilmu sosial humaniora, karena manusia pengamat tidak

meninggalkan dirinya. Kriterium kebenarannya pun berbeda karena objek

penyelidikan ilmu-ilmu ini ialah manusia, yang mau tidak mau tidak boleh,

bahkan tidak dapat diobjekkan begitu saja demi hasrat untuk mendapatkan

penjelasan tentang sebab-musabab tingkah lakunya menurut ikhtisar

hipotesa, hukum, dan teori. Subjek sendiri terlibat dalam penyelidikan

tentang sesamanya itu. Apalagi sesama itu ialah subjek seluruh tingkah

lakunya sebagaimana subjek penyelidikan bersangkutan.

Untuk mengungkapkan kekhususan ilmu-ilmu sosial humaniora ini,

Max Weber (1864-1920) mengemukakan anggapannya bahwa tidak cukup

kalau manusia hendak dijelaskan semata-mata berdasarkan sebab-akibat

(causal explanation), namun diperlukan sesuatu yang mewarnai seluruh


penjelasan itu. Itulah mengerti atau memahami, (verstehen, atau to

understand dalam bahasa Inggris, kendati dalam bahasa Inggris kerap

digunakan verstehen) tingkah laku manusia yang diamati berdasarkan

kemampuan yang ada dalam diri si pengamat sendiri. Dalam verstehen

diandaikan dan diharapkan bahwa penyelidik mampu masuk sampai makna

(Sinn, atau meaning) dari apa yang diamati dalam diri sesamanya dan dalam

masyarakat. Itulah yang kadang-kadang dimaksudkan juga dengan kata

hermeneutika, yaitu kemampuan untuk dapat menafsirkan apa yang dilihat,

disaksikan, didengar ataupun dibaca orang, baik yang datang dari luar entah

dekat entah jauh, maupun dari dalam lingkungannya sendiri.

C. Subjek dan Objek Saling Mempengaruhi

Sebagai akibat ciri-ciri yang telah kita bahas di atas, lebih lanjut perlu

diperhatikan bahwa antara subjek dan objek ilmu-ilmu sosial humaniora

terdapat pengaruh timbal balik tanpa henti yang amat intensif.

Pada saat salah satu hasil penyelidikan dalam bidang sosial atau

kejiwaan sudah diumumkan dan mulai diketahui, ketika itu juga hasil

bersangkutan sudah tidak berlaku lagi karena pemberitahuan atau

pengumuman itu sendiri. Umpamanya perkiraan tentang jumlah pendukung

seorang calon presiden di Amerika Serikat, laporan tentang tingkah laku

remaja, persentase penderita AIDS, mundurnya jumlah orang Katolik di

beberapa negara Eropa Barat, laporan tentang aksi protes melawan

apartheid di Afrika Selatan, laku tidaknya beberapa pusat pariwisata dan

pertokoan, takutnya penumpang pesawat terbang akan kemungkinan

dibajak, dan lain sebagainya. Maka dari itu, hasil (sementara) dari
penyelidikan sosial-historis tidak hanya perlu terus disempurnakan,

melainkan tidak bisa ditentukan justru karena ketika diumumkan sudah

tidak berlaku lagi sebagai implikasi pemberitahuan itu.

Dengan demikian kiranya masuk akal bahwa objektivitas gaya ilmu-

ilmu alam sama sekali tidak berlaku dalam bidang ilmu-ilmu sosial

humaniora. Auguste Comte pernah mencita-citakan objektivitas itu dengan

pendapatnya bahwa asal data-data empiris dikumpulkan dengan tepat maka

kebenaran mengenai objek yang ingin diketahui dapat pendekatan ini mau

bebas nilai (dalam istilah Jerman yang cukup populer digunakan; wertfrei).

Sementara dewasa ini makin banyak ahli ilmu sosial humaniora yakin bahwa

ilmu ini tidak dapat bebas nilai, bahkan justru harus bersikap menilai.

Akhirnya perlu disadari bahwa ada macam-macam ilmu sosial

humaniora, dan ciri yang telah kita bahas di sini tidak terdapat dengan cara

atau bentuk yang sama dalam semua cabang ilmu-ilmu sosial humaniora.

2.2. Cara Kerja Ilmu-ilmu Sosial Humaniora

Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial humaniora berkembang lebih

kemudian dan perkembangannya tidak sepesat ilmu-ilmu alam. Hal ini karena objek

kajian ilmu-ilmu sosial humaniora tidak sekedar sebatas fisik dan material tetapi lebih

dibalik yang fisik dan materi dan bersifat lebih kompleks. Selain itu, dibandingkan

dengan ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial humaniora nilai manfaatnya tidak bisa

langsung dirasakan karena harus berproses dalam wacana yang panjang dan

memerlukan negosiasi, kompromi, dan konsesus. Seperti halnya ilmu-ilmu alam,

manusia juga sudah barang tentu membutuhkan ilmu-ilmu sosial humaniora untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tidak fiscal-material, melainkan lebih bersifat


abstrak dan psikologis, seperti penemuan prinsip keadilan membawa manusia untuk

mengatur perilaku sosialnya atas dasar prinsip tersebut, dan prinsip kemanusiaan

membawa kepada sikap tidak diskriminatif atas orang lain meski berbeda ras, warna

kulit, agama, etnis, budaya, dan lain sebagainya.

Dilihat dari sifat obyeknya, cara kerja ilmu-ilmu sosial humaniora bisa dirangkum

dalam prinsip-prinsip seperti berikut :

a. Gejala sosial humaniora bersifat non-fisik, hidup dan dinamis.

Berbeda dengan ilmu-ilmu alam, dimana gejala-gejala yang ditelaah lebih bersifat

“mati” baik yang ada dalam alam, pikiran (matematika), maupun dalam diri

manusia, gejala-gejala yang diamati dalam ilmu-ilmu sosial humaniora bersifat

hidup dan bergerak secara dinamis. Objek studi ilmu-ilmu sosial humaniora adalah

manusia yang lebih spesifik lagi pada aspek sebelah dalam atau inner world-nya dan

bukan outer world-nya yang menjadi ciri ilmu-ilmu alam. Berbeda dengan ilmu

kedokteran, yang lebih membicarakan aspek luarnya manusia secara biologis atau

fisik, ilmu-ilmu sosial humaniora lebih menekankan pada sisi bagian “dalam”

manusia atau apa yang ada “di balik” manusia secara fisik, pada inner side, mental

life, mind-effect world, dan geistige welt.

b. Obyek penelitian tak bisa diulang.

Gejala-gejala fisik dalam ilmu-ilmu alam, karena berupa benda-benda “mati” maka

bersifat stagnan dan tidak berubah-ubah, dan karenanya bisa diamati secara

berulang-ulang. Sementara gejala-gejala sosial humaniora memiliki keunikan-

keunikan dan kemungkinan bergerak sangat besar, karena mereka tidak stagnan

dan tidak statis. Masalah sosial kemanusiaan sering bersifat sangat spesifik dan

konteks historis tertentu. Kejadian sosial mungkin yang dulu pernah terjadi

barangkali secara mirip bisa terulang dalam masa sekarang atau nanti, tetapi tetap
secara keseluruhan tak pernah bisa serupa. Misalnya perilaku kerusuhan sosial

orang-orang di Surakarta dulu pernah diteliti, dan sekarang ilmuwan sosial mencoba

meneliti kembali perilaku kerusuhan sosial mereka itu, maka tidak akan pernah

mungkin sama karena sikap, emosi, dan pengetahuan informan berkembang dan

bahkan dimungkinkan berubah sama sekali dan ditambah lagi perubahan-

perubahan konteks sosio-budaya-politiknya.

Dengan demikian gejala-gejala sosial humaniora cenderung tidak bisa ditelaah

secara berulang-ulang, karena gejala-gejala tersebut bergerak seiring dengan

dinamika konteks historisnya. Jika dalam ilmu-ilmu alam, gejala-gejala alam bisa

ditelah secara berulang-ulang, sehingga mampu dihasilkan hukum-hukum obyektif

dan nomotetik, sedangkan dalam ilmu sosial humaniora hanya dilukiskan

keunikannya atau bersifat idiografik. Ilmu-ilmu sosial humaniora hanya memahami,

memaknai dan menafsirkan gejala-gejala sosial humaniora, bukan menemukan dan

menerangkan secara pasti. Pemahaman, pemaknaan, dan penafsiran ini lebih besar

kemungkinan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan,

daripada menghasilkan kesimpulan yang sama.

c. Pengamatan relatif lebih sulit dan kompleks.

Mengingat sifat gejala-gejala sosial humaniora yang bergerak dan bahkan berubah,

maka bisa dibayangkan ilmuwan sosial humaniora dalam mengamati mereka sudah

barang tentu lebih sulit dan kompleks. Karena yang diamati adalah apa yang ada

dibalik kenampakan fisik dari manusia dan bentuk-bentuk hubungan sosial mereka.

Melihat seseorang tersenyum pada orang lain adalah hal yang sering bisa ditemukan

dalam kehidupan sehari-hari, tetapi dalam ilmu sosial humaniora dapat bermakna

banyak, orang yang tersenyum bisa karena ia senang dengan orang yang dilihatnya,

karena orang yang dilihatnya adalah lucu dan aneh atau bahkan karena ia tidak
senang pada orang yang dilihatnya tetapi agar tidak terlihat oleh mata orang-orang

disekitarnya bahwa ia tidak senang pada orang yang dilihatnya. Van Dalen

menambahkan bahwa ilmuwan alam berkaitan dengan gejala fisik yang bersifat

umum, dan pengamatannya hanya meliputi variable dalam jumlah yang relatif kecil

dan karenanya mudah diukur secara tepat dan pasti; sedangkan ilmu-ilmu sosial

humaniora mempelajari manusia baik selaku perorangan maupun selaku anggota

dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasinya bertambah rumit, dan

karenanya variable dalam penelaahan sosial humaniora relatif lebih banyak dan

kompleks serta kadang-kadang membingungkan.

Kuntowijoyo tentang hal ini menggarisbawahi bahwa manusia memiliki free will dan

kesadaran, karena itulah, ia bukan benda yang ditentukan menurut hukum-hukum

yang baku sebagaimana benda-benda mati lainnya yang tak memiliki kesadaran

apalagi kebebasan kehendak. Benda mati bisa dikontrol dan dikendalikan secara

pasti, tetapi manusia tidak bisa karena disamping dikendalikan, ia juga bisa

mengendalikan orang lain. Determinisme dalam segala bentuk apakah itu ekonomi,

lingkungan alam, lingkungan sosial, politik dan budaya hanya berharga sebagai

dependent variable, tetapi tidak pernah menjadi independent variable. Oleh karena

itu, jelas bahwa pengamatan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora adalah jauh lebih

kompleks, subyek dan obyek penelitian adalah makhluk yang sama-sama sadar yang

jelas tidak mudah menangkap dan ditangkap semudah menangkap realitas benda,

batu misalnya.

d. Subyek pengamat juga sebagai bagian integral dari obyek yang diamati.

Subyek pengamat atau peneliti dalam ilmu sosial humaniora jelas jauh berbeda

dengan ilmu alam. Dalam ilmu alam, subyek pengamat bisa mengambil jarak dan

fokus pada obyektivitas yang diamati, tetapi dalam ilmu sosial humaniora karena
subyek dan obyek adalah manusia yang memiliki motif dan tujuan dalam setiap

tingkah lakunya, maka subyek yang mengamati tidak mungkin bisa mengambil jarak

dari obyek yang diamati dan menerapkan prinsip obyektivistik, dan tampaknya

lebih condong ke prinsip subyektivistik. Karena subyek yang mengamati adalah

manusia yang juga memiliki kecenderungan nilai tertentu tentang hidup maka ia

menjadi bagian integral dari obyek yang diamati yang juga manusia itu.

Dalam “membongkar” motif, tujuan dari perbuatan yang dilakukan manusia, maka

peneliti tidak bisa melepaskan dari kecenderungan-kecenderungan nilai individu

yang sedang dipeganginya. Dengan cara ini, obyek sosial humaniora yang sama

diamati oleh beberapa pengamat hampir bisa dipastikan tidak akan menghasilkan

kesimpulan yang tunggal, tetapi cenderung beragam dalam interpretasinya karena

subyek pengamat sosial humaniora bukanlah sekedar spektator saja tetapi juga

terlibat baik secara emosional maupun rasional dalam dan merupakan bagian

integral dari obyek yang diamatinya.

e. Memiliki daya prediktif yang relatif lebih sulit dan tak terkontrol.

Suatu teori sebagai hasil suatu pengamatan sosial humaniora tidak serta merta bisa

dengan mudah untuk memprediksikan kejadian sosial humaniora berikutnya. Hal ini

dikarenakan dalam ilmu sosial humaniora, pola-pola perilaku sosial humaniora yang

sama belum tentu akan mengakibatkan kejadian yang sama. Meskipun demikian,

bukan berarti hasil temuan dalam ilmu-ilmu sosial humaniora tidak bisa dipakai

sama sekali untuk meramalkan kejadian-kejadian sosial lain sebagai akibatnya

dalam waktu dan tempat yang berlainan, tetap bisa tetapi tidak mungkin sepasti dan

semudah ilmu-ilmu alam.

2.3. Perbedaan Ilmu Sosial Humaniora dengan Ilmu Alam


Ilmu-ilmu sosial humaniora memang hadir belakangan daripada ilmu-ilmu alam.

Ketika ilmu-ilmu alam mengalami kemajuannya sangat pesat, ilmu-ilmu sosial

humaniora mengekor di belakangnya. Hal ini disebabkan oleh subyek ilmu-ilmu sosial

humaniora yang adalah manusia sebagai makhluk multidimensional, yang tentu saja

mengikuti perkembangan manusia itu sendiri.

Berikut sedikit uraian perbedaan ilmu sosial humaniora dengan ilmu alam :

a. Obyek penelaahan yang kompleks

Dalam telaah kajiannya yang berupa gejala sosial, ilmu sosial humaniora mengalami

komplektisitas dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan

dengan satu jenis gejala yang bersifat fisik. Penelaahan ilmu alam meliputi beberapa

variabel dalam jumlah yang relatif kecil dan dapat diukur secara tepat. Gejala sosial

juga memiliki karakteristik fisik, namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam

untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Variabel ilmu sosial humaniora sangat

banyak dan rumit. Untuk menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti

yang terdapat dalam ilmu alam dan ilmu hayat adalah tidak cukup.

b. Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum

Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang

dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial humaniora mempelajari manusia baik

selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang

menyebabkan situasinya bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial

humaniora adalah relatif banyak yang kadang-kadang membingungkan si peneliti.

Jika seorang ahli ilmu alam mempelajari suatu eksplosi kimiawi maka hanya

beberapa faktor fisik yang berhubungan dengan kejadian tersebut. Jika seorang ahli

ilmu sosial humaniora mempelajari suatu eksplosi sosial yang berupa huru-hara

atau kejahatan maka terdapat faktor yang banyak sekali dimana diantaranya
terdapat faktor-faktor yang tidak bersifat fisik : senjata yang digunakan, kekuatan

dan arah tusukan, urat darah yang tersayat, si pembunuh yang meluap-luap, dendam

kesumat pertikaian, faktor biologis keturunan, kurangnya perlindungan keaamanan,

malam yang panas dan memberonsang, pertikaian dengan orang tua, kemiskinan,

dan masalah ketegangan rasial.

c. Kesukaran dalam pengamatan

Pengamatan langsung gejala sosial sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam.

Ahli ilmu sosial humaniora tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium,

atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Ahli ilmu sosial humaniora

tidak mungkin menangkap gejala masa lalu secara indrawi kecuali melalui

dokumentasi yang baik, sedangkan seorang ahli ilmu kimia atau fisika, misalnya,

bisa mengulangi percobaan yang sama setiap waktu dan mengamatinya secara

langsung. Seorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di

zaman penjajahan dulu kala tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri

kejadian-kejadian tersebut. Seorang ahli ilmu fisika atau kimia yang bisa mengulang

kejadian yang sama setiap waktu dan bisa mengamati suatu kejadian tertentu seara

langsung. Hal ini berlainan sekali dengan ahli ilmu jiwa yang tak mungkin

mencampurkan ramuan-ramuan ke dalam tabung reaksi untuk bisa merekonstruksi

masa kanak-kanak seorang manusia dewasa. Hakiki dari gejala ilmu-ilmu sosial

humaniora tidak memungkinkan pengamatan secara langsung dan berulang. Boleh

jadi seorang ilmuwan sosial humaniora mengamati gejala sosial secara langsung,

tetapi ia akan menemui kesulitan untuk melakukannya secara keseluruhan karena

gejala sosial lebih variatif dibandingkan gejala fisik. Perlakuan yang sama terhadap

setiap individu penelitian dalam ilmu sosial bisa menghasilkan suatu tabulasi, tetapi
peluang kebenaran pada perlakuan yang sama itu pun tidak sebesar peluang

kesamaan dalam ilmu-ilmu alam.

d. Gejala sosial lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala fisik

Pada umumnya pengamatan pada tiap cc dari sejumlah volume asam sulfat

menghasilkan kesimpulan yang tidak berbeda mengenai mutu asam tersebut.

Pengamatan terhadap 30 orang anak kelas 1 Sekolah Menengah Pertama di kota

tertentu lain sekali kesimpulannya dengan pengamatan terhadap jumlah murid dan

sekolah yang sama di kota lain umpamanya ditinjau dari segi umur anak-anak

tersebut. Di dalam situasi tertentu seorang ahli ilmu sosial humaniora akan

memperlakukan setiap individu secara sama rata umpamanya dalam tabulasi waktu

lahir mereka. Akan tetapi karena variasi yang nyata dari hakiki manusia maka

pengambilan kesimpulan secara umum dari pengambilan contoh (sample) dalam

ilmu-ilmu sosial humaniora kadang-kadang adalah berbahaya.

e. Obyek penelaahan yang tidak terulang

Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati

sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali.

Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik lewat perumusan

kuantitatif dan hukum yang berlaku secara umum. Masalah sosial sering kali bersifat

spesifik dalam konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri dimana

mungkin saja terjadi pengulangan yang sama dalam waktu yang berbeda namun tak

pernah serupa sebelumnya.

f. Hubungan antara ahli dengan obyek penelaahan

Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan barang mati. Ahli

ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau atau motif palnit dan lautan.

Tetapi ahli ilmu sosial humaniora mempelajari manusia yang merupakan makhluk
yang penuh tujuan dalam tingkah lakunya. Karena obyek penelaahan ilmu sosial

humaniora sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala

sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari

keinginan dan pilihan tersebut. Ahli alam menyelidiki proses alami menyusun

hukum yang bersifat umum mengenai proses tadi. Sedangkan ilmu-ilmu sosial

humaniora tidak bisa terlepas dari jalinan unsur-unsur kejadian sosial. Kesimpulan

umum mengenai suatu gejala sosial bisa mempengaruhi kegiatan sosial tersebut.

Seorang ilmuwan sosial humaniora tidak bersikap sebagai pengamat yang

menyaksikan suatu proses kejadian sosial karena ia juga merupakan bagian integral

atau pelaku dari obyek kehidupan yang ditelaahnya. Karena itu lebih sukar bagi

seorang peneliti ilmu sosial humaniora untuk bersikap obyektif dalam masalah ilmu

sosial humaniora daripada seorang peneliti ilmu alam dalam masalah kealaman.

Keterlibatan secara emosional terhadap nilai-nilai tertentu juga cenderung

memberikan penilaian individualis. Ahli ilmu alam mempelajari fakta dimana dia

memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terdapat pada alam. Ahli ilmu sosial

humaniora juga mempelajari fakta umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang

terdapat dalam suatu masyarakat.

2.4 Kaitan Ilmu Sosial Humaniora Dengan Pancasila

Hubungan pancasila dengan Ilmu pengetahuan sosial humaniora ialah membangun

dan memberikan kesadaran terhadap masyarakat atau lingkungannya melalui

pemahaman terhadap nilai-nilai membentuk warga negara yang baik dalam

kehidupannya serta mengembangkan kemampuannya menggunakan penalaran dalam

pengambilan keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.


Dalam pembelajarannya, Ilmu pengetahuan Huamniora berlandaskan akan nilai

dan moral yang terkandung dalam batang tubuh pancasila yang sesuai dengan karakter

dan kepribadian bangsa indonesia yang sejak dulu sudah ada bahkan sebelum pancasila

diirumuskan. Dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan tujuan Ilmu

Pengetahuan sosial humaniora maka pancasila lah yang menjadi acuan dalam

pembelajaran, warga negara yang baik haruslah sesuai dengan yang terkandung dalam

dasar dan falsafah bangsa indonesia yaitu pancasila. Pancasila dan Ilmu pengetahuan

sosial humanora tidak bisa dipisahkan

Pentingnya pendidikan pancasila di sekolah maupun di perguruan tinggi harus

lebih di tekankan lagi.

A. hubungaan substansional

IPS memiliki hubungan yang erat dengan pancasila, paancasila merupakan dasar

dan landasan dalam pendidikan IPS dalam mewujudkan tujuan IPS yakni menciptakan

warga negara yang baik . hubungan pancasiola dengan IPS dilihat dari subtansi atau

isinya adalah sebagai berikut penjelasannya :

1. Sila pertama yang berbunyi “ketuhanan yang maha ESA’ adalah sebagai pondasi

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita adaah umat yang beragama, sudah

seharusnya kita menESAkan dan yakin terhadap tuhan kita. Degan yakinnya kita kepada

tuhan, dan mampunya kita menjalankan lalu mengamalkan ajaranNya maka kita akan

dapat menjalankan sila-sila selanjutnya apabila kita tidak memiliki iman yang kuat

maka kita tidak akan bisa kuat dalam menghadapai jalan yang benar. Wargaa negara

yang baik adalah warga yang memiliki keyakinan kuat dalam agama yang dianutnya,
dengan memiliki landasan agama yang kuat dan keyakinan penuh terhadapa agamanya

maka seorang warga negara tidak akan melakukan hal-hal yang menyimpang dan yang

menyimpang dari moral dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dengan ini maka

tujuan menjadi warga negara yang baik dapat tercapai.

2. Sila yang edua berbunyi “ Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” adalah sebagi

manusia kita hrus memiliki sikap yang adail dan beradab. Dalam arti, adil yakni

mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban sesama manusia, dan beradaob yang

berarti memiliki adab atau etika dalam bertindak. Sila yang kedua ini belum terlaksana

dengan baik, karena ketika manusia ditawarkan dengan hal-hal yang menggiurkan

seperti kekuasaan kekayaan kehormatan, dia akan berpaling dari keadilan dan etika

beradab i bidang profesi yang dijalankan. Dalam hal ini pengamalan sila pertam untuk

memperkuat iman sangat dipelukan. Ketika seseorang yang kuat imannya maka dia

akan dapat mengamalkan sila le dua danjiwa sosial yang dia miliki sangat tinggi.

Pembelajaran IPS juga sangat diperlukan dimana dapat membentuk kepribadian dan

watak yang baik untuk mewujudkan tujuan menjadi warga negara yang baik.

3. Sila yang ke tiga berbunyi “persatuan indonesia” adalah merupakan sila yang

bertujuan untuk menyatukan seluruh rakyat indonesia. Sila ini meningkatkan rasa

bangga kita terhadap bangsa ini karena karena perbedaan yang sangat beragam dan

innndah lalu bersatunya Rakyat Indonesia untuk memajukan dan mensejahterahkan

Negara Indonesia. Hubungan sila ke3 dengan IPS adalah dalam pembelajranIPS yang

mempelajari tentang ilmu sosial, ilmu yang berhubungan dengan masyarakat.

Mempelajari IPS kita menjadi anggota masyarakt yang menghormati dan saling peduli

dengan lingkungan dan masyarakat lain, dari situlah maka tidak ada lagi kesenjangan
daalam masyarakat, dan tidak lagi mempermasalahkan perbedaan dalam masyarakat.

Sehigga dalam dalam pengamalannya sila ke3 dapat tercapai.

4. Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat

Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan” adalah untuk mengutamakan

musyawarah sebagai ketentuan dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan

bersama. Selain itu, dalam musyawarah kita harus bijaksana dalam mengambil

keputusan agar setiap pihak tidak merasa dirugikan atau merasa tidak adil dalam

pengambilan keputusan tersebut. Pembelajaran IPS berfungsi membuat warga negara

peka dan tanggap terhadap permasalahan sosial yang ada dalaam lingkungan dan

masyarakat dengan IPS dan mengerti dan memahami problematika sosial sehingga

dapat menentukan sikap dan dapat membuat keputsan yang tepat.

5. Sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sama

seperti sila kedua, bahwa disini kita harus adil terhadap sesama dan harus saling

menghargai hak dan kewajiban antar sesama. Hubungan sila ke lima, bahwa IPS itu

membentuk kepiribadian dari warga negara sehingga akan melakukan hal-hal yang

tidak merugikan orang lain dan bersikap bijaksana sehingga implementasi dari sila ke

lima ini dapat dilakukan dengan baik.

B. hubungan fungsional

pancasila sebagai dasar dan cita-cita bangsa indonesia, yang mengandung nilai-nilai

filosofis bangsa indonesia yang sejak dulu sudah ada dan melekat dalam jiwa

masyarakat indonesia. Dalam pelaksanaan dari isi pancasila dan

pengimplementasiannya ke kehidupan sehari-hari pembelajaran tentang pancasila


sangat diperlukan. Pancasila membentuk kepribadian masyarakat indonesia sehinngga

akan tercapainya tujuan dari pancasila. Pendidikan pancasila sangat diperlukan untuk

memersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat

dan konsisten untuk memperthanakan Negara Republik Indonesia. Pembelajaran

pancasila juga merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan

dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan

negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang

dapat diandalakn oleh bangsa dan negara. Pengembangan penddikan pancasila akan

mewujudkan tujuan dari IPS yakni membentuk warga negara yang baik. Pendidikan

pancasila menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik an

patriotik, dan terwujudnya warga negara yang baik.

Bila humaniora memusatkan perhatian kepada manusia, etika sebagai ilmu

merupakan bagian dari filsafat yang mempelajari nilai baik-buruk, benar-salah, pantas-

tidak pantas dalam kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan manusia dan

lingkungannya (Hariadi, 2005). Tampak ada bidang tumpang tindih antara humaniora

dan etika. Humanisme atau humanitarianisme dapat berarti juga etika, yakni faham,

ajaran, bahwa satu-satunya kewajiban moral manusia adalah bekerja untuk kebaikan,

perbaikan dan kesejahteraan manusia (Moris (ed), 1981). (1)

Jika penguasaan dan pengembangan ilmu dan teknologi adalah amanat kemanusiaan,

oleh karena itu harus memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia. Humaniora

membawa nilai-nilai budaya manusia. Nilai-nilai tersebut adalah universal. Tanpa

humaniora pengembangan ilmu dan teknologi tidak lagi bermanfaat bagi manusia.

Pengembangan/ perkembangan yang banyak disusupi nilai-nilai bisnis menimbulkan

hedonisme yang bermula di masyarakat bisnis, yang berlanjut pada umunya. (1)
BAB III

KESIMPULAN

Ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah kelompok disiplin ilmu yang mempelajari

aktivitas manusia dalam hubungannya dengan sesamanya. Disiplin ilmu sosial adalah

sosiologi, antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, ilmu politik, ilmu hukum, dan

demografi. Sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan (human sciences) adalah ilmu-ilmu

pengetahuan empiris yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya

Ciri-ciri khas ilmu-ilmu sosial humaniora adalah manusia sebagai objek dan subjek

ilmu, titik pangkal dan kriterium kebenaran, serta subjek dan objek saling

mempengaruhi.Perbedaan ilmu sosial humaniora dengan ilmu alam, yaitu obyek

penelaahan ilmu sosial humaniora yang kompleks, ahli ilmu alam berhubungan dengan

gejala fisik yang bersifat umum,

Dalam pembelajarannya, Ilmu pengetahuan Huamniora berlandaskan akan nilai

dan moral yang terkandung dalam batang tubuh pancasila yang sesuai dengan karakter

dan kepribadian bangsa indonesia yang sejak dulu sudah ada bahkan sebelum pancasila

diirumuskan. Dalam membentuk warga negara yang baik sesuai dengan tujuan Ilmu

Pengetahuan sosial humaniora maka pancasila lah yang menjadi acuan dalam

pembelajaran, warga negara yang baik haruslah sesuai dengan yang terkandung dalam

dasar dan falsafah bangsa indonesia yaitu pancasila. Pancasila dan Ilmu pengetahuan

sosial humanora tidak bisa dipisahkan Pentingnya pendidikan pancasila di sekolah

maupun di perguruan tinggi harus lebih di tekankan lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. (1975). Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.


Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer Inggris–Jerman. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hamersma, Harry. (1992). Tokoh-tokoh Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.
Raharjo, Mudjia. (2008). Dasar-dasar Hermeneutika Antara Intensionalisme & Gadamerian.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Risman, Abu. (2008). Metodologi Humaniora Dilthey. Yogyakarta: Perpustakaan Digital
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Soelaeman, M. Munandar. (2001). Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Refika Aditama.
Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Verhaak, C dan R. Haryono Imam. (1989). Filsafat ilmu Pengetahuan Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-ilmu. Jakarta: PT Gramedia.
Adeney-risakotta, B. (2003). Mendialogkan Ilmu Sosial Dan Humaniora Dengan Ilmu
AgamaiTantangan Pengembangan Kajian Islam. Hermeneia, 2(1), 1–23.
Budiyanto, A. (2010). Kekalahan Tradisi Ruwahan. Bhinneka.
definisimenurutparaahli.com. (n.d.). Pengertian Empiris dan Contohnya.
Http://Www.Definisimenurutparaahli.Com.
http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-empiris-dan-contohnya/
Ghani, M. M. A. (2014). Tradisi “Ruwahan” ...Kenapa Tidak. Www.Kompasiana.Com.
https://www.kompasiana.com/mustaqim_muslimin_abdul_ghani/54f719faa33311d6218
b4840/tradisi-ruwahan-kenapa-tidak
Makhrus, F. (n.d.). Pendekatan Sosial Humaniora Dalam Studi Islam dan Sosial Humaniora
dalam Kehidupan Bermasyarakat. Www.Academia.Edu.
Rahman, A. (2019). Islam dan Sosial Humaniora dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Www.Kompasiana.Com.
https://www.kompasiana.com/abdulrahman92/5d2684a5097f36571967c793/islam-dan-
sosial-humaniora-dalam-kehidupan-bermasyarakat
Suryandari, M. (2013). TRADISI RUWAHAN DESA TAMBAKBOYO, TAWANGSARI,
SUKOHARJO. Http://Namanyamutia.Blogspot.Com.
Tohir, A. (2001). Sirah Nabawiyah Nabi Muhammad SAW dalam kajian Ilmu Sosial. Maria
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai