Anda di halaman 1dari 10

MENGELOLA TRANSFORMASI ORGANISASI MENGGUNAKAN TEORI U

Otto Scharmer, Joseph Jaworski dan Peter Senge merupakan pakar system dan management di MIT yang
membidani lahirnya teori U. Latar belakang munculnya teori U dipicu pemikiran mereka akan perlunya
melakukan transformasi pada level individu sampai organisasi. Mereka paham bahwa pendekatan (baca:
cara-cara) yang ada selama ini tidak menjawab tuntas perubahan yang diperlukan lingkungan yang
berkembang sangat kompleks seperti saat ini. Teori U memberi jawaban bagi individu, organisasi maupun
system sosial untuk mengatasi tantangan yang tadinya dirasa sulit untuk diatasi. Teori U dapat digunakan
untuk melakukan perubahan mengakar dan mendorong inovasi.

Kecenderungan para leaders ketika menghadapi suatu masalah adalah ingin cepat menyelesaikannya.
Dorongan ini adalah kebiasaan umum yang ada pada hampir setiap individu. Namun ketika seorang leader
menggunakan landasan mindset yang sama, solusi yang dihasilkan cenderung bersifat temporer.
Penyelesaian masalah tidak akan tuntas dan akan terulang lagi. Dengan kata lain seringkali solusi yang
dipikirkan hanya meredakan simptom atau gejala permasalahannya. Namun akarnya sendiri luput dari
penyelesaian. Teori U mengajak kita untuk melakukan perombakan (baca: transformasi) dalam diri kita
sebagai individu atau sebagai leader yang ada di organisasi. Perubahan yang berdampak besar dan inovasi
adalah hasil yang akan diperoleh manakala kita menjawab tantangan masalah adaptif dengan pendekatan
teori U. Kita akan menggunakan istilah proses U karena didalam pelaksanannya teori U merupakan proses
atau kumpulan gerakan aktifitas. Ada tiga inti gerakan dalam proses U yaitu Observe, Retreat – Reflect serta
Act in an instant.

Inti gerakan pertama, observe, adalah proses mengamati, mendengar dan merasakan dengan cara ‘masuk’
kedalam diri para pelaku (para ‘aktor’) di ekosistem. Proses ini membutuhkan keterbukaan pikiran untuk
mendengar, merasakan serta melihat dari kaca mata menurut apa yang terjadi dari sisi para pelaku. Proses
observe hanya akan terjadi dengan optimal ketika leaders berdiri di balkon dan mampu melihat dari
perspektif yang berbeda tentang apa yang terjadi (baca: leaders berada pada consciousness level 4 keatas).
Metafora melihat dari atas balkon seperti yang disebutkan terdahulu adalah apa yang dimaksud Ronald
Heifetz sebagai mengamati secara lebih luas dinamika interaksi terhadap para ‘pedansa’ di lantai ruangan.
Kemampuan meng’observe’ inilah yang menjadi salah satu kunci utama suksesnya proses transformasi.

Proses berikutnya: retreat dan reflect adalah pelepasan dan pembersihan diri dari sumbatan pikiran yang
membatasi, limiting belief maupun rintangan yang berasal dari dalam diri. Reflect merupakan proses yang
menghubungkan individu dengan apa yang selama ini terpendam dalam lapisan humanisme dan spiritual
dirinya. Koneksi ini ada di bottom atau ceruk terdasar proses U. Ketika kita menyadari apa yang menjadi life
purpose (misi hidup), apa yang memanggil diri kita (what life is calling), maka semua pengetahuan dan
pencerahan yang berada di lapisan kesadaran kita akan muncul kepermukaan. Secara ringkas life purpose
terdiri dari tiga komponen yaitu Knowing, Doing dan Being. Dalam knowing seorang leader memahami
secara esensial apa sebenarnya yang menjadi pekerjaanya. Jika seorang pemasang batu bata hanya
memaknai pekerjaanya sebagai tukang bangunan maka akan sangat berbeda sekali impacknya jika dia
memahami bahwa makna pekerjaaanya adalah sedang membangun sebuah rumah peribadatan. Doing
merupakan jawaban atas pertanyaan apa yang memotivasi dan memberi semangat kepada diri seseorang.
Bagaimana dia ingin mengabdikan waktunya? Kemana perhatian dan energinya tercurahkan? Being
merupakan jawaban atas keunikan yang ada pada diri seseorang. Apa kekuatan dirinya? apa saja talenta
yang dimilikinya? Apa yang dia percayai sebagai jati dirinya?

Dari inti gerakan kedua ini kita melanjutkan ke apa yang disebut Acting in instant yaitu proses untuk
melakukan tindakan spontan dalam mencoba dan menyempurnakan pendekatan baru untuk melakukan
perubahan. Tindakan ini merupakan suatu terobosan yang didasari oleh mindset baru para individu dan
para leader. Yang tadinya dianggap tidak mungkin sekarang menjadi suatu kemungkinan baru. Yang
mendasari kemungkinan baru ini adalah keberanian untuk keluar dari comfort zone. Tindakan ini juga

1
berasal dari bergesernya titik berat kesadaran kita dengan mulai ‘berani’ mempertanyakan apa yang
menjadi asumsi kita selama ini yang sudah tidak sinkron untuk menjawab tantangan yang kita hadapi saat ini
dan kedepan. Tindakan nyata secara spontan dilakukan dengan incremental atau setahap demi setahap.
Saluran kritik dan feedback dibuat untuk menyempurnakan tindakan selanjutnya. Proses Acting in an instant
ini tidak akan dapat dilakukan tanpa pendahuluan observe and retreat.

Ketika kompleksitas lingkungan makin meningkat, para leaders organisasi yang memfasilitasi perubahan
perlu menyesuaikan fokus mereka dari WHAT (hasil), dan HOW (metoda yang digunakan), menuju kearah
WHO (kondisi didalam diri dari para pelaku). Dengan kata lain, memahami secara utuh ‘esensi interior’ dari
semua pihak yang terlibat dalam dinamika perubahan, menjadi vital bagi seorang leader yang ingin
menavigasi perubahan dengan sukses. Tanpa terjadinya perubahan di interior diri, perubahan di eksterior
lingkungan akan sulit tercapai. Kondisi interior atau sering juga disebut sebagai iceberg diri merupakan
lapisan thinking-feeling, belief, value, identity dan need dari seseorang. Kita akan membahas lebih jelas apa
yang dimaksud dengan lapisan iceberg ini di artikel tersendiri.
Proses U mengajak kita untuk mengembangkan diri selaras dengan kemungkinan masa depan yang paling
potensial dan mengajak kita beroperasi dari platform kesadaran baru. Proses U juga membantu kita
mengenali blindspot diri.

Definisi blindspot adalah apa yang kita tidak lihat ataupun rasakan sebagai keterbatasan, kekurangan
ataupun kekeliruan diri kita sendiri (namun orang lain bisa melihat dan merasakannya) . Blindspot
mengendalikan bagaimana seorang leader memiliki niatan (intention) dan mengarahkan (directing)
perhatiannya. Bill O’Brien, CEO Hanover Insurance, menyatakan bahwa yang terpenting dari seorang leader
bukan hanya apa hasil yang dicapai dan apa yang dilakukan. Namun apa yang ada dalam “interior
condition” atau kondisi didalam diri seorang leader. Karena inilah tempat atau sumber dimana semua sikap
dan tindakan leader tersebut berasal. Satu situasi yang sama dihadapi oleh dua individu leader bisa
membuahkan hasil pemikiran dan respon yang amat berbeda. Perbedaan merespon ini dipengaruhi oleh
apa yang terjadi di dalam diri leader tersebut.

Proses U juga membantu kita untuk masuk keruang ‘slowing down’ dan ‘keheningan’. Ruang ini merupakan
tempat bagi leader untuk ‘mendengar’ ke tiap pelaku di lingkungannya beroperasi. Termasuk diantaranya
adalah membuka kesadaran dirinya untuk berada ‘diatas balkon’ dan mampu ‘mengamati’ dirinya sendiri
saat sedang ‘beraksi’. Kondisi ini adalah kesadaran yang berada diatas kesadaran.

The success of an intervention depends on the interiror condition of intervener….


Bill O’Brien (ex CEO Hanover Insurance)

Kita menjadi pengamat pola respon yang tanpa sadar tertanam didalam diri kita selama bertahun-tahun.
Proses ‘slowing down’ memberi waktu melakukan ‘reflection’ dan membuka tabir apa saja yang ada di
dalam diri kita sendiri yang justru telah membebani diri kita untuk tumbuh dan berkembang sebagai leader
yang adaptif.
Salah satu pola diri yang sering kita jumpai adalah ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, ketersingunggan,
rasa malu atau gengsi, ketidakberdayaan, dan jenis emosi reaktif lainnya. Contoh yang sangat sederhana
namun amat berguna adalah saat seorang leader menemukan pola diri ‘takut tidak dianggap’ dan ‘takut
diremehkan’ sebagai ‘interior condition’ yang selama ini menggerakan pola pemikiran dan tindakannya
menjadi lebih menuju ‘memperlihatkan siapa aku dan kehebatanku’. Tentu saja ini menimbulkan ekses di
organisasi dalam hubungan antar para leader dan juga suasana dengan anggota teamnya. Proses U
membantu para leader agar dapat menelisik lebih dalam apa yang menjadi sumber penghalang utama bagi
masalah yang mereka hadapi. Proses mengamati, mundur sejenak dan merefleksikan diri menjadi bagian
krusial dari peningkatan kesadaran. Ketika seorang leader memahami secara utuh dan terhubung ke sumber
dirinya, maka dia akan memiliki pencerahan dan kepekaan untuk memvisualisaikan apa yang sedang terjadi
dan apa dinamika yang mungkin akan muncul di masa datang. Menurut pencetus Teori U, Otto Scharmer,
2
hal ini adalah cara bekerja dari acuan masa depan yang akan muncul atau ‘presencing’. Asal kata presence
(masa kini) dan sensing (merasakan) bermakna menyesuaikan, mengatur frekuensi dan masuk ke dunia
kreatif dan inspiratif yang menuntun seseorang mengambil tindakan berdasarkan potensi tertinggi dirinya.
Kembali ke contoh leader yang saya ceritakan, potensi diri si leader ini sebenarnya sangat kuat. Proses
berpikirnya amat cepat dan kritis. Setelah mengalami proses ‘letting-go’ asumsi-asumsi yang selama ini
memblokir ‘potensi kehebatannya’. Leader ini lebih bisa ‘lepas’ dan membuat suasana team menjadi lebih
kolaboratif serta paretisipatif. Hubungan dengan para kolega leader lainpun menjadi lebih harmonis dan
solid.

Didalam proses U, gerakan yang ada di dasar adalah proses yang disebut presencing. Presencing terjadi
ketika para leader terhubung ke inner source atau sumber kebijaksanaan yang ada di diri mereka. Pada
dasarnya source diri kita adalah kondisi pikiran murni sebagai insan manusia yang esensinya adalah makhluk
spiritual dan sosial. Jika koneksi ke source terbuka maka kita seperti mendapatkan mata air yang
memberikan kesegaran dan kejernihan dalam berpikir dan menyikapi dengan tepat semua fenomena dan
tantangan yang terjadi di sekeliling kita. Terhubungnya diri kita ke sumber ini membuat seseorang dialiri
oleh energi yang membersihkan diri kita dari polusi pikiran yang ada dalam diri kita (kekalutan, rasa malu,
rasa bersalah, kebingungan, ketakutan, kemarahan, kebencian, kedengkian, kebodohan, keserakahan,
kesombongan). Jika kita melatih diri untuk bisa terhubung dengan sumber diri kita, maka kita akan
membangkitkan kekuatan dan energi dari dalam diri kita sendiri yang berlimpah, bijak dan berpengetahuan.
Dalam bukunya Conscious Capitalism, John Mackey dan Raj Sisodia (Harvard Business School Press),
menyatakan bahwa ada empat elemen dalam praktek bisnis yang amat penting yaitu: desentralisasi,
empowerment, inovasi dan kolaborasi. Untuk mencapai hal ini para leader di organisasi perlu membangun
adanya praktek dimana para leader perlu : 1. Memiliki higher purpose dan core values (di istilah teori U ini
yang dimaksud dengan connecting to the source dan oleh Richard Barrett ini yang dimaksud kesadaran
yang mulai dikendalikan oleh kesadaran level 4 keatas); 2. Stakeholder Integration (ini yang dimaksud di
teori U melalui proses ‘listening to the system’); 3. Conscious Leadership (ini yang dimaksud dengan
Challenging Assumption – Letting Go dan Presencing); 4. Conscious Culture and Management (ini yang
dimaksud dengan Transformasi Organisasi adalah Transformasi Kesadaran para Leadernya, – baca artikel tsb
di blog ini).

Untuk memahami lebih lanjut aplikasi proses U dalam membantu organisasi melakukan transformasi kita
menggunakan apa yang disebut lima tahapan utama:

Tahapan Pertama
Tahapan ini disebut Co-initiating yang merupakan awal kita untuk menetapkan apa niatan atau tujuan kita
bersama untuk melakukan transformasi? Caranya adalah dengan melakukan ‘listening deeply to the system’
termasuk para stakeholder yang ada di ecosystem. Untuk masuk kedalam tahapan pertama kita melakukan
pergeseran cara mendengar dan melihat. Dari proses ‘downloading’ kita bergeser menuju ke ‘suspending’.
Dalam mode downloading kita tanpa sadar mendengar dan melihat menggunakan kebiasaan lama
‘pemikiran’ dan ‘penglihatan’ kita. Ini termasuk didalamnya adalah pemikiran spontan kita saat berhadapan
dengan suatu masalah. Secara otomatis kita sering melompat kepada versi pemikiran kita sendiri mengenai
apa yang sedang terjadi, siapa penyebabnya, apa perubahan yang mestinya dilakukan, siapa yang perlu
berubah agar masalah tadi terselesaikan. Cara ‘spontan’ ini tidak jarang menutup diri kita terhadap
kemungkinan lain yang ada yang justru bisa jadi terabaikan karena tertutupi pemikiran spontan tadi.

Oleh karena itu tahapan pertama untuk memulai proses perubahan dalam suatu system kita perlu melatih
penggunaan apa yang disebut ‘open mind’ atau keterbukaan pikiran. Proses masuk kedalam diri dan
mengamati kesadaran
diri sendiri akan membuka pikiran kita terhadap pemaknaan tentang apa yang terjadi di sekeliling kita.

The real power comes from recognizing patterns that are forming and fitting with them….
3
Brian Arthur

Pada tahapan pertama kita mendalami apa asumsi dan judgment kita tentang apa yang terjadi di sekeliling
kita yang menyertai tantangan atau masalah yang kita hadapi. Cara untuk mendalami asumsi kita adalah
dengan mendengarkan apa yang terjadi menurut para pelaku yang ada di suatu sistem. Kita membuka diri
terhadap kemungkinan baru, mengamati dan mendengar dari kacamata dan perasaan para pelaku yang
ada di sistem. Didalam gerakan pertama ini terjadi penghentian sementara (pause) dimana kita
mengistirahatkan kebiasaan untuk langsung menilai, menyimpulkan bahkan menghakimi apa yang terjadi
menurut versi yang ada pada cara pemaknaan kita. Pada gerakan pertama, kita diajak untuk melepaskan
asumsi dan paradigma berpikir kita yang tanpa kita sadari telah mengaburkan atau membatasi pandangan
kita. Kita seolah belajar untuk merasakan apa yang sedang terjadi di sistem dengan posisi empati. Dalam
keheningan kita ‘melihat’ menggunakan ‘kacamata’ sehingga kita berpandangan lebih jernih. Pengertian
jernih disini adalah beragamnya kejelasan penglihatan dari berbagai sudut pemegang kepentingan bahkan
termasuk pihak minoritas yang mungkin tampak tidak signifikan. Cara pandang kita menjadi lebih objektif
untuk mendengar secara utuh apa yang dirasakan, dialami dan dimengerti oleh para stakeholder selain diri
kita, yang ada dalam suatu ekosistem.
Beberapa pertanyaan yang bisa menjadi petunjuk ketika melakukan proses U di tahapan pertama antara
lain:
• Apa keadaan, situasi dan tantangan yang menimbulkan concern (keprihatinan) dari diri anda saat ini
yang ingin diubah (yang tidak nyaman, mengganggu, tidak diinginkan) ? Perubahan seperti apa yang
anda ingin raih atau wujudkan?
• Apa yang menjadi niatan diri anda sebagai leader atau sebagai organisasi? Bagaimana niatan diri anda
ini bisa menjadi suatu niatan bersama (yang tidak hanya dilandasi egoisme diri/organisasi anda) dengan
pelaku sistem yang lain?
• Siapa saja pelaku di sistem? dimana mereka berada? Apa pengaruh mereka terhadap eksistensi dan
tercapainya goal organisasi anda dan niatan diri anda?
• Siapa diantara mereka yang bisa mewakili anggota sistem, yang suaranya bisa menjadi referensi, valid
dan representatif bagi organisasi anda?
• Suara, informasi dan pendapat apa saja yang anda ingin dengarkan dari mereka? Bagaimana anda akan
‘terkoneksi’ dengan mereka?

Catatan apa yang dimaksud dengan pelaku sistem:


Yang dimaksud dengan pelaku sistem atau komponen sistem adalah pelaku langsung mapun tidak
langsung antara lain:
Masyarakat lokal, masyarakat adat setempat, konsumen, pelanggan, keluarga dari pelanggan, distributor,
retailer, para pencari kerja, calon wirausahawan, aliansi bisnis, pemerintah, karyawan, management/BOD,
pemegang saham, pemasok, pesaing, regulator, keluarga karyawan, pengamat, para ahli atau para pakar,
konsultan, futurist, negara tetangga, dan global, NGOs, media, edukator, peneliti/periset, lembaga
masyarakat dunia (PBB, WHO, UNICEF, Greenpeace).

Contoh pentingnya untuk mendengarkan para pelaku sistem bisa kita perhatikan dari apa yang terjadi
dengan adanya pemain bisnis baru dan tergesernya pemain lama. Seperti kita ketahui bersama bahwa
bepergian kenegara lain dan menginap di hotel adalah sesuatu yang bisa dikatakan cukup mahal dan tidak
sedikit para pelancong yang tidak bisa menjangkau biayanya. Bisnis hotel memiliki keuntungan yang
fantastis sebelum munculnya airbnb. Kealpaan industri hotel adalah tidak pekanya mereka mendengar dan
melihat para pelancong yang ingin menginap dengan biaya yang masuk akal di kantong mereka dan
sekaligus membantu idle capacity pemilik tempat tinggal. Pendiri Airbnb mampu menangkap pains dari
berbagai sudut pemegang kepentingan apa yang mereka inginkan dan menjawabnya dengan
mempertemukan para pelancong atau traveler dengan para pemilik tempat tinggal. Ide yang sederhana
dan membuat revolusi baru yang berdampak besar di industri akomodasi penginapan.
Tahapan kedua
Selanjutnya kita masuk ke tahapan kedua yang akan mengungkapkan realitas lebih jauh menurut kacamata
4
para pelaku sistem. Kunci sukses kita menjalankan tahapan kedua adalah kemampuan untuk turut serta
merasakan dari sisi mereka apa yang terjadi dan dialami. Yang kita dengarkan bisa merupakan: kebutuhan,
keprihatinan, kekhawatiran, kepedulian, aspirasi, nilai, keyakinan dan kebiasaan yang menjadi suatu
kepentingan bagi mereka. Dalam tahapan kedua, proses yang terjadi adalah kita mulai membuka hati. Kita
mendengar dengan menyatukan mata hati dan kepedulian kita kepada semua pihak yang terlibat dalam
mata rantai suatu ekosistem.

Arah perhatian kita di tahapan ini mulai beralih dari merasakan dunia luar sebagai objek kita menjadi subjek
(bersama diri kita). Ini termasuk merasakan apa yang mereka (pihak disekitar kita) rasakan terhadap diri kita.
Fokus kita merasakan apa saja proses mental yang terjadi didalam diri kita secara individu dan organisasi.
Proses mental di organisasi bisa meliputi rasa seperti tertekan, terpaksa, tersekat, terpinggirkan, terabaikan,
terbantu, terpojok, dan seterusnya. Dalam proses ini ada bagian merasakan efek tata nilai dan keyakinan
yang ada dimana secara historis dan budaya telah turut mempengaruhi proses dalam memaknai apa yang
terjadi dan hubungan antara diri kita dengan orang lain, lingkungan dan seluruh stakeholder yang ada. Apa
belief kita yang menjadi identitas dan merupakan pegangan misi hidup kita. Apa yang menjadi dasar
pemikiran dari hubungan kita dengan orang lain dan lingkungan kita. Istilah yang digunakan di tahapan
kedua adalah Co-sensing. Proses merasakan di tahapan kedua membutuhkan empati dari dalam hati. Diikuti
dengan mempertanyakan apa yang menjadi asumsi diri kita tentang apa yang benar dan apa yang keliru.
Apa yang perlu dan apa yang tidak. Apa yang boleh terjadi dan apa yang semestinya tidak terjadi. Tujuan
kita melakukan proses ini adalah untuk sampai pada tahapan melepaskan beban yang membatasi diri kita
dari efektifitas dan kreatifitas sebagai individu maupun organisasi. Pada proses kedua ini koneksi
‘merasakan’ terjadi ke berbagai partisipan dalam sistem. Dari mulai partisipan yang paling dominan sampai
ke mereka yang selama ini suaranya terabaikan. Dalam praktek di organisasi bisnis, pelaku yang dimaksud
bisa merupakan pelanggan heavy users, pelanggan yang marginal, supplier alternatif, distributor, retailer,
orang yang tidak mampu menjadi pelanggan (tidak mampu membeli, tidak terlayani), kompetitor yang
belum atau akan muncul, para karyawan talenta yang keluar, pembuat regulasi, anggota keluarga para
pengguna produk atau jasa, para desainer teknologi, dan pihak lain yang dianggap relevan.

Di tahapan kedua ini kita diajak untuk merasakan dengan terlebih dulu meletakkan asumsi, penilaian,
sinisme, juga kekhawatiran kita jauh-jauh dari proses pemikiran kita. Tempat kita merasakan berasal dari titik
non judgemental dan murni hanya merasakan sampai kita bisa masuk serta menghayati apa yang sedang
terjadi yang dialami dari kacamata pelaku atau partisipan di sistem tersebut. Ketika melakukan proses ini
kita masuk dalam kondisi yang disebut Open Heart. Hati kita terbuka untuk menerima dan menghayati apa
saja yang selama ini dirasakan oleh anggota suatu sistem. Dalam melalui proses ini bisa jadi akan timbul
ketidaknyamanan karena kita akan masuk ke garis batas rasa bersalah atau takut ketika sebagai satu
kelompok kita dapat dengan lebih jelas melihat diri sendiri secara transparan dari sisi empati perspektif
orang atau pihak lain. Tidak jarang proses ini juga merupakan proses yang dapat menimbulkan
penyangkalan dan penolakan. Transformasi leader kebanyakan berhenti disini karena terjadinya penolakan
atau penyangkalan ketika masuk merasakan bagaimana diri mereka dilihat dari sisi multi dimensi para
pelaku lain di sistem. Biasanya belief system, values maupun asumsi lain yang lebih berdasar kepada
pemahaman sepihak menjadi lebih dominan pada individu yang ‘tersumbat’ dan cenderung merasa diri
atau kelompoknya tidak mungkin keliru. Transformasi di organisasi biasanya akan menjadi artefak atau
simbol saja tanpa terjadinya proses di tahapan kedua ini. Di tahap ini suatu organisasi akan dapat
merasakan apa hal-hal yang selama ini telah dilakukan secara kolektif yang justru tanpa disadari menjadi
bagian dari penyebab timbulnya masalah atau tantangan yang ada.

You can not understand the system unless


you changed it….
Kurt Lewin

Secara kolektif kita sebagai individu dan kelompok memiliki kecenderungan berpikir, berperasaan, values
dan keyakinan serta kebutuhan yang homogen sehingga tercipta pola kolektif. Hal inilah yang tanpa
5
disengaja dapat menjadi penghalang potensi tertinggi suatu kelompok sekaligus menjadi sumber
munculnya masalah. Proses macetnya perubahan kolektif ini biasanya terjadi karena adanya homogenisasi
atau terhalanginya diversifikasi pemikiran dan anggota kelompok. Fenomena ini mengakibatkan pola
berpikir dan komposisi mindset anggota-anggota kelompoknya saling menguatkan kekeliruan menjadi
distori organisasi atau kelompok. Jika tahapan kedua ini dilalui organisasi dan para leadernya, maka
keberhasilan membuka kesadaran baru akan tercapai dan dapat mengantarkan kita masuk ketingkat
keheningan dan ketenangan yang amat diperlukan sebagai kondisi di tahapan ketiga. Dalam tahapan kedua
ada satu titik dimana kita perlu mengakui dengan legowo dan ikhlas apa yang telah menjadi beban diri
(value, belief, culture, kebiasaan, pola pikir) yang justru telah berkontribusi terhadap terbentuknya masalah
atau tantangan yang ada. Dititik pelepasan inilah secara kolektif organisasi dan para leadernya mulai
terhubung ke tingkatan jiwa (soul) serta kesadaran yang lebih dalam.

Beberapa pertanyaan dibawah ini yang bisa menjadi petunjuk untuk melakukan proses U di tahapan kedua
(untuk organisasi):
• Apa situasi dan tantangan yang sedang terjadi saat ini? bagaimana situasi/tantangan ini menurut apa
yang dirasakan masing-masing para pelaku di sistem? Apa yang membuat solusi menjadi buntu?
• Apa saja suara yang menjadi keprihatinan dan aspirasi para pelaku di sistem yang ada? Apa yang
mereka alami sebagai sesuatu yang adil, membantu, dan membawa perubahan kearah yang lebih baik
bagi mereka?
• Apa inisiatif yang diharapkan terjadi oleh anggota sistem? bagaimana inisiatif ini akan menjawab
tantangan pada skala system yang lebih besar lagi?
Jika ada beberapa hal yang perlu diubah, apa saja? Seperti apa perubahan ini akan terjadi seperti yang
diharapkan oleh anggota sistem?
• Apa peran diri anda dalam situasi ini? Apa sikap yang anda ambil selama ini?
Bagaimana anda melihat sikap anda untuk mengatasi situasi atau tantangan yang ada?
• Apa yang sebenarnya dirasakan oleh anggota sistem terhadap eksistensi organisasi anda? (manfaat,
concern, ekspektasi, peran, perubahan)
• Apa yang menjadi asumsi anda? apakah asumsi ini fakta atau penilaian anda
• Bagaimana asumsi anda sudah membantu atau menghambat perbaikan situasi?

Tahapan Ketiga
Terjadinya tahapan ketiga bukanlah proses yang otomatis namun merupakan upaya lanjutan dari tahapan
kedua. Ketika lingkaran perhatian para leaders berekspansi, realitas baru akan tertangkap oleh persepsi
leaders tersebut. Gerakan ketiga ini adalah menyatunya proses ‘merasakan’ dan ‘melihat’ serta
‘mendengarkan’ dari perspektif baru kedalam diri seorang leader. Proses ‘being’ atau ‘menjadi diri’ inilah
yang disebut Presence + Sensing atau Presencing. Untuk sampai kepada tahapan ketiga ini seorang leader
menggunakan proses mendengar dari dalam dirinya dan berada pada apa yang disebut mendengar
tingkatan generative.

We fail to understand many things because we specialize too easily and too drastically, philosophy, religion,
psychology, natural science, sociology, etc., each has their own special literature. There is nothing
embracing the whole in its entirety.
Peter D Ouspensky

Ketika mendengar berada ditingkatan atau kondisi ini maka mendengar menjadi menyimak,
memperhatikan, merasakan dan membuka sanubari jiwa. Percakapan yang dilandasi oleh mendengar
tingkatan keempat ini menjadi wadah untuk memunculkan kemungkinan masa depan yang berasal dari
tempat perwujudan potensi diri tertinggi. Pada tahapan kedua dan ketiga individu menggunakan skill
leader adaptive yang disebut “on the balcony and in the dance”. Para leader mampu barada di balkon
untuk mengkaji pada saat diri mereka melakukan ‘dancing’. Bagaimana mereka bisa berada pada lapisan
balkon atau kesadaran yang lebih tinggi untuk melihat diri sendiri dan pelaku lain secara utuh dan objektif.
Di dasar proses U terjadi penyatuan diri leader dengan apa yang ‘menjadi panggilannya’ dalam konteks
6
kehidupan dan pekerjaan. Proses ini merupakan landasan transformasi diri seorang leader yang membuat
terhubungnya kita dengan sumber mata air kehidupan. Makna dari dasar proses U ini adalah bagaimana
seorang leader dapat menembus lapisan terdalam diri. Momen terkoneksinya diri kita dengan sumber diri
membuat seolah segala sesuatunya tampak melambat dan anda dapat mengamati dengan jelas apa yang
terjadi ketika keheningan hadir. Dalam posisi ini anda merasakan ‘kebersihan’ dan kondisi yang pikiran yang
terbebas dari pewarnaan, pemaknaan yang berasal dari kultur, pengajaran, kebiasaan yang mungkin
membuat diri kita ‘merasa’ menjadi manusia yang lebih baik, lebih tinggi, lebih terhormat dari yang lain.
Dari tempat ini kita berada pada kesahajaan, memahami diri kita yang hakekatnya berisi kasih dan
kepedulian. Dari tempat ini terpampang keluasan dan kedalaman atas apa yang kita lihat, rasakan dan
dengarkan. Kita menemukan apa yang disebut pencerahan jiwa.

Untuk sampai pada momen ini kita perlu melepaskan kebisingan, dan kegelisahan yang disebabkan
egoisme ataupun kekhawatiran diri kita. Dengan kata lain ketika kita melepaskan ‘bagasi’ yang selama ini
membatasi diri, kita akan ‘menyambut’ hadirnya ‘identitas humanis’ dan ‘kemampuan’ baru diri kita. Disaat
inilah kita akan dapat merasakan satunya diri kita dengan ‘alam’ atau lingkungan kita. Perasaan dan
perhatian kita tidak terpusat hanya pada diri, organisasi atau kelompok kita atau dunia luar sebagai objek.
Perhatian periferal kita melebar kearah multidimensi menjadi satu dengan kepekaan merasakan dari
berbagai titik penjuru elemen pelaku di sistem kehidupan. Perasaan dan insting kita menajam terhadap apa
yang terjadi di dalam dan di luar diri kita. Semua seolah terhubung dan tidak ada yang dinamakan
kebetulan. Masuknya diri kita ketahapan ketiga tidak terlepas dari proses untuk menyerahkan dan
menyatukan diri serta komitmen untuk menjadi leader yang “melayani”. Jika kita masih lekat dengan
memegang kekuasaan, kontrol, dominan dalam hirarkis dan analitikal maka kita akan sulit untuk masuk ke
tahapan ketiga. Salah satu belief yang paling penting dari tahapan ketiga untuk ditanamkan adalah
menyadari, menerima dan mengakui bahwa ada kesamaan dan kesetaraan di diri tiap insan manusia. Dirinya
tidak merasa lebih istimewa dari orang lain dan menerima kenyataan bahwa dirinya juga sedang dalam
proses belajar dan perlu memperbaiki diri.
Kunci sukses suatu proses transformasi budaya organisasi secara tuntas terletak pada terjadinya tahapan
ketiga.

Macetnya proses transformasi untuk mencapai tujuan perubahan budaya dan kinerja organisasi biasanya
berakar dari tidak terjadinya penyelarasan mind and soul para leaders untuk kembali pada pengabdian,
pelayanan dan pembelajaran (learning to learn). Proses perombakan struktur, strategi maupun personnel di
top manajemen perusahaan besar tidak akan berefek ke perubahan perilaku dan sikap organisasi. Perilaku
dan sikap transaksional yang dicontohkan para leader sehari-hari telah membentuk pola ketidakpedulian
dan kepentingan individual. Hanya ketika seorang pimpinan meleburkan dirinya ke medan kepentingan
yang lebih besar (dari AKU ke KITA) maka para leader akan mampu menggerakan SDM yang mempercayai
dan menjalankan transformasi.

Beberapa pertanyaan dibawah ini merupakan pointer untuk meninjau apakah proses U tahapan ketiga
terjadi di organisasi anda:
• Bagaimana anda melihat evolusi dalam identitas, peran dan image diri/organisasi anda?
• Apa yang anda/organisasi anda rasakan sebagai suatu bentuk masa depan yang akan lahir dari evolusi
diri/organisasi anda?
• Dimana potensi terbesar dari diri/organisasi anda akan muncul?
• Jika anda melihat dari perspektif yang lebih luas, apa yang sedang anda coba lakukan? apa yang
menjadi perjalanan misi anda/organisasi anda?

Bagaimana dalam perjalanan ini anda menjadi contoh perubahan? Apakah perubahan sikap ini penting
untuk diikuti dan ditanamkan sebagai bagian perubahan budaya?
Sejauh mana apa yang dikatakan dan dilakukan para leaders di organisasi anda menjadi inspirasi bagi
karyawan dan mendorong terwujudnya perubahan organisasi anda? berikan contoh konkritnya?

7
Bagaimana anda melihat warisan yang akan ditinggalkan oleh anda atau organisasi anda kepada generasi
berikutnya? Apa sejarah yang telah anda buat di diri, keluarga, masyarakat ataupun oleh organisasi anda?
Tahapan Keempat

Menurut satu studi yang dilakukan terhadap ‘proses reenginering’ dan ‘change management’, hampir 70%
upaya reenginering ataupun perubahan budaya organisasi gagal. Penyebab utamanya jika dilihat dari
kacamata teori U adalah absennya tahapan kedua dan ketiga dalam proses perubahan. Pada umumnya
proses perubahan yang terjadi hanya sampai pada tahapan pertama yaitu bereaksi dengan mendownload
informasi. Kalaupun sampai pada tahapan kedua ketika mulai memahami apa yang terjadi, niatan
merasakan lebih condong pada kepentingan untuk memenuhi ego sukses diri atau organisasinya dan
menganggap pelaku sistem adalah objek yang perlu dikelola. Arah output transformasipun larinya bisa
ditebak hanya sampai pada perwujudan mengubah struktur, proses bisnis, atau membuat KPIs. Para leaders
yang ada di organisasi seperti ini umumnya belum sampai pada taraf mampu berkaca terhadap dirinya
sendiri atas terjadinya situasi atau timbulnya masalah.

Tahapan kedua dan ketiga memiliki keistimewaan yang terletak pada perbedaan kemauan dan niatan para
leaders di organisasi. Pada tahapan kedua proses pengamatan secara mendalam oleh para leaders mulai
dipraktekkan di organisasi. Aktivasi mengetahui fenomena yang terjadi akan ‘masuk’ jika melalui proses
‘menempatkan’ diri ke posisi stakeholders dan merasakan apa yang ada dalam diri mereka mulai dari
aspirasi, keinginan, kekhawatiran ketika melihat masa depam. Tahapan ketiga memasukan para leaders
untuk terhubung kepada sumber dirinya secara utuh atau disebut ‘presencing – connecting to the soul’.
Melalui proses ini apa yang akan terwujud sebagai potensi terbesar masa depan dari situasi yang ada saat
kini mulai terbaca oleh para leaders. Ketika para leaders masuk ke kondisi ini maka tahapan keempat adalah
lanjutan untuk masuk kedalam proses yang disebut breakthrough possibility melalui kristalisasi niat masa
depan yang ingin diwujudkan.

Pada tahapan keempat ini para leaders memiliki keyakinan penuh atas prototyping model action yang akan
mereka lakukan. Para leaders memiliki kejelasan atas apa upaya bersama perubahan ataupun inisiatif baru
yang akan dieksperimentasikan. Pada tahapan keempat para leaders bersikap terbuka dan menyambut
spontan apa yang menjadi respon, serta feedback para stakeholders ketika model prototype dijalankan.
Sikap ini disebut sebagai letting come.

Dengan membawa sikap ini maka trust dan kolaborasi menjadi ciri para leader membina hubungan baik
dalam teamnya maupun dengan para stakeholder. Dengan adanya trust atau kepercayaan yang terpupuk,
maka para stakeholder turut membantu dengan partisipasinya mewujudkan visi bersama menjadi terobosan
nyata. Tahapan keempat dilakukan dengan cepat dan inkremental pada medan yang dipilih untuk piloting
serta sekaligus menyempurnakan terapan ide agar lebih efektif, kreatif dan aplikatif. Para stakeholder ini
menjadi jaringan yang aspirasinya maupun kebutuhannya diakomodasi dan menjadi bagian pengkayaan
proses inovasi. Mereka didengar feedbacknya dan proses perbaikan terjadi sampai menemukan skala
aplikatif dari inisiatif atau protoype yang ada.

Tahapan keempat merupakan proses cross checking dan continuous improvement ide dengan realitas yang
ada lapangan. Bagaimana hambatan diketahui, diatasi secara kolaboratif dan penyesuaian dilakukan secara
cepat. Tahapan keempat juga merupakan proses untuk mendidik stakeholder serta komunitas ekosistem
untuk menyambut ide dan inisiatif, mencoba menggunakan dan menjalankan bersama. Dari tahapan
keempat ini maka masalah yang tadinya dianggap sebagai tantangan yang amat sulit bisa menjadi ringan
dan semua pihak membantu untuk merancang, mencoba, menerapkan dan menyempurnakan solusinya.
Proses design thinking menggunakan eksperiensial perception dari profil konsumer dan stakeholder lainnya
menjadi salah satu tool yang bisa digunakan untuk membantu tahapan kelima sebagai launching pad untuk
perubahan, peluncuran suatu gagasan ataupun terobosan produk baru.

Never doubt that a small group of thoughtful, committed, citizens can change the world
8
Margaret Mead

Beberapa pertanyaan dibawah ini bisa menjadi acuan untuk mengetahui sejauh mana proses U tahapan
keempat terjadi di organisasi anda:
• Bagaimana anda mempraktekkan perubahan yang diperlukan diri/organisasi anda?
• Bagaimana para leaders menyambut perubahan dan praktek baru mereka dalam menerapkan proses
perubahan?
• Bagaimana proses feedback terhadap perubahan ataupun penyempurnaan dijalankan?
• Sejauh mana mekanisme perbaikan bisa langsung dipraktekkan dengan segera?
• Apa yang masih menjadi penghambat dan perlu ditangani dengan segera?
• Bagaimana para leader menggunakan pola mendengar dan berkomunikasi dari level empati dan
generative?

Tahapan Kelima
Ketika masuk ke tahapan kelima maka apa yang menjadi cetusan inspirasi yang diperoleh dari tahapan
ketiga dan keempat perlu tetap terhubung ke sumber diri kita yang terdalam. Tahapan kelima pada
dasarnya adalah penghayatan skala penuh dari proses transformasi atau inovasi atau solusi yang dijalankan.
Para leader memiliki Infrastruktur untuk mereview dan memberi feedback secara instan atas perubahan
yang terjadi sebagai efek di medan ekosistem. Intensitas hubungan kepada stakehoder dan sistem menjadi
bagian yang perlu dirawat oleh para leader di gerakan ini.

When my knowledge is helpful to the various practitioners in the field –


that is the moment when I know that I know….
Edgar Schein

Proses untuk sampai ke tahapan kelima membutuhkan stamina empat dimensi energi: mental, emosional,
spiritual dan fisik dari seorang leader. Mereka perlu berlatih untuk secara rutin agar mampu memberikan
tambahan batere energi empat dimensi. Para leader yang mampu membawa tahapan kelima
mengembangkan agility dan endurance. Mereka merawat kesehatan jasmani dengan baik, menjaga nutrisi
makan dan minum, mengelola ritme emosi dan memperkuat hubungan spiritual dengan sumber dirinya.
Tantangan dan dinamika proses transformasi akan menimbulkan ketegangan yang dapat menguras energi.
Para leader di tahapan ini melakukan penghayatan utuh dalam proses berpikir-berperasaan dan berperilaku.
Kunci tahapan kelima ada di praktek kontinyu. Para leader berlatih terus mengkondisikan adanya ruang
keheningan dan ketenangan ditengah situasi tekanan dan perubahan yang ada.
Dalam tahapan kelima ini Otto Scharmer menyebutkan bahwa kita perlu menyatukan intelegensi ‘head-
heart and gut’. Ketika head atau akal terlalu kuat maka tidak jarang seorang leader menggunakan logika
dan pikiran transaksional. Ini bukannya tidak perlu namun penggunaan ‘head’ yang dominan akan
menyebabkan sikap dan tindakan yang biasanya didasari rasa kekhawatiran. Proses penyatuan head-heart
dan gut membantu memantapkan pikiran ketika berada pada posisi ragu ragu. Penggunaan heart memberi
arah agar diri kita merasakan apa yang benar dan musti dilakukan. Penggunaan gut memunculkan
keberanian mengambil tindakan. Kombinasi trio head-heart-gut membuat seorang leader terasah untuk
secara intuitif menjadi peka, berwawasan, antisipatif, inspiratif, responsif, kreatif dan berani mengambil
keputusan pada saat yang tepat dan sulit.

Pada tahapan kelima ini menurut Joseph Jaworski yang penting adalah para leader perlu menjaga pada
jalur kompas niatan mereka yang lebih luas dari kepentingan diri sendiri. Leader yang tertransformasi adalah
mereka yang terhubung ke eco (lingkungan) dan melepas ego. Berani mengatakan apa adanya (authentic),
tidak berbohong kepada diri sendiri (self truth) dan dengan tegas mengatakan tidak untuk hal hal yang tidak
selaras dengan value humanismenya. Pola ini bukan hanya menjadi tindakan sesaat tetapi sikap yang
tercermin dalam perilaku keseharian. Mungkin hal ini terdengar idealis namun menurut Simone Amber,
seorang leader dari Schlumberger yang merupakan inovator di corporate social responsibility, dikatakan:
“Ketika kita benar benar mempertahankan niat sejati diri kita sebagai manusia, berani jujur, dan melangkah,
9
maka pintu akan mulai terbuka. Walaupun ada kesulitan namun dengan upaya anda kemudahan akan tetap
diberikan, sepertinya jalur untuk anda dibentangkan olehNya”. Pada tahapan kelima ini para leader tidak
berhenti hanya memperbaiki ide dan menjalankannya namun mereka tetap merasakan apa yang terjadi di
medan dan cepat menangkap setiap kesempatan yang muncul. Mereka fokus memperhatikan dan peka
mendengar munculnya setiap kemungkinan, kesempatan baru dan menindaklanjuti secara instan dengan
operasional diri yang terkoneksi ke purpose, misi, nilai-nilai dan kepentingan ekosistem yang lebih luas.
Beberapa pertanyaan dibawah ini bisa menjadi pointer untuk mengecek apakah proses U tahapan keempat
terjadi di organisasi anda:

Apa inovasi atau terobosan baru yang anda lakukan dalam level perilaku, sikap dan mindset para leader
maupun diri anda sendiri?

• Bagaimana anggota sistem di lingkungan bisnis anda merespon terobosan baru ini?
• Pencapaian apa yang telah berhasil dilakukan? Mana yang masih belum menunjukan hasil? Apa
pembelajaran yang dilalui dari proses penerapan perubahan?
• Perubahan apa yang telah terjadi dengan para leaders yang ada di organisasi anda?
• Apa perbedaan mendasar dari cara organisasi anda mengelola hubungan dengan komponen sistem
yang ada (antara sebelum dan sesudah transformasi)?

Seberapa solid perubahan di tingkat mindset dan perilaku telah terjadi di para leader organisasi anda?
Bagaimana mempertahankan momentum ini terhadap tantangan yang akan muncul di masa datang?
Theory U merupakan pendekatan holistik untuk proses transformasi individual sampai skala organisasi besar.
Namun dalam mengaplikasikan theory U perlu pemahaman yang mendalam tentang tools dan kelengkapan
teknik fasilitasi untuk menjalankan prosesnya. Menurut pengalaman penulis, ada satu institusi keuangan di
Indonesia yang pernah mencoba menerapkan theory U namun tidak berhasil. Yang terjadi adalah kurangnya
pemahaman apa yang diperlukan dalam proses di tiap tahapan dan fasilitator seperti apa yang dapat
membimbing delivery proses U. Kelengkapan menggabungkan berbagai tool, proses dan skill seperti
coaching (minimal level PCC), NLP, psychodrama, social presencing, contemplative approach, iceberg
change, structured thinking, systemic thinking, gestalt approach, clean language, neuroscience based
change, emotional intelligence, group dynamics, konstelasi organisasi akan sangat membantu proses
transformasi U di lima tahapan berjalan dengan efektif. Kelengkapan kemampuan diatas dari fasilitator di
aplikasi Theory U akan membuat perbedaan antara gagal atau berhasilnya memfasilitasi proses transformasi
organisasi menggunakan Teori U.
______________________________________________
Copyright by Leksana TH
leksanath@hotmail.com

10

Anda mungkin juga menyukai