Anda di halaman 1dari 175

"Tolong... tolong kami, Keala, tolong kami....

" Keala
berjalan di sebuah lorong yang diterangi sedikit cahaya
dan kabut di sekelilingnya. Suara-suara bersahutan
berbeda- memanggilnya. Bergantian. Suara-suara yang
berasal dari berbagai penjuru namun tak berwujud.
Suara yang beda; lirih, berat, serak, bahkan ada yang
terdengar seperti suara anak-anak. Keala terus
berjalan. Panik. Ia ingin mempercepat langkahnya
namun kakinya terasa berat, seakan ada yang
menahannya.
Dari kejauhan Keala melihat seseorang di ujung lorong,
sosok laki-laki yang berdiri tegak. Keala tidak bisa
melihat jelas siapa sosok itu, kabut tebal menutupi
pandangannya. Perlahan-lahan langkah Keala hampir
mendekati laki-laki itu. Namun, kabut semakin tebal
menutupi pandangannya, gelap total. Di sekelilingnya
suara-suara itu tidak berhenti memanggil Keala.
Semakin lama semakin keras, bersahutan.
"Keala..."
"Keala..."
Keala membuka mata, terbangun dengan keringat
membasahi badannya. Kepalanya bagaikan ditusuk
ribuan jarum.
Wajah Keala pucat pasi ketika menerima kertas ulangan
akuntansinya pekan lalu. Angka 30 tertera di sana. Berwarna merah
dan dilingkari.

"Ya Tuhaaan... tiga puluuh?" desisnya.

Tubuh Keala mendadak terasa dingin, seolah tak ada lagi darah yang
mengalir. Angka 30 itu terlihat seperti hantu baginya. Sangat
mengerikan. Ia berjalan lunglai ke bangkunya di bagian tengah kelas.

"Dapat berapa?" tanya Ninna.

Keala tak menjawab pertanyaan teman sebangkunya. Ia melipat


kertas ulangannya itu lalu memasukkannya ke saku rok. Meski begitu,
wajah pucat dan untuk memberi gambaran pada Ninna. murungnya
cukup

Ninna tersenyum riang. "Kalem aja, Kea."

Bola mata Keala melebar. Kalem?

Reaksi Keala membuat temannya itu tertawa kecil. “Santai, Keaaa...


santaaai. Jangan melotot gitu.” Keala manyun. "Gimana bisa kalem,
sih, Nin?" "Emangnya nilai kamu berapa?"
Jelek," jawab Keala sedih.
"Di bawah lima puluh?" tembak Ninna.
Keala mengangguk lesu.
"Kalau dapat di bawah lima puluh, kalem aja, Kea. Kalo dapat di bawah nol,
baru boleh stres." Ninna cekikikan.
"Memangnya di sekolah kita ini ada guru yang ngasih nilai di bawah nol?" tanya
Keala pelan. Ngeri sekali membayangkan kemungkinan itu benar-benar ada.
Nilai minus dua puluh, misalnya. Ya benar-benar menyeramkan. ampun! Demi
apa pun, itu
"Ya nggak ada lah," sahut Ninna tergelak melihat ekspresi ngeri di wajah Keala.
Keala menatap sebal pada Ninna. Ia tak mengerti kenapa bisa-bisanya
temannya ini menganggap nilai ulangan akuntansi di bawah lima puluh itu
biasa-biasa aja dan harus disikapi dengan kalem. Apa karena Ninna mendapat
nilai bagus? Delapan puluh? Sembilan puluh? Atau malah seratus seperti
Kevin? Tadi dia sempat melihat angka seratus itu tertera gagah di kertas
jawaban Kevin.
"Kamu dapat berapa, Nin?"
"Empat puluh," sahut Ninna enteng.
Keala terperangah. Empat puluh... dan Ninna masih setenang itu? Bagaimana
bisa? Ah, bercanda kali. Seperti tahu apa yang dipikirkan oleh Keala, Ninna
menyodorkan kertas jawabannya. "Nih, lihat aja sendiri." Keala melongo. Nilai
yang tertera di kertas ulangan Ninna benar-benar 40. Hanya sedikit lebih baik
dari
Nilainya. Sedikit lebih baik tapi sama-sama di bawah lima puluh.

Keala menatap Ninna, ingin menanyakan sesuatu. Namun, tidak jadi karena Pak
Edwin telah memulai pelajaran akuntansi, membahas soal ulangan kemarin.
Kelas hening. Hanya suara bariton guru itu yang terdengar.

Keala berusaha memusatkan konsentrasinya. Akan tetapi, penjelasan Pak


Edwin hanya sebagian saja menyangkut di otaknya. Berkelebat masuk, lalu
keluar dan menghilang begitu saja.

Diam-diam Keala memperhatikan sekelilingnya. Semua terlihat sangat serius. Ia


kembali memperhatikan papan tulis. Angka-angka rupiah yang tertera di papan
tulis mendadak ber-Harlem Shake dalam pandangannya. Joget-joget nggak jelas
juntrungannya. Kepala Keala sakit, sekilas teringat lagi lorong gelap yang dia
lalui dalam mimpinya semalam dan sepintas terdengar suara-suara lirih
memanggilnya, “Keala...”

“Heh, bengong aja! Cepet kerjain soal-soal di papan tulis,”Ninna berbisik sambil
menyikut pelan, menyadarkan Keala dari lamunan.

Ninna tertawa ketika mendengar pertanyaan Keala.

“Iiih, kok malah ketawa, sih, Nin?” sungut Keala. “Nggak lucu, lagi.”
Perlahan Ninna berhenti tertawa, tetapi senyum geli masih bertengger di
bibirnya.

"Kamu tuh anch, Nin. Dapat nilai empat puluh tapi masih aja ketawa-ketiwi.
Makin aneh lagi karena nyaranin aku supaya tetap kalem biarpun dapat nilai
tiga puluh. Itu kan nilai yang jelek banget, Ninna," ujar Keala.

Ninna merentangkan kedua lengannya lebar-lebar. "Welcome to SMA 79


Bandung, Keala."

Keala mengangkat alis, tak mengerti. Ia sudah satu bulan lebih menjadi murid
di SMA 79 Bandung ini, tepatnya di kelas XI IPS. Kenapa baru sekarang
temannya ini mengatakan welcome? Kenapa bukan di hari pertama Keala
masuk ke sekolah dan duduk di sebelah Ninna?

Ekspresi Keala malah membuat senyum Ninna semakin lebar. "Kea, guru-guru
di sekolah kita ini memang pelit nilai. Raja dan Ratu Tega deh, kalo soal ngasih
nilai. Nilai-nilai di bawah lima puluh itu biasa."

"Biasa?"

Ninna mengangguk. "Baru terasa kita nggak bego itu kalo udah diadu pinternya
sama anak-anak SMA lain. Kayaknya pelajaran di sekolah kita ini standarnya
ketinggian, deh."

Keala tertegun. Ia baru mengetahui hal ini. Ketika mendaftarkan Keala ke SMA
ini, Bunda hanya bilang sekolah ini bagus. Kalau soal bagus, Keala percaya. Tapi
soal standar nilai yang ketinggian, itu tak pernah diungkap.

"Mungkin guru-guru yang ngajar di sekolah kita ini


Dulu dites di atas gedung bertingkat enam puluh, deh,” celetuk Ninna.
“Eh?”
“Iya, makanya standarnya jadi ketinggian gitu,” Ninna cekikikan sendiri.
Keala Cuma meringis kecut mendengar candaan Ninna. Ia sama sekali tak bisa
tertawa. “Tapi Kevin bisa dapat seratus,” sanggah Keala.
“Yaelaa! Kevin mah anomali, Kea!”
“Anomali?”
“Dia mah kayaknya mengalami mutasi gen.’
Keala makin tak mengerti.
Ninna tertawa. “Lebay aja kok. Hehehe... nggak, nggak sampe mengalami
mutasi gen kok. Nggak usah sampai shock gitu. Kevin itu Cuma oknum. Oknum
yang nggak mau kompak dengan kebegoan kita-kita.”

Keala tersenyum tipis. Ia ingat, ulangan Matematika kemarin Kevin mendapat


nilai seratus. Jauh berbeda pun dengan Keala yang hanya mendapat nilai 45.
Setengahnya Kevin pun tak sampai.

“Kalo Kevin bisa, harusnya kita juga bisa, kan?”

“Bisa aja. Kenapa enggak?” balas Ninna enteng.

“Kevin itu memang pinter ya?” tanya Keala.

“Eciyeeeh... nanya-nanya Kevin,” goda Ninna. “Ada apa, niiih? Ehm! Jangan-
jangaaan... jangan-jangaaan ... ” Wajah Keala menghangat. “Nanya doang, kok.”

“Lebih dari nanya juga nggak apa-apa,” goda Ninna lagi.


"Iiih apaan, sih?" Keala mencubit Ninna.
Ninna senyum-senyum. "Kevin emang jagoan di pelajaran yang ada angka-
angkanya. Matematika, akuntansi, ekonomi. Tapi dia bego juga sih kalo
pelajaran yang isinya kebanyakan hafalan. Padahal di kelas IPS kan banyakan
pelajaran hafalan."
"Mestinya dia masuk IPA, ya?" tanya Keala.
"Aku nggak mau masuk IPA."
Mereka menoleh. Keala tersipu ketika tahu Kevin yang menyahut. Sudah
berapa lama Kevin di situ? Sudah mendengar apa saja?
"Tapi kamu jago itung-itungan gitu, Kev," ujar Keala, berusaha bersikap biasa
saja.
“Aku suka matematika, tapi nggak suka biologi, apalagi kimia," sahut Kevin.
"Tuh! Aneh, kan?" celetuk Ninna.
"Masalah, Nin?" tanya Kevin.
Ninna mencibir. "Kagak!"
"Santai aja, Kea," seru Kevin ceria.
Keala menatap Kevin. "Santaaai?" hatinya berteriak frustrasi. Frustrasi karena
bisa-bisanya Kevin dan Ninna menyarankannya untuk santai. "Gimana bisa
santai melihat nilai ulangan akuntansiku hanya tiga puluh? Gimana caranya
bilang sama Bunda? Bunda pasti kecewa. Bunda seorang akuntan jempolan,
tapi... Keala Jasmine, putri sulungnya hanya mendapat nilai tiga puluh untuk
pelajaran akuntansi? Jadi, santai yang dimaksud seperti apa? Santai kayak di
Pantai? Oh, bagus. Itu pasti bisa. Mungkin aku harunya kabur ke pantai aja biar
bisa santai sekalian,” batin Keala galau.

“Kamu pasti bisa ngejar. Sekarang kami masih shock. Masih beradaptasi dengan
sekolah kita ini,” lanjut Kevin.

“Mudah-mudahan gitu,” sahut Keala lemah.

“Yaaah, walau kamu nggak akan bisa ngalahin aku, sih,” ucap Kevin sambil
tertawa lalu pergi dari hadapan Keala.

Keala cemberut memandang Kevin yang berjalan ke luar kelas. Ia merasa tak
begitu yakin. Jangankan bisa ngalahin Kevin, bisa mendekati nilai-nilainya pun
Keala sangsi. Sebentar lagi UAS semester ganjil. Nilai-nilai UTS-nya kemarin
jelek-jelek. Nilai tes harian setelah UTS pun menyedihkan. Ngeri rasanya
membayangkan nilai yang nanti akan tertera di rapor pertamanya di sekolah ini.
Rapor pertamanya di kelas IPS yang ia idam-idamkan
Kaela baru satu setengah bulan tinggal di Bandung. Baru satu setengah bulan
pula bersekolah di SMA yang katanya paling bagus di Bandung. Sebelumnya,
Keala bersama Bunda dan adiknya, Syilla tinggal di Banjarmasin.

Baginya, bersekolah di Banjarmasin adalah saat-saat yang paling


menyenangkan. Siapa yang tak kenal Keala Jasmine?

Keala memang bukan yang paling cantik di sekolahnya dulu. Priska yang
seorang model itu jauh lebih cantik dari Keala. Cantik dan semampai. Sheila
yang beberapa kali memenangkan pemilihan putri-putrian pun lebih cantik.
Darah blasteran Indonesia Jerman dalam dirinya membuat wajah indonya
selalu enak dipandang.

Namun, kecantikan Keala terlihat berbeda karena ia pintar. Cantik dan pintar
telah menempatkan Keala menjadi cewek ideal dan idola di sekolahnya.
Semester pertama di SMA, Keala menempati rangking 4 di kelasnya. Semester
kedua, Keala lebih tekun belajar. Hasilnya, ia
Naik ke kelas sebelas dan menggenggam rangking 2.

Keala terlihat lebih menarik ketika dia mengambil keputusan yang


mengejutkan. Dia memilih jurusan IPS.

Keputusannya memilih jurusan itu mengejutkan banyak orang. Dia memang


pernah bilang sama teman- temannya akan memilih jurusan IPS di kelas
sebelas nanti. Namun, tak ada yang menganggapnya serius. Mereka
menganggap Keala hanya bercanda. Hanya iseng.

Kenapa juga dia harus masuk ke jurusan IPS? Banyak orang yang menilai kalau
jurusan IPS itu jurusan nomor dua. Jurusan yang menampung anak-anak yang
tak diteri- ma di jurusan IPA. Bukan jurusan yang favorit.

Keala?

Keala juara kelas. Dulu pun dia masuk ke SMA itu dengan nilai rata-rata
sembilan. Dia bisa dengan mudah masuk ke jurusan IPA dan tak perlu
membuang-buang waktu untuk belajar di kelas IPS. Bu Yanti, guru wali kelasnya
di kelas X-5, bahkan sampai memanggil Bunda ke sekolah. Beliau merasa perlu
berbicara enam mata dengan Bunda dan Keala. Bu Yanti merasa sayang jika
siswi secemerlang Keala harus masuk jurusan IPS dan yakin Keala bisa lebih
berkembang jika masuk ke jurusan IPA.

“Saya ingin jadi akuntan seperti Bunda, Bu,” sahut Keala mantap.

Bunda melirik Keala.

Bu Yanti menatap Keala dengan serius.


Bukan Bunda yang nyuruh, Bu. Saya aja yang kepengin. Saya sering ngeliat
kerjaan Bunda. Asyik banget,” tutur Keala.
“Ke, walau kamu ambil jurusan IPA, kamu tetap bisa jadi akuntan. Ketika ikut
tes masuk perguruan tinggi, kamu bisa ambil program IPC. Kamu masih bisa
memilih jurusan akuntansi,” ujar Bu Yanti.
Keala diam mendengarkan, matanya asyik mem- perhatikan motif taplak di
meja Bu Yanti.
“Dari jurusan IPA, kamu punya kesempatan yang lebih besar. Kalau kamu
mengambil jurusan IPS, lalu tiba-tiba kamu tak ingin lagi menjadi akuntan, akan
susah mengikuti tes jurusan IPA di tes masuk nanti,” lanjut Bu Yanti.
Keala mengangkat pandangan, menatap Bu Yanti. “Nggak akan tiba-tiba
berubah deh, Bu,” ujarnya.
“Pikirkan lagi, Ke.”
Keala tersenyum. “Saya ingin jadi akuntan, Bu. Kalau masuk IPS, saya bisa
belajar akuntansi dan ekonomi lebih dulu dibandingkan calon teman-teman
kuliah saya yang sekarang malah ngambil jurusan IPA,” tutur Keala. “Saya nggak
mau membuang dua tahun waktu untuk belajar fisika, kimia, atau biologi.”
Nada suara Keala terdengar mantap. Keputusannya sudah bulat, tak bisa lagi
diganggu gugat.
Bu Yanti berpaling dari Keala, menatap Bunda.
Bunda tersenyum. “Saya, sih, terserah Keala, Bu.
Keala yang nanti akan menjalani masa depannya. Selama pilihannya baik dan
bisa dipertanggungjawabkan, saya akan mendukung Keala.”

Nada suara Bunda sama mantapnya dengan suara Keala. Bedanya, Keala lebih
meletup-letup, sedangkan Bunda lebih tenang.

Bu Yanti menatap ibu dan anak di depannya itu ber- ganti-ganti. Sesaat
kemudian Bu Yanti mengambil bolpoin dan menulis di buku rapor Keala: Naik
ke kelas XI IPS.

Sudah bersikeras memilih jurusan IPS, ternyata Keala tak bisa lama-lama
berada di sana. Belum genap dua bulan ia menikmati jadi murid di kelas itu,
bundanya dipindahkan ke kantor pusat di Bandung. Bunda Keala tak perlu
berpikir panjang untuk menerima penugasan itu. Setelah bercerai, Banjarmasin
bukan lagi kota yang menyenangkan bagi keluarga ini. Terlalu banyak kenangan
yang menyakitkan. Setelah menunggu dua tahun, barulah permohonan pindah
tugas ke Bandung itu dikabulkan.

Saat menyampaikan kabar itu wajah Bunda terlihat begitu bahagia. Keala dan
Syilla tak berkedip menatap Bunda a yang menyampaikan kabar gembira itu.

Kabar gembira?

Keala tak tahu harus gembira atau apa. Dia senang melihat binar bahagia di
mata Bunda. Binar bahagia yang beberapa tahun ini jarang diperlihatkan. Tapi
meninggalkan sekolahnya? Meninggalkan kelas barunya? Meninggalkan teman-
temannya?
Syilla yang baru kelas tujuh SMP pun berpikiran sama. Tetapi adiknya ini lebih
simpel. Mungkin karena baru masuk dan belum punya sahabat dekat.
"Tanggal lima bulan depan Bunda sudah mulai kerja di kantor Bandung."
"Tanggal lima bulan depan?" ulang Keala, menatap
kalender dinding.
"Ya."
"Bun, itu kan tinggal dua minggu lagi!" seru Keala, tak bisa menutupi
keterkejutannya.
Bunda mengangguk. "Ya."
"Mendadak banget sih, Bun?" tanya Syilla.
"Tadinya bos Bunda malah minta Bunda udah di Bandung minggu depan. Tapi
Bunda minta seminggu lagi karena harus mengurus sekolah kalian. Bunda kan
nggak mungkin meninggalkan kalian di sini."

Keala tahu Bunda benar. Tak mungkin tinggal di Banjarmasin tanpa Bunda.

"Bunda juga harus menemui agen properti."

"Untuk?" Keala mengerutkan kening.

"Untuk menjualkan rumah ini, Sayang."

Keala terdiam. Mereka telah menghabiskan banyak tahun di rumah ini. Setelah
Bunda dan Ayah berpisah, rumah ini jatuh ke tangan Bunda. Banyak sekali
kenangan di sini. Dan sekarang Bunda akan menjual rumah ini.

Keala tercenung. Banyak kenangan di sini tapi apakah masih perlu dikenang?
Apa tidak sebaiknya dilupakan saja selamanya?
Ada perih di hatinya ketika sepotong kenangan itu mencuat lagi ke permukaan.
Bunda yang menangis setelah bertengkar dengan Ayah. Bibir dan pelipisnya
berdarah, serta matanya bengkak membiru setelah kepalan tangan Ayah
berkali-kali mendarat di wajah Bunda. Suara Ayah yang menggelegar
membentak ketika dia mau menolong Bunda. Tangan kokoh Ayah yang
mendorongnya menjauhi Bunda.

Kenangan pahit itu... memang harus dilupakan. Bunda benar. Lebih baik
menjual rumah ini. Mengubur semua kenangan itu,

Keala menelan ludah. Menahan kuat-kuat air mata yang mau meluncur turun.
"Jadi, kita selamanya akan tinggal di Bandung, Bun?" tanya Keala lirih.

Bunda mengangguk. "Ya, Ke. Kita tidak akan kembali ke sini. Kita akan tinggal di
Bandung. Nanti, kita beli rumah yang baru."

Keala menunduk. "Selamat tinggal, Banjarmasin. Aku cuma punya waktu dua
minggu lagi di sini. Setelah itu aku akan pergi dan tak akan kembali," hati Keala
bergumam lirih. Ia memang senang dapat meninggalkan rumah yang telah
menorehkan luka di hati Bunda, di hatinya. Namun, ia tak bisa menepis rasa
sedih yang muncul saat membayangkan harus berpisah dengan dengan
sahabat-sahabatnya. Tita dan Dian. Dan Andre... baru juga pedekate sudah
harus berpisah.

"Santai aja, Kakaaak," celetuk Syilla. "Di Bandung


nanti pasti lebih asyik. Nggak perlu takut ketemu Ayah. Nggak perlu takut
dimarah-marahi dan dipukul lagi seperti dulu. Seneng banget kan, Kak?"
Keala melirik adiknya. Dulu ia dan Syilla pun pernah dipukul oleh Ayah. Kalau
bukan karena Bunda yang selalu memeluk dan menenangkan mereka, entah
apa jadinya. Bunda menguatkan mereka, mengabaikan lebam-lebam di
tubuhnya sendiri. Bunda pula yang melaporkan Ayah pada
polisi, sekaligus menggugat cerai ke pengadilan agama. "Kakak mikirin bakal
pisah sama temen-temen, kan?" tanya Syilla mengusik lamunan Keala.
Keala mengangguk. Alisnya terangkat sedikit. Bisa- bisanya Syilla menebak
dengan tepat.
"Kan tetap bisa kontak-kontakan lewat Facebook atau Twitter. Masih bisa SMS-
an juga kan?"
Facebook, Twitter, SMS. Tentu saja. Keala melirik Syilla lagi. Adiknya itu biarpun
masih kecil, tetapi selalu berpikir logis. Tak seperti Keala yang cenderung
melankolis.
Syilla tersenyum cerah pada Keala. Senyum itu menular pada Keala. Syilla
seperti air yang menyejukkan.

Keala tersenyum tipis, membulatkan hati untuk menerima keputusan Bunda.


Apa pun, kalau itu bisa membuat Bunda bahagia, bisa membuat Bunda
melupakan perih dan air mata....

"Di Bandung nanti, Kea sekolah di mana, Bun?"

"SMA 79," jawab Bunda tanpa ragu.

"Sekolah Bunda dulu?" tanya Keala.

"Ya."
"Syilla di mana, Bun?"

"SMP 135," sahut Bunda. "Itu SMP bagus dan letaknya nggak jauh dari rumah
Nenek. Untuk sementara kita tinggal di rumah Nenek ya. Kalau urusan sekolah
sudah beres, baru kita cari rumah. Di dekat-dekat rumah Nenek saja."

"Bunda udah ngedaftarin Kea dan Syilla di sana?" tanya Keala. Ia tak terlalu
tertarik dengan urusan mencari rumah baru. Setidaknya untuk saat ini.

"Belum," sahut Bunda. Kan surat pindah dari sini juga belum beres. Tapi Bunda
udah tanya ke sana. Masih ada kursi kosong di kelas XI IPS. Di kelas tujuh SMP
135 juga masih ada kursi kosong."

Keala diam saja mendengar penuturan Bunda. Bunda terlihat begitu antusias
karena akan pindah ke Bandung. Bunda bahkan sudah menyiapkan rencana
sesempurna itu. Keala tak bisa lagi mengingat kapan Bunda seantusias dan
sebahagia itu.

Ketika Keala lulus SMP dengan nilai rata-rata sembilan, Bunda tak seperti ini.
Ketika Keala meraih rangking dua saat naik ke kelas XI, Bunda pun tak seperti
ini. Memang ada binar bangga di mata Bunda, tetapi tak seperti sekarang ini.

Binar di mata Bunda itu menyadarkan Keala bahwa dua tahun ini Bunda tak
pernah benar-benar bahagia. Kebahagiaan Bunda hilang bersamaan dengan
berubahnya perilaku Ayah pada Bunda, Keala, dan Syilla. Ayah
Yang penyayang berubah menjadi Ayah yang mengerikan setelah beberapa kali
gagal berbisnis dan mengalami kerugian besar. Ayah menyalahkan Bunda,
menyalahkan Keala, menyalahkan Syilla... perempuan-perempuan yang
disebutnya sebagai pembawa sial.

Keala baru menyadari, keinginan terbesar Bunda adalah secepat mungkin


meninggalkan kota ini.

“Itu SMA terbaik di Bandung, Ke. Kamu pasti akan suka sekolah di sana.

Jadi, di sinilah Keala, Syilla, dan Bunda sekarang. Di kota Paris van Java.
Bandung. Kota kelahiran Bunda.

Berbeda dengan Banjarmasin, kota ini sejuk. Di tengah kota ramai dengan
berbagai tempat belanja dan kuliner. Di sinilah surga untuk memanjakan mata
dan lidah.

Satu lagi yang berbeda dengan Banjarmasin, kota ini penuh dengan mobil
angkutan kota. Angkot di mana- mana. Itu yang dilihat Keala setelah beberapa
minggu menetap di Bandung. Angkot-angkot di Bandung seperti permen aneka
rasa dalam stoples. Jika permen dalam stoples itu beraneka warna bermacam
rasa, maka angkot di Bandung beraneka warna berbagai jurusan.

Seperti rencana Bunda, Keala sekolah di SMA 79 Bandung. Kata Bunda, dulu
hanya ada satu kelas IPS dan namanya A3 atau Sosial. Tak banyak murid SMA
ini yang berminat ke kelas IPS.
Lebih dari 95 persen yang sekolah di sana menyukai pelajaran eksakta dan
setengahnya termasuk kategori tergila-gila pada pelajaran itu. Dari sebelas
kelas dalam satu angkatan, hanya ada satu kelas IPS. Tak pernah lebih dari satu
kelas IPS di sepanjang sejarah sekolah itu.
Dan itulah yang ditemui Keala pada hari pertamanya di SMA ini. Tetap
konsisten selama puluhan tahun. Hanya ada satu kelas XI IPS dan tentunya satu
kelas XII IPS.
Yang membuat Keala terkejut, kelas IPS yang hanya satu itu pun tak penuh
terisi. Kelas yang berkapasitas 40 murid itu masih menyisakan sembilan bangku
kosong. Dengan kedatangan Keala, berarti ada 32 murid di kelas ini. Masih bisa
menampung delapan murid lagi.
Sedikit sekali.

Jauh berbeda dengan peminat kelas IPA sesak yang peminat.

Kenapa bisa sedikit begini ya? Tak ada yang berminat? Atau... hei! Jangan-
jangan ini benar-benar kelas buangan. Yang tak diterima di kelas IPA, dilempar
ke sini.

Ah, pasti tak banyak yang seperti Bunda kelas IPS karena benar-benar
berminat, bukan karena ditolak oleh kelas IPA. Yang memilih

Seperti Bunda. Seperti Keala.

Dugaan Keala langsung buyar pada hari pertamanya belajar di kelas XI IPS itu.
Murid XI IPS yang Cuma segelintir ini bukan anak-anak buangan. Mereka pintar-
pintar.
Bunda tertawa mendengar cerita Keala. "Tentu aja, dong, Kea. Ini SMA terbaik
di Bandung, bahkan salah satu yang terbaik di Indonesia. Dan Bunda bangga
menjadi salah satu alumnusnya."
Kata-kata dan tawa Bunda terus mengiang di telinga Keala. Bunda bangga
menjadi salah satu alumnusnya.
Bunda bangga.
Aku? Apa aku bisa bangga? Apa sekolah ini bisa bangga punya murid seperti
aku? Apa yang bisa dibanggakan dari aku? I'm nobody!
Satu bulan ini Keala merasa hidupnya seperti berada di atas roller coaster.
Bergerak naik lalu turun tiba-tiba, lalu berputar cepat sebelum ia sempat
menyadari apa yang terjadi.
Sinar Keala meredup.
Di sekolah barunya ini Keala bukan lagi idola. Di sini Keala bukan siapa-siapa. Ia
sekadar murid pindahan di kelas XI IPS.
Cantik?
Wajah-wajah cantik bertaburan di sekolah ini. Wajah- wajah yang tak hanya
cantik, tapi juga pintar walaupun tak sedikit yang sombong.
Pintar?
Ya Tuhaaan.
Keala sungguh menyesal tak pernah benar-benar menyimak cerita Bunda
tentang sekolah ini. Bagi Keala cerita Bunda hanyalah cerita nostalgia. Hanya
kenangan
Tentang masa-masa sekolah di sini. Itu saja.

Kini Keala dihadapkan pada kenyataan. Kenyataan bahwa anak-anak pintar


berkumpul di sekolah ini. Kenyataan bahwa sekolah ini penuh dengan anak-
anak berprestasi. Kenyataan bahwa di sini kemampuan Keala seolah tak berarti
apa-apa.

Ninna dengan senang hati menceritakan siapa saja yang bersekolah bersama
mereka di sini, yang sama-sama duduk di kelas sebelas.

“Arya yang pelajar teladan nasional tingkat SMP ada di sini.”

“Arya?” Keala mengulang nama itu lambat-lambat. Dulu Keala mengikuti seleksi
pelajar teladan di sekolahnya. Namun, ia terhenti di tingkat kotamadya.
Peringkatnya di tingkat kotamadya sangat jelek. Konsentrasinya buyar karena
masalah keluarga. Meski begitu, ia terus mengikuti berita tentang pemilihan
pelajar teladan itu sampai ke tingkat nasional. Hingga muncul yang terbaik di
antara yang terbaik.

“Arya Dirgantara?” tanya Keala.

“Betoool,” Ninna mengacungkan kedua ibu jari tangannya.

“Arya Dirgantara sekolah di sini?” Keala memastikan. Ninna mengangguk. “Ya.


Kelas XI IPA 4.”

“Orangnya gimana, Nin?”

“Pinter bangeeet,” sahut Ninna. “Saya sekelas dengan- nya waktu kelas
sepuluh, oh ya dengan Kevin juga.”
Bola mata Keala sedikit melebar. Oh, pantas saja Ninna dan Kevin akrab begitu.
"He-ch. Arya tuh cakep," Ninna nyengir, kemudian melanjutkan dengan suara
pelan, "Eung... masih cakepan Kevin, sih. Tapi kalo Kevin pinternya di
matematika dan akuntansi doang. Kalo Arya pinter di semua pelajaran, kecuali
olahraga."
"Masa?" Keala menatap Ninna. "Cowok kan biasanya jago olahraga."

"Arya kan bukan cowok biasa. Hehehe..."

Keala tersenyum geli.

"Kalo Kevin sebaliknya. Dia tuh jago olahraga cuma... ya gitu, deh." Ninna
terdiam sejenak. "Eh Kea, mau saya kenalin sama Arya nggak? Dia masih
jomblo, lho."

Keala meringis. Lalu kenapa kalau Arya masih jomblo? Mau pedekate? Punya
modal apa buat pedekate dengan Arya Dirgantara? Nilai ulangan akuntansi
yang cuma 30? Nilai geografi yang 40? Atau matematika yang 45? Arya
Dirgantara yang pinter banget itu nggak mungkin mau melirik murid pindahan
dengan nilai jungkir balik seperti

ini. Keala hanya menggeleng lemah. "Tanzilla juga sekolah di sini. Kelas XI IPA
1."

"Tanzilla?" tanya Keala.

"Juara olimpiade fisika tingkat SMP," jelas Ninna. "Trus, Revan juga di sini. Kelas
XI IPA 9. Pemenang lomba karya ilmiah tingkat SMP."

"Revan Aditya?" tebak Keala.


Ninna mengangguk. "Ternyata kamu ngikutin berita tentang Revan dan Arya ya,
Kea?"

"Ngikutin sih enggak," clak Keala, "tapi kebetulan dulu aku baca berita tentang
mereka. Revan itu dulu SMP-nya di Lampung, kan?"

Ninna mengangguk lagi. "Iya."

"Nggak nyangka bakal satu sekolah dengan mereka di sini," ujar Keala pelan.

"Nggak cuma satu sekolah, Kea. Kamu juga bisa kok, temenan sama mereka.
Cumaaa... Revan itu jenis cowok yang cool dan seriuuus banget. Saking
seriusnya, jadi nggak asyik kalo ngobrol sama dia. Kita udah bercanda kayak
gimana pun, dia teteeep aja serius. Hiiih! Masih mendingan Arya, deh," celoteh
Ninna. "Arya itu biarpun pinter banget gitu tapi masih suka ngocol. Sayang,
kengocolannya sering garing. Kalo Kevin, biarpun pinter dan cakep, tapi dia
suka bolos."

Keala nyengir. Ia sudah tahu itu. Kevin sering tak ada di kelas saat pelajaran
sosiologi, sejarah, geografi, atau bahasa Indonesia.

Ninna meneruskan mengabsen murid-murid sekolah mereka yang memiliki


prestasi yang berkibar-kibar seperti bendera. Keala sampai tak sanggup
terperangah lagi mendengar deretan nama dan prestasi teman-teman barunya
di sekolah ini.

"Kalau di kelas kita sendiri, kamu mungkin udah


Prinsip saya mah nggak semua orang dilahirkan untuk menjadi ahli dalam
bidang eksakta. Bener, kan, Kea?” lanjut Ninna dengan logat Sunda yang kental.

Keala mengangguk saja.

“Lagi pula waktu SMP saya juga bukan siapa-siapa, kok. Bukan juara ini itu
seperti Arya, Revan, Tasya, Dion, dan yang lainnya. Saya, mah, biasa aja.
Kebetulan aja nilai UAN saya nol koma nol satu poin di atas batas minimal yang
diminta sekolah kita ini. Udah, deh masuk,” tutur Ninna enteng.

Keala tercenung. Diam-diam dia menarik napas panjang. “Ninna bisa enteng
saja begitu karena ia bukan siapa-siapa ketika SMP. Aku? Aku bintang pelajar di
SMP dulu. Aku bahkan sempat menjadi bintang di SMA yang lama. Tapi di sini
aku berhadapan dengan ratusan bintang yang lebih terang. Bagaimana aku
nggak terpuruk?” Keala hanya bisa berujar dalam hati.

Lebih jauh dari itu, Keala takut prestasinya yang menyedihkan ini akan
membuat Bunda sedih.

Tidak. Bunda tak boleh bersedih lagi. Sudah terlalu banyak air mata Bunda yang
tumpah. Bunda harus berba- hagia. Harus. Aku harus bisa membuat Bunda
bahagia. Aku harus bisa membuat Bunda tersenyum bangga de- ngan
prestasiku.

Mendadak kepala Keala sakit tak karuan memikirkan semuanya. Bagaimana


caranya membahagiakan Bunda dengan nilaiku sekarang ini?
Tita SUJU Lover:

"Keaaa...! Aku baru tahu. Rupanya Arya Dirgantara yang pelajar teladan
nasional waktu SMP itu satu sekolahan dengan kamu, ya? Wadooow, keren
banget bangeeettt. Aku baca profilnya di majalah Teenager. Tahun ini dia ikut
seleksi buat tingkat SMA nggak, ya?

Aslinya Arya itu gimana, Kea? Seunyu fotonya di majalah atau nggak, ya? Eh,
aku attach nih fotonya yang di majalah. Aslinya memang kayak gini atau malah
lebih unyu? Atau unyuan fotonya? Bales, ya, Keaaa. Penasaran, nih. Ohoho....

Keala merebahkan tubuh di tempat tidur. Ia meletakkan tas sekolahnya begitu


saja di lantai kamar. Kepalanya terasa sangat pusing. Huh! Rasanya waktu di
Banjarmasin dulu nggak pernah cenat-cenut gini cuma gara-gara sekolah, deh.
Beberapa minggu di sini kok sering banget pusing.

Pesan di inbox Facebook dari Tita membuat kepalanya semakin pusing. Dapat
pesan dari teman lama sih, menyenangkan. Tapi isinya itu, lho. Tita ngirim
pesan cuma buat ngebahas Arya? Owh ... ngebahas Arya sama saja dengan
mengingatkan Keala sama kesulitannya di sekolah. Meski demikian, Keala tetap
membalas pesan Tita. Bagaimanapun Tita adalah sahabatnya.
K-Jasmine:

Iya, Arya satu sekolah sama aku tapi dia kelas IPA. Nggak tahu juga, Ta.
Mestinya sih ikut. Orang pinter banget gitu. Sama, deh. Aku juga nggak nyangka
bakal satu sekolahan sama Arya.

Aslinya? Nggak jauh beda dengan fotonya, kok. Orangnya juga ramah. Suka
ngelucu walaupun lebih sering nggak lucunya. :D

Setelah mengirim balasan itu, Keala meletakkan ponselnya di kasur. Dia


memejamkan mata dan meletakkan sebuah bantal di atas kepalanya. Berharap
dengan cara begitu pusing di kepalanya akan mereda.

Stres? Perubahan suhu di Bandung yang cukup drastis? Dingin menggigit pada
malam hari dan panas membara pada siang hari? Minum cincau es krim
setelah berpanas- panas di siang hari? Siapa juga yang bisa menolak godaan
segelas cincau hijau dengan es krim vanila di atasnya? Slruuup. Enak banget.
Nggak salah kalau orang-orang bilang Bandung ini surga makanan dan
minuman.

Membahas kuliner Bandung pasti lebih menyenangkan daripada membahas


apa pun yang berhubungan dengan sekolah, meskipun itu bernama Arya
Dirgantara.

Setelah beberapa menit membenamkan kepala di bawah bantal, Keala


mengambil kembali ponselnya. Apa
Tita sudah membalas pesannya? Ternyata sudah. Sayangnya, Tita sama sekali
tak berminat membelokkan obrolan ke arah kuliner.

Tita SUJU Lover:

Kamu udah kenalan sama dia kan, Kea? Mau dong, kenalin aku juga. Bodo deh,
orang lain nguber-nguber seleb. Aku sih mau nguber cowok-cowok pinter aja.
Cowok pinter itu kan kesannya emh... seksiiii. Hehehe... lagian ngejar SUJU kan
susyaaah. Masa mesti ke Korea sono dulu? Kalo ada yang mau ngasih ongkos
sih aku mau-mau aja.

Eh, Kea, di majalah itu katanya Arya masih jomblo, lho. Bener nggak? Atau
Cuma pencitraan? Hahaha... Pencitraan! Kayak apa aja.

Keala tersenyum. Membaca pesan Tita seperti mendengar suara sahabatnya itu
berceloteh. Cerewet, nyaris tanpa titik koma. Masih mending pesan tertulis ada
tanda baca. Kalau lisan? Huaaah! Kecepatan bicara Tita sepertinya saingan
dengan laju mobil balap Fernando Alonso di ajang F1. Tak kenal titik koma.

K-Jasmine:

Seksi? Seksi apaan, Ta? Seksi keamanan? Di sekolahku yang sekarang ada tuh
ekskul keamanan. Minat juga
Nggak? Isinya cowok melulu. Ceweknya Cuma empat orang kalo nggak salah.

Kata temen sebangkuku sih, Arya memang masih jomblo Ninna, temen
sebangkuku itu kan sekelas sama Arya waktu kelas X. Kenapa Ta? Minat? :D

Balasan Tita datang tak pakai lama. Tak mengherankan, sih. Dari dulu Keala
tahu sahabatnya itu maniak Facebook Bagi Tita, tak ada hari tanpa ber-
Facebook-ria.

Tita SUJU Lover:

Hahaha... aku kan jauh, Keaaa! Nggak ah. Aku nggak minat LDR ah. Aku udah
cukup puas jadi penggemarnya, kok. Eh Kea, kenapa nggak kamu aja yang
pedekate sama dia? Satu sekolah gitu lho, Ke.

Keala tak langsung membalas pesan Tita kali ini. La tercenung beberapa menit.
Menatap kosong pada baris- baris kalimat yang ditulis Tita. Aku? Pedekate
sama Arya? Yang benar saja!

K-Jasmine:

Pedekate sama Arya? Duuuh! Nggak, ah. Eh kabar Andre gimana, Ta?
Usul Tita tentang pedekate itu membuat Keala teringat pada Andre, teman
sekelasnya dulu. Mereka sedang pendekatan ketika Bunda dimutasi ke
Bandung.

Jarak menjauh, pendekatan pun berubah menjadi penjauhan.

Tita SUJU Lover:

Yaelaaah... malah nanyain Andre. Udah, nggak usah ngurusin Andre.


Mendingan Arya, Ke. Dibandingin Arya sih, Andre nggak ada apa-apanya.

Kalo menurut aku sih cocok, Kea. Beneran. Arya cakep, pinter. Kamu juga cantik
dan pinter. Ideal banget. Waaa... nanti pasti menghasilkan generasi muda
genius kebanggaan bangsa. Hihi....

Keala meringis kecut ketika membaca balasan dari Tita. Pedekate ke Arya?
Cantik dan pintar? Ah!

Kalau saja Keala mengenal Arya saat masih SMP atau saat masih di SMA 61,
pasti tak akan ada kesulitan berarti untuk dekat dengannya. Tapi sekarang?
Punya modal apa untuk mendekati Arya?

Cantik? Hm, sudah jelas wajah-wajah cantik dan cantik banget bertebaran di
sekolah ini. Pintar? Astagaaa! Nilai ulangan jungkir balik terhantam badai
halilintar begitu mana bisa dibilang pintar? Nggak! Nggak ada
Modal apa-apa untuk mendekati Arya atau siapa pun.

Keala meletakkan ponselnya di meja belajar, lalu kembali merebahkan tubuh. Ia


tak berminat lagi membalas pesan Tita. Pesan terakhir Tita hanya membuatnya
sedih. Membuatnya teringat bahwa di sekolahnya yang baru ini ia bukan siapa-
siapa. Nobody!

Bagaimana dulu Bunda bisa bertahan dan menikmati sekolah di sini?


Bagaimana Bunda bisa menganggap saat- saat sekolah di sini ini adalah saat-
saat yang paling indah? Bagaimana caranya? Apa ini hanya masalah... seperti
kata Kevin, shock dan masih beradaptasi?

Keala memejamkan mata kuat-kuat.


Uas semester ganjil sudah selesai. Sudah tak ada lagi kegiatan belajar-mengajar
hingga hari pembagian rapor nanti. Kertas-kertas jawaban beberapa mata
ulangan bahkan sudah dikembalikan.

Di mana-mana terlihat kerumunan-kerumunan kecil yang sibuk membahas dan


membanding-bandingkan nilai-nilai yang diperoleh. Mencari tahu siapa yang
mendapat nilai lebih tinggi dan paling tinggi. Dan terutama, memastikan tak
ada nilai yang salah.

Guru juga manusia. Memeriksa sekian banyak lembar jawaban dalam waktu
singkat pasti butuh konsentrasi tinggi. Bukan tidak mungkin jawaban yang
seharusnya benar malah disalahkan karena sang guru terlalu lelah.

Keriuhan pun terlihat di kelas XI IPS yang menghadap tepat ke taman. Dari
deretan jendela kaca di dinding yang berbatasan dengan koridor, terlihat jelas
kesibukan di dalamnya.
Tasya memperoleh nilai paling tinggi hampir dalam semua mata pelajaran.
Hanya dalam ulangan matematika ia kalah 20 angka dari Kevin. Tasya mendapat
80, sedangkan Kevin seperti biasa. Seratus untuk matematika. Sempurna. Tasya
juga kalah dari Ninna dalam pelajaran bahasa Indonesia. Ninna mendapat 95
dan Tasya 78.

Keala melirik kertas ulangan Ninna. Ia tak heran melihat nilai itu. Teman
sebangkunya itu memang salah satu anomali di sekolah ini. Ninna tak suka
pelajaran hitung-menghitung. Ia lebih menyukai sastra dan tulis- menulis. Tiga
novelnya bahkan sudah diterbitkan oleh sebuah penerbit ternama. Dua novel
semasa ia masih duduk di bangku SMP dan satu novel baru terbit tahun lalu.

Mekipun tak heran dengan perolehan nilai Ninna, Keala tetap saja merasa iri.
Wew, 95!

“Berapa, Ke?”

“Tujuh puluh lima.”

Ninna tersenyum lebar. “Cuma beda dikiiit dengan Tasya, ya?”

“Iya,” Keala tersenyum. Ia sudah mati-matian belajar menjelang UAS. Namun,


nilai yang diperolehnya tak ada yang sampai 80. Nilai terbaiknya hanya 75.
Setidaknya yang sudah dibagikan. Akuntansi 60 dan matematika hanya 55.
Entah akan jadi berapa di rapor nanti mengingat nilai UTS dan tes harian kedua
mata pelajaran tersebut sering di bawah itu.
Senyum Keala hilang ketika membayangkan rapornya. Perutnya melilit. Perih,

***

Hari-hari menjelang pembagian rapor menjadi hari- hari yang menakutkan bagi
Keala. Keala semakin down ketika kertas-kertas jawaban yang dibagikan
kemudian tak memberinya nilai lebih dari 75. Nilai 70 pun tak ada. Kebanyakan
hanya 60. Sejarah bahkan hanya mendapat 50.

Kevin mendapat 45 untuk sejarah dan 40 untuk sosiologi, tetapi ia tak peduli. Ia
tak tertarik pada pelajaran itu, bahkan sering bolos. Namun, tidak dengan
Keala. Keala peduli. Sangat peduli. Sangat khawatir. Benak Keala dipenuhi
bayang-bayang seram.

Ketakutan itu terbawa hingga ke dalam tidurnya. Hampir setiap malam ia


bermimpi buruk. Melihat rapornya terbakar api. Melihat angka-angka yang
berderet di rapornya hanya 30, 40, dan 50. Melihat nilai-nilai di rapornya
tertulis dengan tinta merah.

Keala bermimpi tak naik kelas dan diturunkan ke SMP. Semua orang di
sekolahnya mecibir, menertawakan kebodohannya, mengejeknya, dan
mencemoohnya yang tak sanggup mengikuti pelajaran. Keala melihat Bunda
menangis karena kecewa dan Ayah membanting guci pajangan sambil berteriak
berang. Lalu Bunda mengusap
darah yang mengucur dari pelipisnya.
Ini déjà vu.
Keala ketakutan dan tak bisa tidur nyenyak.
"Bunda, Kakak sakit."
Laporan Syilla membuat perhatian Bunda pada worksheet di layar laptopnya
beralih.
"Sakit?"
"Iya, Bun. Muka Kakak puceeet... banget."
"Kakakmu di mana?" Bunda bangkit dari kursinya.

"Di kamar."

Bunda bergegas ke kamar Keala dan Syilla di lantai dua. Di rumah Nenek ini,
mereka berbagi kamar. Tak bisa sekamar sendiri seperti di rumah dulu.

Syilla memang sempat kecewa melihat perabotan di kamar yang mereka huni
kini. Semua adalah perabotan lama. Lemari pakaian, meja tulis, dan ranjang.
Bahkan ada yang hanya 10 tahun lebih muda dari usia mamanya. Hanya
kasurnya yang masih cukup baru.

Bunda melihat kekecewaan Syilla itu, tetapi tak bisa berbuat banyak. Bunda
hanya bisa membujuk mereka agar bisa menerima keadaan ini. Untuk
menyenangkan hati kedua gadisnya, Bunda mengganti gorden tua berwarna
hijau gelap di jendela dengan gorden baru berwarna merah muda lembut dan
vitrase putih berbunga-bunga.
Bunda pun mengizinkan kedua gadis itu menghias kamar itu dengan pernak-
pernik kesukaan mereka. Kamar tidur berperabotan jadul itu sekarang terlihat
sedikit lebih muda dan girly.
“Ke...”
Keala bergeming. Tetap meringkuk di bawah selimut tebal berwarna biru muda.
Rambutnya yang sedikit di bawah bahu tergerai acak-acakan di bantal
bersarung hijau berbunga-bunga. Beberapa helai rambut menutupi wajahnya.

Bunda duduk di tepi ranjang, lalu meraba kening Keala. Sedikit hangat.

“Ambilkan termometer, Syil,” pinta Bunda.

“Di mana, Bun?”

“Di lemari obat di ruang makan,” sahut Bunda.

Syilla beranjak ke luar kamar. Namun, baru selangkah meninggalkan ambang


pintu, ia berbalik lagi. “Bun...”

“Mana termometernya?” Bunda menjulurkan tangan pada Syilla.

“Bun, di ruang makan sini nggak ada lemari obat,” ujar Syilla.

Bunda tertegun, menyadari kesalahannya. Lemari obat di ruang makan itu ada
di rumah lama mereka. Di rumah Nenek tak ada lemari obat. Bagaimanapun
menyakitkan, tahun-tahun berdiam di rumah itu tak bisa terhapus begitu saja.

Syilla masih menunggu.


“Coba cari di kamar Bunda. Mungkin di laci meja,” ujar Bunda akhirnya.
“Oke.” Syilla langsung berlari menuju kamar Bunda di lantai satu.
“Ke...”
Keala bergumam pelan.
“Demam?”
“Sakit kepala, Bun. Pusing banget,” sahut Keala lirih.
Bunda mengelus-elus kepala Keala.
“Di sini,” Keala menyentuh pelipis kanannya. Tangan Bunda beralih ke sana.
Memijat-mijat
Perlahan.

“Ini termometernya, Bun,” Syilla masuk dan langsung mengulurkan benda itu
pada Bunda.

Keala diam saja ketika Bunda menyelipkan termometer digital berwarna putih
itu di ketiaknya. Beberapa detik

Kemudian, termometer itu berbunyi.

Bunda menarik termometer dari ketiak Keala. Memperhatikan angka yang


tertera. “Tiga puluh tujuh koma delapan.”

“Nggak terlalu tinggi ya, Bun,” celetuk Syilla. Bunda hanya mengangguk.
Memang sudah di atas normal. Namun, untuk Keala sepertinya suhu 37,8
derajat celcius bukan apa-apa. Sejak kecil Keala beberapa kali demam hingga di
atas 40 derajat celcius tanpa kejang atau kehilangan kesadaran.

“Tapi kepalaku pusing banget, Bun,” keluhnya.


Bunda memperhatikan wajah putri sulungnya yang
Memang terlihat pucat dan lemas. “Besok aku nggak usah sekolah ya, Bun,”
ujar Keala lirih.
Bunda mengangguk. “Iya. Kalau besok masih begini, istirahat aja di rumah.
Udah selesai UAS, kan?”
Keala mengangguk lemas. Kata “UAS” yang baru saja disebut Bunda membuat
perutnya mendadak seperti disayat pisau. Perih.
Esoknya kondisi Keala tak membaik. Demamnya memang turun 0,1 derajat
celcius. Namun, pusing di kepalanya semakin menjadi. Obat pusing yang
diminum- nya seakan tak memberi efek apa-apa.
Bunda mulai panik, apalagi ketika Keala juga mengel- uh sakit perut. Lidahnya
terlihat putih.
“Bunda tinggal ke kantor dulu nggak apa-apa, Ke?” tanya Bunda cemas. Bunda
tak tega meninggalkan Keala di rumah. Namun, juga tak bisa minta izin tak
masuk kantor, Bunda masih karyawan baru di kantor pusat.
Keala mengangguk pelan.
Bunda memijat pelipis kanan Keala

Bunda tak mengerti.

. “Pusingnya pindah ke sini, Bun,” Keala memegang tangan Bunda,


menggesernya ke tengah-tengah kening, tepat di antara kedua alisnya. “Oh, kok
pusingnya pindah-pindah, ya?” gumam

Keala juga tak mengerti. “Rasanya seperti ditusuk-


Tusuk jarum,” keluh Keala. “Jarumnya kayak ada ribuan. Sakiiit banget. Jadi
pusing, mual.”
Bunda memijat-mijat kening Keala. “Nanti sore kita ke dokter, ya.”
Keala menatap Bunda.
“Sementara kamu minum obat pusing aja dulu,” Bunda melirik obat pusing di
meja. Sisa obat tadi malam.
“Nggak ngefek, Bun,” ujar Keala lemas.
“Sedikit pun?” tanya Bunda.
“Cuma sedikit. Sedikit banget.”
“Nggak apa-apa. Obatnya kan bikin ngantuk,” Bunda berusaha menenangkan.
“Tapi sarapan dulu, ya.”
“Nggak nafsu makan. Lidah juga nggak enak. Pahit.”
“Tapi kamu harus makan, “bujuk Bunda. “Bubur ayam, ya. Mau, kan?”

Keala terdiam sebentar, lalu mengangguk pelan. “Dikit aja, ya, Bun.”

Bunda tersenyum, lalu memanggil Syilla dan menyuruhnya membeli bubur


ayam di depan kompleks.

***

Setengah jam menjelang magrib, Bunda membawa Keala ke klinik yang terletak
cukup dekat dengan kompleks rumah mereka. Cukup banyak pasien di klinik
yang menjadi tempat praktik beberapa dokter tersebut.

Sesaat Bunda mengamati papan-papan nama yang


terpajang di depan klinik itu. Dokter umum, dokter spesialis anak, dokter gigi,
dokter spesialis kebidanan dan kandungan, serta dokter spesialis penyakit
dalam. Setelah sejenak menimbang-nimbang, Bunda memutuskan untuk
mendaftarkan Keala ke dokter umum. Keala hanya sakit kepala dan sedikit
perih di perut.

Setelah lebih dari setengah jam duduk di ruang tunggu dan membolak-balik
majalah-majalah lama yang tersedia tanpa minat untuk membaca, barulah
Keala mendapat giliran masuk ke ruang praktik dr. Citra.

Seorang dokter berusia 40-an menyambut Bunda dan Keala dengan senyum
ramah. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan, dr. Citra memeriksa Keala.
Gerakannya tenang dan sangat berhati-hati.

"Keala sakit apa, Dok?" selesai memeriksa Keala. tanya Bunda setelah dr. Citral

Dokter itu diam sejenak, lalu berkata tenang, "Ada sakit maag, Bu."

"Tapi kepala Keala pusing sekali gitu, Dok," ujar Bunda.

"Produksi asam lambung yang berlebih tidak hanya menyebabkan maag, tapi
juga bisa berpengaruh ke kepala. Sederhananya, kalau asam kerongkongan
bagian dalam dipenuhi cairan dan gas. lambung meningkat, Gas itu terus
bertambah dan menekan organ-organ lain. Akibatnya, otot bagian belakang
kepala jadi tegang. Gara-gara otot ini tegang, suplai oksigen ke kepala jadi
berkurang. Muncullah sakit kepala yang tak tertahankan," jelas dr. Citra.

Keala diam saja. Penjelasan dr. Citra hanya ditangkap- nya sepotong-sepotong.
Ia tak sepenuhnya mengerti. Asam lambung, gas, otot tegang, suplai oksigen...
euh! Hanya membuat kepala makin pusing.

"Sakit maag nggak cuma karena terlambat atau nggak teratur makan, lho,"
lanjut dr. Citra. "Bisa juga karena banyak beban pikiran atau stres."

Bunda menoleh pada Keala, lalu kembali berpaling pada dr. Citra. "Kami baru
beberapa bulan ini tinggal di Bandung, Dok," ujar Bunda." Sebelum ini kami
tinggal di Banjarmasin. Apa ada hubungannya?"

dr. Citra tersenyum. "Bisa jadi, Bu. Tempat tinggal baru, lingkungan baru,
sekolah baru." Dokter berusia 30- an itu menatap Keala. "Sekarang sekolah di
mana?"

"SMA 79," jawab Keala pelan.

"SMA top, ," komentar dr. Citra sambil tersenyum. "Sekolahnya anak-anak
pintar."

Keala mengangguk tak semangat. Sekolah top. Ya. Tapi entahlah. Saat ini ia
sama sekali tak merasa pintar karena bersekolah di sana.

"Keala saya kasih obat maag dan obat pusing, ya, Bu," ujar dr. Citra sambil
menulis resep.

Bunda mengangguk, menerima kertas resep yang disodorkan dr. Citra. "Terima
kasih, Dok."
Sama-sama, Bu,” dr. Citra menyalami Bunda, lalu menyalami Keala. “Cepat
sembuh, Keala. Kebanyakan penyakit datang dari pikiran. Jadi, usahakan tetap
berpikir positif supaya tetap sehat. Oke?”

Keala menelan ludah. Pahit menyesakkan. Berpikir positif? Caranya? Aku sudah
lupa bagaimana caranya.

Namun, Keala mengangguk saja, menelan sendiri pertanyaan-pertanyaan yang


bergaung di benaknya. Ia mengucapkan terima kasih dengan suara yang nyaris
tak terdengar.
“Cari buku apa?"
Pertanyaan itu mengejutkan Keala. Ia menoleh
Sedikit mendongak. Seorang cowok cakep berkacamata menatapnya.
Eh, kapan dia datang?
Cowok itu tersenyum. Keala terkesima.

“Kamu lagi cari buku apa?” tanya cowok itu lagi.

“Emh... buku... sosiologi,” jawab Keala tergagap. .

Pasti belum dapat, ya?” tebak cowok itu “

“Eh?”

“Dari tadi aku lihat kamu diam aja di sini. Buku yang kamu cari itu kan, nggak
mungkin keluar sendiri dari rak.”

Keala menatap cowok berkacamata itu. Cakep... kelas berapa dia? Batin Keala.

Cowok itu tersenyum geli, lalu menjentikkan jemari tangannya di depan wajah
Keala.

“Eh...” Keala tersentak.

“Rupanya kamu punya hobi bengong, ya?”

Wajah Keala merona ketika menyadari ia begitu lekat


menatap cowok itu. "Aduh! Apa-apaan ini?" omelnya dalam hati. "Kenapa aku
jadi deg-degan gini? Lagian... bub! Mana mungkin cowok sekeren ini bakal suka
sama aku yang parah banget gini. Nyadar, Ke... nyadaaar! Nyebut... nyebuuut!
Kamu tub sekarang bukan siapa-siapa, tahu!"
Pikirannya itu membuat Keala murung lagi. Aku memang bukan siapa-siapa di
sini,"batinnya sedih.
Keala menunduk, mematung di depan rak buku yang dilabeli angka 300. Ilmu-
ilmu sosial.
"Kalau nggak cepat-cepat nyari buku yang kamu butuhin, kayaknya kamu bakal
balik ke kelas tanpa buku itu."
"Emh..."
"Sebentar lagi bel," cowok itu mengulurkan tangannya, menunjukkan arloji di
pergelangan tangan kanannya.
Keala melirik sebentar. Ab! Benar!
"Perlu aku bantuin nyari?"
"Nggak usah," sahut Keala pelan.
"Bener?"
Keala mengangguk. "Ya."
"Padahal aku mau kok, bantuin kamu nyari buku yang
kamu butuhin," cowok itu tersenyum lagi.
Keala makin terpesona.
"Emh... nanti aja pulang sekolah aku cari lagi," ujar Keala.
"Oh, bukan untuk pelajaran sekarang, ya?" tanya cowok
itu.
Keala mengangguk. "Buat tugas minggu depan," sahutnya pelan. Bukan cuma
karena di perpustakaan dilarang berisik tetapi karena... entahlah... karena
takluk pada senyum dan tatapan cowok cakep itu?
"Duh, ini cowok kok perhatian banget, ya? Apa dia masih perhatian kalo tahu
aku nggak sepintar anak-anak lain di sekolah ini?" pikir Keala sedih.
Bel masuk menjerit-jerit nyaring.
"Bel!"
"Bel!"

Keala tersenyum. Cowok itu tersenyum. Mereka mengucapkan kata "bel" pada
detik yang sama.

"Yuk," cowok itu mengajak Keala meninggalkan rak 300.

Keala mengayun langkah di sebelah cowok itu tanpa berkata-kata. Rak 300
yang berada agak di ujung ruang perpustakaan membuat mereka harus
melewati rak-rak kayu berwarna cokelat muda yang penuh dengan buku,
deretan study carrel, dan meja-meja baca. Tipikal umum perpustakaan.
Perpustakaan di sarang anak-anak pintar ini pun ternyata tetap saja sepi.

"Kamu duluan aja," kata cowok itu beberapa langkah sebelum tiba di pintu
perpustakaan.

Keala menoleh, menatap cowok itu.

Si Cakep Berkacamata itu mengacungkan buku di tangannya. "Aku mau pinjam


buku ini dulu. Aku udah lama pengin baca buku ini, tapi selalu aja ada yang
minjem."
Keala memperhatikan buku yang terlihat agak lecek itu. Catatan Seorang
Demonstran. Soe Hok Gie. Oh, ini catatan legendaris yang kemudian difilmkan
itu? Yang diperankan oleh Nicholas Saputra? Sepertinya buku bagus. "Oh. Oke,
deh," Keala tersenyum tipis. "Aku... aku duluan, ya?"
"Ya."
Keala mempercepat langkahnya menuju pintu. Di pintu ia menoleh sebentar ke
dalam ruang perpustakaan. Cowok cakep itu sedang berdiri di depan meja
sirkulasi, meletakkan buku yang akan dipinjamnya di depan Pak Dede,
pustakawan sekolah.
Cowok itu menoleh. Ia tersenyum dan melambaikan tangan pada Keala..
Keala tersipu. Ia tersenyum malu, lalu setengah berlari menyusuri koridor
menuju kelasnya.

***

"Langsung pulang, Ke?"


Keala menoleh pada Ninna, lalu menggeleng pelan.
Aku mau ke perpus dulu, Nin." "

"Ciyeeeh... sekarang rajin ke perpus, euy."

"Lagian mau langsung pulang juga, jam segini angkot-

angkot pasti penuh, kan?"

Ninna tertawa. "Iyaaap. Bener banget. Dijejeliiiin teruss... sampe jadi kayak ikan
sarden kalengan."
Keala tertawa kecil. Di tengah banyak hal yang mem- buatnya merasa terpuruk
di sekolah ini, Keala masih ber- syukur karena semeja dengan Ninna. Ninna
selalu riang dan easy going. Susah untuk tak tersenyum jika berada di dekatnya.
Memang, sih, Ninna bawel tapi... tak apa. Sepa- dan dengan keriangan yang ia
tularkan ke mana-mana. "Kamu langsung pulang?" Keala balas bertanya sambil
menutup ritsleting tas ranselnya.

"Dan jadi ikan sarden di dalam angkot?" seru Ninna, membulatkan mata seperti
ikan mas koki. "Ogaaah!"

"Kiraiiiin..."

"Saya mau kantin dulu, Ke. Haus banget," ujar Ninna.

"Bukannya bawa minum, Nin?"

"Habis!" Ninna mengacungkan botol minum, mem- buka tutupnya lalu


membalikkannya. Tak setetes air pun tumpah dari dalamnya. "Sekalian nyari
camilan buat ngeganjel perut. Bala-bala, gehu, pastel, atau apa aja, deh."

Keala mengangguk-angguk. Tas ranselnya yang berwarna biru muda dengan


aksen etnik sudah tersandang di pundak kanan.

"Ikut ke kantin aja yuk," ajak Ninna.

"Nggak deh, Nin," tolak Keala. Aku beneran mau ke perpus dulu."

"Bukannya waktu istirahat tadi udah ke perpus?" tanya Ninna. "Demen amat ke
sana. Jangan-jangan lagi naksir Pak Dede, nih."
"Tiih! Masa aku naksir bapak-bapak gitu," protes Keala.
Ninna tertawa. Beranjak dari kursinya dan berjalan
menuju pintu kelas. "Kali ajaaa. Hehehe..."
"Ih, amit-amit. Nggak banget deh, Nin."
"Mendingan Kevin ke mana-mana ya?"
"Kok jadi Kevin?" gugat Keala.
"Kan daripada Pak Dede," sahut Ninna sambil tertawa.
"Eh, tadi kan si Kevin bolos lagi."
Keala berdehem. "Ternyata kamu ya, yang merhatiin Kevin."
Ninna tertawa, tetapi tak menanggapi. "Kamu nyari buku apaan, sih sampai
bolak-balik gitu ke perpus."
"Sosiologi."
"Buat tugas makalah minggu depan, ya?"
Keala mengangguk.
"Googling aja, Ke," usul Ninna.

"Iya, nanti juga googling. Tapi kalo ada bukunya kan lebih gimana gitu. Lebih
lengkap aja."

Keala dan Ninna tiba di persimpangan koridor. Koridor utama membentang


panjang di hadapan mereka. Memanjang dari utara ke selatan. Di kiri kanan
koridor terdapat ruang kelas dan perpustakaan. Dari tempat Keala dan Ninna
berdiri, perpustakaan ada di koridor sebelah kiri mereka, sedangkan kantin ke
arah kanan.

Ninna menepuk bahu Keala. "Saya ke kantin. Salam buat Pak Dede ya, Ke!"
"Salam manis dari Ninna?" ledek Keala.

Ninna tertawa.

Keala berbelok ke kiri. Ke perpustakaan.

Seperti biasa, ruangan itu sepi ketika Keala melangkah masuk. Di mana-mana
perpustakaan memang sepi, kan? Apalagi sekarang hampir semua materi
pelajaran bisa dicari di dunia maya. Ketuk saja pintu rumah Mbah Google, pasti
akan dibantu dengan senang hati. Meski demikian, Keala tetap mencari materi
yang

ditugaskan Bu Dian di buku, di perpustakaan. Keala tak ingin mengecewakan


Bunda lagi. Tiga nilai merah dan banyak nilai pas-pasan di rapor bukanlah
sesuatu yang membanggakan. Apalagi nilai merah itu untuk pelajaran
matematika, akuntansi, dan ekonomi. Pelajaran yang dikejarnya ke kelas IPS,
pelajaran yang dibayangkan akan ditekuninya di bangku kuliah nanti, sekarang
justru membunuhnya.

Sosiologi, geografi, sejarah... mungkin tak akan dipelajarinya lagi di bangku


kuliah kelak. Tapi sekarang, kalau sampai hancur di pelajaran-pelajaran itu...
hah! Sama aja bunuh diri!

Keala ngeri membayangkan ia tak naik kelas jika nilai- nilainya di semester
genap ini masih seperti yang tertera di rapor semester ganjil.

Tanpa diundang, bayangan itu membuat kepala berdenyut nyeri. Apa kata
dokter? Jangan stres! Jangan stres! Selalu berpikir positif! Oooh! Baiklah! Aku
nggak stres! Aku berpikir positif!
Keala menyimpan tas di rak, lalu menuju rak 300 di ujung ruangan. Sebentar
kemudian ia sudah mulai mencari-cari. Mengambil satu buku, lalu membuka
bagian daftar isinya. Bunda yang mengajarkan cara itu padanya. Kata Bunda,
cara cepat mengetahui isi sebuah buku teks adalah dari daftar isinya. Syukur-
syukur kalau buku itu dilengkapi indeks. Makin mudah dan makin cepat.

Keala mengembalikan buku yang dipegangnya ke rak, lalu mengambil buku


yang lain. Setelah lima belas menit, ada tiga buku di tangannya. Ia membawa
buku-buku itu ke meja baca, bermaksud membacanya sebentar.

Kelompoksosial....Paul B.Hurton...Soejono Soekamto... gemeinschaft...


gesselschaft... konflik antarkelompok sosial...

“Hai”

Keala mendongak. Bola matanya sedikit melebar ketika melihat siapa yang
menyapanya. Cowok itu lagi. Si Cakep Berkacamata.

Cowok itu duduk di sebelah Keala. "Di sini kosong, kan? Nggak lagi nunggu
temen?"

"Kosong," sahut Keala pelan. "Nggak... nggak nunggu siapa-siapa, kok."

Cowok itu tersenyum. "Sekarang udah dapat buku yang kamu cari?"

"Udah."

Cowok itu memperhatikan buku-buku yang terbuka di depan Keala, lalu


mengambil satu, melihat cover-nya. "Kamu anak Sosial, ya?"
"Iya."
"Kelas sebelas?"
"Iya. Kok tahu?"
"Nebak aja."
"Kamu?" Keala balas bertanya.
"Dua belas."
"Oh," Keala menggangguk. "Maaf, Kak. Kukira..."
"Kelas sebelas juga?"
"Iya."
Cowok itu tersenyum. "Nggak apa-apa. Berarti tampangku awet muda."
Keala tersenyum malu. "Iya, awet muda dan cakep banget," komentarnya
dalam hati.
"Kamu murid pindahan, ya?"
Keala mengangkat alis. "Kok Kakak tahu?"
"Eizel Augusta. Panggil aja aku Eizel. Nggak usah pakai kakak."
Meski merasa canggung dengan permintaan Eizel, Keala mengangguk.
“Sepertinya tahun kemarin aku nggak lihat kamu di sini."
Keala diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, aku baru masuk semester
kemarin. Hampir tengah semester."
"Pindahan dari mana?"
"Banjarmasin."
"Wah! Jauh, ya," ujar cowok itu. "Orangtua pindah tugas ke Bandung?"
Keala mengangguk saja. "Ya." Cowok itu mengembalikan buku yang
dipegangnya ke depan Keala. "Aku ganggu kamu nggak?"
"Eh... nggak... nggak apa-apa, kok," jawab Keala.
"Bener?"
Keala mengangguk. "Kamu mau nyari buku juga?"
Cowok itu menggeleng. "Udah waktu istirahat tadi. Cuma mau ketemu kamu
aja, kok."
"Ketemu..." Keala menunjuk dirinya sendiri, "aku?"
"Ya. Waktu istirahat tadi kamu bilang mau ke sini lagi pulang sekolah."
"Oh..." Keala tak tahu harus berkata apa. Kedua pipinya menghangat, mungkin
sudah memunculkan rona merah di sana. Cuma mau ketemu aku... awww so
sweet!
"Nama kamu siapa?"
"Keala."
"Keala?" ulang Eizel. Matanya tak berkedip menatap cewek di depannya ini.
Namanya Keala. Wajahnya mirip sekali dengan Andini. Ab... Andini....

***
Hari ini Kaela sengaja datang pagi-pagi banget ke sekolah.. la dan Eizel janjian
untuk bertemu sebelum bel sekolah berbunyi. Keala mempercepat langkahnya
ketika melihat kakak seniornya itu sudah duduk manis di bangku yang ada di
koridor depan kelasnya.
"Pertama kali ngeliat kamu di perpus siang itu, aku agak heran. Kamu ke perpus
cuma buat bengong di depan rak buku."
Keala tersipu. Ia masih ingat pertemuan tiga hari lalu. Bengong, disusul tatapan
terkesima melihat wajah cakep yang menyapanya. yang
"Udah betah sekolah di sini, Ke?" tanya Eizel.
Pertanyaan Eizel lama tak berjawab. Keala terdiam, memandangi sepasang
sepatu hitamnya.
"Hei, melamun lagi."
Keala menarik napas panjang. "Aku nggak tahu."
"Maksud kamu?" Eizel mengangkat alis.
"Yaa... nggak tahu udah betah atau belum," ujar Keala pelan.
Eizel mengamati Keala. "Kamu nggak di-bully, kan, di sini? Setahuku, di sekolah
kita ini nggak ada bully-bully- an"
"Eh, enggak... bukan itu. Bukan soal bully. Nggak ada, kok," jawab Keala
berantakan.
Tatapan Eizel tak lepas dari Keala, seolah ingin menyelami pikiran dan perasaan
gadis berambut lurus sebahu itu.

"Temen-temen di sini baik-baik, kok," lanjut Keala.

"Boleh kutebak?" tanya Eizel.

Sebelum Keala sempat menjawab, Eizel sudah berkata, "Pasti masalah


pelajaran." Nada suaranya terdengar sangat yakin. "Kamu belum bisa
beradaptasi dengan pelajaran di sini, Ke?"
Keala menoleh, menemukan Eizel tengah menatapnya.
"Tebakanku benar atau tidak?"
Keala tak mendengar nada meledek apalagi merendahkan dalam kalimat Eizel.
Tatapan Eizel tak bergeser dari Keala. Menunggu jawaban yang keluar dari bibir
gadis itu.
"Benar."
Eizel mengangguk-angguk. Keala sendiri sudah kembali memandangi sepasang
sepatunya.
"Aku ngerti."

"Ngerti apaan?" tanya Keala tanpa menoleh pada Eizel.

"Ngerti perasaan kamu pas ngeliat nilai-nilai ulangan dan nilai rapor nggak
seperti yang kamu harapkan."

Kali ini, kalimat panjang Eizel berhasil membuat Keala menoleh pada kakak
kelasnya itu.

Eizel tersenyum. "Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya, Kea. Udah ramai, tuh."

Keala memperhatikan sekelilingnya. Gedung sekolah yang masih sepi ketika ia


datang tadi kini sudah mulai ramai. Koridor di depan kelas tempat mereka
duduk sejak tadi juga sudah tak sepi lagi. Suara berisik pun terdengar dari
dalam kelas XI IPS. Sudah berapa lama duduk berdua Eizel di sini?

"Nggak enak kalau teman-teman kamu ngeliat," ujar Eizel. "Nanti digosipin
macem-macem, lagi."
Keala mengangguk. Setuju. Masih mending kalau cuma digosipin. Gimana kalo
lebih dari itu? Cowok secakep Eizel... mustahil nggak ada yang naksir. Mungkin
cewek-cewek kelas dua belas....
Eizel bangkit dari duduknya. “Aku ke kelas dulu, ya."

"Ya."

Eizel melangkah meninggalkan koridor kelas XI IPS. Tatapan Keala terus


mengikuti hingga tubuh kakak kelasnya itu berbelok ke koridor yang menuju
tangga ke lantai dua di gedung utama.

***

Rupanya, "kapan-kapan" yang dikatakan Eizel itu tak lama. Pulang sekolah siang
itu, Keala bertemu Eizel di koridor utama. Tas ranselnya yang berwarna biru tua
tersandang di bahu kanan, jas lab putih tersampir di lengan kirinya.

"Ke!" panggil Eizel.

Keala tersenyum dan beberapa orang membalas senyumnya. Keala jadi malu.
Duh, senyum nyasar! batinnya.

Eizel tertawa. Ia memisahkan diri dari teman-temannya dan menghampiri


Keala. "Jangan sembarangan senyum- senyum, Ke," tegurnya. "Nanti kamu
ditaksir serombongan cowok sekelasku, lho."

"Nggak mungkinlah mereka naksir aku."

"Kenapa enggak?" sanggah Eizel. "Kamu cantik, lho."


Wajah Keala merona sesaat, lalu kembali muram. "Mereka belum tahu aja kalo
aku payah banget. Di rapor kemarin ada tiga nilai 50 dan banyak nilai 60 kurus,"
ujar Keala suram.

Eizel menatap Keala. "Kamu mau cerita sama aku?" Keala tak menjawab.

"Ke perpus aja, yuk," ajak Eizel. Tanpa menunggu jawaban, ia mendahului
berjalan ke tempat yang disebutnya itu.

Seperti dihipnotis, Keala menurut saja. Sepuluh menit kemudian ia sudah


menumpahkan semua kegalauannya pada Eizel. Keala baru beberapa hari
mengenal Eizel. Namun, beberapa hari itu terasa bagaikan bertahun-tahun.
Ada sesuatu pada Eizel yang tak dimengertinya. Sesuatu yang aneh. Sesuatu
yang... sangat dekat. Begitu dekat.

Begitu mudah ia percaya dan bercerita pada Eizel. Keala tak pernah semudah
ini menceritakan masalahnya pada orang lain, termasuk pada Bunda dan Syilla.
Selama ini Keala lebih suka memendam semua perasaannya, semua
gundahnya, semua sedih dan galaunya. Namun, mengapa dengan Eizel begitu
berbeda? Baru saja mengenal Eizel, Keala sudah merasa begitu nyaman.

Eizel mendengarkan cerita Keala tanpa menyela sedikit pun. Perhatiannya


tertuju utuh pada Keala. Suasana perpustakaan yang lengang selepas jam
sekolah pun turut mendukung. Tak ada orang lain yang tiba-tiba mengajak
berbicara dan membuyarkan konsentrasi.
Usai bercerita, Keala menarik napas panjang. "Sekarang kamu pasti nganggap
aku anak pindahan yang stupid banget. Yang kebetulan aja bisa masuk sekolah
ini karena masih banyak kursi kosong di kelas XI IPS."

Eizel tersenyum. "Aku nggak pernah nganggap kamu seperti itu, Keala."

"Makasih untuk kata-kata penghiburannya, Zel," ujar Keala datar. Tatapannya


terarah pada jendela-jendela kaca di dinding perpustakaan yang menghadap ke
koridor utama. Jendela-jendela besar itu memungkinkan orang- orang yang
berada di luar untuk melihat ke dalam perpustakaan. Mungkin itu salah satu
cara untuk mencegah siswa menjadikan perpustakaan yang sepi ini sebagai
tempat pacaran. Ah, tapi tak hanya perpustakaan. Ruang- ruang kelas pun
memiliki jendela-jendela seperti ini.

"Keala, aku serius," ujar Eizel. "Aku nggak pernah mengganggap kamu stupid
atau semacam itu. Aku sangat ngerti perasaanmu."

Keala menatap Eizel. "Kenapa?"

"Karena aku pernah mengalami, pernah merasakan, semua yang kamu alami
sekarang," ucap Eizel lambat- lambat, memberi tekanan pada setiap kata dari
mulutnya. yang keluar

Keala terperangah. "Kamu pasti bercanda."

"Aku serius, Ke," sahut Eizel. "Semester pertama di sini aku merasa terbanting.
Aku datang dari Cirebon berbekal nilai dan prestasi. Kamu tahu, tiga tahun di
SMP aku
Selalu menjadi juara satu. Nilai-nilai ulanganku tak pernah kurang dari delapan.
Tapi di sini, aku harus ikut ulangan perbaikan untuk banyak mata pelajaran.
Rapor semester pertamaku di sini dihiasi lima angka merah. Lima, Ke. Kamu
Cuma tiga. Berarti kamu lebih baik dibandingin aku.”

Keala tersenyum kecut.

“Rasanya malu luar biasa waktu pulang ke Cirebon. Pusing banget kalau teman-
teman di sana nanya aku dapat rangking berapa. Nggak mungkin aku bilang
rangking empat dari bawah alias nomor 36. Kebayang, kan? Si Selalu Juara Satu
di SMP hanya dapat rangking 36. Itu pun kalau masih bisa disebut rangking. Aku
makin pusing waktu mereka bilang pengin lihat raporku,” tutur Eizel. “Aku
Cuma dua hari di Cirebon, lalu balik ke Bandung. Kubilang aja, ada acara
ekskul.”

Wajah Eizel tampak murung. Mengingat dan men- ceritakan kembali hal itu
sama sekali tak menyenangkan. Kalau bisa, ia ingin menghapus bagian gelap itu
dari cerita hidupnya. Bagian gelap yang pernah meruntuhkan rasa percaya
dirinya. Bagian gelap yang membuatnya hanya berani melihat Andini dari
kejauhan dan memendam perasaannya. Ia merasa tak layak mendekati gadis
itu. Merasa tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

“Semester dua gimana, Zel?” usik Keala.

“Semester dua? Aku Cuma punya satu pilihan, Ke. Secepat mungkin
beradaptasi dengan sekolah ini. Kalau
nggak, bisa-bisa aku nggak naik kelas," sahut Eizel. Tatapannya menerawang.
Kalau sampai nggak naik kelas, aku nggak akan punya muka lagi untuk bertemu
Andini, bahkan sekadar untuk memimpikan dia. "Kamu bayangin, Kea. Aku di
sini kos. Jauh dari orangtua. Stres, stres maag dengerin sendiri. Pusing, pusing
sendiri. Aku juga sampai sakit gara-gara stres. Untung ada Bu Rina yang mau
keluhanku. Mau nyemangatin aku..."
"Bu Rina?" tanya Keala.
"Guru BP."
"Guru BP?" tanya Keala lagi. Keningnya berkerut. la sudah bertemu dengan
guru BP di sekolah ini. Ada dua orang. Bu Dewi dan Bu Liez. Tak ada yang
bernama Bu Rina.
Mata Eizel mengerjap. "Bu Rina itu guru BP yang lama. Udah pindah menjelang
kenaikan kelas kemarin."

"Oooh..." Keala mengangguk-angguk.

"Semangat. Itu yang kubutuhkan," ujar Eizel.

"Hasilnya?" tanya Keala.

"Membaik. Semester dua aku di rangking tujuh. Not too bad."

"Not too bad?" ulang Keala. "Itu keren banget!"

"Ternyata bener kata orang. Hidup itu berputar kayak roda. Aku pernah di atas,
pernah jatuh ke titik nadir, lalu bergerak naik lagi. Tahun kemarin aku malah
mewakili sekolah untuk ikut lomba karya ilmiah. Bagiku,
itu pengakuan sekolah terhadap kemampuanku." Eizel tersenyum. Dan
pengakuan Andini.

"Menang?"

Lagi-lagi senyum manis menghiasi wajah Eizel. "Ya. Aku bisa. Kamu juga pasti
bisa."

"Menurut kamu gitu, Zel?"

"Menurut kamu sendiri gimana?" tanya Eizel. la menatap Keala. Wajah gadis itu
begitu lekat di matanya. "Kamu yang akan menjalaninya. Kamu yang tahu
kemampuanmu. Apa kamu bisa?"

Bibir Keala membentuk garis memanjang. "Bisa."

Eizel mengacungkan dua jempol. "Keren. Ini baru Keala Jasmine."

Keala terdiam, menatap Eizel. "Keala Jasmine? Dari mana Eizel tahu nama
lengkapku? Aku nggak pernah bilang nama lengkapku," pikir Keala heran.

"Kalau semangat kamu terjaga begini, atau bahkan lebih dari ini, kamu pasti
bisa masuk Jurusan Akuntansi yang kamu impikan itu. Kamu pasti akan jadi
akuntan hebat," ucap Eizel.

Kening Keala berkerut halus di balik poninya. Rasa herannya berlipat-lipat. Dari
mana Eizel tahu aku pengin kuliah di jurusan akuntansi? Dari mana Eizel tahu
aku pengin jadi akuntan? Hanya karena aku sekarang di kelas IPS? Hei, nggak
semua yang masuk IPS pengin kuliah di bidang ekonomi. Ninna misalnya. Ninna
lebih senang mengarang daripada menghitung uang milik orang lain.
Keala menatap Eizel, la ingin bertanya, tetapi lidahnya terasa kelu. Pertanyaan-
pertanyaan dan sanggahan itu hanya berputar-putar dalam benaknya. Sebersit
perasaan anch melintas di hatinya.

Eizel tersenyum. Tatapannya melayang jauh.

***
Kaela yakin pertemuannya dengan eizel bukan Kebetulan semata. Tuhan memang
sengaja mempertemukannya dengan Eizel. Siang itu Tuhan pasti menyuruh Eizel ke
perpustakaan agar bisa menarik Keala keluar dari keputusasaan yang mulai
mengerikan.

Eizel...

Mengingat Eizel selalu membuat Keala ingin terse- nyum. Selalu membuat hatinya
menghangat. Eizel jauh sekali dari bayangan seorang kakak kelas yang sombong. Eizel
tak sedikit pun menampilkan kesan sebagai siswa pintar yang kuper, tak juga
meremehkan orang lain yang tak sepintar dirinya. Dan Eizel... cakep!

Keala tahu ia suka pada Eizel.

Karena Eizel cakep?

Karena Eizel punya senyum yang begitu menawan? Karena Eizel begitu baik dan
selalu peduli padanya?

Itu yang Keala tak tahu. Entah mana yang lebih dulu. Entah mana yang lebih besar.
Keala hanya tahu ia suka sama Eizel.

***
"Ciyeceh...! Delapan puluh limaa..." seru Ninna. Seruan Ninna yang lumayang
kenceng itu mengundang perhatian teman sekelas mereka, terutama Tasya dan
Kevin.

"Kamu dapat delapan puluh lima, Nin?" tanya Tasya tak percaya.

"Kagaaaak...! Bukan sayaaa!" seru Ninna. Ia tertawa lepas. "Nggak berani mimpi
ketinggian saya mah." Dengan cuek Ninna melambai-lambaikan kertas kuisnya.
Angka 50 yang tertera di sana berkibar-kibar dengan gagah berani.

"Terus, siapa?" tanya Tasya penasaran. Ia sendiri hanya mendapat nilai 75. Selama ini
hanya Kevin yang bisa mengalahkan nilai matematikanya. Tapi Kevin duduk jauh dari
tempat Ninna. Nggak mungkin Ninna melihat nilai Kevin. Beranjak dari kursinya pun
belum. Jadi, siapa?

Kevin sendiri tak bertanya apa-apa tapi air mukanya menunjukkan pertanyaan yang
sama dengan Tasya. Kevin tahu persis kemampuan teman-teman sekelasnya dalam
pelajaran yang satu itu. Di kelas ini, hanya Tasya yang sanggup mendekati nilainya.
Catat, hanya mendekati. Ia menatap Ninna dari kejauhan. Kalau bukan Ninna, apa...
tatapannya beralih pada gadis berbando merah polkadot yang duduk di sebelah
Ninna.

"Niiih!" Ninna merebut kertas di sebelahnya lalu mengacungkannya dengan gaya


gadis pembawa papan
ronde dalam pertandingan tinju. "Keeealaaa Jasmiiine!"

"Keala?" seru Tasya.

Kevin tersenyum puas. Puas pada kebenaran dugaannya sendiri.

"Keala dapat delapan puluh lima?" tanya Tasya. Ia melangkah menghampiri meja
Ninna dan Keala. Matanya meneliti semua jawaban di kertas kuis Keala. Mencari
kemungkinan ada jawaban salah yang dibenarkan.

Ninna tersenyum lebar. "Dapat saingan baru nih, Sya," celetuknya.

Wajah Tasya kecut. "Alaaa... cuma kebetulan ini mah! Paling lagi hoki aja. Aku yakin,
kalo kuis lagi nggak bakal

dapat segitu,tuh." "Matematika itu bukan kebetulan, Sya," seru Kevin. Tasya
menoleh.

Kevin tersenyum tenang. Ia mengacungkan ibu jari pada Keala. "Keren, Ke. Kenapa
nggak dari kemarin- kemarin kamu kayak gini?"

Wajah Keala merona. Perasaannya terlalu meluap-luap untuk bisa menjawab


pertanyaan Kevin.

"Kamu dapat berapa, Kev?" tanya Tasya.

Kevin menunjukkan kertas kuisnya. 90.

Napas Tasya tersentak.

Keala menatap Kevin dan nilai itu berganti-ganti. Kevin 90 dan aku 85? Ya Tuhaaan!
Beda tipis sekali!

"Lain kali, kalahkan aku, Ke," tantang Kevin.

"Emh... aku...."
Kevin membungkukkan tubuh, mendekatkan wajahnya pada wajah Keala. Menatap
lekat sepasang bola mata indah yang sering memancarkan kemurungan itu. “Kamu
pasti bisa!” ujar Kevin tanpa memberi kesempatan pada Keala untuk membantah. Ia
menegakkan tubuh, lantas melangkah meninggalkan meja Keala, mengarah ke pintu
kelas. “Tapi aku nggak akan mengalah!” serunya.

“Lho, Kev! Mau ke mana?” teriak Ninna.

“Kantin!”

“Woooy! Belum istirahaaat! Sosiologi dulu, tahu!” Kevin melambaikan tangan.


“Males! Salam manis aja buat si ibu!”

***

Keala tak sabar menunggu bel pulang berdering. Ia tak sabar ingin bertemu Eizel.
Nilai 85 ini nilai tertinggi yang pernah diperolehnya di sekolah ini. Untuk pelajaran
matematika, pula. Eizel harus tahu ini!

Kalau bukan karena Eizel yang sabar mendengarkan keluhan Keala, mungkin dia
masih terus terpuruk. Kalau bukan karena Eizel yang telaten mengajari Keala
sepulang sekolah, mungkin dia masih belum bisa mengejar ketertinggalannya. Ini
perlu dirayakan! Dirayakan dengan Eizel!

Jam istirahat tadi Keala sudah berusaha mencari Eizel di perpustakaan. Namun, Eizel
tak ada. Keala terlalu malu
Untuk mencari Eizel ke kelasnya. Pura-pura melewati kelas Eizel?

Keala memikirkan kemungkinan itu sejenak. Namun, ia memutuskan membuang


pikiran itu jauh-jauh. Pura pura sih pura-pura tapi jangan mengundang perhatian!

Pura-pura lewat kelas XII IPA 5? Ninna pernah mengajak Keala berkeliling ke lantai
dua. Di sana hanya ada enam kelas XII IPA, satu aula, dan dua toilet. Kalau bukan
penghuni kelas-kelas itu, harus ada alasan kuat untuk ke sana. Lebih-lebih buat anak
XI IPS. Nggak ada urusan banget deh untuk ke sana!

Ketika suara yang ditunggu-tunggunya itu berdering memecah kesunyian sekolah,


Keala berusaha secepat mungkin meninggalkan kelas.

“Mau ke toilet!” seru Keala ketika Ninna memanggilnya.

Di luar kelas, Keala baru menyadari sesuatu. Kelas Eizel ada di lantai dua gedung
utama, perpustakaan ada di koridor tengah. Dari kelasnya ke perpustakaan sih nggak
jauh. Dari kelas Eizel? Hm, dia pasti butuh waktu lebih lama untuk sampai di
perpustakaan.

Pikiran itu membuat Keala akhirnya benar-benar membelokkan langkah ke toilet


meski tak hendak buang air.

“Ngerapiin diri dikit,” pikir Keala sambil membuka keran air. Wajahnya terasa jauh
lebih segar ketika terkena air dingin dari keran. Setelah mengeringkan wajah dengan
tisu, Keala melepas bandonya, lalu menggunakan jari- jemarinya untuk menyisir
rambut. Keala menatap pantulan wajahnya di cermin persegi panjang yang tertempel
di dinding toilet, lantas kembali mengenakan bandonya.

Setelah merasa cukup, Keala melangkah ke luar dari toilet dan menuju perpustakaan.
Semoga Eizel sudah ada di sana.

Senyum Keala langsung merekah ketika melihat Eizel sudah duduk di sudut, di depan
sebuah meja baca. Selembar surat kabar terbentang di depannya. Keala menyimpan
tas di loker, lalu segera menghampiri Eizel.

"Eizel," sapa Keala. Tangannya menarik kursi di sebelah Eizel.

Eizel menoleh. "Hai."

Keala tersenyum cerah.

"Gembira sekali. Ada apa?"

Keala mengambil sesuatu dari rok seragam, lalu mengulurkannya pada Eizel.

"Apa ini?"

"Lihat aja sendiri."

Eizel melirik sejenak, lalu membuka kertas bergaris- garis yang terlipat. Sesaat
kemudian ia bersiul. "Wow!" Ia menoleh, tersenyum pada Keala. "Ini keren banget,
Ke!"

"Karena bantuan kamu juga, Zel."

Eizel tersenyum lagi.

Keala tersipu. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang, Perutnya terasa melilit
dan badannya mendadak
panas dingin. Malahan, Keala tidak berani menatap langsung mata Eizel. Dipuji oleh
Eizel membuatnya seolah melayang.

"Kamu tahu kenapa jawabanmu untuk soal ini salah, Ke?"

"Ha?" Keala mendadak ditarik kembali untuk menjejakkan kakinya di bumi.

"Ini...," tambah Eizel sambil menunjuk jawaban yang salah di kertas ulangan Keala.
Sebelum Keala

menjawab, Eizel sudah mengambil pulpen dan dengan cepat menulis di bagian yang
masih kosong. "Limit ini jadi dasar untuk materi selanjutnya, Ke. Kalau nggak ngerti
limit, kamu bakal kelabakan di kalkulus."

"Memangnya anak IPS belajar kalkulus?" tanya Keala heran.

Eizel tak mendengarkan pertanyaan Keala. "Perhatikan ya. Untuk x sama dengan dua
dengan f(x) sama dengan x pangkat dua kurang delapan per x kurang dua sama
dengan..."

Keala menyimak penjelasan itu sekaligus memperhatikan tangan Eizel yang lincah
menulis angka- angka. Jari-jarinya panjang. Kulit Eizel tak seperti Kevin yang suka
berolahraga atau Andre yang menyukai kegiatan outdoor. Warna kulit Kevin dan
Andre cokelat, sedangkan Eizel....

"Nah! Ngerti kan, Ke?" Eizel menutup penjelasannya.


panas dingin. Malahan, Keala tidak berani menatap langsung mata Eizel. Dipuji oleh
Eizel membuatnya seolah melayang.

"Kamu tahu kenapa jawabanmu untuk soal ini salah, Ke?"

"Ha?" Keala mendadak ditarik kembali untuk menjejakkan kakinya di bumi.

"Ini...," tambah Eizel sambil menunjuk jawaban yang salah di kertas ulangan Keala.
Sebelum Keala

menjawab, Eizel sudah mengambil pulpen dan dengan cepat menulis di bagian yang
masih kosong. "Limit ini jadi dasar untuk materi selanjutnya, Ke. Kalau nggak ngerti
limit, kamu bakal kelabakan di kalkulus."

"Memangnya anak IPS belajar kalkulus?" tanya Keala heran.

Eizel tak mendengarkan pertanyaan Keala. "Perhatikan ya. Untuk x sama dengan dua
dengan f(x) sama dengan x pangkat dua kurang delapan per x kurang dua sama
dengan..."

Keala menyimak penjelasan itu sekaligus memperhatikan tangan Eizel yang lincah
menulis angka- angka. Jari-jarinya panjang. Kulit Eizel tak seperti Kevin yang suka
berolahraga atau Andre yang menyukai kegiatan outdoor. Warna kulit Kevin dan
Andre cokelat, sedangkan Eizel....

"Nah! Ngerti kan, Ke?" Eizel menutup penjelasannya.


Keala mengangguk. “Ngerti.”

“Soal ini sebenernya gampang banget, Ke. Kamu nggak teliti aja ngerjainnya. Lain kali
harus lebih teliti.”

“Iya.”

“Pertahankan nilaimu. Kalau bisa lebih dari ini pasti keren banget.”

“Iya. Maunya sih begitu,” Keala tersenyum. Senyum Keala segera berbaur dengan
rasa salah tingkah ketika menyadari Eizel menatapnya nyaris tanpa berkedip. Cowok
itu malah menopang wajah dengan kepalan tangan kanannya, seolah terpesona pada
Keala.

“Emh... Bunda pasti seneng,” ujar Keala, menepis rasa groginya.

“Kamu sayang sekali sama Bunda kamu ya?”

“Ya. Aku...” Keala menarik napas panjang. “Aku pengin bikin prestasi sebagus
mungkin supaya Bunda bangga sama aku. Kamu tahu, dulu Bunda juga sekolah di
sini. IPS juga. Dulu namanya bukan IPS, tapi Sosial. A3...”

Eizel tekun mendengarkan setiap patah kata yang keluar dari mulut Keala.

“Bunda pinter, berprestasi. Aku pengin nunjukin ke Bunda, kalo aku bisa sepertinya.
Kalo aku baik-baik aja tanpa Ayah. Nggak masalah Ayah nggak ada juga.”

“Ayah kamu...”

Keala diam sejenak, menghitung-hitung. “Kayaknya bentar lagi keluar dari penjara.”

“Penjara?”
“KDRT. Mencekik Bunda. Memukuli Bunda sampai babak belur... memukuli aku dan
Syilla,” tutur Keala dengan suara tercekik. Air matanya menitik. Dadanya sesak.

Eizel terperangah. Geram, sekaligus tak berdaya. Eizel melingkarkan lengan di pundak
Keala, memeluk gadis itu.

Tubuh Keala serasa dialiri air dingin. Tak pernah ada laki-laki yang memeluknya.
Hanya Ayah. Itu pun sudah lama sekali. Ketika Ayah masih menjadi laki-laki yang baik.
Ketika Ayah belum berubah menjadi sosok monster penyiksa.

“Itu sudah berlalu kan, Kea?”

Eizel merasakan kepala Keala bergerak mengangguk.

“Ya. Bunda dan Ayah sudah berpisah.”

“Kamu hebat, Keala.”

“Karena punya ayah yang dipenjara?” tanya Keala pahit.

Eizel menggeleng. Ia melepaskan rangkulannya di pundak Keala, lalu menatap lekat


wajah manis di depannya itu. “Karena kamu nggak seperti anak-anak broken home
yang hancur berantakan setelah orangtua mereka bercerai.”

“Hatiku berantakan,” ujar Keala pelan. “Aku yakin hati Bunda juga hancur. Aku nggak
mau Bunda makin hancur. Aku ingin Bunda bahagia. Bunda udah terlalu banyak
menahan sakit karena perlakuan Ayah.” Air mata Keala menitik lagi.
Eizel mengulurkan tangan kanannya, menyentuh bulir-bulir bening itu.

Keala menjauhkan wajahnya dari tangan Eizel yang dingin.

“Kenapa?” tanya Eizel.

“Nanti dimarahi Pak Dede...”

“Karena kita pacaran di sini?” Eizel tersenyum. Keala tersipu. Pacaran? Aku dan...
Eizel? Ah! Sejenak mereka berdiam diri. Keala menenangkan hati. Diam-diam ia
melirik Eizel. Si Cakep Berkacamata itu sedang serius memandangi lembaran koran di
hadapannya.

“Yang kemarin rangking satu di kelasmu, dapat berapa?” tanya Eizel mengalihkan
pembicaraan, sekaligus kembali memalingkan wajah ke arah Keala.

“Tasya? Tujuh puluh lima.”

Eizel bersiul. “Nilai kamu lebih tinggi daripada dia. Ini bener-bener keren, Keala.”

“Yang paling tinggi masih Kevin. Sembilan puluh,” sambung Keala.

“Kevin? Yang suka bolos itu?”

“Iya.”

“Yang diam-diam suka merhatiin kamu itu?”

Keala tertegun. “Kevin diam-diam merhatiin aku? Kok Eizel tahu, ya? Aku aja nggak
tahu,” pikir Keala.

“Bener, Kevin yang itu, Ke?”

“Ehhh... iya. Tapi mungkin Kevin merhatiin Ninna


yang duduk di sebelahku, Zel," ucap Keala. Eizel diam sejenak. "Hati-hati, Ke. Dia
beberapa kali diskors karena berkelahi."

"Berkelahi?"

Eizel tak menjawab. Bibirnya terkatup rapat. Wajah tampannya membeku seperti
patung es. Aku nggak akan membiarkan dia atau siapa pun menyakiti kamu. Seperti
yang dilakukan laki-laki itu pada Andini. Andini pun seharusnya tak mengalami
kejadian seperti itu kalau saja aku...

Keala salah tingkah. Ia pura-pura asyik dengan ponselnya. "Kenapa Eizel jadi aneh
begini? Kenapa Eizel kedengeran nggak suka sama Kevin? Apaaa... Eizel cemburu?
Kalau cemburu, apakah itu karena... suka aku?"Kemungkinan itu membuat pipi Keala
bersemu merah. Ia tak menyadari Eizel memperhatikannya.

"Kamu cantik kalau lagi tersipu-sipu gitu," ujar Eizel pelan.

Wajah Keala serasa terbakar. Panas membara.

***
“Kakak agak beda, deh”
“Makin cantik ya, Syil?”
Syilla memonyongkan bibir. “Eaaa... maunya, tuuuh!” Keala tertawa. Jari telunjuknya
menekan tombol power on di printer. Ada tugas ekonomi tetang perilaku konsumen
yang harus dikumpulkan besok. Untuk tugas ini ia tak perlu repot mengubek-ubek
buku di perpustakaan sekolah. Bunda punya buanyaak buku tentang ekonomi dan
akuntansi.

Sepertinya buku-buku Bunda tentang ini malah lebih lengkap daripada yang ada di
perpustakaan sekolah. Hanya repotnya, di rumah Nenek ini buku-buku Bunda tak
tertata rapi di rak seperti di rumah mereka dulu. Tak ada rak buku kosong di sini.
Bunda juga belum sempat membeli rak buku baru.

“Kakak ge-er banget, sih!” Syilla menjulurkan lidah.

“Katanya kan, lebih baik ge-er daripada minder, Syil,” seru Keala.

“Iya, siiih. Tapi kalo ge-ernya kelebihan dosis gitu sih


Udah mengarah ke memfitnah diri sendiri, Kakaaak.” Keala tertawa pelan,
memperhatikan kertas yang keluar dari mesin printer. Cuma makalah tiga halaman
tapi Keala ingin mengerjakan sebaik mungkin. Tugas-tugas seperti ini akan
membantu perolehan nilai di akhir semester nanti. Biarpun persentasenya lebih kecil
daripada nilai UTS dan UAS, Keala tak mau menyepelekannya.

“Aku Cuma punya satu pilihan, Ke. Secepat mungkin beradaptasi dengan sekolah ini.
Kalau nggak, bisa-bisa aku nggak naik kelas.”

Tanpa sadar Keala tersenyum ketika kata-kata Eizel mengiang di benaknya. Kata-kata
itu menjadi penyemangatnya. Aku juga Cuma punya satu pilihan. Beradaptasi
secepat mungkin supaya nggak makin jauh ketinggalan.

“Dooo...! Senyum-senyum sendiri!” ledek Syilla. “Suka-suka, dong,” balas Keala. Ia


tak bisa marah pada Syilla. Lagi pula, mengingat Eizel selalu membuatnya tersenyum.

Kadang-kadang Eizel memang aneh, tapi selalu bisa membuatnya bersemangat.


Eizel...

“Maksud Syilla, Kakak tuh bukan keliatan lebih cantik. Nggak mungkin, lah. Soal
cantik, Syilla pasti lebih cantik daripada Kakak.”

Celotehan Syilla membuyarkan senyum Eizel di benak Keala.


“Kalo Syilla lihat sih, Kakak keliatan lebih bersemangat gitu deh,” lanjut Syilla.

“Masa, sih?”

Syilla mengangguk. “Iya.”

“Jangan-jangan... Kakak udah punya pacar, yaaa?” tebak Syilla dengan nada
menuduh.

Keala menimpuk Syilla dengan gumpalan kertas. “Iiih! Ini abegeeeh. Kok pacar, sih?
Siapa juga yang mau sama Kakak?”

“Pasti banyak, lah,” sahut Syilla. “Kakak kan cantik.”

“Aha!” seru Keala. “Akhirnya ngaku juga kalo Kakak ini cantik. Susah amat sih mau
ngaku gitu aja, Syil?”

Syilla balas menimpuk Keala dengan gumpalan kertas. “Cuma pengin nyenengin
Kakak.”

Keala tertawa. Ia memasukkan tugas makalahnya ke tas agar besok pagi tak repot
lagi.

“Bener ya, Kakak udah punya pacar di sekolah? Siapa Kak? Cakep nggak? Kenalin,
dong. Eh, kenalin di Facebook atau Twitter aja juga boleh kok.”

“Nggak... nggak ada pacar kok,” ujar Keala. Facebook? Twitter? Keala pernah
memasukkan nama Eizel Augusta untuk mencari Eizel di dua jejaring sosial paling
ngetop itu. Banyak nama Eizel Augusta, tapi bukan Eizel yang ia cari. Eizel tak ada di
Facebook dan Twitter. Hari gini? Apa mungkin di jejaring sosial itu Eizel tak memakai
nama asli?

“Terus?” kejar Syilla.


Keala tersenyum. “Kata dokter, Kakak kan harus berpikir positif biar nggak stres.
Harus semangat. Kalo nggak gitu Kakak nggak bisa move on...”

“Ciyeeeh! Move on!” seru Syilla. “Move on dari yang mana, Kak?”

“Move on dari nilai rapor yang jelek banget semester kemarin, Syillaaa! Kamu nih,
ah!”

“Oh... kirain...” Syilla cengar-cengir. “Penginnya sih jadi juara kelas lagi kayak di
sekolah yang lama. Tapi kalo enggak juga nggak apa-apa. Yang penting sekarang nilai-
nilai Kakak udah jauh lebih baik dibandingin semester kemarin,” Keala tersenyum.
“Kakak tahu kok saingan di sini hebat-hebat banget. Target Kakak sih, nggak ada lagi
nilai merah pas kenaikan kelas nanti. Makanya, Kakak mesti berusaha lebih keras.
Syukur- syukur bisa masuk sepuluh besar. Bunda pasti bangga.”

“Aamiin,” sambut Syilla. “Kakak pasti bisa, deh.” Keala memeluk adik semata
wayangnya itu.

“Kak, Syilla turun dulu, ya,” ujar Syilla sambil melepaskan pelukan Keala. “Mau ke
Bunda. Syilla lupa ngasih surat dari sekolah buat Bunda.”

“Surat teguran? Ketahuan bolos?”

“Enak aja! Akhir tahun ajaran nanti mau ada pentas seni di sekolah. Sekalian
perpisahan sama anak kelas sembilan. Biasa, butuh sumbangaaan...”

“Oooh... eh, Syil, ntar kalo naik lagi, bawain botol air putih, ya. Kakak lupa. Males
banget kalo malem-malem haus mesti turun dulu.”
“Siiip!” Syilla melompat-lompat kecil menuruni tangga. Di lantai dua rumah Nenek
hanya ada satu kamar tidur yang ditempati bersama oleh Syilla dan Keala, satu kamar
mandi kecil, teras mungil, dan satu ruang kosong di dekat tangga yang difungsikan
sebagai perpustakaan dan ruang belajar.

Ketika Syilla kembali ke lantai atas, ia menemukan Keala tidur meringkuk di ranjang.
Wajahnya pucat pasi. Ekspresi kesakitan yang amat sangat tergambar jelas di wajah
itu.

***

“Keala...”

Keala tak menjawab.

“Ke, sini bentar.”

Keala diam menahan nyeri. Ribuan jarum itu seperti mengikuti satu komando,
serentak menusuk-nusuk kepalanya.

“Keala...”

Keala masih tak menanggapi.

Suara-suara itu semakin bergemuruh. Memanggil- manggil nama Keala. Berebut


meminta perhatian Keala.

“Keala...”

Urat-urat di pelipis Keala berdenyut kencang.

“Keala...”

Hawa sedingin ines mengalir dalam pembuluh-pembuluh


darah di kepala Keala.

"Keala..."

Ribuan jarum menghunjam.

"Keala..."

"Ugh!"

"Kak... Kakak..." Syilla mengguncang-guncang tubuh Keala. "Kakak kenapa?"

Perlahan Keala membuka mata. Beberapa detik kemudian, matanya kembali


terpejam.

"Kak?"

"Pusing..." Wajah Keala seputih awan.

Syilla menoleh ke arah jam jadul di dinding kamar. Pukul 00.12. "Syilla bangunin
Bunda ya."

Keala hanya bergumam lirih, tak jelas apa yang ia katakan.

Syilla menyibak selimut tebalnya, lalu turun dari tempat tidur. Udara dingin Bandung
memeluk tubuhnya.

Lima menit kemudian Syilla kembali bersama Bunda. Di tangan Syilla ada gelas berisi
air putih hangat.

Bunda langsung memegang kening Keala. Tidak demam, tetapi wajah Keala pucat.
Urat-urat di keningnya bertonjolan, terlihat berdenyut-denyut kencang.

"Pusing, Bun."

"Minum obat pusing dulu, ya."

Keala diam saja ketika Bunda membantunya duduk lalu memberinya sebutir obat.
Setelah menelan obat itu, Keala kembali berbaring.
Bunda duduk di sisi Keala. “Kamu tidur aja lagi, Syil Biar Bunda yang jagain Kakak.”

Syilla mengangguk, kembali membungkus dirinya dengan selimut tebal. Tak sampai
lima menit, ia sudah terlelap.

Bunda memijat-mijat kepala Keala. “Pusingnya seperti dulu, Ke?”

“He-eh,” Keala bergumam pelan.

“Dipijet gini jadi enakan nggak?”

“Dikit,” sahut Keala.

“Kamu coba tidur, ya. Bunda nemenin di sini.”

Keala bergumam lalu, memejamkan mata. Matanya memang masih terasa diberati
kantuk. Namun, suara-suara di kepala dan tusukan jarum-jarum itu membuatnya tak
bisa pulas.

***

Sakit kepala malam itu seperti déjà vu. Seperti sakit kepala yang dulu, tetapi kali ini
terasa lebih menyiksa. Sakit itu terulang lagi esoknya, esoknya, esoknya.... Setiap
malam pula Keala mendengar suara-suara yang memanggil namanya.

Bermalam-malam kurang tidur, pusing dan ketakutan, membuat kondisi kesehatan


Keala merosot.

“Kamu pucat banget, Ke,” ujar Eizel ketika bertemu Keala siang itu sepulang sekolah.
“Sakit lagi?”

“Pusing dikit,” sahut Keala.


Sorot mata Eizel memancarkan kekhawatiran. “Kalau masih sakit, kenapa maksain
sekolah? Nanti kamu makin sakit.”

“Nggak apa-apa, kok.”

“Mendingan kamu istirahat aja dulu di rumah.” Keala menggeleng. “Kemarin itu aku
udah tiga hari nggak masuk. Kalo kelamaan, ntar bisa ketinggalan pelajaran.”

“Tapi kalo lagi masih pusing gini, memangnya kamu bisa konsen belajar?”

“Tadi ada ulangan Geografi.”

“Kamu kan, bisa minta ulangan susulan, Keala.”

Keala diam saja. Setiap malam dalam seminggu ini kepalanya diserang rasa sakit yang
luar biasa. Dokter Citra tak menemukan penyakit lain dalam tubuh Keala.
Diagnosisnya masih seperti semula.

Namun, keluhan pusing Keala yang terus-menerus membuat Dokter Citra merujuk
Keala ke dokter spesialis saraf. Ia khawatir ada masalah di saraf kepala Keala. Lebih-
lebih karena Keala mengeluh mendengar banyak suara memanggil namanya. Suara-
suara yang ternyata tak didengar oleh orang lain.

“Besok aku nggak masuk lagi, Zel.” “Pusingnya sekarang tapi nggak masuknya
besok?”

Tanya Eizel heran.

Keala menarik napas panjang. “Besok mau ke rumah sakit. CT-scan.”


“CT-scan?” Eizel terkejut.

“Dokter khawatir ada penyumbatan pembuluh darah atau malah tumor di kepalaku.”

Wajah Keala yang murung, cemas, dan pucat mencegah Eizel bertanya lebih lanjut.
Eizel meraih tangan Keala.

Keala mengangkat kepala, menatap Eizel. Baru kali ini Eizel menyentuh tangannya.
Tangan Eizel terasa dingin. Sangat dingin.

“Semua akan baik-baik aja, Ke. Dokter dan perangkat CT-scan itu nggak akan nemuin
masalah di kepala kamu.”

“Tapi aku sering mendengar suara-suara itu, Zel Suara-suara....” Keala menutup
mulut. Ups, tak perlu

Bercerita sejauh itu pada Eizel. Tapi Eizel sudah mendengarnya. “Suara-suara apa,
Ke?”

Keala tak menjawab.

Eizel melepaskan telapak tangannya yang sedingin es dari punggung tangan Keala.
“Percaya sama aku, Ke. Semua akan baik-baik aja.”

“Aku...”

“Kalau kamu denger suara-suara itu lagi, cobalah untuk menjawab mereka, Ke.”

“Menjawab?” tanya Keala tak mengerti.

“Kalau kamu mau menjawab mereka, suara-suara itu akan hilang. Kamu nggak akan
terganggu lagi.”

“Aku... aku nggak ngerti maksud kamu.”


“Kamu akan mengerti, Keala.” Keala malah semakin tak mengerti.

“Aku akan menunggu kamu di sini.” Eizel tersenyum lembut, lalu bersenandung
pelan, “Wherever you go whatever you do, I will be right here waiting for you,
whatever it takes or how my heart breaks, I will be right here waiting for you....”

Keala diam. Ia belum pernah mendengar lagu itu, tetapi untaian kata-katanya begitu
manis. Tanpa disadarinya, ia tersipu.

“Right Here Waiting. Richard Marx,” Eizel tersenyum lagi.

***

Meskipun sudah mengantongi surat pengantar dari dr. Arsyad, dokter spesialis saraf
yang dirujuk oleh dr. Citra, untuk menjalani pemeriksaan CT-scan, Bunda tak
langsung membawa Keala ke sana.

Pemeriksaan CT-scan dan kemungkinan hasilnya cukup menciutkan nyali Bunda.


Bunda takut bila pemeriksaan itu menujukkan adanya penyumbatan pembuluh
darah, saraf yang terjepit, atau kanker di kepala Keala.

Namun, keluhan sakit kepala Keala yang tak kunjung henti, akhirnya membulatkan
tekad Bunda untuk membawa Keala menjalani pemeriksaan CT-scan. Lebih baik
cepat mengetahui penyakit Keala yang sesungguhnya daripada terus-menerus
menelan obat yang mungkin tak tepat.
Jadilah hari itu Bunda izin pulang lebih cepat dari kantor untuk membawa Keala ke
rumah sakit. Dua jam setelah pemeriksaan dengan sinar X itu, Bunda mendapatkan
hasilnya. Bunda segera mengajak Keala ke ruang praktik dr. Arsyad.

Di sinilah mereka sekarang. Menatap dr. Arsyad yang serius membaca hasil
pemeriksaan itu. Bunda bahkan nyaris tak berkedip. Begitu tegang menanti kata-kata
yang akan meluncur dari mulut dokter berusia separuh abad

Itu.

Wajah dr. Arsyad tampak tenang. Seulas senyum menghiasi bibirnya. “Tidak ada
masalah apa-apa dengan Keala, Bu. Dia sehat.”

“Tidak ada tumor, tidak ada kanker, tidak ada penyumbatan pembuluh darah?”
Bunda menegaskan.

“Tidak,” dr. Arsyad tersenyum. “Hasil CT-scan sangat jelas dan tidak ada penyakit
apa-apa di kepala Keala.”

Bunda menghela napas panjang. Lega. Di sebelahnya, Keala tersenyum. Eizel benar.
Semua baik-baik saja.

***

Tengah malam itu Keala kembali merasakan sakit kepala yang sangat. Suara-suara
tanpa wujud memanggil-manggil namanya.

“Keala...”

“Ke...

“Keala Jasmine...”
Pikiran bawah sadar Keala mengingatkan sesuatu. “Kalian... kalian siapa?”
gumamnya.

“Akhirnya!”

“Mau menyahut juga.”

“Keala, lama sekali kamu mengerti.”

“Kalian... yang bikin aku sakit?”

“Bukan. Kamu sendiri.”

“Karena kamu menolak.”

“Kenapa nolak sih, Ke?”

“Kami udah lama banget nungguin kamu.”

“Nung... nungguin aku?”

“Lima belas tahun.”

“Tujuh puluh sembilan tahun.”

“Tiga puluh empat tahun...”

Tubuh Keala sedingin es. “Kalian... kalian siapa?” Sepi.

Kepala Keala terasa bagai ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Nyeri. Sangat nyeri.
Lorong gelap tempatnya berdiri seolah berputar kencang. Kabut putih tebal muncul
dari berbagai penjuru, menyergapnya. Membungkus tubuhnya. Membuatnya tak
bisa melihat apa-apa.

“Wherever you go whatever you do, I will be right here waiting for you, whatever it
takes or how my heart breaks, I will be right here waiting for you...”

Keala mengenal suara itu. Keala pernah mendengar lagu itu. Pernah mendengar
seseorang menyenandungkan lagu itu.
Kabut putih itu menipis. Semakin tipis, semakin tipis. Sosok yang tak asing bagi Keala
muncul dari balik kabut itu.

“Eizel?”

Eizel tersenyum. “Mereka mengganggumu?”

“Aku... aku nggak ngerti,” sahut Keala lemah.

“Aku menunggumu. Lama sekali. Kamu ke mana saja?”

“Aku... nggak ngerti....”

“Masih pusing?”

Keala diam, merasakan. Ada yang berbeda. Sepi. Suara-suara itu hilang. Tusukan
ribuan jarum di kepala Keala pun hilang.

***
“Dari mana kamu tahu?”
Eizel meluruskan kakinya yang panjang. Mumpung sekolah masih sepi dan belum
banyak yang berlalu-lalang di koridor depan kelas XI IPS. Jadi, kakinya tak akan
mengganggu siapa-siapa.

Keala memiringkan posisi duduknya hingga dapat menatap cowok berkacamata di


sebelahnya. Ia sengaja datang lebih pagi daripada biasanya agar dapat menemui
Eizel.

Setahu Keala, Eizel memang biasa datang pagi-pagi. Kalau tak bisa ke perpustakaan
karena ruangan itu masih dikunci, ia sering duduk di bangku koridor atau berdiri saja
di pintu gerbang belakang. Ketika tadi Keala tiba di sekolah sepuluh menit sebelum
pukul setengah tujuh, Eizel juga sudah tiba. Keala menemukan cowok jangkung itu
sedang berdiri mematung di pintu gerbang belakang.

Keala tahu itu Eizel. Keala hafal tas ranselnya. Keala juga hafal postur tubuh, cara
berdiri, potongan rambut, hingga jaket Eizel.
"Kita ngobrol di depan kelas kamu aja, Ke. Kalo di sini, bisa-bisa kamu nggak sempat
milih tempat duduk. Nanti teman-temanmu keburu datang."

Meski penasaran tingkat mahadewa, Keala menurut. Di semua kelas di sekolah ini,
siapa yang lebih dulu datang bisa memilih mau duduk di kursi mana. Merepotkan,
tapi juga menyenangkan.

Setelah menyimpan tas di meja ketiga di dekat jendela, Keala kembali menemui Eizel
di beranda kelas dan menagih jawaban atas pertanyaannya. Namun, sampai Keala
mengulanginya dua kali, Eizel masih tak menjawab.

"Zel," panggil Keala. "Dari mana kamu tahu dokter nggak akan nemuin penyakit apa-
apa di kepalaku?"

Eizel tak menjawab. Tatapannya lurus ke arah taman. Dari hari ke hari taman itu
semakin indah, semakin teduh. Pohon-pohon yang berada taman semakin rimbun,
bunga- bunga pun semakin sering menyuguhkan warna-warni indahnya. Sayang
kolam di tengah taman itu semakin tak terurus. Airnya tak lagi bersih. Teratai pun
seperti enggan tumbuh subur di sana. Mungkin sebagai aksi protes karena anak-anak
SMA ini sering menjadikan kolam itu sebagai tempat mengeksekusi teman yang
berulang tahun. Sudah tak terhitung murid yang diceburkan di sana bila ketahuan

lagi berulangtahun. "Zel, dari mana kamu tahu?" pertanyaan Keala terus mengejar.
“Jangan paksa aku untuk menjawab Ke,” ujar Eizel akhirnya.

“Kenapa?”

“Ssst! Nggak usah keras-keras,” tegur Eizel. “Dilihatin orang, tuh!”

Keala cemberut. Ia baru akan membalas teguran Eizel ketika menyadari tatapan
beberapa murid yang kebetulan lewat tak jauh dari kelas XI IPS. Keala menunduk.

“Tuh! Malu, kan dilihatin orang kayak gitu?” tegur Eizel lagi.

“Kamu sih, nggak mau jawab pertanyaanku,” gerutu Keala.

Eizel diam sejenak. “Ke...” Ia diam lagi. Keala mengangkat kepala, menatap Eizel.
Wajah tampan itu terlihat murung.

“Aku tahu, Keala,” ujar Eizel pelan. “Aku bisa ngerti yang kamu rasakan sekarang.
Kemarin...”

Tatapan Keala menyusuri wajah itu. Mencoba mencerna, menganalisis kata demi
kata yang keluar dari mulut Eizel. “Kamu...” Keala ragu-ragu sejenak, “kamu... pernah
mengalami yang aku rasakan sekarang?”

Eizel tak segera menjawab.

“Kamu pernah ngerasain sakit kepala seperti aku?” tanya Keala lagi.

Eizel masih diam.

Keala tak mengejar jawaban. Air muka Eizel mencegahnya. Ia memandangi


sekitarnya. Sudah mulai
Ramai. Sudah banyak yang datang. Banyak pula yang berlalu lalang di depan
kelasnya. Ia menarik napas panjang, mengalihkan pandangan ke taman.

Detik berikutnya Keala tersentak ketika melihat dua anak kecil berambut pirang
keemasan sedang asyik bermain di dekat pohon bugenvil berbunga ungu. Seorang
anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Mereka berceloteh dalam bahasa
Indonesia yang aneh. Bahasa Indonesia dengan aksen Eropa yang sengau.

Merasa diperhatikan, kedua anak itu menoleh pada Keala, memperhatikan gadis itu
sejenak, lalu tersenyum. Si bocah laki-laki melambaikan tangan dan menggerakkan
kaki untuk menghampiri Keala. Baru satu langkah, si bocah perempuan menarik
tangannya. Setelah itu, mereka menghilang.

Tubuh Keala lemas. Ya Tuhaaan... apa itu?

“Ke...”

Suara Eizel terdengar sangat jauh.

“Keala...”

Jantung Keala serasa copot ketika telapak tangan Eizel menyentuh tangannya.
Sentuhan itu begitu dingin. Eizel seperti baru mengeluarkan tangannya dari freezer.
“Zel, kamu... kamu... juga...”

Eizel mengangguk.

“Kamu... lihat juga? Anak kecil bule tadi?” Keala tergagap-gagap.

Eizel mengangguk lagi.


Keala terpana.

“Jangan khawatir, Keala. Semua akan baik-baik aja.”

“Mereka... hantu?”

Eizel mengangguk murung. “Jangan takut, Ke...”

“Jangan takut karena melihat... hantu?” tanya Keala serak. Ketakutan mencengkeram
hatinya.

“Tenang, Ke...”

“Tenang? Gimana bisa...” Keala panik. Tubuhnya menggigil.

Eizel menggenggam telapak tangan kiri Keala, berusaha mengalirkan ketenangan


pada gadis itu. Yang ada, Keala justru semakin kedinginan. “Mereka nggak akan
berani ganggu kamu, Ke.”

“Tapi... tapi,” Keala terbata-bata.

“Percaya sama aku. Nggak ada yang akan ganggu kamu,” ujar Eizel. Lembut tetapi
menyiratkan kepastian.

“Aku... aku...” Keala masih tergagap-gagap. “Gimana aku bisa ngelihat...”

Eizel tersenyum. “Pada saatnya kamu akan tahu.” Ricky lewat. Lalu Vanessa. Dari
arah yang berlawanan, Ninna melangkah riang bersama Kevin. “Teman-temanmu
udah dateng. Si tukang berantem

Itu juga. Aku nggak mau bikin gara-gara sama dia.”

“Kevin?”

Eizel tersenyum tanpa menjawab. “Aku ke kelas dulu.” Ia berdiri. “Tenang ya, Ke.
Jangan takut.”

Keala menatap Eizel.


“Aku selalu nemenin kamu. Wherever you go, whatever you do, I will be right here
waiting for you.” Wajah tampan itu sudah kembali tersenyum.

Keala menatap Eizel. Lagu itu lagi. Lagu yang tadi malam disenandungkan oleh Eizel
dalam mimpi. Keala tersipu ketika teringat semalam ia memimpikan Eizel.

***

Hari-hari berikutnya, Keala mendapati Eizel benar. Tak ada yang mengganggu Keala.
Pusing di kepala Keala menghilang. Suara-suara tanpa wujud yang kemarin- kemarin
sering mengganggu Keala pun lenyap.

Eizel pun menepati janjinya untuk menemani Keala. Setiap hari ia menemui Keala
meski hanya sebentar. Di depan kelas Keala atau di perpustakaan. Keala pun
mendapati Eizel seolah berada di mana-mana di lingkungan sekolah mereka.

Keala melihat Eizel di kantin, di tempat parkir, di gerbang belakang, atau sedang
bergegas di koridor utama untuk menuju laboratorium bersama segerombolan anak
kelas XII IPA 5. Sering kali Eizel hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada
Keala. Itu saja, namun sudah cukup bagi Keala.

“Ngelamun aja, Ke!”

Suara itu membuat Keala menoleh.

Kevin langsung duduk di sebelah kanan Keala, di


Bangku panjang di depan kelas mereka. Tubuhnya meru- apkan aroma segar.

Tanpa sadar Keala menghirup aroma itu dalam-dalam. Segar sekali. Segar yang
maskulin. Cowok banget.

“Nggak baek tuh ngelamun pagi-pagi!” ujar Kevin. “Siapa juga yang ngelamun,”
bantah Keala. “Aku nggak

Ngelamun, kok.”

Kesewotan Keala malah membuat Kevin tertawa. “Kalem, Ke! Gue Cuma ngingetin.
Nggak baek ngelamun di sini.”

“Oh, jadi bagusnya kalo mau ngelamun di mana?”

“Di hati aku aja,” Kevin tersenyum lebar.

“Nggak baek tuh ngegombal pagi-pagi!” sindir Keala.

Kevin malah tertawa.

Keala mencibir, lalu menoleh ke sebelah kirinya. Alisnya langsung terangkat tinggi-
tinggi ketika tak menemukan Eizel di sebelahnya. Lho, Eizel ke mana? Kok pergi nggak
bilang-bilang?

“Kevin yang diam-diam suka merhatiin kamu itu, Ke? Hati-hati, Keala. Dia beberapa
kali diskors karena berkelahi.”

Keala tersentak. Suara Eizel seperti menggaung jelas dalam pendengarannya. Eizel
memang pernah mengatakan itu beberapa waktu lalu, tapi... Keala memejamkan
mata.

“Yaela... si Keala!” Kevin menggeleng-geleng. Keala membuka mata, lalu menoleh


pada Kevin.

“Baru dibilangin supaya jangan ngelamun di sini, eh... malah ngelamun lagi!”
Keala menatap Kevin, tetapi pikirannya melayang pada Eizel. Kenapa Eizel pergi
diam-diam? Apa dia... cemburu? Kenapa Eizel cemburu? Kata orang, cemburu itu
karena cinta. Apa Eizel...

Pipi Keala merona ketika memikirkan kemungkinan Eizel menyukainya.

Kevin terpana ketika melihat semburat merah muda menjalari kedua pipi Keala. Ia
menelan ludah. “Ke...” Tatapan Keala masih tertuju pada Kevin.

“Eciyeeeh...! Ada yang lagi pacaran rupanya!” Suara cempreng Ninna dengan
“eciyeh-eciyeh nya langsung menyadarkan Keala dan Kevin. Mengembalikan mereka
ke alam sadar.

Ninna memaksa Kevin bergeser sedikit. Setelah itu, dengan tenang Ninna
menempatkan tubuhnya di antara Kevin dan Keala.

“Hobi amat nyelip, Nin?” gerutu Kevin.

“Saya ngeganggu, yaaa?” Ninna nyengir.

“Nggak.”

“Iya.”

Tawa Ninna langsung berderai ketika mendengar jawaban Keala dan Kevin yang
bertolak belakang itu. “Nama sih, boleh mirip,” ledek Ninna. “Tapi jawaban kok bisa-
bisanya nggak kompak gitu, ya? Kalian harus lebih intensif berlatih vokal, tuh.
Menyatukan suara dan menyatukan hati.”

“Kayak mau ikut audisi apaan aja,” komentar Kevin.


Ninna tertawa lagi.

“Iya, nih. Ninna gosip banget,” ujar Keala. “Siapa juga yang pacaran?”

“Emangnya tadi bukan lagi pacaran, ya?” goda Ninna. “Bukan,” sahut Keala.

“Atau lagi pedekate?” Ninna masih saja menggoda. La melirik Kevin.

Keala diam saja. Benaknya mengingat sesuatu yang lain. “Kevin yang diam-diam suka
merhatiin kamu itu, Ke?” Suara Eizel kembali mengiang dalam pendengaran Keala.
Eizel malah lebih tahu daripada Keala sendiri. Dari mana Eizel tahu? Apa Eizel pernah
mergokin Kevin memperhatikan aku? Di perpustakaan, mungkin? Atau di kantin? Di
koridor? Di lapangan?

“Inget, dong, Pak Buchori tuh pernah bilang... kalo bukan muhrim nggak boleh
berdua-duaan kayak tadi,” ucap Ninna. “Soalnya... yang ketiganya tuh pasti setan.
Inget nggak? Makanyaaa kalo pas pelajaran agama jangan ngelamun aja. Perhatiin
dong, perhatiiiiin. Kayak Ninna Almeida ini dong.”

“Iya iya,” sahut Kevin kesal. “Sekarang juga setannya udah dateng.”

“Mana? Mana?” Ninna celingukan. “Nih, yang nyelip!” sahut Kevin.

Disindir seperti itu Ninna malah tergelak-gelak. “Saya mah bukan setan tapi bidadari
pembawa kebahagiaan, tahuuu!”
Keala menarik napas lega ketika akhirnya bel masuk berdering nyaring. Jam pelajaran
pertama akuntansi. Mudah-mudahan Ninna tak akan sempat menggoda lagi. Ninna
memang tak tertarik pada pelajaran menghitung duit orang itu, tapi Pak Edwin terlalu
streng untuk diabaikan. Jadi, Ninna pasti tak akan berani main-main dalam pelajaran
ini.

Namun, dugaan Keala salah.

Di tengah-tengah pelajaran, Ninna menggeser secarik kertas ke hadapan Keala.

Ke, Kevin itu kan memang naksir kamu. Serius, lho.

***

Semula Keala mengira Ninna hanya menggodanya. Bukankah selama ini justru Ninna
yang terlihat dekat dengan Kevin? Siapa tahu sebenarnya mereka pacaran diam-
diam? Duh, Keala tak bisa membayangkan betapa malunya jika hal itu benar. Seperti
dikerjain dan disorot oleh kamera tersembunyi saja.

Namun, ternyata Keala salah. Ninna tak hanya sedang menggoda.

“Saya dengan Kevin, mah, Cuma teman biasa, Ke.”

“Lebih dari biasa juga nggak apa-apa, Nin,” tanggap Keala sambil mengaduk-aduk es
timun di gelasnya.

Ninna yang mengajaknya makan di Kedai Aceh ini. Kata Ninna, ia baru dapat
transferan royalti dari penerbit
Novelnya. Keala sendiri baru tahu kalau Ninna yang asli Sunda itu adalah penggemar
makanan Aceh.

“Lidah tak kenal asal suku,” Ninna enteng saja menjawab pertanyaan Keala. “Kalau
emang enak ya... tetap aja enak. Nggak peduli itu makanan dari suku apa juga.”

Isenglah bertanya pada Ninna tentang rumah makan Aceh di Bandung. Ninna akan
segera menjelaskannya seperti mobil tak punya rem. Ia fasih sekali menyebut nama-
nama rumah makan yang menyajikan hidangan khas Serambi Mekah itu, lengkap
dengan jenis-jenis makanan yang layak dan sangat layak dicicipi di sana.

Kali ini pilihan Nina adalah Dapur Aceh, tak jauh dari sekolah mereka. Kata Ninna,
tempatnya memang jauh lebih kecil dan lebih sederhana dibandingkan rumah makan
Aceh yang di Dago atau di Buah Batu. Hanya ada tujuh meja di sini, masing-masing
dengan empat kursi plastik. Namun, soal rasa, Ninna berani menjamin Keala tak akan
kecewa.

Ninna asyik mengunyah mi goreng seafood. “Saya udah mati rasa sama Kevin,” ujar
Ninna setelah mulutnya kosong.

“Kevin kan keren, Nin. Pinter, lagi.”

Ninna tak jadi memasukkan suapan berikut ke mulutnya. Ia tertawa. “Haduuuh,


Kealaaa! Kan barusan saya bilang, saya udah mati rasa sama dia. Mau dia keren,
pinter, atau apalah... nggak pengaruh lagi ke saya mah.”

“Kenapa?”
Ninna mengangkat bahu. “Nggak tahu. Bagi saya mah dia Cuma temen. Udah. Gitu
aja.”

“No reason?” Keala mengangkat alis.

Ninna mengangguk meyakinkan. Mulutnya sudah sibuk mengunyah lagi. “Cinta bisa
datang dalam sekejap atau nggak akan datang selamanya,” ujar Ninna kemudian. “Itu
kata pujangga, bukan kata saya. Kalau kata orang Jawa, cinta itu bisa datang karena
sering ketemu. Witing tresno jalaran soko kulino.”

Keala melihat celah untuk membalikkan kata-kata Ninna. “Nah, itu!”

“Apanya?”

“Siapa tahu nanti-nanti kamu dan Kevin bakal saling jatuh cinta,” ujar Keala, melirik
Ninna.

Ninna tergelak mendengar komentar Keala. Akibatnya, beberapa potong kecil mi


terlontar dari mulutnya. “Sorry,” Ia nyengir. “Kamu sih. Lucu amat.”

“Nggak lucu ah,” tolak Keala. “Aku serius.”

“Tingkat dewa?” tanya Ninna iseng.

“Kakeknya dewa.”

Ninna tertawa lagi. Ia meletakkan garpunya. “Saya juga serius, Ke.” Ia menatap Keala.
“Kevin itu serius naksir kamu. Sejak hari pertama kamu masuk ke kelas kita.”

“Sotoy, ah!”

“Sotoyku bukan sotoy biasa,” Ninna nyengir. “Sotoy spesial. Hehe... saya beneran,
Kea.”

“Tahu dari mana?” tanya Keala. Sepertinya hanya ia


Yang tak tahu kalau Kevin naksir dirinya. Ninna tahu Eizel yang tak sekelas dengan
mereka pun tahu.

“Kevin yang cerita sama saya,” ujar Ninna tenang.

“Eh?”

Ninna tak menjawab, kembali asyik memasukkan suapan demi suapan mi goreng ke
mulutnya, lalu mengunyahnya dengan nikmat.

Keala tak mengejar. Ia pun memilih menghabiskan mi goreng di piringnya. Setelah mi


goreng ini masih ada...Keala melirik piring putih persegi di depan mereka. Roti cane
susu. “Kevin cerita sama Ninna. Tapi kayaknya nggak mungkin Kevin juga cerita ke
Eizel. Kalau iya, betapa embernya Kevin! Ember cap dua komodo,” pikir Keala. Ia
merenung. “Tapi sepertinya Kevin bukan jenis cowok ember seperti itu. Jadi, dari
mana Eizel tahu?”

“Jatuh cinta pada pandangan pertama,” kata Ninna membuyarkan lamunan Keala.

Keala melirik Ninna.

“Inget nggak, waktu nilai ulangan matematika dan akuntansi kamu ancur-ancuran
gitu?”

Keala mengangguk. “Nggak enak diinget, apalagi diulangi.”

“Pastinyaaa! Siapa juga yang mau?” Ninna tertawa. “Nah, waktu itu Kevin bilang ke
saya, dia mau banget ngasih les privat ke kamu.”

“Oh, ya?”

“Iya,” Ninna mengangguk mantap. “Dia sedih ngeliat


Kamu kayak yang stres banget tiap hasil ulangan atau kuis dikembaliin.”

“Kayaknya kamu tuh yang butuh les privat sama Kevin, Nin,” komentar Keala.

“Hahaha,” malah Ninna tergelak-gelak. “Kevin mah malesss ngajarin saya Ke, soalnya
saya nggak ngerti-ngerti. Hehehe. Dia juga udah males banget lihat saya yang lebih
cuek daripada bebek kalo dapat nilai di bawah enam puluh. Yeee... saya kan emang
nggak minat sama yang itung- itungan gitu,” celoteh Ninna tanpa beban. “Kembali ke
Kevin. Menurut kamu, kalau bukan karena cinta, karena apalagi tuh, Ke?”

“Nggak tahu.”

“Kayaknya kalian emang jodoh. Nama kalian aja mirip. Keala dan Kevin. Kayak orang-
orang zaman baheula, tuh. Suparno dan Suparni. Maryono dan Maryani. Setiadi dan
Setiati,” Ninna cekikikan. “Seperti tren fashion, Ke. Setelah muter ke mana-mana,
akhirnya kembali lagi ke awal.” Keala tertawa geli. Kalau semua orang seperti Ninna,

Mungkin nggak ada yang namanya stres. “Cumaaa... Kevin belum berani bilang sama
kamu, Ke.”

“Kok malah kamu yang bilang?” tanya Keala heran. “Kevin yang nyuruh....”

“Hahaha bukaaan!” sambar Ninna. “Saya nggak sabaaar! Kevin kelamaan ah


pedekatenya. Saya kan pengin tahu ending-nya gimana. Happy ending, sad ending,
atau
malah open ending."

"Dasar pengarang!"

Ninna tergelak. "Jadi gimana, Ke?"

"Apanya?"

"Kevin. Bakal diterima atau enggak, nih?"

Keala merenung. Kevin memang keren. Dia juga baik dan pintar walaupun sering
bolos dan sering berkelahi. Tapi... Keala menggeleng. "Nggak deh, Nin."

Bibir Ninna membulat, matanya juga. Detik berikut, pertanyaan-pertanyaan berebut


keluar dari mulutnya. "Kenapa? Kevin kurang apa? Eh, kamu masih jomblo, kan?
Belum punya pacar? Di sekolahmu yang lama juga nggak ada, kan? Atau kamu punya
gebetan lain? Siapa? Uuuh, jadi penasaran gini, euy."

Keala meminum es timun serutnya pelan-pelan. Wajah Eizel melintas di matanya.


Pulang sekolah tadi ia tak sempat menemui Eizel karena Ninna langsung
membawanya ke sini. Senyum Eizel menjelma dalam pandangan Keala. Keala
tersenyum.

"Malah senyum-senyum sendiri!" cetus Ninna. "Keala! Hellooow!"

Keala menatap Ninna. Masih tersenyum. "Anak kelas dua belas."

Ninna melongo. "Anak kelas dua belaaas?" ulangnya.

Keala mengangguk.

"IPS?"

"IPA."
“Kamu jadian sama anak kelas dua belas IPAAA?” “Belum jadian kok,” ralat Keala.

Pandangan Ninna penuh selidik. “Kamu suka sama dia?”

“Ya. Dia yang selalu nemenin aku, yang ngasih semangat waktu aku stres banget. Dia
juga selalu ada kalo aku butuhin.” Keala tersenyum. Nggak Cuma di alam nyata, dia
bahkan menemaniku sampai ke alam mimpi. Kalimat terakhir hanya bergaung di
benak Keala, namun membuat wajahnya semakin bersemu.

Ninna menatap Keala tanpa berkedip. Ekspresinya, nada suaranya... ya ampuuun!


Keala benar-benar jatuh cinta. “Ke, dia ke kamu gimana? Kalo Cuma kamu yang suka
dia tapi dia enggak, mendingan kamu milih Kevin, Ke...”

“Sepertinya dia juga,” ujar Keala. “Dia cemburu sama Kevin.”

“Eh?”

“Kalau bukan karena dia juga suka ama aku, karena apalagi tuh?” Keala
mengembalikan pertanyaan Ninna. Ninna tak bisa menjawab.

***

“Mana?” Ninna celingukan, memperhatikan setiap sudut perpustakaan. Setelah


mendengar sepotong cerita Keala kemarin siang, Ninna memaksa Keala
menunjukkan kakak kelas yang membuat Keala jatuh cinta.
Keala tak menjawab. Matanya pun sibuk mencari keberadaan Eizel. Cowok
berkacamata itu tak terlihat di mana-mana.

“Apa ngumpet di kolong meja?” tanya Ninna. Ia membungkuk, memperhatikan


kolong-kolong meja baca.

“Ngaco, ah!” ujar Keala.

Ninna tertawa geli. “Abis penasaran banget nih, Ke. Eh, tanya ke Pak Dede aja. Kali
Pak Dede tadi ngeliat gebetanmu itu ke sini. Pak Dede kan stand by terus di sini.”

“Nggak usah, Nin!” Keala mencegah Ninna sekaligus menarik sahabatnya itu ke luar
perpustakaan.

“Lho, Keee.”

“Malu, ah. Masa nanya gitu ke Pak Dede?”

Ninna manyun. “Kealaaa! Saya bisa mati penasaran kalo gini caranyaaa! Masa kamu
tega?”

“Hus! Jangan sebut-sebut mati penasaran, ah!” tegur Keala. Entah kenapa ia merasa
tak enak. Terbayang di benaknya dua anak bule yang asyik bermain di taman depan
kelas. Tiba-tiba saja mereka muncul, lalu tiba-tiba menghilang.

Meski sejak itu tak pernah melihat mereka lagi, Keala bisa merasakan mereka ada,
menatapnya dari taman itu, terkadang mengikutinya.

“Ah iya! Kalo mati penasaran bisa-bisa saya jadi hantu gentayangan,” celetuk Ninna.
“Nggak banget! Masa Ninna Almeida jadi hantu gentayangan? Nggak leveeel!”
Keala mendelik kesal. Dilarang menyebut “mati penasaran”, Ninna malah menyebut
“hantu gentayangan”.

“Kamu tahu kelasnya kan, Ke?”

Keala mengangguk. “XII IPA 5.”

“Naaah kita ke sana.”

Ujung kalimat Ninna hilang ditelan bunyi bel yang memekakkan telinga.

“Ya ampun!” Keala menepuk dahi.

“Apa?”

“Aku baru inget. Kemarin dia bilang, abis istirahat hari ini kelasnya pindah ke lab
fisika.”

“Susah deh, berurusan sama anak IPA,”Ninna meringis. “Jadi kemungkinan dari tadi
dia di lab, ya? Pantes aja nggak muncul di sini.”

“Belum tentu juga, sih. Bisa aja abis bel baru mereka ke lab,” sahut Keala tak yakin.
“Eh, tuh!”

Serombongan murid keluar dari gedung utama. Sebagian sudah mengenakan jas lab,
sebagian lagi masih menyampirkannya di lengan atau pundak.

“Itu sih kelas XII IPA 3, Ke,” ujar Ninna setelah mengamati rombongan itu. “Tuh, ada
Kang Ervan yang mantan Ketua OSIS.”

Keala juga mengamati satu per satu. Eizel tak ada. Benar kata Ninna. Ini bukan kelas
Eizel. Ada tiga lab di belakang sana. Mungkin kelas yang ini akan ke lab kimia atau
biologi.

“Lain kali aja deh kalo gitu. Bu Lusi keburu masuk,


Nih!” Ninna menarik tangan Keala untuk meninggalkan koridor utama.

Keala mengangguk meski sedikit kecewa. Tak genap rasanya bila belum melihat
senyum Eizel. Tapi ia tahu, Ninna juga benar.

Baru dua langkah mereka mengayun langkah ke kelas, terdengar bunyi riuh dari pintu
gedung utama.

“Bentar, Nin!” ujar Keala. Matanya langsung mencari- cari. Ya, ini kelas XII IPA 5. Ia
sering melihat mereka bersama Eizel. Eizel... mana Eizel?

Mata Keala berbinar gembira ketika melihat Eizel terselip di sana. Ia tersenyum,
membalas senyum Eizel. Beberapa teman Eizel balas tersenyum pada Keala.

Keala tersipu. Duh, apa anak-anak XII IPA 5 emang iseng gitu, ya? Apa mereka semua
emang punya hobi yang sama, menyambar senyum yang sebenarnya bukan untuk
mereka?

Eizel tertawa melihat ulah teman-temannya. Ia melambaikan tangan pada Keala,


memberi isyarat jika ia harus buru-buru ke lab.

“Ke, yang mana sih?” Ninna mencolek Keala. “Dari tadi kamu senyum-senyum terus
tapi nggak ngasih tahu yang mana orangnya.”

“Yang tadi senyum-senyum.”

“Haduh, Kealaaa! Please deh ah! Kasih tahu, yang mana orangnyaaa!”

“Yang tinggi, cakep, pake kacamata.”


“Yang manaaa?” Ninna penasaran. “Ke kelas yuk, Nin.” Keala menarik tangan Ninna.
“Kealaaa!” Ninna penasaran tingkat mahadewa. “Yang mana, siiih? Kok tadi saya
nggak lihaaat?”

“Kamu tadi pasti ngelihat ke arah yang salah, Nin.”

“Arah yang salah gimana? Tadi saya merhatiin cowok- cowok XII IPA 5, kok.”

“Nah, itu! Kamu salah fokus kali, Nin.”

“Eaaa! Salah fokus!”

“Kalo bukan salah fokus, apa dong, Nin? Jelas banget gitu.”

“Tapi tadi saya nggak lihat,” Ninna bersikeras.

“Salah fokus, kataku juga,” ujar Keala. “Kan di kelas itu cowoknya banyak banget. Eh,
itu Bu Lusi! Buruan!”

Keala dan Ninna segera berlari ke kelas. Bu Lusi, biarpun cantik jelita tapi disiplin luar
biasa. Telat langkah darinya berarti tak boleh masuk ke kelasnya.

***
Kantin yang berada di kawasan kampus ITB di Jalan
Ganesha itu sedang tak terlalu ramai. Ketika Ninna dan Kevin tiba di sana,
serombongan mahasiswa baru saja meninggalkan kantin. Untunglah. Itu berarti ada
meja yang kosong.
Meski begitu, Ninna dan Kevin tetap saja perlu mengantre untuk mengambil
makanan. Kevin mengambil nasi, balado telur, dan capcay. Di belakang Kevin, Ninna
mengambil nasi, sayur sawi putih, dan tiga tusuk sate kerang.
Makanan di kantin ini sangat ramah bagi kantong mahasiswa dan pelajar.
Walaupun murah, rasa makanannya tak mengecewakan. Tempatnya pun bersih dan
cukup nyaman. Itu sebabnya sepulang sekolah tadi Kevin mengajak Ninna makan
siang di sini.
Ninna tahu betul maksud Kevin mengajaknya makan siang. Namun, ia tak
menolak. Ditraktir makan siang? Mau banget. Apalagi makan di kantin ini berbonus
cuci
mata karena banyak mahasiswa cakep, agak cakep, dan anggap saja cakep
berseliweran.

"Niat kuliah di kampus ini, Kev?" tanya Ninna setelah meletakkan piring dan gelas air
putihnya di meja. Kevin duduk di seberang Ninna. "Ya, kalau kampus ini membuka
jurusan akuntansi."

"Fakultas Teknik Ekonomi ya, Kev? Berarti nanti tetanggaan dengan Fakultas Teknik
Sastra," Ninna cekikikan.

Kevin tertawa pelan, lalu mulai menyantap makanan- nya. "Keala udah punya
gebetan?" tanya Kevin setelah makan beberapa suap. Ini misi utamanya mengajak
Ninna makan di sini. Tadi di sekolah Ninna hanya memberi sepotong, benar-benar
sepotong, informasi tentang ini. Informasi tanggung yang menyebalkan, sekaligus
membuat penasaran.

Ninna mengangguk.

"Anak XII IPA?"

Ninna mengangguk lagi.

"Trus, anak kelas dua belas itu... suka juga sama Keala?"

Lagi-lagi Ninna mengangguk. "Tabahkan hatimu, Kev," ujar Ninna dengan gaya
dramatis yang ia tiru mentah-mentah dari sinetron.

Kevin menyandarkan punggung di kursi. Capcay dan

balado telur di depannya tak lagi menarik. "Kalem, Kev. Kan mereka belum jadian.
Masih ada
peluang. Ayo, jangan menyerah. Sekali layar terkembang, pantang surut ke pantai."

"Memangnya siapa yang mau berlayar?" tanya Kevin bingung.

Ninna menepuk jidat. Ia lupa. Berbicara dengan Kevin tak bisa dengan bahasa kiasan,
peribahasa, pepatah, atau apa pun yang berbunga-bunga. Kecuali bunga deposito
dan bunga bank. Mau pakai bunga tunggal atau bunga majemuk, Kevin pasti bisa
menghitungnya dengan mudah.

"Maju terus pantang mundur!" Barulah Kevin manggut-manggut.

"Jangan mudah nyerah. Berjuang sekuat tenaga. Perjuangkan sampai titik darah
penghabisan. Maju tak gentar. Pokoknya, jangan nyerah..."

"Iyaaa, ngerti," sela Kevin. Ninna menatap Kevin, lalu mengangguk puas "Akhirnya
kamu ngerti juga."

Kevin menatap kesal. Dari tadi juga udah ngerti! Rem bicara Ninna aja yang lagi
blong.

"Keala tuh anak baru di sekolah kita, tapi udah dapetin kakak kelas aja," ujar Ninna.
"Eh, udah hampir dapetin kakak kelas, maksudku."

"Dan kamu yang udah dari kelas sepuluh di sini belum dapat-dapat juga, ya?" sindir
Kevin.

Ninna nyengir. "Hehe... iya."

"Mungkin kamu emang ditakdirkan jomblo sampai lulus SMA, Nin."


“Hahaha... emangnya kamu nggak jomblo? Baru naksir aja udah patah hati. Duuuh...
kasihan amat, siiih? Padahal baru juga denger Keala taksir-taksiran sama kakak kelas.
Gimana kalo bener-bener ditolak sama Keala? Bisa-bisa kamu langsung bunuh diri,
loncat dari pohon toge!”

“Coba aku bisa suka sama kamu dan kamu juga bisa suka sama aku. Kita nggak perlu
jadi sepasang jomblo mengenaskan seperti ini,” celetuk Kevin.

Mengenal Ninna sejak kelas sepuluh tak sedikit pun menumbuhkan perasaan lain di
hati Kevin. Lain dengan Keala. Pertama kali melihat Keala, Kevin langsung jatuh cinta.
Cinta pada pandangan pertama. Terdengar terlalu cemen bagi seorang cowok seperti
Kevin. Tak kenal takut saat berkelahi, tapi takluk oleh cinta. Tapi ternyata itulah yang
terjadi.

Ninna terbahak. “Kamu, kaliii yang jomblo mengenaskan. Saya mah jomblo
menggemaskan. Hahaha.”

Kevin tertawa. “Nin, gebetan Keala itu yang mana?”

“Mau ngapain?” tanya Ninna kaget. “Mau kamu gebukin? Atau mau kamu ancam
biar nggak ngedeketin Keala lagi?”

“Kalau perlu,” ujar Kevin.

Ninna makin terkejut. “Hadoooh! Jangan sampai kejadian! Inget, dia itu kakak kelas
kita. Nggak lucu banget kalo kita sampe musuhan sama anak kelas dua belas. Lagian,
kamu nggak lihat sih ekspresi Keala waktu
Ngomongin gebetannya itu. Eh, tapi emang mendingan jangan lihat, ding!”

“Kenapa?”

“Ekspresinya, Keeev... ekspresinyaaa! Penuh cinta gitu Berbunga-bunga banget.


Ups!” Ninna menutup mulut dengan telapak tangan. “Sorry, Kev.” Ia menatap Kevin
dengan raut menyesal.

Wajah Kevin tak menunjukkan ekspresi apa-apa Namun, itu justru membuat Ninna
cemas. Siapa yang bisa menduga apa yang ada di dalam benak Kevin? Ninna kenal
Kevin. Cowok satu itu tak kenal menyerah jika sudah menginginkan sesuatu. Ninna
menutup mulut rapat-rapat, khawatir keceplosan lagi. Bisa repot urusannya nanti.

“Kamu tahu gebetan Keala yang mana?” ulang Kevin.

“Untuk apa kamu mau tahu?” selidik Ninna.

“Aku janji nggak bakal ngapa-ngapain dia. Cuma mau tahu.”

Ninna menggeleng.

Kevin mengangkat alis. “Jadi kamu nggak tahu yang mana?”

Ninna menggeleng lagi. “Kemarin sih Keala nunjukin waktu kelas gebetannya itu mau
ke lab.”

“Terus?”

“Tapi saya kok nggak ngelihat, ya?” Ninna menggaruk- garuk kepala. “Padahal saya
yakin udah merhatiin banget.”

“Salah fokus tuh, Nin.”


“Ciyeech... kompak banget!” ledek Ninna. “Kemarin Keala juga bilang gitu.
Hadeuuuh! Padahal saya yakin banget lho, kalo kamu sama Keala itu jodoh. Laaah...
si Keala kok malah taksir-taksiran sama Kang Eizel...”

“Eizel?” sambar Kevin. “Jadi, namanya Eizel?”

Ninna menyesali mulutnya yang keceplosan bicara.

“Kelas XII IPA...”

Ninna mengatupkan bibir rapat-rapat.

“Nin?”

Ninna bergeming.

Kevin mengulurkan tangan, mencengkeram tangan Ninna kuat-kuat. “Kelas XII IPA
berapa, Nin?” sorot matanya tajam tertuju pada Ninna.

“Lima,” bisik Ninna. Ia menatap Kevin. Cemas. Ini yang tak ia suka dari Kevin. “Kev,
kamu bener Cuma mau tahu aja, kan?”

Kevin mengangguk. Wajahnya serius. “Tapi kalo dia berani macem-macem sama
Keala, aku nggak akan tinggal diam.”

“Kev...”

“Aku sayang sama Keala, Nin. Nggak ada yang boleh nyakitin dia,” ujar Kevin tegas.
“Kalo ada yang berani nyakitin dia, urusannya sama aku!”

“Kamu terobsesi.”

“Aku nggak terobsesi, Ninna,” sela Kevin. “Aku Cuma pengin melindungi Keala.”

“Kev”
“Apa?

“Eizel tahu kamu.”

“Eh?”

“Dia tahu kalo kamu naksir Keala.”

***

Susahnya menjadi murid kelas IPS di sekolah ini adalah sedikit sekali alasan untuk
main ke kelas lain. Nanya PR? Cari bocoran ulangan? Halah! Berapa banyak sih,
pelajaran kelas IPA dan IPS yang sama?

Kalau untuk yang sama-sama kelas sebelas sih, masih gampang. Masih bisa beralasan
nyari temen sekelas waktu kelas sepuluh kemarin. Nah, ini urusannya sama anak
kelas dua belas. Mending kalo XII IPS. Ini XII IPA! Mesti pakai alasan apa untuk ke
sana?

Ninna melirik Keala yang sedang tekun menyimak penjelasan Pak Idris tentang modal
asing. Keala sekarang berbeda sekali dengan Keala beberapa bulan lalu. Keala yang
dulu tampak begitu tertekan, selalu stres, murung, dan sering sakit kepala. Sekarang
Keala lebih tenang, lebih cerah, lebih sehat.

Entah mana dulu yang menjadi awal. Telur atau ayam? Keala yang tenang-cerah-
sehat atau nilai-nilai ulangan Keala yang melonjak drastis? Apakah itu hubungan
timbal balik?

Entah mana pun yang lebih dulu, tetapi semua itu


Membuat Keala terlihat lebih cantik. Pesonanya yang dulu bersembunyi di balik
kabut stres dan tak percaya diri, kini seperti ke luar semua. Tasya yang selama ini
menjadi bintang di kelas XI IPS pun sudah mulai menganggap Keala sebagai saingan.

Atau semua itu karena... Eizel?

Ninna mendesah di dalam hati. “Duuuh, Eizel itu yang mana, sih? Bikin penasaran
aja. Kalo dia memang sekeren yang dibilang Keala, kok bisa-bisanya sih saya nggak
tahu? Saya kan udah lebih lama di sini. Yaaa... walaupun nggak niat pacaran, tapi
tahu siapa aja cowok-cowok cakep di sekolah ini kan bisa nambah semangat ke
sekolah. Bisa jadi pengetahuan umum yang asik banget walaupun nggak bakal
dijadikan bahan ulangan.”

Setelah gagal melihat yang mana Eizel saat kelas XII IPA 5 melintas di koridor
beberapa hari lalu, Ninna rajin pasang mata. Namun, usahanya selalu sia-sia.

***

Selalu ada jalan bagi setiap kemauan keras dan semesta akan mendukung.

Itulah yang terjadi pada Ninna. Dia merasa mendapat dukungan dari semesta melalui
koperasi siswa. Ninna dan Keala ke kopsis untuk membeli pulpen dan melihat
setumpuk pengumuman di meja.

“Apaan nih, Win?” tanya Ninna pada Windy, teman


Sekelas mereka yang menjadi sekretaris kopsis tersenyum cerah. “Pengumuman
lomba desain stiker dan kaos, Nin,” sahutnya.

“Oooh... jadi juga, ya? Kereeen!” komentar Ninna Ia pernah mendengar Windy dan
para pengurus kopsis lainnya mengobrol tentang lomba ini beberapa waktu lalu.

“Jadi, dong. Masa Cuma omdo?”

“Biar nggak Cuma omdo, ajak tantedo juga, dong,” cetus Ninna. “Kan jadi rame, tuh.”

Windy tertawa. “Sekalian dengan kakekdo, nenekdo, mamado, dan papado ya, Nin?”

“Hahaha...” Masih tergelak, Ninna mengambil selembar pengumuman dan


membacanya dalam hati.

“Ikut atuh, Nin. Kamu kan jago nulis.”

“Hehehe... tapi saya nggak bisa ngegambar, Win. Kalo ngegampar maaah... bisa deh,
kalo kepepet.”

Windy tertawa lagi. “Keala mau ikutan?”

Keala menggeleng. “Nggak bisa, Win. Nggak punya

Bakat ngedesain...” “Eh Win, ini pengumumannya mau ditempel, ya?” sela Ninna.

“Iya, dong. Masa mau dijadiin bungkus gorengan?”

“Di mana?”

“Di mana-mana.”

“Di angkot juga?”

“Hahaha... sebelahan sama iklan obat peninggi badan


Dan penghilang jerawat, Nin? Nggak usah. Di lingkungan sekolah kita aja. Kan
lombanya Cuma untuk anak-anak sekolah kita. Di tiap ruang ekskul dan tiap kelas kan
ada papan pengumuman. Nah, ditempel di situ, deh. Di kantin, di perpustakaan, di...
pokoknya di semua tempat yang memungkinkan. Di toilet juga boleh,” jelas Windy.

Mata Ninna langsung berbinar-binar. “Perlu bantuan buat nempelin pengumuman


nggak?”

“Serius nih?”

“Seratus rius! Nggak apa-apa kan, kalo yang nempelin pengumuman bukan pengurus
kopsis?”

“Nggak apa-apa. Tapi nggak ngerepotin kamu kan?”

“Enggaaak!” sahut Ninna cepat. “Nggak ada yang terlalu repot buat Ninna Almeida.
Sini, mau ditempel sekarang?” Ninna mengulurkan tangan pada Windy.

“Boleh.”

“Saya ke kelas dua belas, deh.”

Keala langsung melirik Ninna. Ia segera menangkap maksud Ninna. Kelas XII. Eizel.

“Wah, boleh banget!” sambut Windy. “Kebetulan, saya rada sungkan ke kelas dua
belas.” Windy langsung mengambil lima belas lembar pengumuman. “Nih. Untuk

Kelas dua belas.”

“Kok banyak banget?”

“Buat persediaan. Siapa tahu ada yang minat trus minta pengumumannya selembar,”
jelas Windy.

“Oh... oke,” Ninna manggut-manggut.


“Sekalian tempelin di papan pengumuman yang di aula dan di depan perpustakaan
ya,” tambah Windy. “Di dalam perpus juga boleh.”

“Siaaap. Yuk, Ke. Kita main-main ke kelas dua belas,” Ninna mengedipkan mata.

Begitu keluar dari ruang kopsis, Ninna melonjak- lonjak. “Horeee... akhirnya dapat
alasan juga buat main ke sana.”

Keala tersenyum geli. “Biasa aja kali, Niiin.”

Ninna melirik Keala. “Kamu kalo ketemu Kang Eizel juga biasa aja, Ke? Nggak percaya
sayaaahhh...!”

“Oh, itu lain cerita,” ujar Keala kalem.

“Nah! Itu!” Ninna merendahkan suara. “Sumpah makin unyu, Ke, saya penasaran
banget. Banget-banget-banget.”

“Tapi janji ya, kamu jangan ikutan naksir dia,” ujar Keala pelan.

“Janji!” Ninna membentuk huruf V dengan dua jari tangannya yang bebas.

Saat melewati perpustakaan, Ninna tak berhenti. “Perpustakaan nanti aja,” dalihnya.
“Yang penting ke atas dulu, ke kelas Kang Eizel.”

Keala tersenyum. Ia juga ingin bertemu Eizel. Meskipun sebelum bel masuk tadi
sudah bertemu sebentar, ia tak menolak jika bisa bertemu lagi dengan Eizel. “Siapa
yang sanggup menolak senyum manis Eizel? Aku nggak bisa, “batin Keala.

Ketika akan menaiki tangga menuju lantai dua, lang-


kah Keala mendadak terhenti. Ninna yang sudah naik dua anak tangga, berhenti dan
berpaling.

"Lho, Ke? Kenapa?" Ninna buru-buru turun lagi. Sebelah tangan Keala berpegangan
di pegangan tangga, sebelah lagi memegangi kepalanya kuat-kuat. "Pusing,"
desisnya.

"Ya ampuuun!" Ninna merangkul bahu Keala, mem- bawanya duduk di anak tangga
kedua dari bawah. "Kamu pucet banget, Ke."

Keala diam. Kepalanya terlalu sakit untuk bisa memproses jawaban, sesedehana apa
pun jawaban itu.

"Saya antar ke UKS ya, Ke?"

Keala menggeleng, sekaligus berusaha mengusir dengungan yang tiba-tiba


bergemuruh di dalam kepalanya.

"Aku nunggu di sini aja, Nin."

"Tapi kamu..."

"Kamu sendirian aja ke atas ya, Nin. Aku nggak bisa." "Itu nanti aja, deh. Gampang.
Saya temenin kamu dulu

di sini. Ntar kita ke UKS, ya?"

"Nggak usah," Keala memejamkan mata kuat-kuat.

"Kamu kan udah janji... sama Windy."

Ninna ragu-ragu sejenak.

"Sana!"

"Oke. Saya ke atas sebentar ya, Ke. Kamu jangan ke mana-mana. Saya nggak lama,
kok."

Keala mengangguk pelan.

Ninna berlari menaiki tangga, bergegas ke kelas-kelas


XII IPA untuk menempel pengumuman itu. Di lantai dua ini ada enam kelas XII IPA,
dua toilet, masing-masing satu untuk cewek dan satu untuk cowok, plus satu aula
yang bisa menampung ratusan murid. Empat kelas XII IPA yang lain dan satu kelas XII
IPS berada di lantai bawah, bertetangga dengan kantor kepala sekolah, ruang guru,
ruang tata usaha, dan lobi. Kelas-kelas XI berada di sekitar taman dan koridor. Kelas X
yang masuk siang menempati ruang-ruang kelas yang pagi harinya ditempati oleh
kelas XI.

“Punten, teteh. Mau nempel pengumuman dari kopsis,” ujar Ninna pada seorang
siswi yang kebetulan baru keluar dari kelas XII IPA 1.

“Ada apaan?”

“Ada lomba desain stiker dan kaos, teh.”

“Oooh. Ya udah, tempel aja.”

“Nuhun, teh.”

Setelah menempelkan pengumuman di kelas XII IPA 1, Ninna pindah ke XII IPA 2, dan
seterusnya. Di kelas XII IPA 5, matanya lebih jeli mengamati cowok-cowok di sana.
Cuma ada enam cowok di kelas dan lima cowok di depan kelas. Selebihnya pasti
sedang beristirahat.

Hm... Eizel yang mana, ya?

“Mau nempel pengumuman, ya?” sapa seorang cowok.

“Iya, kang,” sahut Ninna sopan. “Dari kopsis.”

“Kamu pengurus kopsis?”


“Bukan, sih, kang,” ujar Ninna. “Saya ngebantuin temen aja.”

Si kakak kelas manggut-manggut.

Ninna mengamati cowok itu dengan ekor matanya. Ini pasti bukan Eizel. Ciri-cirinya
nggak sama dengan yang dibilang Keala. Kata Keala, Eizel itu tinggi, cakep, putih,
berkacamata...

“Kelasnya sepi, ya,” komentar Ninna. “Yaaa... kan lagi istirahat. Paling juga lagi ke
kantin.” Ninna meringis. Komentar basa-basinya menjadi benar-benar basi. “Emh...
nuhun, ya, kang. Saya mau ke kelas sebelah,” Ninna menunjuk kelas XII IPA 6. Cowok
itu mengangguk. “Eh, kamu kelas berapa?”

“Kelas sebelas IPS, kang.”

“Sebelas IPS?” Cowok itu berpikir sejenak. “Kata adikku, di kelas XI IPS ada penulis
novel. Namanya Ninna. Lupa Ninna apa. Cuma inget Ninna aja karena sama dengan
nama adikku. Berarti kamu sekelas dengan dia, ya?”

Ninna meringis. “Saya Ninna, kang.”

Cowok itu menatap Ninna tanpa berkedip. “Kamu Ninna?”

“Iya, kang.”

Ninna urung ke kelas XII IPA 6 karena Farhan, begitu nama cowok itu, malah
mengajaknya mengobrol.

Sementara itu, di tangga yang menuju ke lantai dua tersebut, Keala masih terduduk
pusing. Suara berisik di
Kepalanya belum juga hilang. Lamat-lamat ia mendengar ada yang memanggil-
manggil namanya. “Kalian mau apa?” gumam Keala lirih. “Kalian siapa, sih?”

“Keala?”

Suara itu sayup-sayup masuk ke pendengaran Keala, memecah suara berisik di


kepalanya.

“Keala?” seseorang duduk di sebelah Keala.

Keala membuka mata, melihat sepasang kaki bercelana panjang abu-abu. Ia


menoleh. “Eizel?”

Eizel tersenyum. “Kamu kenapa duduk di sini?”

“Pusing, Zel,” keluh Keala. “Denger suara-suara...”

“Kayak dulu lagi?”

Keala mengangguk lemah.

“Sini, aku pijat kepala kamu, Ke.”

“Eh, nggak...”

“Udah, kamu duduk aja.” Eizel pindah ke anak tangga di atas Keala.

“Tapi...”

“Udah! Nggak bakal ada yang peduli. Lagi pula kan kamu lagi sakit gini.” Tanpa
memedulikan protes Keala, Eizel memijat kepala gadis itu.

Perasaan Keala tak keruan. Sungkan, malu, takut. La merasa tak enak jika anak-anak
lain melihat Eizel sedang memijatnya begini. Mereka bisa berpikiran macam- macam.
Namun, ia tak sanggup menolak ketika tangan Eizel menyentuh kepalanya. Lembut.
Dingin.

Rasa dingin itu menyebar, terus menjalar ke semua ba-


Gian kepalanya. Perlahan-lahan rasa pusing yang mendera menghilang. Suara-suara
yang mengganggunya pun tak terdengar lagi.

“Udah enakan?”

“Udah. Makasih ya.”

Eizel berhenti memijat kepala Keala. Ia pindah lagi ke sebelah Keala. “Beneran?”

“Bener.”

Eizel tersenyum. “Eh, kamu ngapain di sini? Nggak biasanya.”

Keala menunduk, menghindari pandangan beberapa anak yang akan naik atau baru
turun tangga. “Tadi nganterin Ninna nempelin pengumuman dari kopsis. Tapi aku
mendadak pusing. Jadi, nungguin di sini aja.”

“Oh...” Eizel mengangguk-angguk. “Pantes.”

“Zel, aku nggak apa-apa duduk di sini sama kamu?”

“Nggak apa-apa, lah. Ini kan tempat umum. Siapa aja boleh duduk di tangga ini.
Maksudku, siapa aja yang sekolah di sini.”

“Bukan itu...” Keala menggeleng. “Maksudku, nggak akan ada yang ngegosipin eh...
emh ngomongin yang enggak-enggak tentang kita?”

Eizel tertawa pelan. “Nggak akan ada yang ngomongin kita, Keala. Lagian, mereka
mau ngomongin apa?”

“Ya... emh... siapa tahu.”

“Memangnya menurut kamu, anak-anak bakal nge- gosipin kita seperti apa? Nyebar
gosip kalo kita pacaran?”
Wajah Keala merona.

Eizel memperhatikan rona di wajah Keala. Kamu cantik kalau tersipu-sipu begitu.
Seperti Andini. “Memangnya kenapa kalo kita digosipin pacaran?”

Bibir Keala terkunci rapat.

Eizel tertawa. “Percaya sama aku, Ke. Semua akan baik-baik aja.”

Perlahan garis bibir Keala melebar. “Semua akan baik- baik aja” serupa mantra sakti
Eizel. Entah sudah berapa kali Eizel mengucapkan kalimat itu dan terbukti benar.
Semua baik-baik saja. Kecemasan Keala saja yang sering terlalu berlebihan.

“Aku ke toilet dulu, ya. Nanti kalo udah keburu bel,

Kamu langsung ke kelas aja. Nggak usah nungguin di sini.” “Ih, siapa juga yang mau
nungguin di sini terus,” ujar Keala.

Eizel tertawa pelan. Ia menepuk pundak Keala, lalu langsung berjalan menuju toilet.

Pandangan Keala mengikuti hingga Eizel berbelok ke tikungan yang mengarah ke


toilet. Setelah Eizel tak terlihat lagi, Keala mengambil ponsel dari saku roknya. Jam
berapa sekarang? Kenapa Ninna belum turun juga? Mestinya sebentar lagi waktu
istirahat abis.

Nin, msh di atas? Lama banget. Udah selesai belum? Aku msh di tangga.

Sent.
“Keee...!”

Keala menoleh ke belakangnya. Ninna sedang menuruni tangga.

“Lama amat, Nin. Di atas Cuma ada enam kelas, kan?”

“Iya, sih. Tapi tadi ada yang ngajak ngobrol,” sahut Ninna sambil duduk di sebelah
Keala.

“Oooh...”

“Namanya Farhan. Adik Kang Farhan itu rupanya suka baca novel saya,” jelas Ninna.

“Ooow... habis jumpa penggemar nih, ceritanya?”

Ninna tertawa renyah. “Nggak segitunya kali, Ke. Cuma ngobrol-ngobrol biasa aja,
kok. Kang Farhan itu kelas XII IPA 5, lho.”

“Sekelas Eizel, ya?”

“Langsung nyambung, deh!” ledek Ninna.

Keala tersenyum. “Kita ke kelas mana lagi sekarang, Nin? XII IPA 7, ya?”

Ninna mengangkat tangan kanannya sedikit untuk melihat arloji. “Ehm! Kayaknya
nggak sempet sekarang, deh.”

Lalu suara bel pun terdengar di seluruh penjuru sekolah.

“Yuk, balik ke kelas. Yang ini nanti aja.” La berdiri, lalu menggandeng Keala. “Eh,
kamu udah nggak pusing?”

“Udah nggak, kok. Udah hilang.”

“Sisa pusing-pusing yang dulu itu ya, Ke?”


“Iya kayaknya,” sahut Keala. Dalam hati ia berharap Ninna tak bertanya lebih lanjut.
Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Ia tak yakin Ninna bisa memercayai ceritanya.

“Tapi tadi saya nggak ngeliat Kang Eizel di kelas Ke,” lapor Ninna.

“Jelas aja nggak ngelihat, Nin.” Ninna mengerutkan kening. “Kok?”

“Kan tadi Eizel nemenin aku di tangga.”

“Huaaah! Pantesaaan!” seru Ninna. “Pantesan pusing kamu tuh langsung hilang.
Rupanya harus pake obat bernama Eizel.”

Keala tersenyum. “Iya juga kali, ya.”

“Eh, tapi kok tadi saya nggak ngeliat Kang Eizel?”

“Telaaat! Sebelum kamu turun, dia ke toilet. Katanya, kalo udah bel, aku langsung
balik ke kelas aja. Nggak usah nungguin dia.”

Ninna merengut. “Susah amat sih mau lihat Kang Eizel-mu itu, Kealaaa!”

***
“NGGAK ADAAA?”

Beberapa pengunjung resto menoleh.

“Nggak usah teriak-teriak, Nin! Dilihatin orang, tuh!” Ninna menelan ludah, menutup
mulut rapat-rapat. Bola matanya membesar, menatap Kevin tanpa berkedip.

“Dan nggak usah jadi ikan mas koki,” tegur Kevin. “Kalo gitu, doakan aja saya jadi
sengetop JK Rowling dan selegendaris Enid Blyton,” ujar Ninna yang bete

Karena ditegur terus.

Kevin tak tersenyum. Wajahnya serius.

Ninna menyendok es krim cappuccino di mangkuknya, lalu memasukkannya ke


mulut. Satu sendok lagi, satu sendok lagi, satu sendok lagi. Bukan kalap, tetapi untuk
meredakan rasa terkejutnya.

Kevin baru saja mengatakan bahwa tak ada yang bernama Eizel di kelas XII IPA 5. Di
telinga Ninna, berita singkat itu terdengar seperti bunyi letusan gunung berapi.

“Kamu serius?”

“Banget.” Sedikit pun tak ada nada main-main dalam


Suara Kevin. Ia mengulurkan selembar kertas print out pada Ninna. “Nih. Kamu lihat
aja sendiri.”

Ninna menerima kertas itu tanpa berkomentar apa- apa. Matanya langsung
menyusuri nama demi nama yang tertera di kertas itu. Ia berhenti pada nama
berhuruf awal E. Hanya ada satu nama. Eka Prisilla Handayani. Jelas- jelas nama
cewek. Tak ada nama Eizel. Mungkinkah Eizel itu bukan nama awal?

Ninna mengulangi menelusuri dari nomor absen satu. Tak cukup dengan tatapan
mata, kini jari telunjuknya pun ikut bekerja.

Di depan Ninna, Kevin pun tak bersuara. Sejak tahu gadis yang disukainya punya
hubungan dekat dengan Eizel, ia langsung mencari tahu tentang Eizel. Ia ingin tahu,
seperti apa Eizel itu hingga Keala lebih memilih cowok itu daripada dirinya. Ia tak
mau menyerah begitu saja. Kevin sudah percaya seribu persen bahwa Keala adalah
cinta sejatinya. Kenyataan bahwa Keala malah naksir kakak kelas, membuat Kevin
merasa seperti ditinju tepat di ulu hati.

Sakit?

Ya. Hati Kevin terasa sakit. Kecewa karena Keala lebih memilih cowok lain. Namun, ia
menyimpan sakit itu rapat-rapat. Ia laki-laki. Ia tak mau orang lain tahu rasa sakitnya.

Tak seperti Ninna yang sibuk mencari-cari alasan untuk bisa main ke kelas Eizel, Kevin
memulai pencariannya
Melalui website sekolah. Yang dicarinya pertama kali adalah daftar nama murid kelas
XII IPA 5.

Alasan Kevin sederhana saja. Pastikan dulu si target berada di mana, setelah itu baru
kejar. Bagi Kevin, itu strategi. Sama seperti strategi seorang nelayan yang hendak
menangkap ikan. Ketahui dulu di mana tempat yang banyak ikannya, baru tebarkan
jaring. Apa gunanya menyebar jaring di tempat yang tak ada ikannya?

Baru langkah pertama saja ia sudah tertegun.

Tak ada nama Eizel di dalam daftar nama murid kelas

XII IPA 5!

Kevin membaca daftar nama itu berkali-kali, bahkan menge-print-nya agar bisa
membacanya dengan lebih teliti. Namun, tetap saja tak ada.

Print out itu pula yang beberapa menit lalu ia sodorkan pada Ninna.

“Gimana, Nin?”

Ninna mendesah. “Nggak ada, Kev.”

“I told you.”

Ninna mengaduk-aduk es krimnya. “Tapi kata Keala, Eizel itu kelas XII IPA 5...”

“Buktinya, nggak nama Eizel di daftar ini!” sergah Kevin tak sabar. Jari telunjuknya
mengetuk kertas di meja.

Ninna tak bisa membantah. Bukti yang tertera di kertas ini sungguh jelas.

“Kamu nggak ngehapus nama Eizel, kan, Kev? Bisa aja


Kamu hapus dulu baru kamu print...”

“Untuk apa, Ninna?” sergah Kevin. “Aku nyari tahu Eizel ya supaya bener-bener tahu
yang mana orangnya, bukan untuk menghapus namanya. Apa gunanya ngapus nama
dia? Gue hapus nama dia dari daftar nama itu pun nggak bisa ngapus dia dari sekolah
kita.”

Ninna terdiam. Ia juga tak tahu. Kemungkinan konyol

Cenderung tolol itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Kevin meraih ponselnya.
Sekitar tiga menit ia sibuk memencet-mencet keypad. Setelah itu, ia menyodorkan
ponselnya pada Ninna. “Ini website sekolah kita. Udah gue buka halaman yang ada
daftar nama anak kelas XII IPA 5. Baca deh, kamu nggak akan nemuin nama Eizel.”
Ninna menerima ponsel itu. Kevin benar.

“Percaya, kan?”

“Ya.” Ninna diam sejenak, mencubit-cubit dagunya. “Apa mungkin Eizel itu kelas XII
IPA yang lain, ya? Bukan IPA 5?”

Kevin menatap Ninna. “Kalau Eizel bukan kelas XII IPA 5,” ujarnya lambat-lambat,
“kemungkinannya ada tiga. Pertama, kamu yang salah dengar waktu Keala
ngomong...”

“Emangnya saya bud...”

Kevin tak menghiraukan interupsi Ninna. “Kedua, Keala sengaja ngasih informasi
yang salah supaya kamu nggak nyari-nyari Eizel ke kelasnya,” lanjut Kevin. “Ketiga,
Eizel sengaja membohongi Keala.”
"Eizel bohong ke Keala? Untuk apa?" Kevin mengangkat bahu. "Kita analisis
kemungkinan- kemungkinan itu satu per satu, Nin."

"Oke."

"Kemungkinan pertama, lo salah dengar. Gimana?"

Ninna menggeleng. "Nggak. Saya yakin nggak salah dengar. Keala nyebut XII IPA 5."

"Yakin?"

"Yakin seyakin-yakinnya," sahut Ninna tegas. "Saya dan Keala pernah nungguin anak-
anak kelas XII IPA 5 yang mau ke lab."

"Kamu ngeliat Eizel?"

Ninna menghela napas kesal, lalu menggeleng. "Nggak. Itu lho, yang waktu itu kamu
komentari saya salah fokus."

"Oooh..."

"Tapi Keala ngeliat Eizel. Abis ketemu Eizel, mukanya langsung bling-bling gitu, Kev.
Berseri-seri. Bahagiaaa banget."

Kevin diam. Uraian Ninna terasa menusuk hatinya. Keala begitu bahagia setelah
melihat Eizel dari jauh? Ah!

"Kayaknya nggak mungkin deh kalo itu cuma ekspresi pura-pura, Kev. Emangnya
Keala aktris kelas Oscar yang jago berakting?" ujar Ninna.

Resto semakin ramai. Entah banyak orang yang terlambat makan siang atau sekadar
ingin menikmati camilan seperti es krim. Es krim di resto ini memang
Terkenal enak. Rasa yang ditawarkan pun sangat variatif.

Beberapa pengunjung yang baru datang atau baru selesai mengantre di depan kasir
terlihat celingukan mencari meja kosong.

“Mau nambah lagi nggak, Nin?”

Ninna menggeleng. “Nggak. Udah nggak nafsu makan.”

“Kalo gitu kita pindah tempat aja. Nggak enak ngobrol di sini terus. Banyak yang mau
makan,” kata Kevin. Ia langsung berdiri, lalu memasukkan ponsel ke saku celana abu-
abunya. “Yuk!”

Ninna menyelempangkan tas. “Yuk. Ke mana kita?” “Cari tempat yang gratisan.
Taman Balaikota.”

***

Taman Balaikota yang terletak di antara Jalan Merdeka, Jalan Aceh, dan Jalan
Wastukencana ini sudah ada sejak tahun 1885. Konon, merupakan taman pertama
yang dibangun oleh Belanda di Bandung. Dulu namanya Pieters Park. Sekarang lebih
dikenal dengan nama Taman Balaikota, Taman Merdeka, atau Taman Dewi Sartika.

Puluhan pohon besar tumbuh di taman yang tak jauh dari Jalan Braga yang
legendaris itu. Pohon-pohon itu menyaring polusi yang dihasilkan oleh asap
kendaraan bermotor. Pada siang hari, taman ini menjadi tempat yang nyaman bagi
warga kota untuk bersantai. Nyaman dan gratis.
“Sekarang kemungkinan kedua,” ujar Kevin. La dan Ninna sudah duduk nyaman di
bawah sebatang pohon. “Keala sengaja ngasih informasi yang salah supaya kamu
nggak nyari Eizel ke kelasnya.”

“Kenapa?”

Kevin mengangkat bahu. “Mungkin dia takut kamu ikutan naksir Eizel.”

Kening Ninna berkerut. Kevin yang jago matematika biasa menganalisis berdasarkan
fakta. Di sisi lain, Ninna yang jago mengarang terbiasa berpikir jauh. Kadang- kadang
malah terlalu jauh hingga terlihat tak logis. Namun, itu membuat Ninna bisa melihat
kemungkinan yang mustahil bagi orang lain.

“Bisa jadi,” komentar Ninna. Namun, beberapa detik kemudian ia menggeleng.


“Nggak, Kev. Nggak mungkin.”

“Kenapa nggak mungkin?”

“Kalau Ninna bohong, gimana mungkin dia bisa begitu berbinar-binar, bisa begiiitu
bahagia setelah ngelihat Eizel terselip dalam rombongan kelas XII IPA 5?” dalih Ninna.
“Waktu itu saya memang nggak ngelihat Eizel karena salah fokus. Oke, katakanlah
saya salah fokus. Tapi, Kev, kalo Eizel nggak ada di sana, Keala nggak mungkin segitu
bahagianya, kali.”

“Itu lagi!” maki Kevin. Telapak tangannya mengepal. Keala berbahagia setelah
bertemu Eizel. Keala berbinar- binar meskipun hanya melihat Eizel sekilas dari
kejauhan. Nyesek banget dengernya!

Reaksi Kevin itu tak luput dari pengamatan Ninna.


“Kamu kayak mau ngajak Eizel berantem aja, Kev.”

“Kalo perlu, kenapa nggak?” “Jangan bercanda, Kev...”

“Aku serius!”

“Kamu cemburu, ya, Kev?”

Kevin menarik napas panjang, membuang pandangan ke dedaunan yang bergoyang


pelan diembus angin. “Ya.”

Ninna termangu, ikut memandangi helai-helai daun itu.

“I’m truly.”

Ninna melirik Kevin. Kevin seperti sedang berbicara dengan dedaunan di atas sana.
Seperti sedang berbicara dengan semilir angin. Seperti...

“Truly in love with her.”

Ninna menghela napas. Kevin sedang berbicara dengan hatinya. Dalam hati Ninna
berharap cinta itu akan melembutkan hati Kevin yang gampang panas.

Selama beberapa menit, tak ada yang buka suara. Deru kendaraan dari empat sisi
jalan yang mengurung taman menyapa pendengaran mereka.

“Sekarang kemungkinan ketiga.”

Ninna menoleh, menatap Kevin. “Serius, kamu mau nerusin ngebahas Keala dan
Eizel?” tanya Ninna.

“Ya.” Kevin terdiam sejenak. “Sejak awal aku udah bilang pengin ngejaga Keala.
Apalagi setelah sekarang tahu ada yang nggak beres dengan Eizel itu.”

“Oke,” tanggap Ninna. Dalam hal ini ia setuju dengan Kevin. “Kemungkinan ketiga,
Eizel sengaja ngebohongin
Keala. Pertanyaannya, untuk apa?”

“Pertanyaan bagus,” komentar Kevin. “Walaupun mungkin jawabannya nggak


bagus.”

“Memanfaatkan kepolosan Keala? Dia pasti tahu kalo Keala ini anak baru di sekolah
kita. Anak baru, cantik, terus pas mereka ketemu pertama kali Keala lagi labil
banget,” duga Ninna. “Tapi, masa sih ada yang setega itu di sekolah kita? Menurut
kamu sendiri gimana, Kev?”

“Entah apa motifnya. Gue khawatir dia punya niat jahat sama Keala.” Lagi-lagi Kevin
mengepalkan tangan. Kali ini bahkan lebih kuat daripada tadi, terlihat dari buku-buku
jarinya yang memutih. Tidak! Ini bukan hanya cemburu. Ini... aaargh! Sialan, Eizel!

Ninna menggigit bibir. Pikiran serupa pun terlintas di benaknya. “Kalo gitu kita mesti
cepat, Kev.” Bola mata Ninna bergerak cepat ke sana kemari. “Bisa jadi dia anak XII
IPA 5 tapi namanya bukan Eizel. Atau bisa juga namanya Eizel tapi dia bukan anak XII
IPA 5...”

“Atau bisa juga namanya bukan Eizel dan bukan anak XII IPA 5,” sambung Kevin.
“Kalau dia berani macam- macam sama Keala, dia berurusan sama aku.”

Nada suara Kevin membuat Ninna merinding. Cinta melembutkan hati Kevin, tapi
juga membuat Kevin protektif setengah mati.

“Nin, Keala punya foto Eizel nggak? Kita bisa lebih mudah nyari Eizel kalau punya
fotonya.”

***
Keala menatap Kevin dan Ninna berganti-ganti. “Kalian pasti lagi bercanda, deh.”

“Kami serius, Ke,” sahut Ninna.

Sejenak Keala menunggu Ninna menambahkan “level seratus” atau “tingkat dewa”
setelah kata serius. Tapi Ninna tak menambahkan apa-apa. Keala menelan ludah.
“Kalian... serius?”

“Ya,” Kevin mengangguk. Ia duduk tepat di hadapan Keala, mengamati setiap detail
ekspresi di wajah gadis itu.

Keala diam, kemudian menggeleng-geleng. “Nggak. Kalian pasti bercanda. Eizel itu
bener-bener anak XII IPA 5. Aku sering lihat dia sama anak XII IPA 5. Kalau pas jadwal
XII IPA 5 di lab, Eizel juga sering kelihatan di koridor depan lab. Kalau dia bukan anak
kelas itu, untuk apa dia ke lab? Nggak mungkin banget kalo Cuma iseng.”

Ninna dan Kevin berpandangan. Mereka juga tak bisa menjawab pertanyaan Keala.
Alasan itu benar, tapi buktinya...

“Ini daftar nama anak kelas XII IPA 5, Ke. Lo baca aja sendiri,” Kevin mengulurkan
selembar kertas yang sudah agak kusut. “Yang namanya diawali dengan huruf E
Cuma Eka Prisilla Handayani. Apa Eizel itu bukan nama depannya?”

Keala menggeleng. “Eizel itu nama depannya. Nama lengkapnya Eizel Augusta,” ucap
Keala pelan. Matanya menyusuri nama-nama yang tertera di kertas itu. Ia
Berhenti di huruf E. Ninna benar. Mana nama Eizel Augusta? Kenapa nggak ada?

Kevin nyaris tak berkedip. Dilihatnya wajah Keala perlahan memucat. Untuk kesekian
kalinya, hati Kevin memaki Eizel. Siapa pun Eizel, berani macam-macam sama Keala,
aku nggak segan-segan bikin kamu babak belur!

“Di kelas lain juga nggak ada Ke,” ujar Ninna pelan. Keala menatap Ninna, tak
mengerti.

“Kami udah ngecek daftar nama semua anak kelas dua belas. Nggak ada satu pun
yang bernama Eizel. Di kelas sebelas juga nggak ada,” lanjut Ninna. Ia mengulurkan
setumpuk kertas. “Kamu bisa baca sendiri di sini. Baca di website sekolah kita juga
bisa.”

Keala tak menyambut kertas yang diulurkan Ninna. Tatapannya menyiratkan


kebingungan. “Untuk apa... untuk apa kalian nyari Eizel?”

Ninna melirik Kevin. “Emh... tadinya siiih Cuma pengin tahu, Ke, tapi...”

“Tahunya nggak ada yang benama Eizel di semua kelas dua belas di sekolah kita, Ke,”
sela Kevin, tak sabar dengan jawaban Ninna yang berputar-putar tak jelas.

Keala meletakkan kedua sikunya di meja. Kedua tangannya menyangga kepala. Tidak
ada Eizel Augusta di XII IPA 5? Bagaimana mungkin?

“Kamu punya foto Eizel nggak?” tanya Kevin.

“Foto Eizel? Untuk apa?”

“Ke, nama Eizel Augusta itu pasti nama palsu. Tapi


kalau wajah... dia nggak mungkin pakai wajah palsu, kan?" jelas Kevin perlahan-
lahan.

"Kamu..."

"Maaf, Ke. Aku nggak punya maksud jelek. Aku..." Kevin menelan ludah, "aku nggak
pengin kamu kenapa- kenapa."

"Bener, Ke. Eizel atau siapa pun itu, udah nipu kamu. Dia ngasih nama palsu ke kamu.
Tapi selama dia masih murid sekolah ini, kita bisa nyari dia. Temen-temen Kevin juga
bisa bantu nyari. Sesama anak cowok pasti lebih tahu, lebih gampang bergerak. Kalo
udah ketemu, kita bisa tanya sama dia, apa maksudnya ngebohongin kamu kayak
gini," tambah Ninna.

Keala tak segera menjawab meskipun hati dan pikirannya membenarkan dugaan dan
analisis Ninna dan Kevin.

Kevin menatap Keala. Wajah pucat gadis itu meremas hatinya. "Aku sayang kamu,
Keala. Sayang banget. Dan aku nggak pengin kamu kenapa-kenapa," ujar Kevin. "Aku
yang pertama kali akan ngebelain kamu kalo Eizel atau siapa pun berani macam-
macam sama kamu."

Ninna menatap Kevin, terperangah. Tak menyangka akan mendengar proklamasi itu
pada saat seperti ini. Astaga! Itu proklamasi atau deklarasi perang?

Tatapan Kevin hanya tertuju pada Keala, tak sedikit pun melirik Ninna yang duduk di
sebelah gadis itu. Terserahlah kalau Keala atau Ninna beranggapan ia
mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kenyataan bahwa Eizel membohongi
Keala sudah lebih dari cukup bagi Kevin untuk bertindak cepat.

"Tapi untuk apa Eizel bohongin aku, Kev?" tanya Keala. Ia terlalu bingung untuk
menanggapi proklamasi Kevin. "Dia... dia baik banget. Dia yang selama ini
nyemangati aku. Dia yang... dia yang bantuin aku ngejar ketinggalan..." Keala
menatap Kevin. "Kalau dia jahat, untuk apa dia ngelakuin itu semua?"

"Aku nggak tahu, Ke," sahut Kevin. "Tapi kita harus hati-hati."

"Aku..." Keala menggigit bibir. Terbayang di benaknya semua kebaikan Eizel.


Wajahnya., senyum manisnya, kata- katanya yang selalu menenangkan dan
menyejukkan hati. Nggak mungkin Eizel orang jahat. Tapi... kenapa nama Eizel nggak
ada di mana-mana?

"Percaya sama aku, Ke. Semua akan baik-baik aja." Keala memejamkan mata. Itu
suara Eizel. Eizel dan "mantra ajaib"nya. Semua akan baik-baik aja.

Kevin menyentuh tangan Keala. "Ke... kamu punya foto Eizel?"

Perlahan Keala membuka mata, lalu menggeleng.

"Nomor hapenya?"

Keala terdiam. "Nggak punya."

"Nggak punya?" seru Ninna tak percaya. Dalam cerita- cerita, tukeran nomor hape
termasuk hal yang pertama kali dilakukan oleh dua orang yang sedang pedekate.
Gimana
Mungkin Keala nggak punya nomor hape Eizel? “Tapi dia ada di friendlist Facebook
kamu?” tanya Kevin.

Keala menggeleng. “Dia nggak punya Facebook.”

“Twitter?”

Keala menggeleng lagi. “Hari giniii?” Ninna berseru kaget. Keala menggigit bibir.

Ninna dan Kevin berpandangan. Tanda tanya di benak mereka kian membesar. Siapa
Eizel sebenarnya?

***
TAnpa foto Eizel, Ninna dan Kevin hanya bisa menebak-nebak. Patokan mereka
hanyalah ciri- ciri Eizel yang diberitahukan oleh Keala. Tinggi, putih, tampan,
berambut lurus, berkacamata, pintar, dan punya senyum yang memesona.

Deskripsi yang sungguh membuat Kevin merasa ditinju. Secara fisik, Eizel
berkebalikan dengan dirinya yang berkulit sawo matang, berambut ikal, dan tak
berkacamata.

“Sepertinya bukan jenis cowok yang suka kegiatan outdoor ya, Kev,” komentar
Ninna.

Kevin setuju seratus persen. Teman-temannya sesama penggila olahraga tak ada
yang mempunyai ciri-ciri seperti Eizel.

“Seperti model-model cowok yang Cuma suka olahraga catur dan ekskul sejenis KIR
gitu,” komentar Ninna lagi.

Lagi-lagi Kevin setuju. Dalam hati ia bertanya- tanya, memang seperti itukah tipe
cowok yang disukai Keala? Fisiknya? Atau perhatian dan kebaikan hati
Eizel yang membuat Keala jatuh cinta? Kebaikan hati? Kalau Eizel memang benar-
benar baik hati, kenapa dia menyembunyikan identitas yang sebenarnya?

Keala tak bisa ditanya-tanya lagi. Sejak hari itu ia berubah murung. Tak ada lagi binar-
binar ceria seperti yang biasa terlihat setelah ia bertemu Eizel.

Eizel tak pernah lagi terlihat di sekolah.

Ke mana kamu, Zel?

“Semua akan baik-baik aja, Ke.”

Mantra sakti Eizel masih bekerja pada Keala. Masih menjaga Keala agar tak
kehilangan semangat.

***

“Ke, temenin ke kantor kepsek yuk,” ajak Ninna ketika bel tanda istirahat belum lagi
usai berdering.

“Ngapain?” tanya Keala.

“Saya mau ikut lomba nulis, nih.”

“Nulis tentang kepsek?”

“Hahaha... ya enggak lah, Ke! Ada-ada aja. Masa nulis tentang kepsek? Nulis cerpen.
Depdiknas, nih, yang ngadain. Tapi mesti ada surat keterangan yang ditandatangani
kepsek. Plusss... ada stempel dari sekolah. Gitu, lho. Kalo jadi juara satu, hadiahnya
keren banget. Kalah deh, royalti saya selama bertahun-tahun,” Ninna nyengir.

“Apa?”
“Tabungan pendidikan sebesar dua puluh juta plus netbook dan piala.”

“Asyik banget.”

“Makanyaaa... saya mupeng banget ikut lomba ini. Yuk ke kantor kepsek sekarang.
Ntar keburu pak kepsek nerima tamu atau malah pergi.”

Keala menurut saja ketika Ninna menarik tangannya, mengajaknya melangkah cepat-
cepat menuju ruang kepala sekolah di gedung utama, tak jauh dari tangga yang
menuju lantai dua.

Langkah Keala tersendat sesaat ketika melewati tangga kokoh itu. Ia seolah melihat
dirinya dan Eizel duduk di sana. Saat Eizel menemaninya, memijat kepalanya yang
pusing.

“Kenapa, Ke?”

Keala menggeleng pelan, lalu kembali mengikuti Ninna. Ruang kepala sekolah tinggal
beberapa langkah di depan mereka.

Ninna mengetuk pintu dua kali, lalu membukanya

Pelan-pelan. Sepi. Hanya terlihat Bu Linda duduk di

Depan meja sekretaris.

“Aku tunggu di sini aja ya, Nin,” kata Keala.

“Oke. Jangan ke mana-mana, ya. Saya nggak lama kok.”

Keala mengangguk.

Ruangan kepala sekolah ini terbagi menjadi tiga. Satu ruang tunggu yang lumayan
luas, satu ruang sekretaris, dan
Satu ruang kepala sekolah. Yang paling luas adalah ruang tunggu tempat Keala
tengah berada.

Ini kali kedua Keala masuk ke ruangan ini. Yang pertama adalah ketika ia baru datang
ke sekolah ini. Entahlah, apakah semua murid pindahan berkesempatan menemui
kepala sekolah? Atau mungkin karena Bunda yang mengantarnya adalah alumnus
sekolah ini? Mungkin karena faktor yang kedua itu.

Sayup-sayup terdengar suara Ninna berbicara dengan Bu Linda. Tak lama kemudian
terdengar suara ketak-ketuk sepatu Bu Linda, mungkin menuju ruang kepala sekolah.

Keala duduk di kursi berwarna biru muda di ruang tunggu. “Ruang tunggu yang
nyaman,” batinnya. “Kursi empuk, ruangan sejuk.”

Ruangan itu memang terasa sejuk meski tanpa pendingin udara. Jendela dua pintu
yang tinggi-tinggi dan lubang-lubang ventilasi memungkinkan udara bersirkulasi
dengan baik.

Pandangan Keala mengitari ruang tunggu. Di satu sisi ruangan ada dua lemari kaca
yang besar, penuh dengan piala berbagai bentuk dan ukuran. Sisi-sisi dinding yang
tak tertutup oleh lemari kaca penuh dengan foto. Dari tempatnya duduk, Keala bisa
melihat foto-foto itu menunjukkan murid-murid SMA 79 yang tengah menerima piala
atau menerima kalungan medali.

Medali? Piala?

Sesuatu menyengat ingatan Keala.


Lomba karya ilmiah! Eizel pernah bilang tahun lalu ia menang lomba karya ilmiah.
Mestinya ada foto Eizel di dinding itu!

Pikiran itu meletupkan semangat di hati Keala. “Kalau foto itu benar-benar ada, aku
bisa ngasih bukti ke Ninna dan Kevin.” Tanpa menunda lagi, Keala bangkit dari
duduknya dan mendekati foto-foto itu.

Dari dekat, barulah ia sadar foto-foto itu disusun berdasarkan tahun. Bagi Keala, itu
sungguh kebetulan yang menguntungkan karena akan memudahkannya menemukan
Eizel.

Keala cepat-cepat mencari foto bertahun ajaran kemarin, tahun ketika Eizel masih
kelas sebelas. Itu dia! Keala memperhatikan satu per satu foto tahun kemarin.

Keala tertegun. Ia mengulangi lagi dari foto paling atas pada tahun ajaran kemarin.
Perlahan-lahan ditelusurinya satu demi satu. Hasilnya tak berubah. Tak ada foto
pemenang lomba karya ilmiah.

“Lihat foto siapa, Ke? Serius amat.”

Keala terkejut.

“Eh, maaf. Saya ngagetin, ya?” Ninna memasang wajah bersalah. “Abis, kamu konsen
banget ngeliatin foto-foto itu.”

“Aku nyari foto Eizel, Nin.”

Ninna mengangkat alis.

“Kata Eizel, waktu kelas sebelas dia ikut lomba karya ilmiah dan menang,” ujar Keala.
“Oh, keren!” sambut Ninna spontan. “Kalau gitu, mestinya ada fotonya di sini. Asyiiik,
kebetulan. Saya penasaran banget. Nah, yang mana dia?” Keala menelan ludah.
“Nggak ada, Nin.”

“Heeey? Nggak ada?” seru Ninna. “Ssst!” Bu Linda berdesis keras, menegur Ninna.
Ninna meringis. “Maaf, Bu,” ujarnya sambil mengang- guk sopan. Ia berpaling pada
Keala dan bertanya dengan suara pelan. “Serius, Ke... nggak ada?”

Keala mengangguk lemah.

“Jadi, setelah bohong soal nama dan kelasnya, dia bohong juga soal menang lomba
itu?”

Keala menatap foto-foto di hadapannya. “Perasaanku bilang dia nggak bohong, Nin.”

Ninna berdecak. “Itu perasaan kamu aja kali, Keala!”

“Iya, itu perasaan aku tapi aku yakin bener.”

“Tapi buktinya? Mana buktinya, Ke?” Tanpa sadar, suara Ninna meninggi lagi.

“Ssst! Ninna!” Bu Linda bangkit dari kursinya, lalu menghampiri Ninna dan Keala.

Ninna menyikut Keala. “Duuuh, gara-gara kamu dan Eizel, niiih!”

“Ada apa, Ninna?”

“Eng... nggak... itu, Bu.” Ninna menunjuk foto-foto di dinding.

“Ya?”

“Emh...” Ninna gelagapan, kebingungan mencari alasan.


“Lagi nyari data tentang kakak kelas yang menang lomba karya ilmiah, Bu,” ujar Keala
pelan.

Bu Linda menatap Keala. “Untuk apa?”

“Emh... ntuk bahan tulisan, Bu,” sambung Ninna. “Di sini ada foto-fotonya kan, Bu?”
Jari telunjuk Ninna mengarah ke deretan foto.

“Ada,” sahut Bu Linda.

“Yang tahun kemarin ada, Bu?”

Bu Linda menggeleng. “Sejak sepuluh tahun yang lalu, ini jadi lomba dua tahunan,
Ninna. Tahun kemarin tidak ada. Tahun ini ada. Angkatan kamu yang ikut. Revan.”

“Oh... Revan.” Ninna manggut-manggut. “Sekolah kita selalu menang ya, Bu?”

Bibir Bu Linda membentuk melengkung membentuk senyum. “Kalau yang kamu


maksud selalu jadi nomor satu, tidak. Kadang-kadang kita harus cukup puas dengan
nomor dua atau tiga.”

“Sekolah kita mulai ikut lomba karya ilmiah tahun berapa, Bu?” tanya Ninna. Keala
sudah membuka jalan, sekarang gilirannya mengorek informasi.

“Tahun 1986.”

“Wow!” ucap Ninna dan Keala nyaris berbarengan.

“Saya lahir juga belum, tuh,” celetuk Ninna.

Keala tersenyum tipis. “Waktu itu Bunda belum masuk ke sini.”

Bu Linda menatap Keala. “Oh, Bunda kamu dulu sekolah di sini, ya.”
"Iya, Bu," Keala mengangguk. "Bunda masuk tahun 1987, lulus 1990."

"Oh!" Bu Linda tersenyum. "Waktu Bunda kamu sekolah di sini, sekolah kita jadi juara
dua. Tahun-tahun sebelumnya kita cuma jadi juara harapan."

"Wow! Tahun berapa itu, Bu?" tanya Ninna.

"Tahun 1989," sahut Bu Linda. Tatapannya menari- nari lincah di atas hamparan foto.
"Nah! Ini dia!" Sesaat kemudian, jari telunjuknya mengarah pada sebuah foto.
"Pemenang II Lomba Karya Ilmiah SMA tahun 1989."

Ninna dan Keala mengikuti arah yang ditunjuk Bu Linda.

Keala berjinjit. Foto itu terletak agak tinggi, lebih tinggi daripada tubuhnya.

"Kira-kira kami bisa mewawancarai dia nggak ya, Bu? Ibu tahu alamatnya sekarang
nggak? Atau nomor teleponnya?" tanya Ninna. Sebenarnya ia tak punya rencana
mewawancarai si juara itu. Namun, ia tetap bertanya supaya sandiwara mereka
semakin meyakinkan. Lagi pula tahun 1989! Wew, sekarang si juara itu pasti sudah
jadi om- om. Mungkin sekarang tinggal di luar negeri. Di Jepang, Jerman, atau
mungkin di Nigeria. Siapa tahu, kan?

Bu Linda menggeleng. "Sayangnya tidak bisa, Ninna." Dalam hati Ninna bersorak
karena tak perlu membuat kebohongan baru. "Udah nggak tinggal di Bandung ya,
Bu? Di luar negeri? Tapi kan bisa pakai e-mail atau Skype, Bu
“Bukan itu,” Bu Linda menghela napas panjang. “Dia sudah meninggal.”

“Oh...”

Keala terbelalak. “Ya Tuhaaan!”

Pekikan Keala mengejutkan Ninna dan Bu Linda.

“Kenapa, Ke?”

Telunjuk Keala menuding foto yang diberi keterangan “Pemenang II Lomba Karya
Ilmiah SMA tahun 1989”. Suaranya parau. “Itu... itu...”

“Kenapa, Ke?” tanya Ninna heran.

Tatapan Keala terpatri pada wajah di dalam foto itu.

Bu Linda mengernyitkan dahi. “Kenapa dengan foto itu?”

Keala tak menjawab. Wajah tampan di dalam foto itu tersenyum padanya.

Bu Linda menjulurkan tangan, meraih foto itu, lalu melepaskan dari paku yang
menggantungnya di dinding. “Ini...”

“Eizel... Augusta,” ujar Keala lirih.

Suara lirih Keala seperti gelegar petir di telinga Ninna.

“Boleh saya...” Keala mengulurkan tangan, meminta foto berbingkai kayu hitam itu.

“Kamu tahu rupanya,” komentar Bu Linda. “Ah, kalau Bunda kamu masuk tahun
1987, sepertinya satu angkatan dengan Eizel. Bundamu pernah bercerita tentang
Eizel?” Keala membisu, menatap lekat wajah Eizel. Wajah
Itu... tubuh jangkung itu, tatapan mata yang teduh itu, senyum itu....

Satu per satu air mata Keala menitik turun.

Perlahan jari telunjuk kanan Keala menyentuh wajah Eizel, mengusapnya.


Pandangannya semakin kabur oleh kabut air mata. Bibirnya bergetar, beberapa saat
membuka dan menutup tanpa suara, kemudian lirih menyebut nama Eizel.
Kegelapan memeluk kesadarannya.

Sepi.

Kelam.

Pekat.

Urat-urat di kepala Keala berdenyut kencang.

Lalu suara itu terdengar lembut menyentuh bawah sadar Keala. “Semua akan baik-
baik aja, Ke.”

Keala menggelang lalu berlari keluar ruangan menuju perpustakaan.

“Aku harus ketemu dia... !!” batinnya. “Harus!”

Keala sampai di depan perpustakaan dengan napas yang terengah-engah dan mata
yang merah menahan airmata. Ia langsung masuk dan mendapati ruangan itu seperti
hampa udara. Tidak ada orang di sana, Pak Dede pun tak terlihat. Lalu matanya
menangkap sosok cowok yang sedang berdiri di depan meja Pak Dede.

Eizel berdiri di situ, dan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Senyum yang
sekarang malah membuat hati Keala seakan remuk. Dadanya sesak dan ia sulit
bernapas.
Keala hanya menatap Eizel dengan tajam, lalu melangkah pelan menuju rak 300.
Keala tahu Eizel mengikutinya di belakang.

“Hai,” seru Eizel ketika mereka tiba di depan rak 300. “Keala...,” panggil Eizel lagi
karena Keala tetap membelakanginya.

Hening menyelimuti sekitar. Keala bingung ingin mengatakan apa. Ia benar-benar


tidak bisa berkata-kata. La benar-benar tidak tahu apa yang selama ini terjadi, mana
yang kenyataan dan mana yang hanya mimpi belaka. Tapi Eizel tahu apa yang telah
terjadi. Eizel tahu kalau saat ini akan tiba, cepat atau lambat.

Keala berbalik dan melihat Eizel dengan saksama. Ia memperhatikan setiap detail
yang ada pada Eizel, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Kali ini, entah mengapa Eizel
terlihat... terlihat sangat putih.

Dan tangis yang berusaha ditahannya pun pecah. Airmata seperti berlomba-lomba
turun membanjiri pipi Keala. Napasnya tercekat dan tangannya mengepal.

“Kamu...,”

Keala tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia bingung dan tiba-tiba ingatannya


ketika pertama kali bertemu Eizel pun bermain di benaknya. Pertama kali mereka
bertemu, mengobrol, lalu menjadi dekat. Pertama kali jantung Keala berdetak lebih
cepat ketika melihat senyuman Eizel. Dan ketika Keala menyadari kalau ia telah jatuh
hati pada Eizel.
“Kenapa...?” Hanya satu kata itu yang mampu dikeluarkan oleh Keala. Ia cepat-cepat
menghapus airmatanya agar bisa melihat Eizel dengan jelas.

Eizel diam saja memandang Keala. Hatinya sakit melihat gadis di depannya ini
menangis. Ia tahu hati Keala pasti sedang terluka. Dan dialah penyebabnya. Jadi,
jawaban seperti apakah yang harus dikatakannya agar luka di hati gadis ini tidak
makin dalam?

“Kenapa?” tanya Keala lagi sambil mengambil napas panjang. “Kamu... kenapa
muncul di hadapanku? Kamu... kamu....” Keala tak sanggup melanjutkan kata-
katanya. Jauh di lubuk hatinya, Keala tak ingin mengakui kalau Eizel itu bukan lagi
manusia. Karena ia tahu, saat mengakuinya, maka rasa cintanya yang mulai tumbuh
ini pun harus ikut mati.

“Ya... aku sudah tidak di dunia ini lagi, Keala. Aku telah meninggal,” ujar Eizel sambil
tersenyum muram.

Deg. Keala menatap Eizel tajam, lalu berlari keluar perpustaakaan.

***

“Siang, Keala.”

Sapaan itu tak membuat Keala menoleh. Kepalanya tetap menunduk, tatapannya
terus saja menekuri baris- baris kalimat di buku ensiklopedia dunia yang tengah
Dibacanya. Sudah dua hari berlalu sejak peristiwa itu. Sudah lebih dari 48 jam sejak
Keala mendapatkan jawaban mengapa nama Eizel tak ada di daftar nama murid kelas
XII IPA 5.

“Aku tahu kamu mendengarku.”

Keala masih tak bereaksi.

Hening. Hanya sesekali terdengar suara kertas dibalik, ketak-ketik tuts komputer,
atau dehaman Pak Dede. Namun, Keala tahu orang yang menyapanya masih berada
di dekatnya.

“Aku minta maaf, Ke.”

“Untuk apa?” tanya Keala serak. Huruf-huruf di ensiklopedia itu tak jelas lagi di dalam
pandangannya.

Tak ada jawaban.

Napas Keala mulai naik turun tak beraturan. Butir- butir air mata berlomba
membasahi pipinya, terus meluncur hingga jatuh di atas buku yang terbuka di
pangkuannya.

“Karena kamu bukan manusia lagi?” tanya Keala pelan.

“Karena aku tak mengatakannya pada kamu.” Eizel diam sejenak. “Kukira kamu udah
tahu.”

Keala memejamkan mata. Kenyataan ini menikam jantungnya, mengiris-iris hatinya


hingga menjadi serpihan- serpihan kecil.

“Aku nggak berniat jahat sama kamu.”

“Gimana aku bisa percaya?” tanya Keala. “Kamu udah bohongi aku.”
“Aku nggak bohong, Ke.”

“Kamu bohong.”

“Nggak. Aku jujur sama kamu. Aku pernah menang lomba karya ilmiah, aku anak
kelas XII IPA 5, dan namaku Eizel Augusta.” Eizel diam sejenak. “Dulu namanya III
Fisika 5. Tapi papan nama yang tergantung di atas pintu kelasku sekarang bertuliskan
XII IPA 5.”

Keala menoleh. Eizel ada di sebelahnya. Persis seperti ketika pertama kali Keala
bertemu dengannya di sini, di perpustakaan ini.

“Cari buku apa? Dari tadi aku lihat kamu diam aja di sini. Buku yang kamu cari itu,
kan, nggak mungkin keluar sendiri dari rak.” Wajah tampan itu tampak tenang.
Matanya yang dihalangi kacamata berbingkai hitam menyorotkan kecerdasan dan
keteduhan. Senyum tersungging di bibirnya.

“Kenapa kamu pura-pura jadi manusia, Zel?”

“Aku nggak berpura-pura, Ke.”

“Tapi kenyataannya, kamu udah bukan manusia lagi. Kamu... kamu,” tenggorokan
Keala tercekat. “Kamu... udah meninggal, Zel,” lanjut Keala serak. Air matanya
kembali menetes.

“Jangan menangis lagi, Ke....” Eizel mengulurkan tangan kanannya, menyentuh pipi
Keala.

Keala memejamkan mata. Pipinya bagai ditempeli balok es ketika jemari Eizel
menyentuhnya. Dingin. Eizel menarik tangannya yang sedingin es dari pipi
Keala, lalu meletakkannya di atas meja. “Aku memang sudah meninggal, Keala.”

Pengakuan Eizel hanya menegaskan apa yang sudah diketahui Keala. “Kenapa?”

“Mereka membunuhku.”

Keala menoleh, menatap Eizel. Namun, wajah itu tetap melihat lurus ke depan. Entah
melihat apa. Dari samping, wajah tampan Eizel terlihat murung.

“Mereka membunuhku di sini. Di sekolah ini.”

“Siapa?” tanya Keala pelan.

“Penjahat-penjahat itu.”

***

Empat bulan setelah Eizel menjadi juara dua dalam lomba karya ilmiah, kepala
sekolah memanggilnya. Bukan hanya Eizel dipanggil untuk menghadap ke ruang
kepala sekolah, tetapi juga Bimo dan Heru. Mereka bertiga sama-sama anak kelas III
Fisika.

Kepala sekolah sudah menunggu ketika mereka datang. Pak Daniel, guru fisika
sekaligus pembina KIR, pun sudah ada di sana.

Eizel, Bimo, dan Heru tak perlu bertanya-tanya mengapa mereka dipanggil. Sebelum
mereka bertanya, Pak Daniel sudah memberikan penjelasan. LIPI akan mengadakan
lomba karya ilmiah. Lomba itu dibagi menjadi dua kelompok besar. Bidang IPA dan
bidang IPS.
Pak Daniel sudah berbicara dengan kepala sekolah, Pak Wahab, tentang
kemungkinan SMA 79 mengikuti lomba tersebut. Pak Wahab setuju dan langsung
menyebut nama Eizel Augusta.

“Kali ini kamu tidak maju sendirian, Eizel, tapi dengan tim. Bapak sudah mengamati
kemampuan dan minat kalian. Bapak yakin, kamu, Bimo, dan Heru akan menjadi tim
yang hebat,” tutur Pak Daniel.

Eizel, Heru, dan Bimo bertukar pandang. “Kalau kalian setuju, kita akan segera
menentukan topik lalu memulai penelitian. Itu kalau kalian setuju. Kalau tidak, pihak
sekolah akan melakukan seleksi terbuka untuk memilih tim yang akan mewakili
sekolah kita,” lanjut Pak Daniel. “Cuma, seleksi itu akan memakan waktu, sedangkan
batas akhir pendaftaran dan pengiriman karya tinggal dua bulan lagi.”

“Sekolah akan memberi dukungan penuh,” Pak Wahab meyakinkan. “Pak Daniel akan
membimbing kalian. Kalian juga bisa menggunakan lab IPA dan lab komputer di luar
jam pelajaran.”

Eizel berdebem pelan. “Boleh kami bertiga berembuk sebentar, Pak?”

Pak Daniel menoleh pada Pak Wahab. Kepala sekolah yang rambutnya sudah diselingi
uban itu mengangguk. “Silakan.”

Eizel, Bimo, dan Heru bangkit dari kursi mereka lalu melangkah ke ruang tunggu. Di
ruangan yang dihiasi puluhan piala dan foto itu, mereka berembuk dengan suara
pelan.
Sebenarnya Eizel tak keberatan, maju sendiri atau bersama tim. Lebih-lebih ia sudah
kenal baik dengan Bimo dan Heru Meskipun tak pernah sekelas, mereka sama-sama
mengikuti ekskul KIR. Minat mereka pun sama-sama pada fisika. Waktu kelas dua,
mereka bertiga sama-sama mengirim lomba karya ilmiah. Namun, Eizel yang keluar
sebagai pemenang.

“Ini kesempatan terakhir kita di SMA,” ujar Bimo antusias. “Setelah ini, semua lomba
pasti dikasih ke anak kelas dua.”

“Yoi. Kayaknya sayang kalo dilewatkan,” tambah Heru.

“Jadi, kita ikut?” Eizel menegaskan.

“Ikut, lah!” sabut Heru. “Kalau udah lulus, mana bisa lagi mewakili SMA ini.”

“Setuju,” dukung Bimo.

Eizel mengacungkan kedua ibu jari tangannya. “Sip!” Hari-hari setelah itu, mereka
mulai disibukkan dengan proyek ilmiah, selain tetap harus fokus pada pelajaran.
Pembimbing mereka tak hanya Pak Daniel, tetapi juga Pak Arif yang menjadi dosen
teknik elektro.

Kesibukan itu membuat mereka sering sampai sore, bahkan malam di sekolah.
Laboratorium fisika dan komputer hampir setiap hari dipakai oleh kelas satu, dua,
dan tiga. Lepas pukul tiga siang, barulah lab itu kosong.

Hari itu pun Eizel, Bimo, dan Heru masih berada di sekolah. Mereka sedang
mengerjakan laporan di lab komputer.

“Udah hampir setengah delapan aja!” seru Bimo ketika


Melihat jam tangannya.

“Udahan dulu kalo gitu,” usul Eizel. “Kita terusin besok.”

“Terusin makan dulu, Zel,” Heru nyengir. “Pak Daniel kan lagi mesen makanan.

Eizel tertawa. “Ini yang menyenangkan. Makan gratis. Sangat ngebantu anak kos
seperti kita. Uang kiriman dari ortu bisa diirit-irit.”

“Kalian mau sampai jam berapa di sini?” Eizel, Bimo, dan Heru menoleh. Pak Daniel
masuk ke lab sambil menenteng kantung kresek putih berisi beberapa bungkus nasi.

“Udah mau pulang, Pak,” sahut Bimo, melirik kantung plastik di tangan Pak Daniel.
“Tapi nunggu Bapak dulu.”

“Nunggu makan malam, Pak,” Heru memperjelas. “Bimo memang suka muter-muter
kalo ngomong.”

“Jujur amat!” komentar Eizel.

“Alaaa! Kayak kamu nggak aja, Zel. Tadi siapa yang bilang soal ngirit uang kiriman dari
ortu?” sergah Bimo, tak sudi malu sendirian.

Eizel terbahak.

“Muter-muter kayak Bimo Cuma bikin laper,” kata Heru. Pak Daniel tertawa. “Oke,
kita makan malam dulu.”

Setelah membereskan buku-buku dan kertas-kertas yang tadi berserakan, mereka


duduk lesehan di lantai. Sekolah sudah sepi. Anak-anak ekskul sepak bola yang tadi
sempat terdengar riuh seusai berlatih, sudah pulang.

Pukul delapan lewat sepuluh menit, setelah makan, Pak


Daniel mengunci lab. Belum jauh berjalan meninggalkan lab, Bimo menepuk dahi.

“Pak, bisa balik ke lab bentar, nggak? Jaket saya ketinggalan,” ujarnya. “Pantes
ngerasa dingin banget. Boleh, ya, Pak?”

“Ya,” Pak Daniel langsung berbalik arah. “Cepat, ya. Sudah mulai gerimis. Repot kalau
hujan keburu deras dan kita masih di sini.”

Suara gemuruh terdengar sahut-menyahut. Sesekali kilatan api membelah langit.

“Saya boleh duluan nggak, Pak?” tanya Eizel. Dibandingkan Heru dan Bimo, tempat
kosnya paling jauh dari sekolah. Heru dan Bimo kos di tempat yang sama, tak sampai
sepuluh menit berjalan kaki dari sekolah.

Pak Daniel urung melangkah. Ia menoleh. “Boleh.”

“Yah! Padahal barusan mau nebeng motormu, Zel!” ujar Heru.

“Alaaa! Udah, ntar kita jalan aja,” sambar Bimo. “Kasihan si Eizel, kosnya jauh. Ntar
kalo keujanan, dia sakit, lagi. Malu-maluin kalo pas presentasi nanti Eizel masih pilek.
Masa sekolah kita diwakili anak ingusan.”

“Sialan!”

Heru dan Bimo terbahak-bahak. Pak Daniel yang sedang membuka pintu lab pun
tertawa.

“Aku duluan!” Eizel langsung melangkah lebar-lebar ke tempat parkir. Tiba di sana, ia
tertegun. Motornya tak ada! Mata Eizel bergerak cepat memperhatikan setiap sudut
Tempat parkir. Tak ada satu motor pun. Motor Pak Daniel pasti ada di tempat parkir
motor guru. Terlintas di pikiran Eizel, motornya dipindahkan oleh satpam ke tempat
parkir motor guru. Sebelumnya juga pernah begitu.

Pak Edi, satpam sekolah, sudah beberapa kali mengingatkan Eizel dan anak-anak
yang sering sampai malam di sekolah untuk menyimpan motor di tempat parkir guru
agar mempermudah pengawasan

Ketika akan mencari Pak Edi, Eizel melihat seseorang sedang mengotak-atik motor di
pintu gerbang. Eizel terkesiap. Itu motornya!

Tanpa berpikir lagi, Eizel langsung berlari menghampiri. “Pencuri!” teriaknya.

Teriakan Eizel mengejutkan si pencuri motor.

“Cepat!”

“Belum hidup!”

“Maling! Maling!” Eizel terus berteriak-teriak. Tepat ketika Eizel tiba di pintu
gerbang, si pencuri berhasil menghidupkan motor Eizel. Tanpa membuang waktu,
Eizel langsung melayangkan tinjunya pada si pencuri. Satu tinju lagi, satu lagi.

Si pencuri oleng. Di satu sisi ia berusaha duduk di motor Eizel, di sisi lain ia harus
menahan serangan Eizel.

Di luar dugaan Eizel, teman si pencuri yang semula menunggu di motornya, turun
dan menyerang dengan sebilah pisau panjang.

Eizel tak sempat mengelak ketika pisau itu menancap


Dalam di ulu hatinya. Tembus bingga ke punggung.

“Lari!”

Dua sepeda motor meraung dan melesat pergi. Teriakan-teriakan Pak Daniel, Pak Edi,
Heru, dan Bimo yang memanggil namanya, terdengar sayup-sayup di telinga Eizel.

***

“Aku melihat tubuhku. Pisau itu menancap begitu dalam. Darah membanjir. Tumpah
banyak sekali.”

Keala memejamkan mata. Nyeri yang diceritakan Eizel terasa menikam jantungnya.

“Nyawaku lepas sesaat setelah Pak Daniel dan teman- temanku tiba di tempatku
terkapar. Di gerbang belakang itu.”

Keala kembali merasakan nyeri itu. Ternyata itu sebabnya ia sering melihat Eizel
berdiri mematung di pintu gerbang itu. Ia membuka mata, menatap Eizel. “Mereka...
pembunuhmu...tertangkap?”

Eizel tersenyum sedih. “Aku nggak tahu.”

Keala menelan ludah. “Itu... yang membuatmu nggak tenang?”

Eizel menggeleng.

“Bukan?”

“Orangtuaku. Aku nggak sempat pamit pada mereka,” ujar Eizel sedih. “Aku nggak
sempat minta maaf pada
Mereka. Aku udah membuat mereka sedih dan belum bisa membahagiakan
mereka...”

“Mereka pasti lebih sedih kalo tahu kamu... seperti ini.”

Eizel diam sejenak. “Aku nggak pernah pergi dari sekolah ini, Ke.”

Keala mengernyitkan keningnya. Eizel tersenyum. “Aku nggak pernah pergi, Ke. Aku
mencintai sekolah ini. Aku tetap di sini. Di sekolah ini. Tetap menjadi murid sekolah
ini. Tetap belajar di sini. Aku paling suka berada di kelasku, di perpustakaan ini, di
koridor, dan di lab. Kalau kamu ke lab, kamu juga pasti akan ketemu aku di sana, Ke.
Tapi kamu anak IPS, ya.”

Di mata Keala, senyum Eizel masih seperti yang pertama kali. Namun, kali ini Keala
menaburkan pestisida sebanyak-banyaknya di hatinya. Benih-benih cinta itu tak
boleh bersemi. Benih-benih cinta itu harus... mati.

“Kamu... gentayangan di sini?”

“Tapi aku nggak pernah menakut-nakuti orang, Keala. Aku senang sekolah di sini. Aku
masih menunggu Andini di sini...”

“Andini?” Keala terperangah.

“Aku belum sempat mengungkapkan cintaku padanya. Aku terlalu takut untuk
mengatakan padanya. Dia begitu sempurna di mataku,” tutur Eizel.

Mulut Keala terkunci. Andini? Andini...

“Kalau saja masih hidup, aku pengin sekali menyatakan


Cintaku pada Andini. Mencintai dia setulus hati. Melindu- ngi dia. Membahagiakan
dia. Kalau saja dulu aku berani, kalau saja penjahat-penjahat itu nggak
membunuhku... Andini nggak perlu menangis, nggak perlu babak belur, nggak perlu
terluka.” Eizel menatap Keala. Ada luka dalam tatapan itu. “Kamu mirip sekali dengan
Andini.”

“Zel...,” ujar Keala dengan suara tercekik.

“Aku melihat Andini pada hari pertama kamu masuk ke sekolah ini. Andini datang
lagi. Lama sekali aku menunggu di sini. Menunggu Andini.”

Air mata Keala merembes turun. “Andini... Bunda...” Eizel tersenyum. “Ya.”

Dada Keala sesak, mencoba memahami peristiwa yang tengah dialaminya. Cowok
yang membuatnya jatuh cinta ternyata bukan manusia lagi. Cowok yang terbunuh
hampir seperempat abad lalu itu ternyata menyimpan cinta untuk Andini. Untuk
Bunda. Bunda... tahukah Bunda tentang ini? Mungkin Bunda nggak tahu, hingga
kemudian memilih cowok lain. Ayah. Ayah yang malah membuat Bunda babak belur.
Terluka lahir batin.

“Sekarang kamu... kamu mau apa, Zel?”

“Aku mau minta tolong kamu menyampaikan permintaan maafku pada orangtuaku.
Aku udah bikin mereka kecewa dan sedih,” ujar Eizel pelan. “Kamu mau bantu aku,
Ke?”

“Gimana?”

“Menemui orangtuaku di Cirebon.”


Keala memejamkan mata. Kepalanya terasa pusing mendengar penjelasan Eizel.
Setelah hampir 25 tahun, apakah orangtua Eizel masih hidup? Apakah mereka masih
tinggal di alamat yang sama? Apakah mereka akan percaya? Apakah mereka tidak
akan menganggapnya... gila?

“Selama ini aku bahkan nggak tahu kalau kamu bukan manusia lagi,” ujar Keala pelan.
“Padahal aku... aku udah telanjur suka sama kamu, Zel.”

“Jangan, Ke.” Eizel menatap Keala. “Kamu seharusnya menjadi anakku... karena kamu
anak Andini.”

“Aku...”

“Kamu ingat teori limit, Ke?” tanya Eizel. Keala mengangguk. “Dasar untuk
memahami kalkulus?”

Eizel tersenyum samar. “Limit fungsi. Mendekati. Batas. Mendekati tapi tak bisa
meraih. Ada batas yang membuat aku harus berhenti pada mendekati. Hanya
mendekati. Tak bisa melewati batas itu.”

Keala menunduk. Limit. Hanya mendekati. Butiran air meluncur lagi dari kedua mata
Keala.

“Keala?”

Suara itu menyentak Keala. Ia buru-buru menghapus air mata.

“Kamu kenapa?” Kevin menarik kursi, duduk di sebelah kanan Keala.

Keala menunduk, menggeleng-gelengkan kepala. Jari-


Jemarinya masih berusaha mengeringkan air mata yang membasahi pipinya.

Kevin memegang bahu Keala, memaksa gadis itu mengubah posisi duduk hingga
menghadap ke arahnya.

“Kamu nangis? Kenapa?”

Keala tak menjawab.

“Pasti gara-gara Eizel.”

“Kev...” Keala mengangkat wajah, menatap Kevin dengan matanya yang masih
berembun.

Gigi-gigi Kevin bergemeretak. Ia tak bisa menerima Keala terluka seperti ini. “Di mana
dia?”

“Siapa?”

“Eizel. Si hantu gentayangan itu.”

“Kevin.”

“Dia yang bikin kamu jadi begini, Ke. Aku udah bilang, aku nggak akan ngebiarin siapa
pun nyakitin kamu.

Siapa pun!”

“Eizel nggak nyakitin aku.”

“Tapi dia bikin kamu nangis, Keala! Dia bikin kamu sedih. Dia bohong.”

“Bukan, Kev. Aku yang terlalu bodoh sampai nggak sadar kalau...”

Dengan kasar Kevin bangkit dari duduknya. Ia melangkah lebar-lebar, berpindah ke


sebelah kiri Keala.

“Dia pasti di sini kan, Ke?”

Keala ikut berdiri, menatap Kevin. “Kalau ya, kamu mau apa?”
Kevin mengepalkan tangan, lalu meninju udara kosong di depannya berkali-
kali.

Eizel menggeleng-geleng, lalu mendorong kepala Kevin. “Dasar bodoh! Dan si


bodoh ini mencintai kamu, Ke. Seperti cintaku pada Andini.” Eizel berpaling pada
Keala. “Satu lagi Ke, tolong katakan pada Andini, aku mencintainya. Selalu
mencintainya.”

***

Dua hari setelah Eizel mengungkapkan permohonannya, Keala tidak bersekolah


beberapa hari, bukan karena sakit atau stres. Ia mendatangi alamat orangtua Eizel di
Cirebon. Bunda terpaksa mengajukan cuti untuk menemani Keala.

Setelah berkali-kali bertanya, mereka tiba di rumah Erika, adik Eizel. Menurut
para tetangga di rumah Eizel yang lama, ayah Eizel sudah meninggal sebelas tahun
lalu. Sang ibu yang sudah sepuh kini tinggal bersama Erika. Jadi, ke sanalah Keala dan
Bunda pergi.

Rumah yang terletak di kawasan Tuparev itu tampak teduh oleh dua pohon
mangga yang tumbuh subur di halaman. Pot-pot anggrek menempel di kayu yang
dipasang saling menyilang di dinding. Meski cukup besar, bentuk rumah itu
sederhana saja. Bukan model rumah yang disentuh khusus oleh tangan seorang
arsitek. Rimbun pohon dan bunga-bunga aneka warna di halaman rumahlah yang
membuat rumah bercat kuning muda dan cokelat itu tampil memikat.
Erika dan ibunya menerima Keala dan Bunda di ruang tamu. Ruangan itu terasa sejuk
meski tanpa pendingin udara. Mungkin karena panas dan polusi dari luar sudah
disaring oleh tanaman-tanaman di depan. Mungkin juga karena tiga jendela
berukuran besar di ruangan itu memungkinkan lancarnya sirkulasi udara.

Sesaat setelah duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan, Keala memperhatikan
foto-foto yang terpajang di dinding. Sebuah foto menarik perhatiannya. Orang-orang
dalam foto itu mengenakan pakaian model lama. Semodel dengan yang ada di foto-
foto tua di rumah Nenek. Keala menggigit bibir. Teringat beberapa hari lalu Bunda
menunjukkan foto-foto dirinya ketika SMA dulu.

“Ini Eizel,” ujar Bunda, menunjuk seorang cowok berseragam SMA yang berdiri agak
di belakang. Wajahnya tak tampak jelas, tertutup cowok di depannya.

Bunda menunjukkan foto lain. Meski sama-sama sudah mulai buram termakan usia,
foto itu lebih jelas.

“Ini foto iseng-iseng aja di kelas. Dulu Bunda nyetak foto ini diam-diam, karena di situ
Eizel terlihat jelas.” Bunda menarik napas panjang, lalu termenung. Di sebelahnya,
Keala juga terdiam. Mata mereka sama-sama menatap wajah tampan berkacamata
dalam foto itu.

“Teman Kang Eizel?” tanya sebuah suara.

Lamunan Keala buyar oleh pertanyaan Erika. Ia mengalihkan pandangan dari foto di
dinding kepada adik perempuan Eizel itu.
“Ibu in... teman sekolah Kang Eizel dulu?” tanya Erika lagi.

“Ya,” sahut Bunda pelan. “Kami sekelas waktu kelas satu. Nama saya Andini, ini anak
saya Keala.” Erika menyalami aku dan Bunda.

Erika menatap Bunda lekat-lekat. “Dulu...,” ujarnya lambat-lambat, “Kang Eizel


pernah cerita. Dia suka pada teman sekelasnya. Tapi Kang Eizel malu buat mendekati
gadis itu. Namanya...” Erika mengerutkan kening mengingat-ingat sebuah nama.
“Andini.”

Bunda tersenyum mengetahui kalau Erika masih tetap mengingat cerita Eizel tentang
dirinya.

“Saya tahu Eizel sering mencuri-curi pandang pada saya. Saya menunggu dan
menunggu, tapi Eizel nggak pernah ngomong apa-apa. Kelas dua kami tidak sekelas
lagi. Eizel masuk kelas Fisika, saya ke kelas Sosial. Kami masih sering bertemu di
perpustakaan atau di koridor sekolah. Tapi Eizel tetap tak pernah bicara tentang
perasaannya pada saya. Hingga... peristiwa malam itu.” Bunda terdiam. Lama. Hanya
helaan napas panjang Bunda yang terdengar.

Keheningan menguap ketika sosok wanita tua memasuki ruangan tamu dengan gerak
lambatnya. Semua mata tertuju pada wanita yang kira-kira sudah berumur 70
tahunan yang berusaha untuk duduk di salah satu bangku. Ibu Eizel menatap ketiga
wanita yang duduk di hadapannya.
“Kalau Eizel masih hidup, dia pasti sudah menikah dan punya anak sebesar kamu,”
tatapannya terarah pada Keala.

Bola mata Keala panas. “Kamu seharusnya menjadi anakku... karena kamu anak
Andini.”

Bunda berdeham. “Keala bertemu Eizel di sekolah.”

Erika dan ibunya tak bisa menyembunyikan keheranan mereka.

“Saya... saya nggak ngerti,” ujar Erika. Ia menggeleng- geleng. “Kang Eizel meninggal
hampir 25 tahun yang lalu. Jadi tidak mungkin...”

“Eizel itu teman saya,” sela Keala pelan. “Dia yang selalu kasih semangat buat saya
untuk ngejar ketinggalan di sekolah. Dia juga yang mau dengerin semua cerita saya,
mau menghapus air mata saya...”

“Tapi...,” Erika menyela pelan.

Keala berdiri, melangkah menghampiri foto tua yang dari tadi menarik perhatiannya.
Jari telunjuknya mengarah pada seorang cowok tampan berkacamata di dalam foto
itu. Sama persis dengan Eizel yang dikenalnya. “Eizel...” suaranya tercekat menahan
tangis.

Hening beberapa saat.

Keala membalikkan tubuh, melangkah pelan ke kursinya dan kembali duduk. “Saya...
saya...” Keala menelan ludah. “Saya sering bertemu Eizel di sekolah. Eizel cerita
gimana penjahat-penjahat itu menusuknya dengan pisau sampai Eizel...” Keala
bercerita sambil menahan tangisnya.
“Eizel minta maaf, karena belum sempat membahagiakan orangtuanya.”

Lama tak ada yang bersuara setelah Keala menutup ceritanya dengan menyampaikan
keinginan Eizel. Begitu sepinya hingga detak-detik jarum jam yang terpasang di
dinding ruang tamu itu terdengar begitu jelas. Bunda memperhatikan taplak batik
berwarna hijau

Muda yang menutupi meja rotan di depan mereka. Kalau tak mendengar cerita itu
dari Keala sebelumnya, Bunda pun pasti tak akan percaya. Meski terdengar sangat
aneh, Bunda memilih untuk memercayai putri sulungnya itu. Lebih-lebih setelah
Nenek mengatakan bahwa indra keenam bukanlah sesuatu yang aneh di dalam
keluarga besar mereka. Beberapa anggota sepuh di keluarga mereka memiliki indra
keenam yang sangat peka. Terlewat di generasi Bunda, kemampuan itu ternyata
muncul di diri Keala.

“Bilang sama Eizel, Ibu sudah dari dulu memaafkan semua kesalahan Eizel,” ujar ibu
Eizel dengan suara basah. “Bapak juga begitu. Eizel tidak pernah membuat Ibu dan
Bapak sedih. Dia kebanggaan kami....”

Erika merangkul bahu ibunya.

“Sebelum meninggal, Bapak pernah bilang kalau Bapak sangat bangga pada Eizel.”

Keala tertunduk, menahan bulir-bulir air matanya Keala dan Bunda akhirnya pamit
pulang, tapi sebelum kembali ke Bandung, mereka mendatangi makam Eizel.
Hati Keala pedih dan serasa remuk ketika melihat batu nisan bertuliskan Eizel Agusta.
Seolah ini menjadi bukti tak terbantahkan bahwa Eizel memang telah meninggal.

Di sini kamu sekarang, Zel. Kamu yang sudah telanjur membuatku jatuh cinta... kamu
yang ternyata mencintai Bunda.

Jauh di lubuk hatinya, Keala pelan-pelan mulai merelakan Eizel... pelan-pelan mulai
menerima kenyataan, dan pelan-pelan mulai mengubur kembali cintanya yang
sedang tumbuh.

Karena Eizel takkan pernah jadi miliknya, sampai kapanpun.

***

Keala percaya, semua akan baik-baik saja. Seperti “mantra” sakti yang kerap
diucapkan Eizel untuk menghiburnya. Keala hanya perlu berdamai dengan kenyataan
bahwa ia mampu melihat mereka yang tak dapat dilihat oleh manusia pada
umumnya.

Pagi itu, beberapa jam setelah Keala pulang dari Cirebon, ia melihat Eizel berdiri di
pintu gerbang belakang.

“Pagi, Zel.”

“Pagi, Keala. Pagi, Andini.”

Keala menggenggam tangan Bunda. “Eizel bilang selamat pagi sama Bunda,” ujarnya
pelan. “Eizel ada pas di depan Bunda.”
Bunda menatap ke udara di depannya. “Pagi, Eizel.” Keala melihat pandangan Eizel
tak lepas dari Bunda, dari senyum di wajah Bunda.

“Zel...”

Eizel menoleh pada Keala. Wajahnya putih pucat seperti biasa. “Terima kasih Ke...
sekarang aku bisa menerima kenyataan.”

“Maksud kamu?”

“Kenyataan kalo aku sudah meninggal.”

Keala termenung, mencoba meraba maksud Eizel. “Kamu mau pergi?”

“Ya.”

Keala tahu, seharusnya ia merasa senang karena Eizel tak akan bergentayangan lagi.
Namun, ia tak dapat memungkiri perasaan sedih yang menyelinap diam-diam di
hatinya. “Nanti aku nggak bisa ngeliat kamu lagi, ya, Zel?”

“Ya, Ke. Nggak bisa lagi.”

Keala kembali terdiam.

“Setelah ini, semua akan baik-baik aja, Ke. Trust me.”

Bola mata Keala berembun. Ia dapat merasa, ini akan menjadi saat terakhirnya
melihat Eizel.

“Kalau nanti kamu tak lagi bisa mendengarku, tak bisa lagi melihatku, tak bisa lagi
berkata-kata denganku, lihat dalam kenanganmu tentang aku. Rasakan di hatimu.
Aku akan tetap di sana selamanya,” ucap Eizel lembut. “Anakku.”

Eizel menunduk, mencium ubun-ubun Keala. “Andini


Pasti bangga punya anak seperti kamu, Ke.” Ia mengangkat kepala, menatap Bunda
lekat-lekat. “Andini...”

Bunda merasakan hawa dingin yang tak biasa ketika Eizel mengecup keningnya.
“Eizel.”

“Wherever you go whatever you do, I will be right here waiting for you, whatever it
takes or how my heart breaks, I will be right here waiting for you....”

Setetes air jatuh di pipi Keala. Setetes lagi. “Eizel nyanyiin lagu Right Here Waiting....”
Keala memberitahu Bunda.

“Itu lagu kesukaannya dulu,” ujar Bunda. Bola mata Bunda berkaca-kaca.

“Ternyata kamu tahu itu, Andini,” Eizel tersenyum.

Keala terpaku menatap senyum itu.

“Selamat tinggal, Keala, Andini. Terima kasih sudah membantu


menyempurnakanku.”

“Eizel!”

Tak ada jawaban.

“Eizel...”

Eizel sudah tak ada.


Epilog
Keala memperhatikan buku-buku yang tersusun rapi

Di rak 300. Sebentar lagi UAS semester genap.

Keala ingin berusaha sebaik mungkin untuk menebus kegagalannya semester


kemarin. Tak ada Eizel yang menemaninya, tapi Keala yakin semua akan baik-baik
saja.

“Cari buku apa?”

Keala terkejut, refleks mendongak.

“Nyari buku jangan sambil ngelamun. Buku yang kamu cari nggak bakal loncat sendiri
dari dalam rak.” Tak ada siapa-siapa. Namun, di rak 540 ada dua anak kelas sebelas.

“Kata siapa lagi nyari buku? Aku lagi nyari ipad.”

“Halah ipad! Biasa pake batu sabak aja sok pake ipad!”

Keala tersenyum lirih. Ia mengambil sebuah buku sosiologi lalu membawanya ke


meja Pak Dede. Mengantre sebentar. Tiba gilirannya, ia mengulurkan buku yang akan
dipinjamnya.
Ketika menunggu Pak Dede meng-input barcode buku itu, bayangan Eizel melintas di
benaknya. Eizel juga sering meminjam buku di sini. Kata kamu, kamu tak pernah pergi
dari sini, Zel....

“Ini, Keala. Satu minggu, ya.”

“Ya, Pak. Makasih.” Keala mengambil buku itu dan melangkah meninggalkan
perpustakaan. Satu langkah dari ambang pintu, ia berhenti lalu menoleh ke belakang.

Akankah ada déjà vu?

Tak ada yang berdiri di depan meja Pak Dede untuk meminjam buku. Tak ada Eizel.

Keala menghela napas panjang, lalu meneruskan langkah menuju kelas XI IPS.

“Kalau nanti kamu tak lagi bisa mendengarku, tak bisa lagi melihatku, tak bisa lagi
berkata-kata denganku, lihat dalam kenanganmu tentang aku. Rasakan di hatimu.
Aku akan tetap di sana selamanya.”

Ya, kamu tetap di sini selamanya, Zel. Di dalam kenanganku tentang kamu. Kamu tak
pernah pergi.

***
Tentang Penulis

Triani Retno A.

Sejak cerpen pertama- nya dimuat di majalah Aneka Yess, ketika masih kuliah di
Fikom Unpad Bandung, ia semakin rajin menulis. Kini, ratusan cerpennya telah
dimuat di majalah, tabloid, dan koran (Story, Say, Kawanku, Aneka Yess, Sekar,
Kartika, Gaul, Bobo, Mombi, Tribun Jabar, dll).

Dua puluh novel dan buku nonfiksinya telah terbit di berbagai penerbit. Antara lain,
Kayla Twitter Kemping (Elex Media Komputindo), Ibuku Tak Menyimpan Surga di
Telapak Kakinya (Diva Press), Siapa Mau Jadi Pacarku (Penerbit Andi), Bodyguard
Bawel (Gramedia Pustaka Utama), Foolove (LPPH), Smile... Aku Naksir Kamu
(Penerbit Andi), The Reunion (Penerbit Andi), dan 25 Curbat Calon Penulis Beken
(Gramedia Pustaka Utama).

Tulisannya pun ada dalam belasan antologi, antara lain Dalam Kasih Ibu (Glitzy), A
Cup of Tea for Writer (Stiletto Book), Titik Balik (Leutika), dan Scary Moments (Indie
Pro Publishing).

Sering mengikuti lomba menulis dan beberapa kali menjadi pemenang. Di antaranya,
Pemenang Harapan dalam Lomba Menulis Novel Islami (Mizan 2005, Gema Insani
Press 2005, dan Tiga Serangkai 2006), Pemenang Berbakat Lomba Cerita Konyol
Gramedia Pustaka Utama 2008, Pemenang Harapan Lomba Mengarang Cerita
Detektif Majalah Bobo (2009), dan Pemenang I Lomba Kisah Inspiratif “Titik Balik”
(Leutika, 2010).

Kini masih tetap berulang tahun setiap tanggal 24 Desember, tetap menulis, dan
menetap di Bandung. Dapat ditemui di FB: Triani Retno A, Grup FB: Curhat Calon
Penulis Beken (admin), dan Twitter: @retnoteera.

***

Anda mungkin juga menyukai