Anda di halaman 1dari 18

NALA

Nala, begitulah orang memanggilnya. Ia merupakan seorang murid kelas 11 dari SMA
Texmaco. Meskipun dia tidak terlalu menonjol dalam pelajaran, namun ia selalu
mendapatkan nilai yang tinggi pada mata pelajaran yang paling ia sukai, yaitu bahasa dan
sastra. Dirinya juga dikenal sebagai “4 Serangkai” bersama teman-temannya Chris, Keenan,
dan Olivia. Mereka berempat berkenalan di kelas 10 saat menjadi teman sekelas, namun
sayangnya saat ini mereka berempat tidak lagi sekelas karena hanya Olivia yang menjadi
teman sekelas Nala. Sedangkan Chris dan Keenan terpisah di kelas yang berbeda.
Hari ini seperti biasanya 4 Serangkai berkumpul bersama, kecuali Chris yang belum nampak
batang hidungnya sedari tadi.
“Nan, jam pertama kelas lo mata pelajarannya siapa?” tanya Nala pada Keenan.
“Mata pelajaran Bahasa Indonesia sama Bu Dina. Kalau lo sama siapa?” Keenan
tanya
balik pada Nala.
“Ih, enak banget. Kalau gue sama Bu Siti yang ngajar Matematika itu. Mana dia
nyebelin banget, datang-datang cuma jelasin dikit terus langsung ngasih tugas. Waktu
kita tanya ke dia caranya gimana, dia malah nyuruh kita mikir sendiri. Kayak, kalau
kita paham gak mungkin nanya dong, Ibu.” Nala memasang wajah kesal saat
menceritakan salah satu guru yang menurutnya paling menyebalkan di sekolah itu.
“Tapi, Nala, walau begitu dia tetap guru kita. Mau sifatnya menyebalkan atau gimana,
kita tetap harus menghormati dia. Gak baik ngomongin guru yang udah susah payah
ngajarin kita,” balas Olivia setelah tertawa mendengar apa yang dikatakan Nala.
“Eh, btw, ini si Chris kemana deh? Tumben belum datang, biasanya jam 6 udah
nyampe di sekolah,” tanya Nala.
“Gak tau, biasanya gue markirin motor di sebelah motor dia. Tapi, tadi gue gak lihat
motor dia. Mungkin bangunnya kesiangan atau macet aja kali, Nal.” Keenan
mengangkat kedua bahunya sambil menggelengkan kepala.
Tak lama terdengar bunyi bel yang berarti jam pelajaran pertama sudah dimulai.
“Eh, Nan, balik gih ke kelas lo. Udah mulai jam pelajaran pertama soalnya, walau Bu
Dina baik tapi lo tau kan gimana tegasnya dia? Ntar lo dihukum kami gak tau loh,
ya.” Nala pura-pura mengusir Keenan agar balik ke kelasnya.
Keenan mendengus mendengar ucapan Nala.
“Ya, udah. Gue balik dulu ke kelas. Sampai ketemu di kantin nanti, Nal, Liv.” Keenan
segera kembali menuju kelasnya.
Sesaat setelah Keenan keluar kelas, Bu Siti pun masuk kelas dan langsung memulai
pelajaran.

Detik demi detik berlalu dengan cepat. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi.
Nala dan Olivia bergegas pergi ke kantin untuk mengisi perut mereka yang sudah minta
untuk diisi. Sesampainya di kantin, Nala dan Olivia memesan makanan dan minuman yang
biasa mereka pesan. Kemudian duduk di kursi panjang sambil menunggu pesanan mereka
datang. Berbarengan dengan sampainya pesanan mereka, Keenan datang sambil membawa
semangkuk mie ayam dan jus jeruk pesanannya lalu duduk di depan Nala dan Olivia.
“Lah, Chris belum gabung juga? Kemana sih tuh anak, dicariin gak nongol-nongol.”
“Entahlah, coba telpon dia, Liv.” Nala menyuruh Olivia untuk menelpon Chris.
“Coba bentar gue telpon.” Olivia mencari nomor kontak WhatsApp Chris kemudian
mengetuk logo telepon untuk menelponnya.
Ketika Olivia mencoba menelepon Chris, hanya terdengar nada dering beberapa kali
tanda tidak terhubung ke ponsel milik Chris. Tiba-tiba seseorang menghampiri meja tempat 3
sekawan itu berkumpul.
“Permisi, kalian teman-temannya Chris, kan? Nama gue Ahmad, gue ketua kelas di
kelas dia. Barusan ada kabar dari wali kelas kami kalau Chris jadi korban tabrak lari
dan sekarang di rumah sakit.” Ahmad menatap prihatin Nala, Keenan, dan Olivia
secara bergantian.
“HAH?! Kok bisa?” Nala terkejut mendengar perkataan Ahmad.
“Terus sekarang kondisinya gimana? Lukanya parah atau enggak? Dia dirawat di
rumah sakit mana?” tanya Keenan secara beruntun.
Olivia hanya tercengang setelah mendengar kabar tersebut.
“Kalau kata wali kelas gue, dia baik-baik aja tapi lukanya lumayan parah. Sekarang
dia dirawat di Rumah Sakit Texmaco.”
“Kok gak ngasih kabar ke kita?”
“Itu yang ngasih kabar ortunya, Chris masih belum siuman setelah kecelakaan itu
terjadi,” jawab Ahmad.
“Kalau gitu gimana nanti habis pulang sekolah kita jenguk Chris bareng-bareng? Ntar
Nala ikut motor gue, Keenan biarin sendiri aja.”
“Gue mah gas, ae. Keenan, lo gapapa kan sendiri?”
“Tenang, gue kan udah biasa naik motor sendiri. Ntar kalian naik motornya pelan-
pelan aja. Gue ikutin dari belakang.”
“Berarti setuju, ya. Nanti ngumpul di tempat parkir langsung gas ke rumah sakit,”
ucap Olivia pada Nala dan Keenan.
Kringgg
Terdengar bunyi bel tanda istirahat telah berakhir.
“Ahmad, makasih ya udah ngabarin kita soal kondisi Chris,” ucap Olivia pada
Ahmad.


Setelah sepulang sekolah Nala dan Olivia bergegas menuju ke tempat parkir, namun
ternyata mereka harus menunggu lagi karena Keenan belum sampai di tempat parkir. Mereka
berdua menunggu Keenan sembari juga menunggu jawaban chat dari ortu Chris perihal
informasi nomor kamar Chris di rumah sakit.
"Eh sorry, kalian udah nunggu lama? Tadi gue disuruh dulu sama guru buat bawain
buku ke mejanya,” ucap Keenan seketika datang dengan wajah kelelahan setelah
berlari menuju tempat parkir.
"Nggak kok, baru juga sampai. Tapi untunglah lo udah disini, pas banget ini
nyokapnya Chris udah bales. Katanya Chris ada di kamar 1225,” jawab Olivia
sembari menjulurkan tisu untuk mengelap pelipis Keenan yang berkeringat.
"Yaudah, yuk mumpung udah tau nomor kamarnya mending langsung gas aja
sekarang. Lo gapapa kan kalau kita langsung berangkat? Atau mau istirahat dulu
bentar? Kasihan lo habis lari-lari gitu.” Nala tanya pada Keenan yang masih tampak
ngos-ngosan.
"Gak usahlah, udah ayo gas aja. Cuma lari gitu aja biasa gua mah.” Keenan menjawab
setelah mengatur napasnya setelah berlari tadi.
Setelahnya mereka menuju motor masing-masing dan langsung menuju rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, mereka memarkirkan motor mereka di lahan parkir yang
tersedia dan langsung masuk ke rumah sakit untuk mencari letak kamar Chris berada. Setelah
berjalan menelusuri lorong rumah sakit, akhirnya mereka menemukan kamar tempat Chris
dirawat.
"Kamar nomor 1225, kayaknya bener deh ini kamar Chris. Kata nyokapnya langsung
masuk aja, dia lagi pulang ambil baju buat nginep di sini,” ucap Olivia, kemudian ia
mengetuk lalu membuka pintu kamar bernomor 1225 tersebut.
“Astaga, kok lo bisa sampai gini tuh gimana ceritanya, Chris?” Nala tanpa basa-basi
langsung bertanya setelah melihat kondisi Chris yang memprihatinkan.
“Gini, tadi pagi gue kayak biasanya berangkat sekolah naik motor. Terus di belakang
gue, kelihatan ada mobil biru tua yang posisinya lumayan dekat sama motor gue.
Awalnya, gue kira dia pengen nyalip motor gue. Ya, gue minggir dikitlah ke tepi
jalan. Tapi bukannya nyalip, dia malah nyenggol motor gue sampai gue kehilangan
keseimbangan terus jatuh di pinggir jalan. Bukannya tanggung jawab, dia malah
kabur gitu aja tanpa bantuin gue. Tapi anehnya, gue ngerasa mobil itu sengaja nabrak
motor gue. Untungnya, ada motor yang berhenti terus bantuin gue.” Chris bercerita
dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
“Loh, mobilnya kok aneh? Lo lihat gak nomor plat mobil biru tua itu?”
“Gue lihat, tapi cuma sekilas. Kalau gak salah, nomor plat mobilnya tuh BM 1430
NL,” ungkap Chris.
“Bentar, coba gue cek.” Olivia mengetuk salah satu aplikasi yang ada pada ponselnya.
Kemudian mengetik di pencarian nomor plat mobil yang disebutkan Chris tadi.
“Hah? Kok gak ada… Chris, lo yakin, kan, nomornya BM 1430 NL tadi?” tanya
Olivia.
“Gue juga kurang yakin, soalnya habis ketabrak penglihatan gue langsung buram
terus gue pingsan,” ucap Chris.
“Terus lo nyeritain ini gak ke orang tua lo?”
“Tadi waktu baru siuman, gue langsung cerita semuanya ke nyokap.”
“Oh, ya udahlah. Biar itu jadi urusan orang tua lo, yang penting lo selamat.”
Tok Tok Tok
Terdengar bunyi ketukan pintu, kemudian pintu itu terbuka lebar menampakkan seorang
lelaki memakai seragam yang sama dengan mereka.
“Permisi, maaf bila mengganggu perbincangan kalian. Gue cuma mau pastiin teman
kalian baik-baik aja. Oh ya, kayaknya kalian belum kenal sama gue. Kenalin nama
gue Ares, gue juga satu sekolah sama kalian,” jelas pria yang diketahui namanya Ares
itu.
Nala dan yang lainnya tercengang melihat orang di depan mereka.
Tidak kenal? Hei! Hanya orang nolep saja yang tidak tau siapa itu Aresta Rasendrya.
Ketua klub sastra di sekolah mereka, yang telah berhasil mengharumkan nama sekolah
dengan membawa pulang banyak penghargaan karena mengikuti banyak perlombaan.
“Btw, kalau gak salah nama lo Nala, kan? Salah satu anggota klub sastra yang
kemarin waktu di klub baca puisi buatan lo yang judulnya Petrikor, kan?” Ares tanya
pada Nala.
Nala terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Dia tak menyangka salah satu satu idola
sekolah mengingat namanya.
“Benar, Kak. Kok Kakak bisa ingat?”
“Ya, ingatlah. Mana bisa gue lupa sama puisi yang sebagus itu.” Ares tersenyum
simpul menjawab pertanyaan Nala.
Nala tersipu mendengar pujian yang Ares tujukan untuknya.
“Ekhem. Iya, dah, yang lagi kasmaran. Berasa dunia milik berdua. Yang lain mah
ngontrak,” sindir Keenan.
Yang lain—kecuali Ares dan Nala—tertawa mendengar sindiran Keenan itu. Yang merasa
disindir segera merasa salah tingkah dan mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Btw, Chris, lo sekarang gimana? Gapapa, kan?” tanya Ares pada Chris.
“Gue gapapa, ini udah mendingan dari pada tadi. Makasih ya, udah nolongin gue tadi
pagi, Bang. Terus sekarang nyempetin waktu juga buat jenguk gue. Emangnya lo gak
latihan buat lomba debat sastra? Bukannya lombanya besok minggu?”
“Owh, ya, ini gue cuma mampir soalnya searah sama tempat latihan gue. Yaudah, ya,
ini gue langsung pamit lagi. Mumpung ada temen-temen yang nemenin lo,” pamit
Ares pada mereka. Kemudian ia segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Segera setelah Ares keluar, Keenan menggoda Nala yang barusan dipuji oleh Ares.
“Cielah, malu-malu. Biasanya juga malu-maluin— Akh!” Nala menyikut perut
Keenan agar “makhluk” itu tidak menggodanya lagi.
“Hush! Udah-udah. Temennya lagi sakit malah kelahi. Btw, gue udah harus pulang
nih. Soalnya gue ntar malam harus les. Jadi, kami pulang dulu, ya, Chris. Semoga
cepat sembuh.” Olivia menghentikan perseteruan antara Nala dan Keenan lalu
berpamitan pada Chris.
“Jangan kebanyakan tingkah ya lo, Chris. Nanti kalau butuh apa-apa kabarin gue,”
pamit Keenan pada Chris lalu mereka berdua melakukan tos antar lelaki yang mereka
selalu lakukan.
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah masing-masing,


Di malam harinya, Olivia tiba di tempat les tepat pada pukul 19.30. Sembari
menunggu kelasnya yang dimulai pada pukul 19.45, ia duduk di depan kelas sambil membaca
buku pelajaran yang akan dibahas hari ini. Pada saat itu ada seorang anak laki-laki yang
membawa sebuah botol minum menghampirinya.
"Sorry ganggu, Kak Olivia kan? Ini tadi ada yang nitip minuman buat Kakak, katanya
dia malu kalau mau ngasih langsung ke Kakak." Laki-laki itu menyodorkan botol
minum berisi teh yang sedari tadi ia bawa, lalu Olivia pun mengambil minuman
tersebut sambil tersenyum.
"Emangnya siapa yang ngasih? Lo tau namanya gak?” tanya Olivia.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
"Oh, yaudah deh. Gue udah harus masuk kelas nih, jadi tolong bilangin ke orang itu
makasih banyak, ya. Makasih juga buat lo yang udah nganterin ini.”
“Iya. Sama-sama, Kak.” Laki-laki itu segera pergi meninggalkan Olivia.
Saat perjalanan menuju kelas, Olivia bergumam dalam hati.
"Kok aneh ya, tumben ada yang ngasih gue ginian. Ini minuman apa, ya?” Olivia
menyeruput sedikit minuman yang ada di dalam botol itu.
“Hmm, rasanya kok agak beda? Tapi bodo amatlah, gue lagi haus juga lagian.” Olivia
kemudian menenggak habis minuman tersebut dan masuk ke dalam kelas.

Keesokan paginya, Keenan sedang duduk termangu menunggu kedatangan Nala dan
Olivia di kursi mereka sambil membaca novel. Tiba-tiba Nala datang memasuki kelas dengan
wajah panik.
“NAN! Gue baru aja dapat kabar dari Mamanya Oliv, kalau Oliv lagi di rumah sakit
karena keracunan minuman. Dia minum teh Chamomile, yang rupanya dia alergi
sama teh jenis itu,” ucap Nala dengan tergesa-tergesa.
“HAH? Terus sekarang gimana? Mau nyamperin ke sana langsung?”
“Lah, lo ngajak gue bolos ceritanya?”
“Ya, iya ayo sekarang. Kita ke sana naik motor gue.” Keenan langsung menggeret
Nala menuju parkiran tanpa mendengar jawaban Nala.
Mereka berlarian di koridor sehingga menarik perhatian banyak murid. Tanpa mereka
sadari, ada seseorang di area parkir yang sedang menatap mereka kesal sembari mengepalkan
tangannya. Ketika sampai di rumah sakit, mereka berpapasan dengan Chris yang sedang
duduk di kursi roda sambil didorong oleh seorang perawat. Lalu mereka bertiga menuju
kamar di mana Olivia dirawat. Saat mereka masuk, tampak Olivia yang sedang berbaring
sambil menonton musik video girlband Korea kesukaannya yaitu Twice di televisi rumah
sakit. Dia terkejut melihat ketiga temannya yang menerobos masuk.
“Nala? Keenan? Kok kalian bisa di sini? Bukannya sekarang lagi jam sekolah? Terus
Chris, kenapa lo bukannya istirahat di kamar lo malah nyamperin gue?” Olivia
bertanya sambil menatap teman-temannya yang nampak terengah-engah.
Mereka terkejut melihat Olivia yang kelihatan baik-baik saja, setelah itu mereka
bertiga berjalan mendekati sisi kasur Olivia. Kemudian Keenan bertanya,”Loh, kok lo
kelihatan ga kenapa-kenapa? Katanya lo keracunan terus gue sama Nala langsung ke sini,
terus waktu baru rumah sakit gak sengaja ketemu Chris. Sekalian aja katanya mau ikut
jengukin lo.”
“Gue udah mendingan, kok. Tapi sempat parah waktu baru di rumah sakit.”
“Ya, baguslah kalau lo udah mendingan. Ini ceritanya gimana sih sampai alergi lo
bisa kambuh gitu? Kan biasanya lo teliti kalau soal makanan atau minuman yang mau
lo konsumsi,” tanya Nala.
-Beberapa jam yang lalu-
Kelas Olivia baru saja dimulai. Namun di saat pertengahan pembelajaran, Olivia
tiba-tiba merasa mual dan seluruh tubuhnya terasa gatal lalu pandangannya mengabur
hingga ia akhirnya kehilangan kesadaran. Melihat itu, guru dan teman-teman Olivia panik.
Seseorang yang bernama Tina menghampiri kemudian memapah tubuh Olivia sambil
berteriak, “Tolong siapapun panggil ambulans sekarang sebelum Oliv keadaannya makin
parah!”
Guru yang sedang mengajar di kelas tersebut kemudian menelpon ambulans.
Sesampainya ambulans di sana, mereka langsung membopong Olivia ke dalam ambulans.
Segera, ambulans membawa Olivia ke rumah sakit.
-Kilas balik selesai-
Setelah Olivia selesai bercerita, Nala kemudian bertanya,” Terus lo kok asal terima minuman
pemberian orang yang gak lo kenal?”
“Soalnya orang yang ngasih minuman ke gue emang sering bagi minuman atau
makanan gitu ke orang lain, makanya gue gak curiga walau awalnya curiga dikit
karena minumannya agak lain rasanya,” jawab Olivia.
“Makannya, Liv. Kalau nerima pemberian dari orang lain tuh dicek dulu biar gak
kayak gini. Jadinya lo malah nemenin gue sekarang dirawat di rumah sakit,” canda
Chris sambil terkekeh pelan.
“Chris, lo orang sakit malah dibercandain. Gak ngaca. Padahal apa bedanya sama lo?
Lo aja malah lebih parah, sampai bonyok gitu badan lo,” tegur Keenan.
“Yaelah, bercanda doang kali. Kok serius amat? Oliv aja biasa tuh, kok lo yang
sewot? Awas aja ntar kalau join masuk rumah sakit, gue syukurin lo.”
“Udah-udah! Chris, bercandaan lo gak lucu. Omongan adalah doa tau, lo emang mau
Keenan beneran masuk rumah sakit?” Nala menghentikan pertikaian antara Chris dan
Keenan.
“Ya, gak mau. Sorry, kalau bercandaan gue kelewatan,” sesal Chris.
Lalu akhirnya mereka menghabiskan waktu seharian menemani Olivia di rumah sakit.
Tiba-tiba Keenan nyeletuk, “Eh, udah sore nih. Gue harus pulang, sebelum Bunda gue
tambah ngamuk karena kita bolos bareng buat nemenin nih curut satu. Udah
dijengukin malah gak tau diri.” Keenan menatap Olivia saat menyebutkan kata curut.
Olivia memutar bola matanya.
“Ya, udah lo buruan pulang sono sebelum Bunda lo makin marah. Bunda lo kan kalau
marah serem banget. Sekalian anterin Nala pulang dulu, masa lo bawa ke sini tapi gak
lo pulangin.”
“Bawa-bawa, lo kira gue barang apa? Ya, udah ayo balik. Gue paling juga dicariin
sama orangtua gue. Chris, lo mau di sini dulu atau balik ke kamar lo? Kalau mau
balik, bareng sama gue dan Keenan aja,” ucap Nala pada Chris.
“Gue juga mau ikutan balik, deh. Udah lama juga di sini, sekalian mau istirahat.”
Akhirnya mereka bertiga berpamitan pada Olivia, lalu setelah mengantarkan Chris ke
kamarnya, Nala dan Keenan meninggalkan rumah sakit menuju rumah Nala.
Sesampainya di rumah Nala, Keenan berpamitan pada Nala dan langsung pulang menuju
rumahnya.


Jam telah menunjukkan pukul 19.56 saat Keenan mendapatkan hukuman untuk
membeli barang kebutuhan di rumahnya. Selang beberapa waktu setelah dia selesai
berbelanja, dia pulang menuju rumahnya sambil berjalan dengan santai.
Namun, ketika memasuki gang dia merasa ada seseorang yang sedang mengikutinya.
Dia akhirnya mempercepat langkah kakinya guna menghindari orang tersebut. Namun, dia
mendengar suara langkah kaki di belakangnya juga semakin cepat. Saat itu juga, dia panik
kemudian berlari sekencang mungkin. Tapi, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang
menancap di perutnya. Seseorang yang tak dikenal itu menusuk Keenan dan langsung kabur
meninggalkan dirinya.
Keenan memegang perutnya sambil menahan rasa sakit. Darah mulai mengalir,
sehingga dia panik dan mulai merasa pusing karena kehilangan banyak darah. Sampai
akhirnya dia tergeletak jatuh pingsan.


Saat terbangun, Keenan sudah berada di rumah sakit sembari dikelilingi oleh keluarga dan
teman-temannya.
“Keenan, kamu baik-baik aja kan, Nak? Masih ngerasa pusing? Atau perut kamu
rasanya masih sakit karena ditusuk semalam? Bunda panggilin Dokter, ya.” Bunda
Keenan memencet bel di sebelah ranjang Keenan untuk memanggil Dokter.
“Aku gapapa kok, Bun. Cuma ngerasa nyeri dikit aja. Terus Bunda udah tau orang
yang semalam nusuk aku siapa?” Keenan berusaha tersenyum saat berbicara pada
Bundanya.
“Belum, tapi Ayah udah ngelapor ke polisi dan sekarang lagi dalam masa
penyelidikan. Kira-kira kamu tau gak siapa orang yang nusuk kamu itu?” tanya
Bunda.
“Enggak tau, Bun. Perasaan aku di sekolah juga gak ada musuh, mungkin itu cuma
nyerang orang random aja. Dan kebetulan aku yang jadi korbannya.”
“Tapi, ini udah aneh banget menurut gue. Masa 3 hari berturut-turut, kita bertiga bisa
kebetulan ngalamin kejadian yang sampai bikin kita masuk rumah sakit?” sahut
Olivia.
“Iya, emang aneh. Terus kita gak tau lagi siapa yang nyelakain kita.” Chris menimpali
ucapan Olivia.
“Udah, gak usah khawatir. Pelakunya juga lagi dicari sama polisi, kalian pasti bakal
baik-baik aja,” ucap Bunda Keenan.
Nala di situ hanya bisa diam, khawatir dirinya akan menjadi korban selanjutnya.
Mereka memutuskan untuk membahas hal lain selain aksi teror yang menghantui mereka
selama beberapa hari ini sampai tak sadar, bahwa matahari sudah mulai terbenam.
“Gue pamit pulang dulu, ya. Pamali belum pulang waktu mau maghrib gini.” Nala
berpamitan kepada teman-temannya.
“Lo pulang naik apa, Nal? Jangan naik taxi atau pesen gojek, loh. Nanti lo kenapa-
kenapa kami gak bisa bantuin,” peringat Chris.
“Tenang, gue ada yang jemput, kok. Kalian semua gak usah khawatirin gue,
mendingan fokus ke penyembuhan diri kalian sendiri.”
“Siapa yang jemput lo emangnya?” tanya Olivia pada Nala.
“Ada, deh… kepo banget jadi orang,” ucap Nala pada Olivia.
“Tinggal bilang aja apa susahnya, dah? Main rahasiaan kayak sama siapa aja,” celetuk
Chris kesal.
“Ya, ada lah. Udah, gue mau pulang dulu. Ntar gak pulang-pulang nih gue karena
kalian nanya mulu.” Nala kemudian pergi keluar kamar tempat Keenan dirawat, tidak
menghiraukan teriakan teman-temannya dan menuju lobi depan rumah sakit.
Nala menunggu selama beberapa saat, sampai sebuah mobil abu-abu metalik lewat di
depannya. Seseorang keluar dari kursi pengemudi kemudian membukakan pintu mobil untuk
Nala.
“Udah nunggu lama?” tanya orang itu pada Nala.
“Belum, baru beberapa menit aku nungguin kamu.” Nala tersenyum sambil menatap `
lawan bicara di depannya kemudian masuk ke dalam mobil.
Orang itu lalu menutup pintu penumpang, kemudian berlari memutari mobil untuk
duduk di kursi pengemudi. Dia menjalankan mobil meninggalkan lobi rumah sakit menuju
rumah Nala. Mereka tak menyadari, ada seseorang yang mengintai pengerakan mereka dari
dalam mobil. Kemudian mobil yang ditumpangi Nala diikuti oleh orang misterius itu.
“Itu mobil belakang temen kamu, kah? Kok kayaknya ngikutin kita terus? Apa cuma
aku yang ngerasa gitu?” tanya Nala pada orang di sebelahnya.
“Hmm? Enggak, kok. Emang iya ngikutin kita? Cuma perasaan kamu aja kali.” jawab
orang di sebelah Nala.
“Coba deh kamu minggir dulu kemana gitu. Biar orangnya lewat duluan buat ngecek
beneran ngikutin atau enggak.” pinta Nala.
Orang itu menganggukkan kepalanya kemudian menepikan mobilnya di pinggir jalan.
Orang yang mengikuti mobil yang Nala tumpangi, merasa jika mobil di depannya
sadar akan dirinya yang mengikuti mereka. Melihat mobil di depannya menepi, ia kemudian
melaju kencang meninggalkan mobil tersebut. Orang tersebut kemudian meraih ponsel di
saku bajunya lalu menelepon asisten pribadinya.
“Cari tau info mengenai mobil dengan plat nomor BM PD1P TE sekarang juga!”
tanpa menunggu jawaban, ia langsung menutup panggilan itu.
Ting
Terdengar notifikasi pesan masuk dari ponsel orang itu, dia kemudian memeriksa
pesan baru dan membaca isi pesan tersebut. Setelah mengetahui identitas orang yang bersama
Nala, ia marah besar kemudian menelepon lagi asisten pribadinya.
“Jalankan rencana code red.”
Kedua orang tersebut memperhatikan mobil yang mereka curiga.
“Owh, rupanya gak ngikutin. Kayaknya aku lagi parno aja sekarang gara-gara
kejadian akhir-akhir ini,” ucap Nala pada orang di sebelahnya.
“Emang akhir-akhir ini ada kejadian apa sama kamu?” tanya orang di sebelah Nala.
“Aku ngerasa aneh sama kejadian yang dialami temen-temen deket aku. Gimana
mungkin mereka bisa ngalamin kecelakaan dalam 3 hari berturut-turut? Mulai dari
Chris yang jadi korban tabrak lari, Oliv yang keracunan minuman, dan terakhir tadi
yang kamu jemput aku dari rumah sakit itu, habis jenguk Keenan yang ditusuk sama
orang gak dikenal. Dan lebih anehnya lagi, pelaku dari 3 kejadian itu belum ada yang
ditangkap. Aku takut kita sebenarnya lagi diteror dan aku yang bakal jadi target
selanjutnya. Tapi, masalahnya gak ada orang atau musuh yang dicurigai sebagai
dalang dari kejadian itu karena kami ngerasa gak punya masalah sama orang lain.”
“Kalau kamu ngerasa gak punya masalah sama siapa-siapa, jangan overthinking gitu.
Bisa aja kebetulan, kamu cukup percaya sama Tuhan yang selalu jagain kamu di mana
pun kamu berada. Kalau kamu kenapa-napa telpon aku aja.”
Nala hanya menganggukkan kepala sambil terisak pelan. Kemudian orang di sebelah Nala
mengusap kepala Nala untuk menenangkan Nala.
“Hush… Udah, gak usah terlalu dipikirin. Mending sekarang kita pulang aja, ya.
Takut kemaleman. Besok kita keluar jalan-jalan sekalian healing biar pikiran kamu
gak macam-macam.”
“Janji, ya?” Nala menjulurkan jari kelingkingnya.
“Janji,” ucap orang itu sambil menautkan jarinya dengan jari Nala.
Kemudian mobil tersebut kembali melaju menuju rumah Nala.
Sesampainya di depan rumahnya, Nala bukannya langsung masuk. Melainkan
menatap orang di sebelahnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Merasa ditatap
dengan intens, orang tersebut kemudian bertanya pada Nala.
“Nala, udah sampai nih. Kamu gak turun?”
Nala masih terdiam dengan tatapan yang sama seperti tadi. Merasa ada yang salah dengan
Nala, orang tersebut kemudian menggoyangkan bahunya pelan.
“Nala? Kamu kenapa? Aku ada salah sama kamu? Nala, jawab pertanyaan aku.”
Nala terperanjat merasakan ada tangan yang menepuk pipinya pelan.
“Maaf, aku masih kepikiran soal kejadian beberapa hari ini. Aku takut kalau habis ini
aku kenapa-napa.”
“Astaga, cuma perasaan kamu aja itu. Gak bakal kenapa-kenapa, kok. Kan ada aku.
Masuk, gih. Aku tungguin sampai kamu masuk rumah.”
Nala akhirnya masuk ke dalam rumahnya, lalu melambaikan tangan saat mobil itu pergi
meninggalkan rumah Nala.


Di pagi hari tepat pada pukul 09.00 waktu Nala dan orang yang semalam ia temui
janjian untuk bertemu, namun saat Nala sudah siap untuk berangkat tapi orang tersebut belum
juga datang untuk menjemputnya bahkan untuk memberi kabar pada Nala. Selang beberapa
menit kemudian, terdengar bunyi mesin mobil dari halaman rumahnya. Ia pun lari menuju
sumber suara tersebut, ia mengira bahwa itu orang yang ditunggunya dari tadi telah datang.
Tapi, ketika Nala membuka pintu dan melihat mobil asing yang tidak pernah ia lihat
sebelumnya, seseorang yang dia kenal keluar dari mobil tersebut. Yaitu, Ares.
“NALA GAWAT! Keenan kondisinya drop lagi. Dia sampai masuk UGD karena
lukanya terbuka lagi sampai dia ngeluarin banyak darah kemudian pingsan. Gue ke
sini karena Chris minta tolong gue buat jemput lo ke rumah sakit.”
“HAH?! Kok bisa? Kemarin kan dia baik-baik aja.”
“Panjang kalau diceritain. Mending lo ikut gue ke rumah sakit sekarang juga.”
Dengan tergesa-gesa, Nala masuk ke dalam mobil Ares kemudian menuju rumah sakit
tempat Keenan dan yang lainnya dirawat. Ketika dalam perjalanan, Nala bertukar pesan
dengan Chris menanyakan kondisi Keenan di rumah sakit. Tapi, balasan yang Chris kirim
berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ares.
“Kak, ini kata Chris si Keenan baik-baik aja kok. Gak ada sampai masuk UGD.”
“Hah? Coba sini lihat ponsel kamu.”
Saat Nala memberikan ponselnya pada Ares, ia terkejut sebab sesaat kemudian ponsel
miliknya yang Ares pegang dilemparkan keluar melalui kaca mobil.
“Loh, Kakak ngapain sih? Itu ponsel aku kenapa Kakak buang?” tanya Nala dengan
wajah panik.
Tiba-tiba, sebuah sapu tangan menutup hidung dan mulutnya membuat ia kesusahan
bernapas. Nala memberontak melawan Ares tapi tentu saja tenaga Nala tak sebandingin
dengan tenaga Ares. Lalu, Nala jatuh pingsan dan Ares mengambil foto Nala yang tengah
pingsan kemudian mengirimkannya kepada seseorang.
“Kalau lo mau cewek lo selamat, datang ke alamat yang gue kirim barusan. Kalau lo
gak datang dalam waktu 15 menit, gue bakal ngelakuin apapun yang gue mau ke
Nala.” Tanpa menunggu balasan, dimatikannya panggilan itu. Kemudian mobilnya
melaju kencang menuju ke alamat yang baru saja ia kirim pada orang tersebut.
Saat sampai di sana, Ares keluar dari mobilnya lalu berjalan membuka pintu kursi
depan dan menggendong Nala keluar dari mobil lalu menutup pintunya. Dia menggendong
Nala masuk ke dalam sebuah rumah yang berada di tengah-tengah hutan, lalu membawa Nala
ke salah satu kamar yang berada di sana, kemudian membaringkan Nala di ranjang yang
berada di dalam kamar itu. Ares duduk di sebelah ranjang tempat Nala berbaring sambil
menatap Nala yang sedang pingsan. Ia mengambil salah satu tangan Nala untuk ia genggam.
“Walau udah 10 tahun berlalu, aku gak pernah lupain kamu bahkan ketika aku harus
ikut Ayah pindah ke luar kota karena Ibu selingkuh dan milih buat tinggal sama
selingkuhannya ninggalin aku sama Ayah berdua.”
-15 Januari 2012-
Hari ulang tahun Nala, seharusnya ia senang dan merayakannya bersama keluarga
dan teman-temannya. Namun, seseorang yang biasanya menjadi orang pertama yang
mengucapkan selamat ulang tahun untuknya tepat pada pukul 00.00 tepat pada waktu
pergantian hari, tak kunjung muncul bahkan sampai saat ini. Jam menunjukkan pukul 17.11
sampai akhirnya Nala memutuskan untuk pergi ke rumah Ares—teman masa kecil Nala yang
dulu dipanggil Esta—yang tepat berada di sebelah rumahnya dan akan memarahinya. Tapi,
saat Nala baru sampai di depan rumahnya, terlihat sebuah mobil besar yang Nala bingung
kenapa mobil itu terparkir di depan rumah Ares. Terlihat beberapa orang mengangkat
beberapa perabotan besar dan memasukannya ke dalam mobil itu. Nala kemudian melihat
Ayah Ares sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Nala berjalan
menghampiri Ayah Ares.
“Om, ini barang-barangnya kenapa pada dimasukin ke mobil besar itu? Oom mau
pergi jauh? Terus, Esta lagi di rumah gak?” tanya Nala pada Ayah Ares.
“Oom sama Esta mau pindah ke luar kota, Nak. Jauh sekali dari sini. Nala jaga
diri baik-baik ya selama Om pergi. Esta lagi di dalam kamarnya, ngambek karena
harus pergi dari sini.” Ayah Ares mengusap rambut Nala kemudian pergi untuk
memeriksa hal lain mengenai kepindahannya.
Nala kemudian pergi masuk ke dalam rumah Ares dan menuju ke lantai 2, lantai di
mana kamar Ares berada. Saat dia masuk, terdengar isakan pelan dari anak laki-laki
berusia 7 tahun yang duduk di atas ranjangnya dengan kepala yang tertunduk dan lutut yang
menutupi mukanya. Nala lalu duduk di sebelah Ares, menepuk bahunya untuk menenangkan
tangisannya. Memang kebiasaan Nala akan menepuk bahunya Ares setiap Ares menangis
seperti sekarang ini.
Merasakan tepukan di bahunya, Ares mengangkat kepalanya. Menatap Nala dengan wajah
sembab penuh air mata dan mata yang memerah akibat menangis terlalu lama.
“Esta, kenapa? Ibu mukulin Esta lagi? Di mana? Sini biar Nala obatin.” Nala
memeriksa tangan dan kaki Ares lalu menangkup wajahnya untuk memeriksa apakah
ada luka pada wajah Ares.
Ares menggelengkan kepalanya sambil menatap Nala.
“Nala, Esta bakal ikut Ayah pindah ke luar kota. Karena Ibu lebih milih laki-laki
itu dari pada Esta sama Ayah. Bisa aja kita gak bakal ketemu lagi, Esta sedih
harus ninggalin Nala.”
“Emang Esta mau pergi kemana? Kok gak ngajak Nala? Biasanya kan Nala ikut.”
“Esta juga gak tau, kata Ayah pokoknya bakal pergi jauhhh banget. Nala gak
boleh ikut, karena Ayah sama Esta aja kali ini yang bakal pergi. Oh, iya. Selamat
ulang tahun, Nala. Semoga semua keinginan Nala dikabulkan sama Tuhan. Maaf
ya, Nala. Baru ngucapin. Sama ini, aku punya kado buat kamu.”
Ares mengambil sebuah kotak kecil yang berada di atas meja belajarnya, lalu
memberikannya pada Nala. Nala mengambil kotak kecil itu dari tangan Ares dengan
gembira, lalu membuka kotak kecil itu. Terlihat benda mengkilap yang rupanya adalah
sebuah kalung dengan ukiran inisial nama mereka berdua dengan bandul yang berisikan
foto saat Nala menyuapi Ares potongan kue ulang tahunnya yang ke-5.
“Sini Esta pakein.”
Ares mengambil kalung tersebut kemudian memakaikannya pada Nala.
“Kalungnya jangan pernah dilepas, ya. Biar Nala gak lupa sama Esta. Janji?”
“Iya, Nala janjiii. Suatu hari nanti Esta harus nemuin Nala kalau Esta udah balik
ke sini lagi.”
Tiba-tiba terdengar suara Ayah Ares.
“Estaaa! Ayo, Nak! Barang-barangnya udah masuk semua. Sekarang kita harus
pergi ke bandara, takut ketinggalan pesawat.”
“Ayo, Nala! Ayah udah manggil.” Ares menarik tangan Nala turun menuju ke
halaman rumahnya.
Terlihat orangtua Nala dan Ayah Ares sedang menunggu kedatangan mereka berdua.
“Nala, aku pamit ya. Jangan pernah lupain aku sama pesan-pesanku tadi. Terus
jaga kesehatan, soalnya sekarang lagi musim hujan. Kamu kan alergi dingin.”
“Iya, iya. Udah sana. Ayah kamu nungguin tuh, takutnya kalian ketinggalan
pesawat.”
Ares bersama Ayahnya kemudian masuk ke dalam taksi yang Ayah Ares pesan untuk
berangkat ke bandara. Saat taksi mulai melaju, Ares membuka kaca mobilnya lalu
melambaikan tangan pada Nala. Nala membalas lambaian Ares dengan wajah yang sedih,
berharap mereka berdua akan bertemu lagi.
-Kilas balik selesai-
Ares tersadar dari lamunannya, kemudian kembali menatap Nala yang masih belum
sadarkan diri. Dia memutuskan untuk keluar kamar, sebelumnya dia sempat mengusap
rambut Nala pelan sambil bergumam, “Mimpi indah, Cantik.”
Saat keluar dari kamar, asistennya sudah berdiri di depan kamar ingin menyampaikan
sesuatu.
“Tuan, orang yang Anda tunggu sudah Saya bawa menuju basement dalam kondisi
tubuhnya sedang terikat. Dia pingsan setelah salah seorang penjaga memukul
kepalanya dengan balok kayu.” Asisten Ares kemudian membawa Ares menuju
basement yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu.
Sesampainya di bawah sana, terlihat seseorang yang duduk terikat di kursi dengan
kepala terkulai. Ares memerintahkan salah satu anak buahnya untuk menyiram orang tersebut
agar ia terbangun. Orang itu terbangun sambil terbatuk-batuk karena air masuk ke hidungnya.
Saat dia membuka mata, nampak seseorang yang familiar untuknya menatapnya dengan
tatapan bengis dan penuh kebencian.
“Markus Antonius, itu nama lo kan? Anak kelas 11 dari SMAN 1, anak pertama dari
2 bersaudara dan nama Adek lo Azzaira Tina Winata. Yang paling penting, lo diam-
diam pacaran sama Nala Raveena.”
Anton terkejut karena Ares mengetahui mengenai hubungan rahasianya dengan Nala.
“LO SIAPA?! Kenapa bisa tau informasi pribadi gue, bahkan hubungan gue sama
Nala? Lo kan yang nguntit gue sama Nala kemarin? Atau jangan-jangan semua hal
yang menimpa teman-teman Nala juga karena lo? NALA DIMANA?! LO APAIN
DIA, HA?! Kalau Nala sampai lecet sedikit pun, gue gak bakal segan buat habisin lo
di sini.”
Anton berusaha melepaskan dirinya dari tali yang mengikat tubuhnya, namun sia-sia
karena dirinya sudah kehabisan tenaga karena kehilangan banyak darah akibat pukulan salah
satu anak buah Ares yang memukuli kepalanya dengan balok kayu.
“Hmm? Gimana caranya gue tau? Karena gue temen kecil Nala, jadi wajar aja gue
pengen tau siapa cowok yang berani buat pacarin milik gue. Dan, iya emang gue
nguntit lo sama Nala kemarin. Terus, soal temen-temen Nala juga karena gue. Gak
ada yang boleh jadi temen bahkan pacar Nala selain gue. Tenang aja, Nala aman kok
sama gue. Gak akan ada yang bisa nyakitin dia selama gue masih hidup.” Ares
terkekeh pelan saat Anton menatapnya tajam.
“Jadi lo dalang dari semua hal mengerikan yang terjadi sama temen-temen gue, Kak?”
Ares dan Anton melihat ke arah sumber suara. Betapa terkejutnya mereka saat melihat Nala
berdiri tegak menatap mereka dari tangga menuju basement.
“BERHENTI! JANGAN MENDEKAT KALAU LO GAK MAU COWOK LO
KENAPA-NAPA!” Ares mengarahkan pistol tepat ke arah pelipis Anton.
Nala yang melihat itu langsung terdiam di tempatnya, takut Ares akan melepaskan pelatuk
dan menembak kepala Anton.
“Kenapa lo ngelakuin semua ini, Kak? Apa salah temen-temen gue sama lo?” tanya
Nala sambil berlinangan air mata.
“Karena mereka, lo lupain gue. Lo udah janji bakal selalu ingat sama gue, tapi
nyatanya? Lo bahkan ga pakai kalung yang gue kasih ke lo waktu ulang tahun lo yang
ke-6. Gue berusaha buat nyari lo kemana-mana, sampai rela pindah ke sekolah ini
buat ketemu sama lo doang. Tapi lo? Gue bahkan gak yakin lo ingat sama nama gue,”
terlihat urat-urat leher Ares mencuat dan wajahnya memerah karena amarah yang
begitu besar.
“Maksud lo apa, Kak? Kita kan baru pertama kali ketemu waktu gue mutusin buat
jadi anggota klub sastra.”
Ares semakin marah, karena Nala yang sepertinya benar-benar melupakan dirinya. Ia
lalu melempar Anton ke samping, sampai Anton terjatuh. Nala yang melihat hal itu, berteriak
histeris memanggil nama Anton berulang kali. Nala berusaha menghampiri Anton, namun
terhanti saat Ares mengarahkan pistolnya ke arah Anton.
“Lo diam di situ! Kalau lo sampai berani deketin dia, gue gak bakal segan buat
nembak cowok lo itu.”
Nala menghiraukan peringatan Anton dan tetap berlari menghampiri kekasihnya itu. Ares
yang melihat kenekatan Nala, kemudian mengarahkan pistolnya ke arah Nala sambil
berteriak,
“Kalau gue gak bisa milikin lo, orang lain juga gak bakal bisa!”
DOR
Terdengar suara tembakan memenuhi isi rumah, Nala terkejut dan seketika menutup
matanya. Namun, dia merasakan seseorang memeluknya erat. Saat dia membuka mata,
nampak Anton memeluknya erat, merelakan tubuhnya untuk melindungi Nala. Nala panik,
saat melihat tangannya yang berlumurah darah milik Anton. Dia merebahkan tubuh Anton
dan menaruh kepala Anton di pahanya. Nala berusaha menahan darah yang keluar dari luka
tembak yang Anton dapatkan dengan tangannya. Tembakan Ares tepat mengenai ulu hati
Anton. Nala menangis kencang memanggil-manggil nama Anton.
“ANTON! ANTON?! Kamu gapapa?! Anton… jangan diam aja, jawab pertanyaan
aku!” Nala melihat luka Anton dengan wajah yang panik.
Anton terbatuk-batuk, darah keluar dari mulutnya. Dia berusaha menahan rasa sakit sambil
tersenyum kepada Nala.
‘A-Aku gapapa k-kok, Nala. Uhuk! Ini cuma luka kecil buat aku… K-kamu Uhuk!
Gapapa kan?” dengan terbata-bata Ares bertanya mengenai keadaan Nala.
Nala yang mendengar itu menangis semakin kencang dan memeluk Anton erat sambil
bergumam,
”Maafin aku belum bisa jadi pacar yang baik buat kamu, selalu nyusahin kamu dan
bahkan bikin kamu jadi kayak gini. Kamu harusnya milih cewek lain yang lebih baik
dari aku.”
“E-enggak, Nal… Kamu c-cewek Uhuk! Paling sempurna yang p-pernah… aku
Uhuk! temui, nomor 2 t-tercantik… setelah Mama. Makasih… u-udah Uhuk! jadi
bagian penting dalam hidup aku. Jaga diri baik-baik, ya. J-jangan… pernah ngerasa
Uhuk! bersalah sama k-kejadian ini. Jalani hidup kamu… dengan baik, walau aku gak
di s-samping kamu… ya, Nal.” Ares tersenyum saat menatap wajah cantik
kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Sebelum dia akhirnya menutup mata,
untuk selamanya.
Nala yang tidak terima dengan semua ini, berteriak histeris. Berharap semua ini tidak
nyata dan bisa mendengar Anton memanggil namanya lagi. Nala melihat Ares yang terdiam
dengan tampang yang tak bersalah.
“LO… KALAU BUKAN KARENA LO, SEMUA INI GAK BAKAL TERJADI.
ANTON GAK BAKAL PERGI NINGGALIN GUE, TEMEN-TEMEN GUE GA
BAKAL ADA DI RUMAH SAKIT. CUMA KARENA OBSESI GAK JELAS LO
ITU… lo tega bikin orang terpenting dalam hidup gue, pergi ninggalin gue.”
Ia hanya diam mematung. Hatinya sakit saat melihat orang yang paling ia sayangi,
menangis seperti itu. Dan itu karena dirinya, karena kegilaan dan obsesinya terhadap Nala.
Dia kemudian pergi meninggalkan Nala yang masih memeluk jasad Anton yang terasa dingin
sambil menatap ke arahnya dengan mata yang memerah dan bengkak dengan tatapan tajam.


-Flashback Awal Nala dan Anton Pertama Kali Bertemu-
Nala sedang duduk di bangku taman kota, hari ini hari penyerahan rapot semester
genap di sekolahnya. Nala takut untuk kembali ke rumah, karena rankingnya turun dari
ranking 1 ke ranking 2. Orangtua Nala amat sangat menginginkan Nala menjadi dokter
suatu saat nanti. Jadi, mereka memberikan Nala banyak kelas tambahan agar nilainya selalu
bagus tanpa memikirkan perasaan dan pendapat Nala. Nala anak yang patuh. Walau harus
pulang hingga larut malam, dia tetap menjalani semuanya dengan lapang dada. Orangtuaku
hanya ingin yang terbaik untukku, pikirnya.
Maka, di sinilah Nala sekarang. Nala hanya duduk termenung menatap orang-orang
yang berlalu-lalang. Hari sudah semakin gelap, tak mungkin dia tidur semalaman di bangku
taman kota. Selain karena satpam yang sudah pasti akan mengusirnya dari sana, Nala
memiliki alergi terhadap dingin sedari kecil. Sekarang saja, Nala sedang memakai sweater
abu-abu bergaris putih dan mengeratkannya ke tubuhnya yang mulai terasa kedinginan.
Tiba-tiba, ada seorang cowok yang duduk di sampingnya sambil meminum minuman
bersoda. Nala hanya meliriknya sekilas, kemudian menatap ke arah depan lagi. Cowok itu
menjulurkan minuman cokelat panas yang ada di tangannya tanpa menatap ke arah Nala.
Nala yang awalnya bingung, mengambil cokelat hangat itu dari tangan cowok yang duduk di
sebelahnya.
“Terima kasih,” ucap Nala pada laki-laki di sebelahnya.
Laki-laki itu hanya berdehem pelan. Nala kemudian meminumnya sedikit karena minuman
itu masih panas, untuk menghangatkan tubuhnya.
“Lo gak pulang?” tanya cowok itu tiba-tiba.
Nala melihat ke arah sekelilingnya, mencari siapa yang ditanyai laki-laki di sebelahnya itu.
“Lo nanya sama gue?” tunjuk Nala pada dirinya sendiri.
“Menurut lo ada orang lain selain kita berdua di sini sekarang?” tanya laki-laki itu
balik pada Nala.
Nala menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tersenyum malu.
“Hmm, gue gak berani pulang ke rumah.”
“Kenapa?”
“Orangtua gue pasti bakal marah besar kalau tau nilainya gue turun.”
“Emangnya lo ranking berapa di sekolah?”
“2.”
“Lah, itu mah masih bagus. Gue aja syukur-syukur bisa naik kelas, apalagi dapat
ranking 2.”
“Yeuu, itu kan lo. Orangtua gue pengen gue jadi dokter, jadi nilai gue gak boleh
turun kalau mau masuk ke kampus yang bagus.” Nala tertawa dengan candaan
laki-laki itu.
“Yaelah, kita lulus SMP aja belum. Lo udah mikir mau masuk kuliah di mana
aja.” Laki-laki itu membuang stik Ice Creamnya ke tong sampah di sebelahnya.
“Kita udah harus tau tujuan hidup kita ke mana, mau jadi apa. Kalau gak nyicil
dari sekarang, nanti di masa depan bakal jadi lebih berat.”
Nala menghela napas, menerawang bagaimana masa depannya nanti.
“Hei, hidup itu harus dinikmati. Punya tujuan boleh, bagus banget malahan.
Cuma, kalau gak dinikmati tiap prosesnya, semua kegagalannya, gimana cara lo
bisa jadi lebih baik? Manusia itu wajar melakukan kesalahan, karena
kesempurnaan hanya milik Tuhan. Gak usah terlalu dipikirin, emang orangtua lo
ngehukum lo kalau nilai lo jelek?”
“Ya, enggak sih. Cuma tetap aja gue takut kecewain mereka yang udah berharap
banyak sama gue.”
“Terus? Bukan kewajiban kamu memenuhi ekspektasi orang lain, walaupun itu
orangtua kamu. Live your life. Jangan pikirin kebahagiaan orang lain kalau lo
sendiri belum bahagia.” Laki-laki itu kemudian menjulurkan tangannya mengajak
berkenalan.
“Kita belum kenalan tadi. Kenalin, nama gue Markus Antonius. Orang-orangnya
biasanya manggil gue Anton. Nama lo siapa?”
Nala menatap juluran tangan itu dengan ragu-ragu, sebelum akhirnya dia menjabat tangan
laki-laki yang diketahui namanya Anton itu.
“Nala. Nala Raveena.”
“Cantik, seperti orangnya.”
Mereka kedua saling bertatapan, kemudian tertawa mendengar gombalan Anton yang tidak
diduga itu.
Selesai.

Anda mungkin juga menyukai