Anda di halaman 1dari 7

Eulogi Untuk Seorang Pembangkang

indoprogress.com/2014/06/eulogi-untuk-seorang-pembangkang/

6 Juni 2014

Ketika Jeffrey Franks—kolumnis majalah New


Yorker—berkunjung selama beberapa waktu
ke Norwegia, ia mendapati pengalaman
istimewa tentang Knut Hamsun. Waktu itu
Franks berburu karya Hamsun di toko-toko
buku loak kota Oslo (dulu bernama Kristiania).
Seringkali, ketika bertanya pada penjaga toko
tentang karya sastrawan tersohor itu, ia
mendapatkan jawaban yang hampir serupa.

“Knut Hamsun? Dia adalah seorang


Pengkhianat negeri ini.”

Jawaban ini tentu amat mengejutkan Franks


mengingat besarnya penghargaan para
penulis di berbagai belahan dunia pada sosok
Hamsun. Lewat karya-karyanya, tanpa bisa dibantah lagi, ia tampil sebagai pelopor sastra
modern dunia. Bentuk novel yang ada sekarang ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
karya-karya Hamsun. Bahkan Isaac Bashevis Singer, sastrawan Amerika berdarah Yahudi
dan peraih hadiah Nobel tahun 1991 mengakui peran besar Hamsun dalam menentukan
perkembangan sastra modern dunia, paling tidak di kawasan Eropa dan Amerika. Posisinya
dalam sastra modern seringkali disejajarkan dengan posisi Nikolai van Gogol dalam sastra
Rusia yang mencapai bentuk puncaknya pada karya-karya Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy
dan sesudahnya. Penulis seperti Ernest Hemingway dan William Faulkner jelas-jelas
terpengaruh olehnya. Herman Hesse, sastrawan Jerman yang juga peraih penghargaan
Nobel, mengakui Knut Hamsun sebagai penulis favoritnya.

Namun kenapa sastrawan dengan jejak amat membekas dalam peta sastra dunia ini justru
begitu mendapatkan kesan buruk di dalam negerinya sendiri?

Pertanyaan semacam ini tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik Eropa dan Norwegia
selama berlangsungnya Perang Dunia II. Ketika negara-negara Skandinavia membentuk
front bersama untuk netral dalam pertikaian global antara kelompok AS dan Sekutu, lalu
dilanjutkan dengan invasi Hitler ke negeri di bagian utara semenanjung itu, Knut Hamsun
menunjukkan simpatinya kepada Jerman. Ia bahkan memberikan medali Nobel kepada

1/7
Goebbels, menteri kebudayaan Jerman di era Hitler, sementara Sigried Undsett dan Henrik
Ibsen, sesama sastrawan Norwegia dan sama-sama pula peraih hadiah Nobel, lebih
condong pada sekutu.

Hamsun secara nyata mendukung partai Quisling yang pro Nazi walaupun ia bukan anggota
partai itu. Bahkan pada suatu kesempatan, ia pernah bertemu dengan Hitler dan berdialog
dengannya, meskipun, menurut keterangan yang beredar sesudahnya, mengalami
miskomunikasi yang akut. Itu sebabnya ketika Sekutu memenangkan perang dunia, Hamsun
ditangkap dan ditahan. Oleh pengadilan, ia diputuskan mendapatkan tahanan rumah dan
didenda sebesar 500.000 kroner. Yang makin kontroversial, ketika Hitler diberitakan
meninggal dunia, ia menulis suatu artikel yang isinya memuji prestasi-prestasi Hitler dan
menyatakan bahwa dunia telah kehilangan salah satu orang terbaiknya.

Masa-masa sesudah Perang Dunia II menjadi bagian paling kelam dari sejarah hidup
Hamsun. Sebagian besar orang Norwegia menganggapnya sebagai kolaborator Nazi, dan
dengan begitu ia dicap sebagai pengkhianat negerinya. Yang makin problematis, meski
dihimbau meminta maaf atas kekeliruan-kekeliruan dalam pandangan politiknya, sampai
akhir hayatnya ia tetap tak mau menjilat ludahnya sendiri dan menerima dengan tegar cap
pengkhianat. Barangkali kisah getir Knut Hamsun tersebut untuk kasus Indonesia akan
memiliki kemiripan dengan kisah hidup salah satu pengarang terbaik—kalau tidak dikatakan
yang terbaik—kita, Pramoedya Ananta Toer. Berbeda dengan Hamsun, Pram terperangkap
dalam perang ideologi yang getir antara kelompok komunis dan penganut ideologi liberal
yang didukung habis-habisan oleh rezim Orde Baru. Dan meskipun tindakan masif rezim
Orde Baru-lah yang menyebabkan cap buruk pada diri Pram begitu kuat, setelah rezim ini
tumbang, namanya justru makin harum di antara generasi muda yang tak lagi tertipu agitasi
dan propaganda politik rezim otoritarian tersebut. Hamsun tidak, jauh setelah ia meninggal,
di Norwegia namanya masih sering diidentikkan dengan sebutan pengkhianat!

Tak ada satupun jalan-jalan di Norwegia yang menggunakan namanya. Hanya ada patung
dada Hamsun di depan penerbit buku-bukunya. Ia seperti sebuah teks yang ingin
dihapuskan dari memori Norwegia. Padahal, bila membaca novelnya yang berjudul Lapar
(Hunger atau Sult), kita akan mendapati banyak nama-nama jalan di kota Kristiania
(sekarang orang menyebutnya Oslo), di mana nama jalan itu tidak berubah sampai
sekarang. Bagi pembaca karya-karya Hamsun yang tak berasal dari Norwegia dan
mengunjungi Oslo, ingatannya mau tak mau akan terbawa pada sosok Hamsun saat mereka
menjelajahi berbagai jalanan yang telah dimasukkan Hamsun dalam novel yang legendaris
tersebut.

***

Knut Hamsun dilahirkan dengan nama asli Knud Pedersen. Ayah dan ibunya hidup miskin
sebagai seorang petani merangkap penjahit dengan berbekal sebuah mesin jahit Singer.
Pada usia lima tahun, ia dan keluarganya pindah ke Hamaroy, kota kecil yang berada di

2/7
lingkar kutub Utara. Di situ ia bersama adiknya menjalani masa bahagia yang pendek. Pada
usia delapan tahun, seorang pamannya datang dan menagih hutang pada ayahnya. Karena
tak bisa memenuhi janji membayar hutang, ia dibawa sebagai sandera.

“Anak ini bertulang besar dan bertenaga kuat, dan tulisannya juga rapi. Ia bisa membantuku
di kantor pos,” katanya.

Meninggalkan Hamaroy, ia menjalani pengalaman hidup paling menyiksa di mana hari-


harinya dihabiskan untuk bekerja di kantor pos milik pamannya dari pagi sampai sore, lalu
dilanjutkan dengan pekerjaan membelah kayu. Beruntung ia bisa menyelesaikan sekolah
dasar pada usia 14 tahun. Di kantor pos inilah ia banyak menyalin surat atau dokumen-
dokumen penting, sesuatu yang kelak sangat berguna dalam proses kreatifnya. Tapi
kehidupan menyiksa di bawah kekuasaan pamannya membuat ia berusaha melarikan diri.
Pernah pada suatu ketika ia sengaja mengarahkan kapak ke kakinya supaya sang paman
jatuh kasihan dan mengijinkannya pulang. Pengalaman tersebut kelak di kemudian hari
muncul dalam salah satu novelnya, Pan, ketika tokoh novel tersebut—Thomas Glahn—
dengan sengaja menembakkan peluru senapannya sendiri hingga menembus telapak kaki.
Percobaan melarikan diri yang kedua ia lakukan dengan kabur dari rumah pamannya.
Namun usaha ini pun gagal, dan ia tetap kembali pada pamannya.

Seiring dengan makin bertambahnya usia, tubuhnya tumbuh besar dan kekar sehingga
pamannya tidak berani memarahi atau memukul lagi. Pada usia tujuh belas tahun ia
memutuskan meninggalkan sang paman dan kembali ke rumah orangtuanya sebelum
memulai petualangan hidup yang akan mengantarnya pada kemasyhuran. Orangtuanya
ingin ia bekerja sebagai klerek, namun hasrat menulis telah membuat ia mengabaikan
harapan kedua orang tersebut. Hal ini terjadi ketika ia berkenalan dengan seorang kaya dan
bupati di kota Kristiania, di mana di dalam perpustakaannya, ia menemukan buku-buku
penulis Norwegia seperti Bjornstjerne Bjornson, serta karya-karya para penulis Denmark dan
negara-negara Skandinavia lainnya. Namun, karena kecilnya harapan makmur dari menulis,
ia tergoda untuk menerima tawaran sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah dasar dimana
murid-muridnya tak memiliki beda usia yang jauh dengan dirinya.

Ia pernah pula mengadu nasib ke Amerika sampai dua kali. Pertama ia datang ke kota
California, di mana ia menyaksikan sendiri Mark Twain sedang memberikan ceramah di
sebuah universitas, suatu pengalaman yang tak akan pernah dilupakannya hingga akhir
hayat. Di California inilah ia terserang penyakit hepatitis dan oleh dokter divonis tak akan
memiliki usia panjang. Oleh teman-temannya ia dinasihati untuk pulang ke Norwegia.
Akhirnya, setelah menimbang penyakit dan ucapan teman-temannya ia pulang.
Sesampainya di Norwegia penyakitnya itu memang sembuh, namun itu bukan petualangan
pertama dan terakhir, karena di kemudian hari ia memutuskan kembali lagi ke Amerika.

3/7
Sayangnya ia tak cukup beruntung bisa mengais rejeki di negeri itu. Meski banyak orang
menghormatinya karena tulisan-tulisan dan ceramahnya cukup mengesankan, ia menyerah.
Atas bantuan keuangan teman-temannya, ia meninggalkan Amerika untuk kedua kali,
sebuah kepergian yang tak akan lagi membuatnya penasaran untuk kembali.

***

Novelnya yang menggegerkan kalangan sastra Norwegia berkisah tentang seorang yang
mempunyai cita-cita tinggi sebagai seorang penulis dengan duka lara tak terperikan. “Aku
seorang sastrawan. Suatu kali seluruh Norwegia akan mengenangku,” ucap sang tokoh
dengan kepercayaan tinggi di tengah-tengah bahaya kelaparan yang membuatnya hanya
berjalan-jalan mengelilingi kota Kristiania yang aneh dan selalu meninggalkan bekas bagi
orang yang pernah tinggal di sana. Dalam kelaparan teramat sangat ia sampai memamah
serpihan-serpihan kayu, atau menggadaikan selimut pinjaman seorang mahasiswa filsafat,
bahkan meminta tulang pada penjual daging dengan alasan akan diberikan pada anjingnya.
Ketika melihat kue-kue nikmat yang dijual seorang nenek yang pernah diberinya uang,
dalam terkaman kelaparan yang menyiksa tubuh dan pikiran, sang penulis muda ini
merampas kue dan melahapnya dengan rakus, tanpa membayar satu sen pun. Ia berlalu
saja dari tempat nenek tua itu dengan mulut penuh kue hingga bertemu seorang gadis kecil
yang dalam pandangan ganjilnya patut dikasihani. Sisa satu buah kue di tangannya itu
kemudian diberikan pada gadis kecil tersebut.

Orang pertama yang menerima naskahnya menganggap penulis muda ini sebanding dengan
Dostoyevski. Dan memang, begitu naskah novel itu diterbitkan dalam bentuk buku, ia
banyak dibandingkan dengan Dostoytevsky, terutama dengan imaji-imaji gila dan tindakan
tokohnya yang tidak rasional. Kecenderungan sang tokoh yang berpikir di luar
kecenderungan umum bahkan oleh sebagian pengamat dianggap lebih halus dari
Dostoyevsky. Kalangan sastra Norwegia geger oleh terbitnya novel tersebut. Setelah Lapar,
berturut-turut lahirlah karyanya seperti Pan, Victoria, dan Growth of Soil yang oleh sebagian
besar pengamat sastra merupakan masterpiece-nya selain Lapar. Hamsun segera
mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan besar setelah keberhasilan-keberhasilan kecil
menerbitkan beberapa cerita pendeknya. Yang membuat kagum pengamat sastra adalah
karena ia menulis dalam bahasa Norwegia, mengingat pada saat itu Norwegia berada di
bawah kekuasaan Denmark dan bahasa Denmark dianggap berada pada posisi yang lebih
tinggi dibandingkan bahasa Norwegia. Nama kota Kristiania dalam Lapar sendiri berasal dari
nama Raja Denmark Christian IV.

Barangkali kecenderungan nasionalisnya yang kuat itulah yang membuat ia banyak


menyerang penulis-penulis senegerinya yang tidak berhaluan nasionalis. Dalam suatu
ceramahnya, ia menyerang Henrik Ibsen secara habis-habisan sementara Ibsen sendiri
menghadiri ceramah itu. Peristiwa itulah yang membuat Ibsen menulis drama berisi
ketakutan terhadap orang-orang muda seperti Hamsun yang menyerangnya. Dalam suatu
kasus tentang seorang ibu yang membunuh anaknya karena ketakutan menghadapi

4/7
penderitaan, Hamsun bersilang pendapat dengan Sigried Undset. Ia tak menyetujui
pendapat Undset yang menyetujui tindakan ibu itu untuk membunuh anaknya. Ia juga
menyerang para penulis Norwegia yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar negeri
seperti Ibsen sebelum pulang ke negerinya sendiri dan dielu-elukan sebagai pahlawan.

Kontribusi sastranya yang juga diingat kalangan sastra dunia adalah sebuah novel romantik
berjudul Victoria. Karya Hamsun ini berkisah tentang seorang lelaki dari keluarga miskin
bernama Johannes yang jatuh cinta dengan anak sang pemilik kastil, Victoria. Ditulis dengan
sangat puitis, novel ini menggambarkan perasaan cinta sepasang manusia yang berasal dari
dua latar kelas sosial berbeda, kesulitan-kesulitan yang harus mereka hadapi agar cinta-
kasih mereka bisa bersatu, dan pahit-getir perjuangan Johannes dalam usahanya untuk
mengubah status sosialnya demi memperoleh posisi yang setara dengan Victoria dan
keluarganya. Secara tersirat Hamsun menggambarkan senjakala kaum feodal dan
aristokrasi akibat perubahan struktural besar di Eropa yang menyentuh berbagai bidang
kehidupan. Di akhir cerita, Johannes bisa mencapai impiannya menjadi penyair dan
pengarang besar, sementara kekasih pujaannya mengalami nasib mengenaskan oleh derita
cinta dan beban penyakitnya: meninggal!

Mau tidak mau, siapapun yang membaca Victoria akan tergoda untuk menafsirkannya
sebagai paparan metaforis dari Hamsun tentang berakhirnya era romantik atau Victorian
dalam sastra Eropa masa itu dan lahirnya genre sastra realis. Victoria, yang menjadi
inspirasi terbesar atau sumber mata air imajinasi bagi Johannes adalah simbol dari
penyerahan diri para penulis yang besar di jaman Ratu Victoria di Inggris, sekumpulan
penulis yang meyakini kuasa gairah dan inspirasi dalam penciptaan karya-karya mereka. Era
yang dihidupi oleh filsafat idealisme Hegel ini menganggap imajinasi adalah segalanya dan
memiliki kekuatan hampir adidaya untuk menentukan keberlangsungan kerja-kerja
kepenyairan atau penulisan prosa. Kematian sumber inspirasi—yang terwujud dalam novel
Hamsun berupa kematian Victoria—membuat sang penulis tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Pelengkap dari simbolisasi berakhirnya era Victorian ini adalah terbakarnya kastil ayah
Victoria dan bunuh dirinya tunangan Victoria mengetahui calon istrinya itu lebih mencintai
Johannes yang berasal dari kelas sosial berbeda. Mengabunya kastil ayah Victoria itu
disaksikan oleh ayah Johannes, pembantu yang telah mengabdi pada sang pemilik kastil
selama puluhan tahun.

Selesai sudah sebuah era kebangsawanan dan feodalisme yang pernah berjaya selama
ratusan tahun. Di belahan Barat Eropa, seorang pemikir ekonomi-politik berhasil membabar
kritik terhadap teori idealisme Hegel dengan pisau analitik dialektika materialisme-nya yang
terkenal. Puluhan tahun kemudian, pandangan-pandangan Marx ini mempengaruhi dunia
sastra dan membuka tabir fajar realisme di belahan Eropa dan Amerika. Dalam novel ini,
kematian Victoria diterima Johannes sebagai terbukanya cahaya terang yang dilematis
dalam hidupnya yang baru: “Aku telah larut dalam suatu kemabukan dan kembali berada
jauh dari bumi tempatku berpijak. Terima kasih Tuhan, aku tidak mendapati semua ini tak

5/7
begitu menyenangkan sekarang, bahkan aku bisa mendengarkan beberapa musik, dan di
atas segalanya, semua ini sesungguhnya tidaklah gelap. Dengan penuh kesungguhan aku
mensyukurinya. Namun kini tak ada lagi kekuatan yang tersisa dalam diriku untuk menulis…”

Era kemabukan pada inspirasi telah berakhir dalam diri Johannes. Ia bersiap menyongsong
fajar baru kehidupannya sebagai seorang penulis tanpa inspirasi utama yang lekat pada diri
Victoria. Ia merasa tak tahu bagaimana lagi menggerakkan jemarinya untuk menulis tanpa
inspirasi. Secara metaforis Hamsun menengarai—ataukah meramalkan—arah sastra dunia
setelah berakhirnya era Victorian, sebuah era otopoesis yang telah melahirkan penulis-
penulis besar semacam Dostoyevski, Dickens, dan Goethe. Masa-masa Knut Hamsun
sendiri menjadi titik batas peralihan antara karya-karya romantik menuju karya-karya yang
lebih bercorak realis seperti yang ditulis oleh Maxim Gorky, Joseph Conrad, Ilya Ehrenberg,
Steinbeck, dan para penulis realis lainnya. Kita bisa berandai-andai, kemampuan Johannes
dalam menulis akan kembali ketika ia melakukan analisis yang tajam atas kondisi ekonomi,
sosia, dan politik masyarakatnya; memandang ide atau gagasan menulis sebagai sebuah
kesatuan organik dengan masyarakat di mana ia hidup.

***

Pada tahun 1920, atas kerja kerasnya yang tak kenal lelah dalam melahirkan karya-karya
legendaris, akhirnya Hamsun mendapatkan penghargaan paling prestisius dalam dunia
sastra, Penghargaan Nobel. Oleh para Juri Nobel, ia dianggap membawa nafas baru dalam
sastra modern, dengan pandangan naturalismenya yang kuat dan gejolak bawah sadar serta
pribadi kuat tokoh-tokohnya. Sayang, aktivitasnya dalam masa-masa Perang Dunia II telah
menjungkirbalikkan segala kemasyhuran yang pernah didapatkannya. Akhir hidupnya
dihabiskan dalam tahanan rumah, di bawah bayang-bayang kehampaan.

Menurut salah satu biografnya, ia sebenarnya tak begitu tertarik dengan ide-ide Nazi. Salah
satu alasan ia berpihak pada Nazi adalah karena pertentangannya dengan Ibsen dan
Undset. Kedua nobelis itu menyerahkan medalinya pada Swedia (atau Inggris?). Ia telah
bertikai panjang dengan kedua penulis itu sehingga tak mau mengikuti langkah mereka.
Sementara di sisi lain, Goebbels adalah pengagum berat karya-karya Hamsun dan rela
menemuinya hanya untuk menghaturkan puja-puji. Dari Tore Hamsun—anaknya—dan
dokumen-dokumen yang diungkap sesudahnya kematiannya, ia terbukti banyak membela
orang-orang Norwegia dari kekejaman Nazi. Ia juga banyak menyelamatkan Yahudi
Norwegia dari cengkeraman Nazi. Dalam suatu pertemuan dengan Hitler, ia bahkan
meminta padanya untuk memecat penguasa perang Nazi yang ada di Norwegia karena
perilakunya yang kejam.

Dalam dialog yang berjalan kaku dan dingin itu, ia sampai menitikkan air mata, memohon
kemurahan Hitler. Tapi predikat pengkhianat itu masih melekat pada diri Knut Hamsun,
bahkan sampai sekarang. Jeffrey Franks, kritikus sastra Amerika yang disebut pada awal

6/7
tulisan ini, sampai-sampai harus mengenali dan berusaha menghindari toko-toko buku loak
di kota Oslo yang mempunyai pandangan negatif tentang Hamsun agar ia tak mendapatkan
malu.

Knut Hamsun meninggal pada tanggal 19 Februari 1952, kurang-lebih 54 tahun yang lalu.
Sekarang namanya secara bertahap mulai direhabilitasi sesuai dengan jasa-jasanya.
Penerbit Penguin dalam waktu dekat akan memperkenalkan edisi lengkap Hamsun untuk
memuaskan publik berbahasa Inggris. Dan kita, telah ikut menikmatinya, terutama lewat jasa
Marianne Kattopo yang menerjemahkan novel-novel Hamsun ke dalam bahasa Indonesia
sebagai usaha penghormatan atas jasa-jasanya pada kita; sebagai warisan dunia.

______________

Dwicipta
Penerjemah novel Victoria.
*Tulisan ini merupakan pengantar Novel Victoria karya Knut Hamsun yang diterbitkan dalam
Bahasa Indonesia oleh penerbit Indie Book Corner.

7/7

Anda mungkin juga menyukai