Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KONSEP DAN PRAKTIK GOOD CORPORATE GOVERNANCE SYARIAH

MATA KULIAH
AKUNTANSI DAN MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH

Dosen Pengampu:
Veni Soraya Dewi, S.E., M.Si

Disusun Oleh:
Annisa Indah Suryaningrum 15.0102.0145
Anisa Pramudia Wardani 15.0102.0166
Ferdan Rizki Dwi Jatmiko 15.0102.0189

Akuntansi 15C

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
2018
A. Pengertian Good Corporate Governance (GCG)
Definisi Corporate Governance sesuai dengan Surat Keputusan Menteri BUMN
No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada
BUMN adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan
stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika”.
Cadbury Comitte mendefinisikan corporate governance sebagai sistem yang
mengarahkan dan mengontrol perusahaan. Secara formal corporate governance juga
didefinisiskan sebagai sistim hak, proses, kontrol secara keseluruhan yang ditetapkan
secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas bisnis dengan tujuan
melindungi kepentingan semua stakholders.
Sedangkan IICG (Indonesian Institute for corporate Governace) mendefisinisikan
corporate governance merupakan proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan memperhatikan kepentingan stakholders lainnya. Stakeholders lainnya
adalah pihakpihak yang berkepentingan dengan perusahaan yaitu kreditor, pemasok,
pelanggan pegawai, pemerintah dan masyarakat.
Blair (1995) dan Gelauff (1997) menyimpulkan bahwa stakeholders dalam
korporasi adalah pemegang saham, dewan direksi, menajerm karyaan, konsumen,
pemasok, dan pesaing. Untuk itu Corporate Governance menjelaskan hubungan antara
pemasok modal dan peminjam dana kepada perusahaan beserta manajemennya.
Adapun pengertian GCG menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank
Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank
Umum, GCG adalah tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility),
independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Pada bagian penjelasan umum
peraturan ini dikemukakan sebagai berikut:
1. Transparansi (transparency) adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang
material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan
keputusan.
2. Akuntabilitas (accountability) adalah kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank
sehingga pengelolaannya berjalan efektif.
3. Pertanggungjawaban (responsibility) adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang
sehat.
4. Independensi (independency) yaitu pengelolaan secara profesional tanpa pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun.
5. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perusahaan yang memiliki banyak pemilik dan terdapat pemisahan antara
kepemilikan dan kontrol manajemen atas asset perusahaan dapat dipastikan memiliki
risiko yang diakibatkan karena prinsip keagenan ini. Untuk itu corporate governance
dalam tata kelola perusahaan ditujukan tidak saja mengurusi mekanisme kontrol,
pemeriksaan dan pencegahan konflik antara pemodal dan pengawasan, akan tetapi lebih
dari itu bertujuan untuk membangun kepercayaan, kerjasama yang baik dan menciptakan
visi dan misi bersama dari pihak-pihak yang terlibat.
B. GCG dalam Pandangan Islam
Melihat sudut pandang syariah, terdapat beberapa prinsip syariah yang mendukung
terlaksananya good corporate governance atau tata kelola di dunia perbankan. Prinsip
syariah ini merupakan bagian dari sistem syariah. Pelaksanaan sistem syariah ini dapat
dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam
perspektif mikro menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan
syariah dikelola dengan hati-hati. Nilai-nilai syariah ini meliputi sebagai berikut:
1. Shiddiq. Nilai ini memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan
moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. Nilai ini mencerminkan bahwa
pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan cara-cara yang
meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).
2. Tabligh. Secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat
mengenai prinsip-prinsip, produk, jasa perbankan syariah, dan manfaat bagi pengguna
jasa perbankan syariah.
3. Amanah. Nilai ini menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam
mengelola dana yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa
saling percaya antara pihak pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi
(mundharib).
4. Fathanah. Nilai ini memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara professional
dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko
yang ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh
dengan kecermatan dan kesantunan (ri’ayah) serta penuh rasa tanggung jawab
(mas’uliyah).
Sementara itu dalam perspektif makro, nilai-nilai syariah menghendaki perbankan syariah
berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1. Kaidah zakat, yaitu mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai
berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan hartanya. Hai ini dimungkinkan karna
zakat untuk investasi dikenakan hanya pada hasil investasi, sedangkan zakat bagi harta
simpanan dikenakan atas pokoknya.
2. Kaidah pelarangan riba, yaitu menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity
based financing) dan melarang riba.
3. Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang
investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini akan membentuk
kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi dalam aktivitas investasinya.
4. Kaidah pelarangan gharar (uncertainty), yaitu mengutamakan transparansi dalam
bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelaskan.
C. Prinsip-Prinsip GCG
Penerapan prinsip-prinsip GCG menjadi suatu keharusan bagi sebuah institusi,
termasuk di dalamnya institusi bank syariah. Hal ini lebih ditujukan kepada adanya
tanggung jawab public (public accountability) berkaitan dengan kegiatan operasional bank
yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam
hukum positif. Di samping itu juga berkaitan dengan kepatuhan bank syariah terhadap
prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah digariskan dalam al-Quran, Hadis, dan
Ijmak para ulama. Secara umum, fungsi bank syariah sama dengan perbankan
konvensional yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang
mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Karena itu,
prinsip-prinsip pokok GCG yang dikembangkan secara umum untuk sistem perbankan
berlaku pula pada bank syariah. Kelima prinsip pokok GCG diatas dapat dijabarkan
sebagai berikut:
1. Prinsip Keterbukaan (Transparency)
Artinya, bank syariah berkewajiban memberi informasi tentang kondisi dan prospek
perbankannya secara tepat waktu, memadai, jelas, dan akurat. Informasi itu juga harus
mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya. Hal ini dapat digunakan
sebagai dasar bagi mereka untuk menilai reputasi dan tanggung jawab bank syariah;
2. Prinsip Akuntabilitas
Di mana bank syariah harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap
komponen organisasi, selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi perusahaan.
Setiap komponen organisasi mempunyai kompetensi sesuai dengan tanggung
jawabmasing-masing.
3. Prinsip Independensi
Selain itu, bank harus memastikan ada dan tidaknya check and balance dalam
pengelolaan bank. Bank harus memiliki ukuran kinerja dari semua jajarannya
berdasarkan ukuran yang disepakati secara konsisten, sesuai dengan nilai perusahaaan
(corporate values), sasaran usaha, strategi bank, serta memiliki reward and punishment
system.
4. Prinsip Tanggung Jawab (Responsibility)
Artinya, bank syariah harus memegang prinsip prudential banking practices. Prinsip ini
harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, agar operasional perbankan
syariah tetap berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bank pun harus mampu
bertindak sebagai good corporate citizen (perusahaan yang baik) Bank syariah harus
mampu menghindari dominasi yang tidak wajar oleh stakeholders. Pengelola bank tidak
boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Bank syariah harus menghindari segala
bentuk benturan kepentingan (conflict of interest)
5. Prinsip Keadilan (Fairness)
Artinya bank syariah harusmemperhatikan kepentingan seluruh stakeholders
berdasarkan azas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Namun, bank juga perlu
memberi kesempatan kepadastakeholders untuk memberi masukan dan saran demi
kemajuan bank syariah.
D. Interelasi antara GCG dengan BUS-UUS
Bank syariah wajib melaksakan GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi. Pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha ini
termasuk dalam proses penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan
dan langkah-langkah pengawasan internal. Yang dimaksud dengan “seluruh tingkatan atau
jenjang organisasi” dalam BUS adalah seluruh posisi dalam struktur Bus yang dimulai dari
tingkatan tertinggi, yaitu Dewan Komisaris dan Direksi sampai dengan tingkatan paling
rendah. Sementara itu, yang dimaksut dengan “seluruh tingkatan atau jejang organisasi”
dalam UUS adalah seluruh posisi dalam struktur UUS yang dimulai dari tingkatan tertiggi,
yaitu Direktur UUS sampai ke Manajemen terendah.
1. Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi BUS
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi BUS harus diwujudkan dalam beberapa
hal, yaitu:
a. Pelaksanaan Tugas dan Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi
b. Kelengkapan dan pelakanaan tugas komite” dan fungsi yang menjalankan tentang
pengendalian internal BUS
c. Pelaksanaan Tugas dan Tanggungjawab DPS
d. Penerapan fungsi kepatuhan, audit internal, dan audit eksternal
e. Batas maksimum penyaluran dana
f. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS
g. Penerapan manajemen resiko, termasuk sistem pengendalian.
Semua ini mengacu pada perundang-undangan BI yang mengatur pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab tersebut. Pembentukan komite ini untukmemebantu kelancaran
tugas pengawasan oleh komisaris.
2. Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi UUS
Berbeda dengan BUS, GCG harus diwujudkan dalam beberapa hal yaitu:
a. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direktur UUS
b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
c. Penyaluran dana kepada naabah pembiayaan inti dan penyimpangan dana oleh
deposan inti
d. Transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan UUS sesuai Regulasi Peraturan
Bank Indonesia No.11/33/PBI/2009 tentang GCG bagi BUS dan UUS menyebut
bahwa pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mengacu pada perundang-undangan
yang berlaku. Khusus DPS mengacupada ketentuan BI dan perundang-undangan
yang berlaku.
E. Fungsi Kepatuhan, Audit Internal dan Eksternal
1. Fungsi Kepatuhan
Secara umum, konsep dasar fungsi kepatuhan berfungsi sebagai pelaksana dan
pengelola risiko kepatuhan yang berkoordinasi dengan satuan kerja dalam manajemen
resiko. Fungsi kepatuhan melakukan tugas pengawasan yang bersifat preventif dan
menjadi elemen penting dalam pengelolaan dan operasional bank syariah, pasar modal,
asuransi syariah, pegadaian syariah serta lembaga keuangan syariah non bank (koperasi
jasa keuangan syariah).
Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan
prosedur yang dilakukan oleh perbankan Islam telah sesuai dengan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan Bank Indonesia, Pemerintah, Bapepam-LK, Fatwa
MUI, serta penetapan hukum yang telah ditetapkan dalam standar internasional IFSB,
AAOIFI, Syariah Supervisory Board (SSB).
Ardhaningsih (2012) menyatakan bahwa Kepatuhan syariah adalah bagian dari
pelaksanaan framework manajemen resiko, dan mewujudkan budaya kepatuhan dalam
mengelola resiko perbankan Islam. Kepatuhan syariah (shariah compliance) juga
memiliki standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic Financial
Service Board (IFSB) dimana kepatuhan syariah merupakan bagian dari tata kelola
lembaga (corporate governance). Kepatuhan syariah merupakan manifestasi
pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud karakteristik,
integritas dan kredibilitas di bank syariah. Dimana budaya kepatuhan tersebut adalah
nilai, perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah
terhadap seluruh ketentuan Bank Indonesia.
Elemen yang memiliki otoritas dan wewenang dalam melakukan pengawasan
terhadap kepatuhan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah (DPS). Dewan Pengawas
Syariah melengkapi tugas pengawasan yang diberikan oleh komisaris, dimana
kepatuhan syariah semakin penting untuk dilakukan dikarenakan adanya permintaan
dari nasabah agar bersifat inovatif dan berorientasi bisnis dalam menawarkan instrumen
dan produk baru serta untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum Islam.
Dewan pengawas syariah (DPS) terdiri dari pakar syariah yang mengawasi
aktivitas dan operasional institusi finansial untuk memastikan kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip syariah. Dewan syariah mengemban tugas dan tanggungjawab besar dan
berfungsi sebagai bagian stakeholders, karena mereka adalah pelindung hak investor
dan pengusaha yang meletakkan keyakinan dan kepercayaan dalam institusi finansial.
Keberadaan dewan pengawas syariah memiliki lima isu tata kelola perusahaan, yaitu
independen, kerahasiaan, kompetensi, konsistensi dan keterbukaan.
Pelaksanaan fungsi kepatuhan harus menekankan pada peran aktif dari seluruh
elemen organisasi kepatuhan dalam lembaga, yang terdiri dari Direktur yang
membawahkan fungsi kepatuhan di Bank Islam, Kepala unit kepatuhan dan satuan
kerja kepatuhan untuk mengelola risiko kepatuhan. Kepatuhan merupakan tanggung
jawab bersama yang dilaksanakan oleh seluruh karyawan bank, dari atasan sampai
bawahan (topdown).
Ada beberapa hal penting terkait dengan kepatuhan yakni fungsi kepatuhan,
budaya kepatuhan dan cakupan pengelolaan kepatuhan. Fungsi Kepatuhan adalah
serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat exante (preventif) untuk
memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha
yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah, serta memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang
dibuat oleh bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, dan atau otoritas
pengawas lain yang berwenang.
Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung
terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
2. Audit Internal
Tanggung jawab utama bank syariah adalah menciptakan kepercayaan bagi para
deposan, serta meyakinkan bahwa operasionalnya telah sesuai dengan ketentuan
syariah. Untuk memurnikan operasional bank sesuai dengan syariah, terdapat dua
langkah utama yang harus dilakukan. Langkah pertama, memastikan bahwa semua
produk yang ditawarkan oleh bank syariah telah sesuai dengan ketentuan dan opini
dewan pengawas syariah. Langkah kedua, memberikan jaminan bahwa semua transaksi
yang dilakukan oleh bank syariah telah sesuai dengan putusan dewan pengawas
syariah.
Tugas auditor internal adalah melakukan pengawasan terhadap operasional
perbankan syariah yang dilakukan oleh manajemen. Pengawasan ini meliputi
pengukuran standarisasi kesehatan bank berdasarkan ketentuan mechanism operasional
dengan prinsip syariah.
3. Audit Eksternal
Auditor eksternal di samping berperan untuk memastikan bahwa laporan
keuangan bank telah disajikan secara profesional dan sesuai dengan standar laporan
keuangan, ia juga harus memastikan bahwa keuntungan ataupun kerugian yang
diungkapkan dalam laporan keuangan benar-benar merefleksikan kondisi bank
sebenarnya, serta memastikan bahwa profit yang dihasilkan bukan dari usaha yang
bertentangan dengan syariah. Auditor eksternal harus memiliki kompetensi profesional
dalam hal auditing dan pemahaman tentang bank syariah. Suksesnya seorang auditor
sangat bergantung pada kinerja audit internal, jika audit internalnya lemah, auditor
eksternal mungkin akan sangat susah untuk menjalankan tugasnya secara efektif. Audit
eksternal yang melakukan pemeriksaan antara lain Bank Indonesia, akuntan publik,
maupun pihak lainnya. Beberapa hal yang secara khusus dilakukan dalam audit atas
bank syariah, dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Di samping pengungkapan kewajaran penyajian laporan keuangan, juga
diungkapkan unsur kepatuhan syariah
b. Perbedaan akunting yang menyangkut aspek produk, baik sumber dana maupun
pembiayaan
c. Pemeriksaan ditribusi profit
d. Pengakuan pendapatan cash basis serta riil
e. Pengakuan beban yang secara acrual basis
f. Dalam hubungan dengan bank corresponden, khususnya corresponden depository,
pengakuan pendapatan tetap harus menggunakan prinsip bagi hasil. Jika tidak,
pendapatan atas bunga idak boleh dicatat sebagai pendapatan
g. Adanya pemeriksaan atas sumber dan penggunaan zakat
h. Revaluasi atas valuta asing dapat diakui apabila posisi devisa neto dalam posisi
square. Dalam hal ini, harus ada ketentuan tentang suatu posisi PDN yang dianggap
square
i. Ada tidaknya transaksi yang mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan
syariah.
Ditinjau secara yuridis bank syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak
(stakeholders). Pihak dimaksud antara lain terdiri dari nasabah penabung, pemegang
saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok
serta masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian penerapan GCG merupakan suatu
kebutuhan bagi setiap bank syariah. Penerapan GCG merupakan wujud
pertanggungjawaban bank syariah kepada masyarakat bahwa suatu bank syariah
dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap berupaya
meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder’s value) tanpa mengabaikan
kepentingan stakeholders lainnya. Karena penerapan GCG ini merupakan sebuah
bentuk pertanggungjawaban, maka bank syariah wajib menyampaikan laporan GCGnya
baik kepada Bank Indonesia maupun kepada pemegang saham. Hal ini sebagai bentuk
transparansi bank atas kondisi perusahaannya, seperti yang telah diatur didalam pasal
63 PBI No 11/33/ PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Sehingga ketika bank melakukan
pelanggaran atas ketentuan tersebut, akan dikenai sanksi sebagaimana diatur didalam
Pasal 87 PBI No 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance
Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance oleh sebuah bank,
termasuk bank syariah paling tidak harus diwujudkan dalam: 1) Pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Dewan Direksi; 2)
Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan
fungsi pengendalian intern bank; 3) Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan
auditor eksternal; 4) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian
intern; 5) Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar; 6) Rencana
strategis bank; 7) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh bank paling tidak
terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu: Pertama, perlunya
mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement) dari otoritas fatwa
dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam hal menentukan kehalalan atau
kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syariah. Kedua, perlunya
mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan bank sesuai
dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan.
Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih
minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fikih dan syariah serta sekaligus
memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
Selain itu juga bagi para pemegang otoritas perbankan perlu mengantisipasi
munculnya tantangan yang mungkin muncul terkait dengan implementasi GCG Bank
Syariah di Indonesia. Untuk saat ini memang sebagian prinsip-prinsip GCG telah
dipenuhi oleh bank-bank syariah, misalnya dengan telah dibentuknya aturan hukum dan
kelembagaan khusus untuk bank syariah yang mengatur tentang struktur dan organisasi
bank syariah, persyaratan pemilik dan pengurus, aturan dan mekanisme fit and proper
test, kewajiban bank untuk membentuk satuan kerja audit intern, ketentuan disclosure,
standard akutansi, dan penerapan manajemen risiko yang semuanya telah diatur secara
detail dalam PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance
Bagi Bank Umum.
Sebagai elemen pendukung bagi implementasi prinsip GCG pada bank syariah
yakni adanya lembaga-lembaga lain, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan
Pengawas Syariah (DPS), Lembaga Pengaduan Nasabah, Lembaga Mediasi Perbankan,
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan terakhir adanya perluasan
kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Oleh karena
itu, bank syariah perlu menerapkan GCG, karena bisa mempengaruhi penilaian dan
menurunkan cost of capital, mempengaruhi kinerja bank, reputasi bank, dan
pengambilan resiko bank, serta meminimalisasi risiko krisis keuangan, baik untuk bank
secara individual maupun bagi sistem bank secara keseluruhan.
GCG dapat diimplementasikan secara terus menerus dan konsisten melalui lima
tindakan, yaitu: a) penetapan visi, misi, dan corporate values untuk memenuhi prinsip
GCG; b) menyusun struktur corporate governance yang tepat; c) membangun corporate
culture sesuai dengan nilai-nilai Islami; d) penentuan mekanisme public disclosures
yang tepat dan akurat; e) serta penyempurnaan berbagai kebijakan bank syariah agar
dapat memenuhi prinsip GCG. Pada dasarnya, GCG adalah implementasi visi dan misi
perbankan syariah. Poin utama yang menjadi acuan dari visi ini adalah memenuhi
prinsip kehati-hatian (prudential banking). Sedangkan, poin misinya adalah
mempersiapkan konsep serta melaksanakan pengaturan dan pengawasan berbasis risiko
untuk menjamin kesinambungan operasi perbankan syariah yang sesuai dengan
karakteristiknya. Implementasi GCG juga sangat memerlukan komitmen dan
keterlibatan semua pihak, baik pihak internal maupun eksternal bank syariah. Melalui
kerja sama yang harmonis dari seluruh elemen masyarakat, yang meliputi alim ulama,
tokoh masyarakat, nasabah bank, akademisi, dan pemerintah, bank syariah dapat
didorong untuk selalu mematuhi prinsip-prinsip GCG sehingga bisa membangun
reputasi bank syariah sebagai uswatun hasanah dan dapat memberi kontribusi optimal
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan
pengangguran.
F. Aspek Transparansi Lembaga Syariah
Setiap nasabah berhak memperoleh informasi yang jelas dari pihak bank atas
produk yang dikeluarkan sesuai dengan pasal 4 Undang-undang nomer 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, hal ini harus benar-benar diperhatikan agar tidak
terjadinya ketidak seimbangan informasi antara nasabah dengan pihak bank, karena jika
terjadi suatu masalah maka yang akan merasa dirugikan tentu adalah pihak nasabah
sebagai konsumen.
Transparan yang dimaksud disini adalah menjelaskan informasi produk yang
terkait secara jelas dan rinci sehingga nasabah benar-benar mengerti karakteristik produk
tersebut secara benar, produk dalam hal ini adalah mudharabah, jadi pihak bank harus
benar-benar memberikan informasi yang sangat jelas kepada nasabah tentang mudharabah
hingga nasabah benar-benar sudah mengerti tentang mudharabah tersebut baik mulai dari
pengertian, prosedur pembagian hasil hingga resiko dan manfaat yang diperoleh dari
mudharabah tersebut, informasi yang diberikan juga harus sesuai dengan yang tercantum
pada pasal 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi
Informasi Produk dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah yaitu:
1. Nama Produk Bank
Pemberian informasi nama produk yang akan ditawarkan, dalam hal ini adalah
mudharabah harus benar-benar jelas dan tidak berubah dari waktu ke waktu agar tidak
membingungkan nasabah. Menurut bank mandiri syariah cabang kepanjen, pihaknya
telah melaksanakan ketentuan ini sebaik mungkin dengan cara memberikan pengertian
terlebih dahulu tentang perbedaan dari mudharabah dan riba’ baru kemudian
memberikan informasi tentang nama produknya tersebut.
2. Jenis Produk Bank
Pihak bank dalam memberikan informasi tentang jenis mudharabah kepada
nasabah harus benar-benar jelas karena jenis dalam mudharabah hanya berbeda sedikit
dan sering membingungkan nasabah yang memang belum mengerti tentang
mudharabah sama sekali, jadi selain hanya memberikan pengertian jenis mudharabah
pihak bank juga harus memberikan contoh sesuai dengan pemikiran nasabah karena
tidak semua nasabah mempunyai pola pikir yang sama sehingga diharuskan
mempunyai cara pemberian informasi yang sesuai dengan pemikiran nasabah yang
dituju. Pemberian informasi jenis dan produk pihak bank juga telah memberikan
pernjelasan yang sejelas-jelasnya termasuk pengertian dan perbedaannya dengan riba’,
juga terkait masalah keuntungan dan resiko yang melekat pada produk tersebut.
3. Manfaat dan Resiko yang Melekat pada Produk Bank
Sesuai dengan pasal 4 Undang-undang nomer 8 tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen bahwa nasabah berhak memperoleh informasi yang jelas atas
produk bank dalam hal ini adalah mudharabah begitu juga informasi yang berkaitan
dengan manfaat dan resikonya, penjelasan informasi untuk hal tersebut harus benar-
benar seimbang agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan nantinya, permasalah yang
sering timbul dalam hal ini adalah terkadang pihak bank hanya menjelaskan tentang
manfaat dari mudharabah saja tanpa menjelaskan resiko yang mungkin bisa terjadi, hal
ini biasanya bertujuan agar nasabah merasa bahwa produk dari pihak bank tersebutlah
yang terbaik, namun juga sering kali terjadi kasus dimana pihak nasabah yang justru
tidak terlalu perduli terhadap informasi tentang manfaat atau resiko tersebut karena
hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan prosedur dan mendapatkan uang atau pinjaman
dari bank, sedangkan seharusnya nasabah wajib mendengarkan informasi yang
dijelaskan oleh pihak bank sesuai dengan pasal 5 Undang-undang nomer 8 tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Terkait dengan ini pihak bank juga mengatakan
seperti yang dijelaskan pada jenis produk bank tersebut bahwa manfaat dan resiko yang
melekat juga sudah dijelaskan, dan sudah melakukan dengan jujur tanpa ada yang
ditambah-tambahkan.
4. Pesyaratan dan Tata Cara Penggunaan Produk Bank
Bagian ini adalah bagian yang sangat penting bagi kedua belah pihak sehingga
diperlukannya komunikasi yang aktif antara kedua belah pihak, dari pihak nasabah
harus memberikan kelengkapan dokumen atau berbagai macam persyaratan yang
diperlukan sesuai dengan yang sudah dijelaskan oleh pihak bank, kelengkapan yang
diberikan oleh nasabah harus sesuai dan benar-benar jujur karena hal ini akan sangat
berpengaruh terhadap penjanjiannya nanti, apabila nasabah tidak memberikan data
secara benar dan terdapat unsur kepalsuan, maka perjanjian yang akan dikeluarkan
nanti jelas tidak valid dan ini berdampak pada hak-hak yang akan diterima nasabah
tidak akan terpenuhi, begitu juga dengan pihak bank yang harus memberikan
penjelasan tentang persyaratan dan tata cara penggunaan produk secara benar dan
terperinci hingga pohak nasabah benar-benar telah mengerti apa yang harus dilakukan
dan dipenuhi, hal ini akan berpengaruh terhadap kedua belah pihak, jadi kedua belah
pihak harus sama-sama menerapkan prinsip itikad baik dalam perjanjiannya yang
dilandasi oleh asaz kejujuran. Pihak bank mengaku dalam hal ini juga telah
menjelaskan dengan detail kepada nasabah agar nantinya nasabah tidak melakukan hal
yang dapat merugikan pihak bank itu sendiri.
5. Biaya-Biaya yang Melekat pada Produk Bank
Pihak Bank memberikan informasi kepada nasabah tentang biaya apa saja yang
melekat pada produknya hanya sebatas informasi saja, tidak dijelaskan secara pasti
berapa nominalnya karena biaya yang dimaksud disini termasuk biaya yang bersifat
tidak tetap dan tergantung permintaan nasabah.13 Biaya yang dimaksud disini adalah
biaya yang harus dibayarkan oleh nasabah untuk beberapa keperluan yang dibutuhkan
semisal untuk biaya administrasi, hal ini juga harus diinformasikan kepada nasabah
agar tidak adanya kesalahpahaman dari nasabah terkait penambahan biaya diluar biaya
pokok, jadi informasi tentang biaya yang melekat pada produk ini juga harus
diperhatikan dan diinformasikan hingga nasabah benar-benar telah jelas dan mengerti.
6. Perhitungan Bunga atau Bagi Hasil dan Margin Keuntungan
Pihak bank mengaku telah menjelaskan perhitungan keuntungan kepada
nasabah dengan sangat jelas, juga telah memberikan penjelasan antara perbedaannya
dengan perhitungan bunga atau riba’ sesuai dengan yang diatur.14 Produk mudharabah
tidak mengenal sistem bunga karena menurut pandangan islam bunga termasuk dalam
riba’ sehingga tidak diperbolehkan dalam sistem Bank Syariah, yang digunakan adalah
sistem bagi hasil, dalam hal ini pihak bank harus benar-benar memperhatikan karena ini
termasuk dalam hal yang paling penting dalam akadnya nanti, pihak bank perlu
memberi informasi secara jelas bagaimana sistem perhitungan bagi hasil yang
diterapkan oleh pihak bank tersebut, perhitungan bagi hasil mudharabah secara umum
tergantung bagaimana kesepakatan kedua belah pihak, karena ini diterapkan oleh kedua
belah pihak maka kedua pihak harus benar-benar mengerti dan tidak adanya
ketidakseimbangan informasi yang akan merugikan salah satu pihak. Sistem
perhitungannya juga bersifat fluktuatif tergantung pada keuntungan setiap bulan dari
nasabah, jika nasabah mendapatkan keuntungan lebih banyak maka perhitungan bagi
hasilnya juga lebih banyak dan sebaliknya jika keuntungannya berkurang maka
perhitungan bagi hasilnya juga berkurang, jadi tidak boleh menetapkan perhitungan
keuntungan sejak awal karena itu sama saja dengan sistem konvensional.
7. Jangka Waktu Berlakunya Produk Bank
Pihak Bank mengatakan bahwa pihaknya juga memberikan informasi tentang
ada dan berlakunya jangka waktu dari produknya, namun penerapannya akan diperoleh
nanti sesuai dengan kesepakatan antara pihak bank dengan nasabah.15 Setiap produk
mempunyai jangka waktu berlakunya, hal ini juga berlaku pada sistem pembiayaan
mudharabah, jadi pihak bank harus memberikan informasi tentang sistem jangka waktu
berlakunya produk mudharabah tersebut kepada nasabah, jika nasabah sudah benar-
benar mengerti maka baru dalam akadnya atau perjanjiannya nanti disepakati berapa
jangka waktu yang ditetapkan oleh kedua belah pihak, setiap produk mempunyai sistem
dan jangka waktu yang berbeda tergantung prosedur yang ditetapkan pihak bank, agar
tidak terjadi kesalahpahaman produk bagi nasabah, maka pihak bank harus benar-benar
jelas dalam memberikan informasi terkait produk apa yang sedang ditawarkan tersebut.
G. Konflik Kepentingan
H. Laporan GCG
DAFTAR PUSTAKA

Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah (Analisis Fiqh&Keuangan), UPP STIM YKPN.


Bambang Rianto Rustam, Manajemen Resiko, Salemba Empat.
Aldira Maradita, “Karakteristik Good Corporate Governance pada Bank Syariah Dan Bank
Konvensional”https://www.researchgate.net/publication/319300299_KARAKTERIS
TIK_GOOD_CORPORATE_GOVERNANCE_PADA_BANK_SYARIAH_DAN_B
ANK_KONVENSIONAL/download
Dr. Sihabuddin, SH., MH, Siti Hamidah, SH., MM, “Penerapan Prinsip Transparansi Dalam
Produk Pembiayaan Mudharabah Pada Bank Syariah”

Anda mungkin juga menyukai