Review Journal 1
Penulis Minarni
Tujuan penelitian Bertujuan untuk menganalisis beberapa konsep penting, yaitu pengawasan
pada lembaga keuangan syariah, kerangka audit syariah, dan tata kelola
perusahaan bagi lembaga keuangan syariah.
Research gap Konsep pengawasan terhadap praktek keuangan yang dilakukan pada
lembaga keuangan syariah memiliki sejumlah landasan, yaitu landasan
syariahdan landasan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Landasan
syariah yang biasa diacu misalnya adalah pemahaman terhadap QS. Al-Ashr
[103] ayat 1-3. Adapun landasan hukum positif antara lain dapat diacu pada
peraturan perundangan yang menempatkan BI sebagai otoritas pengawas
bank. Bank Indonesia adalah lembaga yang diberi otoritas oleh pemerintah
dalam pengawasan perbankan di Indonesia (termasuk perbankan syariah).
Hal ini dijelaskan dalam Pasal 29 (1) (UU.No.7/1992 sebagaimana diubah
dengan) UU No.10 Th.1998 tentang Perbankan yang berbunyi Pembinaan
dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia.
Saran&Keterbatasan Adanya pengawasan pada bank Syariah, audit Syariah dan corporate
penelitian governance tidak berarti dapat menggantikan tugas manajemen bank dan
tidak menjamin bank bebas dari krisis, kerugian maupun kebangkrutan. Hal
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lainhuman error, asymetric
information, policydanregulationyang kurang mendukung, dan rewarddan
punishment yang tidak jelas.Untuk mewujudkan pengawasan yang efektif dan
berdaya guna hendaknya Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas
pengawasan perbankan di Indonesia mendukung sepenuhnyaatas segala
kegiatan pengawasan perbankan Syariahyang melibatkan DSN dan DPS
dengan memberikan jaminan independen, insentif yang bernilai dan
pertanggungjawaban yang jelas. Selain itu, Bank Indonesia bekerja sama
dengan Kementrian Keuangan hendaknya membuat aturan dan kebijakan
yang tegas mengenai reward dan punishmentpada manajemen bank Syariah
atas komitmennya menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip dan
aturan Syariah.
Adapun untuk kegiatan audit Syariah hendaknya dijalankan sesuai
mekanisme yang benar dan disesuaikan dengan standar audit AAOFI yang
berlaku pada seluruh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Segala kelemahan
yang ada dalam sistem audit, seperti faktor human error, asymmetric
information, dan lainnyahendaklah diminimalkan untuk mencapai hasil yang
tepat.Disamping itu, adanya tata kelola perusahaan (corporate governance)
hendaklah dimaksimalkan agar dapat memenuhi tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap masyarakat dan seluruh pihak yang memiliki
kepentingan dengan perusahaan.
Review Journal 2
Judul Rangkuman Prinsip Syariah dalam Tata Kelola Perusahaan yang Baik
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memuat proses pengelolaan perbankan yang
baik dengan dimulai dari kesepakatan konvensional terhadap tata kelola
perbankan hingga unsur-unsur syariah yang membedakannya dengan pola
konvensional. Tujuan dari sebuah usaha dalam perspektif konvensional pada
umumnya adalah maksimalisasi keuntungan, sementara pada perspektif
syariah lebih bertujuan pada kesejahteraan ummat.
Research gap Perbedaan cara pandang dalam tata kelola usaha berbasis konvensional dan
syariah, dimana pada sistem konvensional selalu terdapat konflik tujuan
untuk memperkaya pemangku kepentingan atau menyejahterakan
masyarakat. Sementara, dalam perspektif islami, kesejahteraan sosial
adalah tujuan akhir dari setiap usaha, bukan pada maksimalisasi keuntungan
pemangku kepentingan (Choudury dan Hoque, 2006). Perbandingan tugas
Dewan Pengawas Syariah Internal dan Eksternal atau Terpusat dalam
melaksanakan kegiatan pemantauan syariah di institusi yang menyediakan
layanan financial berbasis syariah (Grais dan Pellegrini, 2006; Iqbal dan
Mirakhor, 2004)
Tata kelola perusahaan yang baik akan mencegah terulangnya tragedi-
tragedi finansial seperti WorldCom, Enron (Brown and Caylor, 2006),
maupun Lehman Brothers. Dalam perbankan, utamanya di negara maju,
banyak diterapkan kebijakan yang mencegah terjadinya praktik tidak sehat
seperti pembiayaan pinjaman atau investasi untuk satu grup finansial yang
pemiliknya sama. Ini ditekankan dalam Sarbanes-Oxley Act di tahun 2002.
Dalam peranan pemangku kepentingan, Brown and Caylor (2006)
berpendapat bahwa Rapat Umum Pemegang Saham tahunan harus memiliki
kekuatan untuk (1) memilih, mengangkat dan menurunkan dewan
direksi/komisaris, (2) kekuasaan efektif yang tidak bisa dimanipulasi atau
dibatalkan oleh pemerintah, (3) opsi revaluasi dalam jangka waktu tertentu,
(4) mendapatkan utang atas dividen dasar yang jumlahnya tidak melebihi
3% dari dividen yang didapatkan, (5) menilai kehadiran dan keaktifan dari
dewan direksi, (6) memberikan haluan inti atau rencana jangka panjang
yang ingin dicapai dalam sebuah kurun waktu tertentu, dan (7) dewan
direksi diberikan hak atas kepemilikan saham.
Hasil Iqbal dan Mirahkor (2004) menegaskan bahwa Dewan Direksi yang
mendukung terciptanya tata kelola perusahaan berbasis syariah adalah
sebuah kewajiban. Dalam hal ini, Dewan Direksi juga harus memberikan
wewenang yang cukup kepada Dewan Pengawas Syariah internal maupun
eksternal untuk dapat bekerja secara efektif dalam bidang-bidang
pemantauan pelaksanaan syariah di perusahaan tersebut. Dewan Pengawas
Syariah yang terbagi dalam dua elemen, internal dan eksternal memiliki
kewenangan yang berbeda, sesuai dalam rangkuman Tabel 3, menurut
pendapat dari Grais dan Pellegrini (2006).