Anda di halaman 1dari 16

Makalah Audit Bank Syariah

Tata Cara Pelaporan Dan Hasil Pengawasan Dewan


Pengawas Syariah

Darmiatun

25.13.4.143

Ledy Suci Anisa Gultom

25.13.4.163

Putri Khadijah Sinaga

25.13.4.150

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam


D-III Perbankan Syariah
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
T.A 2015 / 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang tata cara pelaporan dan hasil dewan
pengawas syariah semoga makalah ini berguna dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga kami berterima kasih pada Bapak M.Iqbal selaku Dosen mata kuliah Audit Bank Syariah yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik
dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Daftar Isi
Kata Pengantar

Daftar Isi.

ii

BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah..
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian.

1
2
2

BAB II Pembahasan
A. Dewan Pengawas Syariah
B. Laporan Hasil Dewan Pengawasan Syariah
C. Tata Cara Pelaporan.

3
9
12

BAB III Penutup


A. Kesimpulan..
B. Saran.

ii

BAB I
PENDAHULUAN

14
15

A. Latar Belakang Masalah


Bank Syariah menjadi salah satu bagian dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang memiliki
karakteristik berbeda dengan entitas konvensional. Perbedaan karakter tersebut mempengaruhi bentuk
dan standar dalam kegiatan pengawasan lembaga bank syariah termasuk pelaksanaan auditnya.
Pengawasan bank syariah yang berada dalam otoritas Bank Indonesia (BI) dan Dewan Syariah
Nasional (DSN) dilakukan dalam rangka menjaga kepatuhan terhadap prinsip-prinsip dan aturan
syariah dalam operasional kegiatannya dan pelaporannya sesuai konsep perbankan syariah. Dalam hal
ini, Dewan Pengawas Syariah (DPS) memiliki peran yang utama dalam pengendalian dalam aspek
syariah dan auditor memiliki peran utama dalam menguji (examination) penyajian laporan keuangan
Adapun standar audit yang berlaku pada LKS termasuk bank Syariah adalah standar audit yang
dikeluarkan dan disahkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions) yang berada di Manama, Bahrain. LKS khususnya bank syariah bergerak di sektor
keuangan (finance) yang umumnya memiliki risiko yang tinggi dalam pengelolaan bisnisnya. Oleh
karena itu, disamping adanya pengawasan dan audit syariah, diperlukan elemen lain yang mendukung
kesuksesan perbankan syariah yaitu good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik).
Tujuan corporate governance secara umum adalah untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh pihak
yang berkepentingan terhadap perusahaan (stakeholder).1
Dalam mewujudkan pengawasan bank syariah yang efektif dan efisien maka BI, DSN, dan DPS
harus saling bekerja sama dalam mengemban tugasnya dengan sebaikbaiknya. Dan untuk
mewujudkan good corporate governance seluruh pihak baik dewan direksi, manajemen bank, auditor,
Stakeholder dan pihak lainnya harus saling memberikan informasi yang benar guna mendukung
pertanggung jawaban masing - masing pihak kepada otoritas yang sesuai dan kepada masyarakat yang
bermitra dengan Bank.
Untuk itu kita mengetahui tata cara pelaporan dan hasil dewan pengawas syariah dan ada lagi
yang ingin diketajui beberapa konsep, yaitu pengawasan pada lembaga keuangan syariah, kerangka
audit syariah, dan tata cara pelaporan dan hasil dewan pengawas syariah bagi lembaga keuangan
syariah secara umum. Kajian dilakukan dengan studi pustaka mengacu pada kajian terdahulu dan
diakhiri dengan analisis kritis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata cara pelaporan dewan pengawas syariah?
1 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: AMP YKPN, 2002), h.169

2. Bagaiman hasil laporan dewan pengawas syariah?


C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka penelitian ini bertujuan
:
1. Untuk memahami konsep dan aplikasi Gadai Emas di Bank Sumut Syariah.
2. Untuk mengetahui peran pengawasan model pengorganisasian dan kompetensi dewan
pengawas syariah (DPS) terhadap penerapan kepatuhan syariah.
D. Manfaat Penelitian
a. Memberikan gambaran yang terjadi dilapangan tentang pelaksanaan pengawasan dan hasil
laporan dewan pengawas syariah.
b. Sebagai bahan masukan bagi lembaga keuangan syariah dan dewan pengawas syariah terhadap
laporan dewan pengawasan syariah.
c. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Dewan Pengawas Syariah

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap
prinsip syariah dalam kegiatan usaha lembaga keuangan syariah. Dalam menjalankan fungsinya, DPS
bertindak secara independen. Setiap lembaga keuangan yang mengelola kegiatannya berdasarkan
prinsip syariah harus memiliki DPS yang anggotanya sedikitnya terdiri dari 2 (dua) orang.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan (UndangUndang Perbankan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Perkoperasian, UndangUndang Lembaga Keuangan Mikro). Adapun mengenai pedoman pengawasan maupun tata cara
penyampaian laporan hasil pengawasan telah diatur dalam Surat Edaran No. 8/19/DPBS tanggal 24
Agustus 2006 Perihal Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
DPS.2
Tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS antara lain meliputi:
1. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKS terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI);
2. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan LKS;
3. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional LKS secara
keseluruhan;
4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN
MUI.
5. Menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap (enam) bulan kepada
Pengurus LKS.
Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disebut DPS adalah dewan yang bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
agar sesuai dengan Prinsip Syariah;
1. Pengawasan penerapan Prinsip Syariah oleh DPS mencakup:
a. pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru BPRS; dan
b. pengawasan terhadap kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS
lainnya.
2. Langkahlangkah dalam pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru BPRS oleh DPS BPRS
adalah sebagai berikut:
2 Amin, Manajemen Pengawasan, (Indonesia: Ciputat, 2006), h. 209

a. meminta penjelasan dari pejabat BPRS yang berwenang mengenai tujuan, karakteristik,
dan fatwa dan/atau akad yang digunakan sebagai dasar dalam rencana penerbitan produk
dan aktivitas baru;
b. memeriksa fatwa dan/atau akad yang digunakan dalam produk dan aktivitas baru.
c. mengkaji fitur, mekanisme, persyaratan, ketentuan, sistem dan prosedur produk dan
aktivitas baru terkait dengan pemenuhan Prinsip Syariah;
d. memberikan pendapat terkait aspek pemenuhan Prinsip Syariah atas produk dan aktivitas
baru yang akan dikeluarkan; dan
e. menjelaskan secara mendalam dan holistik mengenai pemenuhan Prinsip Syariah atas
produk dan aktivitas baru yang dikembangkan oleh BPRS.3
3. Langkahlangkah pengawasan terhadap kegiatan penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan
jasa BPRS lainnya oleh DPS BPRS, adalah sebagai berikut:
a. melakukan pemeriksaan di kantor BPRS paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan;
b. meminta laporan kepada Direksi BPRS mengenai produk dan aktivitas penghimpunan
dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS lainnya yang dilakukan oleh BPRS;
c. melakukan pemeriksaan secara uji petik (sampling) paling kurang sebanyak 3 (tiga)
nasabah untuk masing-masing produk dan/atau akad penghimpunan dana, pembiayaan dan
kegiatan jasa lainnya termasuk penanganan pembiayaan yang direstrukturisasi oleh BPRS;
d. memeriksa dokumen transaksi dari nasabah yang ditetapkan sebagai sampel untuk
mengetahui pemenuhan Prinsip Syariah;
e. melakukan inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan dan/atau konfirmasi kepada
pegawai BPRS dan/atau nasabah untuk memperkuat hasil pemeriksaan dokumen;
f. meminta bukti dokumen kepada Direksi BPRS;

3 Choirul Anwar, Mekanisme Pengawasan Dewan Pengawas Syariah, (Surakarta: UNS,


2010), h.179

g. memberikan pendapat terkait aspek pemenuhan Prinsip Syariah atas kegiatan


penghimpunan dana, pembiayaan dan kegiatan jasa BPRS lainnya yang dilakukan oleh
BPRS; dan perhitungan dan pencatatan transaksi keuangan;
h. melakukan pembahasan dengan BPRS mengenai hasil temuan pengawasan penerapan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang hasilnya dituangkan dalam
risalah rapat;
i. menyusun laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah atas kegiatan usaha BPRS;
dan
j. menjelaskan secara mendalam dan holistik mengenai hasil pengawasan penerapan Prinsip
Syariah kepada Bank Indonesia, termasuk dalam pembahasan exit meeting hasil
pemeriksaan Bank Indonesia
4. Laporan pengawasan penerapan Prinsip Syariah yang dilakukan oleh DPS disampaikan oleh
BPRS secara semesteran kepada Bank Indonesia untuk posisi akhir bulan Juni (semester I) yang
dilaporkan paling lambat akhir bulan Agustus tahun berjalan dan bulan Desember (semester II)
yang dilaporkan paling lambat akhir bulan Februari tahun berikutnya. 4
5. Laporan hasil pengawasan penerapan Prinsip Syariah DPS BPRS mengacu pada contoh format
yang diatur dalam SE BI berupa:
a. kertas kerja pengawasan terhadap produk dan aktivitas baru BPRS;
b. kertas kerja pengawasan terhadap kegiatan usaha BPRS; dan
c. risalah rapat pengawasan penerapan Prinsip Syariah.
6. Dengan berlakunya SE BI ini maka Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/DPbS tanggal 24
Agustus 2006 perihal Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan
bagi Dewan Pengawas Syariah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Laporan kepada pimpinan dan dewan pengawas. Penanggung jawab audit internal harus
menyampaikan laporan secara berkala kepada pimpinan dan dewan pengawas mengenai perbandingan
4 Ibid

rencana dan realisasi yang mencakup sasasran, wewenang, tanggung jawab, dan kinerja fungsi audit
internal. Laporan ini harus memuat permasalahan mengenai resiko , pengendalian, proses governance,
dan hal lainnya yang dibutuhkan atau diminta oleh pimpinan dan dewan pengawas. Pada pelaporan
dan komunikasi hasil audit harus dimuat konklusi dan rekomendasi manajemen resiko dalam rangka
mengurangi potensi risiko. Agar manajamen memahami tingkat potensi resiko, maka sangat penting
pada laporan audit dilaporkan secara kritis identifikasi dan konsekuensi dalam pencapaian tujuan
organisasi.5
Laporan hasil pengawasan Syariah beserta kertas kerja pengawasan yang telah disusun oleh DPS,
sesuai dengan peraturan ini, disampaikan kepada Direksi, Komisaris, DSN, dan juga BI. Laporan hasil
pengawasan Syariah itu sendiri, Setidaknya harus memuat beberapa hal, yaitu:
1. Hasil pengawasan atas kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap fatwa yang
dikeluarkan oleh DSN-MUI.
2. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh bank;
3. Hasil kajian atas produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada
4.

DSN-MUI; dan
opini syariah atas pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi
bank.

Adapun landasan syariah dari pelaksanaan audit syariah antara lain dapat dirujuk pada penafsiran
atas QS.Al-Hujurat [49]: 6 yangterjemahan artinya adalah sebagai berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita,
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Ayat ini menunjukkan pentingnya pemeriksaan secara teliti atas sebuah informasi karena bisa
menjadi penyebab terjadinya musibah atau bencana. Dalam konteks audit syariah, pemeriksaan
laporan keuangan dan informasi keuangan lainnya juga menjadi sangat penting, mengingat keduanya
5 Drs. Amin widjaja Tunggal, Memahami Internal dan Operational Auditing,(harwarindo, 2015),h.14

dapat menjadi sumber malapetaka ekonomi berupa krisis dan sebagainya jika tidak dikelola secara
maksimal.
Dasar dari pengawasan ini seperti yang difirmankan Allah Ayat At-Taubah 105



Artinya: Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan".
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia diberi kesempatan untuk melakukan apa saja.
Termasuk kegiatan ekonomi dapat melaksanakan kegiatan apa saja. Hanya saja perbuatan itu diawasi
dan diketahui langsung oleh Allah. Pengawasan dari Allah bersifat langsung, sebagaimana dijelaskan
pada ayat tersebut. Dengan berprinsip kepada syariah, kegiatan ekonomi akan diawasi secara hakiki
oleh Allah, karena segala tindakan manusia di muka bumi tidak akan lepas dari pengawasan Allah,
karena Allah adalah Maha Pengawas. Pengawasan Allah ini bersifat melekat. Artinya pengawasan
Allah berlangsung kapanpun dan dimanapun tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan ruang. Tak sedikit
pun terlepas dari pengawasan Allah dan tak sedetik pun terlewat dari pengawasan-Nya.6
Pengawasan langsung dan segera seperti dijelaskan dalam ayat di atas tidak hanya dilakukan oleh
Allah semata, melainkan ada tiga pihak yang mengawasinya, yaitu:
1. Pengawasan langsung dan melekat oleh Allah.
2. Pengawasan yang dilakukan oleh Rasulullah. Pengawasan oleh Rasulullah ini diwujudkan dalam
pengawasan oleh penguasa sebagai ulil amri.
3. Pengawasan umum yang dilakukan oleh umat Islam. Pengawasan ini dapat diwujudkan dalam
bentuk langsung berupa pengawasan oleh masyarakat dan pengawasan tidak langsung dalam
bentuk peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi. Pengawasan syariah
juga memandang bahwa setiap amal itu akan diberikan reward dan punishment. Amal baik akan
diberikan pahala dan amal buruk diberikan siksa. Untuk itu, setiap kegiatan manusia, baik dan
buruknya, selalu diawasi dan dicatat untuk nantinya diperlihatkan.
Laporan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada dasarnya mencakup informasi yang diberikan oleh
anggota-anggota dewan mengenai praktik perbankan yang tidak bertolak belakang dengan ajaran
agama islam. Biasanya laporan DPS ini disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan bank.
6 Drs.Amin Widjaja Tunggal, Pokok-Pokok Auditing dan Jasa Asuransi, (Harvarindo, 2013), h.933

Bentuk dari laporan DPS ini tidak sama antara satu bank dengan bank lainnya walaupun masih dalam
cakupan negara yang sama karena mempunyai mekanisme operasinal yang berbeda-beda.
Abdallah (1994), menyatakan bahwa DPS harus melakukan empat pemeriksaan laporan keuangan
bank Islam. Pertama, DPS memastikan bahwa formula yang digunakan untuk mengalokasikan profit
antara shareholder dan pemegang akun investasi adalah adil dan sejalan dengan rekomendasi yang
diberikan oleh DPS. Kedua, DPS mengonfirmasikan bahwa semua penerimaan bank Islam berasal
dari transaksi yang sah sesuai hukum. Jika bank Islam mendapat penerimaan ini tidak sesuai hukum
Islam, DPS akan menyatakan bahwa penerimaan ini tidak boleh dimasukkan dalam profit yang
dialokasikan untuk shareholder dan pemegang akun investasi.7
Ketiga, DPS memastikan agar zakat dihitung dengan benar, dilaporkan secara transparan dan
didistribusikan secara merata kepada penerima zakat. Keempat, DPS bertanggung jawab menyatakan
opini bank Islam dalam menjalankan peran sosialnya di lingkungan masyarakat.
B. Laporan hasil pengawasan DPS
Pasal ini sesungguhnya bukan tugas dan tanggung jawab DPS, tetapi kewajiban bank syariah
untuk menyampaikan hasil laporan Dewan Pengawas Syariah ke bank Indonesia. Pasal 88 PBI
tersebut menyebutkan :
1. Bank yang tidak mentaati ketentuan pelaporan hasil pengawasan DPS sebagaimana dimaksud
dalam pasal 47 ayat 4, pelaporan perubahan pedoman, sistem dan prosedur sebagaimana
dimaksud, dalam pasal 58, ayat 1 dan ayat 2, serta pelaporan perubahan struktur, kelompok usaha
sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat 3 dan 5, dapat dikenakan sanksi administrasi seuai
pasal 58 Undang Undang No 21 Tahun 2008 tentang perbannkan syariah berupa :
a. Teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar 1 Juta perhari
kerja. Kelambatan ntuk setiap pelaporan.
b. Teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp 40 juta apabila
bank tidak menyampaikan laporan.
2. Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b,
apabila bank belum menyampaikan laporan dimaksud setelah 1 bulan, sejak batas akhir
7 Drs.Amin Widjaja Tunggal, Internal Auditing Peranan dan Fungsi Audit Internal dalam organisasi, (Harvarindo, 2011), h.22

penyampaian laporan. Untuk pelaporan perubahan pedoman sistem dan prosedur serta pelaporan
perubahan struktur kelompok usaha
3. Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b apabila
bank belum mehyampaikan laporan dimaksud setelah 2 bulan sejak batas akhir penyampaian
laporan untuk pelaporan hasil pengawasan DPS.8
4. Pengenaan sanksi sebagaimna dimaksud pada ayat 1 tidak menghapuskan kewajaiban bank untuk
menyampaikan laporan dimaksud.
Tata Cara Pengawasan di Bank Syariah Pengawasan yang dilakukan oleh DPS di bank syariah,
sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/19/Dpbs Tanggal 24 Agustus 2006 tentang
Sistem Pengawasan dan Tata Cara Pelaporan, dibakukan dan distandarkan..
Standarisasi laporan ini didasarkan atas Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/17/PBI/2004
Tentang Bank Perkreditan Rakyat Syariah, PBI Nomor 6/24/2004 tentang Bank Umum Syariah, dan
PBI Nomor 8/3/PBI/2006 tentang DPS menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah secara
periodic kepada DSN, BI, Direksi, dan Komisaris. 9 Standarisasi ini juga merupakan jawaban dari
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Ijtima Sanawi (Annual Meeting) DPS yang pertama tahun 2005.
Tujuan dilakukannya standarisasi ini, sebagaiman disebutkan dalam SE BI itu adalah:
a. Menjadi acuan minimal bagi DPS dalam menjalankan fungsi pengawasan syariah.
b.
Memberikan kesamaan pandang dan sikap dalam menanggapi dan menangani setiap
permasalahan yang dihadapi bank.
c. Memenuhi standar good corporate governance dan aspek akuntabilitas dan transparansi.
Pedoman pengawasan syariah hanya mencakup hal-hal yang terkait dengan aspek kepatuhan
syariah (sharia compliance aspects) baik dalam operasional maupun produk dan jasa bank syariah.
Pedoman pengawasan syariah ini mengacu kepada:
a. Undang-Undang Perbankan.
b. Fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
c. Pedoman yang dikeluarkan oleh DSN-MUI.
8 Ibid
9 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2010),h.254267

d. Prinsip-prinsip syariah dalam Sharia Standards (Mayir Syariyyah) yang diterbitkan oleh
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI).
e. Pedoman umum dalam Accounting, Auditing, and Governance Standards for Islamic Financial
f.

Institution yang dikeluarkan oleh AAOIFI.


Pedoman pengawasan dan pemeriksaan Bank Syariah yang diterapkan oleh Direktorat Perbankan

Syariah Bank Indonesia (Dpbs-BI).


g. Ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang berlaku bagi bank syariah.
h. Berbagai buku literature lainnya yang terkait dengan pengawasan syariah pada lembaga keuangan
dan perbankan syariah Sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali, DPS harus melaporkan
hasil pengawasan kepada BI, DSN, Direksi dan Komisaris dengan format yang telah ditetapkan.
Pada prinsipnya pimpinan fungsi audit internal memiliki dua kewajiban pelaporan yaitu:
A. Pelaporan fungsional (functional reporter), dan pelaporan administrative (administrative
reporting), Pelaporan fungsional adalah kewajiban pelaporan kepada siapa audit internal
mendapatkan independensi

dan kewenangannya. Pimpinan fungsi audit internal

secara

fungsional agar melapor kepada dewan direksi, komite audit dan otoritas lainnya yang merupakan
sumber yang berkaitan dengan pemberian kewenangan tadi yang mencakup:
1. Persetujuan atas charter audit internal
2. Persetujuan atas rencana audit tahunan
3. Persetujuan atas pengangkatan dan pemberhentian pimpinan fungsi audit internal
4. Persetujuan atas penggajian dari pimpinan fungsi audit internal.
B. Pelaporan administrative adalah hubungan pelaporan kepada siapa fungsi audit internal
mendapatkan dukungan administrative untuk menjalankan aktivitas sehari-harinya, seperti:
1. Pelaporan pelaksaan anggaran dan pencatatan akuntasi
2. Pelaporan yang berkaitan dengan administrasi kepegawaian
3. Pelaporan yang berkaitan dengan komunikasi internasional. Serta pelaporan yang
bersangkutan dengan masalah proses internal.10
Masalah pelaporan sangat berpengaruh terhadap indepedensi efektifitas operasi fungsi audit
internal. Oleh sebab itu pimpinan fungsi auditor internal harus menelaah secara serius pada pelaporan
tersebut, dan apabilas diperlukan dapat diangkat tingkat yang lebih jauh misalnya sampai kekomite
audit. Kompleksitas usaha dan lingkungan audit internal sangat beragam, tentunya tidak aka nada satu
model pelaporan yang ideal. Untuk itu pimpinan fungsi audit internal harus menggunakan kecermatan
profesinya untuk menentukan garis pelaporan audit internal.
Laporan tersebut harus menyakan kepatuhan fungsi audit internal terhadao charter audit dan
standar lain yang berlaku, dan harus memuat rekomendasi peningkatan. Laporan harus ditujukan
10 Drs. Amin Widjaja Tunggal, THE INTERNAL AUDITING HANDBOOK, (Harvarindo, 2012), h.65

kepada orang atau organisasi yang meminta dilakukannya penilaian penanggung jawab fungsi audit
internal harus menyiapkan rencana tindakan tertulis, sebagai tanggapan atas rekomendasi dan
komentar yang penting yang terdapat dalam laporan penilaian eksternal.
Format Laporan Pengawasan Sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali, DPS harus
melaporkan hasil pengawasan kepada BI, DSN, Direksi dan Komisaris. DPS dalam menyampaikan
laporannya menggunakan kertas kerja yang sudah disiapkan forumnya oleh BI.
C. Tata Cara Pelaporan
Dewan Pengawas Syariah harus menyampaikan laporan ke LKS Indonesia, DSN, Direksi dan
Komisaris sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan sekali dengan menggunakan format
sebagaimana telah ditetapkan dalam Lampiran 1 buku Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata
Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah. Laporan hasil pengawasan DPS
memuat antara lain:
a. Hasil pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan fatwa DSN -MUI.
Laporan ini memuat pendapat DPS mengenai pelaksanaan produk dan jasa yang sudah
dikeluarkan oleh LKS apakah sudah sesuai dengan fatwa DSN MUI yang
berlaku, dan apakah produk dan jasa yang dikeluarkan oleh LKS telah mendapat
izin dari LKS Indonesia. Dalam laporan tersebut perlu dijelaskan produk dan jasa
yang dimaksud.11
b. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh LKS.
Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat apakah pedoman operasional dan
pedoman produk yang disusun oleh LKS telah sesuai dengan fatwa yang berlaku.
Opini syariah secara keseluruhan atas pelaksanaan operasional LKS dalam laporan
publikasi LKS. Dalam hal ini DPS harus mengeluarkan pendapat yang menyatakan
apakah secara keseluruhan kegiatan operasional LKS telah sesuai dengan prinsip syariah.

11 Mulyadi, Auditing,( Jakarta: Salemba Empat, 2002), h. 409

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap
prinsip syariah dalam kegiatan usaha lembaga keuangan syariah. Dalam menjalankan fungsinya, DPS
bertindak secara independen. Setiap lembaga keuangan yang mengelola kegiatannya berdasarkan
prinsip syariah harus memiliki DPS yang anggotanya sedikitnya terdiri dari 2 (dua) orang.
Hal ini sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundangan (UndangUndang Perbankan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Perkoperasian, UndangUndang Lembaga Keuangan Mikro). Adapun mengenai pedoman pengawasan maupun tata cara
penyampaian laporan hasil pengawasan telah diatur dalam Surat Edaran No. 8/19/DPBS tanggal 24
Agustus 2006 Perihal Pedoman Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi
DPS.
Tata Cara Pelaporan Dewan Pengawas Syariah harus menyampaikan laporan ke LKS Indonesia,
DSN, Direksi dan Komisaris sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan sekali dengan
menggunakan

format

sebagaimana

telah

ditetapkan

dalam

Lampiran

buku Pedoman

Pengawasan Syariah dan Tata Cara Pelaporan Hasil Pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah.
Laporan hasil pengawasan DPS memuat antara lain:
a. Hasil pelaksanaan atas kesesuaian produk dan jasa dengan fatwa DSN -MUI.
b. Opini syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh LKS. Dalam hal
ini DPS harus mengeluarkan pendapat apakah pedoman operasional dan pedoman produk
yang disusun oleh LKS telah sesuai dengan fatwa yang berlaku.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada
saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.

Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami adalah
hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: AMP YKPN, 2002.
Amin, Manajemen Pengawasan, Indonesia: Ciputat, 2006.
Choirul Anwar, Mekanisme Pengawasan Dewan Pengawas Syariah, Surakarta: UNS, 2010.
Drs. Amin widjaja Tunggal, Memahami Internal dan Operational Auditing, Harvarindo, 2015.
Drs.Amin Widjaja Tunggal, Pokok-Pokok Auditing dan Jasa Asuransi, Harvarindo, 2013.
Drs. Amin Widjaja Tunggal, The Internal Auditing Handbook, Harvarindo, 2012.
Mulyadi, Auditing, Jakarta: Salemba Empat, 2002.

Anda mungkin juga menyukai