Anda di halaman 1dari 14

GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERBANKAN

SYARIAH
Tugas makalah:
Diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Perbankan Syariah
Semester II (Dua) Kelas Khusus
Dosen Pengampu:
Dani Atmaja, S. E. I., M. E

Oleh:

1. Anggi Anggraeni (2060206011)

2. Eka Indarsari (2060206015)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BATURAJA
TAHUN AJARAN 2021/2022
BAB I
GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERBANKAN
SYARIAH

A. Pengertian Good Corporate Governance


Secara umum Corporate governance (CG) terkait dengan sistem dan mekanisme
hubungan yang mengatur dan menciptakan insentif yang pas di antara para pihak yang
mempunyai kepentingan pada suatu perusahaan agar perusahaan dimaksud dapat
mencapai tujuan-tujuan usahanya secara optimal. Good Corporate Governance (GCG)
berarti permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan yang ecara konseptual
mencangkup diaplikasikannya prinsip-prinsip ransparancy, accountability, fairness dan
responsibility.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/
PBI/2009 Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah, disebutkan bahwa good corporate governance adalah suatu
tata kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy),
akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban (responsibility), profesional
(profesional) dan kewajaran (fairness).
Governance pada lembaga keuangan, khususnya bank memiliki keunikan
tersendiri di bandingkan dengan governance pada lembaga keuangan non- bank. Hal ini
lebih disebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok stake holders yang
kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Namun, keberadaan kelompok deposan
pada perbankan konvensional tidaklah terlalu banyak memengaruhi struktur
governance bank. Alasannya adalah: pertama, secara akad bank telah menetapkan
jaminan untuk membayar penuh simpanan nasabah; kedua, penerapan skema penjamina
baik oleh lembaga penjamin simpanan maupun pemerintah; Rers penerapan secara
ketat sejumlah rambu-rambu dalam bentuk ketentua kehati-hatian perbankan oleh
otoritas pengawasan perbankan. Faktor- faktor inilah yang melindungi kepentingan
nasabah deposan terhadap kepentingan stakeholder lainnya dalam bank, sehingga
mengurangi desakan para deposan bank.
Adapun beberapa prinsip Islam yang trendukung bagi terlaksara CCC perlunya
struktur governance yang khusus untuk melindungi kepentingan atau tata kelola didunia
perbankan adalah prinsip-prinsip syariah, Prinsip syariah tersebut merupakan bagian
dari sistem syariah. Pelaksanaan sistem syariah pada perbankan syariah dapat dilihat

2
dari 2 (dua) perspektif yaitu perspektif mikro dan makro. Nilai-nilai syariah dalam
perspektif mikro nenghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem
pertankan svariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati, nilai-ilai itu
meliputi:
1. Shiddiq
Memastikan bahwa pengelolaann Bank Syariah dilakukan dengan Hob moralitas
bahwa pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan mengedepankan
cara-cara yang diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan
(subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram).
2. Tabligh
Secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat
mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah.
3. Amanah
Menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana
yang diperoleh dari pemilik dana (shahibul maal) sehingga timbul rasa saling
percaya antara pihak pemilik dana dan pihak pengelola dana investasi
(mudharib).
4. Fathanah
Memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan secara profesional dan kompetitif
sehingga menghasilkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang
ditetapkan oleh bank. Termasuk di dalamnya adalah pelayanan yang penuh
dengan kecermatan dan kesantunan (ri'ayah) serta penuh rasa tanggung jawab
(mas'uliyah).
Dalam perspektif makro, nilai-nilai syariah menghendaki perbankan memenuhi
hal-hal sebagai berikut:
1. Kaidah Zakat, mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai
berinvestasi dibandingkan hanya menyimpan hartanya. Hal ini dimungkinkan
karena zakat untuk investasi dikenakan hanya nad hasil investasi sedangkan zakat
bagi harta simpanan dikenakan atas pokoknya;
2. Kaidah pelarangan riba, menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil (equity
based financing) dan melarang riba. Diharapkan produk-produk non riba ini akan
mendorong terbentuknya kecenderungan masyarakat untuk tidak bersikap
memastikan dan bergeser ke arah sikap berani menghadapi risiko;
3. Kaidah pelarangan judi atau maisir tercermin dari kegiatan bank yang melarang

3
investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini akan
membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi di dalam
aktivitas investasinya.
4. Kaidah pelarangan gharar(uncertainty), mengutamakan transparansi dalam
bertransaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan.
Kedua perspektif tersebut mencerminkan nilai-nilai syariah pada Perbankan
Syariah. Nilai-nilai tersebut juga menjadi karakteristik yang khas pada Bank Syariah.
Menurut Warkum Sumitro, ciri-ciri yang terdapat dalam Bank Syariah adalah sebagai
berikut:
1. Beban biaya yang disepakati bersama pada waktu akad perjanjian diwujudkan
dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku (tidak rigid) dan dapat
dilakukan dengan kebebasan untuk tawar- menawar dalam batas wajar.
2. Penggunaan persentase dalam hal kewajiban untük melakukan pembayaran selalu
dihindarkan, karena persentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas
waktu perjanjian telah berakhir. Sistem persentase memungkinkan beban bunga
semakin tinggi apabila nasabah terlambat membayar beban bunga tersebut.
3. Dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek (project financing), Bank Syariah
tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti (fixed return)
yang ditetapkan di muka.
4. Pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito atau tabungan, oleh
penyimpan dianggap sebagai titipan (al-wadiah) sedangkan bagi Bank Syariah
dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-
proyek yang dibiayai oleh Bank Syariah. Proyek-proyek yang dibiayai tersebut
beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.
5. Bank Syariah tidak menerapkan jual-beli atau sewa-menyewa uang dari mata
uang yang sama. Mata uang yang sama tidak dapat dipakai sebagai barang
(komoditi). Oleh karena itu, Bank Syariah dalam memberikan pinjaman tidak
dalam bentuk tunai, tetapi dalam bentuk pembiayaan pengadaan barang.
6. Adanya DPS yang bertugas untuk mengawasi operasionalisasi Bank Syariah dari
sudut syariahnya.
IICG (Indonesian Institute for corporate Governace) mendefisinisikan corporate
governance merupakan proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan
perusahaan dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan memperhatikan kepentingan stakholders lainnya. Stakeholders lainnya

4
adalah pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan yaitu kreditor, pemasok,
pelanggan pegawai,pemerintah danmasyarakat.
Blair (1995) dan Gelauff (1997) menyimpulkan bahwa stakeholders dalam
korporasi adalah pemegang saham, dewandireksi,menajer karyawan, konsumen,
pemasok, dan pesaing. Untuk itu Corporate Governance menjelaskan hubungan antara
pemasok modal dan peminjam dana kepada perusahaan beserta manajemennya.
Dari pengertian diatas, maka Prinsi-prinsip good corporate governance yang
dikembangkan OECD meliputi 5 hal sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham. Kerangka yang dibangun
dalam corporate governance harus mampu melindungi hak-hak para pemegang
saham. Hak-hak tersebut meliputi hakhak dasar pemegang saham, yaitu hak
untuk:
1) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan,
2) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya,
3) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan
teratur,
4) ikut berperan dan memberikan suara dalam RUPS,
5) memilih anggota dewan komisaris dan direksi,serta
6) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.
2. Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham. Kerangka corporate
governance harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh
pemegangsaham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh
pemegang saham harus memiliki kesempatan untuk mendapatkan penggantian
atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga
mensyaratkan adanya perlakuanyang sama atas saham-saham yang berada dalam
satu kelas, melarang praktek-praktek insider trading dan selfdealing, dan
mengharus kananggota dewan komisaris untuk melakukan keterbukaan jika
menemukan transaksi-transaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict
ofinterest).
3. Peranan stake holder yang terkait dengan perusahaan. Kerangka corporate
governance harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak stake holders, seperti
ditentukan dalam undang-undang, dan mendorong Kerjasama yang aktif antara
perusahaan dengan para stake holders tersebut dalam rangka menciptakan
kesejahteraan, lapangan kerja,dan kesinambungan usaha.

5
4. Keterbukaan dan Transparansi.Kerangka corporate governance harus menjamin
adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan
yang berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi
mengenai keadaan keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan, dan pengelolaan
perusahaan. Disampingitu, informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit,
dan disajikan sesuai dengan standar yang berkualitas tinggi. Manajemen juga
diharuskan meminta auditor eksternal melakukan audit yang bersifat independent
atas laporan keuangan.
5. Akuntabilitas dewan komisaris (board of directors). Kerangka corporate
governance harus menjamin adanya pedoman strategis perusahaan, pemantauan
yang efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris, dan
akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.
6. TanggungJawabDewanPengurus.
Adapun pengertian GCG menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank
Indonesia No.8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi
Bank Umum, GCG adalah tata Kelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip
keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Pada bagian penjelasan umum peraturan ini dikemukakan sebagai berikut:
1. Transparansi (transparency) adalah keterbukaan dalam mengemukakan informasi
yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan.
2. Akuntabilitas (accountability) adalah kejelasan fungsi dan pertanggung jawaban
bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Pertanggung jawaban
(responsibility) adalah kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang
sehat. Independensi (independency) yaitu pengelolaan secara profesional tanpa
pengaruh atau tekanan dari pihak manapun.
3. Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak
stake holders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

B. Urgensi Penerapan Prinsip Good Corporate Governance dalam praktik

6
perbankan syariah
Secara yuridis Bank Syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak
(stakeholders), yaitu nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank
koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan,
sehingga penerapan GCG merupakan suatu kebutuhan bagi setiap bank syariah.
Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban bank syariah kepada
masyarakat bahwa suatu bank syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati
(prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder's
value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.
Dalam realitasnya ada beberapa hal yang sering kali dilakukan oleh pemegang
saham (shareholders) yang bertentangan dengan prinsip GCG. Tindakan-tindakan dari
pemegang saham itu antara lain:
1. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan
pribadi.
2. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum
yang diilakukan oleh perseroan.
3. Pemegang saham yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
perseroan.
Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip GCG sangat penting (urgen) untuk
diterapkan dalam operasional perusahaan. Lebih-lebih perusahaan yang bergerak di
bidang perbankan, karena dalam operasional bank pihak bankir dituntut untuk selalu
melaksanakan prinsip kehati- hatian bank (prudential principle) dalam memberikan jasa
keuangan kepada masyarakat. Hal ini sangat mungkin mengingat bank sebagai institusi
yang telah diatur sedemikian kompleksnya (the most regulated industry in the world).
Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan
penilaian dan penindakan terhadap pelaksanaan GCG Bank.

C. Pelaksanaan Good Corporate Governance dalam Perbankan Syariah


Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit usaha syariah

7
disebutkan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate
Governance dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang
organisasi. Pelaksanaan prinsip-prinsip good corporate governance oleh sebuah bank
dibagi dalam dua golongan, yaitu bank umum syariah dan unit usaha Syariah. Dalam
pelaksanaan GCG bagi BUS paling kurang harus diwujudkan dalam:
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi.
2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian intern Bank Umum Syariah;
3. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah;
4. Penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern.
5. Batas maksimum penyaluran dana; dan
6. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS;
Selanjutnya pelaksanaan GCG bagi Unit Usaha Syariah paling kurang harus
diwujudkan dalam:
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
2. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah;
3. Penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh
deposan inti; dan
4. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.
Sebelum diundangkannya PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, ada
beberapa prinsip GCG yang diharapkan diterapkan di dunia perbankan adalah prinsip-
prinsip sebagaimana yang diatur dalam PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum,
yaitu:
1. Kepemilikan bank oleh badan hukum Indonesia setinggi-tingginya sebesar modal
sendiri bersih badan hukum yang bersangkutan, yang wajib dipenuhi pada saat
badan hukum yang bersangkutan melakukan penyetoran modal untuk pendirian
Bank atau pada saat badan nukue yang bersangkutan melakukan penambahan
modal disetor Bank.
2. Pemegang saham pengendali wajib memenuhi persyaratan bahwa yang
bersangkutan bersedia untuk mengatasi kesulitan permodalan dan likuiditas yang
dihadapi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya (Comfort Letter).
3. Bilamana benturan kepentingan terjadi, anggota Dewan Komisaris, Anggota
Direksi, Pejabat Eksekutif dan Pemimpin Kantor Cabang dilarang mengambil

8
tindakan yang dapat merugikan Bank (dalam hal ini termasuk mengurangi
keuntungan Bank) dan wajib mengungkapkan benturan kepentingan dimaksud
dalam setiap keputusan.
4. Adanya larangan merangkap jabatan bagi anggota dewan Komisaris dan anggota
Direksi.
5. Mayoritas anggota Direksi wajib berpengalaman dalam operasional bank
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pejabat Eksekutif pada bank, dan
dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk
bersama dengan sesama anggota Direksi atau anggota dewan Komisaris; serta
Direktur Utama wajib berasal dari pihak yang independen terhadap Pemegang
Saham Pengendali.
6. Anggota Direksi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dilarang memiliki
saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada suatu
perusahaan lain; dan
7. Anggota direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang
mengakibatkan pengalihan tugas dan wewenang tanpa batas.
8. Pelanggaran atas ketentuan kewajiban menyampaikan comfortletter, benturan
kepentingan, larangan perangkapan jabatan komisaris dan larangan bagi Direksi
sebagaimana tersebut di atas, Bank dapat dikenakan sanksi administratif sesuai
Pasal 52 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 10 Tahun 1998.
Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk pembentukan GCG pada bank
Syariah antara lain; (1) sistem pengendalian intern; (2) manajemen risiko; (3) ketentuan
Tang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi; (4) sistem Auntansi; (5)
mekanisme jaminan kepatuhan syariah; (6) audit ekstern. Keenam perangkat tersebut di
atas pada dasarnya berlaku bagi semua bank baik bank konvensional maupun bank
syariah. Adapun yang membedakannya adalah bahwa di bank syariah perlu adanya
perangkat yang dapat menjamin kepatuhan kepada nilai-nilai dan aturan syariah. Hal
demikian tidak dijumpai dalam sistem perbankan konvensional.
Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh hant paling tidak
terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:
1. Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement) dari
otoritas fatwa dalam hal ini DSN-MUI dalam bei menentukan kehalalan atau
kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syariah.

9
2. Perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan
bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan.
Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya
ahli yang memiliki pemahaman ilmu figh dan syariah serta sekaligus memiliki
pengetahuan perbankan yang memadai.
Untuk melihat pelaksanaan prinsip good corporate governance di bank syariah,
kita dapat melakukan studi kasus terhadap salah satu bank yang memberikan layanan
syariah melalui islamic window, yaitu Bank Nasional Indonesia 46 (BNI 46). Dalam
situs resmi www.bni.co.id dikemukakan bahwa implementasi prinsip-prinsip good
corporate governance adalah dalam bentuk internal control dalam managemen BNI dan
kewenangan internat Auditor yang memadai (proper) dalam mengawal kaidah-kaidah
good corporate governance.
Internal control BNI atau Satuan Kerja Audit Internal (SKAI) bertanggung jawab
melakukan pemeriksaan secara independen atas segenap unt operasional BNI, sehingga
internal control BNI memiliki cukup keleluasaa dalam mengawal kaidah-kaidah GCG
pada segenap unit operasional bia SKAI bekerja berdasarkan suatu rencana audit
tahunan yang sebelumnye telah disetujui Komite Audit. Hasil temuan SKAI dilaporkan
langsung kepae melaporkan hasil-hasil tersebut kepada Komisaris berserta rekomendas
untuk tindak lanjutnya. Selanjutnya, Komisaris akan nengonfirmasi apakah manajemen
telah mengambil langkah-langkah seperlunya dan memadai atas hasil temuan audit.
Selain internal auditor atau Satuan Pengawas Internal, divisi yang juga seperlunya
dan memadai atas hasil temuan audit. dibentuk sebagai amanah good corporate
governance adalah corporate secretary. Dalam konteks BNI divisi ini dapat mendorong
terciptanya good corporate governance. Corporate Secretary BNI berfungsi sebagai
penghubung antara ONI dengan otoritas pasar modal, komunitas pemodal dan
masyarakat umum. Corporate Secretary bertanggung jawab untuk menyediakan dan
menyampaikan informasi yang penting mengenai BNI kepada masyarakat umum
maupun kepentingan hubungan investor, serta bertanggung atas kepatuhan peraturan
perundang-undangan, terutama di bidang Pasar Modal.
Dalam aspek pengungkapan informasi, BNI telah meningkatkan akses para
stakeholder terhadap seluruh informasi yang memiliki dampak material terhadap BNI,
termasuk laporan keuangan triwulanan, laporan tahunan, informasi mengenai
penggunaan dana hasil corporate action, informasi yang dapat memengaruhi keputusan
berinvestasi pemodal, hasil-hasil RUPS serta peristiwa penting lainnya yang

10
menyangkut BNI, baik melalui situs web BNI, laporan ke Bapepam, bursa saham,
media massa, paparan publik maupun temu analis. Sejalan dengan perlunya BNI
memiliki unit yang khusus menangani masalah GCG, maka fungsi Corporate Secretary
mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2005 dengan dibentuknya unit
Hukum & Pemantauan GCG.
Corporate governance merupakan suatu konsepsi yang secara riil dijabarkan
dalambentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma, dan
etika yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadopsi oleh pelaku industri, serta
lembaga-lembagayang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong
disiplin, mengatasi dampakmoral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance.
Adapun sejumlah perangkat dasaryang diperlukan dalam pembentukan good corporate
governance pada bank syariah antaralain:
1. Sistempengendalianintern;
2. Manajemenrisiko;
3. Ketentuan yangmengarahpadapeningkatanketerbukaaninformasi;
4. Sisteminformasi;
5. Mekanismejaminankepatuhansyariah;
6. Auditeksternal.
Keenam perangkat tersebut di atas pada dasarnya berlaku bagi semua bank,
baikkonvensional maupun bank syariah.
Demikian sekilas pelaksanaan prinsip GCG di bank syariah. Dalam ketentuan
Pasal 63 PBI No. PBI No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate
Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah disebutkan bahwa Bank
wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Good Corporate Governance kepada Bank
Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen ndonesia (YLKI), Lembaga pemeringkat di
Indonesia, Perhimpunan Bank- Bank Umum Nasional, 1 (satu) lembaga penelitian di
bidang ekonomi dan keuangan, serta 1 (satu) majalah ekonomi dan keuangan paling
lambat 3 tuga) bulan setelah tahun buku berakhir. Di samping itu, seiring dengan
Kemajuan teknologi di bidang informasi bank dapat mempublikasikan aporan
pelaksanaan GCG melalui web site bank yang bersangkutan.

D. Rekomendasi Pelaksanaan GCG di Lingkungan perbankan Syariah

11
Satu penyebab dari lemahnya implementasi prinsip GCC di Indonesia adalah
berkenaan dengan penegakan hukum (law enforcement) Indonesia tidak kekurangan
dalam hal produk hukum. Secara impilisi ketentuan-ketentuan mengenai GCG telah ada
tersebar dalam UUPT, undang-undang dan peraturan perbankan, Undang-undang Pasar
Modal dan lain-lain. Namun penegakannya oleh pemegang otoritas, seperi Bank
Indonesia, Bapepam, BPPN, Kementrian Keuangan, BUMN, bahkan pengadilan sangat
lemah. Oleh karena itu, diperlukan test case atau kasus preseden untuk membiasakan
proses, baik yang yudisial maupun quasi-yudisial dalam menyelesaikan praktik-praktik
pelanggaran hukum perusahaan atau GCG. Pelanggaran yang biasa dilakukan adalah
dalam hal fiduciary duties atau berkenaan dengan Piercing the Corporate Veil.
GCG harus mewujud dalam praktik kegiatan bisnis sebagai hukum modern
sebagaimana diidentifikasi Max Weber, yakni menjadi hukum yang (1) memiliki
kualitas normatif yang umum dan relatif abstrak; (2) yang merupakan hasil keputusan-
keputusan yang diambil secara sadar (hukum "positif"); (3) diperkuat oleh kekuasaan
yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi yang diberikan dengan sengaja, yang
dikaitkan dengan aturan-aturan yang dapat diberlakukar melalui pengadilan; (4)
sistematis; dan (5) sekular.
Implementasi GCG pada Bank Syariah juga akan dikawal oleh lembaga-lembaga
lain, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dan terakhir adanya perluasan
kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal kewenangan mengadili
sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Adapun tantangan yang mungkin muncul di depan terkait
dengan implementasi GCG pada bank syariah antara lain perlunya penyempurnaan
regulasi dan panduan Best Practise dan pembentukan lembaga terkait dalam mendorong
GCG, antara lain pembentukan Islamic Rating Agency dan Lembaga/Forum Informasi,
pengefektifan fungsi Otoritas Fatwa Perbankan Syariah Nasional, pembentukan Auditor
Syariah Resmi, pemberdayaan Lembaga Arbitrase Syariah, pembentukan Lembaga
Riset dan Training, serta optimalisasi Pasar Keuangan, Pasar Modal Syariah dan
Lembaga Sekuritisasi.
Di samping itu, juga perlu ditempuh upaya pengembangan dan pengadopsian
nilai-nilai syariah dan kode etik (code of conduct) perbankan syariah, melakukan
edukasi publik dalam rangka mendorong consumer edvocacy dan meningkatkan market

12
discipline, serta melakukan pengembangan sistem dan mekanisme pengawasan syariah
yang efektif. Melalui cara-cara tersebut tata kelola bank syariah akan dapat
dilaksanakan dengan sebaik- baiknya.

BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan demikian pelaksanaan prinsip GCG dalam perbankan syariah iarus
mengacu pada ketentuan hukum positif yang ada, yang di samping itu juga harus
mengaplikasikan prinsip-prinsip syariah. Sehingga endingnya didapatkan tata kelola
bank yang selain dapat memberikan keuntungan bagi para stakeholders dengan tetap
berjalan di atas rel/koridor syariah.

B. Saran
Dalam penyajian materi dalam makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kelemahan baik dari struktur penulisan maupun penyajian materinya.
Karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak. Dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mal An. 2019. Corporate Governance Perbankan Syariah Di Indonesia.


Jakarta: Arruz Media.
Agustianto, Good Corporate Governance pada Bank Syariah. Artikel diakses pada
16 Maret 2021 dari http://agustianto.wordpress.com45
Armaini, Akhirson dan Framudyo Jati. 2009. “Effect of Stucture on The
Performance of Corporate Governance of Listed Companiesin Manufacturing
Indonesia Stock Exchange”. PapersGunadharma.ac.id.
Asytuti, Rinda. 2010. Implementasi CG di Lembaga Keuangan Syariah. Artikel
diakses pada 16 Maret 2021 dari www.rindaasytuti.blogspot.com.
Utomo, Dr. H. Setiawan Budi Dan Khotibul Umam, S.H., Ll.M., 2019. Perbankan
Syariah: dasar-dasar dan perkembangannya di Indonesia. Depok: Pt.
Rajagrafindo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai