Anda di halaman 1dari 3

Tiga Level Kecerdasan Digital dan Fenomena ChatGPT

Sebagai organisasi yang bergerak dalam ranah sosial, pendidikan, kesehatan, dan
keagamaan, ‘Aisyiyah turut merespons dan mengkatalisasi transformasi teknologi yang kini
menjadi acuan masyarakat dalam mengaplikasikan daily activity termasuk komunikasi
masyarakat melalui media digital.
‘Aisyiyah, sebagai inisiator dalam Webinar yang bertajuk “Literasi Digital dalam
Kerangka Kewargaan Digital”, mengajak kita untuk mengetahui tranformatif teknologi yang
impact-nya kian meluas dalam fungsi praktis kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dilakukan agar
masyarakat pada umumnya diharapkan memahami teknologi beserta kebaharuannya serta
mampu menggunakannya demi orientasi yang produktif dan kreatif.
Ismail Fahmi, selaku Director PT.Media Kernels Indonesia (Drone Emprit) dan Dosen
Universitas Islam Indonesia, dalam webinar tersebut menyampaikan bahwa tools dalam
teknologi saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa, dan aksesnya terbuka lebar
sehingga masyarakat umum bisa mengaksesnya dengan mudah. Misalnya dengan maraknya
tools AI seperti ChatGPT.
Fenomena ChatGPT
Fenomena ChatGPT akhir-akhir ini dianggap menjadi alternatif yang solutif ketika
seseorang ingin mencari jawaban naratif dalam berbagai urusan dalam waktu singkat. Misalnya
ketika kita ingin sesegera mungkin mencari referensi atau pendapat para tokoh untuk bab II
skripsi kita, maka solusinya bisa mencari melalui ChatGPT, dan ChatGPT tersebut dengan cepat
mengakumulasi referensi dari berbagai sumber secara cepat dan terukur.
Bahkan ChatGPT mampu memberikan analisanya kepada kita terkait nuansa implisit
dalam bahasa kritik seseorang. Sesuatu yang menyenangkan dan layak untuk kita pertimbangkan
agar mengetahui netralitas pikiran atau bahasa seseorang dalam dunia digital. Kendati proses
yang instan tersebut, Ismail Fahmi mengutip bahasa visionernya Elon Musk, bahwa bertaburnya
AI dalam beberapa situs justru membahayakan manusia, tepatnya membuat manusia menjadi
mindless.
Dalam merespons kaitannya dengan fitur-fitur AI dan risiko negatifnya ke depan serta
algoritma teknologi secara umum, Ismail Fahmi menjabar tiga level kecerdasan digital supaya
masyarakat—baik itu mulai dari anak-anak yang kini sudah bias tabiat teknologinya, hingga
masyarakat dewasa secara umum—memiliki tingkat manajerial yang tepat dalam penggunaan
teknologi.
Tiga Level Kecerdasan Digital
Digital Citizenship, adalah tentang bagaimana kita menjadi warga digital yang bisa
menggunakan internet atau teknologi pada umumnya. Bisa menggunakan dalam arti penggunaan
praktikal yang outputnya menghasilkan sesuatu yang baik dan produktif. Produktif dan baik itu
dua elemen untuk membentuk value, dan dua-duanya harus dilakukan secara dialektis. Produktif
saja, tapi tidak baik, tidak ada gunanya. Sebaliknya, kalau latihan design di internet kalau tidak
produktif, maka value yang akan didapat tentu relatif. Selain itu, kebijaksanaan dalam
penggunaan teknologi diperlukan dalam entitas sosial digital.
Misalnya, bagaimana kita harus bijak mengelola antara ruang privat dan ruang publik,
sehingga aktivasi keduanya tidak mengalami polarisasi. Kebanyakan pengguna media digital
sekarang, khususnya di Indonesia, tidak bisa membedakan antara ruang privat dan ruang publik.
Substansi obrolan privat antara keluarga, suami dan istri itu sama sakralnya dengan dokumen
rahasia yang dihimpun Badan Intelijen Negara yang lazimnya tidak boleh untuk diumbar di
ruang media sosial yang memiliki jangkauan publik yang luas, bahkan tidak terbatas.
Digital Creativity, yaitu tahap di mana daya eksplorasi kita sudah mulai meluas dan
mendalam dalam memahami seluk-beluk teknologi. Sehingga kita sudah tidak pada tahap
pengenalan dan pembedaan baik dan buruk terhadap anasir teknologi, tapi sudah pada tahap
mengkreasikan teknologi demi menghasilkan suatu karya, atau istilahnya “turn ideas into
reality”. Misalnya, content creator atau para developer teknologi, mereka adalah aplikator yang
sudah berada pada tahap digital creativity.
Digital Competitiveness, yakni level di mana “the ability to solve global challenges, to
innovate, and to create new opportunities in the digital economy by driving entrepreneurship,
jobs, growth, and impact”. Sederhananya, kita menggunakan teknologi dengan orientasi untuk
mendapatkan uang.
Ismail Fahmi mengatakan bahwa upaya mengelaborasi literasi digital harus jelas
tujuannya. Kalau masih sekadar untuk mencapai digital citizenship, itu sebetulnya tidak bisa
disebut sebagai tujuan, tapi sebagai input dasar. Jadi, kalau input dasarnya sudah beres, maka
outputnya adalah kreativitas dan potensial sampai kompetitif.
Belajar dari Negara-Negara Skandinavia
Melihat bagaimana negara-negara Skandinavia yang menduduki peringkat atas dalam
media literasinya, membuat kita merasa perlu untuk meniru metode-metode mereka. Misalnya
Negara Finlandia yang berada pada peringkat paling atas, disusul dengan Denmark, Belanda dan
Swedia yang berada di bawahnya.
Kenapa mereka menduduki peringkat teratas? Menurut Ismail Fahmi, karena ada
serangan disinformasi dari Rusia. Bahwa karena merasa ada tekanan dari luar, maka mereka
menciptakan metode defensive dalam penguatan literasi salah satunya melalui sekolah. Dan
metode paling bagus adalah bagaimana menciptakan kesadaran yang berujung pada kecanduan
akademik secara kolektif. Tidak hanya elemen tertentu yang dianggap punya otoritas dan
kapasitas dalam mengelola informasi faktual atau fiktif, melainkan warganya juga dioptimalkan
untuk bisa secerdas mungkin dalam segi literasi.
Dan satu satire pamungkas dari Ismail Fahmi, Ia mengatakan bahwa dalam menerapkan
literasi digital sehingga masyarakat Indonesia mencapai level digital creative hingga competitive,
tidak bisa jika hanya dilakukan satu kali-dua kali webinar saja, melainkan kontinuatif dan
terstruktur.

Anda mungkin juga menyukai