Anda di halaman 1dari 14

PEMENUHAN TERHADAP HAK ATAS KEBEBASAN INFORMASI

BERDASARKAN KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL


DAN POLITIK (STUDI KASUS PUTUSAN PTUN JAKARTA NOMOR
230/G/TF/2019/PTUN-JKT TAHUN 2019 TENTANG PEMBLOKIRAN AKSES
INTERNET DI PROVINSI PAPUA DAN PAPUA BARAT

ABSTRAK

Hak atas kebebasan informasi merupakan hak untuk mencari, memperoleh,


mengolah, dan menyebarkan informasi. Terkait hak tersebut, adanya penerapan
pemblokiran akses internet di provinsi Papua dan Papua Barat yang diberlakukan
oleh Kominfo menyebabkan hak tersebut menjadi terganggu pelaksanaannya.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah: bagaimanakah indakan
pemblokiran akses internet oleh pemerintah di Papua dan Papua Barat menurut
Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT; apakah Putusan PTUN
Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT menyatakan bahwa tindakan
pemblokiran akses internet oleh pemerintah di Papua dan Papua Barat merupakan
pelanggaran terhadap hak atas kebebasan informasi. Skripsi ini merupakan
penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, data yang digunakan
adalah data sekunder, analisis data dilakukan secara kualitatif dan penarikan
kesimpulan secara induktif. Kesimpulan skripsi ini adalah: pemblokiran akses
internet di Papua dan Papua Barat adalah tidak dapat dibenarkan dan pemblokiran
akses internet tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan
Informasi.
Kata Kunci: Hak atas Kebebasan Informasi, Hak Asasi Manusia, Pemblokiran
Akses Internet, Kominfo.

A. Pendahuluan
Berdasarkan pada Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia Southeast
Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), selama tahun 2019 telah
terjadi dua kali pemadaman internet di Papua dan Papua Barat yang
dilakukan secara sepihak.1
Pada 19 Agustus 2019, masyarakat Papua dan Papua Barat melakukan
aksi yang merupakan bentuk protes terhadap Tindakan persekusi dan
rasisme yang dilakukan oleh organisasi masyarakat dan oknum aparat

1
SAFENet, Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2019, hal.6.

1
terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya dan Semarang.2 Aksi
tersebut berujung ricuh. Massa di Manokwari, Papua Barat memprotes
perlakuan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat dan aparat terhadap
mahasiswa Papua tersebut dengan membakar ban bekas dan memblokade
jalan dengan ranting pohon di sejumlah ruas jalan di Manokwari.3
Dalam aksi di Manokwari ini, massa membakar Kantor DPRD Papua
Barat, sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat. Selain itu, massa juga
membakar Lapangan Borasi, papan reklame, dan merobohkan tiang lampu
lalu lintas.4 Aksi tersebut juga digelar di Jayapura dan Sorong. 5
Atas terjadinya berbagai aksi yang dilakukan di Papua dan Papua Barat,
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika
sebagai respon terhadap aksi tersebut, melakukan kebijakan pemblokiran
akses internet. Pemblokiran tersebut diberlakukan secara bertahap mulai
dari perlambatan akses yang dimulai pada tanggal 19 Agustus 2019 hingga
pada tanggal 21 Agustus 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Republik Indonesia memutuskan untuk melakukan pemblokiran penuh
terhadap akses internet di Papua dan Papua Barat, dengan tujuan untun
mempercepat proses pemulihan situasi juga mencegah adanya penyebaran
berita-berita bohong (hoaks).6
Pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat tersebut menyebabkan
masyarakat Papua dan Papua Barat mengalami kesulitan untuk
mendapatkan dan mengakses informasi baik dari daerah sendiri maupun

2
Kominfo Blokir Penuh Akses Internet di Papua dan Papua Barat, Sampai Kapan?” (On- line),
tersedia di: https://tekno.kompas.com/read/2019/08/21/20394007/kominfo-blokir- penuh-akses-
internet-di-papua-dan-papua-barat-sampai-kapan (3 Oktober 2020)
3
Kronologi Kerusuhan di Manokwari hingga Pembakaran Gedung DPRD Papua Barat” (On-line),
tersedia di: https://regional.kompas.com/read/2019/08/19/15400661/kronologi- kerusuhan-di-
manokwari-hingga-pembakaran-gedung-dprd-papua-barat?page=all (3 Oktober 2020).
4
Kerusuhan di Papua, Apa yang Terjadi di Manokwari hingga Jayapura?” (On-line), tersedia di:
https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/29/183000065/kerusuhan-di papua-apa-yang-terjadi-
di-manokwari-hingga-jayapura-?page=all (3 Oktober 2020).
5
Selain di Manokwari, Aksi Protes Rasisme Digelar di Jayapura (On-line), tersedia di:
https://nasional.republika.co.id/berita/pwgr6x282/selain-di-manokwari-aksi-protes- rasisme-
digelar-di-jayapura (3 Oktober 2020).
6
Kominfo Blokir Internet di Papua dan Papua Barat (On-line), tersedia di:
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190821193429-199-423539/kominfo-blokir- internet-
di-papua-dan-papua-barat (3 Oktober 2020).

2
dari daerah lain. Selain itu, pembokiran internet juga berdampak pada
berbagai sektor, seperti pada sektor ekonomi, salah satu yang terkena
dampak adalah usaha mikro kecil dan menengah yang berbasis pada
jaringan internet, pada sektor Pendidikan, adanya keterhambatan pelayanan
administrasi registrasi mahasiswa yang mendaftar di Universitas Terbuka
(UT) di Papua akibat adanya pemblokiran internet, serta pada sektor
Kesehatan, layanan BPJS tidak dapat diakses yang disebabkan karena akses
BPJS dan transaksi melalui ATM terputus.7
Negara Indonesia telah mengatur secara tegas dalam Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada pasal 28F,
yang mengatur bahwa negara menjamin hak warga negaranya untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain
itu, di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak atas kebebasan informasi. Di
dalam Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) mengatur
mengenai hak kebebasan menerima dan menyebarkan informasi pada Pasal
19, dan pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
pada Pasal 19 ayat (2) juga mengatur mengenai hak atas kebebasan
informasi, yang dapat dilihat bahwa pemblokiran akses internet yang
diterapkan oleh pemerintah tersebut jelas bertentangan dengan peraturan-
peraturan yang ada, baik peraturan nasional maupun internasional.
Dengan adanya kasus yang terjadi di Papua dan Papua Barat tersebut
yang menjadi bukti bahwa perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan
terhadap hak atas kebebasan menerima dan menyebarkan informasi belum
optimal, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
berikut:

7
Dampak Pemblokiran Internet di Papua Berdampak Luas (On-line), tersedia di:
https://jatimnet.com/dampak-pemblokiran-internet-di-papua-berdampak-luas (31 Desember
2020).

3
“Pemenuhan terhadap Hak atas Kebebasan Informasi berdasarkan
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Studi Kasus
Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT Tahun 2019
tentang Pemblokiran Akses Internet di provinsi Papua dan Papua Barat)”
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan
diteliti adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah tindakan pemblokiran akses internet oleh pemerintah di
Papua dan Papua Barat menurut Putusan PTUN Jakarta Nomor
230/G/TF/2019/PTUN-JKT?
b. Apakah Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
menyatakan bahwa tindakan pemblokiran akses internet oleh
pemerintah di Papua dan Papua Barat merupakan pelanggaran terhadap
hak atas kebebasan informasi?

B. Metode Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis-
normatif, yaitu penelitian hukum yang berbasis pada norma-norma hukum
yang ada dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi
internasional yang terkait dengan kasus.8
Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian
yang memberi gambaran secara lengkap karakteristik atau ciri-ciri dari suatu
keadaan, perilaku pribadi, perilaku kelompok dengan memperoleh data
mengenai hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya. 9
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari studi kepustakaan yang bersumber dari buku-buku, jurnal-jurnal,
dan, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.10 Bahan
hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.11

8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015), hal.51.
9
Ibid., hal.53.
10
Ibid., hal.32.
11
Ibid., hal.52.

4
Adapun pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang
meliputi buku-buku, hasil dari penelitian berwujud laporan, dokumen resmi,
dan seterusnya yang akan digunakan untuk data sekunder dan data primer.
Studi kepustakaan adalah metode yang meneliti berbagai jenis bahan pustaka,
baik literatur maupun dokumen penting lainnya. Sehubungan dengan adanya
pandemi Covid-19 yang tidak memungkinkan penulis untuk mengunjungi
secara terus menerus tempat-tempat yang memiliki sumber tersebut, maka
pengumpulan data ini dilakukan dengan mengunjungi Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia serta membuka website terpercaya yang memiliki sumber-
sumber tersebut.
Metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah tata cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden
penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku yang nyata
yang teliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang menyeluruh.12
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan
menggunakan metode logika induktif, yaitu penalaran yang mempunyai ciri
khas dan terbatas ruang lingkupnya dan kemudian ditarik suatu konklusi yang
bersifat umum.13

C. Analisis mengenai Tindakan Pemblokiran Akses Internet oleh


pemerintah di Papua dan Papua Barat berdasarkan Putusan PTUN
Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT tersebut
menyatakan bahwa pemblokiran akses internet tersebut adalah perbuatan
melanggar hukum. Menurut penulis, putusan majelis hakim PTUN Jakarta
tersebut sudah benar. Karena penerapan pemblokiran akses internet di provinsi

12
Ibid., hal.32
13
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Kencana, 2017) hal.19.

5
Papua dan Papua Barat jelas tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan-
peraturan yang seharusnya.
Awal mula pemerintah menerapkan pemblokiran akses internet dengan
menyebutkan bahwa situasi kericuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat
adalah merupakan keadaan genting/bahaya. Keadaan bahaya sendiri telah
diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1959. Dalam peraturan tersebut, khususnya pada Pasal 2 ayat (2) yang
mengatur bahwa baik pengumuman maupun penghapusan keadaan bahaya
dilakukan oleh Presiden. Menurut Penulis, pemblokiran akses internet di Papua
dan Papua Barat dengan dalih bahwa situasi di Papua dan Papua Barat
merupakan keadaan bahaya adalah tidak tepat, karena tidak ada pernyataan
pengumuman keadaan bahaya dari Presiden.
Selanjutnya, mengenai dasar-dasar hukum yang diajukan oleh Kominfo
dan Presiden dalam penerapan pemblokiran akses internet, yaitu Pasal 1 angka
23 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang kemudian ditegaskan kembali
dengan Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, yang kemudian diperjelas kembali dalam Pasal 1 angka 35
Peraturan Pemerintah Nomor
82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang
pada pokoknya dasar hukum tersebut mengatur mengenai Menteri yang
bertugas dan bertanggung jawab dalam bidang telekomunikasi.
Selanjutnya, penggunaan Pasal 40 ayat (2), (2a), dan ayat (2b) Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Informasi dan Transaksi Elektronik, yang
menurut penulis penggunaan pasal tersebut oleh pemerintah untuk melakukan
pemblokiran akses internet tidaklah tepat. Karena pasal-pasal tersebut pada
intinya mengatur bahwa demi melindungi kepentingan dan ketertiban umum,
pemerintah wajib untuk melakukan pencegahan terhadap tersebarnya
informasi serta dokumen- dokumen elektronik yang bermuatan terlarang, serta
pemerintah berhak untuk memutus akses ataupun menginstruksikan
penyelenggara sistem elektronik agar memutus akses atas informasi-informasi
elektronik serta dokumen-dokumen elektronik yang muatannya melanggar

6
hukum. Penulis melihat bahwa pasal-pasal yang digunakan oleh pemerintah
dalam melakukan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat
tersebut adalah keliru, karena pasal-pasal tersebut pada intinya mengatur
bahwa pemerintah berhak untuk melakukan pemutusan ataupun
memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan
akses, namun yang seharusnya dilakukan pemutusan adalah hanya terhadap
dokumen-dokumen yang bermuatan terlarang, seperti berita-berita hoaks yang
belum jelas kebenarannya dan bersifat provokatif, bukanlah pemutusan akses
internet secara keseluruhan. Hal ini juga dapat dilihat dalam Penjelasan Umum
angka I alinea 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang juga dijadikan
dasar hukum oleh pemerintah dalam menerapkan pemblokiran akses internet.
Dalam penjelasan umum tersebut menyebutkan bahwa pemutusan akses yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka melakukan pencegahan penyebaran
konten-konten yang melanggar hukum adalah hanya terhadap informasi-
informasi dan dokumen yang bermuatan melanggar hukum, dengan tujuan agar
masyarakat Indonesia tidak dapat mengakses informasi serta konten-konten
tersebut, sehingga yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah bukanlah
pemutusan terhadap keseluruhan jaringan internet secara keseluruhan,
melainkan memilah konten-konten tertentu yang bermuatan melanggar hukum
agar tidak dapat diakses oleh masyarakat.
Hal tersebut juga selaras dengan peraturan internasional, yakni Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada pasal 19 ayat (3)
mengatur mengenai pembatasan terhadap hak-hak yang diatur di dalam Pasal
19 ayat (2), yaitu hak atas kebebasan untuk berpendapat, hak atas kebebasan
untuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi. Majelis hakim menilai
bahwa pembatasan terhadap hak atas kebebasan informasi dengan melakukan
pemblokiran akses internet tersebut tidak memenuhi salah satu syarat yang ada,
yaitu syarat bahwa pembatasan terhadap HAM itu memang diperlukan secara
proporsional. Penulis setuju dengan penilaian majelis hakim tersebut. Karena,
meskipun Kominfo dalam melakukan pemblokiran akses internet tersebut
bertujuan untuk menghindari tersebarnya berita hoaks yang bersifat provokatif

7
dan dapat memicu perselisihan serta kericuhan di Papua dan Papua Barat,
pembatasan terhadap hak atas kebebasan informasi yang dilakukan dengan cara
memblokir akses internet di provinsi Papua dan Papua Barat secara
keseluruhan tidak didahulukan dengan pernyataan atau pengumuman keadaan
bahaya oleh Presiden sehingga pemblokiran tersebut memberi dampak kepada
HAM masyarakat yang bukan merupakan oknum dari penyalahgunaan
internet.
Selanjutnya, penerapan pemblokiran akses internet tersebut seharusnya
juga mengacu pada ketentuan yang ada di Pasal 4 ayat (2) Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang pada pokoknya pasal
tersebut mengatur mengenai berbagai hak yang tidak dapat ditunda
pelaksanaannya (non-derogable rights), yaitu hak untuk hidup (diatur dalam
Pasal 6), hak untuk tidak disiksa (diatur dalam Pasal 7), hak untuk tidak
diperbudak dan diperhamba (diatur dalam Pasal 8), hak untuk tidak dipenjara
semata-mata atas dasar ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban
kontrak (diatur dalam Pasal 11), hak untuk tidak dinyatakan bersalah
berdasarkan aturan yang berlaku surut (diatur dalam Pasal 15), hak untuk
diakui sebagai manusia di hadapan hukum (diatur dalam Pasal 16), dan hak
untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama (diatur dalam Pasal 18).
Oleh karena Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik, selain HAM yang diatur di dalam Pasal tersebut, negara
Indonesia diperbolehkan untuk menunda pelaksanaannya, dalam hal ini
khususnya hak atas kebebasan informasi dalam situasi darurat, namun untuk
menerapkan pemblokiran akses internet tersebut tetaplah harus sesuai dengan
ketentuan yang ada di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya dan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

D. Analisis mengenai Pelanggaran terhadap Hak atas Kebebasan


Informasi berdasarkan Putusan PTUN Jakarta Nomor
230/G/TF/2019/PTUN-JKT

8
Adanya pemblokiran terhadap akses internet di Papua dan Papua Barat
tersebut, jelas memberikan dampak terhadap Hak atas Kebebasan Informasi
sebagai HAM sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 28F Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999, serta dalam instrumen HAM Internasional,
khususnya pada Pasal 14 ayat (1) dan (2) dan Pasal 19 ayat (2) Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Internet berperan penting guna
menemukan, mengolah, dan menyebarkan informasi para jurnalis yang pada
saat itu berada di Papua dan Papua Barat, akibat adanya perlambatan dan/atau
pemblokiran akses internet tersebut mengalami kendala dalam memproduksi
karya jurnalistik. Kendala yang dialami oleh jurnalis tersebut berdampak
kepada masyarakat di Papua dan Papua Barat menjadi kesulitan untuk
mengakses informasi karena akses internet yang di blokir tersebut, sehingga
menurut penulis hal ini menjadi bukti jelas bahwa pemblokiran internet di
Papua dan Papua Barat tersebut adalah merupakan pelanggaran terhadap Hak
atas Kebebasan Informasi.
Kerugian akibat pemblokiran akses internet tersebut juga turut memberi
dampak pada masyarakat. Selain berdampak kepada Hak atas Kebebasan
informasi, penulis juga menemukan fakta lain bahwa pemblokiran akses
internet tersebut tidak semata-mata hanya berdampak kepada Hak atas
Kebebasan Informasi saja, melainkan juga berdampak kepada sektor ekonomi.
Dalam media lokal Papua, harian Cendrawasih Pos tanggal 26 Agustus 2019
yang berjudul “Gangguan Internet, 125 Paket Terancam Tidak Bisa Diakses
Tepat Waktu” menyebutkan, di Provinsi Papua ada 125 paket pekerjaan yang
tidak bisa diakses tepat waktu akibat adanya pembatasan akses internet, yang
akibatnya sekitar Rp 700 miliar rupiah terpaksa tertunda dalam proses maupun
penyerapan anggaran.14 Kemudian, masih dalam Cenderawasih Pos, dalam
harian yang berjudul “Harusnya Sosmed yang Diblok Bukan Internet”,

14
Internet Shutdown di Indonesia: Ironi di Zaman Reformasi dan Revolusi 4.0 (On-line), tersedia
di: https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/10/100810565/internet-shutdown-di- indonesia-
ironi-di-zaman-reformasi-dan-revolusi-40?page=all (5 April 2021).

9
Solidaritas Gojek Jayapura (SGJ) menyampaikan keluhannya karena tidak lagi
dapat bekerja karena diputusnya jaringan data internet oleh Kementerian
Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia dengan alasan belum
kondusifnya situasi di Papua,15 yang mengakibatkan para driver Gojek tersebut
kehilangan sumber mata pencaharian.
Lukas Enembe, Gubernur Provinsi Papua menuturkan bahwa akibat dari
pemblokiran akses internet di Provinsi Papua turut memberi dampak pada
bidang pelayanan berbasis elektronik, seperti e-budgeting dan e-planning, serta
rusaknya sejumlah fasilitas yang tersedia di e- government seperti absen
elektronik pegawai.16
Dalam bidang Pendidikan, pemblokiran akses internet juga memberikan
dampak bagi para mahasiswa yang mendaftar di Universitas Terbuka, mereka
terkendala pada saat hendak melakukan registrasi yang memerlukan jaringan
internet.17
Di dalam Putusan PTUN Jakarta tersebut, Majelis Hakim tidak
memberikan tanggung jawab pemerintah secara eksplisit atas pemblokiran
akses internet di Papua dan Papua Barat yang memiliki keterkaitan langsung
dengan hak atas akses informasi. Atas pemblokiran akses internet tersebut,
Majelis Hakim menghukum Kominfo dan Presiden untuk membayar biaya
perkara secara tanggung renteng sebesar Rp.457.000,-

E. Penutup
Pada bagian penutup akan diuraikkan kesimpulan dan saran. Kesimpulan
meliputi: pertama, berdasarkan Putusan PTUN Jakarta Nomor
230/G/TF/2019/PTUN- JKT, maka tindakan pemblokiran akses internet yang
dilakukan oleh pemerintah di provinsi Papua dan Papua Barat tidak dapat
dibenarkan, karena dari tata cara pemblokiran yang diterapkan di provinsi

15
Harusnya Sosmed yang Diblok Bukan Internet (On-line), tersedia di:
http://cenderawasihpos.co.id/harusnya-sosmed-yang-diblok-bukan-internet/ (5 April
2021).
16
Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT.
17
SAFENet: Internet Sutdown di Papua Justru Bisa Meningkatkan Kekerasan (On-line) tersedia
di:

10
Papua dan Papua Barat yang seharusnya mengacu kepada Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang
Keadaan Bahaya, di mana pemerintah dianggap keliru terutama dalam
menafsirkan dasar hukum. Disamping itu juga harus mengacu pada Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi,
khususnya yang mengatur mengenai pembatasan terhadap hak atas kebebasan
informasi yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3).
Kedua, bahwa Putusan PTUN Jakarta Nomor 230/G/TF/2019/PTUN-JKT
menyatakan bahwa tindakan pemblokiran akses internet tersebut merupakan
pelanggaran terhadap hak atas kebebasan informasi. Dampak yang ditimbulkan
dari pemblokiran itu adalah terhalangnya berbagai aktivitas jurnalistik yang
berfungsi sebagai sumber informasi bagi masyarakat Papua untuk
mendapatkan informasi baik dari dalam wilayah Papua dan Papua Barat
maupun dari dunia luar. Selain itu juga berdampak pada hak atas pekerjaan,
hak atas pendidikan, dan juga hak atas pelayanan kesehatan.
Adapun saran dalam artikel ini adalah sebagai berikut: pertama, sebaiknya
pada masa yang akan datang, kebijakan untuk melakukan pemblokiran akses
internet pemerintah terlebih dahulu melakukan pernyataan keadaan bahaya
seperti yang diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, serta
mengacu kepada Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik.
Kedua, karena menimbulkan dampak yang luas dan merugikan banyak
pihak, seyogyanya pemerintah, dalam hal ini Kominfo dan/atau Presiden
mendata dan memfasilitasi para pihak yang dirugikan guna memberikan ganti
rugi dan kompensasi akibat adanya pemblokiran akses internet di provinsi
Papua dan Papua Barat.
F. Daftar Pustaka
1. Buku
Adnan Buyung Nasution, Instrumen Internasional Pokok Hak AsasiManusia
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).
Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Humaniter, (Jakarta: Rajawali Pers,

11
2015).
Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat HAM:
Indonesia, Timor Leste, dan Lainnya (Jakarta: Grasindo, 2005).
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan (Jakarta: Kencana, 2017).
A. Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2017).
Darda Syahrizal, Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha
Negara (Yogyakarta: Penerbit Medpress Digital, 2013).
Eko Riyadi, Hukum Hak Asasi Manusia: Perspektif Internasional,
Regional,dan Nasional (Depok: Rajawali Press, 2018).
Eko Riyadi, Instrumen Internasional Hak Asasi Manusia (Depok: Rajawali
Pers, 2018).
Ian Lafreniere, Kebebasan Berekspresi dan Ketertiban umum: Panduan
Manual (Jakarta: UNESCO, 2020).
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice (Ithaca:
Cornell University Press,2013).
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung:
Penerbit Alumni, 2015).
Muhammad Ashri, Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori dan Instrumen Dasar
(Makassar: SIGn, 2018).
Nur Asyiah, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Deepublish, 2018).
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2015)
Wiratno, Pengantar Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Penerbit
Universitas Trisakti, 2016).
Yuniar Mujiwati, Serba-Serbi Wawasan Kebangsaan dalam Konteks:
Demokrasi, Kewarganegaraan, hingga Integrasi Sosial (Pasuruan:
Lembaga Academic dan Research Institute, 2020).

2. Jurnal

Ellya Rosana, “Negara Demokrasi dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal TAPIs,
Volume 12, Nomor 1, 2016.
Rahayu Wilujeng, “Hak Asasi Manusia: Tinjauan Dari Aspek Historis dan
Yuridis”, Humanika Volume 18, Nomor 2, 2013
Yanes S. Marentek, “Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan Hak
Asasi Manusia Menurut Hukum Internasional”, Jurnal Volume 6,
Nomor 9, 2019

3. Online dari Internet


Dampak Pemblokiran Internet di Papua Berdampak Luas (On-line), tersedia
di: https://jatimnet.com/dampak-pemblokiran-internet-di-papua
berdampak-luas (31 Desember 2020).

12
Harusnya Sosmed yang Diblok Bukan Internet (On-line), tersedia di:
http://cenderawasihpos.co.id/harusnya-sosmed-yang-diblok-bukan
internet/ (5 April 2021).

Kerusuhan di Papua, Apa yang Terjadi di Manokwari hingga Jayapura?”


(On-line), tersedia di:
https://www.kompas.com/tren/read/2019/08/29/183000065/kerush
an-di papua-apa-yang-terjadi-di-manokwari-hingga-jayapura-
?page=all (3 Oktober 2020).

Kominfo Blokir Internet di Papua dan Papua Barat (On-line), tersedia di:
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20190821193429-199
423539/kominfo-blokir-internet-di-papua-dan-papua-barat (3
Oktober 2020).

Kominfo Blokir Penuh Akses Internet di Papua dan Papua Barat, Sampai
Kapan?” (On-line), tersedia di:
https://tekno.kompas.com/read/2019/08/21/20394007/kominfo
blokir-penuh-akses-internet-di-papua-dan-papua-barat-sampai
kapan (3 Oktober 2020)

Kronologi Kerusuhan di Manokwari hingga Pembakaran Gedung DPRD


Papua Barat” (On-line), tersedia di:
https://regional.kompas.com/read/2019/08/19/15400661/kronologi
kerusuhan-di-manokwari-hingga-pembakaran-gedung-dprd-papua
barat?page=all (3 Oktober 2020).

Pemblokiran Internet di Papua, Jurnalis kesulitan berikan Informasi ke


Publik (On-line), tersedia di:
https://nasional.kompas.com/read/2020/01/22/14423831/pembloki
an-internet-di-papua-jurnalis-kesulitan-berikan-informasi-ke
publik (27 Maret 2021).

Pemblokiran Internet di Papua dan Papua Barat vs Kelanjutan Putusan


Majelis Hakim PTUN Jakarta (On-line), tersedia di:
https://coconet.social/2020/papua-pemblokiran-internet-indonesia/
(8 April 2020).

Presiden, Menkominfo Digugat Karena Blokir Internet di Papua (On-line),


tersedia di: https://www.voaindonesia.com/a/presiden
menkominfo- digugat-karena-blokir-internet-di
papua/5175639.html (19 November 2020).

PTUN Jakarta Menyatakan Pemutusan Akses Internet di Papua Melanggar


Hukum (On-line), tersedia di: https://kontras.org/2020/06/04/ptun-

13
jakarta-menyatakan-pemutusan-akses-internet-di-papua-
melanggar-hukum/ (18 Desember 2020).

4. Instrumen Hukum

Universal Declaration of Human Rights International Covenant on Civil and


Political Rights Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang


Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik

UN General Comment No.34

14

Anda mungkin juga menyukai