Abstrak
Pemaknaan gender pada pembangunan manusia berbasis gender mengacu pada perbedaan laki-laki dan
perempuan dalam peran, perilaku, kegiatan serta atribut yang dikontruksikan secara sosial. Perbedaan ini
tidak menjadi masalah bila disertai keadilan, namun dalam kenyataannya terjadi ketidakadilan gender.
Indikator untuk evaluasi pembangunan berbasis gender, yaitu Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Nilai IPG dan IDG pada setiap Kabupaten/Kota di pulau Jawa
masih terjadi ketimpangan yang menandakan belum terjadinya pemerataan pembangunan yang dirasakan
oleh seluruh rakyat. Salah satu prasyarat keberhasilan program pembangunan bergantung pada ketepatan
pengidentifikasian target group dan target area. Pada penelitian ini digunakan Bisecting K-means untuk
pengelompokkan Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Dari penelitian didapatkan 3 klaster yang terbentuk baik
pada laki-laki ataupun perempuan. Pada klaster laki-laki, klaster 1 beranggotakan 32 Kabupaten/Kota,
anggota pada klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai
silhouette coefficient pada klaster laki-laki yaitu 0,3. Sedangkan pada klaster perempuan yaitu dimana
pada klaster 1 beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan
klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai silhouette coefficient pada klaster perempuan yaitu 0,26. Baik
pada klaster perempuan ataupun laki-laki, klaster yang terbentuk masih tergolong lemah.
Kata Kunci: Bisecting K-means, Metode Elbow, Pembangunan Manusia Berbasis Gender, Radial Plot,
Silhouette Coefficient
78
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016
“Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”
Jatinangor, 27-28 Oktober 2016
ISBN 978-602-72216-1-1
dengan,
dengan,
a(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek di
= Nilai atau data pada objek ke-i klaster A
= Centroid pada klaster b(i)= Rata-rata jarak i terhadap semua objek
pada klaster lain
2.2.2 Bisecting K-means Nilai silhouette berada pada interval −1 ≤
Setelah menentukan jumlah klaster lalu s(i) ≤ 1. Tabel berikut menyajikan interpretasi
dilakukan pengelompokkan menggunakan nilai silhouette yang mengindikasikan derajat
Bisecting K-means. Bisecting K-means kepemilikan tiap objek.
menggunakan centroid sebagai pusat klaster dan
Tabel 1. Interpretasi Nilai Silhouette
menggunakan nila rata-rata sebagai centroidnya.
Misalkan terdapat set data matriks Silhouette Interpretasi
(dimana setiap Nilai s(i) Menunjukkan bahwa jarak a(i) lebih
kolom M, , adalah titik data) dibagi menjadi mendekati besar daripada b(i). Sehingga objek i
-1 seharusnya berada di klaster B.
dua submatriks (subklaster) yaitu dan Nilai s(i) Menunjukkan bahwa a(i) dan b(i) sama.
dan . Berikut berada Artinya objek i bisa masuk ke klaster A
di sekitar 0 atau B.
merupakan langkah-langkah Bisecting K-means
Nilai s(i) Menunjukkan bahwa jarak dalam a(i)
(Savaresi dkk., 2000:2): mendekati lebih kecil dibanding jarak b(i). Hal ini
1. Inisialisasi. Pilih point atau titik data, misal 1 menandakan bawah objek i memang
; lalu hitung centroid (w) dari matriks berada pada klaster A.
M, dan hitung sebagai Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:85
dengan,
N = Jumlah objek
= Kolom ke-j pada M
2. Bagi matriks
menjadi dua subklaster, yaitu ML dan MR
79
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016
“Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”
Jatinangor, 27-28 Oktober 2016
ISBN 978-602-72216-1-1
Tabel 2. Interpretasi Nilai Silhouette Coefficient Tabel 3. Hasil Pengelompokkan menggunakan Bisecting K-
means untuk Jenis Kelamin Laki-laki
Silhouette Interpretasi
Coefficient Klaster 1 Klaster 2 Klaster 3
0,71-1,00 Klaster yang kuat Sum 75.0314 98.5433 105.1935
0,51-0,70 Klaster telah layak atau sesuai Square
0,26-0,50 Klaster yang lemah Error
≤ 0,25 Tidak dapat dikatakan sebagai klaster Jumlah 32 43 44
Sumber: Kaufmaan dan Rousseeauw, 2005:88 Anggota
Anggota Kota Jakarta Sukabumi Kep. Seribu
Selatan
2.2.4 Interpretasi dan Profiling Klaster
Kota Jakarta Cianjur Bogor
Setelah validasi klaster yang telah terbentuk, Timur
selanjutnya dilakukan interpretasi dan profiling Kota Jakarta Bandung Ciamis
klaster. Tahap interpretasi klaster merupakan tahap Pusat
memberikan label yang dapat mendeskripsikan Kota Jakarta Garut Kuningan
Barat
klaster tersebut dan tahap profiling klaster yaitu Kota Jakarta Tasikmalaya Sumedang
memahami karakteristik yang membedakan Utara
masing-masing klaster (Hair dkk., 2010: 513). Kota Bogor Cirebon Bekasi
Untuk tahap profiling dari klaster yang telah Kota Sukabumi Majalengka Kota
terbentuk dapat menggunakan Radial Plot. Radial Tasikmalaya
Kota Bandung Indramayu Kota Banjar
Plot merupakan cara yang paling efektif untuk Kota Cirebon Subang Cilacap
menampilkan profil klaster (Williams, 2014:29). Kota Bekasi Purwakarta Banyumas
Kota Depok Karawang Purworejo
4. Hasil dan Pembahasan Kota Cimahi Bandung Boyolali
Satuan pada variabel yang digunakan berbeda- Barat
Karanganyar Pangandaran Klaten
beda. Oleh karena itu perlu dilakukan standarisasi Kota Magelang Purbalingga Sukoharjo
data, salah satunya menggunakan z-score. Setelah Kota Surakarta Banjarnegara Wonogiri
proses standarisasi dilakukan selanjutnya Kota Salatiga Kebumen Sragen
menentukan jumlah klaster. Dalam penelitian ini Kota Semarang Wonosobo Grobogan
jumlah klaster yang akan dibentuk yaitu sebanyak Kota Tegal Magelang Pati
Bantul Blora Kudus
3 klaster. Dimana akan dibedakan klaster untuk
Sleman Rembang Jepara
jenis kelamin laki-laki dan klaster untuk jenis Kota Temanggung Demak
kelamin perempuan. Adapun dalam komputasinya Yogyakarta
menggunakan software R dan Python. Sidoarjo Batang Semarang
Gresik Pemalang Kendal
Kota Kediri Tegal Pekalongan
4.1 Klaster untuk Jenis Kelamin Laki-laki
Kota Malang Brebes Kota
Dengan menggunakan algoritma Bisecting K- Pekalongan
means maka didapatkan hasil pengelompokkan Kota Mojokerto Pacitan Kulon Progo
Seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Kota Madiun Trenggalek Gunung Kidul
Pada Tabel 3 dapat dilihat anggota pada Kota Surabaya Malang Ponorogo
masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 Kota Batu Lumajang Tulungagung
Kota Tangerang Jember Blitar
beranggotakan 32 Kabupaten/Kota, anggota pada Kota Tangerang Banyuwangi Kediri
klaster 2 yaitu 43 Kabupaten/Kota, dan klaster 3 Selatan Bondowoso Mojokerto
terdapat 44 Kabupaten/Kota. Nilai sum sequared Situbondo Jombang
error terbesar yaitu pada klaster 3 dan terkecil Probolinggo Nganjuk
yaitu pada klaster 1. Setelah melakukan Pasuruan Madiun
Ngawi Magetan
pengelompokkan selanjutnya lakukan validasi Bojonegoro Lamongan
klaster menggunakan silhouette coefficient untuk Tuban Kota Blitar
melihat hasil dari pengelompokkan yang telah Bangkalan Kota
dilakukan. Probolinggo
Pada Gambar 1 dapat dilihat hasil dari Sampang Kota Pasuruan
Pamekasan Tangerang
Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient Sumenep Kota Cilegon
yaitu sebesar 0,3. Hal ini menandakan bahwa Pandeglang Kota Serang
klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster Lebak
yang lemah. Dapat dilihat pada masing-masing Serang
klaster masih terdapat nilai silhouette
Kabupaten/Kota yang bernilai negatif, yang artinya
masih terdapat Kabupaten/Kota yang seharusnya
tidak berada pada klaster tersebut namun berada
klaster itu.
80
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016
“Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”
Jatinangor, 27-28 Oktober 2016
ISBN 978-602-72216-1-1
81
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016
“Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”
Jatinangor, 27-28 Oktober 2016
ISBN 978-602-72216-1-1
Pada Tabel 4 dapat dilihat anggota pada klaster 1, variabel yang memiliki nilai tertinggi
masing-masing klaster. Dimana pada klaster 1 yaitu rata-rata lama sekolah serta variabel yang
beranggotakan 42 Kabupaten/Kota, anggota memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di
pada klaster 2 yaitu 42 Kabupaten/Kota, dan parlemen. Sedangkan kondisi pada klaster 2
klaster 3 terdapat 35 Kabupaten/Kota. Nilai merupakan kebalikan dari klaster 1. Dimana
sum squared error terbesar yaitu pada klaster 1 variabel keterwakilan di parlemen merupakan
dan terkecil yaitu pada klaster 3. Setelah variabel yang memiliki nilai paling besar dan
melakukan pengelompokkan selanjutnya variabel yang memiliki nilai paling kecil yaitu
lakukan validasi klaster menggunakan rata-rata lama sekolah. Sedangkan pada klaster 3
silhouette coefficient untuk melihat hasil dari variabel yang memiliki nilai tertinggi yaitu
pengelompokkan yang telah dilakukan. variabel harapan lama sekolah dan variabel yang
memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan
perempuan diparlemen.
Gambar 3. Plot Silhouette untuk Klaster Perempuan Dapat dilihat dalam Tabel 5 bahwa terdapat
kesamaan variabel tertinggi ataupun terendah pada
Pada Gambar 3 dapat dilihat hasil dari
klaster walaupun Kabupaten/Kota yang termasuk
Silhouette. Dimana nilai Silhouette Coefficient
ke dalam klaster yang berdasarkan jenis kelamin
yaitu sebesar 0,26. Hal ini menandakan bahwa
berbeda-beda. Pada klaster 1 baik itu klaster laki-
klaster yang telah terbentuk dapat dikatakan klaster
laki atau perempuan, variabel yang memiliki nilai
yang lemah. Hal ini disebabkan karena masih
tertinggi adalah rata-rata lama sekolah. Pada
terdapat nilai silhouette Kabupaten/Kota pada
klaster 2 baik itu untuk klaster laki-laki ataupun
masing-masing klaster yang bernilai negatif.
perempuan memiliki kesamaan pada variabel yang
Artinya masih terdapat Kabupaten/Kota yang
memiliki nilai tertinggi atau terendah. Variabel
seharusnya tidak berada pada klaster tersebut
yang memiliki nilai tertinggi adalah keterwakilan
namun berada klaster itu.
di parlemen sedangkan variabel yang memiliki
nilai terendah yaitu rata-rata lama sekolah. Pada
klaster 3 memiliki kesamaan pada variabel yang
memiliki nilai terendah yaitu keterwakilan di
parlemen.
4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan baik
hasil pengelompokkan pada jenis kelamin
perempuan ataupun laki-laki memiliki nilai
silhouette yang tidak terlalu baik. Dimana nilai
tersebut menandakan bahwa klaster yang telah
Gambar 4. Radial Plot untuk Klaster Perempuan
terbentuk adalah klaster yang lemah. Hal ini
dikarenakan masih terdapat Kabupaten/Kota yang
Pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa klaster 1 seharusnya tidak berada dalam klaster tersebut
memiliki nilai tertinggi pada semua variabel yang akan menyebabkan nilai silhouette yang
apabila dibandingkan dengan klaster 2 dan 3.
didapat menjadi kecil.
Artinya Kabupaten/Kota yang termasuk ke dalam Pada klaster laki-laki terbentuk 3 klaster.
klaster 1 ini memiliki nilai angka harapan hidup, Dimana pada klaster 1 beranggotakan 32
rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah,
Kabupaten/Kota, anggota pada klaster 2 yaitu 43
pengeluaran per kapita, keterwakilan di parlemen, Kabupaten/Kota, dan klaster 3 terdapat 44
dan ketenagakerjaan paling baik bila dibandingkan Kabupaten/Kota. Pada klaster 1 variabel yang
dengan Kabupaten/Kota pada klaster lain. Pada
82
Prosiding Seminar Nasional MIPA 2016
“Peran Penelitian Ilmu Dasar dalam Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”
Jatinangor, 27-28 Oktober 2016
ISBN 978-602-72216-1-1
83