Pendidikan merupakan proses panjang yang membutuhkan peran dari berbagai pihak. Dalam suatu pendidikan terkandung suatu pembinaan, pengembangan, peningkatan, serta tujuan. Untuk mencapai tujuan pendidikan secara maksimal diperlukan adanya keselarasan antara komponen-komponen pendidikan yang meliputi peserta didik, pendidik, kurikulum, dan sarana prasarana. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah saat ini berfokus untuk meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. Kemampuan kognitif ilmu pengetahuan alam atau sains merupakan salah satu bagian yang penting untuk dikaji dalam pendidikan di Indonesia. Konsep- konsep yang terdapat dalam sains bersifat kompleks. Peserta didik dituntut untuk memahami konsep dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam. Salah satu ilmu dalam sains yang membutuhkan pemahaman konsep yang mendalam adalah ilmu kimia. Kimia mempunyai kedudukan yang sangat penting diantara ilmu-ilmu lain karena kimia memberikan konstribusi yang berarti dan penting terhadap perkembangan ilmu-ilmu terapan. Namun peserta didik cenderung mengalami kesulitan saat pembelajaran kimia berlangsung. Hal ini disebabkan karena objek kimia yang bersifat abstrak, sifat materi kimia tidak mudah dipahami, citra pembelajaran kimia kurang baik (takut – tegang – bosan – banyak problem), kemampuan kognitif peserta didik masih konkret dan kurangnya motivasi belajar peserta didik (Juwairiyah, 2013). Selain itu kimia merupakan materi baru yang diajarkan di sekolah menengah atas. Peserta didik sekolah menengah atas sedang mengalami proses transisi dari cara berpikir kongkrit menuju cara berpikir abstrak, yaitu mempelajari suatu fenomena yang tidak bisa diamati secara langsung. Hal ini yang menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mempelajari kimia. Kimia juga merupakan mata pelajaran bagian dari sains yang berhubungan dengan pemahaman konsep dan rumus beserta pemecahan masalahnya (Afriawan, 2012). Sedangkan konsep-konsep dalam ilmu kimia saling berhubungan. Ketika peserta didik belajar, peserta didik melakukan kegiatan merangkai konsep yang telah dimilikinya dengan konsep baru, sehingga terjadilah jaring-jaring konsep di dalam benaknya. Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir (Berg, 1991). Pokok bahasan reaksi reduksi oksidasi pada mata pelajaran kimia merupakan materi yang dianggap sulit bagi siswa. Materi ini bersifat abstrak, dimana siswa dituntut untuk memahami terjadinya reduksi dan oksidasi tanpa melihat adanya serah terima elektron maupun oksigen secara nyata. Di dalam reduksi oksidasi ini juga terdapat keterkaitan antar konsep, misalnya dalam menentukan reaksi reduksi oksidasi siswa juga perlu memahami konsep penentuan bilangan oksidasi. Secara tidak langsung, penentuan bilangan oksidasi menuntut penguasaan keterampilan berhitung. Materi reduksi oksidasi memiliki pokok bahasan yang cukup banyak dengan pemahaman bertingkat, dimana dalam mempelajari konsep ini siswa terlebih dahulu harus memahami tentang ion-ion dan cara penulisannya serta tata nama (Kusumawati, 2011). Pemahaman konsep dalam suatu pembelajaran belum tentu dapat dipastikan dari ketuntasan nilai yang diperoleh peserta didik. Hal tesrsebut dikarenakan evaluasi pembelajaran yang dilakukan belum semuanya dapat mendeteksi tingkat pemahaman konsep. Evaluasi yang biasa dilakukan adalah dengan ulangan harian, dimana kesalahan peserta didik dalam menjawab soal biasanya hanya dianggap sebagai kesalahan hitung, kurang teliti, atau karena kurang belajar. Namun demikian guru tidak menemukan kemungkinan kesalahpahaman peserta didik pada konsep materi tersebut (Nurfainzani, 2018). Instrumen terdahulu yang bisa digunakan untuk mengetahui pemahaman konsep peserta didik yaitu peta konsep, panduan wawancara dalam wawancara diagnosis, lembar observasi dalam diskusi kelas maupun praktikum interaktif, tes esai dan tes pilihan ganda. Pada umumnya tes pilihan ganda lebih disukai pada kelas sains karena soal pilihan ganda lebih mudah diterapkan untuk mengevaluasi ketuntasan nilai klasikal peserta didik tentang subyek terkait. Dari hasil tes pilihan ganda tersebut dapat diperoleh analisis ketuntasan nilai klasiksal dari peserta didik. Pada kenyataanya evaluator akan kesulitan dalam menentukan apakah jawaban peserta didik tersebut benar-benar menggambarkan tingkat kemampuannya ataukah jawaban tersebut hanya tebakan saja (Siswaningsih, 2014). Tes pilihan ganda yang telah dikembangkan antara lain one tier, two-tiers (Chou et al., 2007; Mutlu & Sesen, 2015) dan tes three-tiers multiple choice (Arslan et al., 2012). Instrumen tes three-tiers multiple choice merupakan instrumen tes yang paling valid, reliabel, dan akurat untuk mengidentifikasi pemahaman konsep maupun miskonsepsi peserta didik (Peşman & Aryilmaz, 2010). Instrumen tes diagnostik tipe three-tiers multiple choice dianggap lebih efektif untuk menentukan pemahaman konsep maupun miskonsepsi peserta didik. Hal ini didasarkan pada pernyataan Kirbulut dan Egan (2014) bahwa tes diagnostik tipe three-tiers multiple choice dengan penambahan ektra tier ini diharapkan dapat lebih valid, lebih efisien dalam skala luas dan dapat mengatasi keterbatasan siswa, dan guru dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam tentang pemahaman konsep dan miskonsepsi peserta didik Tes diagnostik three-tiers multiple choice merupakan tes pilihan ganda dengan tiga tingkat. Bagian pertama merupakan pertanyaan dan pilihan jawaban, bagian kedua merupakan pilihan alasan yang menjawab pertanyaan bagian pertama, dan bagian ketiga merupakan pilihan keyakinan atas pilihan jawaban dan hubungan dengan alasan yang dipilih. Instrumen three-tiers multiple choice memiliki keunggulan dibandingkan tes berformat pilihan ganda biasa, yaitu dapat mengungkap alasan dibalik opsi yang dipilih peserta didik. Tes yang dilakukan secara manual pada umumnya memerlukan waktu lebih untuk melakukan koreksi dan penilaian, sedangkan jika tes diagnostik dengan Computer Based Test (CBT) memiliki kelebihan yaitu dapat mengecek hasil pengerjaan soal secara otomatis, sehingga hasil tes dapat keluar lebih cepat. Pendidik lebih mudah dalam melakukan persiapan, pengolahan, dan pengambilan kebijakan akademik bagi peserta didik yang nilainya masih di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Kelebihan tes diagnostik three-tiers multiple choice dengan CBT dibandingkan dengan multiple choice konvensional lainya adalah mengurangi kesalahan dalam pengukuran, penggunaan multiple choice konvensional dengan lima pilihan jawaban memiliki kesempatan menjawab benar melalui cara menebak adalah 20% sedangkan jika menggunakan tes two-tier multiple choice kesempatan menjawab benar dengan cara menebak adalah 4%. Berdasarkan paparan di atas maka guru perlu mengetahui tingkat pemahaman peserta didiknya agar dapat memberikan kebijakan untuk menindaklanjuti masalah tersebut baik dengan upaya remidiasi atau lainnya sehingga pembelajaran berikutnya akan lebih optimal hasilnya. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pengembangan instrumen yang cepat dan tepat untuk menganalisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif serta pemahaman konsep peserta didik.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah instrumen e-diagnostic test yang dikembangkan layak digunakan untuk analisis pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik terkait materi reaksi redoks? 2. Apakah instrumen e-diagnostic test yang dikembangkan efektif digunakan untuk analisis pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik terkait materi reaksi redoks?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pengembangan ini adalah : 1. Mengetahui kelayakan e-diagnostic test yang dikembangkan untuk pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik pada materi reaksi redoks. 2. Mengetahui keefektifan e-diagnostic test yang dikembangkan untuk analisis pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik pada materi reaksi redoks.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak baik secara teoritis maupun praktis. 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian penelitian yang relevan oleh para peneliti yang lain, baik yang berkaitan dengan penelitian lanjutan yang bersifat mengembangkan maupun penelitian sejenis yang memperluas sebagai pelengkap kajian pustaka. 2. Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran kimia baik peserta didik, guru, penulis, maupun lembaga. a. Bagi peserta didik, e-diagnostic test dapat di jadikan sebagai assesmen (alat ukur) untuk analisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif dan pemahaman konsep. b. Bagi guru, e-diagnostic test dapat dijadikan sebagai instrumen untuk analisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif dan pemahaman konsep peserta didik. Hasil dari tes tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan guru dalam merancang pembelajaran yang efektif untuk mengatasi kekurangan yang terjadi pada peserta didik.