Anda di halaman 1dari 5

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan merupakan proses panjang yang membutuhkan peran dari
berbagai pihak. Dalam suatu pendidikan terkandung suatu pembinaan,
pengembangan, peningkatan, serta tujuan. Untuk mencapai tujuan pendidikan
secara maksimal diperlukan adanya keselarasan antara komponen-komponen
pendidikan yang meliputi peserta didik, pendidik, kurikulum, dan sarana
prasarana. Pembelajaran yang dilakukan di sekolah saat ini berfokus untuk
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.
Kemampuan kognitif ilmu pengetahuan alam atau sains merupakan salah
satu bagian yang penting untuk dikaji dalam pendidikan di Indonesia. Konsep-
konsep yang terdapat dalam sains bersifat kompleks. Peserta didik dituntut untuk
memahami konsep dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam. Salah satu ilmu
dalam sains yang membutuhkan pemahaman konsep yang mendalam adalah ilmu
kimia. Kimia mempunyai kedudukan yang sangat penting diantara ilmu-ilmu lain
karena kimia memberikan konstribusi yang berarti dan penting terhadap
perkembangan ilmu-ilmu terapan. Namun peserta didik cenderung mengalami
kesulitan saat pembelajaran kimia berlangsung. Hal ini disebabkan karena objek
kimia yang bersifat abstrak, sifat materi kimia tidak mudah dipahami, citra
pembelajaran kimia kurang baik (takut – tegang – bosan – banyak problem),
kemampuan kognitif peserta didik masih konkret dan kurangnya motivasi belajar
peserta didik (Juwairiyah, 2013). Selain itu kimia merupakan materi baru yang
diajarkan di sekolah menengah atas. Peserta didik sekolah menengah atas sedang
mengalami proses transisi dari cara berpikir kongkrit menuju cara berpikir
abstrak, yaitu mempelajari suatu fenomena yang tidak bisa diamati secara
langsung. Hal ini yang menyebabkan peserta didik kesulitan dalam mempelajari
kimia. Kimia juga merupakan mata pelajaran bagian dari sains yang berhubungan
dengan pemahaman konsep dan rumus beserta pemecahan masalahnya (Afriawan,
2012). Sedangkan konsep-konsep dalam ilmu kimia saling berhubungan. Ketika
peserta didik belajar, peserta didik melakukan kegiatan merangkai konsep yang
telah dimilikinya dengan konsep baru, sehingga terjadilah jaring-jaring konsep di
dalam benaknya. Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang
mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia
berpikir (Berg, 1991).
Pokok bahasan reaksi reduksi oksidasi pada mata pelajaran kimia
merupakan materi yang dianggap sulit bagi siswa. Materi ini bersifat abstrak,
dimana siswa dituntut untuk memahami terjadinya reduksi dan oksidasi tanpa
melihat adanya serah terima elektron maupun oksigen secara nyata. Di dalam
reduksi oksidasi ini juga terdapat keterkaitan antar konsep, misalnya dalam
menentukan reaksi reduksi oksidasi siswa juga perlu memahami konsep
penentuan bilangan oksidasi. Secara tidak langsung, penentuan bilangan oksidasi
menuntut penguasaan keterampilan berhitung. Materi reduksi oksidasi memiliki
pokok bahasan yang cukup banyak dengan pemahaman bertingkat, dimana dalam
mempelajari konsep ini siswa terlebih dahulu harus memahami tentang ion-ion
dan cara penulisannya serta tata nama (Kusumawati, 2011).
Pemahaman konsep dalam suatu pembelajaran belum tentu dapat
dipastikan dari ketuntasan nilai yang diperoleh peserta didik. Hal tesrsebut
dikarenakan evaluasi pembelajaran yang dilakukan belum semuanya dapat
mendeteksi tingkat pemahaman konsep. Evaluasi yang biasa dilakukan adalah
dengan ulangan harian, dimana kesalahan peserta didik dalam menjawab soal
biasanya hanya dianggap sebagai kesalahan hitung, kurang teliti, atau karena
kurang belajar. Namun demikian guru tidak menemukan kemungkinan
kesalahpahaman peserta didik pada konsep materi tersebut (Nurfainzani, 2018).
Instrumen terdahulu yang bisa digunakan untuk mengetahui pemahaman konsep
peserta didik yaitu peta konsep, panduan wawancara dalam wawancara diagnosis,
lembar observasi dalam diskusi kelas maupun praktikum interaktif, tes esai dan
tes pilihan ganda. Pada umumnya tes pilihan ganda lebih disukai pada kelas sains
karena soal pilihan ganda lebih mudah diterapkan untuk mengevaluasi ketuntasan
nilai klasikal peserta didik tentang subyek terkait. Dari hasil tes pilihan ganda
tersebut dapat diperoleh analisis ketuntasan nilai klasiksal dari peserta didik. Pada
kenyataanya evaluator akan kesulitan dalam menentukan apakah jawaban peserta
didik tersebut benar-benar menggambarkan tingkat kemampuannya ataukah
jawaban tersebut hanya tebakan saja (Siswaningsih, 2014).
Tes pilihan ganda yang telah dikembangkan antara lain one tier, two-tiers
(Chou et al., 2007; Mutlu & Sesen, 2015) dan tes three-tiers multiple choice
(Arslan et al., 2012). Instrumen tes three-tiers multiple choice merupakan
instrumen tes yang paling valid, reliabel, dan akurat untuk mengidentifikasi
pemahaman konsep maupun miskonsepsi peserta didik (Peşman & Aryilmaz,
2010). Instrumen tes diagnostik tipe three-tiers multiple choice dianggap lebih
efektif untuk menentukan pemahaman konsep maupun miskonsepsi peserta didik.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Kirbulut dan Egan (2014) bahwa tes
diagnostik tipe three-tiers multiple choice dengan penambahan ektra tier ini
diharapkan dapat lebih valid, lebih efisien dalam skala luas dan dapat mengatasi
keterbatasan siswa, dan guru dapat mendapatkan wawasan yang lebih dalam
tentang pemahaman konsep dan miskonsepsi peserta didik
Tes diagnostik three-tiers multiple choice merupakan tes pilihan ganda
dengan tiga tingkat. Bagian pertama merupakan pertanyaan dan pilihan jawaban,
bagian kedua merupakan pilihan alasan yang menjawab pertanyaan bagian
pertama, dan bagian ketiga merupakan pilihan keyakinan atas pilihan jawaban dan
hubungan dengan alasan yang dipilih. Instrumen three-tiers multiple choice
memiliki keunggulan dibandingkan tes berformat pilihan ganda biasa, yaitu dapat
mengungkap alasan dibalik opsi yang dipilih peserta didik.
Tes yang dilakukan secara manual pada umumnya memerlukan waktu
lebih untuk melakukan koreksi dan penilaian, sedangkan jika tes diagnostik
dengan Computer Based Test (CBT) memiliki kelebihan yaitu dapat mengecek
hasil pengerjaan soal secara otomatis, sehingga hasil tes dapat keluar lebih cepat.
Pendidik lebih mudah dalam melakukan persiapan, pengolahan, dan pengambilan
kebijakan akademik bagi peserta didik yang nilainya masih di bawah kriteria
ketuntasan minimal (KKM). Kelebihan tes diagnostik three-tiers multiple choice
dengan CBT dibandingkan dengan multiple choice konvensional lainya adalah
mengurangi kesalahan dalam pengukuran, penggunaan multiple choice
konvensional dengan lima pilihan jawaban memiliki kesempatan menjawab benar
melalui cara menebak adalah 20% sedangkan jika menggunakan tes two-tier
multiple choice kesempatan menjawab benar dengan cara menebak adalah 4%.
Berdasarkan paparan di atas maka guru perlu mengetahui tingkat
pemahaman peserta didiknya agar dapat memberikan kebijakan untuk
menindaklanjuti masalah tersebut baik dengan upaya remidiasi atau lainnya
sehingga pembelajaran berikutnya akan lebih optimal hasilnya. Oleh karena itu,
dibutuhkan adanya pengembangan instrumen yang cepat dan tepat untuk
menganalisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif serta pemahaman
konsep peserta didik.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah instrumen e-diagnostic test yang dikembangkan layak digunakan
untuk analisis pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep
peserta didik terkait materi reaksi redoks?
2. Apakah instrumen e-diagnostic test yang dikembangkan efektif digunakan
untuk analisis pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep
peserta didik terkait materi reaksi redoks?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian pengembangan ini adalah :
1. Mengetahui kelayakan e-diagnostic test yang dikembangkan untuk
pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik
pada materi reaksi redoks.
2. Mengetahui keefektifan e-diagnostic test yang dikembangkan untuk analisis
pencapaian kompetensi dasar kognitif dan pemahaman konsep peserta didik
pada materi reaksi redoks.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak baik
secara teoritis maupun praktis.
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian penelitian yang
relevan oleh para peneliti yang lain, baik yang berkaitan dengan penelitian
lanjutan yang bersifat mengembangkan maupun penelitian sejenis yang
memperluas sebagai pelengkap kajian pustaka.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak
yang terlibat dalam pembelajaran kimia baik peserta didik, guru, penulis,
maupun lembaga.
a. Bagi peserta didik, e-diagnostic test dapat di jadikan sebagai assesmen
(alat ukur) untuk analisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif
dan pemahaman konsep.
b. Bagi guru, e-diagnostic test dapat dijadikan sebagai instrumen untuk
analisis ketercapaian kompetensi dasar ranah kognitif dan pemahaman
konsep peserta didik. Hasil dari tes tersebut dapat dijadikan bahan
pertimbangan guru dalam merancang pembelajaran yang efektif untuk
mengatasi kekurangan yang terjadi pada peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai