Anda di halaman 1dari 11

12

Kosmopolitanisme Revolusioner
Menubuatkan Surat-surat Kartini

Muhammad Iqbal

IAIN Palangka Raya

Meneroka Raden Ajeng Kartini (1879-1904) adalah upaya untuk


memanggungkan sosok bumiputera yang lahir dalam sebuah era, ketika
fajar modernitas memberi ‘cahaya kemajuan’ bagi penduduk yang
menghuni wilayah yang membentang dalam kekuasaan kolonialisme
Belanda kala itu. Kartini banyak menulis soal perempuan dan
kedudukannya yang rendah dalam lingkungan feodal (kolonial) dalam
rentang masa kehidupannya. Sifat tulisan-tulisan ini yang memang
menempatkannya sebagai perlambang yang merepresentasikan
gagasan emansipasi perempuan di Indonesia, paling tidak dalam
pandangan resmi kenegaraan. Tetapi lebih dari sekadar soal
perempuan, minat dan perhatiannya yang luas terhadap masalah
seni, sastra, pendidikan, dan kemajuan teknologi, menampilkan figur
individu yang mengesankan dari seorang perempuan otodidak yang
penuh semangat menyambut dunia modern.
Keunikan dari tulisan Kartini adalah ia menjadi bagian dari
semangat global, yang lebih besar dari Jawa dan Hindia Belanda.
Tubuhnya yang memang terkungkung dalam belenggu geografis
dan kekuasaan kolonial Eropa, namun pikiran internasionalismenya
membawa pada kesediaan menyerahkan diri untuk pekerjaan dan
perjuangan perempuan generasi baru di Eropa.

Monster beruap yang bersin-bersin

Kartini adalah seorang remaja, puteri dari pejabat tinggi Jawa


dalam pemerintahan kolonial Belanda, seorang regent (bupati) Jepara.
Jepara, tempat Kartini menghabiskan sebagian besar hidupnya, adalah
sebuah tempat kecil di pantai utara Jawa. Sahabat-sahabat, para

272
Imagined (Cosmopolitan) Communities 273

pembimbing dan pelindung-pelindung Kartini, hampir semuanya


orang Belanda, dalam semangat zaman mereka, menyebut seorang
pangeran puteri Jawa. Di zaman Indonesia pasca kolonial, dan hingga
kini, ia ditahbiskan sebagai ibu nasionalisme Indonesia.
“Andaikata aku anak laki-laki,” tulis Kartini pada 1900, dari Jepara
kepada seorang sahabat Belanda, “aku tak akan berpikir dua kali,
untuk segera menjadi pelaut.”1 Kartini sering membayangkan ihwal
kapal-kapal: “Kami tak lagi ingin berlayar di atas kapal yang sedang
tenggelam,” ia juga menulis, artinya masyarakat Jawa2; “keberanian
tangan yang memegang kemudi, dan memompa kebocoran, tentulah
telah dapat menyelamatkan kita dari kehancuran.”3
Jepara, tempat tinggal Kartini, amat jauh dari semua jalan Hindia
Belanda modern yang baru dan sedang muncul. Dari Jepara, orang
harus naik kuda atau kereta kuda, melalui jalan tanah, dan sering
berlumpur, menuju Majong. Di situ, orang dapat naik trem uap ke
Juwana atau Semarang. Hanya di sanalah ada “kereta sesungguhnya.”4
Seringkali Kartini mengingatkan calon pengunjung akan perjalanan
yang melelahkan itu.”5 Namun, kapan saja ada kesempatan, atau dalam
mimpi-mimpinya, ia dengan cepat naik trem: “Kami naik trem pertama
pagi itu ... jauh sebelum stasiun trem Pemalang muncul, sewaktu kami
meluncur, kami memandang keluar mencari kekasih kami.”6
Ketika tamu-tamu harus datang ke Jepara, Kartini pergi bersama
ayahnya yang aristokrat untuk menyambut mereka di stasiun itu:
“Kami khawatir kami akan ketinggalan kereta itu.”7 Ia hanya diizinkan
bepergian sesekali, karena ia adalah perempuan Muslim yang
belum menikah. Tetapi, saat-saat di kereta itu, yang dihitung dengan
seksama, adalah saat paling menegangkan baginya, dan, begitu
seringkali kelihatannya, satu-satunya saat nyata dalam kehidupan.
Kartini menjumpai orang-orang, disentuh, menerima berita, dan
mendengarkan desas-desus di kereta atau stasiun kereta: “Di kereta
... aku menekan tanganku ke jantung ... aku mendengar banyak hal
ihwal di trem itu.”8 Mimpi-mimpi itu amat sering dan menimbulkan
citra yang jelas: “Sekarang, kami terbang dengan sebuah badai di atas
jalan besi itu. Akankah aku pernah dapat melupakan perjalanan ilahi
bersamanya menuju stasiun itu? ... Jangan terbang terlampau cepat

1 Kartini, Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan suaminya.


Terjemahan: Sulastin Sutrisno (Djambatan, 2001).
2 Ibid., hlm. 46-47.
3 Ibid., hlm.136.
4 Ibid., hlm. 80-81.
5 Ibid., hlm. 168.
6 Ibid.
7 Ibid., hlm. 177.
8 Ibid.
274 Proceedings of the International Conference on Reviving Benedict Anderson

di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-
bersin, jangan membiarkan perjumpaan indah ini berakhir dengan
begitu cepat ... Aku berdoa agar perjalanan itu tidak akan pernah
berakhir .... Namun, aduh! Juru apinya tak mendengarku.”9
Tidak perlu diragukan lagi, pasti bagi Kartini yang senang bahwa
jalan-jalan modern di Hindia Belanda itu harus dibuat baru dan keras
semuanya. Sesuatu yang baru, keras, bersih–itulah modernitas jalan.
Kebersihan jalanan, dalam logika ini, adalah kemurnian zaman. Ada
sejumlah orang di Hindia Belanda, tulis Kartini, yang meminta agar
mereka disapa dengan sebutan-sebutan bangsawan; seringkali, gelar
itu bahkan bukan hak mereka. Pada umumnya, tulis Kartini, “Ini
merupakan masalah ketidakpedulian: “Tetapi kalau para pengawas,
insinyur-insinyur kereta api (dan barangkali termasuk kepala stasiun
juga), membiarkan dirinya disapa demikian oleh hamba sahaya
mereka, itu merupakan hal lucu yang absurd.”10
Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan di seluruh jajahan, bagi
Kartini, haruslah terbuat dari kemajuan, dan, sejauh jalan itu terbuat
dari bahan yang keras dan bersih, tak ada sesuatu pun yang dapat
menghentikan roda-roda itu. Seorang perempuan Jawa tertabrak trem
tidak jauh dari Jepara, dan Kartini melaporkan kecelakaan itu dalam
sepucuk surat. Peristiwa ini membuktikan, tulis Kartini, bagaimana
sebuah sistem modern “pertolongan medis pertama” menjadi sangat
penting.11
Di Jepara tidak ada bis, begitu juga di seluruh koloni Hindia
Belanda, pada 1900. Dan juga, Kartini, dalam sikapnya yang menyukai
kebaruan, kebersihan dan kepadatan, akan bermimpi tentang pesawat-
pesawat udara, bukan bis-bis. Hal ihwal ini, sekurang-kurangnya, apa
yang ditulisnya, tiga tahun sebelum kematiannya (1901), kepada salah
satu temannya dan teman-teman ayahnya, Dokter medis Anton, di Jena,
Jerman, “Mesin-mesin terbang akan digunakan, dan pada suatu hari
emas, anda akan melihat salah satu mesin terbang itu mendengung di
atas langit biru Jena, sambil membawa seorang tamu dari jauh. Aku
seharusnya memang dilahirkan sebagi lelaki.”12
Pada 1900–Kartini, yang menyukai kereta api dan foto-foto, dan
mungkin saja menganggap dirinya sebagai “kuda liar muda”,13 puteri
seorang bupati Jawa di Jepara, perempuan, yang pasca kematiannya,
menjadi ibu yang terurapi nasionalisme Indonesia–menulis kepada
salah satu teman dan mentornya, Henri van Kol, seorang insinyur,

9 Ibid., hlm. 168.


10 Ibid. hlm. 195, 268, 24, 246.
11 Ibid., hlm. 32, 202.
12 Ibid., hlm. 186.
13 Ibid., hlm. 70-73.
Imagined (Cosmopolitan) Communities 275

seorang anggota parlemen Belanda dan pakar sosialis Eropa tentang


kolonialisme: “Rasanya seolah-olah ada kabel telepon tak terlihat
antara sini dengan Lali Djiwa dan kembali lagi.”14
Dengan “sini” maksud Kartini adalah istana ayahnya di Jawa; “Lali
Djiwa” (bahasa Jawa, berarti “merupakan diri sendiri atau jiwanya
sendiri” atau “kebahagiaan yang sangat menyenangkan”) adalah
rumah van Kol setelah dia dan isterinya pensiun dari Hindia Belanda, di
Prinsenhage di Belanda. Beberapa bulan sebelum ia menulis ini, kepada
teman lainnya, seorang feminis Belanda dan karyawan di kantor pos
Amsterdam, Kartini mengirim sepucuk surat perihal kedekatan yang
dirasakannya antara dirinya dengan ayahnya yang bangsawan–seperti
“ada kabel telepon”,15 tulisnya, antara hati mereka. Kala itu adalah
pembukaan abad baru–17 tahun pasca Krakatau meletus dan 9 tahun
setelah Dr. Ijzerman mencari jalur kereta di hutan Sumatera–dan
Kartini mengungkapkan apa yang nampaknya merupakan suasana
khas zaman itu. Sewaktu Kartini menulis, Hindia Timur–sekurang-
kurangnya begitu mengemuka–sedang ingin menjadi bagian dari
dunia modern. Sebagaimana telah kita lihat ada banyak benda modern
di Hindia Belanda pada masa itu, dan juga, sudah setengah abad
berpengalaman dalam komunikasi dengan kabel.16
Menurut sejarawan Rudolf Mrazek, jalur telegram pertama
dipasang pada 1856 antara Weltevreden, kota satelit Batavia yang
sebagian besar dihuni warga Belanda, dengan Buitenzorg, tempat
pemerintahan musim panas, sekitar 80 kilometer dari Batavia. Empat
puluh empat tahun kemudian, pada pergantian abad itu, ketika Kartini
menulis suratnya, setengah juta panggilan telepon jarak jauh telah
dilakukan setiap tahunnya di seluruh Jawa. Di tahun 1900, ada 925
pelanggan telepon di Batavia, 371 di Semarang, 568 di Surabaya, 123
di Yogyakarta, dan, di antara tempat-tempat lain, 43 di Jepara–kota
kelahiran Kartini.17
Pada musim semi 1902, dilakukan sebuah langkah besar maju
lainnya. Peragaan Belanda pertama “telegram Marconi tanpa kabel”
berlangsung di Vila Jacobson dekat Kurhaus, “Hotel peristirahatan,”
di Scheveningen, di pantai Belanda. Tuan rumah peristiwa itu adalah
Weiss, seorang pengusaha dari Batavia. Antenenya diarahkan ke HMS
Evertsen, sebuah kapal yang berlabuh di lepas pantai sekitar delapan
puluh kilometer jauhnya: “Setelah sejurus, terdengar bunyi lirih mirip
bel, dan sebuah batang kecil, dengan lembut mengetuk, mencetak titik-

14 Ibid., hlm. 60.


15 Ibid., hlm. 170.
16 Ibid., hlm. 334.
17 Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony
(Princeton: Princeton University Press, 2002), hlm. 131.
276 Proceedings of the International Conference on Reviving Benedict Anderson

titik dan garis-garis di atas sehelai pita kertas yang keluar dari sebuah
penerima. “Ini dilakukan oleh Evertsen!”18
Hal ihwal ini jelas sebuah waktu permulaan, di Belanda maupun
di koloni itu, dan Kartini nampak antusias sekali. Baik surat-
menyuratnya maupun kehidupannya penuh–dengan kereta api, foto-
foto dan juga dengan “kabel-kabel” dan “panggilan-panggilan telepon”
yang dikirimkan dan diterima olehnya dan keluarganya serta teman-
temannya. Bagi Kartini, lebih daripada apa pun yang dapat ditawarkan
zaman itu, bersifat internasional dan multibahasa: melalui medium
itu, Kartini mengirim dan menerima pesan-pesan dalam bahasa Jawa,
Melayu, Arab, dan paling sering dari semuanya, dalam bahasa Belanda,
bahasa masa depan. Dalam hal Kartini–dan sewaktu abad baru tersebut
mulai–kita dapat berwicara tentang nostalgia bagi mitis, sebuah
langkah maju dalam bentuk baru, yaitu, sebagai hasrat metaforis. Ia
muncul sebagai buah intelektualitas–telegramnya, teleponnya dan
komunikasi roh-roh Jawa, Melayu atau Indonesia, Arab, Belanda, hidup
atau sudah mati, manusia atau hantu. Adalah kewajiban Kartini untuk
menerjemahkan media segala bahasa nan berbeda-beda, yang begitu
dikaguminya itu.19

Antusiasme komunitas-komunitas terbayang

Meskipun Kartini terpukul karena desakan Mr. Abendanon


untuk membatalkan rencananya ke Belanda, tetapi ia tidak lalu hanya
mengeluh dan bertopang dagu. Jauh dari itu, dalam bulan-bulan
berikutnya, ia bahkan sangat menyibukkan diri dengan berbagai
kegiatan. Puncak daripada kegiatan itu ialah penyusunan nota yang
dikirimkan kepada Mr. Slingenberg. Kartini kemudian mendirikan
sebuah sekolah di dalam kabupaten, Sekolah Gadis pertama di Hindia
Belanda. Ia juga masih mempunyai waktu untuk mengurus pesanan
barang-barang kerajinan rakyat daru perkumpulan “Oost en West”,
di mana ia tentu saja harus sering menghubungi para tukang di desa
Belakanggunung. Dan berkenaan dengan permohonannya untuk
belajar di Batavia, ia masih harus menyediakan waktu juga untuk
belajar.20
Di samping itu, semua hubungan surat-menyurat dengan para
sahabatnya tetap terpelihara. Bahkan daftar korespondensinya

18 Ibid., hlm. 237.


19 Ibid.
20 Sitisoemandari Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi (Jakarta: Gunung Agung, 1977),
hlm. 335.
Imagined (Cosmopolitan) Communities 277

bertambah. Ia mendapat sahabat-sahabat sebangsa dan setanah air.


Mereka adalah kaum pelajar muda dari Sekolah Dokter Djawa yang
namanya kemudian diubah menjadi STOVIA, School Tot Opleiding Van
Inlandse Artsen. Tulisan-tulisan Kartini yang dimuat dalam surat-surat
kabar dan di pelbagai majalah di Belanda dibaca juga oleh para pemuda
pelajar itu. Mereka sangat tertarik dan kagum, bahwa seorang puteri
bangsa bumiputera dapat menulis ihwal hal-hal yang aktual dalam
masyarakat dan dalam bahasa Belanda yang cukup indah. Di antara
mereka, ada beberapa yang memberanikan diri untuk mengirimkan
surat kepada Kartini untuk menyatakan kekaguman mereka, serta
dukungannya kepada gagasan maju dan cita-cita suci Kartini, mengenai
emansipasi kaum wanita dan bangsa pada umumnya. Mereka juga
mengagumi keluhuran budi Kartini, yang meskipun berasal dari
kalangan ningrat tinggi, bersedia untuk bekerja di kalangan rakyat
biasa dan bahkan menamakan diri “anak rakyat”.21
Kartini gembira menerima surat-surat itu, yang semua
menunjukkan antusiasme muda yang masih murni. Dalam menjawab
surat-surat itu, Kartini menempatkan diri sebagai “mbakyu” (saudara
tua) mereka, kepada siapa mereka dapat menceritakan segala suka
duka mereka, dan juga meminta nasihat jika memerlukannya. Kartini
menjadi perempuan muda ideal yang dihormati, dikagumi dan dielu-
elukan di kalangan kaum pemuda terpelajar saat itu. Dalam sebuah
surat yang ditulisnya pada awal 1900:

“Aku akan menggoyah-goyahkan Gedung Feodalisme itu


dengan segala tenaga yang ada padaku, dan andaikan
hanya ada satu potong batu yang jatuh, aku akan
menganggap hidupku tidak sia-sia. Tetapi sebelum itu,
aku akan mencoba memperoleh kerjasama, meski dari
hanya satu orang pria yang paling baik dan terpelajar
di Jawa. Aku akan menghubungi kaum pria kita yang
terpelajar dan progresif. Aku akan mencoba memperoleh
persahabatan dan bantuan mereka. Sebab aku bukan
berjoang untuk memusuhi kaum lelaki, melainkan untuk
menentang pendapat-pendapat dan adat yang kolot, yang
tidak berguna lagi bagi tanah Jawa di hari depan..........”22

Kartini juga telah mencoba menghubungi kaum perempuan muda


yang sederajat dengannya, puteri-puteri dari kaum pejabat tinggi dari
berbagai daerah lain, dan mengajak mereka untuk ikut berjuang bagi

21 Kartini, Op.Cit., hlm. 305.


22 Ibid., hlm. 41-42.
278 Proceedings of the International Conference on Reviving Benedict Anderson

perbaikan martabat kaum perempuan, namun uluran tangannya tidak


mendapat tanggapan yang positif. Maka mengeluhlah ia:

“Wanita-wanita itu sudah terbiasa dengan keadaan


feodal yang menguntungkan kaum pria, hingga mereka
menerima saja nasibnya. Namun itu tidak berarti bahwa
mereka tidak menderita. Hampir semua wanita yang
kukenal, mengutuk keadaan sekarang ini. Tetapi kutukan
saja takkan menolong sedikit pun. Harus ada perbuatan!
Maka marilah Ibu-ibu dan gadis-gadis, bangkitlah! Marilah
kita bergandengan dan bekerjasama untuk merobah
keadaan yang sudah tak tertahankan lagi”.23

Kakaknya, Sostrokartono, tatkala masih bersekolah di HBS, sering


juga mengisahkan tentang teman-teman di sekolahannya, di antaranya
juga banyak yang berpendirian progresif. Kartini sesungguhnya ingin
sekali berhubungan dengan mereka, tetapi waktu itu masyarakat Jawa
masih sangat kolot. Berhubungan dengan kaum lelaki akan segera
menemui bermacam-macam ejekan dan orang akan mencari-cari yang
bukan-bukan di belakangnya. Kartini sendiri tidak akan menghiraukan
itu semua, namun ia tahu, ayahnya yang sangat dicintainya akan
menderita, jikalau mendengar ejekan-ejekan itu.

“Sekarang aku belum dapat berhubungan dengan kaum


pria dari generasi muda. Hubungan demikian akan segera
dicurigai. Menurut pendapat orang, persahabatan antara
muda-mudi, baik yang belum maupun yang sudah kawin,
tidaklah mungkin. Tetapi kelak, jika kita sudah merebut
kemerdekaan kita, kami akan dapat berbuat itu. Kakakku
kenal mereka semua. Aku tahu bahwa ada kaum pria
yang menghargai kaum wanita yang terpelajar dan dapat
berpikir.”24

Perhatikan pula, betapa modern gagasan Kartini untuk


mempersatukan Indonesia muda, perempuan dan laki-laki, pada
zaman yang seluruhnya masih kolot. Ia membayangkan sebuah bangsa
atau nasion: Sebuah komunitas politis dan dibayangkan, meminjam
istilah Ben Anderson, “sebagai sesuatu yang bersifat terbatas, secara

23 Ibid., hlm. 65-66.


24 Ibid., hlm. 59.
Imagined (Cosmopolitan) Communities 279

inheren sekaligus berkedaulatan.25

“Kaum muda, wanita dan pria, seharusnya saling


berhubungan. Mereka seorang-seorang dapat berbuat
sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi
jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan
kita dan bekerjasama, hasil pekerjaan kita akan jauh
lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan
kekuasaan!”26

Dan selanjutnya, dalam sebuah surat lain, juga kepada Nyonya


Abendanon:

“O, kapankah aku dapat berhubungan dengan kaum pria


muda kita yang sopan dan maju pikirannya, seperti Abdul
Rivai dan lain-lain? Dapat memperoleh simpati mereka
terhadap perjuangan kami? Betapa besar manfaatnya,
kalau itu terjadi! Ah, kapankah tiba waktunya pemuda
dan pemudi kita, pria dan wanita muda kita saling
menganggap sebagai sesama manusia yang sederajat,
sebagai kawan?27

Kita tahu, semua bahwa perkumpulan Jong Java didirikan pada


1915, mula-mula dengan nama Trikoro Dharmo.28 Namun yang
mungkin kurang diketahui oleh publik adalah bahwa gagasan, bahkan
istilah atau nama Jong Java itu sudah dipergunakan oleh Kartini sejak
1903, dua belas tahun sebelum berdirinya Trikoro Dharmo. Seperti
terbukti dari surat di bawah:

“Kami telah mendapat banyak pengikut. Angkatan


muda kita telah mendukung sepenuhnya. “Jong Java”
akan membangun persatuan, dan sudah tentu kami
menggabung. O, Bunda harus membaca surat-surat dari
pejuang-pejuang kami yang bersemangat itu: orang-
orang muda yang kelak akan bekerja di tengah-tengah

25 Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of


Nationalism (London: Verso, 1991), hlm. 8.
26 Kartini, hlm. 123.
27 Perhatikan bahwa dari kotanya yang terpencil, Jepara, Kartini tahu akan adanya
pemuda militan, Abdul Rivai, yang di kemudian hari, mahsyur sebagai pejuang,
perintis kemerdekaan dan jurnalis.
28 Lihat antara lain A.G. Pringgodigdo, Sedjarah Pergerakan Rakjat Indonesia (Jakarta:
Dian Rakjat, 1967).
280 Proceedings of the International Conference on Reviving Benedict Anderson

bangsanya. Mereka bersorak-sorak bersama kami. Mereka


menamakanku: ‘Ayunda’, Aku menjadi kakak mereka,
pada siapa setiap waktu dapat datang kalau mereka
memerlukan bantuan atau pelipur hati. Dan selalu masih
mengalir anggota baru untuk perkumpulan kami. Yang
menjadi juara pertama dari ketiga HBS tahun ini ialah
seorang bangsa bumiputera lagi, seorang anak Sumatera
dari Riau.29 Ia sealiran dengan kami dan juga bercita-cita
untuk bekerja bagi rakyatnya. Wahai, betapa nikmatnya
mempunyai cita-cita yang agung, yang kian hari makin
mendekat pelaksanaannya”.30

Mengadakan hubungan surat-menyurat dengan kaum laki-


laki adalah suatu peristiwa yang baru, yang belum pernah terjadi
sebelumya. Hal ihwal itu juga bernas didedahkan oleh Kartini dalam
suratnya kepada Dr. Adriani:

“Yang kami lakukan sekarang ini adalah hal yang baru


sama sekali. Belum pernah sebelumnya ada pemudi
yang surat-menyurat dengan kaum pemuda. Dan kami
melakukan itu seperti biasa saja, seolah-olah bukan
soal yang aneh. Kami bergaul dengan mereka seperti
kawan. Mereka memandang kami sebagai kakaknya. Bagi
mereka, keadaan demikian itu adalah baru, baru sama
sekali, bahwa kami dari kalangan bangsawan tinggi tidak
memandang rendah kepada mereka yang asalnya dari
kalangan yang jauh rendah dari kami, dan dapat bergaul
seperti kawan dengan mereka ......

Seorang pemuda, siswa STOVIA yang belum kami kenal,


menulis kepada kami untuk menitipkan dua orang
kemenakannya. Ia minta supaya kami menulis kepada
gadis-gadis itu untuk memengaruhi mentalnya. Kami
akan memenuhi permintaan itu dengan senang hati.
Mudah-mudahan akan ada hasilnya. Tetapi pemuda itu
sendiri juga semangatnya menyala-nyala dan penuh cita-
cita. Aku juga surat-menyurat dengan seorang pemuda
lain, kemenakanku, orangnya manis, menyenangkan.

29 Ternyata yang dimaksudkan ialah Agoes Salim, Kartini kurang teliti, mengira Agoes
Salim berasal dari Riau. Padahal dia orang Minangkabau, berasal dari Kotogadang.
30 Haryati Soebadio, “Kartini a modern women, and yet a child of her time”, Indonesian
Quarterly VI, No. 2 (April, 1978), hlm. 97.
Imagined (Cosmopolitan) Communities 281

Ia gembira sekali bahwa ia boleh menulis kepadaku.


Kemenakan itu percaya kepada kami. Ia memandang
kami sebagai kakaknya dan senang sekali mendengar
nasihat dan kata-kata kami. Aku seringkali memohon
kepada Tuhan semoga kami tidak akan mengecewakan
kepercayaannya kepada kami dan semoga ia selalu
mendapatkan pada kami apa yang dicari dan diperlukan.
Kami merasa bahagia mengenai para pemuda kita dengan
jiwanya yang muda, murni dan bernyala-nyala. Semoga
idealisme yang murni itu tidak dirusakkan oleh hidup.
Kami merasa paling bahagia, kalau kami dapat membantu
moral orang lain ......”31

Penutup

Kartini adalah manusia kosmopolitan revolusioner dengan


nasib nan tragis. Ia wafat pada 17 September 1904, setahun setelah
menikah, pada usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan anak
pertamanya. Meskipun usianya pendek, pada kehidupan muda Kartini
menjadikannya terhindar dari perubahan pikiran dan tindakan-
tindakan yang berbeda daripada cita-cita semasa muda, pola yang
sering kali dijumpai pada orang-orang yang lebih tua, yang tidak lagi
sebebas orang muda. Pada akhir hidupnya, gejala umum ini sudah
mulai menampakkan diri, ketika berbeda daripada cita-citanya,
Kartini memutuskan untuk tidak belajar, menambah pengetahuan,
di Batavia, dan bersedia menikah dengan seorang bupati yang telah
mempunyai tiga isteri. Tulisan-tulisannya, yang menarik untuk dibaca,
memang wajar ditanggapi sebagai sumber ilham dan pemikiran serta
pemantik atau daya pendobrak semangat berjuang bagi perempuan di
Indonesia.
Demikianlah kita lihat Kartini sebagai nestor pemuda-pemuda kita
yang progresif pada awal abad 20, yang telah memenangkan gagasan
“persatuan” nun jauh sebelum berdirinya Budi Utomo, dan juga,
meskipun tidak formal, mendirikan perkumpulan Jong Java sebelum
berdirinya Trikoro Dharmo. Jelaslah kiranya bahwa Kartini tak hanya
pelopor emansipasi kaum perempuan Indonesia, melainkan juga
perintis kesadaran nasionalisme bangsa. Kartini menghampar pelbagai
gagasan yang bersifat membangun, gagasan-gagasan yang dinyatakan
secara lisan maupun tulisan, sebagian dari curahan pemikirannya
yang ditulis kemudian dicetak, diterbitkan, sehingga dapat dibaca oleh
orang lain yang jumlahnya makin lama semakin luas, dan masih terus

31 Kartini, Op.Cit., hal. 319-320.


282 Proceedings of the International Conference on Reviving Benedict Anderson

akan bertambah dan menginspirasi kita.

Anda mungkin juga menyukai