Kosmopolitanisme Revolusioner
Menubuatkan Surat-surat Kartini
Muhammad Iqbal
272
Imagined (Cosmopolitan) Communities 273
di atas jalur-jalur besi yang rata, kamu monster beruap yang bersin-
bersin, jangan membiarkan perjumpaan indah ini berakhir dengan
begitu cepat ... Aku berdoa agar perjalanan itu tidak akan pernah
berakhir .... Namun, aduh! Juru apinya tak mendengarku.”9
Tidak perlu diragukan lagi, pasti bagi Kartini yang senang bahwa
jalan-jalan modern di Hindia Belanda itu harus dibuat baru dan keras
semuanya. Sesuatu yang baru, keras, bersih–itulah modernitas jalan.
Kebersihan jalanan, dalam logika ini, adalah kemurnian zaman. Ada
sejumlah orang di Hindia Belanda, tulis Kartini, yang meminta agar
mereka disapa dengan sebutan-sebutan bangsawan; seringkali, gelar
itu bahkan bukan hak mereka. Pada umumnya, tulis Kartini, “Ini
merupakan masalah ketidakpedulian: “Tetapi kalau para pengawas,
insinyur-insinyur kereta api (dan barangkali termasuk kepala stasiun
juga), membiarkan dirinya disapa demikian oleh hamba sahaya
mereka, itu merupakan hal lucu yang absurd.”10
Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan di seluruh jajahan, bagi
Kartini, haruslah terbuat dari kemajuan, dan, sejauh jalan itu terbuat
dari bahan yang keras dan bersih, tak ada sesuatu pun yang dapat
menghentikan roda-roda itu. Seorang perempuan Jawa tertabrak trem
tidak jauh dari Jepara, dan Kartini melaporkan kecelakaan itu dalam
sepucuk surat. Peristiwa ini membuktikan, tulis Kartini, bagaimana
sebuah sistem modern “pertolongan medis pertama” menjadi sangat
penting.11
Di Jepara tidak ada bis, begitu juga di seluruh koloni Hindia
Belanda, pada 1900. Dan juga, Kartini, dalam sikapnya yang menyukai
kebaruan, kebersihan dan kepadatan, akan bermimpi tentang pesawat-
pesawat udara, bukan bis-bis. Hal ihwal ini, sekurang-kurangnya, apa
yang ditulisnya, tiga tahun sebelum kematiannya (1901), kepada salah
satu temannya dan teman-teman ayahnya, Dokter medis Anton, di Jena,
Jerman, “Mesin-mesin terbang akan digunakan, dan pada suatu hari
emas, anda akan melihat salah satu mesin terbang itu mendengung di
atas langit biru Jena, sambil membawa seorang tamu dari jauh. Aku
seharusnya memang dilahirkan sebagi lelaki.”12
Pada 1900–Kartini, yang menyukai kereta api dan foto-foto, dan
mungkin saja menganggap dirinya sebagai “kuda liar muda”,13 puteri
seorang bupati Jawa di Jepara, perempuan, yang pasca kematiannya,
menjadi ibu yang terurapi nasionalisme Indonesia–menulis kepada
salah satu teman dan mentornya, Henri van Kol, seorang insinyur,
titik dan garis-garis di atas sehelai pita kertas yang keluar dari sebuah
penerima. “Ini dilakukan oleh Evertsen!”18
Hal ihwal ini jelas sebuah waktu permulaan, di Belanda maupun
di koloni itu, dan Kartini nampak antusias sekali. Baik surat-
menyuratnya maupun kehidupannya penuh–dengan kereta api, foto-
foto dan juga dengan “kabel-kabel” dan “panggilan-panggilan telepon”
yang dikirimkan dan diterima olehnya dan keluarganya serta teman-
temannya. Bagi Kartini, lebih daripada apa pun yang dapat ditawarkan
zaman itu, bersifat internasional dan multibahasa: melalui medium
itu, Kartini mengirim dan menerima pesan-pesan dalam bahasa Jawa,
Melayu, Arab, dan paling sering dari semuanya, dalam bahasa Belanda,
bahasa masa depan. Dalam hal Kartini–dan sewaktu abad baru tersebut
mulai–kita dapat berwicara tentang nostalgia bagi mitis, sebuah
langkah maju dalam bentuk baru, yaitu, sebagai hasrat metaforis. Ia
muncul sebagai buah intelektualitas–telegramnya, teleponnya dan
komunikasi roh-roh Jawa, Melayu atau Indonesia, Arab, Belanda, hidup
atau sudah mati, manusia atau hantu. Adalah kewajiban Kartini untuk
menerjemahkan media segala bahasa nan berbeda-beda, yang begitu
dikaguminya itu.19
29 Ternyata yang dimaksudkan ialah Agoes Salim, Kartini kurang teliti, mengira Agoes
Salim berasal dari Riau. Padahal dia orang Minangkabau, berasal dari Kotogadang.
30 Haryati Soebadio, “Kartini a modern women, and yet a child of her time”, Indonesian
Quarterly VI, No. 2 (April, 1978), hlm. 97.
Imagined (Cosmopolitan) Communities 281
Penutup