Sepanjang abad pertengahan, Venesia merupakan bandar perdagangan penting. Kota di pesisir
Italia itu menjadi pusat pala, cengkih, lada, hingga kayu manis untuk orang-orang Eropa. Selama
berabad-abad lamanya, pedagang Arab merahasiakan negeri asal rempah-rempah itu. Kepulauan
Rempah memang begitu dirahasiakan. Banyak mitos yang menggambarkan bahwa lokasinya
dijaga monster raksasa yang memangsa kapal-kapal yang melintas, dihuni para kanibal yang
begitu buas, hingga badai yang mengempaskan kapal-kapal yang mencoba menyambanginya.
Mitos itu tetap terpelihara sampai seorang asal Italia membuktikan semuanya. Ludovico di
Varthema, sebuah nama yang nyaris dilupakan dunia. Lelaki mantan serdadu itu berasal dari
Kota Bologna, sekitar 153 kilometer dari Venesia. Dia bukanlah pedagang, bukan pula duta
penjajah. Dia adalah pejalan soliter yang memiliki keilmuan, minat budaya, dan gairah
menjelajah. Pada akhir 1502, Varthema meninggalkan istri dan keluarganya demi sebuah tekad
penjelajahan. Dia bertolak dari bandar perdagangan Venesia, menuju Kepulauan Rempah yang
begitu rahasia. “Ada banyak pria yang telah mengabdikan dirinya untuk menyelidiki hal-hal
dunia ini,” tulis Varthema pada paragraf pertama dalam jurnal perjalanannya.
“Dengan bantuan berbagai studi, perjalanan, dan pertalian yang sangat tepat, mereka telah
berusaha untuk mencapai keinginan itu.” “Jurnalnya dibukukan dengan tajuk Itinerario de
Ludouico de Varthema Bolognese. Buku itu terbit pertama kali di Roma pada 1510, atau sekitar
dua tahun sebelum Portugis menemukan Kepulauan Rempah.
Dia mengunjungi Alexandria dan menyusuri Sungai Nil di Mesir, Dari kota kuno Damaskus, dia
menempuh perjalanan melewati Lembah Sodom bersama karavan para peziarah haji menuju
Mekkah dan Madinah. Varthema tercatat sebagai seorang non-Muslim pertama yang berhasil
memasuki kota suci itu. Perjalanannya berlanjut menuju ke Persia, India, Srilangka, hingga
Kepulauan Nusantara. Catatan perjalannya mengungkapkan bahwa dia berkesempatan singgah
ke Malaka, Aceh, Banda, Maluku sebagai titik perjalanannya paling timur. Kemudian, dia
menuju arah balik dan singgah ke Borneo dan Jawa.
“Menurut anggapan saya, yang juga menyetujui banyak pendapat,” ungkap Varthema, “saya
merasa inilah Taprobana.”Taprobana itu untuk menunjuk pulau yang kini kita sebut sebagai
Sumatra.
Varthema menggambarkan satu ruas jalan di Pedir menjadi ajang sekitar 500 pedagang uang,
yang menunjukkan bahwa sejumlah besar pedagang asing telah meramaikan kota pesisir ini.
Perdagangan diramaikan oleh komoditi gading, sutera, kemenyan, lada, dan molaga—sejenis
cabai.
Dia memiliki kesan mendalam tentang Pedir, yang saat itu menurutnya memiliki tiga raja
paganisme, dan memiliki kesamaan dengan orang-orang Tanassari (kini Myanmar) perihal gaya
hidup, busana, dan kebiasaan lainnya. “Orang-orangnya tidak menyukai perang,” tulisnya,
“gemar memperhatikan barang dagangan mereka, dan sangat bersahabat dengan orang asing.”
Varthema mandapati kenyataan bahwa pala dan cengkih tidak tumbuh di sini, melainkan di
tempat lain yang harus ditempuh dengan berlayar. Lantaran perahu besar akan berisiko diganggu
perompak, mereka berlayar dengan chiampana—sebutan Varthema untuk kapal kecil atau
sampan—yang telah dibekali makanan dan buah-buahan untuk bertolak menuju “Bandan”.
“Kami melayari sekitar dua puluh pulau, sebagian dihuni dan lainnya tidak,” catat Varthema. Ini
memberi gambaran kepada kita bahwa mereka melintasi sepanjang pesisir Jawa ke arah timur.
Selama 15 hari di lautan, sampailah mereka Banda, satu dari gugusan pulau pala.
Varthema baru saja menunaikan rute penjelajahan yang belum pernah dilayari para pelaut Eropa.
Setidaknya, tidak ada catatan perjalanan dari orang Eropa sebelum Varthema tentang rute dan
tempat ini.
Banda, menurut catatannya, pulau yang “sangat buruk dan suram [...] Di sini tidak ada raja atau
pemerintah, melainkan orang-orang desa yang tampak liar dan sulit mengerti.” Warganya
berbusana sehelai kemeja dan menghuni rumah pangung dari pondok-pondok kayu. Namun, dia
menambahkan, “Sirkulasi uang di sini seperti layaknya Kalkuta”.
Banda, menurut catatannya, pulau yang “sangat buruk dan suram [...] Di sini tidak ada raja atau
pemerintah, melainkan orang-orang desa yang tampak liar dan sulit mengerti.”
“Tak ada yang tumbuh di sini, selain pala dan buah-buahan,” catat Varthema. Pala tumbuh
secara spontan, dan menjadi harta semua warga. Setiap orang pun dapat menghimpun pala
sebanyak yang dia mau, ungkapnya.
Tampaknya Varthema menganggap Maluku adalah toponimi sebuah pulau. Tidak jelas benar, di
mana dia berlabuh. Namun pernyataannya bahwa pulau ini penghasil cengkih dan lebih kecil
daripada Banda, mungkin dia berada di Ternate atau Tidore. “Negeri ini berada begitu rendah,”
ungkapnya. Pada kenyataannya memang Maluku bergaris lintang rendah. “Dan, bintang utara
tidak tampak dari sini.”
“Kami menjumpai bahwa mereka menjual cengkih dua kali lebih mahal dari pala, sebagai
ukurannya, karena mereka tidak mengenal ukuran berat.” Ajaibnya, nilai tukar cengkih terhadap
pala relatif tidak berubah sampai hari ini. Di Ternate, pada awal tahun ini, cengkih dijual seharga
Rp105 ribu, sementara pala Rp55 ribu per kilogram.
Maluku adalah titik paling timur dalam perjalanannya. Pelayaran berikutnya menuju “Giava”
atau Jawa, yang menurut petualang semasa merupakan “pulau terbesar di dunia dan paling kaya,
dan Anda akan menyaksikan sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.” Namun, sebelum
berjejak di Jawa, Varthema singgah ke “Bornei”—atau penjelajah Portugis yang datang
belakangan menyebutnya Borneo.
Perjalanan menuju Jawa ditempuh selama lima hari. Sang nakhoda, yang kemungkinan orang
Melayu, ternyata sudah memiliki kompas dan peta dengan garis melintang dan memanjang. Dia
berkata kepada Varthema bahwa di sisi selatan Jawa, terdapat jalur pelayaran menuju pulau lain.
“Pulau tersebut memiliki siang hari yang tidak lebih dari empat jam,” ungkap sang nakhoda
kepadanya, “dan lebih dingin daripada di bagian dunia lainnya.”
Apabila catatan Varthema benar, ada dua perkara yang menarik untuk dikaji dan didiskusikan.
Pertama, para pelaut Melayu sudah mengenal peta dan kompas. Kedua, mereka juga telah
mengenal pelayaran ke kawasan subtropis nun jauh di benua seberang selatan Jawa.
“Karyanya sungguh memengaruhi dalam penentuan arah ekspansi Portugis,” tulis Raymond,
“dan digunakan oleh Magellan dalam menunjukkan perkaranya terkait pelayaran pertama
mengelilingi dunia.”
Ray merupakan penulis asal London yang menyusun The Book of Exploration, peneliti yang
gemar menapaki jejak para penjelajah, dan mantan konsultan untuk National Geographic.
Kendati sebagian sarjana modern meragukan perjalanannya ke Hindia terkait kronologi dan
catatan yang relatif tidak detail, faktanya penjelajahan itu mungkin benar dilakukan. Raymond
juga menambahkan bahwa informasi yang diberikan Varthema, kendati dari sumber kedua, pada
dasarnya memiliki keakuratan. “Karyanya sungguh memengaruhi dalam penentuan arah ekspansi
Portugis,” tulis Ray, “dan digunakan oleh Magellan dalam menunjukkan perkaranya terkait
pelayaran pertama mengelilingi dunia.”
Tahun ini tepat 500 tahun wafatnya sang penjelajah pionir di Kepulauan Rempah. Saya kembali
teringat pesan Varthema, yang meneguhkan bahwa catatan perjalanannya bukanlah kabar dusta.
“Ingatlah baik-baik bahwa testimoni dari satu saksi mata akan lebih bernilai ketimbang sepuluh
kabar burung.”