Anda di halaman 1dari 15

REVIEW JURNAL

PENDIDIKAN DEMOKRASI

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Model dan Strategi Belajar Mengajar

Disusun oleh:
Khofi Amin (2022100012411)
M. Taufiq Al Farizi (2022100012392)

Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Ihwanul Muttaqin, M.Pd.I
NIY. 19870512146066

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN LUMAJANG
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa. Semoga
Shalawat serta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad Saw, Yang mana beliau telah menjadi tauladan, panutan dan imam segala
urusan, baik di dunia maupun di akhirat dan telah menuntun kita dari zaman jahiliyah
menuju zaman yang terang-benderang yakni agama islam.
Jurnal ini bertujuan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Model dan Strategi Belajar Mengajar tentang Pendidikan Demokrasi. Namun penulis
sadar bahwa penulisan jurnal ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya dukungan dan
bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk itu
penulis menyampaikan segenap rasa terima kasih kepada semua pihak, antara lain:
1. Bapak Dr. Ahmad Ihwanul Muttaqin, M.Pd.I selaku dosen Mata Kuliah Model dan
Strategi Belajar Mengajar di IAI Syarifuddin Wonorejo Lumajang.
2. Serta teman-teman seperjuangan yang telah mendukung kami sehingga kami bisa
menyelesaikan jurnal ini dengan tepat waktu.
Selain itu, penulis juga menyadari bahwa penulisan jurnal ini tentu masih
terdapat kekurangan. Maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruksi dari
pihak manapun demi perbaikan selanjutnya, dan semoga jurnal ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Lumajang, 10 Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Nama dan Penerbit Jurnal.....................................................................1

B. Judul Artikel.........................................................................................1

C. Penulis Artikel......................................................................................1

D. Abstrak Artikel.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................2

A. Maksud dan Isi Artikel.........................................................................2

B. Pandangan Penulis Tentang Artikel......................................................9

BAB III PENUTUP.........................................................................................11

A. Kesimpulan...........................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Nama dan Penerbit Jurnal


Adapun nama-nama yang terdapat dalam jurnal ini adalah Marcuse, Habermas
dan Mezirow Dan penerbit jurnal ini adalah Habermas.
B. Judul Artikel
Artikel ini berjudul Pendidikan Demokrasi.
C. Penulis Artikel
Adapun penulis artikel ini adalah Habermas
D. Abstrak Artikel
Artikel ini menggambarkan pandangan-pandangan tentang pendidikan
demokrasi dari tiga tokoh utama, yaitu Herbert Marcuse, Jürgen Habermas, dan
Jack Mezirow. Masing-masing dari mereka membawa kontribusi unik terhadap
pemahaman demokrasi dalam konteks pendidikan.

Pertama, Herbert Marcuse, seorang teoretikus Frankfurt School, menyoroti


aspek kritis demokrasi. Baginya, demokrasi seringkali menjadi alat untuk
menutupi ketidaksetaraan dan penindasan sosial. Marcuse mendorong
transformasi masyarakat untuk mencapai kebebasan yang lebih sejati, dengan
mengungkapkan bahwa masyarakat demokratis dapat menciptakan bentuk
dominasi tersembunyi.

Kedua, Jürgen Habermas, melalui teori komunikatifnya, menghadirkan


pandangan demokrasi deliberatif. Bagi Habermas, demokrasi yang sejati terjadi
melalui partisipasi warga dalam diskusi rasional untuk mencapai konsensus.
Ruang publik menjadi kunci, di mana warga dapat bertukar ide tanpa dominasi.
Demokrasi bukan hanya tentang proses keputusan, tetapi juga dialog dan
diskursus yang adil.

Terakhir, Jack Mezirow, dengan teori transformasionalnya dalam pendidikan


dewasa, memberikan perspektif mengenai transformasi personal. Meskipun tidak
secara langsung berkaitan dengan demokrasi, konsep transformasi Mezirow dapat
dihubungkan dengan pendidikan untuk kewarganegaraan demokratis. Refleksi
kritis dan perubahan paradigma menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan dan
pemahaman yang lebih mendalam.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Maksud dan Isi Artikel


1. Belajar Demokrasi
Pada bab sebelumnya, Anda, pembaca, mungkin bertanya-tanya apa
sebenarnya yang terjadi dengan pembelajaran dan pendidikan orang dewasa.
Dalam bab tersebut yang merinci kecenderungan krisis yang dilihat Habermas
di masyarakat Barat, peran pembelajaran dan pendidikan orang dewasa dalam
mengatasi hal ini hanya mendapat perhatian sekilas. Namun kini tempat
mereka di bawah sinar matahari telah tiba. Dalam bab ini saya ingin
menguraikan pentingnya pembelajaran orang dewasa terhadap pandangan
Habermas tentang evolusi sosial, untuk mengkaji bagaimana gagasannya
tentang wacana manusia dan tindakan komunikatif memerlukan teori
pembelajaran orang dewasa, dan untuk mengeksplorasi bagaimana proyek
pembelajaran orang dewasa yang paling penting baginya. demokrasi yang
serba belajar - berupaya membatasi dampak destruktif serangan terhadap
ruang publik, masyarakat sipil, dan dunia kehidupan.
Artikel ini menggambarkan pandangan-pandangan tentang pendidikan
demokrasi dari tiga tokoh utama, yaitu Herbert Marcuse, Jürgen Habermas,
dan Jack Mezirow. Masing-masing dari mereka membawa kontribusi unik
terhadap pemahaman demokrasi dalam konteks pendidikan.
Pertama, Herbert Marcuse, seorang teoretikus Frankfurt School, menyoroti
aspek kritis demokrasi. Baginya, demokrasi seringkali menjadi alat untuk
menutupi ketidaksetaraan dan penindasan sosial. Marcuse mendorong
transformasi masyarakat untuk mencapai kebebasan yang lebih sejati, dengan
mengungkapkan bahwa masyarakat demokratis dapat menciptakan bentuk
dominasi tersembunyi.
Kedua, Jürgen Habermas, melalui teori komunikatifnya, menghadirkan
pandangan demokrasi deliberatif. Bagi Habermas, demokrasi yang sejati
terjadi melalui partisipasi warga dalam diskusi rasional untuk mencapai
konsensus. Ruang publik menjadi kunci, di mana warga dapat bertukar ide

v
tanpa dominasi. Demokrasi bukan hanya tentang proses keputusan, tetapi juga
dialog dan diskursus yang adil.
Terakhir, Jack Mezirow, dengan teori transformasionalnya dalam
pendidikan dewasa, memberikan perspektif mengenai transformasi personal.
Meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan demokrasi, konsep
transformasi Mezirow dapat dihubungkan dengan pendidikan untuk
kewarganegaraan demokratis. Refleksi kritis dan perubahan paradigma
menjadi kunci untuk mencapai pertumbuhan dan pemahaman yang lebih
mendalam.
Artikel ini menyelidiki kontribusi ketiganya terhadap pendidikan
demokrasi, mulai dari kritik sosial, dialog deliberatif, hingga transformasi
personal. Dengan melibatkan pandangan-pandangan ini, artikel ini bertujuan
untuk memperkaya pemahaman tentang bagaimana pendidikan dapat
membentuk individu dalam masyarakat yang demokratis.
Belajar demokrasi menurut Marcuse, Habermas, dan Mezirow melibatkan
pemahaman mendalam tentang kontribusi masing-masing tokoh terhadap
pandangan mereka tentang demokrasi. Berikut adalah gambaran singkat
tentang bagaimana pembelajaran demokrasi dapat dipahami dari perspektif
ketiganya:
1. Herbert Marcuse:
- Marcuse menekankan kritis terhadap demokrasi yang dianggapnya sering
menjadi alat untuk menyembunyikan ketidaksetaraan dan penindasan.
- Pembelajaran demokrasi menurut Marcuse melibatkan pemahaman kritis
terhadap struktur sosial yang mungkin tersembunyi di balik tampilan
demokratis.
2. Jürgen Habermas:
- Habermas membawa konsep demokrasi deliberatif, di mana partisipasi
warga dalam diskusi rasional menjadi kunci.
- Belajar demokrasi dari Habermas melibatkan pengembangan keterampilan
berkomunikasi rasional, kemampuan untuk berpartisipasi dalam dialog yang
adil, dan pemahaman tentang pentingnya ruang publik.
3. Jack Mezirow:

vi
- Mezirow, meskipun tidak secara langsung berkaitan dengan demokrasi,
mengajukan konsep transformasi personal melalui refleksi kritis dan
perubahan paradigma.
- Pembelajaran demokrasi menurut Mezirow melibatkan pengembangan
kemampuan individu untuk merenung secara kritis, mengubah pandangan
dunia, dan mencapai pemahaman yang lebih mendalam.

Secara keseluruhan, pembelajaran demokrasi dari ketiga tokoh ini tidak


hanya mencakup pemahaman konsep dasar demokrasi, tetapi juga melibatkan
kritis terhadap aspek-aspek tertentu, pengembangan keterampilan komunikasi,
dan transformasi personal untuk mencapai partisipasi yang lebih bermakna
dalam masyarakat demokratis.

2. Sentralitas Pembelajaran Orang Dewasa


Dalam bab sebelumnya, saya mengakui kesukaan Habermas terhadap teori
kritis afirmatif yang diwakili oleh Marcuse yang pernah menyatakan "tidak
ada seorang pun yang lebih demokrat daripada saya", dan juga mengakui
bahwa "kondisi demokrasi yang sebenarnya masih belum berubah." harus
diciptakan". Seperti Marcuse, Habermas mempunyai salah satu proyek
utamanya yaitu pemahaman dan penciptaan kondisi demokrasi. Inti dari upaya
ini adalah pembelajaran orang dewasa. Harapan Habermas untuk meregenerasi
demokrasi terletak pada kemampuan orang dewasa untuk belajar; khususnya,
untuk mempelajari cara mengenali dan memperluas proses demokrasi yang
melekat dalam komunikasi manusia. Pembelajaran orang dewasa, bagi
Habermas, merupakan bagian integral dari komunikasi dan, oleh karena itu,
sejalan dengan keberadaan. Sejak kita semua berkomunikasi, pembelajaran
adalah fenomena yang terjadi secara alami yang hanya dapat dicegah dengan
tindakan penindasan yang dimulai oleh kekuatan eksternal. Dalam dunia
dimana orang dewasa sering berkomunikasi, pertanyaan yang paling menarik
bagi Habermas bukanlah bagaimana pembelajaran orang dewasa terjadi
namun bagaimana hal itu tidak terjadi! Jika pembelajaran merupakan bagian
masa dewasa yang ada di mana-mana, maka masalah yang perlu dijelaskan
adalah mengapa pembelajaran tidak terjadi di semua tempat. Mengutip

vii
ungkapan khas Habermasian, "tidak belajar, tetapi tidak belajar adalah
fenomena yang memerlukan penjelasan".
Penjelasan Habermas mengenai mengapa orang dewasa tidak belajar secara
terus-menerus dan nyata adalah karena sistem politik dan ekonomi masa kini,
serta berbagai media pengarahnya, berusaha menutup kemungkinan adanya
pembelajaran yang menantang kepentingan sistemis. Karena pembelajaran
melibatkan pertanyaan “mengapa?” itu berpotensi sangat mengancam sistem
dan harus dikendalikan. Jika pembelajaran bertanya mengapa tidak dapat
dihentikan sejak awal, maka sistem akan mencoba mengalihkan energi yang
dihasilkan dari pembelajaran ke saluran-saluran yang menegaskan legitimasi
tatanan yang ada. Namun jangan salah, dalam pandangan Habermas belajar
adalah hal yang dilakukan orang dewasa sepanjang waktu, kecuali ada sesuatu
yang secara aktif mencegah hal ini terjadi. Orang dewasa mempunyai
"ketidakmampuan otomatis untuk tidak belajar" yang merupakan ciri khas
keberadaan orang dewasa. Meskipun ia bekerja dalam tradisi intelektual yang
berbeda dari kebanyakan pendidik dewasa yang meneliti pembelajaran
mandiri, Habermas setuju dengan anggapan mereka bahwa orang dewasa
belajar terus menerus dan dalam berbagai lingkungan. Pembelajaran
berkelanjutan ini terjadi baik orang dewasa tersebut berpartisipasi atau tidak
dalam program yang disponsori dan diatur secara formal.

3. Pembelajaran Orang Dewasa Refleksif dan Evolusi Sosial

Dalam Krisis Legitimasi (1975), Habermas menguraikan dua bentuk


pembelajaran yang luas nonrefleksif dan refleksifperbedaan yang diambil oleh
Mezirow dalam artikelnya yang berpengaruh pada tahun 1981. Pembelajaran
nonrefleksif adalah pembelajaran tanpa unsur kritis. Pembelajaran untuk
tunduk tanpa perlawanan terhadap aturan perdebatan, penilaian argumen, dan
proses pengambilan keputusan merupakan hal yang disukai oleh budaya
dominan karena hal tersebut menghilangkan prospek tantangan terhadap
budaya tersebut dengan cara yang sama.

memutuskan hubungan antara pengambilan keputusan dan penyelidikan


moral yang lebih dalam. Oleh karena itu, "pembelajaran non-refleksif terjadi
dalam konteks tindakan di mana klaim validitas teoretis dan praktis yang

viii
diajukan secara implisit diterima begitu saja dan diterima atau ditolak tanpa
pertimbangan diskursif".

Pembelajaran refleksif, sebaliknya, adalah pembelajaran yang diwarnai


dengan kekritisan. Dalam pembelajaran seperti ini, kita belajar
mempertanyakan dan menantang praktik sehari-hari atau tatanan sosial dengan
berdiskusi dengan orang lain sejauh mana hal tersebut dapat dibenarkan. Oleh
karena itu, pembelajaran refleksif pada dasarnya bersifat komunikatif. Hal ini
melibatkan membandingkan pengalaman dan pendapat kita dengan orang
dewasa lainnya, dan mempertimbangkan manfaat dari bukti yang diajukan
untuk membenarkan keyakinan atau tindakan yang berbeda. Habermas
mengungkapkan gagasan ini dengan agak berbelit-belit: “Pembelajaran
refleksif terjadi melalui wacana di mana kita menetapkan tema klaim validitas
praktis yang telah menjadi problematis atau menjadi problematis karena
keraguan yang dilembagakan, dan menebus atau menolak klaim tersebut
berdasarkan argumen”. Sederhananya, pembelajaran refleksif melibatkan kita
membicarakan dengan orang lain mengenai bukti-bukti yang bertentangan
yang kita miliki mengenai apakah segala sesuatu telah diatur dengan cara
terbaik dalam masyarakat, dan apakah perusahaan, birokrasi, dan pemerintah
bertindak sesuai dengan hal tersebut. kepentingan terbaik bagi rakyat di hati.

Sejauh mana orang dewasa terlibat dalam pembelajaran refleksif bukanlah


suatu kebetulan melainkan determinasi sosial. Hal ini bergantung pada
"apakah prinsip organisasi masyarakat mengizinkan pembedaan antara
pertanyaan teoritis dan praktis dan transisi dari pembelajaran non-refleksif
(pra-ilmiah) ke pembelajaran refleksif". Misalnya, pembelajaran
mempertanyakan distribusi sumber daya atau hak kelompok tertentu untuk
memerintah dapat langsung dihalangi atau dicegah jika dunia kehidupan
menganggap pembelajaran tersebut menyimpang, tidak bermoral, atau tidak
patriotik. Dengan cara ini, apa yang tampak seperti proyek pembelajaran
mandiri tidak ditentukan secara individual sama sekali, melainkan dibingkai
secara sosial. Memang benar, sebagai aturan umum, pengembangan kapasitas
reflektif individu selalu dibatasi oleh budaya; “karena perkembangan kognitif
individu terjadi di bawah kondisi batas sosial, maka ada proses melingkar
antara pembelajaran masyarakat dan individu".

ix
Salah satu dimensi pembelajaran refleksif yang tidak banyak muncul dalam
literatur pembelajaran orang dewasa, namun penting bagi Habermas, adalah
pembelajaran evolusioner. Habermas melihat pembelajaran seperti itu sebagai
pendorong utama perkembangan masyarakat, “mekanisme fundamental bagi
evolusi sosial secara umum”. Tanpa keterlibatan sosial dalam pembelajaran,
masyarakat akan tetap berada dalam keadaan statis. Dalam meninjau bukti
sejarah dan antropologis, Habermas mengamati bahwa "keadaan awal
masyarakat kuno hanya dapat diubah melalui pembelajaran konstruktif dari
individu yang tersosialisasi". Oleh karena itu, merupakan kepentingan terbaik
masyarakat (tentu saja dengan asumsi bahwa evolusi adalah hal yang baik)
untuk mengatur proses pembelajaran evolusioner serta mengandalkan
kemunculannya secara alami.

Ada dua kondisi yang harus ada agar pembelajaran evolusioner dapat
terjadi: “Di satu sisi, permasalahan sistem yang belum terselesaikan yang
merupakan tantangan; di sisi lain, tingkat pembelajaran baru yang telah
dicapai dalam pandangan dunia dan tersedia secara laten namun belum
tersedia.” namun dimasukkan ke dalam sistem tindakan dan dengan demikian
tetap tidak berfungsi secara institusional”. Kasus pemanasan global
merupakan salah satu peluang kontemporer terjadinya pembelajaran evolusi,
ketegangan rasial merupakan peluang lain, dan epidemi AIDS di benua Afrika
merupakan peluang ketiga. Dalam setiap situasi, muncul masalah sistem yang
belum terselesaikan yang jelas merupakan tantangan besar bagi umat manusia.
Ini semua merupakan masalah sistem karena disebabkan oleh tindakan orang-
orang dalam sistem yang dijalankan demi keuntungan ekonomi atau terjadi
secara alami namun diperburuk hingga mencapai tingkat krisis oleh keinginan
sebagian orang untuk mendapatkan keuntungan atau penolakan pihak lain
yang berkuasa untuk mengakui adanya masalah. Beberapa orang dewasa di
kalangan masyarakat sipil aktivis, profesional yang peduli, intelektual, dan
sebagainya telah memaksakan kesadaran akan perlunya mempelajari cara-cara
baru untuk merespons krisis-krisis ini di ruang publik. Penolakan Presiden
Bush untuk menandatangani Perjanjian Kyoto, kerusuhan ras di pusat kota
Cincinnati atau Oldham, Inggris, dan keragu-raguan perusahaan farmasi
mengenai apakah mereka akan meninggalkan kebijakan penetapan harga yang

x
sangat menguntungkan terkait penjualan obat-obatan pengobatan AIDS di
negara-negara miskin di dunia ketiga. semuanya diberikan ruang media dalam
beberapa minggu dan bulan. Pada saat yang sama dengan "masalah sistem
yang belum terselesaikan" ini muncul, para aktivis memberikan beragam
tanggapan terhadap hal tersebut.

Ambil contoh pemanasan global, di Amerika Serikat terdapat usulan


kebijakan energi alternatif, peralihan ke mobil hibrida yang lebih kecil,
peningkatan investasi transportasi umum secara besar-besaran, penerapan
persyaratan bahan bakar tambahan yang lebih ketat, untuk hukuman pajak
bagi mereka yang membeli bahan bakar boros, dan untuk penerimaan bahwa
AC adalah kemewahan yang mahal-bukan suatu keharusan di iklim gurun
California dan Arizona. Semua usulan ini telah berhasil dikesampingkan oleh
industri minyak, gas, nuklir, dan otomotif, dan oleh pemerintahan yang
mencakup mantan tokoh-tokoh terkemuka di industri-industri tersebut di
antara pejabat publik seniornya. Namun, Habermas bersikukuh pada
keyakinannya akan kemungkinan-kemungkinan pembelajaran.

kombinasi kompetensi dan kemampuan belajar yang memungkinkan


penanganan yang cermat atas pengetahuan teknis sementara dan kemauan
yang peka terhadap konteks dan terinformasi dengan baik untuk menolak
secara politis penerapan fungsional atau kendali pengetahuan yang meragukan
yang dipraktikkan seseorang". Dengan kata lain, seseorang terampil dalam
bidang praktiknya, namun juga terampil dalam mengenali kapan praktiknya
digunakan untuk kepentingan sistem dan bertentangan dengan kepentingan
anggotanya yang kurang berkuasa.

4. Pembelajaran Orang Dewasa sebagai Tindakan Komunikatif

Teori tindakan komunikatif Habermas mungkin merupakan idenya yang


paling terkenal dan, seiring dengan invasi dunia kehidupan, bagian dari
karyanya paling dikenal dalam pendidikan orang dewasa. Yang terkadang
terlupakan adalah betapa pentingnya pembelajaran orang dewasa dalam teori
ini. Gagasan Habermas tentang tindakan komunikatif "mulai dari asumsi
sepele bahwa subjek yang mampu berbicara dan bertindak mau tidak mau
harus belajar". Ia bergerak, kadang-kadang membingungkan, antara

xi
pandangan normatif tentang tindakan komunikatif sebagai cara yang dipilih
untuk mencapai kesepakatan dengan distorsi dan manipulasi sesedikit
mungkin, dan tindakan komunikatif sebagai realitas empiris yang tidak dapat
dihindari, yang ada hampir terlepas dari niat orang dewasa. Ia meringkas
pandangan terakhir ini dengan menyatakan bahwa "dalam praktik komunikatif
sehari-hari, individu yang bersosialisasi tidak dapat menghindari penggunaan
ucapan sehari-hari dengan cara yang berorientasi pada pencapaian
pemahaman". Oleh karena itu, “setiap kali kita bersungguh-sungguh dengan
apa yang kita katakan, kita mengajukan klaim bahwa apa yang dikatakan itu
benar, atau benar, atau jujur”. Hal ini bukan berarti "orang ingin bertindak
secara komunikatif, namun mereka harus melakukannya". Mengasuh anak,
pendidikan, persahabatan, hubungan kerja, aksi komunitas-"ini adalah fungsi
sosial dasar yang hanya dapat dipenuhi melalui tindakan komunikatif".

B. Pandangan Penulis Tentang Artikel


Pendapat penulis tentang pendidikan dalam demokrasi dapat mencakup
beberapa aspek kunci:

1. Pentingnya Pendidikan Demokratis:

Pendidikan di dalam sistem demokratis dianggap penting untuk


membentuk warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban mereka, serta
memiliki pemahaman yang kuat tentang nilai-nilai demokrasi. Ini mencakup
pengetahuan tentang prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan partisipasi
aktif dalam proses politik.

2. Pendidikan untuk Keterlibatan Aktif:

Seorang penulis mungkin menekankan pentingnya pendidikan dalam


mempersiapkan warga negara yang aktif secara politik, yang tidak hanya
memahami isu-isu publik tetapi juga berpartisipasi dalam pemilihan, diskusi
masyarakat, dan bentuk-bentuk keterlibatan politik lainnya.

3. Pendekatan Berpusat pada Siswa:

Pendidikan demokratis dapat dilihat sebagai pendekatan yang berpusat


pada siswa, di mana siswa didorong untuk berpikir kritis, menghargai keragaman,
dan mengembangkan keterampilan untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan

xii
orang lain. Ini menciptakan lingkungan di mana nilai-nilai demokratis seperti
kesetaraan dan keadilan diterapkan dalam interaksi sehari-hari.

4. Mengatasi Ketidaksetaraan dalam Pendidikan:

Penulis mungkin menyoroti perlunya sistem pendidikan yang adil dan


merata, yang dapat mengatasi ketidaksetaraan dalam akses pendidikan dan
memberikan setiap individu kesempatan yang sama untuk berkembang.

5. Pendidikan untuk Toleransi dan Pemahaman Lintas Budaya:

Dalam pandangan penulis, pendidikan demokratis juga mungkin diartikan


sebagai sarana untuk mempromosikan toleransi, penghargaan terhadap
keberagaman budaya, dan pemahaman antarbudaya, yang merupakan nilai-nilai
yang penting dalam masyarakat demokratis yang kompleks.

6. Pengembangan Keterampilan Kritis dan Analitis:

Seorang penulis dapat menekankan pentingnya pendidikan demokratis


dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis, sehingga warga
negara dapat mengevaluasi informasi, membuat keputusan informasi yang tepat,
dan berkontribusi pada perubahan positif dalam masyarakat.

Dalam keseluruhan, pandangan penulis tentang pendidikan dalam


demokrasi mungkin mencerminkan keyakinan akan peran penting pendidikan
dalam membentuk masyarakat yang demokratis, beradab, dan berdaya.

xiii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan materi di atas dapat disimpulkan bahwa Hasil
Pembelajaran dari Pendidikan Demokrasi adalah suatu konsep yang mencakup
upaya untuk memberikan pemahaman dan melibatkan masyarakat dalam prinsip-
prinsip demokrasi. Hal ini bertujuan untuk membentuk warga negara yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berpartisipasi
secara aktif dalam system demokrasi. Beberapa aspek utama dari Pendidikan
demokrasi melibatkan:

1. Pemahaman hak dan kewajiban warga

2. Partisipasi dalam proses pemilihan

3. Pengembangan keterampilan berpikir kritis

4. Penghargaan terhadap keberagaman dan harga diri

5. Pendidikan politik

Pendidikan Demokrasi menciptakan Masyarakat yang sadar akan nilai-


nilai demokrasi, aktif dalam proses politik, dan mampu berkontribusi positif
terhadap pembangunan dan pemeliharaan system demokratis. Dengan
memberikan pengetahuan dan keterampilan Pendidikan demokrasi berperan

xiv
penting dalam membangun pondasi yang kuat untuk keberlanjutan dan
berkembangnya system demokrasi.

xv

Anda mungkin juga menyukai