20/468013/PMU/10619
Penelitian dan publkasi kritis kian memberikan kontribusi dalam skala signifikan, di tengah
problem masyarakat era kontemporer yang kian seragam. Peninjauan terhadap perkembangan
paradigma kritis pada hari ini dapat dilihat dalam berbagai tulisan yang mendebat definisi
pembangunan, kebudayaan dan transformasi sosial dan menempatkan kembali komunikasi
dalam diskursus ruang publik dan sebagai sarana mempertahankan eksistensi komunitas
subaltern (Dutta, 2018; Melkote & Steeves, 2015; Wilkins, 1996). Dutta (2018) telah merespon
peran pembangunan dominan yang mendefenisikan kebudayaan sebagai katalis pembangunan,
sebelum akhirnya menawarkan Culturally Centering Action (CCA), yang menyerahkan proses
pendefinisian kebudayaan, dan tindakan terhadapnya, kepada komunitas kebudayaan yang kerap
terpinggirkan. Melkote (2015) mengurai pentingnya penerjemahan ulang transformasi sosial,
dari yang sebelumnya ditafsirkan sebagai sebuah proses inkorporasi masyrakat kepada tatanan
ekonomi kapital, menjadi sebuah upaya yang menempatkan keadilan sosial sebagai maximnya.
Namun begitu, masih dominannya status quo dalam komunikasi pembangunan, menunjukkan
bahwa paradigma ini masih perlu dikembangkan lagi.
Roman (2005) berpendapat bahwa teori kritis dalam komunikasi pembangunan cenderung
lebih memerhatikan aspek ekonomi-politik dalam pembangunan, daripada aspek komunikasi. Ia
menduga bahwa penyebabnya adalah “interdisiplinalitas penelitian kritis yang terlalu beragam”,
sehingga interaksinya dengan komunikasi dapat dikatakan hanya dangkal saja. Dalam pandangan
Roman, teori kritis juga tidak aplikatif karena tidak menggunakan teori yang dapat difalsifikasi
dan diuji. Dengan keterbatasan tersebut, peran teori kritis adalah terbatas sebagai merkusuar
pengawas. Oleh karena itu, penulis hendak memeriksa kembali pendapat tersebut dalam artikel
ini, yakni apakah betul teori kritis dalam kajian komunikasi pembangunan hanya memerhatikan
aspek ekonomi-politik saja. Begitu pula, hendak diketahui bagaimana penelitian kritis
kontemporer dijalankan dan apakah teori kritis kekurangan kerangka sistematis/rigor dalam
menghasilkan temuan yang valid(Roman, 2005).
Komunikasi Pembangunan
Menurut Manyozo (2012) terdapat tiga pendekatan utama yang dapat menggambarkan
cakupan komunikasi pembangunan, yakni pembangunan komunikasi/media, komunikasi/media
untuk pembangunan, dan komunikasi untuk pembangunan dan perubahan sosial. Dari ragam
pendekatan tersebut, dihasilkan tiga pokok kajian, yakni media, pembangunan, dan demokrasi.
Studi ini tak homogen seperti yang pada mulanya diasumsikan, tapi justru terdiri dari banyak
topik yang terhubung dan perbedaan di antaranya tersamarkan oleh kemiripan yang sulit untuk
diidentifikasi.
Pendekatan pertama merupaka upaya replikasi sistem dan struktur ideal media di negara
barat ke dalam konteks negara-negara dunia ketiga. Pendekatan kedua dikembangkan
berdasarkan kampanye komoditas publik internasional (IPG) sebagai agenda pembangunan,
melalui penggunaan media untuk meningkatkan pengadopsian inovasi. Pendekatan ketiga
berfokus pada penguatan jejaring komunikasi di aras komunitas guna menjaring aspirasi-aspirasi
yang terpinggirkan, baik dalam formulasi kebijakan pembangunan, pelaksanaannya, hingga
evaluasinya.
Pendekatan pertama, media untuk pembangunan, terdiri dari proses yang terpusat dalam
melaporkan dan mengkomunikasaikan pembangunan, di mana media massa memformulasikan
strategi sentral dalam komunikasi publik, kampanye, dan advokasi dalam dan tentang isu-isu
komunikasi. Objketif utamanya adalah menyampaikan gagasan pembangunan secara edukatif
dan dapat menstimulasi perilaku positif. Sumber pendekatan ini dapat dilacak pada kajian
jurnalisme pembangunan, psikologi sosial atau komunikasi perubahan sikap (Manyozo, 2014).
Teori Kritis
Teori kritis menolak premis naif yang menyatakan bahwa; 1) ilmu alam bersifat bebas
nilai bahkan hanya bekerja untuk hal yang baik; dan 2) pemisahan fakta dari muatan kualitas
subjek penelitian sosial khas positivisme(Collin & Pedersen, 2015). Penolakan ini sekaligus
membantah konsepsi positivistik bahwa ilmu alam dapat merefleksikan realitas sosial, yang telah
dipisahkan menjadi beberapa variabel dan disusun pada kalimat sistematis, sebelum akhirnya
digeneralisasikan pada fenomena yang dinilai berkriteria serupa. Berlawanan dengan asumsi
tersebut, teori kritis menawarkan pengungkapan kebenaran dialektis dibalik realitas dan ilmu
sosial itu sendiri. Akar dari gagasan tersebut dapat dilacak pada pemikiran Marx yang telah
memoderasi metafisika Hegel. Melalui konsepsi ini, temuan penelitian yang diberikan label fakta
melalui logika positivistik bukanlah sesuatu yang secara mutlak benar, namun sekadar sebuah
kesemuan, anakronis, dan aspek represif realitas sosial yang diteliti.
Tujuan dari teori kritis bukan menyerah pada dominasi positivistik, namun sebagai acuan
individu dalam mengidentifikasi ketimpangan relasi dan represivitas yang timbul darinya.
Berdasarkan tujuan tersebut, mekanisme penemuan kebenaran dalam penelitian bukanlah melalui
verifikasi observasional, melainkan menelusuri bukti ketimpangan relasi untuk kemudian
mendefinisikan probabilitas solusinya. Dapat dikatakan pula, dengan kuatnya refleksivitas yang
diperlukan individu dalam mengidentifikasi represivitas, menempatkan teori kritis pada relasi
yang kabur dengan filsafat.
Salah satu pengaju teori kritis dari mazhab Frankfut adalah Jurgen Habermas, di mana ia
menolak netralitas ilmu pengetahuan dan menekankan pentingnya tindakan komunikatif dalam
pencarian kebenaran (Kemmis, 2008). Dalam hal ini, Habermas menekankan pentingnya
pembedaan dua asumsi, yakni; 1) kebenaran dapat diakses peneliti melelaui proposisi yang
disampaikan subjek dapat mewakilkan kesadarannya; dan 2) kebenaran dapat diakses hanya jika
terjadi mekanisme truth-telling, yakni sebuah upaya mengeksplorasi validitas proposisi, di mana
partisipan di dalamnya secara sukarela bertujuan mencapai kesepakatan dan pemahaman
bersama. Dalam pandangan Habermas, pada konteks kehidupan modern hari ini, asumsi yang
pertama perlu ditolak, sehingga asumsi kedua perlu diterima.
Dalam mengupayakan keadilan sosial dalam arti emansipasi dan kebebasan untuk
mengaktualisasiskan individu dan komunitas, diperlukan politikemansipatori (emancipatory
politics) dan politik kehidupan (politics of life). Dalam komunikasi pembangunan, keduanya
diintrepertasikan sebagai petunjuk arah bahwa dalam penelitian maupun implementasi kebijakan,
individu yang terlibat perlu memiliki posisi berdiri yang jelas terhadap sebuah isu, terkait
kelompok yang haknyanya untuk eksis dan terbebas dari ketimpangan relasi. Pada praktiknya,
emancipatory politics merupakan sebuah theory building bagi beragam topik seperti privatisasi
layanan publik; kebijakan yang membahayakan komunitas, individu, dan lingkungannya; hingga
terkait kebebasan berekspresi. Di sisi lain, politics of life berkaitan dengan keberagaman identitas
kebudayaan yang kian terancam dengan keseragaman identitas negara-bangsa, persoalan gender,
dan pengakuan akan sebuah tatanan ekonomi yang unik dalam sebuah masyarakat.
Beragama dan kajian komunikasi pembangunan dan teori kritis telah dipublikasikan,
merentang dari sektor kesehatan publik hingga infrastruktur media (Robie, 2016; Walter, 2016;
Xue, 2017). Penelitian Robie (2016) tentang peran La’o Hamutuk, lembaga penelitian yang
bergerak dalam bidang keterbukaan informasi di Timor Leste, mendokumentasikan dengan
lengkap bagaimana kontribusi lembaga tersebut dalam membuka akses informasi dan
mengimbangi pemberitaan media massa yang berkualitas buruk. Robie mendeskripsikan hasil
penelitian yang lengkap mengenai keterbatasn sumber daya La’o Hamutuk, kualitas pekrja media
yang buruk, tingginya ketergantungan media Timor Leste terhadap subsidi pemerintah, hingga
amatan terhadap pasivitas jurnliasme investigasi di negara tersebut.
Freire (1970) melalui magnum opusnya Pedagogy of the Oppressed, mengurai sebuah
metode penelitian partisipatori dengan paradigma kritis (Participatory Action Research). Ia
meneliti sebuah masyarakat tani di Brazil tentang pogram pertanian dan problemnya. Namun, ia
melakukan penelitiannya bersama belasan pemuda desa setempat yang direkrut pada tahap
observasi awal. Pada tahap pengumpulan dan analisis data, metode kunci yang digunakan adalah
dialog reflektif yang perlu dengan cermat memerhatikan aspek-aspek kebahasaan.
Action research diperkenalkan oleh Kurt Lewin yang berpandangan bahwa penelitian ini
melibatkan subjek penelitian sebagai partisipan. Merekalah yang secara kolektif mencari dan
menerjemahkan situasi hidup mereka. Lewin mengembangkan model ini dari hasil penelitiannya
tentang peran Focus Group Discussion (FGD) untuk menjamin komitmen partisipan dalam
transformasi sosial (Kemmis, 2008). Model ini memberikan pengaruh yang tampak pada ide
Lawrence Stenhouse tentang guru sebagai peneliti, ide Donald Schon tentang praktisi reflektif,
dan ide Jurgen Habermas tentang relasi antara pengetahuan-kepentingan.
3. Analisis
Kontribusi teori kritis dalam komunikasi pembangunan ditunjukkan oleh beragam studi
komunikasi pembangunan (Melkote, 2015; Dutta, 2018; Wilkins, 2007; Manyozo, 20120) dan
penelitian (Xue, 2017; Robie, 2016; Walters, 2015). Dari studi-studi tersebut pula, dapat
diketahui bahwa penggunaan teori kritis dalam studi komunikasi pembangunan memperkaya
sudut pandang kajian komunikasi kesehatan, pendidikan, hingga komunikasi publik lembaga
pemerintah. Temuan ini sekaligus membantah asumsi keliru tentang minimnya peran teori kritis
dalam aspek komunikasi dan terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi dan politik dari
pembangunan. Namun begitu, di sisi lain penulis mengamati ketimpangan yang menonjol
anatara jumlah publikasi ilmiah dalam kategori article dengan jumlah publikasi yang terkategori
researched. Artinya, kerangka teoretik komunikasi pembangunan begitu melimpah, sementara
penggunaan praktisnya dalam penelitian masih relaitf terbatas.
Dominasi positivisme dalam penelitian sosial bukan hanya diresahkan oleh Berg, namun
oleh para filsuf dan ilmuwan pendahulunya (Handelman, 2019; Holtz, 2018; Popper, 1959).
Sebelum Berg menerbitkan bukunya pada 1989, ada nama-nama besar seperti Max Horkheimer,
Theodore Adorno, Jurgen Habermas, hingga Karl Popper yang juga berpendapat demikian.
Menurut Horkheimer dan Adorno, pendekatan positivisme yang mendominasi penelitian sosial
berisiko mematikan muatan filsafat dalam ilmu, karena ketidakmampuannya mengidentifikasi
konsep-konsep terselubung. Argumen keduanya merupakan bagian dari perdebatan dengan
kelompok intelektual Vienna Circle, yang terjadi menjelang Perang Dunia II (Handelman, 2019).
Di sisi lain, terdapat Otto Neurath (1882-1945) dan Rudolf Carnapp (1891-1970) yang meyakini
bahwa logika modern dengan penggunaan prinsip dan teknik matematika adalah yang paling
menguntungkan bagi humanisme. Penggunaan terminologi humanisme merupakan upaya
mendaur ulang pemikiran bapak positivisme Auguste Comte yang muncul di abad pencerahan.
Bedanya, suksesor Comte, dalam hal ini akademisi Vienna Circle, mentransformasikannya
menjadi neo-positivisme, yakni keyakinan bahwa metode empirik dan induktif, dengan
mengkuantifikasi gejala umum dan menyesuaikannya dengan teori yang ada, adalah cara yang
paling tepat untuk mendapatkan fakta (true knowledge). Seiring waktu, true knowledge tersebut
dapat dilengkapi, direvisi, dan dihilangkan melalui teori yang juga makin kompleks (Holtz,
2018).
Penyebab dari banyaknya ilmuwan yang menilai teori kritis dan pendekatan kualitatif
sebagai tidak rigor lainnya dikarenakan anggapan keliru, bahwa falsifikasi berasal dari
positivisme dan keduanya mensyaratkan satu-sama lain. Karl Popper, ilmuwan/filsuf yang
membangun prinsip falsifikasi dalam teori (critical rationalism), juga menolak dominasi
positivisme—walaupun, ironisnya, Adhorno dan Horkheimer menganggap critical rationalism
paralel dengan positivisme (Handelman, 2019; Holtz, 2018). Menurut Holtz (2018), Popper
membedakan positivisme dengan dengan critical rationalism. Kedua pendekatan tersebut sama-
sama berasumsi bahwa realitas objektif betul-betul ada. Namun, bedanya critical rationalism
menekankan asumsi bahwa; 1) mekanisme intelektual manusia memiliki cacatnya; dan 2)
kenyataan dari sebuah fenomena sangatlah abstrak, sehingga sangat sulit untuk diteliti. Melalui
batasan tersebut, Popper sekaligus membantah asumsi positivistik bahwa kuantifikasi fenomena
adalah satu-satunya jalan terbaik memperoleh pengetahuan.
Sebenarnya disiplin rigor teori kritis dapat ditemukan dalam pandangan Habermas
(Kemmis, 2008) maupun Freire (1968). Keterkaitan penting action research dengan gagasan
teori kritis terlihat dalam pandangan bahwa tidak ada satupun agensi sosial yang membentuk
sebuah totalitas, termasuk negara sekalipun (Kemmis, 2008). Keduanya sama-sama melihat
bahwa sebuah kelompok sosial besar/fenomena besar tak akan dapat mengintegrasikan elemen-
elemen sosial yang parsial untuk kemajuan dan kebaikannya, jika kelompok yang makro hanya
mengandalkan refleksinya sendiri. Artinya, negara, kelompok pemikir, hingga badan-badan
internasional sekalipun, dalam pandangan action research dan teori kritis, khususnya Habermas,
tak berkompetensi dalam mendefinisikan pembangunan ketika gagasannya tak dipertemukan
dengan stakeholder. Begitupula, asumsi positivistik tanpa adanya dialog, berbentuk laporan
tahunan tentang kemiskinan, kesehatan, kriminalitas, hingga pendidikan tak akan mampu
merekam realitas asli yang dialami para partisipan.
4. Kesimpulan
Melalui diskusi yang sudah diurai di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat tentang
insignifikansi teori kritis dan landasannya yang kabur dalam komunikasi pembangunan tidaklah
tepat. Tori kritis justru berkontribusi dalam pengembangan kerangka teoretik komunikasi
pembangunan, terutama dalam analisis infrastruktur media, dialog partisipatori berbabasis
komunitas, hingga komunikasi kesehatan publik. Begitu pula, teori kritis memiliki akar tradisi
disiplin rigor yang sama, seperti yang terdapat pada sistematika action research, di mana teori
kritis menggunakan konsep tindakan komunikatif dan action research memapankan konsep self-
reflective.
Studi ini dilingkupi keterbatasan yang spesifik pada peran teori kritis dalam membangun
body of knowledge dari komunikasi pembangunan. Keterbatasan pertama adalah, kajian
pengembangan teori kritis dalam disiplin ilmu yang lain bukanlah cakupan studi ini. Kedua,
argumen tentang keabsahan disiplin rigor dalam teori kritis, yang berkaitan erat dengan action
research, dibangun atas pembuktian reflektif, sehingga akan dapat terus diintrepertasikan oleh
studi-studi di masa mendatang.
Referensi
Brydon-Miller, M., & Coghlan, D. (2014). The big picture: Implications and imperatives for the
action research community from the SAGE Encyclopedia of Action Research. Action
Research, 12(2), 224–233. https://doi.org/10.1177/1476750314533135
Collin, F., & Pedersen, D. B. (2015). The Frankfurt School, Science and Technology Studies,
and the Humanities. Social Epistemology, 29(1), 44–72.
http://doi.org/10.1080/02691728.2013.782588
Dutta, M. J. (2018). Culturally centering social change communication: subaltern critiques of,
resistance to, and re-imagination of development. Journal of Multicultural Discourses,
13(2), 87–104. http://doi.org/10.1080/17447143.2018.1446440
Freire, P. (1972). Pedagogy of the oppressed. New York: Herder and Herder.
Fukuyama, F. (1992). The end of history and the last man. New York: Free Press.
Handelman, M. (2019). The Trouble with Logical Positivism: Max Horkheimer, Theodor W.
Adorno, and the Origins of Critical Theory. In The Mathematical Imagination: On the
Origins and Promise of Critical Theory (pp. 25-64). NEW YORK: Fordham University
Press. doi:10.2307/j.ctv8jp0g3.4
Holtz, P., & Odağ, Ö. (2018). Popper was not a Positivist: Why Critical Rationalism Could be an
Epistemology for Qualitative as well as Quantitative Social Scientific Research.
Qualitative Research in Psychology, 1–24.
Kemmis, S. (2008). Critical theory and participatory action research. In Reason, P., & Bradbury,
H. The SAGE handbook of action research (pp. 121-138). : SAGE Publications Ltd doi:
10.4135/9781848607934
Manyozo, L. (2012). Media, communication and development: Three approaches. New Delhi:
SAGE.
McTaggart, R. & Garbutcheon-Slngh, M. (1988) Fourth generation action research: notes on the
1986 Deakln seminar, in S. Kemmis & R. Mc Taggart (Eds) The Action Research Reader
(3rd edn). Geelong: Deakln University Press.
Berg, B. L. (2001). Qualitative research methods for the social sciences. Boston: Allyn
and Bacon.
Melkote, S., & Steeves, H. L. (2015). Place and role of development communication in directed
social change: a review of the field. Journal of Multicultural Discourses, 10(3), 385–402.
http://doi.org/10.1080/17447143.2015.1050030
Popper, Karl (2002) [1959]. The Logic of Scientific Discovery (2nd English ed.). New York,
NY: Routledge Classics
Robie, D. (2015). La’o Hamutuk and Timor-Leste’s development challenges: a case study in
human rights and collaborative journalism. Media Asia, 42(3–4), 209–224.
http://doi.org/10.1080/01296612.2016.1142247
Schwartz, Howard. & Jacobs, Jerry. (1979). Qualitative sociology : a method to the madness.
New York : Free Press
Xue, M., & Xue, M. (2017). Cold War Legacies in Contemporary Institutionalized Thinking on
Development Communication : A Case Study of Two UNDP and EP ICT4D Reports by.