Anda di halaman 1dari 12

Mulia Ramdhan Fauzani

20/468013/PMU/10619

Peran Teori Kritis dalam Kajian Komunikasi Pembangunan


(Academic Paper)
Diajukan sebagai Tugas UAS mata kuliah Teori Komunikasi Pembangunan

Dosen Pengampu: Prof Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si

1. Pengantar: Problem dan Permasalahan

Penelitian dan publkasi kritis kian memberikan kontribusi dalam skala signifikan, di tengah
problem masyarakat era kontemporer yang kian seragam. Peninjauan terhadap perkembangan
paradigma kritis pada hari ini dapat dilihat dalam berbagai tulisan yang mendebat definisi
pembangunan, kebudayaan dan transformasi sosial dan menempatkan kembali komunikasi
dalam diskursus ruang publik dan sebagai sarana mempertahankan eksistensi komunitas
subaltern (Dutta, 2018; Melkote & Steeves, 2015; Wilkins, 1996). Dutta (2018) telah merespon
peran pembangunan dominan yang mendefenisikan kebudayaan sebagai katalis pembangunan,
sebelum akhirnya menawarkan Culturally Centering Action (CCA), yang menyerahkan proses
pendefinisian kebudayaan, dan tindakan terhadapnya, kepada komunitas kebudayaan yang kerap
terpinggirkan. Melkote (2015) mengurai pentingnya penerjemahan ulang transformasi sosial,
dari yang sebelumnya ditafsirkan sebagai sebuah proses inkorporasi masyrakat kepada tatanan
ekonomi kapital, menjadi sebuah upaya yang menempatkan keadilan sosial sebagai maximnya.
Namun begitu, masih dominannya status quo dalam komunikasi pembangunan, menunjukkan
bahwa paradigma ini masih perlu dikembangkan lagi.

Roman (2005) berpendapat bahwa teori kritis dalam komunikasi pembangunan cenderung
lebih memerhatikan aspek ekonomi-politik dalam pembangunan, daripada aspek komunikasi. Ia
menduga bahwa penyebabnya adalah “interdisiplinalitas penelitian kritis yang terlalu beragam”,
sehingga interaksinya dengan komunikasi dapat dikatakan hanya dangkal saja. Dalam pandangan
Roman, teori kritis juga tidak aplikatif karena tidak menggunakan teori yang dapat difalsifikasi
dan diuji. Dengan keterbatasan tersebut, peran teori kritis adalah terbatas sebagai merkusuar
pengawas. Oleh karena itu, penulis hendak memeriksa kembali pendapat tersebut dalam artikel
ini, yakni apakah betul teori kritis dalam kajian komunikasi pembangunan hanya memerhatikan
aspek ekonomi-politik saja. Begitu pula, hendak diketahui bagaimana penelitian kritis
kontemporer dijalankan dan apakah teori kritis kekurangan kerangka sistematis/rigor dalam
menghasilkan temuan yang valid(Roman, 2005).

2. Teori dan Konsep

Komunikasi Pembangunan

Menurut Manyozo (2012) terdapat tiga pendekatan utama yang dapat menggambarkan
cakupan komunikasi pembangunan, yakni pembangunan komunikasi/media, komunikasi/media
untuk pembangunan, dan komunikasi untuk pembangunan dan perubahan sosial. Dari ragam
pendekatan tersebut, dihasilkan tiga pokok kajian, yakni media, pembangunan, dan demokrasi.
Studi ini tak homogen seperti yang pada mulanya diasumsikan, tapi justru terdiri dari banyak
topik yang terhubung dan perbedaan di antaranya tersamarkan oleh kemiripan yang sulit untuk
diidentifikasi.

Pendekatan pertama merupaka upaya replikasi sistem dan struktur ideal media di negara
barat ke dalam konteks negara-negara dunia ketiga. Pendekatan kedua dikembangkan
berdasarkan kampanye komoditas publik internasional (IPG) sebagai agenda pembangunan,
melalui penggunaan media untuk meningkatkan pengadopsian inovasi. Pendekatan ketiga
berfokus pada penguatan jejaring komunikasi di aras komunitas guna menjaring aspirasi-aspirasi
yang terpinggirkan, baik dalam formulasi kebijakan pembangunan, pelaksanaannya, hingga
evaluasinya.

Pendekatan pertama, media untuk pembangunan, terdiri dari proses yang terpusat dalam
melaporkan dan mengkomunikasaikan pembangunan, di mana media massa memformulasikan
strategi sentral dalam komunikasi publik, kampanye, dan advokasi dalam dan tentang isu-isu
komunikasi. Objketif utamanya adalah menyampaikan gagasan pembangunan secara edukatif
dan dapat menstimulasi perilaku positif. Sumber pendekatan ini dapat dilacak pada kajian
jurnalisme pembangunan, psikologi sosial atau komunikasi perubahan sikap (Manyozo, 2014).

Pendekatan kedua, pembangunan media, merupakan upaya terencan dalam memperbaiki


iklim demokrasi dengan cara memperbaikan tatanan media massa. Hal ini meliputi dukungan
terhadap kebijakan yang dapat menjaga independensi media, peningkatan kualitas pekerja media,
diversifikasi media, dsb. sebagai jalan untuk menjaga akuntabilitas pemerintahan dan
mendukung transisi demokrasi. Meskipun begitu, penerapannya tidak terbatas pada negara
berkembang saja. Sumber dari pendekatan ini berasal dari konsep kebebasan dari para pemikir
ilmu politik daratan Eropa dan Amerika Utara (teori ilmu politik demokrasi liberal). Sebagian di
antaranya adalah filsuf libertarian John Stuart Mill, Jurgan Habermas dengan ide ruang
publiknya, Max Webber dengan konsep modernitasnya, dan Rostow. Asumsi neoklasik
menyatakan bahwa, karena media yang bebas dengan jelas berkontribusi dalam menguatnya
masyarakat demokratis di negara barat, hal serupa akan terjadi juga di negara demokrasi yang
sedang berkembang. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan media terdiri dari penggalangan
kebebasan media dan diversifikasinya, pengembangan media komunitas, radio dan organisasi
televisi, modernisasi institusi kantor berita regional dan nasional, dan pelatihan bagi pekerja
media (Manyozo, 2014).

Pendekatan ketiga, komunikasi komunitas dan partisipatori bertolak dari gagasan


UNESCO tentang komunikasi dialogis yang berpusat pada komunitas sebagai pemangku
kepentingan utama pembangunan. Pendekatan ini memerlukan partisipasi dari mendasar dari
komunitas, sehingga pengetahuan asli setempat dalam proses dialog pembangunan dapat menjadi
pertimbangan utama. Fondasi teoretis dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi rural,
kesehatan komunitas, pembangunan wilayah pinggiran, hingga penyuluhan pertanian.

Teori Kritis

Teori kritis menolak premis naif yang menyatakan bahwa; 1) ilmu alam bersifat bebas
nilai bahkan hanya bekerja untuk hal yang baik; dan 2) pemisahan fakta dari muatan kualitas
subjek penelitian sosial khas positivisme(Collin & Pedersen, 2015). Penolakan ini sekaligus
membantah konsepsi positivistik bahwa ilmu alam dapat merefleksikan realitas sosial, yang telah
dipisahkan menjadi beberapa variabel dan disusun pada kalimat sistematis, sebelum akhirnya
digeneralisasikan pada fenomena yang dinilai berkriteria serupa. Berlawanan dengan asumsi
tersebut, teori kritis menawarkan pengungkapan kebenaran dialektis dibalik realitas dan ilmu
sosial itu sendiri. Akar dari gagasan tersebut dapat dilacak pada pemikiran Marx yang telah
memoderasi metafisika Hegel. Melalui konsepsi ini, temuan penelitian yang diberikan label fakta
melalui logika positivistik bukanlah sesuatu yang secara mutlak benar, namun sekadar sebuah
kesemuan, anakronis, dan aspek represif realitas sosial yang diteliti.

Tujuan dari teori kritis bukan menyerah pada dominasi positivistik, namun sebagai acuan
individu dalam mengidentifikasi ketimpangan relasi dan represivitas yang timbul darinya.
Berdasarkan tujuan tersebut, mekanisme penemuan kebenaran dalam penelitian bukanlah melalui
verifikasi observasional, melainkan menelusuri bukti ketimpangan relasi untuk kemudian
mendefinisikan probabilitas solusinya. Dapat dikatakan pula, dengan kuatnya refleksivitas yang
diperlukan individu dalam mengidentifikasi represivitas, menempatkan teori kritis pada relasi
yang kabur dengan filsafat.

Salah satu pengaju teori kritis dari mazhab Frankfut adalah Jurgen Habermas, di mana ia
menolak netralitas ilmu pengetahuan dan menekankan pentingnya tindakan komunikatif dalam
pencarian kebenaran (Kemmis, 2008). Dalam hal ini, Habermas menekankan pentingnya
pembedaan dua asumsi, yakni; 1) kebenaran dapat diakses peneliti melelaui proposisi yang
disampaikan subjek dapat mewakilkan kesadarannya; dan 2) kebenaran dapat diakses hanya jika
terjadi mekanisme truth-telling, yakni sebuah upaya mengeksplorasi validitas proposisi, di mana
partisipan di dalamnya secara sukarela bertujuan mencapai kesepakatan dan pemahaman
bersama. Dalam pandangan Habermas, pada konteks kehidupan modern hari ini, asumsi yang
pertama perlu ditolak, sehingga asumsi kedua perlu diterima.

Pentinngnya dialog dalam mengakses pengetahuan juga dikembangkan Freire (1970)


melalui kajian pendidikan orang dewasa—walaupun tak terbatas pada domain tersebut. Pertama-
tama, bentuk pendidikan tersebut perlu dibuat bersama (create with) orang-orang tertindas,
bukan untuk (create for) orang tertindas. Artinya, murid juga turut-serta dalam membangun
pendidikan. Murid perlu menyadari, bahwa ia host(fasilitator) untuk menghasilkan pedagogi
yang membebaskan kedua pihak. Murid perlu mengimajinasikan bentuk yang lain dari penindas-
tertindas (to be is to be like oppressor).

Selanjutnya, pembangunan pendidikan perlu mengaplikasian metode pendidikan hadap


masalah (problem posing education), di mana guru dan murid mendialogkan problem pendidikan
dan masyarakat, yang mengekang kemanusiaan mereka untuk berpraksis. Hakikat manusia
adalah untuk terus memperluas batasan-batasannya dalam bertindak. Freire menulis (1970):
Agar kaum tertindas dapat memperjuangkan pembebasan mereka, mereka harus
memahami realitas yang merugikan bukan sebagai dunia terberi, tetapi sebagai situasi
pembatas yang dapat mereka ubah.
(terjamahan bebas penulis)
Teori Kritis dalam Komunikasi Pembangunan

Melkote (2015) mengembangkan pendekatan partisipatoris lebih dalam lagi untuk


menjawab persoalan khas globalisasi, yakni dengan mengadopsi teori kritis. Pengembangan
tersebut bermula dari amatan bahwa globalisasi membawa paradox berupa: di tengah batas-batas
negara terbuka lebar, batas-batas tersebut akan sewaktu-waktu muncul. Dalam hal tersebut, peran
komunikasi dan media banyak negara gagal ditempatkan pada posisi yang relevan. Kebijakan
media dan praktiknya selalu beroperasi dengan kerangka kebangsaan, sehingga menguatkan
identitas imajinatif masyarakat akan anggota kebangsaan dan seolah lupa akan proses globalisasi
yang sedang berlangsung. Proses inilah yang menyasar kelompok-kelompok minoritas di daerah
pinggiran, sementara di sisi lain warga yang agak beruntung terus menguatkan identitas
kebangsaannya. Dalam hal ini, Melkote menawarkan pengembangan komunikasi pembangunan
partisipatoris dengan mengaplikasikan teori kritis di dalamnya.

Pertama-tama, menurut Melkote transformasi sosial perlu dimaknai sebagai sebuah


ketidakpastian yang diisi oleh kontestasi dan hasilnya dapat dipertahankan, dikelola, kemudian
diuji kembali. Pendapat Fukuyama (1992) bahwa masyarakat dunia kini telah berada pada proses
transformasi paling menguntungkan dan akan dapat memperbaiki kondisi masyarakat secara
progresif ditolak Melkote. Dalam komunikasi pembangunan, dapat diartikan bahwa hasil dari
pembangunan tidak dapat direncanakan melalui suatu generelaibilitas, melainkan amatan
kontekstual yang panjang dan melelahkan.

Melalui asumsi tersebut, peneliti komunikasi pembangunan partisipatori model teori


kritis dapat membangun kerangka teorinya dengan pemikiran Anthony Giddens (1990) tentang
masyarakat dunia dalam ruang publik. Dalam interaktivitas tersebut, individu mempunyai hak
yang melekat padanya, yakni untuk bebas (emancipated) dari ketimpangan sosial dan
mengaktualisasikan dirinya (self-actualization). Keterpenuhan individu akan hak-hak tersebut
merupakan sebuah keadilan sosial. Tanpa keadilan tersebut, dapat diartikan bahwa ruang publik
yang menjadi lokasi di mana transformasi sosial berlangsung tidak melibatkan komunikasi.

Dalam mengupayakan keadilan sosial dalam arti emansipasi dan kebebasan untuk
mengaktualisasiskan individu dan komunitas, diperlukan politikemansipatori (emancipatory
politics) dan politik kehidupan (politics of life). Dalam komunikasi pembangunan, keduanya
diintrepertasikan sebagai petunjuk arah bahwa dalam penelitian maupun implementasi kebijakan,
individu yang terlibat perlu memiliki posisi berdiri yang jelas terhadap sebuah isu, terkait
kelompok yang haknyanya untuk eksis dan terbebas dari ketimpangan relasi. Pada praktiknya,
emancipatory politics merupakan sebuah theory building bagi beragam topik seperti privatisasi
layanan publik; kebijakan yang membahayakan komunitas, individu, dan lingkungannya; hingga
terkait kebebasan berekspresi. Di sisi lain, politics of life berkaitan dengan keberagaman identitas
kebudayaan yang kian terancam dengan keseragaman identitas negara-bangsa, persoalan gender,
dan pengakuan akan sebuah tatanan ekonomi yang unik dalam sebuah masyarakat.

Beragama dan kajian komunikasi pembangunan dan teori kritis telah dipublikasikan,
merentang dari sektor kesehatan publik hingga infrastruktur media (Robie, 2016; Walter, 2016;
Xue, 2017). Penelitian Robie (2016) tentang peran La’o Hamutuk, lembaga penelitian yang
bergerak dalam bidang keterbukaan informasi di Timor Leste, mendokumentasikan dengan
lengkap bagaimana kontribusi lembaga tersebut dalam membuka akses informasi dan
mengimbangi pemberitaan media massa yang berkualitas buruk. Robie mendeskripsikan hasil
penelitian yang lengkap mengenai keterbatasn sumber daya La’o Hamutuk, kualitas pekrja media
yang buruk, tingginya ketergantungan media Timor Leste terhadap subsidi pemerintah, hingga
amatan terhadap pasivitas jurnliasme investigasi di negara tersebut.

Terdapat pula kajian di bidang komunikasi kesehatan yang mengaitkan konsep


komunikasi kesehatan dengan konsep yang diajukan Lazarsfeld tentang empirical tools, yang
ditulis oleh Walter (2016). Ia mendialogkan kembali topik penting dalam studi komunikasi
kesehatan berupa jalan keluar dari pendekatan komunikasi kesehatan publik tunggal, yakni
komunikasi yang efisien. Dalam pendekatan alternatif, diperlukan kriteria terbarukan dalam
mengidentifikasi masalah, penyertaan variabel ekonomi, hingga memberikan ruang berpendapat
bagi kelompok terpinggirkan.
Komunikasi Pembangunan berlandasan teori kritis juga dijalankan melalui studi
hermeneutik, seperti yang telah dilakukan Xue (2017). Critical Discourse Analysis yang
dijalankannya dalam mengintrepertasikan dokumen Information and Communications
Technologies for Development (ICT4D) dua lembaga supra nasional, yakni Uni-Eropa dan PBB,
menunjukkan bahwa masih terdapat bias perang dingin dalam penyusunan laporan dan
rekomendasinya. Contoh dari bias tersebut adalah penyeragaman negara-negara dunia ketiga
sebagai negara represif, sedangkan di sisi lain negara Barat (AS, Kanada, Australia, Selandia
Baru, dan Inggris) sebagai negara modern.

Freire (1970) melalui magnum opusnya Pedagogy of the Oppressed, mengurai sebuah
metode penelitian partisipatori dengan paradigma kritis (Participatory Action Research). Ia
meneliti sebuah masyarakat tani di Brazil tentang pogram pertanian dan problemnya. Namun, ia
melakukan penelitiannya bersama belasan pemuda desa setempat yang direkrut pada tahap
observasi awal. Pada tahap pengumpulan dan analisis data, metode kunci yang digunakan adalah
dialog reflektif yang perlu dengan cermat memerhatikan aspek-aspek kebahasaan.

Disiplin Rigor dari Action Research

Disiplin rigor memang memungkinkan praktik falsifikasi dan replikasi objektif


diterapkan dalam penelitian kuantitatif, sehingga hasilnya dapat dipercaya (trustworthy), namun
tidak bagi penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif memang tak menerapkan disiplin rigor
sejenis itu, melainkan memiliki disiplin rigornya sendiri. Action researdch, kerap diparalelkan
dengan penelitian kualitaif, merupakan penelitian yang menempatkan peneliti dalam situasi dan
konteks yang unik (Coghlan & Miller, 2014). Karena keunikan kasus tersebutlah, disiplin rigor
berupa prakondisi yang memungkinkan hasil penelitian dapat diterapkan ulang/difalsifikasi tak
berlaku. Disiplin rigor dalam konteks action research merupakan acuan bagi peneliti agar sebuah
temuan penelitian dapat diuji kebenarannya, dengan cara peneliti dan partisipan penelitian
merefleksikan konsistensi dan keaplikatifannya setelah penelitian berlangsung. Pada pengertian
ini, peneliti dan partisipan menunjukkan bahwa dirinya peka akan konteks, terbukan terhadap
data yang diterima, berhati-hati, sepenuhnya sadar, sensitif, empatik, jujur, dan refleksif.

Pada pengertian lain, McTaggart menekankan pentingnya self-reflective, dalam


terminologi paralel dialog, pada action research. Ia menulis (1998):
(action research) adalah sebuah bentuk penemuan pengetahuan melalui refleksi bersama
yang dijalankan oleh partisipan dalam sebuah konteks sosial, dalam rangka meningkatkan
(kesadaran) akan kenyataan atau keadilan dalam aktivitas sosial atau pendidikan mereka,
sekaligus terhadap pemahaman mereka terkait aktivitas tersebut dan situasi-kondisi yang
melatarbelakanginya.

(terjemahan bebas penulis)

Action research diperkenalkan oleh Kurt Lewin yang berpandangan bahwa penelitian ini
melibatkan subjek penelitian sebagai partisipan. Merekalah yang secara kolektif mencari dan
menerjemahkan situasi hidup mereka. Lewin mengembangkan model ini dari hasil penelitiannya
tentang peran Focus Group Discussion (FGD) untuk menjamin komitmen partisipan dalam
transformasi sosial (Kemmis, 2008). Model ini memberikan pengaruh yang tampak pada ide
Lawrence Stenhouse tentang guru sebagai peneliti, ide Donald Schon tentang praktisi reflektif,
dan ide Jurgen Habermas tentang relasi antara pengetahuan-kepentingan.

3. Analisis

Kontribusi Teori Kritis dalam Komunikasi Pembangunan

Kontribusi teori kritis dalam komunikasi pembangunan ditunjukkan oleh beragam studi
komunikasi pembangunan (Melkote, 2015; Dutta, 2018; Wilkins, 2007; Manyozo, 20120) dan
penelitian (Xue, 2017; Robie, 2016; Walters, 2015). Dari studi-studi tersebut pula, dapat
diketahui bahwa penggunaan teori kritis dalam studi komunikasi pembangunan memperkaya
sudut pandang kajian komunikasi kesehatan, pendidikan, hingga komunikasi publik lembaga
pemerintah. Temuan ini sekaligus membantah asumsi keliru tentang minimnya peran teori kritis
dalam aspek komunikasi dan terlalu menitikberatkan pada aspek ekonomi dan politik dari
pembangunan. Namun begitu, di sisi lain penulis mengamati ketimpangan yang menonjol
anatara jumlah publikasi ilmiah dalam kategori article dengan jumlah publikasi yang terkategori
researched. Artinya, kerangka teoretik komunikasi pembangunan begitu melimpah, sementara
penggunaan praktisnya dalam penelitian masih relaitf terbatas.

Disiplin Rigor Teori Kritis dalam Action Research


Keraguan banyak peneliti akan sistematika penelitian kritis dapat direfleksikan melalui
keraguan yang sama terhadap penelitian kualitatif secara umum. Menurut Berg (2001), dibalik
kritik tersebut penelitian kualitatif justru menawarkan keunggulan, yang tak dimiliki penelitian
kuantitif. Namun, dominasi positivisme membuat pendekatan kualitatif kurang tereksplorasi,
sehingga idealitasnya terdegradasi oleh banyak penelitian, ironisnya, yang diyakini disebabkan
oleh kurangnya sumber acuan.

Dominasi positivisme dalam penelitian sosial bukan hanya diresahkan oleh Berg, namun
oleh para filsuf dan ilmuwan pendahulunya (Handelman, 2019; Holtz, 2018; Popper, 1959).
Sebelum Berg menerbitkan bukunya pada 1989, ada nama-nama besar seperti Max Horkheimer,
Theodore Adorno, Jurgen Habermas, hingga Karl Popper yang juga berpendapat demikian.
Menurut Horkheimer dan Adorno, pendekatan positivisme yang mendominasi penelitian sosial
berisiko mematikan muatan filsafat dalam ilmu, karena ketidakmampuannya mengidentifikasi
konsep-konsep terselubung. Argumen keduanya merupakan bagian dari perdebatan dengan
kelompok intelektual Vienna Circle, yang terjadi menjelang Perang Dunia II (Handelman, 2019).
Di sisi lain, terdapat Otto Neurath (1882-1945) dan Rudolf Carnapp (1891-1970) yang meyakini
bahwa logika modern dengan penggunaan prinsip dan teknik matematika adalah yang paling
menguntungkan bagi humanisme. Penggunaan terminologi humanisme merupakan upaya
mendaur ulang pemikiran bapak positivisme Auguste Comte yang muncul di abad pencerahan.
Bedanya, suksesor Comte, dalam hal ini akademisi Vienna Circle, mentransformasikannya
menjadi neo-positivisme, yakni keyakinan bahwa metode empirik dan induktif, dengan
mengkuantifikasi gejala umum dan menyesuaikannya dengan teori yang ada, adalah cara yang
paling tepat untuk mendapatkan fakta (true knowledge). Seiring waktu, true knowledge tersebut
dapat dilengkapi, direvisi, dan dihilangkan melalui teori yang juga makin kompleks (Holtz,
2018).

Penyebab dari banyaknya ilmuwan yang menilai teori kritis dan pendekatan kualitatif
sebagai tidak rigor lainnya dikarenakan anggapan keliru, bahwa falsifikasi berasal dari
positivisme dan keduanya mensyaratkan satu-sama lain. Karl Popper, ilmuwan/filsuf yang
membangun prinsip falsifikasi dalam teori (critical rationalism), juga menolak dominasi
positivisme—walaupun, ironisnya, Adhorno dan Horkheimer menganggap critical rationalism
paralel dengan positivisme (Handelman, 2019; Holtz, 2018). Menurut Holtz (2018), Popper
membedakan positivisme dengan dengan critical rationalism. Kedua pendekatan tersebut sama-
sama berasumsi bahwa realitas objektif betul-betul ada. Namun, bedanya critical rationalism
menekankan asumsi bahwa; 1) mekanisme intelektual manusia memiliki cacatnya; dan 2)
kenyataan dari sebuah fenomena sangatlah abstrak, sehingga sangat sulit untuk diteliti. Melalui
batasan tersebut, Popper sekaligus membantah asumsi positivistik bahwa kuantifikasi fenomena
adalah satu-satunya jalan terbaik memperoleh pengetahuan.

Sebenarnya disiplin rigor teori kritis dapat ditemukan dalam pandangan Habermas
(Kemmis, 2008) maupun Freire (1968). Keterkaitan penting action research dengan gagasan
teori kritis terlihat dalam pandangan bahwa tidak ada satupun agensi sosial yang membentuk
sebuah totalitas, termasuk negara sekalipun (Kemmis, 2008). Keduanya sama-sama melihat
bahwa sebuah kelompok sosial besar/fenomena besar tak akan dapat mengintegrasikan elemen-
elemen sosial yang parsial untuk kemajuan dan kebaikannya, jika kelompok yang makro hanya
mengandalkan refleksinya sendiri. Artinya, negara, kelompok pemikir, hingga badan-badan
internasional sekalipun, dalam pandangan action research dan teori kritis, khususnya Habermas,
tak berkompetensi dalam mendefinisikan pembangunan ketika gagasannya tak dipertemukan
dengan stakeholder. Begitupula, asumsi positivistik tanpa adanya dialog, berbentuk laporan
tahunan tentang kemiskinan, kesehatan, kriminalitas, hingga pendidikan tak akan mampu
merekam realitas asli yang dialami para partisipan.

4. Kesimpulan

Melalui diskusi yang sudah diurai di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat tentang
insignifikansi teori kritis dan landasannya yang kabur dalam komunikasi pembangunan tidaklah
tepat. Tori kritis justru berkontribusi dalam pengembangan kerangka teoretik komunikasi
pembangunan, terutama dalam analisis infrastruktur media, dialog partisipatori berbabasis
komunitas, hingga komunikasi kesehatan publik. Begitu pula, teori kritis memiliki akar tradisi
disiplin rigor yang sama, seperti yang terdapat pada sistematika action research, di mana teori
kritis menggunakan konsep tindakan komunikatif dan action research memapankan konsep self-
reflective.

Studi ini dilingkupi keterbatasan yang spesifik pada peran teori kritis dalam membangun
body of knowledge dari komunikasi pembangunan. Keterbatasan pertama adalah, kajian
pengembangan teori kritis dalam disiplin ilmu yang lain bukanlah cakupan studi ini. Kedua,
argumen tentang keabsahan disiplin rigor dalam teori kritis, yang berkaitan erat dengan action
research, dibangun atas pembuktian reflektif, sehingga akan dapat terus diintrepertasikan oleh
studi-studi di masa mendatang.

Referensi

Brydon-Miller, M., & Coghlan, D. (2014). The big picture: Implications and imperatives for the
action research community from the SAGE Encyclopedia of Action Research. Action
Research, 12(2), 224–233. https://doi.org/10.1177/1476750314533135

Collin, F., & Pedersen, D. B. (2015). The Frankfurt School, Science and Technology Studies,
and the Humanities. Social Epistemology, 29(1), 44–72.
http://doi.org/10.1080/02691728.2013.782588

Dutta, M. J. (2018). Culturally centering social change communication: subaltern critiques of,
resistance to, and re-imagination of development. Journal of Multicultural Discourses,
13(2), 87–104. http://doi.org/10.1080/17447143.2018.1446440

Freire, P. (1972). Pedagogy of the oppressed. New York: Herder and Herder.

Fukuyama, F. (1992). The end of history and the last man. New York: Free Press.

Handelman, M. (2019). The Trouble with Logical Positivism: Max Horkheimer, Theodor W.
Adorno, and the Origins of Critical Theory. In The Mathematical Imagination: On the
Origins and Promise of Critical Theory (pp. 25-64). NEW YORK: Fordham University
Press. doi:10.2307/j.ctv8jp0g3.4

Holtz, P., & Odağ, Ö. (2018). Popper was not a Positivist: Why Critical Rationalism Could be an
Epistemology for Qualitative as well as Quantitative Social Scientific Research.
Qualitative Research in Psychology, 1–24.

Kemmis, S. (2008). Critical theory and participatory action research. In Reason, P., & Bradbury,
H. The SAGE handbook of action research (pp. 121-138). : SAGE Publications Ltd doi:
10.4135/9781848607934
Manyozo, L. (2012). Media, communication and development: Three approaches. New Delhi:
SAGE.

McTaggart, R. & Garbutcheon-Slngh, M. (1988) Fourth generation action research: notes on the
1986 Deakln seminar, in S. Kemmis & R. Mc Taggart (Eds) The Action Research Reader
(3rd edn). Geelong: Deakln University Press.
Berg, B. L. (2001). Qualitative research methods for the social sciences. Boston: Allyn
and Bacon.

Melkote, S., & Steeves, H. L. (2015). Place and role of development communication in directed
social change: a review of the field. Journal of Multicultural Discourses, 10(3), 385–402.
http://doi.org/10.1080/17447143.2015.1050030

Popper, Karl (2002) [1959]. The Logic of Scientific Discovery (2nd English ed.). New York,
NY: Routledge Classics

Robie, D. (2015). La’o Hamutuk and Timor-Leste’s development challenges: a case study in
human rights and collaborative journalism. Media Asia, 42(3–4), 209–224.
http://doi.org/10.1080/01296612.2016.1142247

Roman, R. (2005). The Place of Theory in Development Communication: Retrospect and


Prospects. Annals of the International Communication Association, 29(1), 311–332.
http://doi.org/10.1080/23808985.2005.11679051

Schwartz, Howard. & Jacobs, Jerry. (1979). Qualitative sociology : a method to the madness.
New York : Free Press

Walter, N. (2016). Two (Un)Related Spheres?: Understanding Administrative and Critical


Research in Health Communication. Journal of Information Policy, 6, 13-40.
doi:10.5325/jinfopoli.6.2016.0013

Wilkins, K. G. (1996). Development communication. Peace Review, 8(1), 97–103.


http://doi.org/10.1080/10402659608425936

Xue, M., & Xue, M. (2017). Cold War Legacies in Contemporary Institutionalized Thinking on
Development Communication : A Case Study of Two UNDP and EP ICT4D Reports by.

Anda mungkin juga menyukai