Pengambilan sampel adalah proses pemilihan sampel yang diambil dari seluruh populasi
yang diteliti. Pengambilan sampel antara metode kualitati dan kuantitatif akan sangat
berbeda. Dalam penelitian kualitatif, pengambilan sampel sangat bergantung pada tujuan atau
sasaran penelitian dan pertanyaan penelitian spesifiknya. Selain perbedaan tersebut,
perbedaan-perbedaan lainnya yang membedakan pengambilan sampel dalam penelitian
kuantitaif dan kualitatif adalah:
1. Epistemological differences
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan dan landasan bagi semua
strategi dan desain penelitian. Popper mengusulkan epistemologi rasionalis tunggal di
mana studi ilmiah dimulai dengan hipotesis berdasarkan teori umum, yang kemudian
diuji dalam penelitian; sebaliknya, Feyerabend berpendapat bahwa pluralisme
epistemologis dengan keragaman teori dan di mana penalaran yang digunakan adalah
penalaran deduktif, yang meliputi hipotesis dan variabel yang telah ditentukan, dan
analisis statistik yang umumnya terjadi setelah semua data dikumpulkan. Sedangkan,
penelitian kualitatif menggunakan epistemologi konstruktivis dan menggunakan
penalaran teoretis induktif. Penalaran induktif memungkinkan makna muncul dari
data melalui analisis komparatif konstan selama proses pengumpulan data. Alasan
mengapa perbedaan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif penting untuk desain
sampling adalah logika di balik probabilitas dan sampling nonprobability.
3. Sampling designs
Desain pengambilan sampel untuk peneliti kualitatif sebagian besar bersifat
fleksibel, meskipun tingkat fleksibilitas bergantung pada desain tertentu yang
digunakan. Meskipun demikian, terdapat berbagai desain kualitatif mencakup teknik
pengambilan sampel yang ketat. Dalam banyak kasus, satu desain pengambilan
sampel kualitatif digunakan dalam kombinasi dengan desain pengambilan sampel
lainnya. Tujuan utama dari desain pengambilan sampel adalah untuk memasukkan
individu, objek, peristiwa, atau pengamatan yang memungkinkan peneliti untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Contoh pengambilan sampel yang banyak
digunakan dalam penelitian kriminologi adalah individu dan kelompok individu.
Dalam penelitian kualitatif, tujuan pengambilan sampel, atau pemilihan kasus,
adalah untuk menghasilkan deskripsi yang akan memberikan pemahaman mendalam.
Peneliti kualitatif umumnya mencoba memahami makna bersama dari orang yang
sedang dipelajari dan kompleksitas interaksi di antara mereka. Biasanya, para peneliti
berusaha untuk mencapai variasi maksimal dengan mengambil sampel individu-
individu dengan perspektif berbeda. Namun, dengan meningkatnya jumlah sampel,
manfaat potensial dari deskripsi terperinci mendalam, yang menjadi andalan
penelitian kualitatif, cenderung menurun (Creswell & Clark, 2007).
Ukuran sampel tergantung pada tujuan penelitian, serta desain pengambilan
sampel yang digunakan. Secara umum, pola desain pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam kategori berikut:
a) Convenience sampling
Convenience sampling merupakan salah satu desain yang
umum digunakan dalam penelitian kualitatif. Pengambilan sampel
didasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan untuk
mendapatkannya. Desain pengambilan sampel ini biasanya cepat,
murah, dan mudah. Meskipun menawarkan kemudahan akses yang
mudah, convenience sampling dapat tidak sesuai untuk beberapa
tujuan penelitian dan sering digunakan secara berlebihan di pengaturan
tertentu, seperti perguruan tinggi dan universitas.
b) Purposive sampling
Dalam menggunakan purposive sampling, diperlukan
pengetahuan yang telah diperoleh oleh peneliti melalui pengalaman,
tinjauan literatur, atau studi sebelumnya. Secara umum, purposive
sampling didasarkan pada dimasukkannya kasus yang memiliki
pengalaman atau atribut yang dapat memberikan pemahaman
mendalam tentang konsep penelitian dengan berbagai variabilitas.
Teknik ini digunakan untuk memilih kasus-kasus yang sangat
informatif, memiliki keahlian pada topik, dan umumnya diambil dari
populasi yang tersembunyi, sulit dijangkau, atau khusus. Sementara
convenience sampling biasanya melibatkan pengumpulan sampel di
mana peneliti secara geografi beradas (Warren & Karner, 2010),
purposive sampling justru memerlukan pemilihan situs-situs penelitian
atau situs yang memungkinkan pengambilan sampel dengan fokus
yang lebih besar pada pemilihan kasus yang diperlukan untuk tujuan
penelitian. Langkah yang digunakan dalam melakukan purposive
sampling pertama-tama memilih sampel pengaturan, tempat, atau
situasi sosial, dan selanjutnya memilih kasus individu dari lokasi yang
dipilih untuk eksplorasi atau perbandingan lebih lanjut.
c) Quota sampling
Pengambilan quota sampling sangat mirip dengan convenience
sampling dalam hal kasus yang dipilih, yaitu yang mudah dan nyaman
bagi peneliti, dan seperti pengambilan purposive sampling dalam hal
kasus yang dipilih harus dipandu oleh kriteria yang didorong oleh
pengalaman penelitian sebelumnya. Teknik ini sering digunakan dalam
riset pemasaran. Kata “kuota” dalam quota sampling menandakan
bahwa sejumlah kasus harus dipilih berdasarkan kriteria tertentu,
seperti usia, sikap, atau preferensi (Bloch, 2004). Peneliti harus secara
akurat mengidentifikasi kategori yang relevan dan berapa banyak kasus
yang harus dipilih untuk setiap kategori. Pengambilan sampel kuota
biasanya dimulai dengan tabel sel, atau matriks, sangat mirip dengan
sampel probabilitas yang digunakan dalam penelitian kuantitatif,
namun, jumlah yang dimasukkan dalam setiap sel tidak didasarkan
pada metode acak ilmiah, melainkan angka yang ditentukan oleh
peneliti, berdasarkan tujuan penelitian dan pengetahuan sebelumnya
(Luborsky & Rubinstein, 1995). Proporsi setiap atribut sel sering
ditentukan dengan berkonsultasi dengan data sensus atau data lain
yang tersedia.
d) Snowball sampling
Pengambilan sampel Snowball, yang juga dikenal sebagai
"rujukan rantai", dianalogikan dengan bola salju yang bergulir
menuruni bukit, mengumpulkan lebih banyak salju dan massa saat
bergulir. Dalam tekniknya, peneliti biasanya mengenal salah satu
individu yang dapat dijadikan sebagai informan kemudian peneliti
akan meminta individu tersebut untuk mengenalkan peneliti kepada
teman-temannya agar peneliti dapat menggali informasi lebih dalam.
Snowball sampling sangat sesuai untuk studi pada individu atau
kelompok yang terlibat dalam perilaku menyimpang, stigma, atau
ilegal yang cenderung tetap tersembunyi dari pandangan (Berg, 2009).
e) RDS
RDS adalah desain terstruktur yang memperluas manfaat
pengambilan sampel bola salju. Para peneliti pertama kali
mengembangkannya sebagai bagian dari studi pencegahan AIDS
(Broadhead, Heckathorn, Grund, Stern, & Anthony, 1995; Heckathorn,
1997, 2002). Seperti pengambilan sampel bola salju, RDS adalah suatu
bentuk pengambilan sampel jaringan rantai rujukan, di mana para
peneliti tidak menggunakan kerangka pengambilan sampel yang telah
ditentukan sebelumnya untuk memilih responden tetapi lebih
memanfaatkan jaringan sosial peserta awal. Sama seperti pengambilan
sampel bola salju, RDS didasarkan pada asumsi bahwa anggota
populasi tersembunyi, seperti pengguna narkoba, paling siap untuk
merekrut teman sebaya mereka. Namun, berbeda dengan bentuk-
bentuk lain pengambilan sampel rujukan rantai, RDS dirancang untuk
mengatasi beberapa keterbatasan yang melekat dalam metode
pengambilan sampel kualitatif, seperti ketidakmampuan untuk
menggeneralisasi temuan. Menurut Heckathorn (1997, 2002), ketika
menggunakan RDS, para peneliti secara acak memilih beberapa
anggota populasi target. Partisipan ini disebut “benih.” Responden ini
pada gilirannya merekrut sejumlah teman sebaya mereka ke dalam
penelitian. Dalam RDS, peneliti menyebut rekrutmen benih sebagai
gelombang pertama peserta. Peer gelombang pertama ini adalah bagian
dari jaringan pribadi benih awal dan dipilih oleh beni. Responden
gelombang pertama merekrut sejumlah peserta gelombang kedua, yang
kemudian merekrut responden gelombang ketiga. Proses ini
berlangsung hingga ukuran sampel yang diinginkan tercapai.
f) Targeted sampling
Watters dan Biernacki (1989) mengembangkan sampling yang
ditargetkan untuk mendapatkan sampel besar untuk studi mereka
tentang penularan HIV/AIDS di antara pengguna narkoba dan
pasangan seksual mereka. Pada saat itu, sebagian besar sampel
penelitian tentang pengguna narkoba diperoleh dari pengaturan
kelembagaan dan klinis (mis., Penjara, rumah sakit, pusat perawatan).
Mengetahui bias yang melekat pada penelitian tentang perilaku
tersembunyi dan stigma yang diambil dari pengaturan kelembagaan,
para peneliti berangkat untuk mendapatkan sampel yang beragam dari
pengaturan masyarakat, yang pada akhirnya memberikan lebih banyak
variabilitas dalam pola penggunaan narkoba, perilaku berisiko, dan
rute transmisi daripada yang seharusnya bisa dilakukan.
Targeted sampling adalah metode sistematis dimana daftar
terkontrol dari populasi tertentu dalam distrik geografis tertentu
dikembangkan dan rencana terperinci dirancang untuk merekrut
jumlah kasus yang memadai dalam setiap target. Teknik ini sangat
berguna ketika kasus yang dipilih membutuhkan individu dengan
perilaku tersembunyi, stigmatisasi, atau ilegal. Pertimbangan khusus
harus diberikan pada lokasi upaya pengambilan sampel yang
ditargetkan, dan aplikasi kreatif pengambilan sampel digunakan untuk
memenuhi kebutuhan yang muncul.
g) Theoretical sampling
Theoretical sampling adalah salah satu jenis rancangan
pengambilan sampel yang paling banyak digunakan dalam penelitian
kualitatif. Meskipun makna dan proses yang digunakan dapat
bervariasi, teknik ini berkaitan erat dengan grounded theory. Awalnya
diusulkan oleh Glaser dan Strauss (1967) dalam risalah mereka tentang
"penemuan teori beralas,". Pengambilan sampel teoretis melibatkan
pengumpulan data berdasarkan teori yang muncul dari data saat
dikumpulkan (yaitu, grounded theory), sehingga memerlukan analisis
data selama proses pengumpulan data. Pengambilan sampel teoretis
bergantung pada konsep atau kategori yang disediakan oleh analisis
yang sedang berlangsung dan pengumpulan data lebih lanjut.
Pengumpulan data berlanjut sampai kejenuhan teoretis, yang terjadi
ketika data baru memvalidasi teori yang muncul tetapi tidak
memberikan temuan yang menambah kedalaman atau variasi dimensi
dan sifat. Strauss mendefinisikan kejenuhan teoritis sebagai "ketika
analisis tambahan tidak lagi berkontribusi untuk menemukan sesuatu
yang baru tentang suatu kategori" (1999, hal. 21).
4. Case selection
Setiap desain pengambilan sampel mengharuskan peneliti untuk memutuskan
kasus apa dan bagaimana kasus itu dipilih. Kasus dapat merujuk pada kelompok,
proses, peristiwa, atau objek, tetapi, dalam penelitian kualitatif, biasanya, kasus
adalah individu. Kasus dapat mencakup studi kasus tunggal di mana seorang individu,
kelompok tunggal, atau peristiwa tunggal adalah bagian utama dari studi kasus, atau
perluasan sampel ke dalam kelompok kasus.
Pemilihan kasus dalam penelitian kualitatif sering tergantung pada temuan
yang muncul, desain pengambilan sampel biasanya dimulai dengan kriteria pemilihan
kasus yang dinyatakan secara khusus, terutama ketika pendanaan diperlukan. Menurut
Merkens (2004), pendekatan sistematis untuk pemilihan kasus melibatkan
pemahaman yang jelas tentang kasus atau kelompok kasus dan teknik yang layak
untuk mendapatkan sampel. Dimulai dengan apa yang diketahui, sampel harus
mewakili semua faktor relevan yang dapat berbeda berdasarkan jenis individu,
peristiwa, atau aktivitas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih kasus
adalah:
a) Access to the sample
Semua desain pengambilan sampel mengharuskan peneliti
untuk memiliki akses ke populasi yang diteliti. Kecuali jika peneliti
adalah bagian dari komunitas yang diteliti, seperti dalam studi
"autoethnographic" (Ellis, 2004), akses ke populasi dimulai dengan
memilih pengaturan, diikuti dengan menjadi terbiasa dengan
pengaturan melalui kerja lapangan, melibatkan anggota masyarakat,
dan membangun hubungan.
b) Gatekeepers
Akses ke area publik relatif mudah bagi peneliti kualitatif yang
berpengalaman, tetapi akses ke tempat-tempat pribadi dan individu
yang termasuk dalam populasi yang tersembunyi, seperti pengedar
narkoba atau perampok bank, membutuhkan orang dalam yang
terhubung dan relatif dipercaya oleh populasi. Sesuai dengan namanya,
gatekeepers memfasilitasi pengenalan dengan mensponsori atau
memperkenalkan peneliti kepada individu yang memenuhi kriteria
studi. Kadang-kadang, gatekeepers dapat menjadi informan atau
sampel, namun dalam situasi lain gatekeepers dapat tidak memenuhi
kelayakan studi tetapi mengenal orang-orang yang memenuhi kriteria.
Gatekeepers akanmenemani peneliti ke tempat pribadi di mana peneliti
diizinkan untuk tetap dan bersosialisasi dengan anggota subkultur.
Menggunakan gatekeepers untuk mengakses populasi
penelitian seperti pedang bermata dua. Meskipun gatekeepers sangat
berharga karena pengetahuan atau keanggotaan kelompok
subkulturalnya, status, motif, atau agenda tersembunyi mereka dapat
memengaruhi studi penelitian. Gatekeepesr seringkali meminta ganti
dalam beberapa cara atas waktu dan usaha mereka, tetapi, begitu
penjaga gerbang memahami tujuan penelitian atau kriteria kelayakan,
mereka dapat menggunakannya untuk keuntungan mereka.
c) Community consultant
Konsultan masyarakat adalah orang-orang yang memiliki
berbagai koneksi atau pengalaman dengan populasi yang diteliti.
Setelah akses diperoleh, peneliti harus membangun hubungan saling
percaya dengan konsultan komunitas individu atau kelompok
konsultan. Proses ini sering disebut "membangun rapport". Para
peneliti menghabiskan lebih banyak waktu untuk membangun
hubungan dengan konsultan masyarakat daripada dengan gatekeepers.
Seperti gatekeepers, konsultan masyarakat mungkin bermasalah dalam
beberapa hal, seperti terlalu bersemangat, kurang terhubung daripada
yang diakui, atau memiliki motif yang dapat menghambat proses
penelitian. Namun, mereka sangat diperlukan untuk keberhasilan studi
secara keseluruhan, dan hubungan antara peneliti dan konsultan
masyarakat harus dipupuk.
Bibliography
Boeri, M. &. (2015). Sampling designs and issues in qualitative criminology. In H. &. Copes, The
Routledge Handbook of Qualitative Criminology (pp. 125-143). New York: Routledge.