Anda di halaman 1dari 12

Daftar Isi

Daftar Isi ........................................................................................................................................ 16


BAB II SISTEM PERHITUNGAN KOORDINAT ...................................................................... 17
Capaian Pembelajaran:................................................................................................................... 17
2.1 Dasar Matematika Ukur Tanah .............................................................................................. 17
2.1.1 Teorema Pythagoras ......................................................................................................... 17
2.2 Sistem Koordinat .................................................................................................................... 20
2.3 Sistem Kuadran ...................................................................................................................... 21
2.4 Perhitungan Koordinat ........................................................................................................... 22
2.4.1 Dasar Hitungan Koordinat ............................................................................................... 22
2.4.2 Perhitungan Jarak dan Azimuth (Sudut Jurusan) ............................................................. 23
2.4.3 Perbandingan Azimuth dan Bearing ................................................................................. 26

16
Martince Novianti Bani
BAB II
SISTEM PERHITUNGAN KOORDINAT

“The Information is presented in a simple and easy manner to understand.”


~ Michael Keim, Lakebay, Washington.

Capaian Pembelajaran:
Setelah membaca dan mempelajari bab ini, mahasiswa maupun pembaca dapat mengetahui dasar
matematika ukur tanah, menyebutkan macam sistem koordinat dan kuadran yang berlaku dalam Ukur
Tanah, mengetahui rumus dasar perhitungan koordinat, jarak antara dua titik dan azimuth. Selain itu,
mahasiswa juga mampu menghitung koordinat dari sejumlah data ukuran.

2.1 Dasar Matematika Ukur Tanah


Perhitungan matematika sangat berperan peting dalam mempelajari Ilmu Ukur Tanah.
Trigonometri merupakan salah satu contoh peran penggunaan matematika yang harus dikuasai dalam
mempelajari ukur tanah. Beberapa rumus yang menjadi dasar perhitungan trigonometri yang perlu
dipelajari kembali yaitu penggunaan rumus segitiga.
2.1.1 Teorema Pythagoras
Dikaitkan serta dinamakan sesuai filsuf dan matematikawan Yunani yaitu Pythagoras, maka
Teorema Pythagoras menyatakan “Dalam segitiga siku-siku, kuadrat sisi miring sama dengan jumlah
kuadrat dari dua sisi lainnya” (Singh et.al., 2000). Oleh kerana itu, berdasarkan ilustrasi pada Gambar
2.1 maka dapat dituliskan persamaannya sebagai berikut:
𝒃𝟐 = 𝒂𝟐 + 𝒄𝟐 atau 𝒃 = √𝒂𝟐 + 𝒄𝟐

Hypotenuse C Di mana, b merupakan sisi miring


(hypotenuse), sedangkan a dan c merupakan sisi
b a lainnya. Selain itu, penggunaan teorema phytagoras
dalam ukur tanah dijabarkan oleh rumus berikut ini

B yang juga berdasarkan pada segitiga ABC pada


A
c
Gambar 2.1.
Gambar 2. 1 Segitiga siku-siku

17
Martince Novianti Bani
𝒂
1. 𝒔𝒊𝒏 𝑨 =
𝒃
𝒄
2. 𝒄𝒐𝒔 𝑨 = 𝒃
𝒂
3. 𝒕𝒈 𝑨 = 𝒄
𝒃 𝟏
4. 𝒄𝒐𝒔𝒆𝒄 𝑨 = 𝒂 = 𝐬𝐢𝐧 𝑨
𝒃 𝟏
5. 𝒔𝒆𝒄 𝑨 = 𝒄 = 𝐜𝐨𝐬 𝑨
𝒄 𝟏
6. 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝑨 = 𝒂 = 𝐭𝐠 𝑨

Sedangkan dalam aplikasi ukur tanah, jenis-jenis segitiga yang dideskripsikan pada Tabel 2.1
berikut ini juga sering digunakan.

Table 2. 1 Jenis-jenis segitiga


Berdasarkan sisi Berdasarkan sudut
Segitiga sama sisi Segitiga lancip
Memiliki tiga sisi Memiliki tiga sudut <
yang sama 90°

Segitiga sama kaki Segitiga siku-siku


Memiliki dua sisi Memiliki satu sudut =
yang sama 90°

Segitiga sembarang Segitiga tumpul


Tidak memiliki sisi Memiliki satu sudut >
yang sama 90°

Berdasarkan Tabel 2.1 di atas, segitiga yang sering digunakan selain segitiga siku-siku yaitu segitiga
tumpul dan segitiga sudut lancip, seperti yang direpresentasikan oleh Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.

18
Martince Novianti Bani
C
C
a
b b
a

A c B A B
c

Gambar 2. 2 Segitiga yang salah satu Gambar 2. 3 Segitiga sudut


sudutnya tumpul (sudut A) lancip

Selain itu, segitiga pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 juga berlaku rumus sesuai kaidah-kaidah
berikut ini:
a. Kaidah sinus
𝒂 𝒃 𝒄
= = =𝟐𝑹
𝐬𝐢𝐧 𝑨 𝐬𝐢𝐧 𝑩 𝐬𝐢𝐧 𝑪

R merupakan jari-jari lingkaran yang mengintarinya atau disebut juga lingkaran luar.

b. Kaidah cosinus
𝒂𝟐 = 𝒃𝟐 + 𝒄𝟐 − 𝟐 𝒃𝒄 𝐜𝐨𝐬 𝑨
**Catatan: Jika A tumpul, 𝒄𝒐𝒔 𝑨 = − 𝒄𝒐𝒔 (𝟏𝟖𝟎° − 𝑨)

c. Kaidah luas
𝟏
Luas segitiga 𝑨𝑩𝑪 = 𝟐 𝒂𝒃 𝐬𝐢𝐧 𝑪
𝟏
= 𝟐 𝒂𝒄 𝐬𝐢𝐧 𝑩
𝟏
= 𝟐 𝒃𝒂 𝐬𝐢𝐧 𝑨

Luas segitiga 𝑨𝑩𝑪 = √(𝒔)(𝒔 − 𝒂)(𝒔 − 𝒃)(𝒔 − 𝒄)


𝒔−𝒂
𝑪𝒐𝒔 𝑨 = √(𝒔) ( )
𝒃𝒄
𝒂+𝒃+𝒄
Dalam hal ini, nilai 𝒔 = ( )
𝟐

d. Rumus tangen setengah sudut


𝑨−𝑩 𝒂−𝒃 𝑪
𝐭𝐠 ( ) = (𝒂+𝒃) 𝒄𝒐𝒕𝒈 𝟐
𝟐

19
Martince Novianti Bani
2.2 Sistem Koordinat
Suatu obyek di permukaan bumi dapat ditentukan posisi atau kedudukannya sehingga
diperlukan suatu sistem koordinat untuk mendeskripsikan posisi objek tersebut. Sistem koordinat
merupakan suatu sistem yang digunakan untuk mengidentifikasi letak atau posisi titik-titik di
permukaan bumi terhadap acuan atau pedoman tertentu yang didefinisikan berdasarkan
parameter tertentu. Posisi yang dimaksudkan merupakan kedudukan titik tersebut dalam dimensi
ruang yang secara umum terdiri atas posisi horizontal dan posisi vertikal (ketinggian) yang
berpedoman pada bidang referensi atau datum tertentu. Posisi horizontal suatu objek di lapangan
dapat dinyatakan dalam dua sistem koordinat yaitu:
1. Sistem koordinat kartesian
Berdasarkan sistem ini, posisi suatu titik atau obyek ditentukan jaraknya sepanjang sumbu
horizontal (ABSIS (X)) dan sumbu vertikal (ORDINAT (Y)). Dalam satuan panjang (jarak), tiap
sumbunya diletakkan saling tegak lurus satu terhadap yang lainnya, sehingga titik potongnya
merupakan pusat salib sumbu koordinat (0,0). Dengan demikian maka sistem ini menggunakan
pasangan koordinat (𝑿, 𝒀) secara berturut-turut untuk menentukan lokasi titik-titik di lapangan.
Gambar 2.4 merupakan representasi dari sistem koordinat kartesian.
y
(-1,2)

(2,1)

(-3,-1)

(1,-2)

Gambar 2. 4 Koordinat kartesian

2. Sistem koordinat geografis


Sistem koordinat geografis (Geographic Coordinate System – GCS) direpresentasikan oleh
koordinat lintang (latitude “”) dan bujur (longitude “”). Lintang dan bujur merupakan
sudut-sudut yang diukur dari pusat atau inti bumi ke titik di permukaan bumi. Sudut-sudut
tersebut biasanya direprsentasikan dalam satuan derajad atau dalam satuan grads dan
berpedoman pada bidang Equator dan Meridian Greenwich.

20
Martince Novianti Bani
Sistem koordinat yang digunakan dalam Ukur Tanah yaitu sitem koordinat kartesian (siku-
siku) yang berpedoman pada sumbu Y positif dan berorientasi paralel terhadap arah UTARA PETA.
Oleh karena itu, jika dalam suatu proses pengukuran di lapangan jika diperlukan penambahan
sejumlah titik baru atau menginginkan untuk dilakukan peningkatan kerapatan titik yang telah ada,
maka posisi titik baru tersebut harus mempunyai sistem yang sama dengan titik yang telah ada
sebelumnya. Sehingga dalam prosenya harus ada hubungan matematis dan geometris antara titik
yang akan ditentukan koordinatnya dan titik yang telah terdefinisi koordinatnya.

Gambar 2. 5 Lintang dan bujur (Potongan gambar ini


menunjukan bahwa lintang dan bujur dari suatu lokasi
tertentu di permukaan bumi terbentuk berdasarkan pada
dua buah sudut yang berlokasi pada pusat bumi)
(www.britannica.com, 2022)

2.3 Sistem Kuadran


Terdapat perbedaan antara pembagian kuadran dalam ukur tanah dan dalam matematika
(geometri analitik). Jika di dalam matematika kudran pertama dimulai dari sumbu Y positif berputar
berlawanan arah jarum jam, maka pada ukur tanah kuadran dimulai dari sumbu Y positif dan berputar
searah jarum jam. Penomoran masing-masing kuadran dalam ukur tanah ditetapkan dengan batasan
sebagai berikut:
- Kuadran I : terletak antara sumbu Y positif dan sumbu X positif
- Kuadran II : terletak antara sumbu X positif dan sumbu Y negatif
- Kuadran III : terletak antara sumbu Y negatif dan sumbu X negatif
- Kuadran IV : terletak antara sumbu X negatif dan sumbu Y positif

21
Martince Novianti Bani
Gambar 2.6 merupakan ilustrasi kuadran dan sistem Koordinat Kartesian 2 dimensi baik
untuk Ukur Tanah maupun untuk matematika (geometri analitik)

Y+ axis Y+ axis

th nd
4 quadrant st 2 quadrant st
1 quadrant 1 quadrant

X- axis X+ axis X+ axis


X- axis

rd 2nd quadrant rd 4th quadrant


3 quadrant 3 quadrant

Y- axis Y- axis

(a) (b)

Gambar 2. 6 (a) sistem kuadran dalam ukur tanah dan (b) sistem kuadran dalam geometri

2.4 Perhitungan Koordinat


2.4.1 Dasar Hitungan Koordinat
Penentuan koordinat suatu titik atau objek di lapangan memerlukan data jarak mendatar dan
data azimuth (sudut jurusan) sebagai syarat utamanya. Misalkan diidentifikasi dua buah titik di
permukaan bumi dan titik-titik tersebut dinotasikan sebagai titik A dan titik B. Titik A memiliki
koordinat 𝑿𝑨 dan 𝒀𝑨 , serta data jarak mendatar yaitu 𝑨𝑩 = 𝒅𝑨𝑩 dan Azimuth 𝑨𝑩 = 𝜶𝑨𝑩 .
Berdasarkan data tersebut maka posisi atau koordinat titik B dapat ditentukan atau dihitung terhadap
titik A dan dapat diformulasikan sebagai berikut:
𝑿 𝑩 = 𝑿 𝑨 + 𝑿
𝑿 = 𝒅𝑨𝑩 . 𝒔𝒊𝒏 𝜶𝑨𝑩
 𝑿𝑩 = 𝑿𝑨 + (𝒅𝑨𝑩 . 𝒔𝒊𝒏 𝜶𝑨𝑩 )
𝒀𝑩 = 𝒀𝑨 + 𝒀
𝒀 = 𝒅𝑨𝑩 . 𝒄𝒐𝒔 𝜶𝑨𝑩
 𝒀𝑩 = 𝒀𝑨 + (𝒅𝑨𝑩 . 𝒄𝒐𝒔 𝜶𝑨𝑩 )

Contoh:
Diketahui sebuah titik di lapangan dengan notasi titik A memiliki koordinat 𝑿𝑨 = 𝟏𝟎𝟓. 𝟑𝟔𝟔; dan
𝑿𝑩 = −𝟓𝟑. 𝟑𝟓𝟓 meter. Jika dari hasil pengukuran diperoleh jarak datar AB; 𝒅𝑨𝑩 = 𝟏𝟑𝟓. 𝟖𝟓𝟓 meter

22
Martince Novianti Bani
dan Azimuth AB; 𝑨𝑩 = 40015 ’00". Maka hitunglah koordinat di titik B dan gambarkan posisi A dan
B dalam skala tertentu.
Penyelesaian:
𝑿𝑩 = 𝑿𝑨 + (𝒅𝑨𝑩 . 𝒔𝒊𝒏 𝜶𝑨𝑩 )
= 105.366 + (135.855 sin 400 15’ 00”)
= 105.366 + (87.779)
= 193.145 meter
𝒀𝑩 = 𝒀𝑨 + (𝒅𝑨𝑩 . 𝐜𝐨𝐬 𝜶𝑨𝑩 )
= -53.355 + (135.855 cos 400 15’ 00”)
= -53.355 + (103.688)
= 50.333 meter

2.4.2 Perhitungan Jarak dan Azimuth (Sudut Jurusan)


Pada bagian ini, jika dua buah titik diketahui koordinatnya maka jarak mendatar maupun
azimuthnya dapat dihitung antara kedua titik tersebut. Misalnya terdapat dua buah obyek di lapangan
yaitu titik A dan titik B yang telah diketahui koordinatnya lalu dinotasikan sebagai 𝑨(𝑿𝑨; 𝒀𝑨 ) dan
𝑩(𝑿𝑩 ; 𝒀𝑩 ). Sedangkan jarak mendatar antara kedua titik tersebut direpresentasikan oleh notasi 𝒅𝑨𝑩 .
Selanjutnya jarak antara kedua titik tersebut dapat dihitung menggunakan persamaan berikut ini:
𝒅𝑨𝑩 = √(𝑿𝑩 − 𝑿𝑨)𝟐 + (𝒀𝑩 − 𝒀𝑨 )𝟐
Sedangkan Azimuth (sudut jurusan) antara titik A dan B yang dinotasikan sebagai 𝜶𝑨𝑩 , dapat
dihitung besarnya dengan persamaan di bawah ini:
𝑿𝑩 − 𝑿𝑨
𝐭𝐠 𝜶𝑨𝑩 =
𝒀𝑩 − 𝒀𝑨
𝑿 −𝑿
𝜶𝑨𝑩 = 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒈 𝒀𝑩−𝒀 𝑨
𝑩 𝑨

Berdasarkan kedua rumus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:


𝒅𝑨𝑩 = 𝒅𝑩𝑨 namun 𝜶𝑨𝑩 ≠ 𝜶𝑩𝑨

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan azimuth untuk memastikan hasil
hitungannya yaitu:
Jika ∆𝑿 > 𝟎 (positif) dan ∆𝒀 > 𝟎 (positif), maka 𝜶𝑨𝑩 = hasil dari calculator
Jika ∆𝑿 > 𝟎 (positif) dan ∆𝒀 < 𝟎 (negatif), maka 𝜶𝑨𝑩 = hasil dari calculator +𝟏𝟖𝟎
Jika ∆𝑿 < 𝟎 (negatif) dan ∆𝒀 < 𝟎 (negatif), maka 𝜶𝑨𝑩 = hasil dari calculator +𝟏𝟖𝟎
Jika ∆𝑿 < 𝟎 (negatif) dan ∆𝒀 > 𝟎 (positif), maka 𝜶𝑨𝑩 = hasil dari calculator +𝟑𝟔𝟎

23
Martince Novianti Bani
Contoh:
Diketahui koordinat pada titik A, B, C dan D seperti data pada tabel di bawah ini:
No. X (meter) Y (meter)
A + 100.000 +75.000
B +150.000 +100.000
C +50.000 -75.000
D -50.000 -100.000

a. Gambarkan (sket) posisi titik A, B, C dam D


b. Hitunglah Azimuth AB dan jarak AB
c. Hitunglah Azimuth CD dan jarak CD
d. Hitunglah Jarak dan Azimuth dari pusat salib sumbu ke titik C

Penyelesaian:
a. Sketch
𝑿𝑩 −𝑿𝑨
b. 𝜶𝑨𝑩 = 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 𝒀𝑩 −𝒀𝑨
𝟏𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎−𝟏𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎
= 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 [ 𝟏𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎−𝟕𝟓.𝟎𝟎𝟎 ]

= 𝟔𝟑𝟎 𝟐𝟔′𝟎𝟔" (karena x > 0 dan y > 0, maka 𝟎𝟎 < 𝜶𝑨𝑩 < 𝟗𝟎𝟎 )

𝒅𝑨𝑩 = √(𝑿𝑩 − 𝑿𝑨)𝟐 + (𝒀𝑩 − 𝒀𝑨 )𝟐

= √(𝟏𝟓𝟎. 𝟎𝟎𝟎 − 𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎)𝟐 + (𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 − 𝟕𝟓. 𝟎𝟎𝟎)𝟐


= √𝟑𝟏𝟐𝟓
= 𝟓𝟓. 𝟗𝟎𝟐 𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓
𝑿𝑫 −𝑿𝑪
c. 𝜶𝑪𝑫 = 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 𝒀𝑫 −𝒀𝑪
−𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎−𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎
= 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 [−𝟏𝟎𝟎.𝟎𝟎𝟎−(−𝟕𝟓.𝟎𝟎)]

= (𝟕𝟓°𝟓𝟕’𝟓𝟎” + 𝟏𝟖𝟎°)
= 𝟐𝟓𝟓𝟎 𝟓𝟕′𝟓𝟎" (karena x < 0 dan y < 0, maka 𝟏𝟖𝟎𝟎 < 𝜶𝑨𝑩 < 𝟐𝟕𝟎𝟎)

𝒅𝑪𝑫 = √(𝑿𝑫 − 𝑿𝑪 )𝟐 + (𝒀𝑫 − 𝒀𝑪 )𝟐

= √(−𝟓𝟎. 𝟎𝟎𝟎 − 𝟓𝟎. 𝟎𝟎𝟎)𝟐 + (−𝟏𝟎𝟎. 𝟎𝟎𝟎 − (−𝟕𝟓. 𝟎𝟎𝟎))𝟐


= √𝟏𝟎𝟔𝟐𝟓
= 𝟏𝟎𝟑. 𝟎𝟕𝟕 𝒎𝒆𝒕𝒆𝒓

24
Martince Novianti Bani
𝑿 −𝑿
d. 𝜶𝑶𝑪 = 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 𝒀𝑪 −𝒀 𝑶
𝑪 𝑶

𝟓𝟎.𝟎𝟎𝟎−𝟎.𝟎𝟎𝟎
= 𝒂𝒓𝒄 𝒕𝒂𝒏 [−𝟕𝟓.𝟎𝟎𝟎−𝟎.𝟎𝟎𝟎]

= −𝟑𝟑𝟎 𝟒𝟏′𝟐𝟒" + 𝟏𝟖𝟎𝟎


= 𝟏𝟒𝟔𝟎 𝟏𝟖′𝟑𝟔"(karena x > 0 dan y < 0, maka 𝟗𝟎𝟎 < 𝜶𝑨𝑩 < 𝟏𝟖𝟎𝟎)

𝒅𝑶𝑪 = √(𝑿𝑪 − 𝑿𝑶)𝟐 + (𝒀𝑪 − 𝒀𝟎 )𝟐

= √(𝟓𝟎. 𝟎𝟎𝟎 − 𝟎. 𝟎𝟎𝟎)𝟐 + (−𝟕𝟓. 𝟎𝟎𝟎 − 𝟎. 𝟎𝟎𝟎)𝟐


= √𝟖𝟏𝟐𝟓
= 𝟗𝟎. 𝟏𝟑𝟖 𝐦𝐞𝐭𝐞𝐫

3500 45′

1300 4′ B
N
2200 41′
400 41′
400 41′

Gambar 2. 7 Perhitungan Azimuth BC

Berdasarkan Gambar 2.7, Azimuth BA dapat dihitung dengan menambahkan 𝟏𝟖𝟎𝟎 ke


azimuth AB. Sehingga back azimuth atau 𝛂𝑩𝑨 = 𝟏𝟖𝟎𝟎 + 𝟒𝟎𝟎 𝟒𝟏′ = 𝟐𝟐𝟎𝟎 𝟒𝟏′. Kemudian,
sudut ke kanan (angles to the right) pada 𝐁 = 𝟏𝟑𝟎𝟎 𝟒′ ditambahkan pada azimuth BA untuk
memperoleh azimuth BC. Sehingga 𝛂𝑩𝑪 = 𝟐𝟐𝟎𝟎 𝟒𝟏′ + 𝟏𝟑𝟎𝟎 𝟒′ = 𝟑𝟓𝟎𝟎 𝟒𝟓′ .

25
Martince Novianti Bani
2.4.3 Perbandingan Azimuth dan Bearing
Bearing merupakan sistem lain untuk menunjukan arah sebuah garis. Bearing sebuah garis
didefinisikan sebagai sudut horizontal antara meridian referensi (north – utara) dan garis tersebut.
Sudut yang diamati baik dari utara atau selatan maupun timur atau barat, lebih kecil dari 900 . Huruf
N atau S yang mendahului nilai sudut dan E atau W yang mengikutinya menunjukan letak
kuadrannya. Jadi bearing disdeskripsikan mencakup kuadran dan sudutnya. Contohnya N790 E.

N
Referensi
D
0 Meridian
30
700
A

O
W E

550
C 350

B
S

Gambar 2. 8 Sudut Bearing

Contoh:
Dilakukan pengamatan di lapangan dan diketahui azimuth dari hasil pengamatan tersebut
yaitu 1380 35′ 15". Maka hitunglah sudut bearingnya.
Penyelesaian:
Perhatikan azimuth hasil pengamatan di lapangan berada pada kuadran ke-2, maka
𝑏𝑒𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 = 1800 − 1380 35′ 15"
𝑏𝑒𝑎𝑟𝑖𝑛𝑔 = 410 24′ 45"

Table 2. 2 Perhitungan sudut bearing dari azimuth


Formula untuk menghitung
Kuadran
sudut bearing dari azimuth
I (North-Eeast) Bearing = Azimuth
II (South-East) Bearing = 1800 −Azimuth
III (South-West) Bearing = Azimuth −1800
IV (North-West) Bearing = 3600 −Azimuth

26
Martince Novianti Bani
Contoh:
1. Dilakukan survey di lapangan dan diperoleh sudut beraring 𝐍𝟑𝟖𝟎 𝟏𝟓′𝑾. Maka berapakah
sudut azimuthya?
Penyelesaian:
Diketahui bearing berada pada kuadran IV (North-West), maka azimuthnya adalah
𝛼 = 3600 − 380 15′
𝛼 = 3210 45′00"

Selain itu jika berdasarkan gambar 2.7 maka dapat dihitung pula bearing BC dan CD, di
mana bearing garis AB adalah N400 41′W dan sudut pada B diputar searah jarum jam(ke kanan) dari
garis BA adalah 1300 4′. Sehingga sudut bearing pada garis 𝐵𝐶 = 1800 − (400 41′ +1300 4′) =
90 15′, atau N90 15′W. Sedangkan sudut searah jarum jam pada C dari B ke D, diamati sebesar 850 00′
atau CD = 750 45′ + 90 15′ = 850 00′. Sehingga bearing CD = 850 00′ − 90 15′ = 750 45′ atau
S750 45′𝑊. Dengan demikian azimuth CD = 1800 + 750 45′ = 2550 45′. Teknik perhitungan ini
dapat digunakan untuk perhitungan bearing selanjutnya.

N
C

𝑁90 15′𝑊N

C
S750 45′W 90 15′
D 850 00′
1300 4′ B 0
75 45′ N
N

400 41′
N90 15′W
0
𝑁400 41′W 40 41′ 90 15′
B
A

(a) (b)

Gambar 2. 9 (a) Perhitungan Bearing BC; (b) Perhitungan Bearing CD

27
Martince Novianti Bani

Anda mungkin juga menyukai